Anda di halaman 1dari 26

EPISTAKSIS

Dokter Pembimbing :

dr. Fikri Mirza, Sp. THT-KL

Oleh :

Indah Uswatun Hasanah

2013730053

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH

2018
BAB I
PENDAHULUAN

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih


dari biasanya. Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting
terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.

Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian
depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat
anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian
belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup
besar antara lain dari arteri sphenopalatina.

Kejadian epistaksis pada populasi umum adalah sulit untuk memastikan


karena sebagian besar episode resolvewith pengobatan konservatif diri dan tidak
dilaporkan. Pasien yang mencari pengobatan medis untuk epistaksis biasanya terbagi
dalam dua kategori umum yaitu mereka yang memiliki beberapa episode kecil dan
mereka yang memiliki episode berkepanjangan tunggal parah yang tidak akan
berhenti. Para mantan pasien biasanya adalah anak atau orang dewasa muda yang
memiliki perdarahan septal anterior. Pasien terakhir cenderung menjadi dewasa yang
lebih tua dengan asal posterior perdarahan dan masalah kesehatan.

Epistaksis terjadi lebih sering pada pria dibandingkan dengan pasien


perempuan (58% versus 42%). Juselius juga mencatat kejadian yang lebih tinggi
epistaksis pada pasien yang lebih tua, karena 71% dari pasiennya lebih besar dari 50
tahun. Juga, epistaksis lebih sering terjadi di bulan-bulan dingin tahun, menunjukkan
link dengan kelembaban ambien menurun dan insiden yang lebih tinggi dari infeksi
saluran pernapasan atas. Untuk menentukan etiologi dari epistaksis, hal ini berguna
untuk memisahkan penyebab lokal dan sistemik.

Epistaksis adalah suatu perubahan dari hemostasis normal dalam hidung.


Hemostasis dikompromikan oleh kelainan mukosa, patologi kapal, atau gangguan
koagulasi. Pemahaman kami tentang patofisiologi dan pengobatan epistaksis telah
meningkat secara drastis selama abad terakhir. Kebanyakan episode epistaksis hanya
menjadi gangguan kepada pasien dan dirawat di rumah. Hanya sebagian kecil pasien
yang dilihat oleh tenaga medis. Kebanyakan pasien mencari bantuan medis yang
mudah diobati dan dilepaskan. Sebuah subset yang lebih kecil pasien dengan
epistaksis akan memiliki kambuh terus-menerus, dan lain-lain dapat hadir dengan
pendarahan berpotensi mengancam nyawa atau komplikasi. Pasien-pasien ini
mungkin memerlukan evaluasi segera, pengakuan etiologi, dan memulai pengobatan
untuk menghindari hipotensi, hipoksia, anemia, aspirasi, atau kematian. Epistaksis
berulang dapat mewakili okultisme kondisi medis atau bedah. Bab ini menyajikan
topik epistaksis dari sudut pandang pragmatis. Evaluasi pasien dengan epistaksis dan
pertimbangan diagnosa diferensial yang tepat dan etiologi yang mendasari okultisme
dibahas.

Metode tradisional dan inovatif teknik yang lebih baru ditinjau dan dibandingkan
untuk efektivitas, risiko, kenyamanan pasien, dan biaya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

EPIKTASIS
Definisi
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang
hampir 90% dapat berhenti sendiri. Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang
berasal dari dalam hidung. Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan
puncaknya terjadi pada anak-anak dan orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada
pelayanan kesehatan primer dan kecil kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit
atau ke spesialis THT. Walaupun kebanyakan kasus yang terjadi ringan dan bersifat
self-limiting, ada beberapa kasus yang berat dan mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang serius. Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya,
di samping perlu juga menemukan dan mengobati penyebab yang mendasarinya.

