Anda di halaman 1dari 21

2

1.3 Rumusan Masalah

1.1.1 Apa yang dimaksud dengan artritis reumatoid (AR) ?

1.1.2 Apa yang menjadi penyebab timbulnya artritis reumatoid ?

1.1.3 Jelaskan patofisiologi dari artritis reumatoid ?

1.1.4 Apa manifestasi klinis yang terjadi pada pasien artritis reumatoid ?

1.1.5 Jelaskan evaluasi/pemeriksaan diagnostik pada artritis reumatoid ?

1.1.6 Jelaskan bagaimana penatalaksanaan medis pada pasien artritis reumatoid?

1.4 Metode Penulisan

Adapun metode penulisan yang digunakan dalam pembuatan makalah ini

adalah diambil berdasarkan acuan yang ada pada buku, sumber-sumber referensi

lainnya dan dari internet.


3

BAB 1

PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang

Penyakit jaringan ikat difus merupakan istilah yang mengacu pada

sekelompok kelainan yang bersifat kronik dan ditandai oleh reaksi inflamasi yang

difus serta degenerasi pada jaringan ikat. Kelainan ini memiliki gambaran klinis

yang serupa dan dapat mengenai sejumlah organ yang sama. Perjalanan penyakit

yang khas berupa proses eksaserbasi dan remisi. Penyakit jaringan ikat yang difus

mempunyai etiologi yang tidak jelas tetapi diperkirakan terjadi akibat kelainan

imunologik. Kelompok penyakit ini mencakup artritis reumatoid, sistemik lupus

eritematosus (SLE), skleroderma, polimiositis dan polimialgia reumatika.

Artritis rheumatoid adalah gangguan kronik yang mengenai banyak system

organ yang merupakan salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difus.

Gangguan ini diperantarai imun dan etiologinya belum diketahui. Artritis

rheumatoid menyerang perempuan sekitar dua setengah kali lebih sering daripada

laki-laki, dengan insiden puncak antara usia 40-60 tahun.

Beberapa uji laboratorium digunakan untuk diagnosis arthritis rheumatoid.

Sebagai contoh, faktor rheumatoid ditemukan dalam serum sekitar 85% orang

yang menderita AR. Pengobatan arthritis rheumatoid berdasarkan pada

pemahaman patofisiologi.

Artritis rheumatoid merupakan kasus panjang yang sangat sering diujikan.

Biasanya terdapat banyak tanda- tanda fisik. Diagnosa penyakit ini mudah

ditegakkan. Tata laksananya sering merupakan masalah utama. Insiden puncak

dari arthritis rheumatoid terjadi pada umur decade keempat, dan penyakit ini
4

terdapat pada wanita 3 kali lebih sering daripada laki- laki. Terdapat insiden

familial ( HLA DR-4 ditemukan pada 70% pasien ).

Artritis rheumatoid diyakini sebagai respon imun terhadap antigen yang

tidak diketahui. Stimulusnya dapat virus atau bakterial. Mungkin juga terdapat

predisposisi terhadap penyakit.

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 TujuanUmum

Mahasiswa dapat memahami pengertian awal pada klien dengan gangguan

system musculoskeletal yaitu Rheumatoid Artritis.

1.3.2 TujuanKhusus

Mahasiswa dapat menjelaskan :

1.3.2.1 Definisi penyakit Rheumatoid Artritis

1.3.2.2 Etiologi penyakit Rheumatoid Artritis

1.3.2.3 Manifestasi klinik Rheumatoid Artritis

1.3.2.4 Patofisiologi penyakit Rheumatoid Artritis

1.3.2.5 Komplikasi penyakit Rheumatoid Artritis

1.3.2.6 Pemeriksaan diagnostik penyakit Rheumatoid Artritis

1.3.2.7 Penatalaksanaan penyakit Rheumatoid Artritis


5

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Artritis Reumatoid

Artritis reumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan

manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh

(Kapita Selekta Kedokteran, 2001 : hal 536).

