TINJAUAN PUSTAKA
3.1.Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.4
3.2.Patofisiologi
Patofisiologi kerusakan sentral DM tipe 2 (DMT2) adalah resistensi insulin
pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas. Belakangan diketahui bahwa
kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan
sebelumnya. DeFronzo pada tahun 2009 menekankan bahwa tidak hanya otot,
liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita
DMT2, tetapi terdapat organ lain yang turut berperan seperti: jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pankreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi
insulin). Konsep ini disebut dengan the ominous octet.4
3.3.Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi etiologis DM4,5
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke
(Insulin Dependent Diabetes defisiensi insulin absolut
Mellitus) Autoimun
Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, dominan resistensi insulin disertai
(Non Insulin Dependent defisiensi insulin relative hingga dominan defek
Diabetes Mellitus) sekresi insulin disertai resistensi insulin
Tipe lainnya Defek genetic fungsi sel beta
Defek genetic kerja insulin
Penyakit eksokrin pankreas
Endokrinopati
Karena obat atau zat kimia
Infeksi
Sebab imunologi yang jarang
Sindrom Diabetes Monogenik6
Terkait Fibrosis Kistik6
Diabetes Post-Transplantasi6
Hiperglikemi Katamenial6
Diabetes Mellitus Gestasional
3.4.Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
Keluhan klasik: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan.
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Tabel 2. Kriteria Diagnosis DM
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam. (B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram. (B)
Atau
Pemeriksaan Glukosa Plasma Sewaktu ≥200mg/dl dengan keluhan klasik
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP). (B)
Selain itu, skrining juga perlu dilakukan pada kelompok dewasa asimptomatik dengan kriteria
seperti berikut:
Tabel 4. Kriteria Skring Diabetes atau Prediabetes pada Orang Dewasa Asimtomatik6
1. Pemeriksaan harus dilakukan pada kelompok dewasa overweight atau obesitas (BMI ≥25
kg/m2 atau ≥23 kg/m2 pada ras Asia Amerika) yang memiliki ≥1 factor risiko berikut ini:
* A1C ≥5,7%
* turunan pertama dari pasien DM
* wanita yang pernah didiagnosa DM gestasional
* riwayat penyakit kardiovaskular
* Hipertensi (≥140/90 mmHg atau dalam terapi hipertensi)
* kolesterol HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL
* wanita dengan sindrom polikistik ovarium
* Inaktivitas fisik
* Seluruh kondisi klinis yang berhubungan dengan resistensi insulin
(obesitas berat, akantosis nigrikans)
4. Untuk seluruh pasien, skrining harus dimulai pada usia 45 tahun
5. Jika hasil normal, pemeriksaan harus diulang dalam rentang minimal 3 tahun, dengan
pertimbangan frekuensi yang lebih sering tergantung pada hasil inisial (Kelompok
prediabetes harus diperiksa tiap tahun) serta status risiko
1.5.Tatalaksana
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis
dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti
hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi.
Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya:
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya
ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier.
1.5.1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat adalah bagian dari
upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari tingkat
awal dan lanjutan. Materi tingkat awal meliputi: perjalanan penyakit
DM, pengobatan, pentingnya pengendalian dan pemantauan DM
(terutama kondisi hipoglikemi), penyulit DM dan risikonya, perawatan
kaki, cara memantau kadar glukosa mandiri, serta hubungan antara
olahraga, makanan dan terapi. Sedangkan beberapa materi tingkat
lanjut meliputi: pencegahan penyulit akut DM, penyulit menahun DM
dan tatalaksana DM selama menderita penyakit lain.4,6
1.5.3. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati. Latihan jasmani
dilakukan secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar
30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan
tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar
glukosa darah <100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat
terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda
latihan jasmani. Kegiatan sehari-hari bukan termasuk dalam latihan
jasmani meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari.
Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani
yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung
maksimal) seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Pada penderita DM tanpa kontraindikasi dianjurkan juga
melakukan resistance training (latihan beban) 2-3 kali/ perminggu.7
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani. Intensitas latihan jasmani pada penyandang DM
yang relative sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM
yang disertai komplikasi intensitas latihan perlu dikurangi dan
disesuaikan dengan masing-masing individu.
t U300
Lantus 1-3 jam Tanpa puncak 24 jam Pen 300U/mL
e Manusia Campuran (Human Premixed)
Insulin
r
70/30 Humulin 30 – 60
a 3 – 12 jam
70/30 Mixtard menit
p
Insulin Analog Campuran (Human Premixed)
i
75/25 Humaglomix
12 – 30
70/30 Novomix 1 – 4 jam
menit
50/50 Premix
Bagi pasien rawat inap, insulin mulai diberikan dari dosis kecil kemudian
dinaikkan secara bertahap, untuk mencegah hipoglikemia. Terapi insulin dapat
diberikan secara infus intravena kontinyu atau subkutan secara terprogram atau
terjadwal. Kebutuhan insulin harian total (IHT) dapat didasarkan pada dosis insulin
sebelum perawatan atau dihitung sebagai 0,5-1 unit/kg BB/hari. Untuk lanjut usia atau
dengan gangguan fungsi ginjal, digunakan dosis yang lebih rendah (0,3 u/kg/hari).
Pemberian terapi insulin IV kontinyu dimulai dengan dosis awal 0,5 – 1 unit/
jam dengan beberapa prinsip, yaitu: kadar kalium darah > 3mEq/L, menggunakan
insulin kerja pendek dan upayakan konsentrasi insulin 1 U/mL. Pemberian insulin IV
kontinyu membutuhkan pemeriksaan glukosa intensif (per jam pada awal pemberian).
Jika memberikan insulin subkutan bagi pasien rawat inap, kebutuhan pasien berupa:
1. Insulin basal
Kebutuhan sesuai dengan produksi glukosa hepatik, yaitu 40-50% dari IHT.
2. Insulin prandial
Sejumlah yang dibutuhkan untuk memenuhi kenaikan gula darah setelah makan.
3. Insulin koreksional
Diperlukan untuk mengoreksi kadar glukosa darah yang melebihi sasaran
glikemik yang telah ditentukan pada waktu tertentu. Secara umum, kebutuhan
prandial/nutrisional atau koreksi/supplemental per dosis biasanya sekitar 10-20%
dari kebutuhan IHT.
Tabel 8. Regimen terapi dosis insulin terbagi pada pasien rawat inap
Dosis Awal Penyesuaian Dosis
- Bila pasien sudah pernah menggunakan insulin dan glukosa darah * Dosis insulin basal
terkendali baik, gunakan dosis sebelumnya dan prandial
dinaikkan/ diturunkan
- Bila pasien belum pernah menggunakan insulin dan sebelumnya
mendapatkan insulin IV kontinyu, dihitung dosis total/24 jam terlebih secara bertahap 2-4
dahulu. Dapat diberikan dalam: unit setiap kali
A. Insulin prandial dengan dosis 80% dari total dibagi 3 ATAU
pemberian,
B. Kombinasi basal dan prandial dengan rasio 50% basal dan 50%
prandial dibagi 3 kali pemberian dari 80% dosis total /24 jam. berdasarkan hasil
kurva glukosa darah
- Bila pasien belum pernah menggunakan insulin dan sebelumnya tidak
harian
mendapatkan insulin IV kontinyu, mulai dengan insulin prandial 3 kali
5-10U
Tabel 9. Regimen terapi dosis insulin koreksional pada pasien rawat inap
Dosis Awal Penyesuaian Dosis
- Biasanya digunakan pada pasien pasca insulin
IV kontinyu yang gluksoa darahnya relative * Insulin basal dinaikkan bertahap 5-
terkendali tetapi terdapat peningkatan GDS 10 unit sampai GDP optimal
yang tinggi.
*Insulin short acting/very-short acting
- Insulin basal dimulai dari dosis 0,25 – 0,5 unit/ diberikan sesuai dengan pola glukosa
kg/ hari darah yang meningkat pada evaluasi
kurva glukosa darah harian, dinaikkan
- Insulin short/ very short acting dimulai dengan 5-10 unit tiap kali pemberian.
dosis 5-10 unit setiap kali pemberian
c. Terapi Kombinasi
Terapi kombinasi OHO harus menggunakan dua macam obat dengan
mekanisme kerja yang berbeda. Jika tidak terdapat kontraindikasi, ADA 2017
menyarankan metformin sebagai pilihan monoterapi noninsulin utama. Jika
terapi monoterapi noninsulin tidak mencapai target HbA1C setelah 3 bulan,
tambahkan agen kedua atau agonis reseptor GLP1 atau basal insulin.
