Wakaf 3
Wakaf 3
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut istilah syara’,
ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk
kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya
tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya
disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan
hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap
melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa
Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda sehingga
menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu
berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah
untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu,
tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan.
Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas
kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan
manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan
definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang
yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli
warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual ayau dihibahkan. Definisi ini
berbeda dengan definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusuf dan Muhammad,
sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri
Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat
dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat
tersebut walaupun sesaat
Pengertian wakaf menurut peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah
perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta
kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-
lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran agama Islam.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu
diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan
bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan
adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan,
mislanya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum,
misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan
sebagainya.
.
http://syukkrie.blogspot.co.id/2011/06/wakaf.html
b. Mazhab maliki
Mazhab Maliki berpendapat wakaf adalah menahan benda milik pewakaf (dari
penggunaan secara kepemilikan –termasuk upah),tetapi membolehkan pemanfaatan
hasilnya untuk tujuan kebaikan,yaitu pemberian manfaat benda secara wajar untuk
suatu masa tertentu sesuai lafal akad wakaf dan tidak boleh disyaratkan sebagai
wakaf lafal(selamanya).
Menganggap wakaf itu sebagai sedekah yang mengikat sehingga harta yang
diwakafkan harus memberi manfaat baik pada saat di serahkan juga di masa yang
akan datang.Pewakaf tidak dapat melarang penyaluran harta tersebut.Apabila
pewakaf melarangnya,maka hakim berhak memaksanya agar memberikannya
sesuai dengan peruntukan wakaf yang telah diikrarkan/dilafalkan. Kerana itu
Mzahab Syafi’I mendefinisikan wakaf dengan “tidak malakukan suatu tindakan atas
suatu benda yang bestatus sebagai milik Allah SWT,dengan menyedekahkan
manfaatnya kepada suatu kebijakan(sosial).
Tabel
Perbedaan Wakaf dengan Shadaqah/Hibah
Wakaf Infak/Shadaqah/HIbah
Menyerahkan kepemilikan suatu barang Menyerahkan kepemilikan suatu barang
kepada oaring lain kepada pihak lain
Hak milik atas barang di kembalikan kepada Hak milik atas barang diberikan kepada
Allah penerima shadaqah/hibah
Objek wakaf tidak boleh diberikan atau Objek shadaqah/hibah boleh diberikan
dijual kepada pihak lain atau dijual kepada pihak lain
Manfaat barang biasanya dinikmati untuk Manfaat barang dinikmati oleh penerima
kepentingan sosial shadaqah/hibah
Objek wakaf biasa nya kekal zatnya Objek shadaqah/hibah tidak harus kekal
zatnya
Pengololaan objek wakaf diserahkan Pengololaan objek shadaqah/hibah
kepada administrator yang disebut diserahkan kepada si penerima
nadzir/mutuwalli
SEJARAH WAKAF
Masa Rasulullah dan Para Sahabat
Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam.Orang Muhajirin mengatakan
adalah wakaf Umar,sedangkan orang-orang Anshar mengatakan adalah wakaf
Rasulullah SAW”(Asy-Syaukani:129).
JENIS WAKAF
Berdasarkan Peruntukan
1. Wakaf ahli(Wakaf dzurri).
Yaitu Wakaf yang ditunjukkan kepada orang-orang tertentu, seseorang atau lebih, keluarga si
wakif atau bukan. Wakaf seperti ini juga disebut Wakaf Dzurri. Apabila ada seseorang yang
mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya , lalu kepada cucunya , wakafnya sah dan yang
berhak yang mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.
Wakaf jenis ini (wakaf ahli/dzurri) kadang-kadang juga disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf
yang diperuntukan bagi kepentingan dan jaminan social dalam lingkungan keluarga (family),
lingkungan kerabat sendiri. Dalam satu segi, wakaf (dzurri) ini baik sekali , karena si wakif akan
mendapat dua kebaikan dari amal ibadah wakafnya , juga kebaikan dari silaturahmi terhadap
keluarga yang diberikan harta wakaf. Akan tetapi, pada sisi lain wakaf ahli ini sering
menimbulkan masalah , seperti: Bagaimana kalau anak cucu yang sudah tidak ada lagi (punah)?
Siapa yang berhak mengambil manfaat benda (harta wakaf) itu? Sebaliknya, bagaimana jika
anak cucu siwakif yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang cara meratakan pembagian hasil
harta wakaf?
Pada perkembangan selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang dapat memberikan
manfaat bagi kesejahteraan umum, karena sering menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan
dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi harta wakaf. Di beberapa negara tertentu
seperti : Mesir, Turki, Maroko dan Aljazair, wakaf untuk keluarga (ahli) telah dihapuskan, karena
pertimbangan dari berbagai segi, tanah-tanah wakaf dalam bentuk ini dinilai tidak produktif.
Untuk itu, dalam pandangan KH.Ahmad Azhar Basyir,MA. Bahwa keberadaan jenis wakaf ahli ini
sudah selayaknya ditinjau kembali untuk dihapuskan.
Berdasarkan Waktu
1.muabbad, yaitu wakaf yang di berikan untuk selamanya
2.mu’aqqot, yaitu wakaf yang diberikan dalam jangka waktu tertentu
DASAR SYARIAH
Hukum Wakaf
1. Al-Qur’an
Kendatipun wakaf tidak dengan tegas disebutkan di dalam al-Qur’an, namun
beberapa ayat al-Qur’an yang memberi petunjuk dan dapat dijadikan rujukan
sebagai sumber hukum perwakafan. Ayat-ayat tersebut adalah:
1. Al-Hajj [22]: 77
yg•ƒr’¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãèŸ2ö‘$# (#r߉àfó™$#ur (#r߉ç6ôã$#ur $
öNä3/u‘ (#qè=yèøù$#ur uöy‚ø9$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ) ÇÐÐÈ
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah
Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”.
(QS. Al-Hajj(22):77).
Kata khair (kebaikan) yang secara umum dimaknai salah satunya dalam bentuk
memberi seperti wakaf, dan berlaku untuk bentuk-
bentuk charity atau endowment yang lain yang bersifat filantropi, tentunya dalam
ajaran Islam. (Isfandiar, 2008:55).
1. Ali-Imran [3]: 92
s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq™6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `
ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ ÇÒËÈ`
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS: Ali-Imran(3):92).
Berbeda dengan kata khair (kebaikan), kata birr (kebaikan) terkait erat dengan
kata infaq (memberi). Kata birr ini terletak antara huruf lan (mengandung makna
tidak untuk selamanya) dan hatta (hingga atau sampai yang berhubungan dengan
tindakan). Sehingga ada 3 kata kunci pada ayat ini sehingga sering kali dijadikan
dalil utama dalam wakaf yang bersumber dari al-Qur’an, (1) kebaikan, (2)
tindakan infak, dan (3) harta yang dimiliki adalah paling dicintai. Psikoanalisis
mengatakan tidak mungkin orang memberikan harta yang paling dicintai kepada
orang lain demi kebaikan. Salah satu analisis itulah sehingga kebaikan dalam
konteks kata birr sulit untuk dilakukan. Oleh para penafsir model infak seperti ini,
digolongkan sebagai wakaf, bukan bentuk pemberian yang lain. Surat ali-Imran ayat
92 ini berisi anjuran bagi umat muslim untuk berinfaq atau shadaqah. Imam Ahmad
meriwayatkan dengan isnadnya darti Abu Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah. Dia
mendengar Anas bin Malik berkata, ”Abu Thalhah adalah orang Anshar yang paling
banyak hartanya, dan yang paling dicintainya adalah kebun Bairuha.” maka ketika
turun ayat ini, Abu Thalhah segera menyedekahkan kebun Bairuha’ yang dimilikinya
tersebut. (Isfandiar, 2008: 55).
1. Al-Baqarah [2]: 261-262
ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムóOßgs9ºuqøBr& ’Îû È@‹Î6y™ «!$# È@sVyJx.
p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y™ Ÿ@Î/$uZy™ ’Îû Èe@ä. 7’s#ç7/Yß™ èps)$ÏiB 7p¬6ym 3 >
ª!$#ur ß#Ï軟Òム`yJÏ9 âä!$t±o„ 3 ª!$#ur ììÅ™ºur íOŠÎ=tæ ÇËÏÊÈ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi
siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui”.
(QS: Al Baqarah (2): 261)
Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan
jihad, pembangunan perguruan Tinggi, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan
lain-lain.
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムöNßgs9ºuqøBr& ’Îû È@‹Î6y™ «!$# §NèO Ÿw tbqãèÎ7÷Gãƒ
tB (#qà)xÿRr& $xYtB Iwur “]Œr& öNçl°; öNèdãô_r& y‰YÏã öNÎgÎn/u‘ Ÿwur ì$öqyz $!
óOÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRt“óstƒ ÇËÏËÈ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Kemudian mereka tidak
mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya
dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di
sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati”.
(QS: Al Baqarah (2): 262)
Dalam surat al-Baqarah ayat 261-262 diatas berisi tentang pesan kepada yang
berwaqaf tidak merasa berat membantu, karena apa yang dinafkahkan akan tumbuh
berkembang dengan berlipat ganda. Dengan perumpamaan yang telah disebutkan
pada surat al-Baqarah ayat 261 yang sangat mengagumkan itu, sebagaimana
dipahami dari kata matsal, ayat tersebut mendorong manusia untuk berinfak. Hal-hal
inilah yang kemudian menjadi dasar bahwa ayat-ayat di atas menjadi dalil dalam
disyariatkannya ibadah wakaf yang merupakan salah satu bentuk dari sedekah atau
infak. (Huda, 2009:22).
1. Hadits
Di samping ayat-ayat Al-Qur’an di atas, terdapat pula hadist yang dijadikan dasar
perwakafan:
“Dari Abu Hurairah ra.., sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Apabila anak
Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara:
shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang
tuanya”. (HR. Muslim)
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa Umar bin al-Khathab r.a. memperoleh
tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi Saw untuk meminta petunjuk
mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “wahaiRasulullah Saw saya memperoleh tanah
di Khaibar; yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi
tanah tersebut; apa perintah engkau (kepadaku) mengenainya? ”Rasulullah Saw
menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya”.
Ibnu Umar berkata ”Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut,
(dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan dan
tidak diwariskan. Ia menyedekahkan hasilnya kepada fuqara’, kerabat, riqab (hamba
sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang
yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma’ruf (wajar) dan
memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.”
Rawi berkata: “saya menceritakan hadist tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu ia berkata
‘ghaira mutaatststilin malan’ (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik)”.
(H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i).
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, ia berkata Umar ra. berkata kepada
Rasulullah Saw, “saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar,
belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah
itu, saya bermaksud menyedekahkannya. ”Rasulullah Saw berkata:
”tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah.” (HR. al-Nasa’i).
1. Ulama
Selain ulama madzhab Hanafi, sebagian ulama madzhab Syafi’i juga membolehkan
wakaf tunai.
“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang dibolehkannya wakaf dinar dan
dirham (uang).”
Komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga membolehkan wakaf tunai. Fatwa
komisi fatwa MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Argumentasi didasarkan
kepada hadist Ibn Umar (seperti yang disebutkan di atas). Pada saat itu, komisi
fatwa MUI juga merumuskan definisi baru tentang wakaf, yaitu:
“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya,
dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual,
memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang
mubah (tidak haram) yang ada”
http://fullindo.blogspot.co.id/2015/04/makalah-wakaf-
ekonomi-syariah.html
Rukun dan Ketentuan Syariah
Rukun wakaf ada 4 (empat) (Depag, 2006), yaitu:
1) Pelaku terdiri atas orang yang menakafkan harta (wakil/pewakaf). Namun, ada pihak yang
memiliki peranan penting walaupun di luar rukun wakaf yaitu pihak yang diberi
wakaf/diamanahkan untuk mengelola wakaf yang disebut nazhir
2) Barang atau harta yang diwakafkan (mauquf bih)
3) Peruntukan wakaf (mauquf’alaih)
4) Shighat (pernyataan atau ikrar sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta
bendanya termasuk penetapan jangka waktu dan peruntukan)
Pewakaf
Pewakaf disyaratkan memiliki keccakapan hukum atau kamalul ahliyah (legally competent)
dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak di sini meliputi empat kriteria, yaitu:
a. Merdeka, wakaf yang dilakukan oleh seorang budak tidak sah karena tidak memiliki hak
pribadi, sedankan wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik
itu kepada orang lain.
b. Berakal sehat, wakaf yang dilakukan oleh seorang gila, lemah mental atau berubah akal
karena masalah usia, sakit atau kecelakaan tidak sah hukumnya, sebab ia tidak mampu dan
tida cakap melakukan akad serta tindakan lainnya.
c. Dewasa (baligh), wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa hukumnya tidak sah
karena ia dipandang tidakk cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk
menggugurkan hak miliknya.
d. Tidak berada di bawah pengampuan. Tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta
supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya
agar tidak menjadi beban orang lain. Orang yang berada di bawah pengampuan dipandang
tidak cakap untuk berbuat kebaikan, maka wakaf yang dilakukannya hukumannya tidak sah.
Wakaf juga harus didasarkan kemauan sendiri, bukan atas tekanan atau paksaan dari pihak
mana pun.
Ada kalanya seseorang mewakafkan hartanya, tetapi wakaf tersebut tidak langsung
terlaksana, dan pelaksanaannya dikaitkan dengan keberadaan orang lain. Ada beberapa
hukum wakaf yang berkaitan degan masalah ini:
1) Orang yang mempunyai utang, maka wakafnya ada 3 macam:
a. Jika ia berada di bawah pengampuan karena utang dan mewakafkan seluruh atau sebagian
hartanya, sedang utangnya meliputi seluruh harta yang dimiliki, hukum wakafnya sah. Tetapi
pelaksanaannya tergantung pada kerelaan para kreditormya
b. Jika ia berada di bawah pengampuan karena utang dan mewakafkan seluruh atau sebagian
hartanya ketika sedang menderita sakit parah, maka wakafnya sah. Akan tetapi
pelaksanaannya bergantung pada kerelaan para kreditor
c. Jika dia tidak di bawah pengampuan karena utang dan mewakafkan seluruh atau sebgaian
hartanya ketika dalam keadaan sehat, maka wakafnya sah dan dapat dilaksanakan, baik
utangnya meliputi seluruh harta yang dimiliki atau hanya sebagian saja
2) Apabila pewakaf mewakafkan hartanya ketika sedang sakit parah, dan ketika mewakafkan
harta tersebut dia masih cakap untuk melakukan perbuatan baik (tabarru’), maka wakafnya
sah dan dapat dilaksanakan selama dia masih hidup. Hal ini karena penyakitnya tidak bisa
dipastikan sebagai penyakit kematian. Jika kemudian pewakaf meninggal, maka hukum
wakafnya sebagai berikut:
a. Jika dia meninggal sebagai debitor, maka hukum wakafnya seperti yang telah diuraikan
dalam butir (1) di atas
b. Jika dia meninggal tidak sebagai debitor, maka hukum wakaf yang terjadi ketika dia sedang
sakit keras seperti wasiat. Yaitu jika yang diberi wakaf bukan ahli warisnya dan harta yang
diwakafkan tidak lebih dari 1/3 hartanya, maka wakaf terlaksana hanya sebatas 1/3 hartanya
saja, jika harta yang diwakafkan lebih dari 1/3, maka kelebihan dari 1/3 tersebut bergantung
pada kerelaan ahli waris sebagai pemilik harta tersebut.
Syarat seorang Nazhir atau pengelola wakaf:
1) Muslim
2) Berakal
3) Dewasa
4) Adil
5) Cakap hukum
Mauquf Bih (Harta yang Diwakafkan)
Dalam UU No.41/2004 dinyatakan tidak ada pembatasan dalam jumlah harta yang
diwakafkan.Namun terkait dengan hukum wasiat, maka sangat relevan bahwa pembatasan
wakaf adalah 1/3 dari jumlah harta yang dimiliki.Tujuannya adalah untuk kesejahteraan
anggota keluarga pewakaf.Sebagaiman hadist nabi Muhammad SAW.
Oleh karena itu, seseorang diharamkan memberikan wakaf yang merugikan ahli
waris.Barang yang diwakafkan harus memenuhi kriteria harta benda yang bernilai
(mutaqowwam), dapat diketahui (ma’lum) dan milik sempurna (tidak dalam keadaan khiyar).
Syarat sahnya harta wakaf, adalah :
1) Harta yang diwakafkan harus merupakan harta yang bernilai (mal mutaqowwam).
Mutaqowwam adalah segala sesuatu yang dapat disimpan dan halal digunakan dalam
keadaan normal (bukan dalam keadaan darurat) dan memiliki nilai (harga). Contoh barang
yang tidak mutaqowwam yaitu buku-buku anti Islam, peternakan babi, dan lain sebagainya.
2) Harta yang akan diwakafkan harus jelas sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan.
3) Milik pewakaf secara penuh. Contoh : X mewasiatkan pemberian rumah kepada Y.
Kemudian Y mewakafkannya kepada Z, sementara X masih hidup. Wakaf ini tidak syah
karena syarat kepemilikan pada wasiat ialah setelah yang berwasiat wafat. Contoh lain
mewakafkan barang gadai, barang curian, dsb.
4) Harta tersebut bukan milik bersama (musya’) dan terpisah. Para ulama sepakat bahwa harta
wakaf tidak boleh berupa harta yang bercampur, khususnya untuk masjid dan kuburan karena
wakaf tidak terlaksana kecuali harta itu terpisah dan bebas (independen). Contoh : A
mewakafkan sebagian dari harta bersama untuk dijadikan masjid atau pemakama n maka ini
tidak sah dan tidak menimbulkan akibat hukum, kecuali apabila bagian yang diwakafkan
tersebut dipisahkan dan ditetapkan batas-batasnya.
5) Syarat-syarat yang ditetapkan pewakaf terkait harta wakaf. Syarat yang ditetapkan pewakaf
dapat diterima asalkan tidak melanggar prinsip dan hukum syariah/wakaf ataupun
menghambat pemanfaatan barang yang diwakafkan.
Syarat Mauquf’alaih
Yang dimaksud mauquf’alaih adalah tujuan/peruntukkan wakaf.Wakaf harus
dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan syariat Islam. Ada perbedaan
pendapat dari para ahli fikih terkait dengan syarat peruntukkan wakaf yaitu :
1) Mazhab Hanafi, menyaratkan agar peruntukkan wakaf ditujukan untuk ibadah dan syiar
Islam menurut pandangan Islam dan menurut keyakinan pewakaf.
2) Mazhab Maliki, mensyaratkan agar peruntukkan wakaf untuk ibadat menurut pandangan
pewakaf.
3) Mazhab Syafi’i dan Hambali, mensyaratkan agar peruntukkan wakaf adalah ibadat menurut
pandangan Islam saja, tanpa memandang keyakinan pewakaf.
PENGELOLA WAKAF
Pengelola wakaf (Nazhir)adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari
pewakaf untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.Pengelola wakaf
mempunyai kedudukan yang penting dalam pewakafan yang bertugas untuk memelihara dan
mengelola harta wakaf.Pengelola wakaf dapat dijalankan oleh perseorangan maupun lembaga
(baik berbadan hukum atau organisasi kemasyarakatan).Sedemikian pentingnya pengelola
wakaf dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf sangat bergantung
padanya.Meskipun demikian tidak berarti pengelola wakaf mempunyai kekuasaan mutlak
terhadap harta yang diamanahkan / dititipkan kepadanya.
Hal-hal yang wajib dilakukan oleh pengelola wakaf (Alkabisi, 2004), yaitu :
1) Melakukan pengelolaan dan pemeliharaan barang yang diwakafkan, baik pewakaf
mensyaratkan secara tertulis atau tidak (pendapat jumhur ahli fikih).
Sumber dana wakaf harus terus dikelola, baik diperoleh dari dana khusus yang disiapkan
pewakaf untuk pembangunan, ataupun harta wakaf yang siap dimanfaatkan secara langsung.
a) Adanya maslahat yang mendorong pengelola wakaf untuk melanggar syarat tersebut.
b) Perkara itu diajukan ke hadapan hakim, agar pengelola wakaf diberikan izin untuk
melanggar syarat yang telah dibuat oleh pewakaf, karena hakim memiliki hak perwalian
umum.
4) Melunasi hutang wakaf dengan menggunakan pendapatan atau hasil produksi harta wakaf
tersebut.
5) Menunaikan hak-hak mustahik dari harta wakaf, tanpa menundanya, kecuali terjadi sesuatu
yang mengakibatkan pembagian tersebut tertunda. Misalnya, kebutuhan mendesak guna
merenovasi atau memperbaiki harta wakaf yang menuntut wakaf dialokasikan untuk
kepentingan tersebut, atau melunasi utang terkait dengan harta wakaf. Hal ini harus
didahulukan ketimbang menyerahkannya kepada para mustahik.
4) Mengubah kondisi harta wakaf menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi para fakir miskin dan
mustahik
Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa dalam pengubahan tersebut dia harus menjaga dan
memperhatikan kondisi harta wakaf dan kebutuhan penerima wakaf, sehingga dapat
dipadukan antara pelaksanaan syarat dari pewakaf dan tujuan dari wakaf.
1) Tidak melakukan dominasi atas harta wakaf, karena dua pihak yang bertransaksi tidak
bolehterkumpul pada satu orang ( misalnya, pengelola wakaf merangkap sebagai penyewa
harta wakaf ). Pengelola wakaf juga tidak boleh menyewakan harta wakaf kepada orang yang
tidak diterima atau diragukan kesaksiannya, baik orang tua, anak atau istrinya, untuk
mencegah timbulnya fitnah dan untuk berhati-hati dalam melakukan tindakan.
2) Tidak boleh berutang atas nama wakaf, baik melalui pinjaman ataupun dengan membeli
keperluan yang dibutuhkan untuk perawatan harta wakaf secara kredit. Di mana ia berjanji
untuk membayar harganya setelah adanya keuntungan yang dihasilkan dari harta wakaf. Hal
ini untuk menghindari sita atas harta wakaf atau hasil yang didapatkan untuk dapat melunasi
hutangnya, sehingga harta wakaf menjadi hilang dan para mustahik tidak dapat mendapatkan
keuntungan darinya.
3) Tidak boleh menggadaikan harta wakaf dengan membebankan biaya tebusan kepada
kekayaan wakaf, atau dirinya, atau kepada salah seorang mustahik. Hal tersebut dapat
mengakibatkan hilangnya harta wakaf, dan dapat menghilangkan manfaat dari harta wakaf itu
sendiri.
4) Tidak boleh mengizinkan seseorang menggunakan harta wakaf tanpa bayaran, kecuali
dengan alasan hukum. Apabila pengelola wakaf menempatkan seseorang di rumah wakaf
tanpa bayaran, maka orang yang emnempati rumah tersebut haus membayar ongkos sewa
dengan harga yang pantas, baik rumah dalam kondisi siap pakai maupun tidak.
5) Tidak boleh meminjamkan harta wakaf kepada pihak yang tidak termasuk dalam golongan
peruntukkan wakaf. Sebab, tindakannya itu termasuk dalam pemakaian harta secara gratis
yang menyebabkan tidak adanya keuntungan bagi wakaf dan mengabaikan hak-hak para
mustahik. Orang yang telah meminjam harat wakaf dan mengambil manfaat darinya harus
membayar ongkos sewa dengan harga yang pantas.
Pengelola wakaf tidak wajib memberikan ganti rugi apabila harta atau sumber wakaf
rusak jika penyebabnya adalah kekuatan besar yang sulit dihindari atau bencana yang tidak
bisa dicegah, sementara dia tidak lalai dalam menjaga harta wakaf tersebut. Pengelola wakaf
diperbolehkan memakan sebagian dari hasil wakaf itu, sesuai dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar :
“Dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya
dengan cara yang ma’ruf (besaran yang wajar).”
AKUNTANSI LEMBAGA WAKAF
Secara umum, lembaga wakaf dibentuk atau didirikan untuk mengelola sebuah atau
sejumlah kekayaan wakaf, agar manfaat maksimalnya dapat dicapai untuk kesejahteraan
umat umumnya, dan menolong mereka yang kurang mampu khususnya.Hingga saat ini
belum ada PSAK yang mengatur tentang akuntansi lembaga wakaf. Namun merujuk pada
akuntansi konvensional serta praktik dari lembaga wakaf yang telah beroperasi di Indonesia
saat ini, maka perlakuan akuntansi untuk zakat, infak/sedekah dengan wakaf tidak akan
berbeda jauh. Hal ini disebabkan akuntansi untuk zakat, infak/sedekah harus dilakukan
pencatatannya secara terpisah atas setiap dana yang diterima.
PERMASALAHAN DALAM PRAKTIK PERWAKAFAN
1) Masalah pemahaman masyarakat tentang hukum wakaf
Pada umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf dengan baik dan benar,
baik dari segi rukun dan syarat wakaf, maupun maksud disyariatkan wakaf.
Selain itu, masih cukup banyak masyarakat yang memahami bahwa benda yang
diwakafkan hanyalah benda tidak bergerak, seperti tanah, bangunan dan benda-benda tidak
bergerak lainnya. Dengan demikian, peruntukkannya pun menjadi sangat terbatas, seperti
masjid , mushalla, rumah yatim piatu, madrasah, dan sejenisnya. Sehingga perlu
disosialisasikan kepada masyarakat perlu dikembangkannya wakaf benda bergerak, selain
benda tiak bergerak.
Pewakaf pun kurang mempertimbangkan kemampuan nadzir untuk mengelola harta
wakaf sehingga tujuan wakaf untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan umat
tidak optimal. Sementara di masa lalu cukup banyak wakaf berupa kebun yang produktif,
yang hasilnya diperuntukkan bagi mereka yang memerlukan.Untuk itu, kompetensi pengelola
wakaf harus diperhatikan agar sasaran wakaf dapat tercapai optimal.
2) Pengelolaan dan manajemen wakaf
Pengelolaan dan manajemen wakaf yang lemah dapat mengakibatkan pengelolaan
harta wakaf tidak optimal, harta wakaf terlantar, bahkan harta wakaf dapat hilang.Untuk
mengatasi masalah ini, paradigma baru dalam pengelolaan wakaf harus diterapkan.Wakaf
harus dikelola secara produktif dengan menggunakan manajemen modern.Untuk mengelola
wakaf secara produktif, ada beberapa yang perlu dilakukan.Selain perumusan konsepsi fikih
wakaf dan peraturan perundang-undangan, pengelola wakaf harus dibina dan dilatih menjadi
pengelola wakaf profesional untuk dapat mengembangkan harta yang dikelolanya, apalagi
jika harta itu berupa uang.
Di samping itu, untuk mengembangkan wakaf secara nasional, diperlukan badan
khusus untuk melakukan pembinaan pengelola wakaf, antara lain Badan Wakaf Mesir, Badan
Wakaf Sudan, Badan Wakaf Indonesia, dan lain-lain.
Pengelola wakaf adalah salah satu unsur penting dalam perwakafan.Berfungsi atau
tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan pengelola wakaf. Apabila pengelola
wakaf kurang cakap dalam mengelola harta wakaf, dapat mengakibatkan potensi harta wakaf
sebagai sarana untuk meningkatkan perekonomian masyarakat muslim tidak optimal. Bahkan
dalam bebagai kasus ada pengelola wakaf yang kurang memegang amanah, seperti
melakukan penyimpangan dalam pengelolaan, kurang melindungi harta wakaf, dan kecurang-
kecurangan lain sehingga memungkinkan harta tersbut berpindah tangan. Untuk mengatasi
masalah ini, hendaknya calon pewakaf sebelum berwakaf memperhatikan lebih dahulu apa
yanfg diperlukan masyarakat, dan dalam memilih pengelola hendaknya dipertimbangkan
kompetensinya.