Anda di halaman 1dari 11

Identifikasi faktor risiko malnutrisi pada pasien rawat inap

Ringkasan
Objektif: Untuk mengidentifikasi faktor yang berkaitan dengan risiko malnutrisi pada
pasien rawat inap. Metode: Studi potong lintang (cross-sectional) yang dilakukan di
rumah sakit umum di Sao Paulo, dengan metode convenience sample sebanyak 300
subjek dewasa yang berusia 18-64 tahun. Pasien diberikan kuesioner, yang terdiri dari
data antropometri, data klinis dan diet. Kemudian pasien dievaluasi dan dikelompokkan
menjadi malnutrisi dan nonmalnutrisi. Regresi logistik multipel dilakukan untuk
mengidentifikasi faktor yang berkaitan dengan malnutrisi. Variabel disusun berdasarkan
nilai odds ratio (OR), confidence interval (95%CI), koefisien regresi (β) dan tingkat
signifikansi (p). Hasil: Malnutrisi terjadi pada 60,7% pasien dan variabel yang berkaitan
dengan malnutrisi adalah: kehilangan berat badan akhir-akhir ini dan tidak disengaja,
struktur tulang yang jelas, penurunan napsu makan, diare, intake energi inadekuat dan
jenis kelamin pria. Kesimpulan: Faktor yang berkaitan dengan malnutrisi dapat
diidentifikasi saat masuk rumah sakit dan selanjutnya dilakukan evaluasi nutrisi yang
menghasilkan intervensi dan terapi nutrisi yang adekuat.

Kata kunci: penilaian nutrisi, pasien rawat inap, malnutrisi

Latar belakang
Prevalensi global yang tinggi pada pasien rawat inap yang mengalami malnutrisi
telah banyak didokumentasikan sejak 4 dekade yang lalu. Beberapa studi menganalisis
malnutrisi yang terjadi di rumah sakit dan mengkorelasikan malnutrisi serta
konsekuensinya, seperti peningkatan frekuensi komplikasi klinis dan mortalitas,dampak
pada biaya dan lama rawat di rumah sakit; semakin lama pasien dirawat di rumah sakit,
semakin besar risiko perburukan malnutrisi.
Malnutrisi pada pasien rawat inap merupakan akibat sejumlah faktor dan dapat
berkaitan dengan penyakit dan/ atau terapi. Salah satu penyebab utama adalah asupan
makanan yang tidak adekuat dan terdapat beberapa situasi klinis yang dapat
mengakibatkan hilangnya napsu makan atau asupan makanan, termasuk pemeriksaan dan
prosedur yang memerlukan puasa dan perubahan komposisi diet. Selain itu, deteksi dan
intervensi yang inadekuat dapat mengakibatkan perburukan status nutrisi saat rawat inap.
Evaluasi status nutrisi pasien diperoleh melalui penilaian nutrisi, yang terdiri dari
pengukuran antropometri, observasi tanda klinis malnutrisi, perubahan hasil tes biokimia
yang mendeteksi kadar protein plasma dan sel imunitas yang rendah serta evaluasi asupan
makanan.
Penilaian status nutrisi dapat didahului dengan identifikasi risiko malnutrisi,
menggunakan alat skrining nutrisi. Meskipun tidak ada konsensus mengenai definisi dan
prosedur, beberapa institusi mempublikasikan panduan (guideline) mengenai hal ini.
Pada tahun 1994, ADA (American Dietetic Association) mendefinisikan risiko nutrisi
sebagai “adanya faktor yang dapat mengakibatkan atau memperburuk malnutrisi pada
pasien” dan ESPEN (European Society of Parenteral and Enteral Nutrition)
mendefinisikannya sebagai “risiko gangguan status nutrisi karena kondisi medis saat ini”.
ASPEN (American Society of Parenteral and Enteral Nutrition) menganggap faktor
risiko yang dapat mengganggu status nutrisi pasien adalah: kehilangan berat badan (BB),
penyakit kronis, peningkatan kebutuhan nutrisi, perubahan pola makan dan terdapatnya
kebutuhan nutrisi enteral dan/ atau parenteral.
Risiko nutrisi berkaitan dengan variabel yang berkaitan dengan status umum
pasien dan riwayat penyakit pasien saat ini serta dapat meliputi faktor fisik, sosial, dan
psikologis. Untuk memberikan terapi nutrisi yang adekuat, identifikasi pasien yang
memiliki risiko penting untuk terapi.
Identifikasi malnutrisi merupakan tujuan yang penting dan merupakan perhatian
global pada pasien rawat inap. Diagnosis yang tepat penting agar terapi nutrisi dapat
dimulai sesegera mungkin. Identifikasi faktor risiko penting agar tim layanan kesehatan
dapat mulai bekerja dan menguntungkan pasien.
Dalam konteks ini, objektif studi ini adalah untuk mengidentifikasi faktor yang
berkaitan dengan risiko malnutrisi pada pasien rawat inap.