Etiologi
Penyebab epistaksis dapat dibagi menjadi penyebab lokal (misalnya, trauma,
iritasi mukosa, abnormalitas septum, penyakit inflamasi, tumor), penyebab sistemik
(misalnya, kelainan darah, arteriosklerosis, herediter hemorrhagic telangiectasia), dan
penyebab idiopatik. Trauma lokal adalah penyebab paling umum, diikuti oleh trauma
wajah, benda asing, hidung atau sinus infeksi, dan inhalasi berkepanjangan udara
kering. Anak-anak biasanya dengan epistaksis karena iritasi lokal atau infeksi saluran
pernapasan atas.
Dalam sebuah penelitian retrospektif kohort 2405 pasien dengan epistaksis
(3666 jumlah episode), Purkey et al menggunakan analisis multivariat untuk
mengidentifikasi serangkaian faktor risiko epistaksis. Kemungkinan epistaksis
ditemukan meningkat pada pasien dengan rhinitis alergi, sinusitis kronis, hipertensi,
hematologi keganasan, koagulopati, atau, seperti yang disebutkan, herediter
hemorrhagic telangiectasia. Para peneliti juga menemukan peningkatan epistaksis
berkaitan dengan usia yang lebih tua dan cuaca dingin.
 Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai
akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu
lintas. Trauma yang disebabkan dari mengorek hidung berulang dapat
menyebabkan ulserasi mukosa septum anterior dan perdarahan. Keadaan ini
sering pada anak-anak. Benda asing hidung yang menyebabkan trauma lokal
(misalnya, nasogastric dan tabung nasotrakeal) sebagai respon untuk kasus yang
jarang terjadi epistaksis.
Trauma wajah dan hidung umumnya menyebabkan epistaksis. Jika
perdarahan adalah dari laserasi mukosa kecil, biasanya terbatas. Namun, hasil
trauma wajah yang luas dalam pendarahan parah membutuhkan pembalutan
(dengan tampon) hidung. Pada pasien epistaksis yang terlambat mungkin
menandakan adanya aneurisma traumatis.
Pasien yang menjalani operasi hidung harus memperingatkan potensi
epistaksis. Seperti trauma hidung, pendarahan dapat berkisar dari ringan (karena
laserasi mukosa) hingga berat (karena rusaknya pembuluh darah besar).
 Perubahan udara atau tekanan atmosfir
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya
sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat – zat
kimia di tempat industri yang menyebabkan keringnya mukosa hidung
 Kelainan septum
Deviasi septum dan septal spurs dapat mengganggu aliran udara hidung normal,
menyebabkan kekeringan dan epistaksis. Biasanya daerah perdarahan terletak
anterior sampai ke bagian septal spurs pada kebanyakan pasien. Pada pinggir
perforasi septum sering terjadi pengerasan kulit dan merupakan sumber umum
dari epistaksis
 Peradangan
Bakteri, virus, dan alergi rinosinusitis menyebabkan peradangan mukosa dan
dapat menyebabkan epistaksis. Perdarahan pada kasus ini biasanya ringan dan
sering bermanifestasi sebagai kotoran hidung (goresan darah). Penyakit
granulomatosis seperti sarkoidosis, Wegener granulomatosis, tuberkulosis,
sifilis, dan rhinoscleroma sering menyebabkan krusta dan mukosa rapuh dan
mungkin menjadi penyebab epistaksis berulang. Bayi dengan gastroesophageal
reflux ke dalam hidung mungkin sering epistaksis sekunder peradangan.
 Tumor
Tumor jinak dan ganas dapat bermanifestasi sebagai epistaksis. Pasien yang
terkena dengan tanda-tanda dan gejala sumbatan hidung dan rhinosinusitis,
sering unilateral. Intranasal rhabdomyosarcoma, meskipun jarang, sering dimulai