Artritis reumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang

tidak diketahui penyebabnya, dikarakteristikan oleh kerusakan dan proliferasi

membran sinovial, yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi, ankilosis, dan

deformitas (Doenges, E Marilynn, 2000 : hal 859).

Artritis reumatoid adalah gangguan kronik yang menyerang berbagai

sistem organ. Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit jaringan

ikat difus yang diperantarai oleh imunitas dan tidak diketahui penyebabnya. Pada

pasien biasanya, terjadi dekstruksi sendi progresif, walaupun episode peradangan

sendi dapat mengalami masa remisi.

Artritis reumatoid kira-kira 2 ½ kali lebihn sering menyerang perempuan

daripada laki-laki. Insiden meningkat dengan bertambahnya usia terutama pada

perempuan. Insiden puncak adalah antara usia 40-60 tahun. Penyakit ini

menyerang orang-orang diseluruh dunia dari berbagai suku bangsa. Sekitar 1%

orang dewasa menderita artritis reumatoid yang jelas, dan dilaporkan bahwa di AS

setiap tahun timbul kira-kira 750 kasus baru per satu juta penduduk.

Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui walaupun banyak hal

mengenai patogenesisnya telah terungkap. Penyakit ini tidak dapat ditunjukkan

memiliki hubungan pasti dengan genetik. Terdapat kaitan dengan penanda genetik
6

seperti HLA-Dw4 dan HLA-DR5 pada orang Kaukasia. Namun pada orang

Amerika Afrika, Jepang, dan India Chippewa, hanya ditemukan kaitan dengan

HLA-Dw4.

Dekstruksi jaringan sendi melalui dua cara. Pertama adalah dekstruksi

pencernaan oleh produksi protease, kolagenase, dan enzim-enzim hidrolitik

lainnya. Enzim-enzim ini memecah kartilago, ligamen, tendon, dan tulang pada

sendi, serta dilepaskan bersama-sama dengan radikal oksigen dan metabolit asam

arakidonat oleh leukosit polimerfonuklear dalam cairan sinovial. Proses ini diduga

adalah bagian dari respon autoimun terhadap antigen yang diproduksi secara

lokal.

Dekstruksi jaringan juga terjadi melalui kerja panus reumatoid. Panus

merupakan jaringan granulasi vaskular yang terbentuk dari sinovium yang

meradang dan meluas ke sendi disepanjang pinggir panus terjadi dekstruksi

kolagen dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam panus

tersebut.

2.2 Etiologi

2.2.1 Faktor Genetik

Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat interaksi yang

kompleks antara faktor genetikdan lingkungan. Faktor gemetik berperan penting

terhadap kejadian AR, dengan angka kepekaan dan exspresi penyakit sebesar

60%. Hubungan gen HLA-DBR 1 dengan kejadian AR telah diketahui dengan

baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR seperti

daerah 18q21 dari gen TNFRSR11a yang mengkode aktivator nuclear factor

kappa B (NF-kB). Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR.
7

Faktor genetik juga berperan penting dalam terapi AR karena aktifitas enzim

seperti methylenetetrahydrofotale reductase dan thiopurine methyltransferase

untuk metabolisme methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetik.

Pada kembar monozigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya AR

lebih dari 30% dan ada orang kulit putih dengan AR yang mengekspresikan HLA-

DR 1 atau HLA-DR4 mempunyai angka kesesuian sebesar 80%.

2.2.2 Hormon Sex

Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki,

sehingga diduga hormon seks berperanan dalam perkembangan penyakit ini. Pada

observasi didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala AR selama kehamilan.

Perbaikan ini diduga karena :

2.2.2.1 Adanya aloantibodi dalam sirkulasi materna yang menyerang HLA-DR

sehingga terjadi hambatan fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan

perbaikan penyakit.

