Anda di halaman 1dari 45

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 1
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 3
2.1. DEFINISI .......................................................................................................................... 3
2.2. EPIDEMIOLOGI ............................................................................................................. 3
2.3. PENYEBAB...................................................................................................................... 4
2.4. PATOGENESIS ............................................................................................................... 5
2.5. TANDA DAN GEJALA KLINIS .................................................................................10
2.6. KRITERIA KLINIS (SOFA DAN QSOFA)18 ..........................................................13
2.7.PENANGANAN .............................................................................................................15
EVALUASI DAN MANAJEMEN SEGERA ........................................................15
SURVIVING SEPSIS CAMPAIGN GUIDELINES ...........................................17
2.8. PENANGANAN ANESTESI PADA PASIEN SEPSIS ..........................................36
Pre operatif : .....................................................................................................................36
Intra operatif .....................................................................................................................36
Post operatif ......................................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................44

1
BAB I. PENDAHULUAN

Sepsis berat dan syok sepsis adalah kondisi kritis dengan angka mortalitas
berkisar antara 28,3%-41,1%.1 Sepsis adalah kegawatdaruratan medis, sama
seperti infark miokard akut dan stroke, sehingga identifikasi awal dan manajemen
segera yang tepat pada jam-jam pertama setelah berkembangnya sepsis
meningkatkan hasil akhir. Diagnosis awal sepsis seringkali sulit ditegakkan,
karena klinis sepsis yang muncul sangat beragam.2 Sumber infeksi yang
menyebabkan sepsis parah atau syok sepsis adalah pneumonia pada kurang lebih
45% pasien, infeksi saluran kencing pada 9-31% pasien, diikuti infeksi abdominal
pada 19-32% pasien.1
Salah satu manajemen kardinal sepsis adalah untuk mengidentifikasi dan
mengobati sumber infeksi. Intervensi bedah merupakan salah satu metode
pengontrolan sumber yang terdiri dari drainase cairan yang terinfeksi, debridemen
jaringan lunak yang terinfeksi, pengangkatan perangkat yang terinfeksi atau benda
asing, dan tindakan untuk memperbaiki gangguan anatomi. Mengingat
meningkatnya jumlah pasien sepsis, intervensi bedah akan lebih sering
dilakukan.3
Bagian anestesi sering disebut sebagai “responder pertama” karena banyak
pasien sepsis dari instalasi gawat darurat langsung dikirim ke ruang operasi untuk
menerima penanganan operasi. Dari ruang operasi, tujuan selanjutnya bagi pasien
post operasi adalah unit pelayanan intensif / intensive care unit (ICU).4

2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Menurut SSC 2016, Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang


mengancam nyawa yang disebabkan oleh respons infeksi pejamu yang tidak
teratur. Syok sepsis adalah bagian dari sepsis dengan disfungsi sirkulasi dan
disfungsi seluler / metabolik yang terkait dengan risiko kematian yang lebih
tinggi.2

2.2. EPIDEMIOLOGI

Angka kematian akibat sepsis berkisar antara 12-90% diseluruh dunia.


Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di Amerika
Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Sekitar 80% kasus
sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun
1990-an terjadi setelah pasien masuk untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian
sepsis meningkat hampir empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar
660.000 kasus (240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per
tahun di Amerika Serikat.5
Dari tahun 1999 sampai 2005 ada 16.948.482 kematian di Amerika
Serikat. Dari jumlah tersebut, 1.017.616 dikaitkan dengan sepsis (6% dari semua
kematian). Sebagian besar kematian terkait sepsis terjadi di rumah sakit, klinik
dan pusat kesehatan (86,9%) dan 94,6% dari ini adalah pasien rawat inap
tersebut.6
Angka kejadian sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,8
sampai 18 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12 sampai
68%, sedangkan di negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000
kelahiran hidup dengan angka kematian 10,3%. Sedangkan data angka kejadian
sepsis di Indonesia masih tinggi 8,7 sampai 30,29% dengan angka kematian
11,56% sampai 49,9%. Kejadian sepsis di Indonesia berkisar antara 1,5-3,72%
pada beberapa rumah sakit rujukan di Indonesia seperti RS Cipto Mangunkusumo,