Pemilihan agen kedua bersifat individualistik.
Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, maka dapat diberikan kombinasi
tiga obat antihiperglikemia oral.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang).
Insulin kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur,
sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum
tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali
glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin basal untuk kombinasi adalah 10 unit. Kemudian dilakukan evaluasi
dengan mengukur kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Dosis insulin
dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila kadar glukosa darah
puasa belum mencapai target. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal,
maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan
pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati.
DKA terjadi cepat dalam beberapa jam setelah kejadian pemicu. Berbeda dengan
HHS yang terjadi perlahan dan kadang tidak disadari pasien selama beberapa hari bahkan
minggu. Presentasi umum dari DKA dan HHS terjadi akibat hiperglikemia yaitu polyuria,
polifagia, polidipsi, penurunan berat badan, kelemahan dan tanda dehidrasi. Respirasi
Kussmaul, acetone breath, mual, muntah dan nyeri perut juga dapat terjadi pada DKA. Pada
pasien DM dengan kondisi ini, situs infeksi harus dicari. Status neurologis DKA dapat
bervariasi dari compos mentis hingga letargi. Perubahan status mental lebih jarang terjadi
pada DKA dibanding HHS.
Pada HHS, gejala neurologis berupa kesadaran berkabut yang dapat berujung koma.
Terkadang, pasien HHS dapat menunjukkan deficit neurologis fokal dan kejang. Penurunan
kesadaran ini sangat dipengaruhi oleh hiperosmolalitas dan pH.
Evaluasi laboratorium pada pasien dengan suspek DKA atau HHS harus meliputi glukosa
plasma, BUN, kreatinin serum, keton serum, elektrolit, osmolalitas, urinalisis, keton urin,
analisa gas darah dan uji darah lengkap.
Tabel 11. Kriteria Diagnosis DKA dan HHS
Tujuan terapi krisis hiperglikemi adalah memperbaiki volume sirkulasi dan perfusi
jaringan, reduksi berkala glukosa serum dan osmolaritas plasma, koreksi ketidakseimbangan
elektrolit serta identifikasi penyebab komorbid.
1. Terapi Cairan
Pada DKA dan HHS, terjadi kehilangan cairan 5-7 liter dan 7-9 liter secara
berurutan. Pilihan cairan utama adalah salin isotonis dalam laju 15-20 ml/ kgBB per
jam atau 1-1,5 liter pada 1 jam pertama. Lanjutkan dengan 0,45% saline kecepatan
250-500 mL/jam. Lanjutkan dengan D51/2NS kecepatan 150-250 mL/jam ketika
GDS mencapai 250 mg/ dL. NS 0,45% dapat diganti dengan ringer laktat untuk
mencegah hiperkloremia.2 Tujuan terapi ini adalah menggantikan separuh dari deficit
cairan dalam 12-24 jam. Pada pasien hipotensi, pemberian saline dilanjutkan hingga
tensi stabil. Pemberian cairan terlalu cepat dapat memicu terjadinya cerebral edema.
2. Terapi Insulin
Insulin hanya dapat dimulai ketika level potassium serum >3.3 mEq/L.
Gunakan insulin regular IV bolus (0.1 µ/kgBB) diikuti dengan infus kontinyu insulin
regular dalam dosis 0.1 u/kg/jam. Reduksi glukosa antara 50-75 mg/ jam. Jika reduksi
glukosa tidak tercapai dalam 1 jam pertama, tambahkan bolus insulin 0.1 u/kgBB.
Saat glukosa plasma mencapai 200 mg/dl pada DKA dan 300 mg/dl pada HHS, laju
insulin harus dikurangi menjadi 0.05 u/kg/jam disertai perubahan cairan menjadi
D51/2NS. Laju insulin harus diatur untuk mempertahankan glukosa darah pada 150-
200 mg/dl pada DKA dan 250-300 mg/dl pada HHS hingga gangguan kesadaran dan
status hyperosmolar selesai diperbaiki. Ketoasidosis juga dapat berakhir karena
insulin menekan lipolysis, meningkatkan penggunaan keton perifer, menekan
pembentukan keton hepatic dan memicu produksi bikarbonat. Insulin harus terus
dilanjutkan hingga asidosis tuntas dan pasien stabil secara metabolis.13
Di Indonesia, metode pemberian insulin intramuskular boleh dilakukan
terutama di pusat pelayanan medis yang tidak memungkinkan untuk memberikan drip
insulin, antara lain sulit untuk melakukan pemantauan dan tidak tersedianya peralatan
yang memadai. Metode ini diawali dengan pemberian insulin dosis awal (loading
dose) sebesar 20U dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian insulin intramuscular
dosis rendah (5U) secara berkala hingga glukosa darah terkendali.8,9
Penelitian terbaru menemukan bahwa insulin rapid-acting subkutan pada DKA
ringan hingga sedang dapat digunakan meskipun untuk mencapai kadar insulin
puncak dibutuhkan waktu yang lebih lama. Metode ini menyebabkan penurunan kadar
glukosa darah awal yang lebih lambat dan timbulnya efek hipoglikemia lambat (late
hypoglycemia) yang lebih sering dibandingkan dengan terapi insulin intramuskular.8,9
Pasien mendapat insulin rapid acting subkutan 0,2 u/kg diikuti dengan 0.1 u/kg tiap 1
jam atau dosis inisial 0.3 u/kg diikuti dengan 0.2 u/kg tiap 2 jam hingga glukosa
plasma mencapai <250 mg/dl. Setelah itu, dosis insulin dikurangi setengah dan
berikan tiap 1-2 jam hingga DKA teratasi.13
3. Terapi Potassium
Meskipun potassium total tubuh berkurang, namun hyperkalemia ringan
hingga sedang sering ditemukan pada pasien DKA, karena asidosis, proteolysis dan
insulinopenia. Terapi insulin, koreksi asidosis dan ekspansi volume mengurangi
konsentrasi potassium serum. Untuk mencegah hypokalemia, pemberian potassium
dimulai setelah level serum berada di bawah 5,3 mEq/L, pada pasien dengan urin
output adekuat (50 ml/jam). Menambahkan 20-30 mEq potassium ke dalam tiap liter
cairan cukup untuk mempertahankan konsentrasi potassium serum pada rentang
normal 4-5 mEq/L. Jika plasma K+ <3.5 mEq/ L berikan K+ 40-80 mEq/jam.2 Pada
pasien muntah hebat, hipokalemi rentan terjadi.
4. Terapi Bikarbonat
Pada pasien dengan pH 6,9-7.0, pemberian 50 mmol bikarbonat dalam 200 ml
akuades dengan KCl 10 mEq selama dua jam untuk mempertahankan pH>7.
Mempertimbangkan efek samping asidosis berat seperti kontraktilitas myokard
terganggu, pasien dewasa dengan pH <6.9 harus diberikan sodium bikarbonat 100
mmol dalam 400 ml akuades (cairan isotonis) dengan KCl 20 mEq yang diberikan
dalam laju 200 ml/jam selama dua jam hingga pH vena lebih dari 7. pH vena harus
dinilai tiap dua jam hingga pH mencapai 7; terapi dapat diulang tiap 2 jam bila
diperlukan. Untuk HHS, tidak direkomendasikan pemberian bikarbonat.
5. Terapi Fosfat
Jika serum fosfat <1 mg/dL, maka suplementasi fosfat harus dipertimbangkan
sementara tetap dilakukan monitor kalsium. Jika dibutuhkan, potassium fosfat 20-30
mEq/L dapat ditambahkan dalam cairan. Laju peningkatan fosfat tidak boleh melbihi
4.5 mmol/jam. Fosfat boleh diuji tiap 8-12 jam.14
Pemeriksaan darah dilakukan tiap 2-4 jam untuk penentuan elektrolit serum,
glukosa, BUN, kreatinin, osmolalitas dan pH vena.
DKA dianggap tuntas ketika glukosa plasma <200 mg/dL disertai dua dari
kriteria berikut ini: pH vena >7.3, serum bikarbonat ≥15 mEq/L dan anion gap ≤12
mEq/ L. HHS dianggap tuntas ketika osmolalitas <315 mOsm/kg dengan perbaikan
status mental.14
Bila GDS stabil 200-300 mg/dL selama 12 jam dan pasien dapat makan,
pemberian insulin IV kontinyu 1-2 U/jam disertai dengan insulin koreksional dapat
dimulai. Pasien dapat memulai regimen insulin dosis multiple dengan insulin long
acting atau insulin short/ rapid acting yang diberikan sebelum makan.2,13 Regimen
basal-bolus ini dianggap paling baik untuk kontrol glikemik.14 Infus insulin intravena
harus dilanjutkan selama 2 jam setelah pemberian insulin subkutan untuk
mempertahankan level insulin plasma adekuat. Pemutusan insulin secara tiba-tiba
dapat menyebabkan hiperglikemi atau terjadinya kembali ketoasidosis.
Jika pasien belum bisa makan, lanjutkan infus insulin intravena dan terapi
cairan. Pasien dengan DM perlu diberikan insulin sesuai yang didapatkannya sebelum
krisis hiperglikemi. Pada pasien dengan diabetes onset baru, regimen insulin dimulai
dengan dosis 0.5 – 0.8 u/kg/hari, termasuk insulin regular dan basal hingga dosis
optimal tercapai. Insulin IV kontinyu dihentikan setelah hasil keton darah negatif.8
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa
adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya Whipple’s triad:
I. Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
II. Kadar glukosa darah yang rendah
III. Gejala berkurang dengan pengobatan.
Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, berkeringat, gelisah, Pucat, takikardia,
paresthesia, palpitasi, widened pulse-
Tremulousness pressure
Neuroglikopenik Lemah, lesu, pusing, confusion, Cortical-blindness,
perubahan sikap, gangguan hipotermia,
kognitif, pandangan kabur, diplopia kejang, koma
1. Makroangiopati4
Pembuluh darah jantung: penyakit jantung coroner
Empagliflozin atau liraglutide terbukti mengurangi risiko terjadinya
penyakit kardiovaskular pada penyandang DM.6
Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada
penyandang DM. Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah
nyeri pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat (claudicatio
intermittent), namun sering juga tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik kaki
merupakan kelainan yang dapat ditemukan pada penderita.
Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik
2. Mikroangiopati
Retinopati diabetic
Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
Nefropati diabetic
Tanpa tatalaksana yang tepat, 20-40% pasien DMT2 akan mengalami
nefropati diabetic yang berujung pada end stage renal disease. Sebuah
penelitian di Jepang menunjukkan bahwa Finerenon (antagonis reseptor
mineralokortikoid nonsteroid) sebanyak 1,25-20 mg yang diberikan
bersamaan dengan inhibitor RAS secara signifikan mengurangi rasio
albumin terhadap kreatinin urin (UACR) pada hari ke 90 pemberian pada
penyandang DMT2. Finerenon mengurangi albuminaria tanpa memberikan
efek samping pada level potassium serum (hyperkalemia) atau fungsi renal
pada orang Jepang dengan DMT2 dan nefropati diabetes.16
Untuk penderita penyakit ginjal diabetik, menurunkan asupan protein
sampai di bawah 0.8 gram/kgBB/hari tidak direkomendasikan karena tidak
memperbaiki risiko kardiovaskuler dan menurunkan GFR ginjal.
Neuropati
a. Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan faktor
penting yang berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki yang
meningkatkan risiko amputasi.
b. Gejala yang sering dirasakan berupa kaki terasa terbakar dan bergetar
sendiri, dan terasa lebih sakit di malam hari.
c. Setelah diagnosis DMT2 ditegakkan, pada setiap pasien perlu
dilakukan skrinning untuk mendeteksi adanya polineuropati distal yang
simetris dengan melakukan pemeriksaan neurologi sederhana
(menggunakan monofilament 10 gram). Pemeriksaan ini kemudian
diulang paling sedikit setiap tahun.
d. Pada keadaan polineuropati distal perlu dilakukan perawatan kaki yang
memadai untuk menurunkan risiko terjadinya ulkus dan amputasi.
e. Pemberian terapi antidepresan trisiklik, gabapentin atau pregabalin
dapat mengurangi rasa sakit.
f. Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.
g. Untuk pelaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama
dengan bidang/disiplin ilmu lain.