Metode
Studi ini merupakan studi observasional potong lintang, yang dilakukan di rumah
sakit di Sao Paulo antara Januari hingga Desember 2005. Studi ini melibatkan individu
yang telah dirawat inap selama 1 atau dua hari, pria ataupun wanita, yang berusia 18-64
tahun. Kriteria eksklusi adalah: pasien tidak dapat berkomunikasi, dinilai dengan
parameter antropometri, dan masuk ke rumah sakit karena alasan obstetri atau psikiatri.
Pasien diinformasikan mengenai tujuan studi ini dan menandatangani informed
consent apabila mereka bersedia untuk berpartisipasi dalam studi ini. Studi ini disetujui
oleh komite riset etik di Faculdade de Saude Publica, Universidade de Sao Paolo, dengan
nomor protokol 828.
Dengan menganggap bahwa prevalensi malnutrisi sekitar 50%, maka secara
statistik diperoleh sampel sebanyak 300 orang dengan metode pengambilan sampel
berupa convenience sampel.

Penilaian nutrisi pasien


Sebuah kuesioner terstruktur disiapkan berdasarkan kriteria yang
direkomendasikan oleh ADA, yang terdiri dari 6 set data berkaitan dengan: identifikasi
pasien (data personal dan sosiodemografi), informasi medis (alasan masuk ke rumah sakit
dan diagnosis), data nutrisi (penilaian napsu makan dan perubahan pada saluran cerna),
data konsumsi makanan (perubahan pola makan akhir-akhir ini dan deskripsi makanan
saat ini), observasi tanda klinis defisiensi nutrisi (observasi rambut, kulit, kuku, mata,
mulut, tulang, otot, dan edema) serta evaluasi data antropometri (pengukuran dan evaluasi
BB, lingkar, dan tebal lipatan kulit).
Pengkuran antropometri dilakukan saat wawancara dan dikumpulkan oleh satu
pemeriksa (penulis) untuk menghindari bias dalam pengumpulan data dan interpretasi.
BB dan TB diukur dengan skala portabel dan stadiometer. Pengukuran lingkar tubuh
(lengan dan betis) dan triseps serta tebal lipatan subskapula diambil pada posisi berdiri
dan diukur 3 kali untuk mendapatkan nilai rerata. Kami melakukan teknik yang diadopsi
dari Frisancho dan analisis dilakukan berdasarkan tabel persentil.
BB ditimbang dalam kilogram menggunakan skala Plenna, model MEA 07400.
Individu ditimbang dengan melepaskan sepatu dan menggunakan pakaian yang tipis. TB
diukur dengan stadiometer elektronik SOEHNLE, model 5001 dan subjek berdiri tanpa
menggunakan sepatu. Untuk menghitung indeks massa tubuh (IMT), berat badan (kg)
dibagi tinggi (m2). Lingkar lengan dan betis diperoleh dengan tape inelastis dan tebal
lipatan kulit diukur dengan Holtain Skinfold Caliper adipometer (0-40 mm x 0,2 mm).
Evaluasi pengukuran antropometri dilakukan dengan software NUTWIN – Nutrition
Support Program, Universidade Federal de Sao Paulo (UNIFESP-EPM).
Terkait data konsumsi, diet regular diperiksa satu minggu sebelum masuk rumah
sakit dan dianalisis dengan VIRTUAL NUTRI, menghasilkan nilai energi total/ total
energy value (TEV). TEV dibandingkan dengan kebutuhan pasien, yang diperkirakan dari
perhitungan laju metabolik dasar, dengan aktivitas fisik rangat ringan (1,3) atau terbaring
di tempat tidur (1,2) serta faktor cedera dari penyakit. Kriteria dikatakan sebagai asupan
inadekuat adalah ≤75% dari perkiraan kebutuhan energi.
Kriteria yang diadopsi untuk diagnosis malnutrisi adalah adanya minimal satu dari
parameter antropometri ini: IMT < 18,5 kg/m2 tanpa riwayat kehilangan BB akhir-akhir
ini, IMT < 20 kg/m2 dengan adanya hilang BB akhir-akhir ini dan tidak disengaja, tebal
lipatan trisep (TSF) dan subskapula (SSSF) atau jumlah keduanya ≤ persentil 5, TSF dan
SSSF atau jumlah keduanya ≤ persentil 15 ketika disertai dengan kehilangan BB akhir-
akhir ini dan tidak disengaja; kehilangan BB akhir-akhir ini dan tidak disengaja ≥3%
dalam satu bulan atau sama atau ≥5% dalam 6 bulan terakhir atau periode apapun dimana
pasien tidak bisa menyebutkan dengan jelas, namun dikatakan baru terjadi akhir-akhir ini.