2.2.2.2 Adanya perubahan profil hormon. Placental corticotropin-releasing

hormone secara langsung menstimulasi sekresi dehidropiandrosteron

(DHEA), yang merupakan androgen utama pada perempuan yang

dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus. Androgen bersifat imuno supresi

terhadap respon imun seluler dan humoral. DHEA merupakan substrat

penting dalam sintesis estrogen placenta. Estrogen dan progesteron

menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon imun

seluler (Th1). Oleh karena pada AR respon Th1 lebih dominan sehingga

estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap

perkembangan AR. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah


8

perkembangan AR atau berhubungan dengan penurunan insiden AR yang

lebih berat.

2.2.3 Faktor Infeksi

Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit.

Oganisme ini diduga menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah

reaktivitas atau respon sel-T sehingga mencetsukan timbulnya penyakit.

Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai

penyebab penyakit.

2.2.4 Protein heat shock (HSP)

HSP adalah suatu keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada semua

spesies sebagai respon terhadap stress. Protein ni mengandung untaian asam

amino homolog. HSP tertentu manusia dan HSP mikobakterium TB mempunyai

65% untaian yang homolog. Hipotesisnya adalah antibodi dan sel-T mengenali

epitop HSP pada agen infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang

limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi imunulogis. Mekanisme ini

dikenal sebagai kemiripan molekul (molecular mimicry).

2.3 Patofisiologi

Pada artritis reumatoid, reaksi autoimun terutama terjadi dalam jaringan

sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dama sendi. Enzim-enzim

tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran

sinovial dan akhirnya pembentukan panus. Panus akan menghancurkan tulang

rawan dan menimbulakn erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangny permukaan

sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turun terkena karena serabut
9

otot akan mangalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot

dan kekuatan kontraksi otot.

Pathway

Membran sinovial pada pasien reumatoid artritis mengalami hiperplasia,

peningkatan vaskulariasi, dan ilfiltrasi sel-sel pencetus inflamasi, terutama sel T

CD4+. Sel T CD4+ ini sangat berperan dalam respon immun. Pada penelitian

terbaru di bidang genetik, reumatoid artritis sangat berhubungan dengan major-

histocompatibility-complex class II antigen HLA-DRB1*0404 dan DRB1*0401.

Fungsi utama dari molekul HLA class II adalah untuk mempresentasikan

antigenic peptide kepada CD4+ sel T yang menujukkan bahwa reumatoid artritis

disebabkan oleh arthritogenic yang belim teridentifikasi. Antigen ini bisa berupa

antigen eksogen, seperti protein virus atau protein antigen endogen. Baru-baru ini

sejumlah antigen endogen telah teridentifikasi, seperti citrullinated protein dan

human cartilage glycoprotein 39.


10

Antigen mengaktivasi CD4+ sel T yang menstimulasi monosit, makrofag

dan syinovial fibroblas untuk memproduksi interleukin-1, interleukin-6 dan TNF-

α untuk mensekresikan matrik metaloproteinase melalui hubungan antar sel

dengan bantuan CD69 dan CD11 melalui pelepasan mediator-mediator pelarut

seperti interferon-γ dan interleukin-17. Interleukin-1, interlukin-6 dan TNF-α

merupakan kunci terjadinya inflamasi pada rheumatoid arthritis.

Arktifasi CD4+ sel T juga menstimulasi sel B melalui kontak sel secara

langsung dan ikatan dengan α1β2 integrin, CD40 ligan dan CD28 untuk

memproduksi immunoglobulin meliputi rheumatoid faktor. Sebenarnya fungsi


11

dari rhumetoid faktor ini dalam proses patogenesis reumatoid artritis tidaklah

diketahui secara pasti, tapi kemungkinan besar reumatoid faktor mengaktiflkan

berbagai komplemen melalui pembentukan immun kompleks.aktifasi CD4+ sel T

juga mengekspresikan osteoclastogenesis yang secara keseluruhan ini

menyebabkan gangguan sendi. Aktifasi makrofag, limfosit dan fibroblas juga

menstimulasi angiogenesis sehingga terjadi peningkatan vaskularisasi yang

ditemukan pada synovial penderita reumatoid artritis.