3
sedangkan angka kematian berkisar antara 37,09-80%.7
Penelitian yang dilakukan di Indonesia mengenai sepsis diantaranya yang
dilakukan di Rumah Sakit (RS) Dr. Soetomo pada tahun 2012 mengenai profil
penderita sepsis akibat bakteri penghasil extended-spectrum beta lactamase
(ESBL) mencatat bahwa kematian akibat sepsis karena bakteri penghasil ESBL
adalah sebesar 16,7% dengan rerata kejadian sebesar 47,27 kasus per tahunnya.
Penelitian tersebut melaporkan bahwa 27,08% kasus adalah sepsis berat, 14,58%
syok sepsis dan 53,33% kasus adalah kasus sepsis.
Berdasarkan hasil penelitian Jean-Louis Vincent et al tentang Sepsis in
European Intensive Care Units, dari jumlah pasien total sebesar 3.147 pasien di
ICU dari berbagai negara di Eropa, didapatkan pasien sepsis sejumlah 37%
(1177), sepsis berat sejumlah 30% (930), dan syok septik sejumlah 15% (462).
Data ini menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga pasien yang dirawat di ICU
adalah pasien sepsis. Angka kematian pasien sepsis di ICU cukup tinggi yaitu
27% (313) dibandingkan persentase kematian nonsepsis yaitu sebesar 14 % (270).

2.3. PENYEBAB

Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat


disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur).
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah
Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies
Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya,
sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari
mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari
host terhadap infeksi.8
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus
syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga
70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau gram
negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya.
Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat

4
mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses
tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh kultur.5,9
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya
populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat bertahan
hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di antara pasien-
pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid atau antibiotika),
prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis.9
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah
infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih,
perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
1) Infeksi paru-paru (pneumonia)

2) Flu (influenza)

3) Appendisitis

4) Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)

5) Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)

6) Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah
dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit

7) Infeksi pasca operasi

8) Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.


Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi.

2.4. PATOGENESIS

TINGKAT ORGAN DAN JARINGAN


Sepsis berprogresi dari infeksi terlokalisir menjadi inlfamasi sistemik
ringan dan akhirnya syok sepsis. Endotelium adalah organ dengan luas +1000m2

5
dan memiliki peranan penting dalam meregulasi tonus vasomotor, perpindahan sel
dan nutrisi kedalam dan keluar jaringan, sistem koagulasi, dan keseimbangan
sinyal inflamasi dan antiinflamasi. Pada sepsis, terdapat gangguan pada endotel
berupa meningkatnya adesi leukosit, status prokoagulasi, vasodilatasi, dan
hilangnya fungsi sawar yang menyebabkan edema jaringan luas.10
Gangguan mikrosirkulasi adalah terganggungnya respon pada stimulasi
lokal, obstruksi lumen pembuluh darah kecil oleh mikrotrombi dan sumbatan sel
darah putih dan sel darah merah. Ekspresi tissue factor secara luas, deposisi fibrin,
terganggunya mekanisme antikoagulan dapat menyebabkan koagulasi
intravaskuler luas (DIC), suatu sindrom yang berkaitan dengan meningkatnya
disfungsi organ, perdarahan karena konsumsi platelet dan faktor koagulasi, dan
kematian.11
Perubahan endotel pada sepsis berat menyebabkan terganggunya fungsi
sawar pada organ lain. Pembuluh darah kapiler paru-paru menjadi lebih permeabel
dan menyebabkan akumulasi cairan kaya protein pada ruangan interstitial paru-
paru, dan dengan adanya disfungsi sawar epitel alveoli karena sepsis, cairan
edema interstitial masuk kedalam alveoli. Perubahan-perubahan ini menyebabkan
ketidak seimbangan perfusi-ventilasi, hipoksemia arterial, dan berkurangnya
fungsi paru : ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Setelah volume
intravaskular dipulihkan, kebanyakan pasien dengan sepsis memiliki stroke
volume yang normal atau meningkat dengan resistansi vaskular sistemik rendah.12
Hilangnya sawar endotel dan epitel tidak hanya terjadi di paru-paru dan
merupakan mekanisme kunci dari disfungsi organ secara luas. Epitelium usus
menjadi lebih permeabel karena hypercytokinemia. Dengan meningkatnya
permeabilitas, cedera usus oleh isi lumen, termasuk enzim pankreas aktif
(autodigesti) dan perburukan inflamasi sistemik. Pada hati, sepsis mengganggu
eliminasi bilirubin oleh hepatosit (menyebabkan kolestasis) dan banyak fungsi
hati penting lainnya, termasuk transportasi dan pengolahan lipid patogen enterik,
menstimulasi lebih lanjut inflamasi sistemik.13
Cedera ginjal akut (AKI) sering terjadi pada sepsis berat dan secara
substansial meningkatkan risiko kematian. AKI terjadi karena perfusi ginjal