Analisis statistik
Untuk analisis statistik data, kami menggunakan metode regresi logistik, yang
direkomendasikan oleh Jones, dengan objektif untuk mengevaluasi efek setiap variabel
terhadap risiko malnutrisi. Malnutrisi sebagai variabel dependen dan 45 variabel
independen dipilih, yang disusun dari kuesioner umum. Malnutrisi dianggap sebagai
variabel ganda (ya atau tidak) dan kekuatan hubungan antara variabel diekspresikan
dalam odds ratio (OR) dengan 95% confidence interval (95%CI) serta tingkat signifikansi
statistik sebesar 5%.
Analisis variabel yang berkaitan dengan malnutrisi awalnya dilakukan dengan uji
Chi-square, dan diikuti dengan analisis tunggal dan multipel, menggunakan model
stepwise backward. Program yang digunakan untuk analisis data adalah Statistical
Package for Social Science (SPSS) versi 10 untuk Windows.

Hasil
Populasi terdiri dari 300 subjek, yaitu 52,7% wanita dan 47,3% pria. Rentang usia
paling banyak adalah 30-49 tahun dan rerata usia adalah 45,2 tahun (SD= 11,8 tahun).
Malnutrisi terjadi pada 60,7% sampel dan mayoritas individu adalah pria (73,2%). Pada
analisis regresi univariat, 15 variabel berkaitan dengan malnutrisi (p<0,05) dan disusun
dimulai dengan yang paling banyak didapatkan (Tabel 1).
Dengan mempertimbangkan variabel yang berkaitan dengan penilaian BB,
variabel ‘kehilangan BB akhir-akhir ini dan tidak disengaja’ merupakan yang paling
banyak (64% sampel) (Tabel 1) dan 91,2% mengalami malnutrisi (Gambar 1). Frekuensi
tertinggi pada persentase kehilangan sehubungan dengan BB biasa adalah antara 10-20%
(29,3%) dalam periode 1-3 bulan (43,2%) dan rerata kehilangan BB adalah 15,8 kg (SD=
8,6 kg). Pada penilaian tanda klinis malnutrisi, variabel ‘struktur tulang yang jelas’
diamati pada 37,7% populasi (Tabel 1) dan 92,8% mengalami malnutrisi (Gambar 1).
Terkait jenis terapi rumah sakit, kebanyakan pasien masuk rumah sakit untuk
terapi klinis (63,3%) dan diagnosis kanker merupakan penyebab hospitalisasi pada
hampir setengah dari jumlah sampel (43,3%) (Tabel 1) dan kebanyakan mengalami
malnutrisi (69,2%) (Gambar 1).
Terkait variabel yang berkaitan dengan asupan makanan saat ini, perubahan
kebiasaan makan akhir-akhir ini dilaporkan pada 40,7% populasi (Tabel 1) dan perubahan
yang paling sering adalah berkurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi (96,4%).
Ketika menilai kecukupan asupan energi, kami mengamati bahwa 48% populasi tidak
mencukupi kebutuhan energi individu (Tabel 1) dan dari populasi ini, 81,9% mengalami
malnutrisi (Gambar 1). Rerata konsumsi energi adalah 1507 kkal/hari (SD=763,8 kkal)
dan rerata pada individu-individu dengan malnutrisi (1241,7 kkal, SD= 711,5 kkal) lebih
rendah (p < 0,05) dibandingkan dengan yang tidak mengalami malnutrisi (1916,1 kkal,
SD=655,5 kkal).
Pada penilaian variabel klinis, kebanyakan tidak dirawat inap akhir-akhir ini
(58%) ataupun memiliki kelemahan (59%) (Tabel 1). Akan tetapi, ketika variabel-
variabel ini dinilai dengan malnutrisi, didapatkan frekuensi sebesar 70,6% dan 82,9%
berturut-turut (Gambar 1). Terkait penilaian tentang kesehatan sendiri saat ini, 47%
menganggap kesehatan saat ini sudah cukup, bahkan dengan mempertimbangkan adanya
penyakit dan pasien dirawat inap, dan dari populasi ini 71,7% mengalami malnutrisi.
Diantara perubahan saluran cerna yang terjadi akhir-akhir ini (perubahan pada
gigi dan proses menelan, mual dan muntah, perubahan pencernaan lambung, diare,
konstipasi, dan intoleransi), yang paling berkaitan dengan malnutrisi adalah perubahan
lambung (36,7%), mual dan muntah (23,3%) (Tabel 1), dan frekuensi individu dengan
malnutrisi diantara kedua variabel tersebut adalah 70,9% dan 84,8% berturut-turut
(Gambar 1). Diare sering terjadi pada 13,3% sampel dan 82,5% dari sampel tersebut
mengalami malnutrisi (Tabel 1 dan Gambar 1).
Variabel-variabel yang awalnya berkaitan dengan malnutrisi digunakan dalam
model regresi logistik multipel dan meskipun usia tidak menunjukkan hubungan yang
signifikan, usia tetap digunakan sebagai variabel penyesuaian. Variabel-variabel yang
berhubungan antara lain: kehilangan BB akhir-akhir ini, struktur tulang yang jelas,
penurunan napsu makan, diare, asupan energi inadekuat, dan jenis kelamin pria.
Didapatkan bahwa variabel ‘kehilangan BB akhir-akhir ini dan tidak disengaja’
merupakan risiko malnutrisi yang paling penting (OR= 58,03, 95%CI = 18,46-182,41,
p< 0,001) (Tabel 2).

Tabel 1. Frekuensi faktor yang berkaitan dengan malnutrisi (p<0,05) setelah regresi
logistik univariat di Sao Paulo, 2005
Malnutrisi
Total
Variabel Kategori Ya Tidak
n % n % N %
Kehilangan Ya 175 86,3 17 14,4 192 64
BB Tidak 7 13,7 101 85,6 108 36
Jenis terapi Klinis 135 74,2 55 46,6 190 63,3
Bedah 47 25,8 63 53,4 110 36,7
Asupan Inadekuat 118 64,8 26 22 114 48
energi Adekuat 64 35,2 92 78 156 52
Penilaian Inadekuat 114 62,6 45 38,1 159 53
kesehatan Adekuat 68 37,4 73 61,9 141 47
sendiri
Perubahan Ya 113 62,1 9 7,6 122 40,7
kebiasaan Tidak 69 37,9 109 92,4 178 59,3
makan
Struktur Ya 111 61 2 1,7 113 37,7
tulang yang Tidak 71 39 116 98,3 187 62,3
jelas
Penurunan Ya 110 60,4 9 7,6 119 39,7
napsu Tidak 72 39,6 109 92,4 181 60,3
makan
Jenis Pria 104 57,1 38 32,2 142 46,7
kelamin Wanita 78 42,4 80 67,8 158 53,3
Kelemahan Ya 102 56,1 21 17,8 123 41
Tidak 80 43,9 97 82,2 177 59
Diagnosis Ya 90 49,4 40 33,9 130 43,3
kanker Tidak 92 50,6 78 66,1 170 56,7
Hospitalisasi Ya 89 48,9 37 31,4 126 42
sebelumnya Tidak 93 51,1 81 68,6 174 58
dan akhir-
akhir ini
Perubahan Ya 78 42,9 32 21,1 110 36,7
lambung Tidak 104 57,1 86 72,9 190 63,3
Nyeri ketika Ya 77 42,3 6 5,1 83 27,7
makan Tidak 105 57,7 112 94,9 217 72,3
Mual dan Ya 67 36,8 12 10,2 79 26,3
muntah Tidak 115 63,2 106 89,8 221 73,7
Diare Ya 33 18,1 7 5,9 40 13,3
Tidak 149 81,8 111 94,1 260 86,7

Diagnosis kanker
Hospitalisasi akhir-akhir ini
Perubahan lambung
Terapi klinis
Evaluasi diri inadekuat
Jenis kelamin pria
Penelanan inadekuat
Diare
Kelemahan
Mual dan muntah
Kehilangan BB
Penurunan napsu makan
Perubahan kebiasaan makan
Nyeri ketika makan
Struktur tulang jelas

Gambar 1. Frekuensi malnutrisi diantara faktor-faktor yang berkaitan dengan risiko


nutrisi (p<0,05) di Sao Paulo, 2005

Diskusi
Frekuensi malnutrisi sebesar 60,7% sangat serupa dengan studi lain yang
dilakukan di Brazil, Amerika Latin, dan di dunia, sehingga mendukung pernyataan bahwa
dalam 4 dekade belakangan ini, prevalensi malnutrisi masih tinggi dengan konsekuensi
pada bertambah panjangnya waktu rawat inap di rumah sakit, komplikasi, dan biaya
rumah sakit.
Dalam konteks ini, hasil analisis regresi mengidentifikasi variabel-variabel
prediktif, yaitu berkaitan dengan malnutrisi pada populasi ini. Terkait variabel-variabel
(kehilangan BB akhir-akhir ini, struktur tulang yang jelas, penurunan napsu makan, diare
dan asupan energi inadekuat), dapat dilihat bahwa mereka sering ditemukan pada studi
yang serupa untuk mengidentifikasi risiko nutrisi, metode-metode yang secara umum
subjektif dan bersifat klinis.

Tabel 2. Faktor-faktor yang berkaitan dengan malnutrisi setelah regresi logistik multipel,
berdasarkan nilai OR (odds ratio), 95% confidence interval (95%CI) dan koefisien regresi
(β) di Sao Paulo, 2005.
Variabel independen OR 95%CI β p
Kehilangan BB akhir-akhir ini 58,03 18,46-182,41 4,06 <0,001
Struktur tulang yang jelas 47,62 5,89-384,96 3,86 <0,001