2.4 Manifestasi Klinis

2.4.1 Awitan (Onset)

Kurang lebih 2/3 penderita AR, awitan terjadi secara perlahan, atritis

simetris terjadi dalam beberapa minggu sampai bebebrapa bulan dari perjalanan

penyakit. Kurang lebih 15% dari penderita mengalami gejala awal yang lebih

cepat yaitu antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Sebanyak 10-15%

penderita mempunyai awitan fulminant berupa artritis poliartikular, sehingga

diagnosis AR lebih mudah ditegakkan.pada 8-15% penderita, gejala muncul

beberapa hari setelah kejadian tertentu (infeksi). Artritis sering kali diikuti oleh

kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama 1 jam atau lebih.

Beberapa penderita juga mempunyai gejala konstitusional berupa kelemahan,

kelelahan, anoreksia dan demam ringan.

2.4.2 Manifestasi Artikular

Penderita AR pada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada

banyak sendi, walaupun ada sepertiga penderita mengalami gejala awal pada satu

atau beberapa sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi (nyeri, bengkak,

kemerahan dan teraba hangat) mungkin ditemukan pada awal penyakit atau
12

selama kekambuhan (flare), namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin

tidak dijumpai pada AR yang kronik.

Penyebab atritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada

membran sinovial yang membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena

adalah persendian tangan, kaki dan vertebra servikal, tetapi persendian besar

seperti bahu dan lutut juga bisa kena. Sendi yang terlihat pada umumnya simetris,

meskipun pada persentasi awal bisa tidak simetris. Sinovitis akan menyebabkan

erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi.

Ankilosis tulang (destruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang yang

berlebihan) bisa terjadi beberapa sendi khususnya pada pergelangan tangan dan

kaki. Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga sendi

interfalang proksimal dan metakarpofalangeal. Sendi interfalang distal dan

sakroiliaka tidak pernah terlibat distribusi sendi yang terlibat pada AR tampak

pada Tabel berikut.

Table. Sendi yang Terlibat pada Artritis Reumatoid

Sendi yang Terlibat Frekuensi Keterlibatan (%)

Metacarpophalangeal (MCP) 85
Pergelangan tangan 80
Proximalinterphalangeal (PIP) 75
Lutut 75
Metatarsophalangeal (MTP) 75
Pergelangan kaki 75
Bahu 60
Midfoot 60
Panggul (Hip) 50
Siku 50
Acromioclavicular 50
Vertebra servikal 40
Temporomandibular 30
Sternoclavicular 30
13

2.4.3 Manifestasi Ekstraartikular

Walaupun atritis merupakan manifestasi klinis utama tetapi AR

merupakan penyakit sistemik sehingga banyak penderita juga mempunyai

manifestasi ekastraatikular. Manifestasi ekastraatikular pada umumnya didapat

pada penderita yang mempunyai titer faktor reumatoid (RF) serum tinggi. Nodul

reumatoid merupakan manisfetasi kulit yang paling sering dijumpai tetapi

biasanya tidak memerlukan intervensi khusus. Nodul reumatoid umunya

ditemukan didaerah ulna olekranon, jari tangan, tendon achilles atau bursa

olekranon. Nodul reumatoid hanya ditemukan pada penderita AR dengan faktor

reomatoid positif (sering titernya tinggi) dan mungkin dikelirukan dengan tofus

goup, kistaganglion, tendon xanthoma atau nodul yang berhubungan dengan

demam reumatik, levra,MCTD, atau multicentiric reticulohistiocytosis.

2.4.4 Gambaran Klinis

Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada seseorang

artritis reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat

bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat

bervariasi.

2.4.4.1 Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, BB menurun,

dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.

2.4.4.2 Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer: termasuk sendi-sendi

ditangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalang

distal. Hampir semua sendi di artrodial dapat terserang.


14

2.4.4.3 Kelakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam: dapat bersifat

generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini

berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya

berlangsung selama beberapa menit dan kurang dari satu jam.

2.4.4.4 Artritis erosif, merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran

radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi ditepi

tulang.