6
berkurang dan nekrosis tubular luas. Jika gagal ginjal berlangsung berat atau
ginjal tidak mendapatkan perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi
penggantian fungsi ginjal (misalnya hemodialisis) diindikasikan.14
Sistem saraf bukan hanya hasil akhir pada sepsis berat tetapi juga berperan
aktif di awal perkembangan sepsis, dengan peran anti-inflamasi. Kemoreseptor
carotid body, aferen vagal, dan area otak dengan sawar darah otak yang permeabel
memberi respon pada sitokin lokal dan sistemik, memberi sinyal pada nuklei
batang otak, yang pada akhirya mengirim vagal dan eferen kolinergik yang
menghambat produksi sitokin inflamasi oleh sel imun innate di limpa, usus, dan di
tempat lain. Memang, stimulasi saraf vagal mengurangi sinyal sitokin dan cedera
endotelial. Ensefalopati adalah suatu keadaan klinis awal dan umum pada sepsis
berat yang dapat berkisar dari gangguan ringan konsentrasi sampai koma yang
dalam. Delirium, sebagaimana dinilai oleh metode penilaian kebingungan (CAM)-
ICU sangat umum pada pasien dengan ventilasi, dan secara independen
berhubungan dengan mortalitas dan gangguan neurokognitif. Ensefalopati dapat
terjadi akibat infeksi langsung, namun lebih sering ditemukan kasus steril yang
mengganggu fungsi neurologis. Disfungsi endotel mengganggu fungsi sawar
darah-otak sehingga memungkinkan dalam sitokin inflamasi dan sel-sel untuk
memasuki otak, menyebabkan edema perivaskular, stres oksidatif,
leukoencephalopathy, dan gangguan neurotransmitter yang luas. Dengan adanya
disfungsi hati dan ginjal yang ada secara bersamaan memperburuk masuknya
toksin ke dalam sistem saraf pusat. Koagulopati dan gangguan autoregulasi aliran
darah serebral bersama-sama dapat menghasilkan area iskemia dan pendarahan.
Akhirnya, keadaan proinflamasi dini pada sepsis parah sering berkembang
menjadi keadaan disfungsi sistem kekebalan tubuh berkepanjangan. Keadaan ini
menghambat kemampuan pasien-pasien untuk memberikan respons imun yang
sesuai terhadap infeksi.15

7
TINGKAT SEL DAN MOLEKULAR16
 Sinyal inflamasi
Sistem imun innate, yang terutama terdiri dari makrofag, monosit,
granulosit, sel natural killer, dan sel dendritik telah berkembang untuk
mendeteksi pola molekuler patogen atau pathogen associated molecular
patterns (PAMPs, termasuk komponen bakteri, jamur, dan virus seperti
endotoksin dan ßglucan) dan pola molekuler yang terkait kerusakan damage
associated molecular patterns (DAMPs, molekul endogen yang dikeluarkan
dari sel penjamu yang rusak, termasuk ATP, DNA mitokondria, dan
HMGB1). DAMPs dan PAMPs mengaktivasi sistem imun innate dan
beberapa sel epitel melalui reseptor yang mengenali pola pada permukaan sel
(toll-like receptors and C-type lectin receptors) atau pada sitosol (NOD-like
receptors, RIG-I-like receptors) menginisiasi transkripsi interferon tipe I dan
sitokin pro inflamasi seperti TNF α, interleukin-1, dan interleukin-6.
Beberapa reseptor dapat membentuk kompleks molekuler yang bernama

8
inflammasomes yang penting untuk maturasi dan sekresi sitokin yang sangat
poten yaitu IL-1ß dan IL-18 dan dapat memicu kematian sel yang terprogram
dengan ruptur membran plasma. Sitokin proinflamasi melakukan :
o meningkatkan jumlah, umur, dan status aktivasi sel imun innate
o meningkatkan molekul adesi dan ekspresi kemokin oleh sel
endotel
o menginduksi protein hepar fase akut seperti komplemen dan
fibrinogen
o menyebabkan neutrofil menghasilkan jebakan ekstraseluler
(NETs) yang berperan dalam aktivasi platelet
o menyebabkan keluarnya mikropartikel yang mengandung tissue
factor, angiopoietin 2 dan faktor von Willebrand yang merupakan
lipid dan protein inflamasi, pro-oksidan, dan prokoagulan.
o ekspresi tissue factor oleh monosit
 Jalur kerusakan awal
Respon sitokin inflamasi sangat evolusioner yang dapat mencapai
pengontrolan infeksi minor dan terlokalisir dengan cepat. Tetapi, ketika
respon melebihi ambang batas, cedera sistemik terjadi:
o Reactive oxygen species (ROS) dapat merusak protein seluler, lipid, dan
DNA, juga mengganggu fungsi mitokondria
o Aktivasi komplemen meningkatkan pembentukan ROS, pelepasan enzim
granulosit, permeabilitas endotel, dan ekspresi tissue factor.
o imunotrombosis luas dapat menyebabkan DIC
 Disfungsi metabolik
Protein mitokondria dan DNA dirusak dengan level ROS yang tinggi,
dengan rusaknya mitokondria, jumlah ATP turun dan untuk mencegah
jatuhnya jumlah ATP, sel jatuh dalam keadaan yang sama seperti hibernasi.
Reduksi penggunaan energi secara luas konsisten dengan terjebaknya oksigen
pada jaringan dan memperparah disfungsi organ karena sel-sel yang masih
viable mengurangi fungsinya. Hal-hal ini dapat menyebabkan atau