Penurunan napsu makan 10,31 2,23-47,55 2,33 0,003

Diare 8,54 1,32-55,38 2,14 0,025

Asupan energi inadekuat 3,68 1,03-13,12 1,3 0,045


Jenis kelamin pria 3,51 1,17-10,52) 1,26 0,025

Detsky et al memvalidasi Penilaian Global Subjektif Status Nutrisi/ Subjective


Global Assessment of Nutritional Status (SGA) dengan variabel yang serupa dengan
variabel-variabel pada studi ini. SGA merupakan metode yang sering digunakan pada
praktik klinis yang terdiri dari wawancara terkait perubahan BB akhir-akhir ini,
perubahan kebiasaan makan, perubahan gastrointestinal, dan penilaian stres penyakit.
Kehilangan BB merupakan variabel utama yang diamati dan merupakan prediktor
terkuat malnutrisi(OR= 58,03, 95%CI 18,46-182,41, p< 0,001). Pada studi oleh
Kruizenga et al, kehilangan BB merupakan faktor risiko utama dengan nilai yang serupa
(OR = 37,7, 95% CI: 10,7-57,3, p < 0,001). Elmore et al mengembangkan persamaan
prediktif berdasarkan variabel-variabel yang berkaitan dengan malnutrisi, menggunakan
persentase kehilangan BB bersamaan dengan kadar albumin serum dan hitung limfosit
total.
Proses kehilangan BB, terlepas dari BB biasa individu, dianggap sebagai proses
malnutrisi meskipun pasien masih berada dalam standar normal setelah perubahan tubuh.
Akan tetapi, kehilangan BB bukan merupakan variabel yang mudah untuk diukur, karena
bergantung pada informasi dari pasien dan observasi yang konstan. Beberapa studi
menunjukkan bahwa kehilangan BB dapat diukur secara indirek, seperti pada studi oleh
Ward et al, dimana hal tersebut berkaitan dengan persepsi pasien dan menunjukkan
hubungan yang signifikan dengan malnutrisi.
Berbeda dengan informasi subjektif pada pengurangan BB, observasi klinis pada
‘struktur tulang yang jelas’ dievaluasi dengan tujuan untuk menilai kehilangan lemak
tubuh dan massa otot serta mengidentifikasi pasien yang tampak kurus. Variabel tersebut
berkaitan dengan malnutrisi (OR = 47,62, 95% CI: 5,89-384,96, p < 0,001) dan
didapatkan pada 60,9% individu dengan malnutrisi. Egger et al mengamati pasien yang
menjalani terapi nutrisi dan mengamati parameter antropometri, biokimia, dan klinis serta
memverifikasi bahwa pemeriksaan fisik merupakan metode yang terbaik untuk
mengidentifikasi malnutrisi.
Struktur tulang yang jelas, atau variabel lain yang digunakan untuk
mengidentifikasi tanda klinis malnutrisi tidak banyak dipelajari di negara-negara maju.
Ward et al menemukan hubungan malnutrisi dengan pertanyaan, “Apakah pasien telah
kehilangan BB?” (p<0,05) dan diantara variabel-variabel yang dipelajari, variabel
tersebut merupakan yang paling berkaitan dengan malnutrisi. Akan tetapi, penting untuk
mempertimbangkan bahwa sekitar 40% sampel memiliki malnutrisi, tetapi tidak ada
struktur tulang yang jelas. Observasi tanda klinis bergantung pada status nutrisi individu
ketika proses malnutrisi dimulai dan fase saat ini dimana pasien sedang dievaluasi.
Terkait penurunan napsu makan, sering didapatkan bahwa hal tersebut merupakan
variabel penting yang berkaitan dengan malnutrisi. Pada studi ini, penurunan napsu
makan meningkatkan risiko malnutrisi kira-kira sebesar 10 kali (OR = 10,31, 95% CI:
2,23-47,55, p = 0,003) dan pada studi Ferguson et al, variabel ini menunjukkan
sensitivitas dan spesifisitas yang terbaik. Penurunan napsu makan merupakan variabel
yang bergantung pada informasi yang diperoleh dari pasien dan dapat menilai asupan
makan secara tidak langsung. Harus diperhatikan bahwa napsu makan dapat tetap ada
bahkan ketika didapatkan pengurangan asupan makan.
Perubahan saluran cerna yang mengakibatkan kesulitan atau tidak memungkinkan
pencernaan dan/ atau absorpsi nutrien sering diindikasikan sebagai faktor risiko nutrisi.
Pada analisis univariat pada studi ini, semua variabel yang berkaitan dengan saluran cerna
menunjukkan hasil yang signifikan: mual dan muntah, diare, perubahan bibir, mulut, dan
tenggorok, nyeri dan gangguan asupan makanan (p<0,05). Akan tetapi, hanya diare yang
bertahan pada analisis multivariat (OR = 8,54, 95% CI 1,32-55,38, p = 0,025). Perubahan
pada gejala saluran gastrointestinal umumnya merupakan hasil penyakit atau konsekuensi
terapi dan dapat berdampak penting pada status nutrisi individu, seperti mereka
mempengaruhi asupan makanan.
Pada studi ini, asupan makanan yang inadekuat merupakan faktor yang berkaitan
dengan malnutrisi, dan rerata konsumsi energi lebih rendah diantara individu malnutrisi
dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami malnutrisi (p<0,05). Akan tetapi,
evaluasi kecukupan asupan energi bergantung pada akurasi perhitungan kebutuhan dan
konsumsi individu. Penggunaan rumus prediktif dari metabolisme basal, faktor-faktor
multipel dari aktivitas fisik dan faktor cedera yang berkaitan dengan penyakit merupakan
subjek kesalahan pengoperasian. Terdapat sedikit studi terkait faktor risiko dan penilaian
energi dan hubungannya dengan kebutuhan, karena memerlukan pengumumpulan dan
analisis data yang hati-hati. Hal yang paling sering diamati adalah variabel yang dinilai
secara tidak langsung dengan pertanyaan terkait penurunan komsumsi, perubahan yang
berkaitan dengan konsistensi dan pengurangan frrekuensi makan.
Laporte et al melakukan studi untuk mengidentifikasi variabel-variabel prediktif
malnutrisi, dengan bertanya ke populasi untuk memperoleh informasi tentang konsumsi
saat ini (normal atau kurang dari setengah dari yang biasa di makan). Ward et al menilai
variabel-variabel yang berkaitan dengan malnutrisi dan perubahan pola makan,
berdasarkan perubahan konsistensi (kebutuhan untuk jumlah cairan yang lebih tinggi
pada makanan), penurunan jumlah makanan, dan instruksi untuk tidak mengkonsumsi
beberapa jenis makanan akhir-akhir ini. Kedua studi menunjukkan terdapat hubungan
antara malnutrisi dan variabel makanan (p<0,05).
Pada studi longitudinal, evaluasi asupan energi terjadi saat periode hospitalisasi.
Barton et al menemukan bahwa 40% pasien rawat inap tidak mencukupi kebutuhan
energi, dan hal ini juga diamati oleh Depertuis et al pada 57% sampel mereka.
Pada populasi studi, jenis kelamin pria merupakan faktor yang berkaitan dengan
malnutrisi; frekuensi yang didapatkan pada pria adalah 73,2% dan pada wanita adalah
49,4%, serta pria memiliki risiko malnutrisi kira-kira 3 kali lebih tinggi (OR = 3,51 95%
CI 1,17-10,52, p = 0,025). Pirlich et al meneliti faktor sosial pada pasien rawat inap
(dewasa dan usia lanjut) dan menemukan hubungan positif dengan jenis kelamin pria
berusia 65 tahun keatas (p<0,05). Akan tetapi, Splett et al menemukan bahwa kehilangan
BB saat hospitalisasi lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan pria (p<0,05).
Untuk mendiskusikan penemuan-penemuan tersebut, terdapat beberapa
pertimbangan yang cukup penting. Pada praktik klinis, didapatkan bahwa pria mencari
layanan kesehatan lebih lama dibandingkan wanita. Perilaku ini karena beberapa alasan:
pria tidak memiliki kebiasaan konsultasi untuk tindakan pencegahan dan lebih kurang
peduli terhadap perubahan BB dan konsumsi makanan dibandingkan dengan wanita.
Sehingga, dibuat hipotesis bahwa ketika dirawat inap, mereka dapat memiliki risiko
malnutrisi yang lebih tinggi.

Kesimpulan
Setelah menganalisis variabel-variabel yang berkaitan dengan malnutrisi
(kehilangan BB akhir-akhir ini, struktur tulang yang jelas, penurunan napsu makan, diare,
asupan energi inadekuat dan jenis kelamin pria), didapatkan bahwa kebanyakan variabel
tersebut ada saat masuk rumah sakit.
Identifikasi risiko manutrisi pada pasien berdasarkan variabel-variabel prediktif
merupakan langkah pertama untuk memperoleh perawatan nutrisi yang tepat, sehingga
mengurangi frekuensi malnutrisi dan konsekuensinya. Setiap institusi harus
mengidentifikasi faktor-faktor tersering pada populasi, mengembangkan alat skrining
nutrisi tersendiri atau mengadopsi alat skrining yang direkomendasi, mengembangkan hal
tersebut dan kemudian memvalidasinya.
Pencegahan dan terapi malnutrisi merupakan tantangan yang besar. Diagnosis
yang tepat penting untuk dimulainya terapi nutrisi sesegera mungkin dengan intervensi
terapetik-diet yang efisien. Diagnosis harus dilakukan secara dini dan monitoring status
nutrisi merupakan tanggung jawab seluruh tim layanan kesehatan yang merawat pasien.
Intervensi nutrisi pada pasien yang berisiko malnutrisi dapat menghasilkan prognosis
yang lebih baik, mengurangi morbiditas dan mortalitas, serta meningkatkan kualitas
hidup.

Anda mungkin juga menyukai