2.4.4.5 Deformitas : kerusakan struktur penunjang sendi meningkat dengan

perjalanan penyakit. Pergeseran ulna atau deviasi jari, subluksasi sendi

metakarpofalangeal, deformitas boutoniere dan leher angsa adalah

beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai. Pada kaki terdapat

protrusi kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi

metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terserang dan mengalami

pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerakan

ekstensi.

2.4.4.6 Nodul-nodul reumatoid: adalah masa subkutan yang ditemukan pada

sekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yang

paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekkranon (sendi siku)

atau disepanjang permukaan ekstensor dari lengan, walaupun demikian

nodula-nodula ini juga dapat timbul pada tempat-tempat lainnya.

Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu

penyakit yang aktif dan lebih berat.


15

2.5 Pemeriksaan Diagnostik

2.5.1 Pemeriksaan Penunjang Diagnostik

Tidak ada tes diagnostik tunggal yang definitif untuk konfirmasi

diagnostik AR.The American College of Rheumatology Subcommitte on

Rhuematoid Arthritis (ACRSRA) merekomendasikan pemeriksaan laboratorium

dasar untuk evaluasi antara lain : darah perifer lengkap (complete blood cell

count), faktor reomatoid (RF), laju endap darah atau c-reactive protein (CRV).

Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal juga direkomendasikan karena akan membantu

dalam pemilihan terapi. Bila hasil pemeriksaan RF dan anti-CCP negatif bisa

dilanjutkan dengan pemeriksaan anti-RA33 untuk membedakan penderita AR

yang mempunyai resiko tinggi mengalami prognosis buruk. Pemeriksaan

pencitraan (imaging) yang bisa digunakan untuk menilai penderita AR antara lain

foto polos (plain radiograph) dan MRI (magnetik resonance imaging). Pada awal

perjalanan penyakit mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak atau

efusi sendi pada pemeriksaan foto polos, tetapi dengan berlanjutnya penyakit

mungkin akan lebih banyak ditemukan kelainan osteopenia juxtaartikular adalah

karakteristik untuk AR dan chronicinflamatory arthritides lainnya. Hilangnya

tulang rawan artikular dan erosi tulang mungkin timbul setelah beberapa bulan

dari aktivitas penyakit. Kurang lebih 70 % penderita AR akan mengalami erosi

tulang dalam 2 tahunpertama penyakit, dimana hal ini menandakan penyakit

berjalan secara progesif. Erosi tulang bisa tampak pada semua sendi, tetapi paling

sering ditemukan pada sendi metacarpophalangeal, metatarsophalangeal dan

pergelangan tangan.
16

2.6 Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan artritis reumatoid didasarkan pada pengertian

patofisiologi penyakit ini . selain itu,perhatian juga ditujukan terhadap manifestasi

psiko fisiologis dan kekacauan-kekacauan psikososial yang menyertainya yang

disebabkan oleh perjalanan penyakit yang fluktuatif dan kronik. Untuk membuat

diagnosis yang akurat dapat memakan waktu sanpai bertahun-tahun, tetapi

pengobatan dapat dimulai secara lebih dini.

Tujuan utama dari program pengobatan adalah sebagai berikut:

1) Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan

2) Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari pasien.

3) Untuk mencegah dan memperbaiki defomitas yang terjadi pada sendi.

Untuk artritis reumatoid yang dini, terapi dimulai dengan pendidikan

pasien, keseimbangan antara istirahat dan latihan, dan rujukan ke lembaga

kemasyarakatan yang dapat memberikan dukungan. Penanganan medik dimulai

dengan pemberian salisilat atau NSAID dalam dosis terapeutik. Kalau diberikan

dalam dosis terapeutik yang penuh, obat-obat ini akan memberikan efek anti-

inflamasi maupun analgetik. Kepada pasien perlu diberitahukan untuk

menggunakan obat menurut resep dokter agar kadar obat yang konsisten dalam

darah bisa dipertahankan sehingga keefektifan obat anti-inflamasi tersebut dapat

mencapai tingkat yang optimal.