9
memperparah disfungsi organ. Terdapat insensitivitas insulin dan
hiperglikemia .
 Jalur resolusi
Jalur sitokin antiinflamasi kompensasi teraktivasi sejak jam-jam
pertama sepsis berat. IL-10 yang diproduksi berbagai leukosit menekan
produksi IL-6 dan interferon ɤ dan menstimulasi produksi antagonis reseptor
TNF dan IL-1. Autofagi memberikan jalan untuk mengeliminasi DAMPs dan
PAMPs. Setelah patogen organisme dihilangkan dari pejamu, sel yang rusak
dan leukosit harus dibersihkan dari jaringan. Sel-sel ini mengalami apoptosis
dan ditelan makrofag. Lipid bioaktif lipoxins, resolvins, protectins,dan
maresins mengurangi ROS, permeabilitas endotel, dan rekruitmen leukosit

2.5. TANDA DAN GEJALA KLINIS

Pasien yang dicurigai atau dengan sepsis biasanya datang dengan


hipotensi, takikardia, demam, dan leukositosis. Ketika keadaan

10
memburuk, tanda-tanda syok (misalnya, kulit dingin dan sianosis) dan
disfungsi organ muncul (misalnya, oliguria, cedera ginjal akut,
perubahan status mental). Yang terpenting adalah presentasi sepsis
tidak spesifik sehingga banyak kondisi lain (misalnya, pankreatitis,
sindrom gangguan pernapasan akut) dapat memiliki presentasi yang
sama.17
Gejala dan tanda klinis
 Gejala dan tanda spesifik untuk sumber infeksi (misalnya, batuk
dan dyspnea mungkin menunjukkan pneumonia, nyeri dan eksudat
purulen dalam luka bedah mungkin menunjukkan abses yang
mendasarinya).
 Hipotensi arterial (misalnya tekanan darah sistolik [SBP] <90
mmHg, tekanan arteri rata-rata [MAP] <70 mmHg, penurunan SBP>
40 mmHg, atau kurang dari dua standar deviasi di bawah normal
untuk usia). Karena sphygmomanometer mungkin tidak dapat
diandalkan pada pasien hipotensi, kateter arteri mungkin diperlukan.
 Suhu > 38,3 atau <36ºC.
 Denyut jantung> 90 denyut / menit atau lebih dari dua deviasi
standar di atas nilai normal untuk usia.
 Takipnea, laju pernapasan> 20 napas / menit.
 Tanda-tanda perfusi organ akhir:
o Kulit hangat, memerah dapat ditemukan pada fase awal sepsis.
Ketika sepsis berkembang menjadi syok, maka kulit bisa menjadi
dingin karena pengalihan aliran darah ke organ-organ inti.
Penurunan waktu isi ulang kapiler / capillary refill time, sianosis,
atau belang-belang dapat mengindikasikan syok.
o Tanda-tanda tambahan hipoperfusi termasuk perubahan status
mental, obtundasi atau kegelisahan, dan oliguria atau anuria
o Ileus atau suara usus absen sering merupakan tanda hipoperfusi
tahap akhir.

11
Laboratorium
Demikian pula, fitur laboratorium tidak spesifik dan mungkin terkait
dengan kelainan yang disebabkan ke penyebab yang mendasari sepsis
atau hipoperfusi jaringan atau disfungsi organ dari sepsis. Mereka
termasuk berikut:
 Leukositosis (jumlah sel darah putih [WBC]> 12.000 mikroL)
atau leukopenia (jumlah WBC <4000 mikroL)
 Jumlah WBC normal dengan lebih dari 10 persen bentuk imatur
 Hiperglikemia (glukosa plasma> 140 mg / dL atau 7,7 mmol / L)
tanpa adanya diabetes.
 Protein C-reaktif protein lebih dari dua standar deviasi di atas
nilai normal.
 Hipoksemia arterial (tekanan oksigen arteri [PaO2] / fraksi
oksigen inspirasi [FiO2] <300).
 Oliguria akut (output urin <0,5 mL / kg / jam untuk setidaknya
dua jam meskipun resusitasi cairan cukup).
 Peningkatan kreatinin> 0,5 mg / dL atau 44,2 micromol / L.
 Kelainan koagulasi (rasio normalisasi internasional [INR]> 1,5
atau waktu tromboplastin parsial teraktivasi [aPTT]> 60 detik).
 Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000 mikroL -1).
 Hiperbilirubinemia (plasma total bilirubin> 4 mg / dL atau 70
mikromol / L).
 Insufisiensi adrenal (misalnya, hiponatremia, hiperkalemia), dan
sindroma eutiroid juga dapat ditemukan pada sepsis.
 Hiperlaktatemia (lebih tinggi dari batas atas laboratorium normal)
- Peningkatan laktat serum (misalnya,> 2 mmol / L) dapat
menjadi manifestasi dari hipoperfusi organ dengan atau tanpa
adanya hipotensi dan komponen penting dari evaluasi awal,
karena peningkatan laktat berhubungan dengan prognosis yang
buruk. Kadar laktat serum ≥4 mmol / L konsisten dengan, tetapi

12
tidak diagnostik, syok septik. Tambahan studi laboratorium yang
membantu mencirikan tingkat keparahan sepsis termasuk jumlah
trombosit yang rendah, dan meningkatnya INR, kreatinin, dan
bilirubin.
 Procalcitonin plasma lebih dari dua standar deviasi di atas nilai
normal (tidak secara rutin dilakukan di banyak pusat) -
Peningkatan kadar procalcitonin serum berhubungan dengan
infeksi bakteri dan sepsis. Meskipun demikian, meta-analisis dari
18 studi menemukan bahwa prokalsitonin tidak mudah
membedakan sepsis dari peradangan sistemik nonseptik
(sensitivitas 71 persen dan spesifisitas 71 persen)
Pencitraan
Tidak ada tanda-tanda radiologis yang spesifik untuk identifikasi
sepsis selain infeksi di area tertentu (misalnya, pneumonia pada radiografi
dada, akumulasi cairan pada CT abdomen).

Mikrobiologi
Identifikasi suatu organisme dengan kultur pada pasien yang
memenuhi definisi sepsis sangat mendukung diagnosis sepsis tetapi tidak
diperlukan. Alasan dibalik kekurangannya penyertaan dalam kriteria
diagnostik untuk sepsis adalah bahwa organisme penyebab sering tidak
diidentifikasi hingga 50 persen pasien yang datang dengan sepsis juga
kultur positif tidak diperlukan untuk membuat keputusan pengobatan
dengan antibiotik empiris.

2.6. KRITERIA KLINIS (SOFA DAN QSOFA)18


Tingkat keparahan disfungsi organ telah dinilai dengan berbagai
sistem skoring (SOFA, LODS). Sistem skoring yang paling sering
digunakan adalah Sequential Organ Failure Assessment (SOFA). Skor
SOFA yang lebih tinggi berhubungan dengan meningkatnya probabilitas
kematian. Sistem skoring SOFA diperuntukan bagi pasien suspek infeksi

13
di ICU. Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic
Shock (Sepsis-3) merekomendasikan nilai SOFA >2 merepresentasikan
disfungsi organ. SOFA tidak digunakan sebagai alat untuk manajemen
pasien tetapi sebagai cara untuk mengkarakteristikkan pasien sepsis.

qSOFA menyediakan kriteria bedside yang simpel untuk


mengidentifikasi pasien yang disuspek infeksi. Kriteria qSOFA digunakan
agar klinisi dapat bertindak cepat untuk menginvestigasi disfungsi organ,
memulai atau meningkatkan terapi, dan mempertimbangkan untuk
merujuk pasien ke pelayanan kritis atau meningkatkan frekuensi monitor.

14
2.7.PENANGANAN
EVALUASI DAN MANAJEMEN SEGERA
Stabilisasi respirasi
Suplementasi oksigen harus diberikan pada semua pasien sepsis dan
oksigenasi harus dimonitor terus menerus dengan pulse oximetry. Intubasi dan
ventilasi mekanis mungkin diperlukan untuk mendukung peningkatan kerja
pernapasan yang terjadi pada sepsis, atau untuk proteksi jalan napas karena
ensefalopati dan penurunan tingkat kesadaran sering menjadi komplikasi dari
sepsis.17

15
Membuat akses vena
Akses vena harus dibuat sesegera mungkin pada pasien yang dicurigai
sepsis. Sementara akses vena perifer cukup pada beberapa pasien, terutama
untuk resusitasi awal, mayoritas akan membutuhkan akses vena sentral di
beberapa titik selama perjalanan penyakit. Namun, akses vena sentral tidak
boleh menunda pemberian cairan resusitasi dan antibiotik. 17
Pemeriksaan awal
 Riwayat dan pemeriksaan awal singkat, serta laboratorium,
mikrobiologi, dan pencitraan biasanya diperoleh secara bersamaan saat
akses vena sedang dibuat dan jalan nafas distabilkan. Penilaian singkat
ini memberikan petunjuk untuk sumber infeksi yang dicurigai dan
komplikasi sepsis, dan maka dari itu, membantu memandu terapi
empirik dan tes tambahan.
 Hitung darah lengkap dengan diferensial, kimia, tes fungsi hati, dan
studi koagulasi termasuk Ddimer. Hasil dari studi ini dapat mendukung
diagnosis, menunjukkan keparahan sepsis, dan menyediakan dasar
untuk menilai respon terapi.
 Serum laktat - Serum laktat yang meningkat (misalnya > 2 mmol / L
atau lebih besar dari batas atas laboratorium normal) dapat
menunjukkan tingkat keparahan sepsis dan digunakan untuk menilai
respon terapi.
 Analisis gas darah arteri (ABG) - ABG dapat menunjukkan asidosis,
hipoksemia, atau hiperkapnia.
 Kultur darah perifer (kultur aerobik dan anaerobik dari setidaknya dua
lokasi berbeda), urinalisis, dan kultur mikrobiologis (misalnya,
sputum, urin, kateter intravaskular, luka atau lokasi bedah, cairan
tubuh) dari lokasi yang mudah diakses, untuk pasien dengan kateter
vaskular, darah harus diperoleh dari keduanya kateter dan dari situs
perifer.

16
 Pencitraan yang ditargetkan di tempat yang dicurigai sumber infeksi
(misalnya, radiografi dada, computed tomography dada dan / atau
perut). 17

SURVIVING SEPSIS CAMPAIGN GUIDELINES


Sepsis adalah kegawatdaruratan medis yang membutuhkan penilaian dan
penanganan segera termasuk didalamnya resusitasi cairan sembari mengontrol
sumber infeksi, memperoleh hasil laboratorium lanjut, dan pengukuran status
hemodinamik yang lebih tepat. Pasien membutuhkan evaluasi ulang untuk menilai
respon terhadap penanganan.2

Surviving Sepsis Campaign Bundle : Bundle jam pertama (2018)19


Perubahan paling penting pada revisi bundle SSC adalah bundle 3 jam dan
6 jam dikombinasikan menjadi bundle 1 jam dengan tujuan memulai resusitasi
dan manajemen segera. Dibutuhkan lebih dari 1 jam agar resusitasi komplit,
namun inisiasi resusitasi dan penanganan seperti mengambil darah untuk
mengukur kadar laktat darah dan kultur darah, administrasi cairan dan antibiotik,
dan pada hipotensi yang mengancam jiwa, inisiasi terapi vasopresor, semuanya
dimulai sesegera mungkin. Elemen-elemen bundle 2018 harus dimulai dalam 1
jam pertama, elemen-elemen tersebut adalah :
 Mengukur kadar laktat darah
Walaupun serum laktat bukan merupakan pengukur langsung
perfusi jaringan, ia dapat berfungsi sebagai pengganti, karena kenaikannya
merepresentasikan hipoksia jaringan, glikolisis aerobik terakselerasi yang
digerakkan oleh stimulasi beta-adrenergik, atau sebab lain yang terkait
dengan hasil yang buruk. Studi randomized clinical trial menunjukkan
penurunan yang signifikan dari angka kematian dengan resusitasi yang
dipandu kadar laktat darah. Jika kadar laktat awal tinggi (> 2mmol / L),
kadar laktat harus diukur kembali dalam 2−4 jam untuk memandu
resusitasi untuk menormalkan laktat pada pasien dengan peningkatan
kadar laktat sebagai penanda hipoperfusi jaringan.20
 Dapatkan Kultur Darah Sebelum Antibiotik

17
 Berikan antibiotik spektrum luas
 Berikan cairan intravena
Mengingat sifat mendesak dari keadaan darurat medis ini, resusitasi
cairan awal harus segera dimulai setelah mengenali pasien dengan sepsis dan
atau hipotensi dan peningkatan laktat (>4 mmol/L) dan selesai dalam 3 jam.
Pemberian cairan intravena yang direkomendasikan adalah minimal 30
mL/kgbb cairan kristaloid intravena
 Berikan vasopressor
Restorasi tekanan perfusi yang memadai ke organ vital adalah bagian
penting dari resusitasi. Ini tidak boleh terlambat. Jika tekanan darah tidak
pulih setelah cairan resusitasi awal, maka vasopressor harus dimulai dalam
jam pertama untuk mencapai tekanan arteri rata-rata (MAP) ≥ 65 mm Hg.

Surviving Sepsis Campaign Bundle (2016)2


RESUSITASI AWAL
 Direkomendasikan, resusitasi untuk hipoperfusi yang disebabkan sepsis,
setidaknya 30 ml/kgBB cairan kristaloid intravena diberikan dalam 3 jam
pertama. (rekomendasi kuat, kualitas bukti rendah)
 Direkomendasikan, setelah cairan resusitasi awal, pemberian cairan
lanjutan dipandu dengan pemantauan ulang status hemodinamik pasien
secara rutin dan sering. Pemantauan ulang harus melibatkan pemeriksaan
klinis dan evaluasi variabel-variabel fisiologis (denyut jantung, tekanan
darah, saturasi oksigen arteri, frekuensi napas, suhu tubuh, jumlah
urin,dan lain-lain) juga monitor invasif dan non-invasif lain apabila
tersedia.
 Direkomendasikan, penilaian hemodinamik lanjutan seperti penilaian
fungsi jantung dilakukan untuk menentukan jenis syok yang dialami
pasien, apabila pemeriksaan klinis tidak mengarah ke diagnosis yang
jelas.
 Direkomendasikan, target mean arterial pressure (MAP) awal 65 mmHg
pada pasien syok septik yang membutuhkan vasopressor. MAP adalah

18
tekanan pendorong perfusi jaringan. Menargetkan MAP 85 mm Hg
menyebabkan risiko aritmia yang lebih tinggi secara signifikan.
Menargetkan MAP 65 mm Hg memiliki risiko lebih rendah untuk
terjadinya fibrilasi atrium dan dosis vasopressor rendah.
 Disarankan, resusitasi dipandu untuk menormalisasikan kadar laktat
tubuh, dimana peningkatan laktat merupakan tanda dari hipoperfusi
jaringan. Serum laktat bukan merupakan pengukuran langsung perfusi
jaringan. Peningkatan kadar laktat serum dapat mewakili hipoksia
jaringan, glikolisis aerobik oleh stimulasi beta-adrenergik, atau penyebab
lainnya (gagal hati). Terlepas dari penyebabnya, meningkatnya kadar
laktat berhubungan dengan hasil akhir yang buruk. Kadar laktat adalah
pengukuran yang lebih obyektif untuk menilai perfusi jaringan
dibandingkan dengan pemeriksaan fisik atau output urin. Penurunan yang
signifikan dalam mortalitas terlihat pada resusitasi yang dipandu
pemantauan kadar laktat dibandingkan dengan resusitasi tanpa
pemantauan laktat (RR 0,67; 95% CI 0,53–0,84).

19
PENAPISAN UNTUK SEPSIS DAN PERBAIKAN KINERJA
 Direkomendasikan bahwa rumah sakit dan sistem rumah sakit memiliki
program peningkatan kinerja untuk sepsis, termasuk skrining sepsis untuk
pasien sakit akut dan pasien berisiko tinggi.

DIAGNOSIS
 Direkomendasikan kultur mikrobiologi rutin yang sesuai (termasuk darah)
diperoleh sebelum memulai terapi antimikroba pada pasien yang diduga
sepsis atau syok septik apabila tidak menunda pemberian antimikroba.
Pemeriksaan mikrobiologis rutin yang tepat setidaknya mengambil dua
set kultur darah (aerobik dan anaerobik).

TERAPI ANTIMIKROBA
 Direkomendasikan, pemberian antimikroba intravena harus diberikan
secepatnya setelah diagnosa sepsis dan syok sepsis dalam waktu kurang
dari 1 jam.
o Penundaan pemberian antimikroba meningkatkan angka kematian
pasien dengan sepsis/syok sepsis.
 Direkomendasikan, pemberian antimikroba spektrum luas dengan 1 atau
lebih antimikroba pada pasien dengan sepsis/syok sepsis untuk mencakup
semua patogen.
 Direkomendasikan pemberian antimikroba empirik dipersempit bila hasil
identifikasi pathogen dan sensitifitas sudah tersedia dan atau perbaikan
klinis terlihat.
 Direkomendasikan, untuk tidak memberikan profilaksis antimikroba
sistemik pada pasien dengan keadaan inflamasi berat non infeksius (luka
bakar, pankreatitis).
 Direkomendasikan, pemberian dosis antimikroba disesuaikan secara
optimal dengan prinsip farmakokinetik/farmakodinamik

