Prosedur identifikasi dan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, dilengkapi dengan indikator dan
cheklist untuk membantu para guru dalam rangka pelaksanaan kebijakan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus
disekolah dasar. Melalui pengamatan terhadap setiap gejala yang ada, jika guru menemukan siswa yang
memiliki tanda-tanda mirip atau sama dengan gejala-gejala tertulis dalam checklist yang ada dalam buku
panduan ini, dengan mudah mereka dapat menandainya, dan jika secara kualitatif memenuhi standar minimal
yang ditetapkan, maka anak tersebut dapat dikategorikan sebagai anak dengan disabilitas dan kebutuhan belajar
khusus lainnya. Klarifikasi kasus dan tindak lanjut kemudian direncanakan untuk dapat diimplementasikan bagi
anak-anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
SAMBUTAN
Latar Belakang
Tujuan
Pengertian dan Jenis Disabilitas serta Kebutuhan Belajar Khusus pada Anak
Peran Orang Tua dalam Identifikasi dan Rencana Pemenuhan Kebutuhan Belajar
Anak
- Penjaringan (screening)
- Pengalihtanganan (referral)
- Klasifikasi
- Rencana Pembelajaran
- Pemantauan Kemajuan Belajar
Pelaksanaan Identifikasi
- Sasaran
- Pelaksana
- Langkah
LAMPIRAN
Pendidikan sebagai hak untuk semua anak telah tercantum dalam berbagai instrumen
internasional mulai dari Deklarasi Universal 1948. Instrumen-instrumen selanjutnya
menunjukkan bahwa kelompok-kelompok tertentu, termasuk anak penyandang cacat dan
anak berkebutuhan khusus lainnya, sangat rentan untuk dipinggirkan. Hak untuk memperoleh
pendidikan dan tidak didiskriminasikan telah disorot dalam instrumen-instrumen yang lebih
rinci seperti deklarasi Jomtien dan Konvensi PBB tentang Hak Anak. Namun, hak atas
pendidikan tidak secara otomatis mengimplikasikan inklusi. Hak atas Pendidikan Inklusif
yang paling jelas telah dinyatakan dalam Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi yang
menekankan bahwa sekolah membutuhkan perubahan dan penyesuaian. Pentingnya
penggalangan sumber-sumber yang tepat untuk inklusi dinyatakan dalam Peraturan Standar
PBB. Implementasi instrumen-instrumen PBB tersebut telah dievaluasi oleh sejumlah LSM
internasional yang menyatakan bahwa Pendidikan untuk Semua belum terlaksana dan tidak
akan terlaksana kecuali adanya partisipasi di tingkat akar rumput dan adanya alokasi sumber-
sumber secara nyata.
Ada persoalan faktual yang dihadapi sekolah ketika mereka menerapkan pendidikan inklusif.
Para guru di sekolah umum tidak banyak yang mempunyai keterampilan untuk membuat
adaptasi dalam proses pembelajaran di sekolah dengan melibatkan berbagai karakteristik
perkembangan dan kebutuhan belajar siswa yang beragam. Hingga saat ini tidak ada model
pembelajaran yang baku bagi sekolah-sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusif
padahal. guru wajib melakukan adaptasi dalam metodologi pengajarannya. Pengadaptasian
dalam proses pengajaran dan pembelajaran ini memberikan peluang yang sama kepada semua
murid baik yang pintar maupun siswa berkebutuhan khusus. Tidak terbatas pada adaptasi
metodologi pengajaran dan penilaian saja guru perlu melakukan adaptasi-adaptasi terhadap
area-area perkembangan lainnya, seperti emosi sosial, fisik dan tingkah laku. Semua akan
memberikan iklim pembelajaran yang lebih adil, tepat, dan dapat melibatkan semua siswa
termasuk di dalamnya siswa berkebutuhan belajar khusus.
Secara mendasar, siswa dengan kebutuhan belajar yang khusus perlu dikenali dan
diidentifikasi dari kelompok siswa pada umumnya karena mereka memerlukan pendekatan
dan strategi yang berbeda. Pendekatan-pendekatan dan strategi pengajaran maupun
pembelajaran tersebut dapat beragam bentuknya; treatment yang bersifat medis, latihan-
latihan therapetik, maupun program pendidikan khusus yang semuanya bertujuan untuk
membantu meningkatkan fungsionalitas siswa tersebut dalam kehidupannya di masyarakat.
Dalam rangka mengidentifikasi atau menemukan siswa berkebutuhan khusus, diperlukan
pengetahuan tentang berbagai bentuk hambatan perkembangan dan belajar serta tingkat
keparahan yang dialami oleh siswa. Bentuknya mungkin dapat disebabkan oleh adanya
kecacatan fisik, hambatan mental dan intelektual, gangguan sosial dan emosional. Di luar
bentuk-bentuk hambatan pertumbuhan dan perkembangan tersebut dapat juga ditemukan
siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Masing-masing memiliki
gejala-gejala dan tanda serta ciri yang berbeda. Gejala serta tanda-tanda itu dapat digunakan
oleh guru untuk menandai dalam rangka identifikasi keberadaan siswa dengan kebutuhan
belajar khusus.
Buku identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang disertai instrument identifikasi ini
disusun untuk membantu guru dalam rangka identifikasi dan asesmen kebutuhan belajar
siswa sehingga dapat direkomendasikan strategi pembelajaran yang tepat bagi siswa yang
membutuhkannya. Instrumen ini berupa daftar peryataan yang berisi gejala-gejala yang
tampak pada anak untuk setiap jenis hambatan atau gangguan perkembangan dan belajarnya.
Melalui observasi yang mendalam guru akan dapat menemukan siswa yang memiliki tanda-
tanda mirip atau sama dengan gejala-gejala tertulis dalam instrumen ini. Guru kemudian
dapat mengenali siswa tersebut dan bila secara kualitatif memenuhi standar minimal yang
ditetapkan, maka siswa tersebut dapat dikategorikan sebagai ABK. Secara sederhana,
istrumen ini dapat membantu para guru untuk menyimpulkan apakah seorang siswa tergolong
ABK atau bukan. Istrumen ini bersifat sederhana dan terbatas pada kemampuan para guru
melihat gejala-gejala fisik yang ditunjukkan siwa. Untuk mendiagnosis secara akurat dan
sesungguh selalu dibutuhkan tenaga profesional yang berwenang untuk itu, seperti dokter
tumbuh kembang anak, psikolog, orthopedagog, dan sebagainya. Namun ketika di sekolah
tidak tersedia tenaga-tenaga profesional tersebut di atas, maka dengan menggunakan
instrumen ini secara cermat dan hati-hati sudah cukup bagi para guru untuk menetapkan
seorang siswa memerlukan layanan pendidikan khusus atau tidak di sekolahnya.
Alat identifikasi ini dapat digunakan oleh guru dan edukator lainnya serta orang di
lingkungan anak yang memberikan pengasuhan pada anak (caregivers) untuk menjaring
kelompok anak usia pra-sekolah dan usia sekolah dasar, baik yang sudah bersekolah maupun
yang belum bersekolah atau yang sudah drop-out.
Setelah selesai membaca buku identifikasi anak dengan disabilitas ini, diharapkan pembaca
(terutama para guru di sekolah dasar) mampu mengidentifikasi apakah seorang siswa
tergolong menyadang disabilitas dan berkebutuhan khusus lainnya atau bukan, sehingga guru
bersama orang tua dapat merencanakan tindak lanjut yang sesuai bagi kebutuhan
perkembangan mereka.
Individu dengan disabilitas adalah kelompok yang heterogen. Mereka mungkin dapat
memiliki kecacatan secara fisik, hambatan intelektual maupun hambatan mental lainnya.
Disabilitas dapat dialami sejak lahir dan mungkin juga dialami sewaktu bersekolah atau pada
masa tertentu sewaktu mengalami kecelakaan tertentu. Kondisi-kondisi tersebut dapat
memiliki dampak pada kemampuan mereka untuk mengambil bagian dalam masyarakat
sehingga mereka membutuhkan dukungan dan bantuan. Individu dengan disabilitas atau
dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai orang cacat, sering dianggap sebagai warga
masyarakat yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya
sehingga hak-haknya pun diabaikan.