Bagi artritis reumatoid erosif, moderat, suatu program formal dengan

terapi okupasi dan fisioterapi harus diresepkan untuk mendidik pasien tentang

prinsip-prinsip perlindungan sendi, pengaturan kecepatan dalam pelaksanaan

aktivitas, penyederhanaan kerja, latihan gerak dan latihan untuk menguatkan otot-
17

otot. Pasien didorong untuk turut berpartisipasi aktif dalam program

penatalaksanaan tersebut. Program medikasi dievaluasi ulang secara periodik, dan

perubahan yang sesuai dapat dilakukan jika diperlukan.

Bagi artritis reumatoid erosif, persisten, bedah rekonstruksi dan terapi

kortikostiroid kerapkali diresepkan. Bedah rekonstruksi merupakan indikasi kalau

rasa nyeri tidak dapat diredakan oleh tindakan konservatif. Prosedur bedah

mencakup tindakan sinovektomi (eksisi membran sinovial), tenorafi (penjahitan

tendon), atrodesis (operasi untuk menyatukan sendi), dan atroplasti (operasi untuk

memperbaiki sendi). Namun demikian, operasi tidak dilakukan pada saat penyakit

masih berada dalam stadium akut.

Pemberian kortikostiroid sistemik dilakukan jika pasien menderita inflamasi

serta rasa nyeri yang tidak pernah sembuh, dan/atau pasien membutuhkan obat-

obat “yang menjembatani” pada saat ia menantikan hasil kerja obat anti-reumatik

yang kerjanya lambat (yaitu, preparat emas).

Bagi artritis reumatoid yang lanjut dan tidak pernah sembuh, obat-obat

imunosupresi diresepkan mengingat kemampuannya untuk mempengaruhi

produksi antibodi pada tingkat selular. Obat-obat ini mencakup preparat

metotreksat dosis tinggi, siklofosfamid dan azatioprin. Namun, obat-obat ini

sangat toksik dan dapat menimbulkan depresi sumsum tulang, anemia, gangguan

gastrointestinal serta ruam.

Diseluruh stadium artritis reumatoid, gejala depresi dan gangguan tidur

mungkin memerlukan penggunaan obat-obat anti depresan dosis rendah dalam

jangka waktu yang singkat seperti amitriptilin untuk membentuk kembali pola

tidur yang adekuat dan menangani nyeri kronik dengan lebih baik.
18

2.6.1 Terapi

2.6.1.1 Terapi Non Farmakologik

Beberapa terapi non farmakologik telah dicoba pada penderita AR. Terapi

puasa, suplementasi asam lemak esensial, terapi spa dan latihan,

menunjukkan hasil yang baik. Pemberian suplemen minyak ikan (cod liver

oil) bisa digunakan sebagai NSAID-sparing agents pada penderita AR.

Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam perawatan

penderita. Penggunaan terapi herbal, acupuncture dan splinting belum

didapatkan bukti yang meyakinkan.

2.6.1.2 Terapi Farmakologik

Farmakoterapi untuk penderita AR meliputi obat anti-inflamasi non-

steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah

atau intraartikular dan DMARD. Analgetik lain juga mungkin digunakan

seperti acetaminophen, opiat, diproqualone dan lidokain topical.Pemberian

obat-obatan dapat berupa:

1) Anti Inflamasi non steroid (NSAID) contoh:aspirin yang diberikan

pada dosis yang telah ditentukan.