di hidung, orbital, atau daerah sinus pada anak-anak. Angiofibroma hidung
remaja pada laki-laki remaja dapat menyebabkan hidung pendarahan sebagai
gejala awal.
 Kelainan darah
Koagulopati bawaan harus dicurigai pada individu dengan riwayat keluarga yang
positif, mudah memar, atau perdarahan berkepanjangan dari trauma ringan atau
operasi. Contoh gangguan perdarahan kongenital termasuk hemofilia dan
penyakit von Willebrand. Koagulopati dapat bersifat primer (karena penyakit)
atau sekunder (karena perawatan). Di antara koagulopati diperoleh lebih umum
adalah trombositopenia dan penyakit liver dengan pengurangan konsekuensial
dalam faktor koagulasi. Bahkan tanpa adanya penyakit liver, alkoholisme juga
telah dikaitkan dengan koagulopati dan epistaksis. Antikoagulan oral
predisposisi epistaksis.
 Kelainan pembuluh darah
Penyakit pembuluh darah arteriosklerosis dianggap sebagai alasan untuk
prevalensi lebih tinggi untuk epistaksis pada orang tua. Hemoragik herediter
telangiectasia (HHT, juga dikenal sebagai sindrom Osler-Weber-Rendu) adalah
penyakit autosomal dominan berhubungan dengan perdarahan berulang dari
kelainan vaskular. Kondisi ini dapat mempengaruhi pembuluh mulai dari kapiler
arteri, menyebabkan pembentukan telangiectasias dan malformasi arteriovenous.
Pemeriksaan patologis dari lesi ini mengungkapkan kurangnya jaringan elastis
atau otot di dinding pembuluh darah. Akibatnya, perdarahan dapat terjadi
dengan mudah dari trauma ringan dan cenderung untuk tidak berhenti secara
spontan. Berbagai sistem organ seperti pernapasan, pencernaan, dan sistem
urogenital mungkin terlibat. Epistaksis pada tiap individu berbeda tingkat
keparahannya tapi hampir semua berulang.Kelainan pembuluh darah lainnya
yang mempengaruhi untuk epistaksis termasuk neoplasma vaskular, aneurisma,
dan endometriosis.
 Hipertensi
Hubungan antara hipertensi dan epistaksis sering disalahpahami. Pasien dengan
epistaksis sering disertai dengan tekanan darah tinggi. Epistaksis lebih sering
terjadi pada pasien hipertensi, mungkin karena kerapuhan pembuluh darah dari
penyakit lama. Hipertensi jarang menjadi penyebab langsung dari epistaksis.
Lebih umum, epistaksis dan kecemasan terkait menyebabkan kenaikan akut
tekanan darah. Oleh karena itu, terapi harus difokuskan pada pengendalian
perdarahan dan mengurangi kecemasan sebagai sarana utama penurunan tekanan
darah. Sebuah studi oleh Sarhan dan Algamal, yang termasuk 40 pasien dengan
epistaksis dan 40 kontrol, melaporkan bahwa jumlah serangan epistaksis lebih
tinggi pada pasien dengan riwayat hipertensi, tetapi para peneliti tidak dapat
menentukan apakah ada hubungan yang pasti antara epistaksis dan tekanan
darah tinggi. Mereka menemukan, bagaimanapun, bahwa kontrol epistaksis lebih
sulit pada pasien hipertensi; pasien yang sistolik tekanan darah lebih tinggi pada
presentasi cenderung perlu manajemen dengan kemasan, perangkat balon, atau
kauterisasi. Batuk berlebihan menyebabkan hipertensi vena hidung dapat diamati
di pertusis atau cystic fibrosis.
 Gangguan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh
perubahan hormonal. Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan
progestron yang tinggi di pembuluh darah yang menuju ke semua membran
mukosa di tubuh termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan
rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis.

 Penyebab idiopatik
Penyebab epistaksis tidak selalu mudah diidentifikasi. Sekitar 10% pasien
dengan epistaksis tidak memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi bahkan
setelah evaluasi menyeluruh.
Patofisiologi
1) Epikstaksis anterior
Kebanyakan berasal dari peksus kisselbach di septum bagian anterior, tepat di
ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari
bagian depan konkha inferior. Pleksus kisselbach letaknya superficial dan
mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis
terutama pada anak-anak.

Gambar-9: Epistaksis anterior

2) Epistaksis posterior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi, aterosklerosis atau dengan penyakit
kardiovaskuer karena pecahnya arteri sfenopalatina.
Gambar-10: Epistaksis posterio

Gambaran klinis

Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan
belakang hidung. Perhatikan ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya
perdarahan atau pada bagian hidung yang banyak mengeluarkan darah. Perlu
diketahui bahwa epistaksis seringkali merupakan suatu gejala atau manifestasi
penyakit lain. Maka diperlukan anamnesis mendalam untuk mengetahui penyakit
atau penyebab sebenarnya dari perdarahan tersebut.

Mula-mula pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai


beratnya perdarahan, frekuensi, lamanya perdarahan dan riwayat perdarahan hidung
sebelumnya.

Selain itu tanyakan tentang adakah riwayat trauma hidung/ mukasebelumnya,


riwayat kelainan darah, riwayat hipertensi dan riwayat pemakaian obat antikoagulan
sebelumnya, serta ditanyakan pula tentang gejala-gejala lain yang dirasakan hidung
kemudian kelainan pada kepala dan leher seperti pembesaran kelenjar getah bening.
Hal ini bertujuan untuk mengetahui penyebab terjadinya perdarahan pada hidung.
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan hidung diperlukan untuk membantu dalam mengeggakan diagnosis.
Adapun pemeriksaan hidung yang dapat dilakukan adalah :
1) Bentuk luar hidung diperhatikan apakah ada deviasi atau depresi tulang hidung.
Adakah pembengkakan ddaerah hidung dan sinus paranasal. Dengan jari dapat
dipalpasi adanya krepitasi tulang hidung pada fraktur os nasal atau rasa nyeri
tekan pada peradangan hidung dan sinus paranasal.
2) Memeriksa rongga hidung bagian dalam
 Rhinoskopi anterior
Untuk melihat rongga hidung bagian depan dapat dilakukan dengan
pemeriksaan rhinoskopi anterior. Dalam pemeriksaan ini, diperlukan
speculum hidung. Pada anak dan bayi kadang-kadang tidak diperlukan.
Otoskop dapat dipergunaka untuk melihat bagian dalam hidung terutama
untuk mencari benda asing. Speculum dimasukan kedalam lubang hidung
dengan hati-hati dan dibuka setelah speklum berada didalam dan waktu
mengeluarkannya janga ditutup terlebih dahulu saat masih berada didalam,
supaya bulu hidung tidak terjepit. Vestibulum hidung, septum terutama
anterior, konka inferior, konka media, konka superior serta meatus sinus
para nasal dan keadaan mukosa hidung harus diperhatikan. Begitu pula
rongga hidung sisi yang lain. Terkadan rongga hidung ini sempit karena
adanya edema mukosa. Pada keadaan ini untuk melihat organ-organ yang
disebutkan diatas menjadi lebih jelas perlu dimaskan tampon kapas
adrenalin pantokain beberapa menit untuk mengurangi edema mukosa dan
menciutkan konka, sehingga rongga hidung lebih lapang.
 Rhinoskopi posterior
Untuk meihat bagian belakang hidung dilakukan pemeriksaan rinoskopi
posterior sekaligus untuk mlihat keadaan nasofaring. Untuk melakukan
pemeriksaan rinoskop posterior diperlukan spatula lidah dan kaca
nasofaring yang telah dihangatkan dengan api lampu spirtus untuk
mencegah udara pernapasan mengembun pada kaca. Sebelum aca ini
dimasukkan, suhu kaca di tes terlebih dahulu dengan menempelkannya
pada kuit belakang tangan kiri pemeriksa. Pasien diminta membuka mulut
supaya uvula terangkat ke atas dan kaca nasofaring yang mengadap keaas
dimasukan melakui mulut, kebawah uvula dan sampai nasofaring. Setelah
kaca berada di nasofaring pasien dimita bernapas biasa melalui hidung,
uvula akan turun kembali dan rongga nasofaring terbuka. Mula-mula
diperhatikan bagian belakang septum nasi dan koana. Kemudian kaca
diputar kelateral sedikit untuk melihat konka superior, konka media dan
konka inferior serata meatus superior dan meatus media. Kaca diputar
lebih ke lateral lagi sehingga dapat diidentifikasi torus tubarius, muara
tuba eustasius dan fossa rossenmule, kemudian kaca diputar ke sisi
lainnya. Nasofaring lebih jelas terlihat bila pemeriksaan dilakukan dengan
memakai nasofaringoskop atau endoskopi.

Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan laboratorium darah lengkap, hemostasis


 Pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus

Penatalaksanaan epistaksis

Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari


sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari penyebab untuk mencegah
berulangnya perdarahan.

Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikanlah keadaan umumnya, nadi,


pernapasan srta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu kelainan
tersebut. Jika terjadi epistaksis besar kemungkinan akan terjadi sumbatan jalan napas
akibat bekuan darah, maka perlu dibersihkan terlebih dahulu sumbatan jalan napas
tersebut.

Untuk dapat menghentikan perdarahan, perlu dicari dari mana asal sumber
perdarahannya. Alat-alat yang diperlukan untuk mencari sumber perdarahan adalah
head lamp (lampu kepala), spekulum hidung dan alat penghisap untuk menghisap
darah atau mengeluarkan bekuan darah yang menyumbat jalan napas.

Pasien dengan epistaksis diperiksa pada keadaan duduk, biarkan darah


mengalir keluar dari hidug sehingga darah bisa dimonitor jumlah dan asal keluarnya.
Jika keadaan umum pasien lemah, maka posisikan pasien setengah duduk atau
dibaringkan dengan kepala yang agak ditinggikan. Darah harus dicegah untuk tidak
masu kedalam saluran napas bawah.

Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hiudng dari darah dan keuan
darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian pasang tampon sementara berupa
kapas yang dibasahi dengan adrenalin 1/5.000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain
2% dimasukan kedalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan
mengurangi nyeri yang dirasakan penderita pada saat dilakukan tindakan selanjutnya.
Tampon dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokontriksi biasanya baru
dapat diihat darimana perdarahan berasal ( bagian anterior atau posterior.

 Perdarahan Anterior

Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di


septum bagian depan. Apabila perdarahan tidak berhenti dengan sendirinya,
maka untuk menghentkan perdarahan hidung perlu ditekan selama 10-15
menit.

Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat berasal perdarahan


dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Bila dengan cara
ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan
tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin
atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah dimasukan
dan tidak menimbulkan perdarahan kembali pada saat tampon dicabut.
Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam. Jika perdarahan masih belum
berhenti, maka tampon baru harus dipasang kembali.
 Perdarahan Posterior

Perdarahan pada bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya


perdarahan hebat dan sulit dicari asal perdarahannya dengan pemeriksaan
rhinoskopi anterior.

Untuk menanggulali perdarahan posterior dilakukan pemasangan


tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari 3
kasa yang dipadatkan kemudian dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3
cm. Kemudian tampon diikat dengan 3 utas benang, 2 buah pada satu sisi dan
1 buah pada sisi yang berlawanan.

Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi,


digunakan kateter karetyang dimasukna dari lubang hidung samai tampak
orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2
benang tamon Bellocq, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung
sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan
bantuan jari telunjuk agar dapat melawati palatum mole dan masuk ke dalam
nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior
ke dalam kavum nasi. Bila terjadi perdarahan hebat pada kedua sisi hidung,
maka tampon dapat dipasang pada kedua sisi.

Komplikasi dan Pencegahannya

Kompilkasi yang dapat terjadi sebagai akibat dari epsitaksis atau sebagai
dampak dari usaha tubuh untuk homeostasis. Akibat perdarahan yang hebat dapat
terjad aspirasi darah ke dalam saluran napas bagian bawah, syok, anemia dan gagal
ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi,
hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat
menyebabkan kematian.

Akibat pecahnya pembuluh darah maka besar kemungkinannya pecahnya


pembuluh darah itu menjadi port d’ entery infeksi, sehingga perlu diberikan
antibiotik. Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media septikemia
ataupun toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik
pada setiap pemasangan tampon hidung dan seteah 2-3 hari tampon harus dilepas dan
diganti bila perdarahan masih terjadi.

Hemotimpanum akibat mengalirnya darah ke dalam tuba eustachius dan air


mata berdarah (bloody tears) akibat mengalirnya darah secara etrograd melalui
duktus nasilakrimalis.

Mencegah perdarahan berulang

Setelah perdarahan diatasi sementara dengan pemasangan tampon,


selanjutnya perlu dicari penyebab perdarahannya. Perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah,
hemostasis. Pemerikaan foto polos atau CT scan jika dicurigai perdarahan akibat
sinusitis. Konsul penyakit dalam atau IKA bila dicurigai ada kelainan sistemik.
BAB I

PENDAHUUAN

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya; merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan yang
tidak menguntungkan.

Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan,
tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman
pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga
terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari arteri
sphenopalatina.
Epistaksis adalah perdarahan yang berasal dari hidung dan dapat timbul spontan
tanpa dapat ditelusuri sebabnya. Epistaksis bukanlah suatu penyakit melainkan suatu tanda
atau gejala. Walau pada umumnya epistaksis dapat diatasi dengan mudah, namun perdarahan
hidung merupakan masalah yang sangat lazim, sehingga tiap dokter harus siap menangani
kasus demikian.

Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan
bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri
athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina
dan arteri ethmoid posterior.
Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin banyak, bisa juga sedikit.
Penderita selalu ketakutan sehingga merasa perlu memanggil dokter.
BAB II

EPISTAKSIS

A. DEFINISI
Epistaksis atau perdarahan dari hidung, merupakan suatu tanda atau keluhan bukan
penyakit. Banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis
seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. kebanyakan ringan dan sering
dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat,
walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak
segera ditangani.

B. ETIOLOGI
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa
hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach
(area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, dibelakang
persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis
dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.

1. Lokal

a. Trauma
Merupakan salah satu penyebab paling umum dari epistaksis. Anak-anak yang
menghisap jempol mereka atau orang dewasa dengan manipulasi digital kebiasaan memiliki
insiden yang lebih tinggi epistaksis dari septum hidung anterior tulang rawan. Trauma terus
menerus devitalizes perichondrium, dengan paparan tulang rawan yang dihasilkan dan
perforasi. Perforasi septum menyebabkan turbulensi; aliran udara laminar merusak, dan
menghasilkan pengeringan, pembentukan keropeng, dan perdarahan berikutnya.

Trauma hidung tulang mungkin merupakan patah tulang hidung terisolasi dan
sederhana atau midface parah dan mengancam jiwa dan basis patah tulang tengkorak dengan
exsanguinating perdarahan arteri akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Trauma yang
terisolasi di daerah yang berdekatan seperti sinus, orbit, dan telinga tengah mungkin
terwujud sebagai perdarahan hidung. Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma
biasanya mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma seperti
terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada
pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis.

b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti
lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis. Hal ini dikarenakan reaksi inflamasi
lokal akibat infeksi saluran pernapasan akut, sinusitis kronis, rhinitis alergi, dan iritasi
lingkungan, seperti asap tembakau, dapat mengubah selimut protektif normal mukosa dan
mukosa yang mendasari, memungkinkan untuk kering, krusta, eksposur, dan perdarahan.

c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten,
kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemongioma, karsinoma, serta
angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.

d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). Pasien ini
juga menderita telangiektasis di wajah, tangan atau bahkan di traktus gastrointestinal
dan/atau pembuluh darah paru.

e. Kelainan pembuluh darah (lokasi)


Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya
lebih sedikit.

f. Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi
pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.

g. Penyakit Kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosklerosis,
nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis.
Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi seringkali hebat dan dapat berakibat fatal.

h. Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia,
bermacam-macam anemia serta hemofilia.
i. Perubahan udara atau tekanan attmosfir
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya
sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat kimia di tempat
industri yang menyebabkan keringnya mukosa hidung.

2) Sistemik

Sebuah kategori yang berbeda dari pasien berisiko besar epistaksis berat dan
seumur hidup adalah mereka dengan patologi gangguan koagulasi dan pembuluh darah.
Herediter telangiectasia hemoragik (HHT), juga dikenal sebagai Osler-Weber-Rendu
penyakit, adalah gangguan autosomal dominan yang diwariskan yang patognomonik dengan
riwayat keluarga positif, telangiectasias mukokutan, dan epistaksis.

Patologi yang ditandai oleh tipinya dinding pembuluh tanpa otot polos, yang
meningkatnya angiogenesis mengakibatkan proliferasi vaskuler, fistula arteriovenosa, dan
kerapuhan akhirnya mukosa. Trauma yang sepertinya tidak disengaja, seperti bersin yang
terlalu kuat, dapat menyebabkan epistaksis. Ini adalah penyakit yang paling umum dari
struktur vaskular menyebabkan epistaksis berulang.

Hampir semua pasien bergejala dengan 40 tahun dan 62% oleh 16 tahun. Epistaksis
merupakan gejala yang HHT dari pada 90% dari 98 pasien yang diteliti. Konservatif,
noncauterizing, tulang rawan-hemat metode pengendalian hemostasis direkomendasikan
sebagai terapi awal.

Perubahan dinding pembuluh yang berhubungan dengan penuaan, khususnya


fibrosis tunika media otot arteri, telah terlibat dalam epistaksis. Aterosklerosis, meskipun
sering diasumsikan faktor risiko, tidak secara khusus diidentifikasi sebagai faktor risiko.
Hipertensi tidak dianggap menjadi faktor risiko yang signifikan untuk epistaksis anterior,
berdasarkan beberapa penelitian. Namun, beberapa penulis berpendapat hipertensi terkait
dalam meningkatkan resiko epistaksis posterior Perdarahan ulang atau setelah pengobatan
medis atau bedah

Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien
hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan
prognosisnya buruk.

Pasien dengan gangguan hemostasis biasanya diidentifikasi sejak awal kehidupan


sebagai akibat dari riwayat memar besar tanpa trauma yang diketahui atau perdarahan
berkepanjangan setelah dipotong kecil. Gangguan perdarahan paling umum turun temurun
terkait dengan epistaksis adalah penyakit von Willebrand (VWD). Penyakit ini diwariskan
dalam pola autosom dominan dan memanifestasikan klinis dengan pendarahan mukokutan,
perdarahan yang berlebihan setelah trauma / operasi, dan epistaksis.

C. LOKASI EPISTAKSIS
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar
ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior
dan posterior.

1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber


perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid
anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan
tindakan sederhana.

Epistaksis anterior

2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.
Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat
menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan
penyakit kardiovaskular
Epistaksis posterior

D. DIAGNOSA

Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan


penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi
biasanya akibat mencungkil hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit
infeksi. Sedangkan dari bagian posterior atau media biasanya akibat hipertensi,
arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa
faktor pembekuan darah.

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung
yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien
dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan
perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa :

a) Rinoskopi anterior

Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.


Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior
harus diperiksa dengan cermat.

b) Rinoskopi posterior

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan


epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
c) Pengukuran tekanan darah

Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena


hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.

d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI

Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.

e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya

Tampilan endoskopi pada epistaksis posterior

f) Skrining terhadap koagulopati

Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial,
jumlah platelet dan waktu perdarahan.

g) Riwayat penyakit

Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang
mendasari epistaksis

E. PENATALAKSANAAN
Hal yang senantiasa untuk diperhatikan adalah airway, breathing dan circulation dari
penderita.

Prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu memperbaiki keadaan umum,


menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.
Hal yang perlu pula diperhatikan adalah posisi penderita agar senyaman mungkin,
duduk tegak untuk memudahkan pemeriksaan.

a. Menghentikan perdarahan
Menghentikan perdarahan secara aktif seperti kaustik dan pemasangan tampon, lebih
baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti dengan
sendirinya.

Seorang pasien yang datang dengan epsitaksis, jika mungkin pasien harus diperiksa
dalam keadaan duduk tegak, sedangkan kalau sudah terlalu lemah, dibaringkan dengan
meletakkan bantal di belakang punggungnya.

Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat pengisap untuk membersihkan hidung
dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/10.000
dan lidocain atau pantocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung, untuk menghentikan
perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada waktu tindakan-tindakan selanjutnya. Tampon
ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakan sumber
perdarahan letaknya di bagian anterior atau di bagian posterior.

 Perdarahan anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan (pleksus
Kisselbach). Gulungan kapas yang telah dibasahi dengan anestetik lokal dan dekongestan
lalu dimasukkan dengan hati-hati ke dalam hidung. Bila perdarahan tidak berhenti,
pemasangan tampon diulangi, dan bila sumbernya telah terlihat, tempat asal perdarahan
dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30%, atau dengan Asam Triklorasetat 10%, atau
dapat juga dengan elektrokauter.

Tampon anterior dan Tampon rol anterior


Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan
pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa berukuran 72 x 1/2 inci yang
diberi vaselin (boorzalf). Pemakaian vaselin pada tampon berguna agar tampon tidak
melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut. Tampon
dimasukkan melalui nares anterior dan disusun dari dasar hingga atap hidung dan meluas
hingga ke seluruh panjang rongga hidung hingga tampon dapat menekan tempat asal
perdarahan. Tampon ini dapat dipertahankan selama 1-2 hari, kadang 3-4 hari.

 Perdarahan posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat
dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior.

Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pula tahap-tahap seperti pada


penanganan perdarahan anterior hingga dapat diketahui sumber perdarahannya. Bila ternyata
sumber perdarahannya berasal dari daerah posterior, maka dilakukan tampon posterior, yang
disebut tampon Bellocq. Tampon ini harus tepat menutup koana (nares posterior). Tampon
Bellocq dibuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm.

Untuk memasang tampon posterior ini kateter karet (satu kateter) dimasukkan melalui
salah satu nares anterior sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut. Ujung
kateter kemudian diikatkan pada salah satu benang pada tampon Bellocq, kemudian kateter
itu ditarik kembali melalui hidung. Ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior
kemudian ditarik dan dengan bantuan jari telunjuk, tampon itu didorong ke nasofaring. Jika
dianggap perlu, bila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula
dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Benang yang keluar dari nares anterior
itu kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon
yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat di rongga mulut terikat
pada sisi lain dari tampon Bellocq, dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk
menarik tampon ke luar melalui mulut setelah 2-3 hari.

Tampon Bellocq
Untuk pengontrolan aliran perdarahan yang masif dapat pula dilakukan dengan
epistaxis balloon atau Foley catheter sebagai pengganti tampon posterior.

Tampon balon untuk epistaksis telah menjadi lebih memiliki ketersediaan dan lebih
bervariasi daripada menggunakan balon kateter Foley saat pertama kali digunakan. Konsep
ini sama dengan tampon hidung secara tradisional; balon biasanya diisi oleh penempatan
udara atau saline ke dalam balon, tekanan diterapkan pada dinding lateral hidung dan
septum. Jenis yang lebih baru dari tampon balon hidung antara balon ganda, gabungan dari
balon dan Merocel yang memiliki keuntungan dari tinggal di tempat setelah deflasi balon
dan penghapusan.

Beberapa balon hidung memungkinkan terjadinya respirasi dan ekspirasi seperti


normal melalui pusat berongga terintegrasi. Namun cara ini memiliki kelemahan utama
tampon balon adalah ketidakmampuan untuk menempatkan tekanan yang adekuat terhadap
tempat sebenarnya perdarahan terjadi, karena merupakan penempatan "buta" seperti tampon
anterior dan posterior. Juga ada kemukinan terjadi nekrosis alar atau columellar dapat terjadi
jika tekanan tamponnya terlalu banyak mendominasi ke arah lateral atau medial.

Storz epistaksis Kateter

Obat hemostatik diberikan juga di samping tindakan penghentian perdarahan itu.

Tampon posterior dengan Kateter Foley


Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan
tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri.

b. Mencegah komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis sendiri atau sebagai
akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Sebagai akibat perdarahan yang hebat dapat
terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah mendadak dapat menimbulkan iskemi
cerebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menyebabkan kematian.
Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.

Penelitian menunjukkan bahwa sumbatan jalan napas lengkap pada individu tertentu
mengarah pada peningkatan PCO¬2 dan penurunan PO2. Kombinasi keduanya pada pasien
dengan riwayat paru atau jantung dapat menimbulkan komplikasi bermakna, misalnya IMA
dan gangguan pembuluh darah otak.

Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan


septikemia. Oleh karena itu antibiotik haruslah selalu diberikan pada setiap pemasangan
tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Jika masih ada perdarahan dapat
dipasang tampon baru.

c. Medikamentosa
Selama pemasangan tampon (3-4 hari), kenyamanan pasien akan terganggu dan untuk
itu perlu pemberian sedatif dan analgesik untuk mengontrol rasa nyeri.
Pertimbangan untuk pemberian antibiotik broad spektrum adalah untuk mencegah
terjadinya komplikasi akibat kuman patogen selama pemasangan tampon.
DAFTAR PUSTAKA

1. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000, hal. 91, 127-131.
2. Soepardi, Sp.THT, Prof. Dr. Efiaty Arsyad, Prof. Dr. Nurbaiti Iskandar,
Sp.THT, Prof. Dr.Jenny Bashiruddin, Sp.THT, dan DR. Dr. Ratna Dwi
Restuti,Sp.THT. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher Edisi Ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012.
3. Higher Adams, Boeis. Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC, 1997.

Anda mungkin juga menyukai