Indonesia telah mempunyai UU RI No. 4 tahun 1977 tentang Penyandang Cacat, namun
sampai saat ini implementasinya masih dianggap lemah, UU ini dipandang kurang
memberdayakan subyek hukumnya. Istilah “penyandang cacat” yang digunakan dianggap
menstigmatisasi karena kata “penyandang” menggambarkan seseorang yang memakai label
kecacatan itu pada keseluruhan pribadinya. Dalam buku ini kemudian istilah penyandang
cacat digantikan dengan ‘disabilitas’ sebagai sebuah konsep yang menjelaskan hasil dari
interaksi antara individu-individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual
dengan sikap dan lingkungan yang menjadi penghambat kemampuan mereka berpartisipasi di
masyarakat secara penuh, sama dengan orang-orang pada umumnya. Sementara Anak dengan
Kebutuhan Khusus menjelaskan perlunya pendekatan dan strategi belajar yang berbeda sesuai
dengan hambatan dan kebutuhan perkembangan anak sendiri. Kedua istilah tersebut, baik
anak dengan disabilitas dan anak berkebutuhan khusus kemudian digunakan secara konsisten
untuk menjelaskan adanya kemajemukan dari hambatan-hambatan perkembangan dan
kebutuhan belajar anak. Istilah ABK ini sebenarnya merujuk pada anak yang membutuhkan
pendidikan khusus atau dalam bahasa inggris disebut Children with Sepecial Educationally
Need (Children with SEN).
Secara umum, diperkirakan ada 200 juta anak atau 10% dari populasi anak di dunia1 yang
mengalami disabilitas atau berkebutuhan khusus lainnya. Dilaporkan bahwa populasi anak
yang mengalami disabilitas dan berkebutuhan khusus, berbeda secara signifikan dengan
populasi di negara lainnya. Jumlah yang mendekati standar minimum disepakati para ahli
bahwa 2,5% dari seluruh anak berusia 0 – 14 tahun ditemukan mengalami disabilitas dari
taraf yang sedang hingga taraf sensoris yang berat, gangguan fisik dan intelektual, dan
sebagai tambahan 8% anak-anak dalam usia yang sama dapat diduga mengalami kesulitan
belajar dan persoalan perilaku. 2
Total populasi penyandang disabilitas di Indonesia ada sekitar 1,48 juta, dimana 21,42% nya
berusia 5-18 tahun. Namun, hanya 25% atau 79,061 dari usia tersebut terdaftar di sekolah
khusus (Sensus Nasional, 2004). Laporan negara mengenai pendidikan (2004), menyebutkan
bahwa dari seluruh siswa berkebutuhan khusus yang tercatat, terdiri dari 45% mengalami
hambatan pendengaran, hambatan penglihatan 30%, 13% hambatan intelektual ringan, 3%
hambatan intelektual sedang, 3% mengalami ‘kecacatan’ fisik yang moderat, tuna ganda 3%,
2% mengalami persoalan perilaku dan 1% mengalami hambatan perkembangan yang ringan.
Saat ini diperkirakan antara 3 – 7 persen atau sekitar 5,5 – 10,5 juta anak usia di bawah 18
tahun mengalami disabilitas atau masuk kategori Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pada
tahun 2012, prevalensi anak dengan disabilitas mencapai 10 anak dari 100 anak. Data
tersebut menunjukkan bahwa 10% populasi anak-anak di Indonesia mengalami disabilitas
dan mereka perlu mendapatkan perhatian serta pelayanan bagi kebutuhan perkembangan dan
belajar mereka.
Untuk mengenali apakah seorang anak tergolong anak dengan disabilitas atau bukan, maka
perlu terlebih dahulu dirumuskan pengertian anak dengan kebutuhan khusus, karakteristik
(ciri-ciri) anak dengan disabilitas, baru kemudian dirumuskan hal-hal yang berkaitan dengan
identifikasi.
1
United Nations (2012). Factsheet on persons with disabilities CBM (2012:3)
Inclusion Made Easy – A Quick Program Guide to Disability and Development.
2
UNICEF (2007) Promoting the Rights of Children with Disabilities.
A. Pengertian Anak dengan disabilitas dan kebutuhan khusus lainnya
Anak dengan disabilitas dan kebutuhan khusus lainnya adalah anak yang secara signifikan
(bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, emosional,
dan perilaku) dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak
lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Dengan
demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu, tetapi
kelainan/penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan
pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan disabilitas dan
kebutuhan khusus lainnya.
Berdasarkan hasil studi selama pelaksanaan Program Manajemen Berbasis Sekolah dan
Inklusi (2012 – 2013) yang dilakukan oleh Plan Indonesia di 30 sekolah target yang ada di
Kabupaten Grobogan, data sekolah menunjukkan adanya 10 jenis disabilitas atau kebutuhan
belajar khusus lainnya yang dapat dijumpai di sekolah-sekolah tersebut. Meskipun ada
bermacam-macam jenis anak dengan disabilitas dan kebutuhan khusus lainnya, untuk
keperluan praktis dalam membantu guru melakukan identifikasi dan asesmen, maka dalam
buku ini anak dengan disabilitas dan kebutuhan khusus lainnya dikelompokkan menjadi 10
jenis saja. Masing-masing jenis disabilitas dan kebutuhan khusus kemudian dijelaskan secara
singkat sebagai berikut:
Umumnya untuk mendefinisikan tunanetra digunakan kartu Snellen dalam pemeriksaan klinis
tentang ketajaman penglihatan dalam suatu kondisi tertentu. Seorang anak dikatakan
tunanetra apabila menggunakan kemampuan perabaan dan pendengaran sebagai saluran
utama dalam belajar (Levy, S.E., 1996). Mereka mungkin mempunyai sedikit persepsi
cahaya atau bentuk atau sama sekali tidak dapat melihat (kebutaan menyeluruh). Seorang
anak dikatakan ‘kurang lihat’ atau low vison apabila ketunanetraannya berhubungan dengan
kemampuannya dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Nakata (2003) mengemukakan bahwa yang dimaksud degan tunanetra adalah mereka yang
mempunyai kombinasi ketajaman penglihatan hampir kurang dari 0.3 (60/200) atau mereka
yang mempunyai tingkat kelainan fungsi penglihatan yang lainnya lebih tinggi, yaitu mereka
yang tidak mungkin atau kesulitan secara signifikan untuk membaca tulisan atau ilustrasi
awas meskipun dengan mempergunakan alat bantu kaca pembesar.
Anak dengan ketunanetraan menurut pedoman pendidikan inklusif dari Direktorat Pendidikan
Luar Biasa (2006) adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa
kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat
bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Tunarungu adalah istilah umum yang dipergunakan untuk menggambarkan semua tingkat dan
jenis kehilangan pendengaran dan ketulian. Seorang anak dikatakan tunarungu apabila tidak
mampu menerima suara bicara dan jika perkembangan bahasanya sendiri terganggu. Anak
yang masih dapat mendengar suara dan masih dapat mempergunakan sisa pendengarannya
disebut kurang dengar atau hard of hearing. Dalam buku panduan pendidikan inklusif yang
dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2006) menyebutkan bahwa
tunarungu adalah kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau
kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan
dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Anak dengan ketunagrahitaan (retardasi mental) adalah anak yang secara nyata mengalami
hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata sedemikian
rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial,
dan karenanya memerlukan layanan pendidikan khusus (Direktorat PLB, 2006). Amerika
Serikat masih mempergunakan istilah mental retardation atau retardasi mental yang
didefinisikan sebagai kelainan yang ditandai dengan adanya keterbatasan yang siginifikan
dalam aspek fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang diekspresikan dalam bentuk
konseptual, sosial, dan praktik keterampilan adaptif (AAMD, 2002). Definisi tersebut berlaku
bagi anak yang ketunagrahitaannya terjadi sebelum usia 18 tahun.