2) Obat-obat untuk Reumatoid Artitis :

(1) Acetyl salicylic acid, Cholyn salicylate (Analgetik, Antipyretik,

Anty Inflamatory)

(2) Indomethacin/Indocin(Analgetik, Anti Inflamatori)

(3) Ibufropen/motrin (Analgetik, Anti Inflamatori)

(4) Tolmetin sodium/Tolectin(Analgetik Anti Inflamatori)

(5) Naproxsen/naprosin (Analgetik, Anti Inflamatori)


19

(6) Sulindac/Clinoril (Analgetik, Anti Inflamatori)

(7) Piroxicam/Feldene (Analgetik, Anti Inflamatori)

2.6.2 Cara Penatalaksanaan yang Dapat Mendukung Perawatan Artritis

Reumatoid

2.6.2.1 Pendidikan

Langkah pertama dari program penatalaksanaan ini adalah memberikan

pendidikan yang cukup tentang penyakit kepada penderita, keluarganya

dan siapa saja yang berhubungan dengan penderita. Pendidikan yang

diberikan meliputi pengertian, patofisiologi (perjalanan penyakit),

penyebab dan perkiraan perjalanan (prognosis) penyakit ini, semua

komponen program penatalaksanaan termasuk regimen obat yang

kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini dan

metode efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim

kesehatan. Proses pendidikan ini harus dilakukan secara terus-menerus.

2.6.2.2 Istirahat

Merupakan hal penting karena reumatik biasanya disertai rasa lelah yang

hebat. Walaupun rasa lelah tersebut dapat saja timbul setiap hari, tetapi

ada masa dimana penderita merasa lebih baik atau lebih berat. Penderita

harus membagi waktu seharinya menjadi beberapa kali waktu

beraktivitas yang diikuti oleh masa istirahat.

2.6.2.3 Latihan Fisik dan Termoterapi

Latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi.

Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang

sakit, sedikitnya dua kali sehari. Obat untuk menghilangkan nyeri perlu
20

diberikan sebelum memulai latihan. Kompres panas pada sendi yang

sakit dan bengkak mungkin dapat mengurangi nyeri. Mandi parafin

dengan suhu yang bisa diatur serta mandi dengan suhu panas dan dingin

dapat dilakukan di rumah. Latihan dan termoterapi ini paling baik diatur

oleh pekerja kesehatan yang sudah mendapatkan latihan khusus, seperti

ahli terapi fisik atau terapi kerja. Latihan yang berlebihan dapat merusak

struktur penunjang sendi yang memang sudah lemah oleh adanya

penyakit.

2.6.2.4 Diet/Gizi

Penderita Reumatik tidak memerlukan diet khusus. Ada sejumlah cara

pemberian diet dengan variasi yang bermacam-macam, tetapi

kesemuanya belum terbukti kebenarannya. Prinsip umum untuk

memperoleh diet seimbang adalah penting.


21

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Artritis rheumatoid adalah gangguan kronik yang mengenai banyak system

organ yang merupakan salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difus.

Gangguan ini diperantarai imun dan etiologinya belum diketahui. Artritis

rheumatoid menyerang perempuan sekitar dua setengah kali lebih sering daripada

laki-laki, denngan insiden puncak antara usia 40-60 tahun.

Beberapa gambaran klinis yang lazim mencakup kelelahan, anoreksia, BB

turun, dan demam; poliartritis simetris, terutama sendi perifer dan kaku di pagi

hari lebih dari satu jam; arthritis erosive dan deformitas sebagai penghancuran

struktur penunjnag sendi; nodul rheumatoid, yang merupakan masa subkutan; dan

manifestasi ekstra-artikular yang dapat mengenai organ misal paru, mata, dan

pembuluh darah.

Pengobatan arthritis rheumatoid berdasarkan pada pemahaman

patofisiologi gangguan. Perhatian harus diarahkan pada manifestasi psikofisiologi

dan gangguan psikososial yang menyertainya disebabkan oleh perjalanan masalah

yang kronik dan berubah-ubah.

Tujuan program terapeutik keseluruhan adalah menghilangkan nyeri dan

peradangan; mempertahankan fungsi sendi dan kapasitas fungsional maksimal

orang tersebut; dan mencegah dan mengoreksi deformitas sendi.


22

3.2 Saran

Semoga dengan adanya pembuatan makalah ini dapat bermanfaat dan

digunakan dengan baik secara bersama. Saran dan kritik yang membangun

makalah ini sangat diharapkan. Terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai