Anda di halaman 1dari 30

MATERI UTAMA KEGIATAN BELAJAR 2

Pembelajaran yang efektif dapat dicapai apabila guru menguasai berbagai


teori belajar sebagai landasan dalam mengimplementasikan pembelajarannya.
Teori belajar merupakan hasil pemikiran para ahli pendidikan berupa deskripsi
temuan tentang bagaimana individu belajar. Terdapat beberapa aliran teori belajar
diantaranya aliran Behaviorisme, Kognitivisme, Humanisme dan
Konstruktivisme. Persepsi awal yang harus dimiliki oleh seorang guru ketika
memilih salah satu aliran untuk diimplementasikan dalam pembelajaran adalah
bahwa tidak ada satupun aliran yang paling baik. Implementasi keempat aliran
teori belajar tersebut sangat bergantung pada karakteristik siswa, materi
pembelajaran dan lingkungan belajarnya.
A. Teori Belajar Aliran Behaviorisme
Behaviorisme secara etimologis terdiri dari dua kata yaitu behave yang
berarti berperilaku dan isme yang berarti aliran. Dengan demikian, behaviorisme
merupakan salah satu aliran yang mendeskripsikan bahwa belajar merupakan
aktivitas yang dapat mengubah perilaku individu, dan perilaku tersebut dapat
dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah sebagai respon terhadap stimulus yang
diberikan. Aliran ini memfokuskan pada munculnya berbagai respon individu
sebagai akibat berbagai stimulus yang diberikan. Tokoh-tokoh yang menekuni dan
memberikan pengaruh yang kuat terhadap aliran ini adalah Edward L. Thorndike,
B.F. Skinner, Gagne, Baruda, Ivan Pavlov, John B. Watson dan David Ausubel.
Berikut merupakan deskripsi teori belajar menurut para tokoh di atas beserta
implementasinya dalam pembelajaran di sekolah dasar.
1. Teori Belajar Edward L. Thorndike
Edward L. Thorndike merupakan pakar psikologi yaang tidak setuju dengan
pernyataan bahwa hewan memecahkan masalah dengan nalurinya.
Pernyataannya tersebut dituangkan dalam bukunya yang berjudul Animal
Intelligence setelah Ia melakukan eksperimen terhadap beberapa hewan
diantaranya anjing, ikan, kera, kucing dan ayam untuk membuktikan bahwa
hewan-hewan tersebut juga memiliki kecerdasan. Gagasannya tersebut
menginisiasi munculnya teori koneksionisme yang mendeskripsikan tentang
keterkaitan antara stimulus tertentu dengan respon berupa perilaku yang
disadari (Operant Conditioning). Terkait pembelajaran, menurut Edward L.
Thorndike, belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus
dan respon. Belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu
stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau
kepuasan pada diri siswa bisa timbul sebagai akibat siswa mendapat pujian
atau ganjaran dari gurunya. Selanjutnya Thorndike menamakan kondisi
tersebut sebagai hukum efek (Law of Effect).
Percobaan Thorndike dilakukan dengan menggunakan kotak teka-teki (puzzle
box) berupa ruangan kecil tempat hewan-hewan yang menjadi subjek
penelitiannya diletakkan di dalamnya atau bisa kita sebut sebagai kandang.
Kotak tersebut dilengkapi dengan pintu yang dapat dibuka dengan cara menari
tali, mendorong tuas dan/atau mendaki tangga. Pada awal percobaannya
dengan meletakan makanan di luar kotak sebagai stimulus, hewan-hewan
tersebut kesulitan memberikan respon berupa aktivitas memecahkan masalah
dalam membuka pintu kotak untuk bisa keluar dan menikmati makanannya di
luar kotak. Namun demikian, setelah beberapa kali dilakukan percobaan,
akhirnya hewan-hewan tersebut dapat memecahkan masalah tersebut dalam
waktu yang semakin singkat.
Menurutnya, hasil percobaan tersebut membuktikan bahwa hewan
memecahkan masalah tidak menggunakan nalurinya tetapi menggunakan
kecerdasannya melalui proses trial and error yang merupakan salah satu
strategi untuk memecahkan masalah. Hal ini dikuatkan dengan kurva waktu
yang telah dicatatnya setiap kali percobaan berlangsung yang menunjukkan
penurunan secara gradual. Ia menyimpulkan dari percobaannya bahwa hewan
dapat memecahkan masalah melalui aktivitas yang disebut sebagai belajar.
Hasil penelitiannya menghasilkan beberapa dalil atau hukum yang melandasi
pembelajaran di sekolah dasar yaitu hukum kesiapan (law of readiness), hukum
latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect).
a. Hukum kesiapan
Hukum kesiapan ini menerangkan tentang bagaimana kesiapan siswa untuk
beraktivitas dalam belajar. Menurut hukum ini, seorang siswa akan lebih
berhasil belajarnya jika siswa tersebut telah siap secara fisik dan psikis untuk
melakukan aktivitas apapun dalam belajar.
Dalam pembelajaran di sekolah sesuai dengan standar proses pendidikan, pada
kegiatan pendahuluan guru wajib mengondisikan siswa secara fisik dan psikis
untuk mengikuti pembelajaran di kelas, menyampaikan cakupan materi yang
hendak disampaikan, menyampaikan tujuan pembelajaran, dan memberikan
apersepsi. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menyiapkan siswa
untuk belajar.
b. Hukum latihan
Hukum latihan ini menerangkan bahwa siswa akan berhasil belajarnya apabila
hubungan antara stimulus yang diberikan dengan respon siswa terjadi dan
diperkuat dengan kegiatan latihan dan pengulangan. Jika pengulangan sering
dilakukan maka akan memberikan dampak positif terhadap keberhasilan siswa
dalam belajar. Semakin sering pengulangan dilakukan, akan semakin kuat
konsep tertanam dalam ingatan siswa. Tentunya pengulangan yang dimaksud
adalah pengulangan dengan frekuensi teratur dan disajikan dengan cara yang
menarik.
Dalam pembelajaran di sekolah sesuai dengan standar proses pendidikan, pada
kegiatan inti guru wajib memfasilitasi aktivitas siswa dalam melakukan
eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Khususnya pada fase elaborasi, guru
harus memfasilitasi siswa dalam berlatih untuk mengembangkan materi ajar
yang telah digalinya pada fase eksplorasi dan menguatkan pengetahuan yang
telah didapatkannya sebagai hasil dari belajar melalui fase konfirmasi.
Penguatan tersebut dapat berupa pengulangan, pengembangan dan
penyempurnaan hasil kerja dengan berbagai teknik penguatan.
c. Hukum akibat
Hukum akibat menerangkan bahwa seseorang dalam melakukan suatu tindakan
akan menimbulkan pengaruh terhadap dirinya. Jika seorang siswa melakukan
suatu tindakan yang dianggap benar, kemudian mendapatkan ganjaran berupa
pujian dari gurunya, tentunya hal ini akan memberikan kepuasan bagi siswa
tersebut, dan siswa tersebut cenderung untuk berusaha melakukan tindakan
yang lebih baik lagi.
Dalam pembelajaran di sekolah, pada saat siswa dapat mengerjakan tugas
dengan baik, menjawab soal dengan benar atau berperilaku positif, guru selalu
memberikan penghargaan kepada siswa dengan berbagai cara seperti kata-kata
pujian cerdas, juara, bagus, pandai, hebat dan lain-lain. Penghargaan tersebut
diharapkan dapat memotivasi siswa untuk melakukan hal yang lebih baik lagi
pada pembelajaran berikutnya.
Implementasi teori belajar menurut Edward L. Thorndike dalam pembelajaran
di sekolah dasar adalah berupa model pembelajaran dengan sintaks yang
berlandaskan pada pemikiran Edward L. Thorndike berdasarkan ketiga hukum
di atas yang terdiri dari fase kesiapan, latihan dan pemberian ganjaran atau
penghargaan.
1. Fase kesiapan
a) Guru mengondisikan siswa secara fisik dan psikis untuk mengikuti
pembelajaran
b) Guru menyampaian tujuan pembelajaran
c) Guru menyampaikan cakupan materi yang akan dipelajari
d) Guru memberikan apersepsi dengan mengaitkan materi ajar yang akan
dipelajari dengan materi sebelumnya atau dengan kehidupan sehari-hari
siswa.
2) Fase latihan
a) Guru menjelaskan materi ajar yang akan dipelajari
b) Guru memberikan tugas secara individu atau kelompok untuk dikerjakan
siswa
c) Siswa berlatih mengerjakan tugas-tugas individu atau kelompok
d) Siswa berlatih mengerjakan tugas-tugas lain yang sejenis sebagai
penguatan
e) Guru memberikan penguatan terhadap hasil kerja siswa
3) Fase pemberian ganjaran atau penghargaan
a) Guru memberikan penghargaan atas hasil kerja siswa
b) Guru bersama siswa merefleksi pembelajaran
c) Guru memberikan evaluasi
d) Guru menutup pembelajaran dengan kata-kata motivasi

2. Teori Belajar Burhus Frederic Skinner


Burhus Frederic Skinner adalah seorang pakar psikologi lulusan Universitas
Harvard Amerika Serikat dan mengabdikan diri untuk menjadi dosen pada
almamaternya. Penelitiannya secara berkelanjutan terhadap belajar dan
perilaku selama bertahun-tahun menghasilkan teori belajar yang dikenal
dengan Operant Conditioning (pengondisian yang disadari). Seperti hanya
penelitian yang dilakukan oleh Edward L. Thorndike, subjek penelitian Skinner
adalah beberapa hewan diantaranya tikus dan merpati.
Percobaan Skinner dilakukan dengan menggunakan kotak khusus yang disebut
kotak Skinner. Kotak Skinner berupa ruang kosong tempat hewan dapat
memperoleh makanan dengan melakukan usaha terlebih dahulu berupa respon
sederhana seperti menekan atau memutar tuas. Skinner menggunakan alat
perekam yang dapat merekam seluruh aktivitas hewan dalam memperoleh
makanannya yang diletakkan di dalam kotak Skinner. Berbeda dengan
percobaan Thorndike, pada percobaan Skinner, makanan diletakkan di dalam
kotak yang hanya cukup untuk setiap respon yang hanya membutuhkan upaya
yang ringan sehingga seekor hewan dapat melakukan responnya ratusan kali
dalam setiap jamnya.
Menurutnya, ganjaran dan penguatan dalam proses pembelajaran mempunyai
peranan yang sangat penting bagi siswa. Ganjaran merupakan respon yang
sifatnya menggembirakan siswa misalnya tepuk tangan apabila siswa mampu
menjawab pertanyaan dari gurunya. Sedangkan penguatan merupakan sesuatu
yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respon misalnya
memberikan hadiah pensil bagi siswa yang mampu menjawab pertanyaan dari
gurunya.
Menurutnya, hasil percobaan tersebut membuktikan bahwa perubahan pola
pemberian makanan mempengaruhi kecepatan dan pola perilaku hewan. Hasil
penelitiannya menghasilkan beberapa prinsip yang melandasi pembelajaran di
sekolah yaitu prinsip penguatan (reinforcement), prinsip hukuman
(punishment), prinsip pembentukan (shaping), prinsip penghapusan
(extinction), prinsip diskriminasi (discrimination), dan prinsip generalisasi
(generalization).
a. Prinsip penguatan
Penguatan merupakan suatu proses yang dapat memperbesar kesempatan
supaya perilaku positif tersebut terjadi lagi dan memperkuat perilaku positif
tersebut. Penguatan terdiri dari penguatan positif yang dapat memperkuat
perilaku positif melalui stimulus yang menyenangkan contoh dengan
memberikan pujian atau penghargaan ketika siswa dapat mengerjakan tugasnya
dengan baik dan penguatan negatif yang dapat memperkuat perilaku positif
dengan cara menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan misalnya saja
dengan melarang siswa melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kontrak
belajar yang telah disepakati bersama atau memberikan bantuan terhadap siswa
yang mengalami kesulitan dalam belajar.
b. Prinsip hukuman
Berbeda dengan penguatan yang dapat memperkuat perilaku positif, hukuman
merupakan suatu proses yang dapat memperbesar kesempatan supaya perilaku
negatif tersebut tidak terjadi lagi dan memperlemah perilaku negatif. Terdapat
dua jenis hukuman yaitu hukuman positif dan negatif. Hukuman positif dapat
mengurangi perilaku negatif dengan memberikan stimulus yang tidak
menyenangkan jika perilaku negatif itu terjadi. Contoh hukuman positif dari
guru adalah menghukum siswa yang melanggar tata tertib kelas untuk berdiri
di depan kelas dengan mengangkat salah satu kakinya supaya siswa pelaku
jera. Hukuman negatif dapat mengurangi perilaku negatif dengan
menghilangkan stimulus yang menyenangkan jika perilaku negatif itu terjadi.
Contoh hukuman negatif dari guru adalah menghukum siswa yang melanggar
aturan permainan dalam pembelajaran di kelas dengan cara tidak
mengikutsertakan siswa pelaku dalam permainan kelas berikutnya.
c. Prinsip pembentukan
Pembentukan merupakan suatu proses untuk mengajar perilaku individu yang
belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Contoh penerapan prinsip
pembentukan dalam pembelajaran menulis permulaan pada siswa baru kelas 1
SD adalah pada saat siswa mulai menulis tegak bersambung, guru
memfasilitasinya dengan buku siswa yang di dalamnya terdapat titik-titik yang
membentuk huruf tegak bersambung untuk dilengkapi siswa, selanjutnya pada
pembelajaran berikutnya siswa mulai menulis tegak bersambung dibantu oleh
guru dengan cara memegangi pensil siswa untuk diarahkan, berikutnya siswa
menulis tegak bersambung secara mandiri.
d. Prinsip penghapusan
Penghapusan merupakan suatu proses menarik kembali penguat dari perilaku
individu. Contoh penerapan prinsip penghapusan dalam pembelajaran di
sekolah adalah pada saat guru memberikan scaffolding terhadap siswa pada
saat siswa menulis tegak bersambung. Pertama guru memberikan bimbingan
yang maksimal, kemudian bimbingan tersebut berangsur-angsur dikurangi
bahkan dihilangkan agar siswa dapat melakukannya sendiri.
e. Prinsip diskriminasi
Diskriminasi merupakan proses belajar bahwa suatu perilaku akan diperkuat
dalam suatu situasi dan tidak berlaku dalam situasi lainnya. Contoh penerapan
prinsip diskriminasi dalam pembelajaran di sekolah dasar adalah ketika guru
mengajar di pagi hari dengan gaya kharismatik atau tegas, kemudian pada
siang hari ketika siswa mulai lelah maka guru mengajar dengan penuh humor
dan permainan.
f. Prinsip generalisasi
Generalisasi merupakan proses bahwa suatu perilaku akan diperkuat dalam
suatu situasi dan berlaku juga dalam situasi lainnya. Contoh penerapan prinsip
generalisasi dalam pembelajaran di sekolah dasar adalah ketika suatu hari guru
mengajar dengan menerapkan metode permainan dan pada saat refleksi
pembelajaran siswa memberikan testimoni positif, maka pembelajaran pada
hari berikutnya guru akan menerapkan metode permainan kembali dengan
harapan siswa akan termotivasi untuk belajar.

Implementasi teori belajar menurut Burhus Frederic Skinner dalam


pembelajaran di sekolah dasar adalah berupa model pembelajaran dengan
sintaks yang berlandaskan pada pemikiran Skinner berdasarkan keenam prinsip
di atas yang terdiri dari fase pembentukan, fase penguatan dan hukuman, fase
penghapusan, dan fase generalisasi dan diskriminasi.
1) Fase pembentukan
a) Guru memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan secara individual
b) Guru memberikan bimbingan kepada siswa secara individual dalam
mengerjakan tugasnya
2) Fase penguatan dan hukuman
a) Siswa secara individual mengumpulkan hasil kerjanya dan guru
memberikan penilaian
b) Guru memberikan penghargaan berupa pujian untuk siswa yang dapat
mengerjakan tugasnya dengan baik
c) Guru memberikan hukuman berupa pemberian tugas yang lebih berat
kepada siswa yang tidak dapat mengerjakan tugasnya dengan baik
3) Fase penghapusan
a) Guru memberikan tugas yang sejenis untuk dikerjakan oleh siswa secara
individual
b) Siswa secara individual dan mandiri mengerjakan tugas yang diberikan
oleh guru
4) Fase generalisasi dan diskriminasi
a) Siswa bersama guru menyimpulkan pembelajaran
b) Siswa bersama guru merefleksi pembelajaran yang telah berlangsung
c) Guru memberikan evaluasi
d) Guru menutup pembelajaran
3. Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov adalah seorang Rusia yang menemukan teori belajar
pengondisian klasik (Clasical Conditioning) sebelum ditemukan teori
pengondisian yang lebih maju seperti teori Operant Conditioning dari Skinner.
Perbedaan antara teori Pavlov dan Skinner adalah pada bentuk
pengondisiannya, teori belajar Pavlov dengan clasical conditioning lebih
menekankan bentuk pengondisian secara refleks atau ditemukan secara
kebetulan dari percobaannya, sedangkan teori belajar Skinner dengan operant
conditioning lebih menekankan bentuk pengondisian secara disadari melalui
percobaan yang dilakukannya.
Teori belajar Pavlov ini ditemukan secara kebetulan ketika Ia sedang
mempelajari bagaimana air liur membantu proses pencernaan makanan.
Kegiatan percobaan dilakukan menggunakan bunyi lonceng untuk memanggil
dan memberi makan anjing yang menjadi subjek penelitiannya dan mengukur
volume produksi air liur anjing tersebut di waktu makan. Dalam percobaannya,
Pavlov menemukan beberapa temuan lainnya diantaranya ternyata setelah
anjing melalui prosedur yang sama beberapa kali, anjing tersebut mulai
mengeluarkan air liur setelah lonceng dibunyikan dan sebelum menerima
makanan. Pavlov menyimpulkan bahwa bunyi lonceng telah diasosiasikan oleh
anjing tersebut dengan makanan sehingga menimbulkan respon keluarnya air
liur. Bunyi lonceng tersebut merupakan stimulus dengan pengondisian dan
keluarnya air liur anjing merupakan respon dengan pengondisian.
Hasil penelitiannya menghasilkan proses belajar yang terdiri dari empat fase
yaitu fase akuisisi (acquisition), fase eliminasi (extinction), fase generalisasi
(generalization), dan fase diskriminasi (discrimination).
a. Fase akuisisi
Fase akuisisi merupakan fase belajar awal dari pengondisian respon yang
menggunakan stimulus kondisi selain stimulus utama dengan memperhatikan
urutan stimulus tersebut dan selang waktu antara stimulus kondisi dan stimulus
utama. Stimulus kondisi dari percobaan Pavlov adalah bunyi lonceng,
sedangkan stimulus utamanya adalah makanan. Contoh implementasi fase
akuisisi dalam pembelajaran di sekolah adalah ketika guru mengiming-imingi
siswa dengan hadiah kalau siswa dapat menjawab pertanyaan dari guru dengan
tepat. Sehingga dalam pembelajaran siswa aktif dan tekun membaca buku
supaya dapat menjawab pertanyaan dari guru. Stimulus utama pada kegiatan
pembelajaran tersebut adalah pemberian pertanyaan dari guru, sedangkan
stimulus kondisinya adalah iming-iming hadiah dari guru. membaca buku
dengan aktif dan tekun supaya dapat menjawab pertanyaan dari guru dengan
selalu tepat merupakan respon kondisi.
b. Fase eliminasi
Fase eliminasi merupakan fase belajar yang secara berangsur-angsur
mengurangi bahkan menghilangkan stimulus kondisi sehingga yang tersisa
adalah stimulus utama supaya respon tetap terjadi meskipun tanpa stimulus
kondisi. Contoh implementasi fase eliminasi dalam pembelajaran di sekolah
adalah ketika setelah beberapa kali pembelajaran guru mengiming-imingi
hadiah jika siswa dapat menjawab pertanyaan dari guru dengan tepat,
kemudian pertemuan berikutnya siswa tidak diiming-imingi hadiah tetapi
langsung diberikan tugas oleh guru. Karena motivasi belajar mulai tumbuh
meskipun tidak diiming-imingi hadiah, siswa tetap membaca buku dengan aktif
dan tekun supaya dapat menjawab pertanyaan dari guru dengan tepat.
c. Fase generalisasi
Fase generalisasi pada teori belajar Pavlov hampir sama dengan prinsip
generalisasi pada teori belajar Skinner. Generalisasi merupakan proses bahwa
suatu perilaku akan diperkuat dalam suatu situasi dan berlaku juga dalam
situasi lainnya. Contoh penerapan prinsip generalisasi dalam pembelajaran di
sekolah dasar adalah ketika suatu hari semua siswa aktif dan tekun membaca
buku karena diiming-imingi hadiah kalau mereka dapat menjawab pertanyaan
dari guru dengan tepat. Pada pertemuan berikutnya, supaya semua siswa aktif
dan bersungguh-sungguh mengerjakan pekerjaan rumahnya maka guru
mengiming-imingi hadiah bagi siswa yang mengerjakan pekerjaan rumahnya
dengan bersungguh-sungguh.
d. Fase diskriminasi
Fase diskriminasi pada teori belajar Pavlov hamir sama dengan prinsip
diskriminasi pada teori belajar Skinner. Diskriminasi merupakan proses belajar
bahwa suatu perilaku akan diperkuat dalam suatu situasi dan tidak berlaku
dalam situasi lainnya. Contoh penerapan prinsip diskriminasi dalam
pembelajaran di sekolah dasar adalah ketika guru mengiming-imingi hadiah
pensil kalau siswa dapat menjawab pertanyaannya dengan tepat. Pada
pembelajaran awal, siswa yang tidak memiliki pensil masih termotivasi untuk
membaca buku dengan tekun supaya dapat menjawab pertanyaan dari guru
dengan tepat dan mendapatkan hadiah pensil, tetapi pada pembelajaran
berikutnya setelah siswa memiliki pensil maka siswa tidak termotivasi lagi
untuk membaca buku dengan tekun. Perubahan situasi pembelajaran terjadi
dari situasi dimana siswa tidak memiliki pensil menjadi situasi pembelajaran
dimana siswa telah memiliki pensil.

Implementasi teori belajar menurut Ivan Petrovich Pavlov dalam pembelajaran


di sekolah dasar adalah berupa model pembelajaran dengan sintaks yang
berlandaskan pada pemikiran Pavlov yang terdiri dari fase akuisisi, fase
eliminasi, fase generalisasi, dan fase diskriminasi.
1) Fase akuisisi
a) Guru membentuk kelompok secara heterogen
b) Guru dan siswa membuat kesepakatan belajar bahwa kelompok yang
dapat melakukan percobaan dengan tepat sesuai dengan langkah kerja
pada LKS dan waktu yang telah ditentukan akan diberikan bintang (*)
sesuai dengan banyaknya anggota kelompok
c) Setiap anggota kelompok membaca langkah kerja pada LKS dengan
seksama
d) Setiap kelompok melakukan percobaan kelompoknya
e) Setiap kelompok mengumpulkan LKS kelompoknya sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan
f) Guru memberikan penilaian
g) Guru memberikan bintang (*) kepada kelompok sebanyak anggota
kelompok yang dapat melakukan percobaannya dengan tepat sesuai
dengan langkah kerja pada LKS dan waktu yang telah ditentukan.
2) Fase eliminasi
a) Guru memberikan tugas yang sejenis untuk dikerjakan oleh siswa secara
kelompok
b) Siswa secara berkelompok mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru
c) Siswa secara berkelompok mengumpulkan hasil kerjanya
d) Guru memberikan penilaian kelompok
3) Fase generalisasi
a) Guru merefleksi pembelajaran dengan cara membandingkan proses
pembelajaran pada fase 1 dan 2
b) Guru memberikan penghargaan berupa bintang (*) pada kelompok yang
masih aktif dan tepat dalam melakukan percobaan.
4) Fase diskriminasi
a) Siswa bersama guru menyimpulkan pembelajaran
b) Siswa bersama guru merefleksi pembelajaran yang telah berlangsung
c) Guru bersama siswa menentukan kesepakan belajar untuk pertemuan
berikutnya terkait jenis penghargaan kelompok yang diharapkan oleh
siswa ketika kelompoknya dapat mengerjakan tugas dengan baik dan
tepat
d) Guru memberikan evaluasi
e) Guru menutup pembelajaran

4. Teori Belajar John Watson


John Watson merupakan pakar psikologi berkebangsaan Amerika Serikat yang
banyak meneliti perilaku berbagai jenis hewan dan membandingkan perilaku
adaptasi berbagai jenis hewan terhadap lingkungannya. Oleh sebab itu, John
Watson dijuluki sebagai pakar teori belajar Stimulus-Respons (S-R).
Subjek penelitian John Watson adalah seorang balita bernama Albert yang
pada awal eksperimennya tidak takut terhadap tikus. Pada percobaannya,
ketika balita tersebut memegang tikus, Watson mengeluarkan suara keras
dengan tiba-tiba yang menyebabkan balita tersebut menangis karena kaget dan
takut. Akhirnya, balita tersebut menjadi takut dengan tikus meskipun tidak ada
suara keras sekalipun.
John Watson menyimpulkan bahwa stimulus khusus tertentu dapat dihadirkan
untuk mengeliminasi stimulus kondisi yang menyebabkan respon kondisi
tertentu berubah. Stimulus khusus tersebut mengasimilasi sebagian besar atau
seluruh fungsi dari refleks.
Seperti halnya Skinner, hasil penelitiannya menghasilkan proses belajar yang
terdiri dari empat fase yaitu fase akuisisi (acquisition), fase eliminasi
(extinction), fase generalisasi (generalization), dan fase diskriminasi
(discrimination). Perbedaannya adalah pada fase eliminasi, John Watson
menghadirkan stimulus khusus tertentu untuk mengeliminasi stimulus kondisi
dalam rangka mengubah respon kondisi semula. Contoh implementasi teori
belajar Watson dalam pembelajaran di sekolah adalah ketika guru bertanya
pada salah satu siswa, kemudian siswa tersebut selalu tidak berani
mengemukakan pendapat atau jawabannya. Kemudian guru menggunakan
strategi undian menggunakan kartu nama siswa yang dikocok dengan
kesepakatan bahwa yang namanya muncul harus menjawab pertanyaan dari
guru. Guru dengan sengaja telah menuliskan nama siswa yang tidak memiliki
keberanian menyampaikan pendapatnya tersebut pada banyak kartu supaya
kesempatan untuk mendapat giliran menjawabnya besar. Ketika kartu nama
siswa tersebut muncul, maka siswa tersebut terpaksa untuk menyampaikan
jawaban dari pertanyaan guru, sehingga pada pertemuan berikutnya siswa
tersebut menjadi berani menyampaikan pendapatanya. Stimulus kondisi dari
ilustrasi di atas adalah pemberian pertanyaan dari guru, respon kondisi semula
adalah siswa tidak berani mengemukakan pendapatnya, stimulus khusus dari
ilustrasi di atas berupa giliran seketika hasil undian untuk menjawab
pertanyaan dari guru, respon kondisi akhir setelah stimulus khusus diterapkan
berupa keberanian siswa dalam menyampaikan pendapat atau jawaban atas
pertanyaan guru.
Implementasi teori belajar menurut John Watson dalam pembelajaran di
sekolah dasar adalah berupa model pembelajaran dengan sintaks yang
berlandaskan pada pemikiran Pavlov dan Skinner yang terdiri dari fase
akuisisi, fase eliminasi, fase generalisasi, dan fase diskriminasi.
1) Fase akuisisi
a) Guru membentuk kelompok secara heterogen
b) Guru dan siswa membuat kesepakatan belajar bahwa kelompok yang
dapat melakukan percobaan dengan tepat sesuai dengan langkah kerja
pada LKS dan waktu yang telah ditentukan akan diberikan bintang (*)
sesuai dengan banyaknya anggota kelompok
c) Setiap anggota kelompok membaca langkah kerja pada LKS dengan
seksama
d) Setiap kelompok melakukan percobaan kelompoknya
e) Setiap kelompok mengumpulkan LKS kelompoknya sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan
f) Guru memberikan penilaian
g) Guru memberikan bintang (*) kepada kelompok sebanyak anggota
kelompok yang dapat melakukan percobaannya dengan tepat sesuai
dengan langkah kerja pada LKS dan waktu yang telah ditentukan.
2) Fase eliminasi
a) Guru memberikan tugas yang sejenis untuk dikerjakan oleh siswa secara
kelompok
b) Siswa secara berkelompok mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru
c) Guru memberikan hukuman positif atau negatif kepada siswa yang tidak
bersungguh-sungguh mengerjakan tugas kelompoknya
d) Siswa secara berkelompok mengumpulkan hasil kerjanya
e) Guru memberikan penilaian kelompok
3) Fase generalisasi
a) Guru merefleksi pembelajaran dengan cara membandingkan proses
pembelajaran pada fase 1 dan 2
b) Guru memberikan penghargaan berupa bintang (*) pada kelompok yang
masih aktif dan tepat dalam melakukan percobaan.
4) Fase diskriminasi
a) Siswa bersama guru menyimpulkan pembelajaran
b) Siswa bersama guru merefleksi pembelajaran yang telah berlangsung
c) Guru bersama siswa menentukan kesepakan belajar untuk pertemuan
berikutnya terkait jenis penghargaan kelompok yang diharapkan oleh
siswa ketika kelompoknya dapat mengerjakan tugas dengan baik dan
tepat
d) Guru memberikan evaluasi
e) Guru menutup pembelajaran

5. Teori Belajar Robert M. Gagne


Gagne mengemukakan bahwa dalam belajar terdapat dua hal yang dapat
diperoleh siswa, yaitu; objek langsung dan objek tidak langsung. Objek
langsung adalah fakta, keterampilan, konsep dan aturan, sedangkan objek tidak
langsung antara lain ialah kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah,
belajar mandiri, bersikap positif, dan tahu bagaimana semestinya belajar.
Belajar merupakan kegiatan yang kompleks yang dapat menghasilkan sejumlah
kemampuan berupa keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai sebagai akibat
dari stimulus yang berasal dari lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan
oleh pebelajar. Menurutnya, kegiatan belajar meliputi tiga tahapan yaitu tahap
persiapan, tahap pemerolehan dan unjuk kinerja, serta tahap pengulangan dan
evaluasi. Ketiga tahapan tersebut dapat diurai menjadi sintaks yang spesifik
sebagai berikut:
a. Tahap persiapan
1) Guru mengarahkan perhatian melalui kegiatan mengkondisikan siswa
secara fisik dan psikis contoh dengan menayangkan masalah yang tidak
terstruktur (ill-structured problem)
2) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
3) Guru memberikan apersepsi dengan merangsang siswa untuk mengingat
kembali materi pembelajaran sebelumnya
b. Tahap pemerolehan dan unjuk kinerja
1) Guru menugaskan siswa untuk mengerjakan tugas
2) Guru membimbing siswa dalam mengerjakan tugas
3) Setiap siswa mempresentasikan hasil kerjanya
4) Guru memberikan penguatan terhadap hasil kerja siswa
c. Tahap pengulangan dan evaluasi
1) Guru memberikan penilaian terhadap proses dan hasil kerja siswa
2) Guru memberikan penguatan terhadap materi yang dipelajari siswa
melalui tanya jawab (pengulangan)
3) Guru menyampaikan materi yang akan dipelajari pada pertemuan
berikutnya

B. Teori Belajar Aliran Kognitivisme


Aliran kognitivisme muncul sebagai kritik terhadap aliran behaviorisme yang
lebih memfokuskan pada stimulus dan respon serta perubahan perilaku
individu. Aliran ini menganggap bahwa penyimpanan dan pemrosesan
informasi sangat penting dalam proses belajar yang melibatkan proses mental
yang kompleks, termasuk memori, perhatian, bahasa, pembentukan konsep dan
pemecahan masalah. Tokoh dari aliran kognitivisme ini terdiri dari Jeans
Piaget, Edward C. Tollman, Jerome Bruner, Lev Vygotsky, dan Noam
Chomsky.
1. Teori Belajar Jeans Piaget
Jeans Piaget merupakan pakar psikologi dari Universitas Jenewa, Swiss. Piaget
berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu melalui interaksi terus-
menerus dengan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi untuk
menghasilkan pengetahuan dengan tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pengetahuan awal sebelumnya yang telah tersimpan pada skemata
siswa. Pemrosesan informasi dalam skemata siswa terdiri dari asimilasi yang
merupakan proses masuknya informasi baru kedalam skemata siswa dan
akomodasi yang merupakan proses bergabungnya informasi baru dengan
informasi awal dalam skemata siswa membentuk struktur kognitif atau skema
yang lebih tinggi tingkatannya (ekuilibrasi). Dengan kata lain, struktur kognitif
yang lebih tinggi akan terbentuk ketika terjadi keseimbangan (ekuilibrasi)
antara proses asimilasi dan akomodasi. Piaget membagi empat tahap tingkat
perkembangan kognitif individu menurut umur rata-rata yaitu: 1) Tahap
Sensori Motor (0-2 tahun); 2) Tahap Pre Operasional (2-7 tahun); 3) Tahap
Operasi Konkret (7-11 tahun); Tahap Operasi Formal (11 tahun ke atas). Pada
tahap sensori motor anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik
dan motorik menggunakan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan,
dan gerakan. Pada tahap pra-operasional anak belum mengenal operasi atau
pikiran logis tetapi lebih mengandalkan persepsi realitas dengan menggunakan
simbol, bahasa, konsep sederhana, gambar, dan pengelompokan. Pada tahap
operasional konkret anak mulai mengenal operasi atau pikiran logis melalui
benda-benda konkret. Sedangkan pada tahap operasional formal anak mulai
berpikir secara abstrak dan menggunakan konsep yang rumit atau kompleks.
Dengan demikian menurut Piaget, siswa sekolah dasar tergolong pada tahap
operasional konkret. Sehingga dalam pembelajaran di sekolah dasar,
penyampaian materi yang abstrak hendaknya dimulai dengan objek yang
konkret untuk menjembataninya.
Teori belajar Jeans Piaget menghasilkan tiga fase pembelajaran yaitu fase
eksplorasi, pengenalan konsep dan aplikasi konsep.
a. Fase eksplorasi
Fase eksplorasi merupakan fase pembelajaran dimana siswa aktif menggali
pengetahuan dengan cara mengamati struktur materi pembelajaran berupa
pengetahuan faktual (fakta) yang terdiri dari peristiwa, fenomena, simbol,
dan fakta lainnya.
b. Fase pengenalan konsep
Fase pengenalan konsep merupakan fase dimana siswa aktif melakukan
konseptualisasi dari fakta yang diamatinya sehingga pada fase ini akan
terbentuk struktur materi ajar berupa pengetahuan konseptual yang terdiri
dari konsep dan prinsip.
c. Fase aplikasi konsep
Fase aplikasi konsep merupakan fase dimana siswa mengaplikasikan atau
menggunakan konsep yang telah dipelajarinya untuk mengeksplorasi
gejala lain yang ada kaitannya dengan konsep yang telah dipelajari tersebut.

Contoh implementasi teori belajar Piaget dalam pembelajaran di sekolah dasar


dengan menerapkan ketiga fase di atas adalah sebagai berikut:
1) Tahap eksplorasi
a) Guru memberikan apersepsi dengan menayangkan video tentang suatu
fenomena
b) Siswa mengamati tayangan video tentang fenomena di atas
c) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-
hal yang belum dan ingin dipahaminya tentang fenomena yang terdapat
pada tayangan video
2) Tahap pengenalan konsep
a) Guru menjelaskan materi ajar yang akan dipelajari
b) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang
materi ajar yang tidak dipahaminya
c) Siswa mengumpulkan informasi dari berbagai sumber tentang materi
yang sedang dipelajari
d) Setiap siswa mempresentasikan hasil pengumpulan informasinya
e) Guru memberikan penguatan terhadap presentasi siswa
3) Tahap aplikasi konsep
a) Guru memberikan evaluasi untuk menguji pemahaman siswa
b) Guru menyampaikan materi ajar dan rencana kegiatan belajar pada
pertemuan berikutnya dengan mengaitkannya dengan materi ajar yang
telah dipelajari siswa
2. Teori Belajar Jerome Bruner
Jerome Brunner merupakan guru besar di Universitas Harvard di Amerika
Serikat dan Universitas Oxford di Inggris. Melalui bukunya yang berjudul A
Study in Thinking, Ia mendefinisikan proses kognitif sebagai alat bagi individu
untuk memperoleh, menyimpan, dan mentransformasikan informasi. Bruner
yang merupakan pelopor utama teori konstruktivisme menyatakan bahwa
belajar adalah proses pembentukan kategori-kategori. Bruner mengemukakan
tahapan proses belajar siswa, yaitu tahap enaktif dengan melibatkan tindakan
siswa secara langsung dalam memanipulasi objek, tahap ikonik dengan
mengamati gambar dari objek yang diamatinya, dan tahap simbolik yang
melibatkan notasi, simbol, atau lambang-lambang tanpa terikat dengan objek.
Pembelajaran di sekolah dasarpun seyogyanya dimulai dengan objek real
(konkret), dilanjutkan dengan gambar dari objeknya (semi konkret), menuju
notasi atau lambang dari objek tersebut (abstrak).
a. Tahap enaktif
Tahap enaktif melibatkan tindakan siswa dalam memanipulasi objek
konkret, mengamati suatu fakta berupa gejala alam, fenomena, peristiwa dan
fakta lainnya secara langsung. Pada tahap ini siswa berinteraksi dengan
objek konkret untuk menggali berbagai informasi tentang objek tersebut.
b. Tahap ikonik
Tahap ikonik melibatkan aktivitas siswa dalam mengamati gambar dari
objek yang diamatinya baik gambar yang semi konkret maupun gambar
yang semi abstrak. Tahap ini merupakan tahap yang menjembatani antara
objek konkret pada tahap enaktif dan objek abtrak pada tahap simbolik.
c. Tahap simbolik
Tahap simbolik melibatkan aktivitas siswa dalam mengenal atau membuat
notasi, simbol, atau lambang-lambang tanpa terikat dengan objek konkret,
semi konkret atau semi abtrak. Objek tersebut telah diwakili oleh notasi,
simbol atau lambang-lambang yang bersifat abstrak. Pada tahap ini
dilakukan proses konseptualisasi yang menghasilkan konsep-konsep yang
bersifat abstrak.
Contoh implementasi teori belajar Bruner dalam pembelajaran di sekolah dasar
dengan menerapkan ketiga tahap di atas adalah sebagai berikut:
1) Tahap enaktif
a) Guru menyiapkan berbagai benda konkret untuk diamati siswa
b) Siswa mengamati benda konkret tersebut dan menuliskan berbagai
informasi tentang benda tersebut dari hasil pengamatannya
c) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-
hal yang belum dan ingin dipahaminya tentang benda tersebut.
2) Tahap ikonik
a) Guru menayangkan gambar benda-benda lain yang tidak disediakan
untuk diamati siswa
b) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-
hal yang belum dipahaminya dari benda-benda yang terdapat pada
gambar
c) Guru menugaskan siswa untuk mengumpulkan insformasi dari berbagai
sumber tentang benda-benda yang terdapat dalam gambar dan
mencatatnya dalam LKS
d) Setiap siswa mempresentasikan hasil kerjanya
e) Guru memberikan penguatan terhadap proses dan hasil kerja siswa
3) Tahap simbolik
a) Guru menjelaskan informasi tentang benda-benda yang telah diamati
siswa baik benda konkret maupun benda dalam gambar mulai dari
pengertian dan ciri-cirinya.
b) Guru memberikan evaluasi untuk menguji pemahaman siswa

3. Teori Belajar Lev Vygotsky


Lev Vygotsky merupakan pakar psikologi dari Institut Psikologi Moskow
Rusia. Vygotsky menyatakan bahwa proses kognitif tingkat tinggi individu
merupakan hasil dari perkembangan sosial dan interaksi dengan
lingkungannya. Teori belajar Vygotsky disebut sebagai teori sosio-kultural
yang melatar belakangi munculnya pendekatan pembelajaran kooperatif dalam
dunia pendidikan. Menurutnya, interaksi anak-anak dengan orang dewasa
berkonstribusi dalam pengembangan berbagai keterampilannya. Anak tidak
mampu melakukan suatu kegiatan belajar tanpa bantuan namun dapat
melakukannya secara baik di bawah bimbingan orang dewasa. Interaksi
tersebut dapat meningkatkan kemampuan potensialnya yaitu kemampuan siswa
setelah berinteraksi dengan lingkungan dibandingkan dengan kemampuan
aktualnya yang merupakan kemampuan siswa melalui belajar secara mandiri
tanpa berinteraksi dengan lingkungannya. Perbedaan atau selisih antara
kemampuan potensial dengan kemampuan aktualnya menandakan adanya zona
perkembangan kognitif siswa yang selanjutnya dalam teori belajar Vygotsky
disebut Zone of Proximal Development (ZPD). Implementasi teori belajar
Vygotsky dalam pembelajaran di sekolah terdiri dari tahap-tahap pembelajaran
kooperatif sebagai berikut:
a. Menyampaikan tujuan pembelajaran dan perlengkapan pembelajaran
b. Menyampaikan informasi
c. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
d. Membantu siswa belajar dan bekerja dalam kelompok
e. Evaluasi atau memberikan umpan balik
f. Memberikan penghargaan kelompok.

Contoh implementasi teori belajar Vygotsky dalam pembelajaran di sekolah


dasar dengan menerapkan tahap-tahap di atas adalah sebagai berikut:
a. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai
b. Guru menjelaskan kelengkapan belajar yang dibutuhkan
c. Guru menjelaskan langkah pembelajaran yang akan dilakukan
d. Guru menjelaskan materi ajar
e. Guru mengelompokkan siswa secara heterogen terdiri dari 4 s.d. 6 orang
setiap kelompoknya
f. Guru memberikan tugas untuk dikerjakan siswa secara berkelompok
g. Siswa belajar, berbagi tugas dan bekerjasama dalam kelompok
h. Setiap kelompok mengumpulkan hasil kerja kelompoknya
i. Guru memberikan penilaian terhadap proses dan hasil kerja kelompok
j. Guru memberikan penguatan terhadap proses dan hasil kerja kelompok
k. Guru memberikan reward atau penghargaan kepada kelompok terbaik
l. Guru memberikan evaluasi
m. Guru menutup pembelajaran

4. Teori Belajar Gestalt


Gestalt secara etimologis berasal dari bahasa Jerman berarti bentuk yang utuh,
pola, kesatuan, dan keseluruhan. Teori belajar Gestalt ini menganut aliran
kognitivisme yang menganggap bahwa belajar merupakan aktivitas mengetahui
atau mencari tahu (knowing) bukan aktivitas menghubungkan antara stimulus
dan respon seperti anggapan para pakar behaviorisme. Teori belajar Gestalt ini
lahir di Jerman pada tahun 1912 dipelopori dan dikembangkan oleh Max
Wertheimer. Pakar-pakar lainnya yang mengembangkan teori Gestalt ini antara
lain Wolfgang Kohler, Kurt Koffka, dan Kurt Lewin.
Penelitian Kohler difokuskan pada mentalitas Simpanse di pulau Canary.
Kohler dan pakar lainnya menyatakan bahwa belajar adalah proses yang
didasarkan pada insight yaitu pengamatan dan pemahaman mendadak terhadap
hubungan antar bagian dalam suatu situasi permasalahan. Implementasi dari
teori belajar Gestalt ini dalam pembelajaran adalah bahwa belajar harus melalui
pemahaman dan pemecahan masalah. Dalam belajar melalui pemahaman siswa
harus memahami makna hubungan antara satu bagian dengan bagian lainnya
sehingga belajar penuh dengan keterkaitan antarkonsep, keterkaitan antarmata
pelajaran, dan keterkaitan antara konsep yang dipelajari dengan kehidupan
siswa sehari-hari. Dalam belajar melalui pemecahan masalah siswa mencoba
menggabungkan seluruh pengetahuan dan pemahamannya untuk
menyelesaikan masalah tersebut.
Contoh implementasi teori belajar ini berupa langkah-langkah pembelajaran di
sekolah dasar sebagai berikut:
a. Guru memberikan apersepsi dengan mengaitkan materi pelajaran yang akan
dipelajari dengan materi ajar sebelumnya atau dengan pengalaman siswa
b. Guru menjelaskan materi pembelajaran
c. Guru memberikan masalah terkait materi pembelajaran yang telah
dijelaskan guru untuk dipecahkan siswa
d. Siswa memahami masalah yang diberikan guru dengan menuliskan apa
yang diketahui dan ditanyakan
e. Siswa merencanakan solusi untuk masalah tersebut
f. Siswa menyelesaikan masalah menggunakan konsep-konsep atau
pengetahuan yang telah dipelajarinya
g. Siswa memeriksa kembali hasil kerjanya
h. Guru memberikan penilaian dan penguatan
i. Guru memberikan evaluasi
j. Guru menutup pembelajaran

C. Teori Belajar Aliran Humanisme


Aliran humanisme lebih memusatkan perhatian pada psikologis sifat dasar
manusia untuk meraih sepenuhnya apa yang diinginkan dan berperilaku dalam
cara yang konsisten menurut diri mereka sendiri. Aliran ini merupakan aliran
alternatif selain behaviorisme dan kognitivisme yang selanjutnya disebut
sebagai kekuatan ketiga. Pakar dari aliran humanisme ini adalah Carl Rogers
dan Abraham Maslow.
1. Teori Belajar Carl Rogers
Carl Roger merupakan pakar psiko-terapi yang mengembangkan person-
centered therapy, suatu pendekatan yang tidak bersifat menilai ataupun tidak
memberi arahan yang membantu klien mengklarifikasi dirinya tentang siapa
dirinyasebagai suatu upaya fasilitasi proses memperbaiki kondisinya. Dalam
praktiknya, Carl Rogers memberikan kebebasan kepada kliennya untuk
mengeluarkan segala isi hatinya sepuas-puasnya, yang baik maupun yang
buruk dengan menerapkan metode non-directive counseling. Rogers mencoba
memahami dan merasakan jiwa kliennya dan menjauhkan diri dari segala
macam penilaian normatif tentang ucapan, pikiran, perasaan, atau perbuatan
kliennya. Dengan demikian, klien tersebut akan lebih mengenal dirinya,
menerima dirinya sebagaimana adanya dan akhirnya merasa bebas untuk
memilih dan berbuat menurutnya dengan penuh tanggung jawab. Dengan
demikian, menurut teori belajar Rogers, manusia yang lahir sudah membawa
dorongan untuk meraih sepenuhnya apa yang diinginkan dan berperilaku dalam
cara yang konsisten menurut diri mereka sendiri.
Implementasi teori belajar ini dalam dunia pendidikan adalah bahwa guru
sebaiknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-
tugas belajar secara bebas, tanpa dipaksa, dan penuh tanggung jawab.
Selanjutnya, teori ini dinamakan teori belajar bebas. Rogers mengemukakan
prinsip-prinsip pendidikan dan pembelajaran sebagai berikut:
a. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya
b. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya
c. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan
ide baru, sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
d. Belajar bermakna berarti belajar tentang proses-proses belajar, keterbukaan
belajar mengalami sesuatu, bekerja sama dengan melakukan pengubahan
diri terus menerus
e. Belajar yang optimal akan terjadi, bila siswa berpartisipasi secara
bertanggung jawab dalam proses belajar
f. Belajar mengalami (experiential learning) dapat terjadi, bila siswa
mengevaluasi dirinya sendiri. Belajar mengalami dapat memberi peluang
untuk belajar kreatif, penilaian diri (self evaluation), dan kritik diri.
g. Belajar mengalami menuntut keterlibatan siswa secara penuh dan sungguh-
sungguh.

Berdasarkan prinsip di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar akan efektif


apabila dilakukan secara bermakna dan siswa mengalami langsung untuk terlibat
dalam pembelajaran. Rogers mengemukakan langkah-langkah pembelajaran
sesuai dengan teori belajarnya sebagai berikut:
a. Guru memberikan kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara
tersetruktur
b. Guru dan siswa membuat kontrak belajar
c. Guru menggunakan metode inkuiri atau diskoveri
d. Guru menggunakan metode simulasi
e. Guru mengadakan latihan kepekaan agar siswa mampu menghayati perasaan
dan berpartisipasi dengan kelompok lain
f. Guru bertindak sebagai fasilitator belajar
g. Sebaiknya guru menggunakan pengajaran berprogram, agar tercipta peluang
bagi siswa untuk timbulnya krativitas.

Berikut merupakan contoh implementasi teori belajar Rogers ini dalam


pembelajaran di sekolah dasar.
a. Guru menjelaskan langkah-langkah pembelajaran yang akan dilakukan
b. Guru bersama siswa membuat kontrak belajar
c. Guru mengelompokkan siswa kedalam beberapa kelompok yang terdiri dari 4
s.d. 6 orang
d. Guru membagikan LKS kepada setiap kelompok
e. Guru menjelaskan langkah kerja pada LKS
f. Siswa secara berkelompok melakukan penyelidikan dan penemuan sesuai
dengan langkah-langkah kerja pada LKS dan menuliskan hasilnya
g. Wakil dari setiap kelompok mempresentasikan proses dan hasil kerja
kelompoknya dan guru memberikan penguatan
h. Guru bersama siswa menyimpulkan dan merefleksi pembelajaran
i. Guru menjelaskan cakupan materi yang akan dipelajari pada pertemuan
berikutnya dan bertanya kepada siswa tentang harapan pada pembelajaran
berikutnya.
j. Guru menutup pembelajaran

2. Teori Belajar Abraham Maslow


Maslow mengemukakan teorinya bahwa semua orang memiliki motivasi untuk
memenuhi kebutuhannya yang bersifat hierarkis mulai dari hierarki terbawah
sebagai berikut:
a. Kebutuhan-kebutuhan fisik seperti rasa lapar dan haus.
b. Kebutuhan akan rasa aman
c. Kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta
d. Kebutuhan akan status dan pencapaian

Ketika berbagai kebutuhan di atas terpenuhi, individu akan meraih aktualisasi


diri, suatu dorongan untuk mengembangkan potensi secara penuh. Menurut
teori belajarnya, setiap individu memiliki potensi untuk dikembangkan.
Implementasi teori belajar Maslow dalam pendidikan adalah bahwa guru harus
memahami karakteristik setiap siswa dan memahami kebutuhannya, sehingga
setiap siswa mempelajari apa yang dia butuhkan berdasarkan lintasan belajar
dan potensinya masing-masing. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
seorang guru untuk mengimplementasikan teori belajar Maslow dalam
pembelajaran adalah:
a. Guru mengidentifikasi kebutuhan belajar dan potensi setiap siswa
b. Guru memberikan tugas yang beragam kepada setiap siswa sesuai dengan
kebutuhan dan potensinya
c. Guru memfasilitasi proses belajar dan memberikan bimbingan kepada setiap
siswa yang mengalami kesulitan belajar
d. Guru memberikan penghargaan kepada setiap siswa sesuai dengan
kinerjanya

D. Teori Belajar Aliran Konstruktivisme


Aliran ini merupakan pengembangan dari aliran kognitivisme, sehingga pakar-
pakar pada aliran ini merupakan pakar pada aliran kognitivisme. Menurut
aliran ini, belajar merupakan proses dimana pembelajar secara aktif
mengkonstruksi atau membangun pengetahuan, gagasan-gagasan, atau konsep-
konsep baru didasarkan atas pengetahuan awal yang telah dimilikinya.
Implementasi teori belajar ini dalam pembelajaran di sekolah melahirkan
prinsip-prinsip pembelajaran sebagai berikut:
1. Siswa telah memiliki pengetahuan awal
2. Belajar merupakan proses pengkonstruksian suatu pengatahuan berdasarkan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa
3. Belajar adalah perubahan konsepsi siswa
4. Proses pengkonstruksian pengetahuan berlangsung dalam suatu konteks
sosial tertentu
5. Siswa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya.

Tahapan pembelajaran berdasarkan teori belajar konstruktivisme terdiri dari


empat tahap yaitu:
1. Tahap eksplorasi pengetahuan awal siswa
Pada tahap ini siswa didorong untuk mengungkapkan pengetahuan awal
tentang konsep yang akan dipelajari. Bila perlu guru memancing dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan problematis tentang fenomena yang
sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas.
Siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasikan
pemahaman tentang konsep tersebut.
2. Tahap pemberian pengalaman langsung
Pada tahap ini siswa diajak untuk menemukan konsep melalui penyelidikan,
pengumpulan data, dan penginterpretasian data melalui suatu kegiatan yang
telah dirancang oleh guru. Pemberian pengalaman langsung dapat berupa
pengamatan, melakukan percobaan, demonstrasi, mencari informasi melalui
buku atau surfing di internet secara berkelompok. Pada tahap ini dirancang
agar rasa ingin tahu siswa tentang fenomena alam di sekelilingnya dapat
terpenuhi secara keseluruhan. Pada tahap ini guru memberi kebebasan pada
siswa untuk mengeksplorasi rasa keingintahuannya melalui pengalaman dan
kegiatan belajar siswa.
3. Tahap pengaktifan interaksi sosial
Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk berinteraksi sosial dengan
guru maupun temannya secara berkelompok untuk melakukan tanya jawab
maupun diskusi hasil observasi atau temuannya dalam kegiatan
pembelajaran atau pengalamannya.
4. Tahap pencapaian kepahaman
Pada tahap ini guru memberikan penguatan bukan memberi informasi.
Dengan demikian siswa sendiri yang membangun pemahaman baru tentang
konsep yang sedang dipelajari. Bila konsepsinya/ pengetahuan awalnya
benar, maka siswa menjadi tidak ragu-ragu lagi tentang konsepsinya. Bila
pengetahuan awalnya salah, maka eksplorasi akan merupakan jembatan
antara konsepsi siswa dengan konsep baru. Dengan demikian diharapkan
konsep yang dipelajarinya akan menjadi bermakna.

Contoh implementasi teori belajar konstruktivisme ini berupa langkah-langkah


dalam pembelajaran di sekolah dasar sebagai berikut:
1. Guru memberikan apersepsi dengan menggali pengetahuan awal siswa
melalui bertanya menggunakan pertanyaan-pertanyaan eksploratif dikaitkan
dengan materi yang akan dipelajari
2. Guru mengelompokkan siswa secara heterogen terdiri dari 4 s.d. 6 orang
3. Guru membagikan LKS, alat dan bahan kepada setiap kelompok dan
menjelaskan langkah kerja pada LKS serta alat dan bahan yang tersedia
4. Siswa secara berkelompok melakukan percobaan sesuai dengan langkah
kerja pada LKS dengan bimbingan guru
5. Siswa secara berkelompok mendiskusikan temuan-temuan pada saat
percobaan berlangsung dan menuliskannya pada LKS
6. Siswa secara berkelompok menyimpulkan hasil percobaannya dan
menuliskan kesimpulannya pada LKS dengan bimbingan guru
7. Wakil dari setiap kelompok mempresentasikan proses dan hasil kerja
kelompoknya dan guru memberikan penguatan
8. Guru memberikan evaluasi
9. Guru menutup pembelajaran

E. Teori Belajar Sosial


Teori belajar ini merupakan perluasan dari teori konstruktivisme yang lebih
memfokuskan pada pembelajaran kolaboratif dan sosial. Teori ini menyatakan
bahwa manusia belajar melalui pengamatannya terhadap perilaku orang lain
sebagai model, dan kemudian meniru perilaku model tersebut. Pakar pada teori
belajar sosial ini adalah Albert Bandura dan Bernard Weiner.
Albert Bandura melakukan pengamatan terhadap subjek penelitiannya yaitu
seorang anak prasekolah yang sedang mengerjakan tugas melukis sementara di
depannya terdapat sebuah televisi yang menayangkan film tentang seorang
dewasa yang dengan agresifnya sedang memalu, menendang, melempar,
menduduki, menggigit dan memukuli boneka Bobo berbentuk badut bertubi-
tubi. Anak tersebut kemudian beranjak ke ruangan lain yang penuh boneka
termasuk boneka Bobo. Bandura mengamati bahwa anak tersebut cenderung
meniru perbuatan orang dewasa sebagai model pada tayangan televisi dengan
perilaku yang lebih agresif terhadap boneka Bobo dibandingkan boneka
lainnya. Bandura menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa seorang anak yang
mengamati perilaku orang lain cenderung akan meniru perilakunya tersebut.
Berdasarkan penelitiannya tersebut, selanjutnya teori belajar sosial ini disebut
sebagai teori belajar imitasi. Implementasi teori belajar sosial ini dalam
pembelajaran di sekolah melahirkan empat fase pembelajaran yaitu:
1. Tahap memperhatikan (attention)
Pada tahap ini siswa harus menaruh perhatian pada detail-detail yang
penting dari perilaku model. Guru harus dapat mengarahkan pengamatan
siswa pada hal-hal penting yang menjadi fokus pengamatan. Guru dapat
memberikan pertanyaan-pertanyaan pengarah untuk memeriksa fokus
pengamatan siswa.
2. Tahap mengingat (retention)
Pada tahap ini siswa harus dapat mengingat atau menyimpan semua
informasi dalam memorinya. Guru harus memfasilitasi supaya model dapat
memberikan pengulangan-pengulangan perilaku supaya perilaku tersebut
mudah diingat oleh siswa.
3. Tahap memotivasi (motivation)
Pada tahap ini siswa harus memiliki motivasi untuk menirukan model. Guru
dapat mengiming-imingi hadiah atau memberikan penguatan agar siswa
termotivasi untuk menirukan model.
4. Tahap mereproduksi (reproduction)
Pada tahap ini siswa harus memiliki keterampilan dan koordinasi fisik yang
dibutuhkan. Guru dapat melatih siswa secara berulang-ulang supaya mereka
dapat melakukan perilaku sesuai dengan model yang diamatinya

Contoh implementasi teori belajar sosial berupa langkah-langkah pembelajaran


di sekolah dasar sebagai berikut:
1. Guru menjelaskan langkah-langkah pembelajaran yang akan dilakukan
2. Guru mengelompokkan siswa menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari
4 s.d. 6 siswa
3. Guru membagikan LKS kepada setiap kelompok
4. Guru menjelaskan langkah kerja, alat dan bahan yang dibutuhkan
5. Guru mendemonstrasikan setiap percobaan dalam LKS yang harus
dilakukan oleh setiap kelompok supaya mereka dapat melakukan setiap
percobaannya dengan baik
6. Guru bertanya kepada siswa untuk menguji pemahamannya terhadap
demonstrasi yang telah dilakukan
7. Guru memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk bertanya tentang
hal-hal yang belum dipahaminya
8. Guru memanggil satu orang siswa berkemampuan tinggi untuk
mendemonstrasikan ulang setiap percobaan sesuai dengan demostrasi yang
telah dilakukan oleh guru
9. Guru memotivasi siswa untuk melakukan setiap percobaan sesuai dengan
langkah kerja pada LKS dan demonstrasi yang telah dilakukan dengan cara
menyampaikan bentuk hadiah yang akan diberikan kepada setiap kelompok
yang dapat melakukan percobaannya dengan tepat
10. Siswa secara berkelompok melakukan setiap percobaan sesuai dengan
langkah kerja pada LKS dan demonstrasi yang telah dilakukan
11. Setiap kelompok mengumpulkan hasil kerjanya
12. Guru memberikan penilaian dan hadiah kepada setiap kelompok yang
melakukan percobaannya dengan tepat
13. Guru menutup pembelajaran

Anda mungkin juga menyukai