Direktorat PLB (2006) mendefinisikan anak dengan ketunadaksaan sebagai anak yang
mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian
rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Individual with Disabilities
Education Act (IDEA) yang dipergunakan di Amerika Serikat menyebutkan ketunadaksaan
sebagai orthopedic impairments atau kelainan ortopedi yang disebabkan oleh beberapa hal,
seperti; anomali congenital (bentuk telapak kaki yang tidak sempurna, hilangnya anggota
tubuh, dsb.), penyakit (polio, penyakit tulang, dsb.) dan kelainan yang disebabkan kasus-
kasus lain (cerebral palsy, luka akibat kecelakaan yang menyebabkan kelumpuhan, dan
amputasi). Beberapa dari kelainan tersebut terkadang tidak mempengaruhi kemampuan
intelektual dan tingkat intelegensi individu yang mengalaminya (dalam Bigge, 1991).
Direktorat PLB (2006) mendefinisikan anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi
kecerdasan (inteligensi), kreativitas, dan tanggungjawab terhadap tugas (task commitment) di
atas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi
prestasi nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
6. Anak lamban belajar atau anak dengan potensi intelektual sedikit di bawah rata-rata
dan di atas hambatan intelegensi
Anak yang lamban belajar didefinisikan oleh Direktorat PLB (2006) sebagai anak yang
memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita.
Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan
dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita, lebih
lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-
ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik, dan
karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik atau anak dengan hambatan tugas-
tugas akademik khusus, seperti membaca, menulis, dan atau berhitung/matematika
Kesulitan belajar merupakan istilah yang dipergunakan pada siswa yang mempunyai
kesulitan tidak dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar akibat kelainan sensoris,
ketidakberuntungan atau ketidak cukupan budaya atau bahasa (Bauer, Keefe and Shea, 2001).
Hambatan ini ditandai dengan adanya perbedaan antara kemampuan dan prestasi akademik.
Beberapa siswa dengan kesulitan belajar mungkin juga menunjukkan permasalahan dalam
keterampilan sosial dan kesulitan dalam keterampilan motorik atau fisik.
Dalam pedoman pendidikan inklusif dari Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2006) disebutkan
bahwa anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata mengalami
kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus (terutama dalam hal kemampuan membaca,
menulis dan berhitung atau matematika), diduga disebabkan karena faktor disfungsi
neugologis, bukan disebabkan karena faktor inteligensi (inteligensinya normal bahkan ada
yang di atas normal), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkesulitan
belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis
(disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain
mereka tidak mengalami kesulitan yang signifikan (berarti).
Menurut Direktorat PLB (2006), anak yang mengalami gangguan komunikasi adalah anak
yang mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau kelancaran bicara, yang
mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi bahasa, atau fungsi bahasa, sehingga
memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak yang mengalami gangguan komunikasi ini
tidak selalu disebabkan karena faktor ketunarunguan.
9. Anak dengan ketunalarasan atau anak dengan hambatan emosi dan perilaku
Newcomer (2003) menyebutkan bahwa tidak ada definisi yang diterima secara universal
tentang ketunalarasan atau hambatan emosi dan perilaku. Adanya keanekaragaman atau
definisi dan istilah merupakan perpaduan dari ciri yang beraneka ragam dari definisi umum
mengenai perilaku yang ‘normal’. Bauer dan Shea (2001) menyebutkan bahwa emotional or
behavioral disorder merupakan ketidakmampuan yang ditandai oleh adanya respon perilaku
dan emosional dalam program sekolah yang berbeda usia, budaya, atau norma-norma yang
sesuai sehingga respon tersebut berpengaruh terhadap pendidikan, termasuk akademis, sosial,
vokasional, dan keterampilan personal.
Anak dengan ketunalarasan adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri
dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan
kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun
orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan
dirinya maupun lingkungannya (Direktorat PLB, 2006).
Definisi Autisme yang dikeluarkan oleh Direktorat PLB tahun 2006 mengacu kepada definisi
yang diberikan oleh Baron-Cohen (1993), yaitu suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir
ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau
komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk
dalam dunia repetitif, aktivitas dan minat yang obsesif Anak-anak autis dan spektrumnya
memiliki kesulitan memahami konsekuensi-konsekuensi dari setiap perilaku mereka,
sehingga hukuman cenderung membuat persoalan perilaku berkembang semakin kompleks
bagi anak sendiri, orang tua, maupun para guru.
Kesepuluh klasifikasi di atas diharapkan dapat menjadi pedoman dasar dalam pelaksanaan
pendidikan inklusif di sekolah dasar. Namun demikian, karena sifatnya yang heterogen, para
guru di sekolah dapat menemukan jenis-jenis yang berbeda di luar 10 klasifikasi yang telah
disebutkan di atas. Oleh sebab itu guru bersama orang tua siswa dapat bekerjasama dengan
pihak lain yang relevan untuk menanganinya. Kasus-kasus tersebut mungkin diantaranya
adalah anak korban HIV dan AIDS, anak korban narkoba, anak yang memiliki penyakit
kronis, dan lain-lain.
Jika orang tua memilih untuk memasukkan anaknya yang berkebutuhan khusus ke sekolah,
maka mereka perlu mempertimbangkan beberapa area perkembangan yang perlu
direncanakan. Untuk mengetahui lebih banyak perkembangan anak dan bagaimana ia belajar,
para guru umumnya akan melihat beberapa area berikut:
2. Kemampuan berkomunikasi:
a. semakin besar anak, semakin mampu memahami bahasa verbal dan non
verbal, ekspresi wajah
b. semakin besar anak mampu memahami makna dari setiap pengalamannya
bersama dengan orang lain
3. Kemampuan kognitif
a. kemampuan berpikir konkret, lebih mudah mengerti melalui pengalaman
nyata semakin besar makin mampu berpikir abstrak memahami kata-kata,
lambang
b. pola berpikir kaku, sama rata, belum dapat membedakan peran semakin besar
pola berpikir semakin fleksibel, terdiferensiasi, dapat membedakan peran
c. daya ingat kuat, meniru perbuatan dan perkataan walaupun belum mengerti
semakin besar kemampuan berpikir, nalar, menemukan sebab akibat semakin
berkembang
Diagnosa dari seorang dokter mengenai suatu kondisi tertentu atau suatu kecacatan mungkin
tidak memberikan cukup informasi dalam merencanakan kebutuhan perkembangan dan
pendidikan individual seorang anak. Tidak pernah ada dua anak yang memiliki kesamaan
persis, baik dalam kebutuhan perkembangan maupun belajarnya. Anak yang telah
diidentifikasikan dengan diagnosa yang sama seringkali memiliki kemampuan dan kebutuhan
belajar yang berbeda dan memerlukan dukungan yang berbeda pula. Sebagai contoh, dua
anak yang didiagnosa sebagai anak lamban belajar dapat memiliki kebutuhan belajar yang
sangat berbeda. Seorang anak mungkin dapat menunjukkan keberfungsiannya dengan baik
ketika belajar di kelas sementara anak lain mungkin memiliki hambatan belajar yang berat
sehingga dan strategi pembelajaran yang bebeda dan kebutuhan adaptasi kurikulum yang
diberikan bagi mereka pun akan berbeda.
Jika orang tua merasa bahwa anaknya memiliki suatu jenis disabilitas atau hambatan dalam
belajar, langkah pertama adalah berbicara dengan guru kelas untuk mengidentifikasikan
kebutuhan belajar anak yang bersangkutan. Guru kemudian dapat:
Orang tua sesungguhnya juga dapat mengumpulkan informasi yang dapat berguna dalam
proses asesmen yang dilakukan guru. Informasi yang dapat diberikan orang tua dapat berupa
catatan medis dan observasi sehari-hari orang tua di rumah.
Setelah melakukan tahapan menentukan kebutuhan belajar anak, guru dengan berkonsultasi
dengan orang tua dapat menentukan suatu sistem rujukan kepada seorang spesialis tertentu
untuk melakukan asesmen lanjutan yang diperlukan. Kesediaan tertulis dari orang tua sangat
direkomendasikan sebelum sekolah melakukan rujukan kepada dokter maupun ahli lainnya.
Setiap bidang di sekolah mempunyai prosedur asesmen yang berbeda sehingga orang tua
wajib berbicara dengan guru kelas atau kepala sekolah mengenai perbedaan prosedur
asesmen yang akan menentukan jenis asesmen yang akan dilaksanakan, tempat
pelaksanaannya dan berapa lama asesmen akan dilaksanakan.
Identifikasi dini dan intervensi dini bagi anak berkebutuhan khusus seringkali membawa
perubahan yang baik pada penyesuaian dan performa belajar anak di sekolah. Melalui
asesmen dapat ditentukan kebutuhan individual dalam belajar. Beberapa anak mungkin
menunjukkan kesulitan untuk belajar dalam kegiatan tertentu dan mungkin memerlukan
bantuan di waktu tertentu. Namun demikian, banyak hambatan perkembangan dan belajar
yang bersifat sepanjang hidup. Kebutuhan perkembangan dan belajar anak juga akan berubah
sesuai dengan lingkungan dan strategi pembelajaran yang dikembangkannya. Berbagai faktor
dapat berpengaruh pada kebutuhan pendidikan anak dan sekolah kemudian perlu melakukan
pertemuan secara rutin untuk mengidentifikasikan dan mendiskusikan faktor-faktor yang
berpengaruh tersebut dan menyesuaikannya dengan kebutuhan anak.
Setelah orang tua memberikan surat persetujuannya kepada sekolah maka proses rujukan
dapat dilakukan baik kepada guru pendidikan khusus maupun kepada dokter ahli sehingga
rencana asesmen dapat dibuat.
Beberapa ahli dapat terlibat di dalam proses identifikasi dan asesmen, ahli tersebut dapat
meliputi dokter syaraf anak, guru pendidikan khusus, orthopedagog, terapis wicara, psikolog,
terapis okupasi dan lain-lainnya. Banyak cara bagi orang tua untuk dapat terlibat proses
asesmennya. Para profesional yang berbeda tersebut memiliki kompetensi untuk melakukan
asesmen dalam area-area perkembangan yang berbeda. Sebagai contoh, seorang psikolog
akan melakukan pengukuran dalam kemampuan dan potensi kognitif anak. Guru pendidikan
khusus dan orthopedag dapat meneliti kemampuan dan cara anak belajar. Orang tua wajib
berbicara dengan guru kelas untuk mengetahui siapa saja yang akan melakukan asesmen dan
apa saja yang akan di ukur.
Berbagai instrumen asesmen dapat digunakan untuk menentukan kemampuan kognitif, sosial,
emosional, komunikasi, dan perkembangan perilaku serta kebutuhan anak. Beberapa
instrument asesmen akan menyertakan orang tua maupun guru untuk memastikan adanya
informasi yang akurat dan menggambarkan kondisi anak yang sesungguhnya. Asesmen
umumnya dilakukan dengan beberapa pertimbangan berikut ini:
a. mengetahui apakah anak menunjukkan adanya kebutuhan belajar yang khusus
b. mengidentifikasikan apa yang dapat dilakukan anak saat ini, kemampuannya, dan
kebutuhan belajarnya
c. mengetahui apakah kebutuhan belajar yang khusus tersebut berpengaruh pada
kemampuan anak untuk belajar dan menjalankan fungsinya di sekolah
d. mengidentifikasikan program dan layanan yang tepat dan dapat memenuhi kebutuhan
individual anak untuk bisa berkembang
Perkembangan anak mungkin saja diukur dalam satu area maupun berbagai kombinasi dari
area-area perkembangan anak, semunya tergantung pada kebutuhan belajar yang ditunjukkan
anak. Setelah seluruh hasil identifikasi dan asesmen didapatkan, pihak sekolah akan
menghubungi dan mengatur pertemuan dengan seluruh staf yang terlibat dalam proses
identifikasi dan asesmen untuk menjelaskan, mendiskusikan, dan menyusun rekomendasi
sebagai hasil dari seluruh kegiatan tersebut. Laporan tertulis dari sekolah akan diberikan
kepada orang tua orang, guru kelas anak, dan semua orang yang membantu proses pendidikan
anak.
Bila orang tua ingin mengetahui berapa lama asesmen akan dilakukan sebaiknya hal ini
didiskusikan dengan guru kelas anak atau dengan kepala sekolah. Sekolah bekerja dengan
staf yang akan mengidentifikasikan layanan dan dukungan yang diperlukan anak. Staf klinis
yang bertugas di sekolah akan mengevaluasi hasil yang diberikan dan kemudian
memprioritaskan untuk terlibat dan membantu mengakomodasikan kebutuhan perkembangan
anak. Untuk mengetahui batasan waktu yang ditentukan dalam proses asesmen, orang tua
dapat membicarakannya dengan guru kelas anak.
Jenis-jenis pertanyaan dan tes yang dapat digunakan. Komponen ini menjelaskan kelebihan
dan kekurangan dari berbagai jenis item soal yang akan membantu guru mendapatkan hasil
belajar yang diinginkan dari para siswa. Saran-saran dalam membangun soal-soal pilihan,
benar-salah, juga disediakan dalam makalah ini.
Menentukan hasil asesmen dengan menggunakan grafik atau dengan memberikan nilai mutu
pada siswa. Komponen ini akan membantu guru membedakan antara norma kompetisi dalam
ujian dan kriteria tercapai atau tidaknya materi yang disampaikan guru sehingga guru mampu
mengetahui tujuan asesmen yang dilakukannya secara tepat.
Menganalisa seluruh item-item soal secara lengkap untuk menentukan akurasi dan efektifitas
suatu asesmen. Soal-soal yang digunakan untuk menganalisa akan membantu guru
memperbaiki dan mengembangkan asesmen menjadi lebih baik.
Memilih dan menggunakan berbagai jenis alat tes untuk meneliti performa kelas atau
kelompok. Teknologi dan media pembelajaran dapat memfasilitasi para guru dalam
melakukan asesmen melalui penggunaan berbagai alat/media yang dirancang sebagai suatu
tes.
VII. PENGERTIAN IDENTIFIKASI DAN ASESMEN
Istilah identifikasi secara harfiah dapat diartikan menemukan atau mengenali. Dalam
prosedur ini istilah identifikasi anak dengan kebutuhan khusus yang dimaksud adalah suatu
usaha seseorang (orang tua, pendidik, pembina, maupun tenaga relewan lainnya) untuk
mengetahui apakah seorang anak mengalami hambatan/gangguan (fisik, intelektual, sosial,
emosional dan tingkah laku) dalam pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan
dengan anak-anak lain seusianya.
Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih ditekankan pada
menemukan (secara kasar) apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus
atau bukan. Maka biasanya identifikasi dapat dilakukan oleh orang-orang yang dekat (sering
berhubungan/bergaul) dengan anak, seperti ibu, orang tuanya, pembina, pendidik, dan pihak-
pihak yang terkait dengannya. Sedangkan langkah berikutnya, yang sering disebut asesmen,
bila diperlukan dapat dilakukan oleh tenaga profesional, seperti dokter, psikolog, neurolog,
orthopedagog, therapis, dan lain-lain.
Sementara pengertian asesmen dapat dipahami sebagai suatu proses mendapatkan dan
mendiskusikan berbagai informasi dan sumber-sumber yang bertujuan membangun
pemahaman yang mendalam mengenai apa yang diketahui dan dipahami oleh siswa yang
telah teridentifikasi serta apa yang dapat dilakukan oleh mereka dengan pengetahuan yang
dimilikinya sebagai hasil dari pengalaman belajar mereka. Proses ini sesungguhnya bertujuan
meningkatkan komponen-komponen dalam pembelajaran. Asesmen digunakan untuk
menentukan apa yang diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa dengan disabilitas maupun
siswa berkebutuhan khusus lainnya, sementara evaluasi digunakan untuk menentukan
kelayakan dan nilai suatu program atau latihan. Data dari asesmen berpengaruh pada
pengembangang pembelajaran, penempatan siswa, level, dan juga keputusan-keputusan yang
berkaitan dengan strategi pengajaran dan kurikulum (Herman & Knuth, 1991). Evaluasi
sering menggunakan data asesmen dengan sumber-sumber lain untuk membuat keputusan
mengenai perbaikan suatu program, adopsi suatu program, atau malah menolak suatu
program dan latihan tertentu bagi siswa disabilitas maupun berkebutuhan khusus lainnya.
Bila kita melakukan asesmen pada siswa di kelas, maka ada dua pertanyaan penting yang
harus diajukan oleh guru adalah:
1. Apa yang sudah dipelajari oleh siswa dan sebaik apa mereka mempelajarinya?
2. Sejauh mana pencapaian dan kesuksesan siswa dalam setiap proses belajarnya?
Tujuan akhir dalam suatu pelaksanaan asesmen di sekolah sangat bergantung pada kerangka
teori (theoretical framework) yang digunakan oleh para guru sebagai praktisi maupun
peneliti. Asumsi dan sistem kepercayaan yang melandasi, di antaranya adalah: perkembangan
kemampuan berpikir, originalitas pengetahuan dan proses pembelajaran.
Untuk memudahkan kita membedakan pengertian identifikasi dan asesmen di atas, maka
identifikasi dapat disebut dengan istilah penjaringan, sedangkan asesmen disebut dengan
istilah penyaringan.
A. Tujuan Identifikasi
Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak
mengalami hambatan/gangguan (fisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris
neurologis) dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain
seusianya (anak-anak tipikal), yang hasilnya akan dijadikan dasar untuk penyusunan program
pembelajaran sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya.
Dalam rangka pendidikan inklusif, kegiatan identifikasi anak dengan disabilitas dan
kebutuhan khusus lainnya dilakukan untuk lima keperluan, yaitu: (1) penjaringan (screening),
(2) pengalihtanganan (referral), (3) klasifikasi, (4) perencanaan pembelajaran, dan (5)
pemantauan kemajuan belajar. Berikut penjelasannya:
1. Penjaringan (screening)
Penjaringan dilakukan terhadap semua anak di setiap PU dengan alat identifikasi (contoh
dalam lampiran). Pada tahap ini identifikasi berfungsi menandai anak-anak mana yang
menunjukkan gejala-gejala tertentu, kemudian menyimpulkan anak-anak mana yang
mengalami hambatan/gangguan tertentu, sehingga tergolong anak dengan disabilitas atau
berkebutuhan khusus lainnya.
Dengan menggunakan Checklist Profil Disabilitas, orang tua maupun maupun guru yang
terkait dapat melakukan kegiatan ini secara baik dan hasilnya dapat digunakan untuk bahan
penanganan lebih lanjut.
2. Pengalihtanganan (referral)
Proses perujukan siswa didik oleh sekolah ke tenaga profesional lain untuk membantu
mengatasi masalah siswa yang bersangkutan disebut proses pengalihtanganan (referral). Jika
tenaga professional tersebut tidak tersedia dapat dimintakan bantuan ke tenaga lain yang ada
seperti tenaga medis yang ada di Puskesmas dan tenaga pendidik lainnya yang ada di Sekolah
Luar Biasa.
3. Klasifikasi
Pada tahap klasifikasi, kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan apakah anak yang
telah dirujuk ke tenaga professional benar-benar memerlukan penanganan lebih lanjut atau
langsung dapat diberi pelayanan pendidikan inklusif. Apabila berdasar pemeriksaan tenaga
professional ditemukan masalah yang perlu penanganan lebih lanjut (misalnya pengobatan,
terapi, latihan-latihan khusus, dan sebagainya) maka sekolah melalui guru wali kelas atau
guru pendidikan khusus yang ada akan mengkomunikasikan kepada orang tua siswa yang
bersangkutan. Guru kelas dan duru pendidikan khusus di sekolah hanya akan membantu
siswa dalam hal pemberian pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak yang
bersangkutan.
Kegiatan klasifikasi ini memilah-milah mana siswa dengan disabilitas dan kebutuhan khusus
lainnya yang memerlukan penanganan lebih lanjut dan mana yang langsung dapat mengikuti
pelayanan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah dasar umum.
4. Perencanaan pembelajaran
Pada tahap ini, kegiatan identifikasi bertujuan untuk keperluan penyusunan Rencana
Pembelajaran Individual atau RPI. Dasarnya adalah hasil dari klasifikasi. Setiap jenis dan
gradasi atau tingkat keparahan dari disabilitas yang dialami maupun kebutuhan belajar
khusus siswa yang memerlukan program pembelajaran yang berbeda satu sama lain. RPI
akan disusun bersama oleh Guru Kelas, Guru Pendidikan Khusus dan diajukan kepada orang
tua siswa melalui diskusi dan pembahasan bersama di sekolah.
Kemajuan belajar perlu dipantau untuk mengetahui apakah program pembelajaran khusus
yang diberikan berhasil atau tidak. Apabila dalam kurun waktu tertentu anak tidak mengalami
kemajuan yang signifikan (berarti), maka perlu ditinjau lagi beberapa aspek yang berkaitan.
Misalnya apakah identifikasi yang dibuat tepat atau tidak, RPI yang disusun sesuai atau tidak,
strategi pembelajaran yang diberikan sesuai atau tidak, dan seterusnya. Sebaliknya, apabila
dengan program khusus yang diberikan, anak mengalami kemajuan yang cukup signifikan
maka program tersebut perlu diteruskan sambil memperbaiki/menyempurnakan kekurangan-
kekurangan yang ada.
Dengan lima tujuan khusus di atas, identifikasi perlu dilakukan secara terus menerus oleh
para guru di sekolah dan jika perlu dapat meminta bantuan dan/atau bekerja sama dengan
tenaga profesional terkait.
VIII. ISTRUMEN IDENTIFIKASI DAN ASESMEN
Secara sederhana ada beberapa aspek informasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam
pelaksanaan identifikasi dan asesmen. Contoh alat identifikasi dan asesmen sederhana untuk
membantu guru dan orang tua dalam rangka menemukan dan mengenali anak yang
memerlukan layanan pendidikan khusus, akan dijelaskan di bawah ini.
Informasi riwayat perkembangan siswa adalah informasi mengenai keadaan siswa sejak di
dalam kandungan hingga tahun-tahun terakhir sebelum masuk menjadi siswa di sekolah.
Informasi ini penting sebab dengan mengetahui latar belakang perkembangan anak, mungkin
kita dapat menemukan sumber penyebab problema belajar yang dialaminya di sekolah.
Informasi mengenai perkembangan siswa sangat penting bagi guru untuk mempertimbangkan
kebijakan program pembelajaran yang akan diberikan kepada siswa. Informasi perkembangan
anak biasanya mencakup identitas siswa, riwayat masa kehamilan ibu dan kelahiran siswa,
perkembangan masa balita, perkembangan fisik, perkembangan sosial, dan perkembangan
pendidikan siswa yang bersangkutan.
Riwayat masa kehamilan dan kelahiran meliputi perkembangan masa ibu hamil, penyakit
yang dialami Ibu, usia di dalam kandungan, proses kelahiran, tempat kelahiran, penolong
persalinan, gangguan pada saat proses kelahiran, berat badan, panjang badan, dan tanda-tanda
kelainan sewaktu siswa dilahirkan.
Perkembangan fisik diperlukan terutama data mengenai kapan siswa mulai dapat merangkak,
berdiri, berjalan, naik sepeda roda tiga, naik sepeda roda dua, berbicara dengan kalimat
lengkap, kesulitan gerakan yang dialami, status gizinya sewaktu balita, dan riwayat
kesehatan.
Selain data mengenai sendiri, tidak kalah pentingnya adalah informasi mengenai keadaan
orang tua siswa yang bersangkutan. Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa lingkungan
keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap keberhasilan belajar anak.
Lingkungan keluarga dapat meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, status sosial
ekonomi, sikap dan penerimaan orang tua terhadap anak, serta pola asuh yang diterapkan
keluarga terhadap anak.
Data orang tua siswa sekurang-kurangnya mencakup informasi mengenai identitas orang tua,
hubungan orang tua-anak, data sosial ekonomi orang tua, serta tanggungan dan tanggapan
orang tua/ keluarga terhadap anak. Identitas orang tua harus lengkap, tidak hanya identitas
ayah melainkan juga identitas ibu, misalnya umur, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan
pokok, pekerjaan sampingan, dan tempat tinggal.
Hubungan orang tua-anak menggambarkan sejauh mana intensitas komunikasi antara orang
tua dan anak. Misalnya apakah kedua orang tua satu rumah atau tidak, demikian juga dengan
anak. Apakah diasuh salah satu orang tua, pembantu, atau keluarga lain. Semua kondisi
tersebut mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar anak.
Mengenai data keadaan sosial ekonomi diperlukan agar sekolah dapat memperhitungkan
kemampuan orang tua dalam pendidikan anaknya. Data sosial ekonomi dapat mencakup
informasi mengenai jabatan formal maupun non formal ayah dan ibu, serta besarnya
penghasilan rata-rata per bulan.
Sedangkan mengenai tanggapan orang tua yang perlu diungkapkan antara lain persepsi orang
tua terhadap anak, kesulitan yang dirasakan orang tua terhadap anak yang bersangkutan,
harapan orang tua dan bantuan yang diharapkan orang tua untuk anak yang bersangkutan.
Informasi mengenai disabilitas / kebutuhan khusus siswa sangat penting, sebab dari beberapa
penelitian terbukti bahwa anak-anak yang prestasi belajarnya rendah cenderung memiliki
gangguan/kelainan penyerta. Survei yang pernah dilakukan pada tahun 1998 oleh Balitbang
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap 696 siswa SD dari empat provinsi di
Indonesia yang rata-rata nilai buku rapor siswa kurang dari 6,0 (enam, nol), ditemukan bahwa
71,8% mengalami kesulitan menulis, 66,8% kesulitan membaca, 62,2% kesulitan berhitung
dan matematika, juga 33% mengalami gangguan emosi dan perilaku, 31% gangguan
komunikasi, 7,9% cacat / kelainan anggota tubuh, 6,6% gangguan gizi dan kesehatan, 6%
gangguan penglihatan, dan 2% gangguan pendengaran (Balitbang, 1998).
Tanda-tanda kelainan atau gangguan khusus pada anak (jika ada) perlu diketahui oleh orang
tua. Kadang-kadang adanya kelainan khusus pada diri siswa, secara langsung atau tidak
langsung, dapat menjadi salah satu faktor timbulnya persoalan belajar. Tentu saja hal ini
sangat bergantung pada berat ringannya kelainan yang dialami serta sikap penerimaan orang
tua terhadap kondisi anak mereka.
Secara umum sasaran identifikasi dan asesmen siswa disabilitas dan kebutuhan khusus
lainnya adalah seluruh anak yang sudah terdaftar di sekolah maupun anak-anak usia sekolah
dasar yang belum bersekolah maupun anak-anak yang menjadi target group atau sasaran
dalam proyek-proyek khusus (grant). Sedangkan secara operasional, sasaran identifikasi anak
dengan kebutuhan khusus adalah:
Untuk mengidentifikasi seorang anak apakah tergolong siswa disabilitas atau berkebutuhan
khusus lainnya atau bukan, dapat dilakukan oleh:
1. Guru Kelas
2. Guru Mata Pelajaran
3. Guru Pendidikan Khusus (GPK)
4. Orang tua anak
C. Pelaksanaan Identifikasi
Ada beberapa langkah dalam rangka pelaksanaan identifikasi dan asesmen anak
berkebutuhan khusus. Untuk identifikasi anak usia sekolah yang belum bersekolah atau drop
out sekolah, maka kepala sekolah bersama para guru perlu melakukan pendataan ke
masyarakat sekitar bekerjasama dengan Kepala Desa/Lurah, RT, RW setempat. Jika
pendataan tersebut ditemukan anak berkelainan, maka proses berikutnya dapat dilakukan
pembicaraan dengan orangtua, koordinator desa, pihak sekolah maupun perangkat desa
setempat untuk mendapatkan tindak lanjutnya.
Untuk anak-anak yang sudah masuk dan menjadi siswa pada sekolah tertentu, identifikasi
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Materi pertemuan kasus adalah membicarakan temuan hasil identifikasi untuk mendapatkan
tanggapan dan cara-cara pemecahan serta penanggulangan yang lebih baik lagi.
2. Pelaksanaan pembelajaran
Pada tahap ini pendidik dan pembina melaksanakan program pembelajaran serta
pengorganisasian anak berkebutuhan khusus dalam kelas umum sesuai dengan rancangan
yang telah disusun dan ditetapkan pada tahap sebelumnya. Sudah tentu pelaksanaan
pembelajaran harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan dan kemampuan anak,
tidak dapat dipaksakan sesuai dengan target yang akan dicapai oleh guru. Program tersebut
bersifat fleksibel.
BIOGRAFI SISWA
I. IDENTITAS SISWA
Nama lengkap : _____________________________________________
Tanggal Lahir : __________________________ Usia: ________ tahun
Nama panggilan : _____________________________________________
Jenis Kelamin : _____________________________________________
Alamat : _____________________________________________
: _____________________________________________
Telepon : _____________________________________________
Agama : _____________________________________________
Bapak :
Ibu :
Anak :
1.
2.
3.
4.
Alasan memerlukan bantuan:
__________________________________________________________________
__________________________________________________________________
III. ANAMNESIS
A. Riwayat Kehamilan (lingkari yang sesuai)
1. Kesehatan Ibu pada Tri Semester I :
a. Sehat
b. Tidak sehat
Jelaskan secara singkat : _______________________________________
Sakit apa : ___________________________________________________
Obat yang diminum : __________________________________________
2. Proses kelahiran
a. Normal
b. Bermasalah :
- Diberi oxygen
- Inkubator
- Caesar
- Lainnya ________________________________________________
C. Makan
Anak minum dari botol sampai usia : _________________________________________
ASI sampai usia : ________________________________________________
Problem menyusu : ______________________________________________
Problem menelan : ______________________________________________
Perubahan dari minum botol ke makanan padat : ______________________
______________________________________________________________
Apakah ada saudara atau famili yang mengalami masalah serupa ( ya / tidak )
H. Riwayat Sekolah
Saat ini sekolah di : __________________________________ kelas : ______
Terimakasih atas partisipasi serta kesedian Bapak / Ibu mengisi daftar riwayat hidup siswa,
semua informasi yang diberikan sangat berharga bagi sekolah dalam memulai proses
pendidikan bagi putra/putri Bapak / Ibu.
Lampiran 3
Contoh Alat Identifikasi
Status observer:
1. Guru
2. Guru Pendidikan Khusus (GPK)
3. Orang tua (Ibu atau Ayah)
4. Lainnya (sebutkan)___________________
Setiap anak dengan kebutuhan khusus memiliki karakteristik (ciri-ciri) tertentu yang berbeda antara
yang satu dengan yang lainnya. Untuk keperluan identifikasi, di bawah ini akan disebutkan ciri-ciri
yang menonjol dari masing-masing jenis anak dengan kebutuhan khusus. Tentukan penilaian anda
berdasarkan wawancara dan observasi yang anda lakukan. Nilai = 0 bila Tidak ditemukan dan Nilai =
1 bila Ya ditemukan ciri-cirinya pada anak.
Nilai standar : 4 (di luar peryataan 1 dan 2), maksudnya, jika 1 dan 2 terpenuhi, maka tidak perlu
menghitung urutan berikutnya. Anak kemudian dapat dikatakan mengalami ketunanetraan atau
mengalami gangguan penglihatan.
Nilai Standar : 7 (di luarpernyataan 1), maksudnya jika 1 terpenuhi, maka berikutnya tidak perlu
dihitung
Anak dengan ketunadaksaan
1. Anggota gerak tubuh anak kaku, lemah, atau lumpuh
0. Tidak
1. Ya
2. Anak mengalami kesulitan dalam setiap gerakannya; tidak sempurna, tidak lentur, atau bahkan
tidak terkendali
0. Tidak
1. Ya
3. Terdapat bagian anggota tubuh anak yang tidak lengkap, tidak sempurna, atau lebih kecil dari
biasanya
0. Tidak
1. Ya
4. Ada ‘kecacatan’ pada alat gerak (tangan dan kaki) anak
0. Tidak
1. Ya
5. Jari tangan anak kaku dan tidak mampu menggenggam
0. Tidak
1. Ya
6. Anak mengalami kesulitan sewaktu berdiri, berjalan, duduk, dan terlihat adanya sikap tubuh
yang aneh
0. Tidak
1. Ya
7. Anak sering terlihat diam dengan mulut yang terbuka
0. Tidak
1. Ya
Nilai Standar : 5
Nilai Standar : 18
Nilai standar: 8
1. Anak menunjukan rata-rata prestasi belajar yang rendah (kurang dari 6 nilai akademisnya)
0. Tidak
1. Ya
2. Anak sering terlambat menyelesaikan tugas sekolahnya dibandingkan dengan anak yang seusia
0. Tidak
1. Ya
3. Anak mengalami kesulitan menangkap instruksi dari guru
0. Tidak
1. Ya
4. Anak menunjukan daya tangkap yang rendah terhadap pelajaran-pelajaran di sekolah
0. Tidak
1. Ya
6. Anak sering tidak mengerjakan PR
0. Tidak
1. Ya
7. Anak pernah tidak naik kelas
0. Tidak
1. Ya
Nilai standar: 7
Nilai standar: 5
Nilai standar: 5
Nilai standar: 5
Nilai standar: 6
Nilai standar: 11
Catatan:
Contoh alat identifikasi di atas untuk membantu guru dalam rangka menemukan dan mengenali
anak yang memerlukan layanan pendidikan khusus. Jika ada anak yang memenuhi syarat untuk
disebut mengalami hambatan/gangguan sesuai dengan ketentuan yang ada, maka harus dilakukan
observasi dan asesmen mendalam.
Lampiran 4
Contoh Asesmen Perkembangan
1. Asesmen Persepsi Visual, Persepsi Auditif, Persepsi Kinestetik, Persepsi Taktil, Motorik
Kasar, dan Motorik Halus
a. Asesmen Persepsi Visual
Tidak
No Uraian Dapat Lainnya
Dapat
Mengikuti perintah
1. Ambil pinsilmu
2. Ambil pinsilmu dan tulislah
namamu di buku ini
3. Ambil pinsilmu, buatlah gambar
bola kemudian ambil spidol ini
lalu warnai gambar bolanya
Didiktekan kalimat
2. Meremas-remas malam/plastisin
LAINNYA,
No KEMAMPUAN ANAK YA TIDAK
JELASKAN
2. Memegang/mengambil piring
3. Memegang sendok
4. Memegang garpu
5. Menyendok nasi
B. CARA BERPAKAIAN
1. Memakai kaos
2. Melepaskan kaos
7. Memakai kemeja
8. Mengancingkan kemeja
9. Melepaskan kemeja
C. KESEHATAN DIRI
3. Mencuci tangan
4. Mencuci muka
5. Menggosok gigi
6. Mandi
7. Keramas
8. Menyisir rambut
9. Merias diri
D. KEMAMPUAN KOMUNIKASI
Kemampuan Prasyarat
Kemampuan Klasifikasi
Berdasarkan Ukuran, Hubungkan dengan garis bangun ruang berikut sesuai dengan
ukurannya
Hubungkan dengan garis bangun ruang berikut ini sesuai dengan warnanya
Arahkan anak untuk melanjutkan mewarnai bagun ruang yang belum diwarnai berikut sesuai
urutan warna yang ada. Sediakan pinsil berwarna sesuai warnanya.
Kemampuan Konservasi
Apakah dua ekor katak jumlahnya sama dengan dua buah mobil
Jawaban anak
YA TIDAK
Jika 2 ekor katak ditambah dengan 1 ekor katak maka jumlah semuanya berapa?
Jawaban Anak:
YA TIDAK YA TIDAK
Kemampuan Aritmatik
Bilangan
Sebutkan satu persatu angka-angka berikut ini
(lingkari angka yang tidak bisa disebutkan dengan benar oleh anak)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
3 5 2 8 1 9 6 7 4
10 34 46 78 83 25 39 97 85
1 3 5 … 9 11 … 15 … …
2 4 … 8 10 … 14 … … …
1 11 … 31 … 51 … 71 … 91
Penjumlahan
Penjumlahan ke samping
2+3=… 7+ 4 =… 10 + 12 = …
Penjumlahan ke bawah
4 15 23
5 11 143
.... ... ...
Pengurangan
Pengurangan ke samping
8 - 3 = … 13 - 7 = … 25 - 14 = …
Pengurangan ke bawah
9 18 230
4 11 150
... .... .......
Perkalian
Perkalian ke samping
5 x 6 = … 12 x 3 = …. 14 x 10 = …
Perkalian ke bawah
7 15 125
2 10 4 x
x x
... ... .........
Pembagian
Pembagian ke samping
4 : 2 =… 9 : 3 =… 24 : 4 = …
Pembagian ke Bawah
25 49 64
.... ...
5 7 2
Menulis Awal/Permulaan
Silahkan corat-coret sesuka hatimu dalam kotak kosong berikut ini
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - ->>
Ibu
Air
Laba
Sapi
Namun
Bermain
Berjalan
Mama, Papa
A, B, C D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q, R, S, T, U, V, W, X, Y, Z
A, I, U, E, O
B, C, D, F, G, H, J, K, L, M, N, P, Q, R, S, T, V, W, X, Y, Z
A, G, J, D, L, O, Z, Y, Q, E, P, T, W, U, H, I, K, R, F, X, B, V, S, N, M
2. Carilah huruf pada kolom sebelah kanan yang sama dengan huruf yang ada pada kolom
sebelah kiri. (arahkan anak untuk melingkari huruf yang sama pada kolom sebelah kiri)
u m n o u n o c u h a u m n
n m n o u n o c u h a u m n
b p q b p q p d b p d b p d
d p q b p q p d b p d b p d
p p q b p q p d b p d b p d
q p q b p q p d b p d b p d
a i r
b o l a
4. Bacalah kata berikut ini dengan perlahan dan jelas!
Ibu
Ubi
Bui
Nana
Nani
Nina
Ma - ma
Pa - pa
Bu - ku
Ma - kan
Ni - lai
Ber – ma – in
Ke – ran - jang
Me – nya – nyi
Me – ngi – gau
B. Membaca Lanjut
1. Bacalah kalimat berikut ini dengan perlahan!
Makan roti
Pergi sekolah
banyak orang, mereka membawa bekal makanan dan minuman yang banyak. Setiap
hari minggu, kebun binatang banyak dikunjungi orang. Ada macam-macam hewan
di kebun binatang. Ada Gajah, Harimau, Monyet, Jerapah, Burung, Buaya, dan
jenis hewan yang lainnya. Kami semua senang sekali berlibur ke kebun binatang.
Form observasi di kelas baik dalam kondisi belajar dan bermain bersama dengan peserta didik
lainnya menggunakan skala (1-5) seperti yang terlihat pada tabel di bawah.
Menyelesaikan tugas
Interaksi Sosial
A. IDENTITAS SISWA
Nama :X
Tanggal Lahir : --
Jenis kelamin : --
Agama : --
Kelas : III SD
Pekerjaan : --
Alamat : --
Hambatan : Keterampilan Komunikasi dan Interaksi baik verbal maupun non verbal, perilaku adaptif
B. PELAKSANAAN PPI
Tanggal rapat Tim : 11 Juli 2007
Tim PPI : Kepala Sekolah,Guru, Komite Sekolah, Orang Tua, Dokter,Psikolog, Pekerja sosial, Dinas Pendidikan
- Tidak konsisten untuk menyampaikan keinginannya menggunakan kalimat sederhana yang baku atau menunjuk, mengambil sesuatu yang
diinginkannya.
- Pola bermain menunjukkan tidak mampu berinisiatif menggabungkan diri dalam permaianan dengan orang lain dan kemampuan bermain imajinatifnya
2. Perilaku adaptif
- Dapat mengikuti aturan main di kelas; berbaris ketika mau masuk kelas, duduk ketika mengerjakan tugas dan mau diarahkan guru
- Dapat pergi ke toilet sendiri ketika hendak buang air kecil (BAK), mampu mencuci tangan sendiri dan menghabiskan bekalnya sewaktu istirahat.
3. Kognitif
- Dapat membaca
- Pada tugas-tugas yang menuntut rentang perhatian dan konsentrasi tinggi anak kurang kooperatif
4. Sosial Emosi
- Tidak konsisten untuk mempertahankan kontak mata ketika bicara atau diajak bicara
- Minat sangat terbatas terhadap rutinitas kegiatan di sekolah (lebih suka menyendiri dan melakukan aktivitas bermain sendiri)
- Belum menunjukkan minat untuk berbagi kesenangan mengenai benda atau aktivitas
- Masih menunjukkkan perilaku impulsif bila melihat sesuatu yang diinginkan, misal dengan; merebut dan berteriak
5. Motorik
- Motorik halus keadaannya cukup berkembang : dapat menulis, mewarnai, memasang puzzle
- Gerakan motorik yang berulang-ulang seperti bertepuk-tepuk tangan dan menggeleng-gelengkan kepala akan meningkat jika merasa terganggu
- Melakukan aktivitas yang sama secara berulang-ulang misalnya mencoret-coret dikertas sehingga perlu diarahkan minatnya pada yang lain
- Gerakan fisik kaku dan terbatas
6. Kesehatan
- Tidak ada alat bantu medis yang digunakan anak saat ini
- Lingkungan dan sumber belajar diciptakan agar anak terlibat aktif dalam kelompok, alat-alat bantu pembelajaran disarankan banyak menggunakan struktur
yang visual baik berupa foto, gambar, dan simbol-simbol kegiatan konkret anak di sekolah
- Penggunaan jadwal aktivitas yang diindividualkan bagi anak di sekolah dan menurunkannya ke dalam task analysis sangat membantu anak memprediksi
kejadian-kejadian dan tuntutan yang diharapkan dari lingkungan sekitar anak di kelas
- Beri arahan agar siswa dapat berinisiatif untuk berinteraksi secara verbal maupun non verbal
- Keterarah wajahan harus tetap diperhatikan agar siswa dapat tetap konsentrasi dan memperhatikan
- Peningkatan kemampuan sensori motor melalui aktivitas bermain sesuai usia, aktivitas olah raga dan hobby
E. PROGRAM PEMBELAJARAN : BAHASA INDONESIA
Mendengarkan - Mendengarkan - Mengarahkan Setting Setiap Ruang Duduk dilantai 6X Ruang 80 % Observasi Senin
inklusi hari kelas III mengelilingi semin Kelas III keberhasila
1. Memahami sewaktu guru wajahnya ketika guru ggu n pada Grafik Selasa
pesan pendek Selam mendengarkan akhir
dari cerita menceritakan mendengarkan a jam Rabu
penjelasan semester
yang pelajar
disampaikan - Melaksanakan kegiatan penjelasan ceritera / ceritera/ tema Kamis
an menggunakan
guru.
sesuai petunjuk tema yang alat bantu Jumat
pembelajaran
disampaikan guru Sabtu
(gambar,
- Merespon instruksi miniatur benda,
sederhana dari guru audio visual)
yang diturunkan dari
sedang dijelaskan
Berbicara - Menceritakan - Menggunakan kalimat Setting 2X Ruang Pengajaran 2X Ruang 80 % Observasi Rabu
pengalaman sederhana ketika inklusi semin kelas III individual semin kelas III keberhasila
2. Menjelaskan berbicara ggu ggu n pada Grafik Sabtu
atau - Menjelaskan urutan menggunakan akhir
menceritakan - Melakukan rutininats Selam alat bantu
sesuatu suatu kegiatan sederhana di kelas a 4JP pembelajaran semester
(@ (jadwal
- Mendeskripsikan 35’) bergambar atau
benda atau orang dalam kartu-kartu pias)
cerita sederhana
Menulis - Menyelesaikan lembar - Mempraktekkan Setting Setiap Ruang Bantuan Setiap Ruang 80 % Observasi Senin s.d
kerja yang diberikan aktivitas-aktivitas di inklusi hari kelas III langsung berupa hari kelas III keberhasila Sabtu
3. Menulis guru kelas selama instruksi dalam n pada Grafik
karangan
jam sederhana atau jam akhir
sederhana - Menulis berdasarkan - Melengkapi lembar pelajar model dari guru belajar semester
berdasarkan pengalamannya yang kerja sederhana dari
pengalaman
an dan
konkret guru secara mengenai menggunakan
konkret sehari-
urutan aktivitas di kelas alat bantu
hari di kelas
pembelajaran
(jadwal
bergambar atau
kartu-kartu pias)
F. DUKUNGAN UNTUK STAF SEKOLAH
- Dukungan internal berupa kesempatan staf sekolah untuk meningkatkan kompetensinya dalam setting pendidikan inklusif (penataran, seminar,studi
banding, sertifikasi)
- Dukungan eksternal :berupa kerjasama dan kolaborasi multi disipliner dari kelompok profesi tertentu (paedagog / Guru Pendidikan Khusus, psikolog,
G. LAPORAN
1. Orang tua :
2. Kepala Sekolah
Setiap semester sebagai bahan kajian untuk perbaikan teknis asesmen dan intervensi serta pengayaaan bagi guru
3 Para ahli :
Diberikan setiap 6 bulan sekali, sebagai bahan pertimbangan bagi para ahli dalam memberikan saran kepada staf sekolah
H. SARAN-SARAN
- Perlu Guru Pendidikan Khusus (GPK) sebagai konsultan untuk mengembangkan asesmen, kurikulum, merancang pengelolaan kegiatan belajar menga
jar, memberikan saran dalam pengadaan dan pengelolaan sarana prasarana yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
Orang Tua : --
Kepala Sekolah : --
Psikolog : --
Pekerja sosial : --
Bauer, D. R.., Keefe, C. H., and Shea, T. M. (2001). Students with Learning Disabilities or
Emotional and Behavioral Disorders, Upper Saddle River, NJ: Merril.
Bigge, J. L. (1991). Teaching Individuals with Physical and Multiple Disabilities (3rd ed.),
New York: Merril.
Christian Blind Mission/CBM (2012:3) Inclusion Made Easy – A Quick Program Guide to
Disability and Development.
Depdiknas (2007). Rekapitulasi Data Sekolah Luar Biasa Negri dan Swasta TKLB, SDLB,
SMPLB, SMALB di seluruh Indonesia 2006/7. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen
Sekolah Dasar dan Menengah, Direkktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.
Depkes RI (2008). Riset Kesehatan Dasar 2007: Laporan Nasional. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan, Depkes RI.
JICA (2002). Country profile on Disability: Republic of Indonesia. Jakarta: JICA, Planning
and Evaluation Department.
Kartari, D.S. (1991). A Study on Disability in Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran, No. 72.
hlm. 51-56.
Marjuki (t.t). Penyandang cacat berdasarkan klasifikasi ICF. Kepala Badan Penelitian dan
Pendidikan, Kemensos RI.