20
 Disarankan, terapi kombinasi antimikroba empirik (setidaknya 2
antibiotik dengan kelas antimikroba berbeda) yang mencakup sebagian
besar patogen bakrterial untuk manajemen awal sepsis/syok sepsis
 Disarankan, terapi kombinasi tersebut tidak dilakukan secara rutin pada
pasien infeksi berat seperti bacteremia, dan sepsis tanpa syok.
 Direkomendasikan, tidak menggunakan terapi kombinasi sebagai terapi
rutin pada sepsis dengan neutropenia/ bacteremia
 Apabila terapi kombinasi digunakan untuk syok sepsis,
Direkomendasikan, de eskalasi antibiotik dengan penghentian terapi
kombinasi pada beberapa hari pertama bila terdapat perbaikan respon
klinis. Hal ini juga berlaku untuk terapi kombinasi bertarget dan empirik.
 Disarankan, durasi pemberian antimikroba 7-10 hari adekuat untuk
sebagian besar infeksi serius yang berhubungan dengan sepsis dan syok
sepsis.
 Disarankan, durasi pemberian antimikroba diperpanjang pada pasien
dengan respon klinis lambat, fokus infeksi yang tidak dapat dilakukan
drainase, bakteremia dengan S.aureus, infeksi jamur dan virus, atau
defisiensi imunologis termasuk neutropenia.
 Disarankan, durasi pemberikan antimikroba dapat diperpendek pada
pasien dengan perbaikan klinis cepat setelah pengendalian sumber infeksi
efektif pada sepsis intra abdomen atau urosepsis, atau pada pasien
pielonefritis tanpa kelainan anatomis.
 Direkomendasikan, penilaian harian untuk deeskalasi.
 Disarankan, pengukuran kadar prokalsitonin dapat digunakan untuk
mendukung pemendekan durasi waktu pemberian antimikroba pada
pasien sepsis.
 Disarankan, level prokalsitonin dapat digunakan untuk mendukung
pemberhentian antibiotika empiris pada pasien yang awalnyan terlihat
memiliki sepsis namun ternyata memiliki bukti klinis infeksi yang kurang.

21
PENGDENDALIAN SUMBER INFEKSI
 Direkomendasikan, diagnosis anatomis spesifik infeksi yang
membutuhkan pengendalian sumber segera harus diidentifikasi dini atau
di eksklusi sesegera mungkin dan intervensi pengendalian sumber infeksi
harus dijalankan secepatnya setelah diagnosis dibuat.
 Direkomendasikan, pemindahan dini alat akses intravaskuler yang
dicurigai sebagai sumber sepsis/syok sepsis setelah dilakukan akses
intravaskuler lain.
Fokus infeksi yang siap untuk dikendalikan adalah abses intra-
abdominal, perforasi gastrointestinal, iskemia usus atau volvulus, kolangitis,
kolesistitis, pielonefritis terkait dengan obstruksi atau abses, infeksi
necrotizing jaringan lunak, infeksi ruang dalam lainnya (misalnya, empiema
atau septic arthritis), dan infeksi implan. Fokus infeksi yang diduga
menyebabkan syok septik harus dikontrol sesegera mungkin setelah resusitasi
awal berhasil. Target pengendalian sumber infeksi tidak boleh lebih dari 6–12
jam setelah diagnosis cukup untuk sebagian besar kasus. Oleh karena itu,
setiap kontrol sumber yang membutuhkan intervensi dalam sepsis dan syok
sepsis idealnya harus diimplementasikan segera setelah siap secara medis dan
logistik. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa, tanpa kontrol sumber yang
memadai, beberapa presentasi yang lebih parah tidak akan stabil atau
membaik meskipun sudah dilakukan resusitasi dan pemberian cepat
antimikroba yang sesuai. Mengingat fakta ini, upaya yang berkepanjangan
untuk stabilisasi medis sebelum pengendalian sumber pada pasien yang sakit
parah, terutama mereka dengan syok sepsis, tidak dibenarkan. Secara umum,
intervensi paling tidak invasif yang efektif untuk kontrol sumber harus dipilih.
Intervensi bedah terbuka harus dipertimbangkan ketika pendekatan
intervensional lainnya tidak memadai atau tidak bisa disediakan secara tepat
waktu. Bedah eksplorasi mungkin juga diindikasikan ketika ketidakpastian
diagnostik berlanjut meskipun evaluasi radiologis atau ketika probabilitas
sukses dengan prosedur perkutan tidak pasti dan risiko kematian sebagai
konsekuensi dari prosedur yang gagal tinggi.

22
TERAPI CAIRAN
 Direkomendasikan, teknik fluid challenge dilakukan dimana pemberian
cairan dilanjutkan selama terdapat perbaikan faktor-faktor hemodinamik.
 Direkomendasikan, cairan kristaloid sebagai cairan pilihan untuk resusitasi
awal dan penggantian volume intravaskuler lanjut pada pasien sepsis dan
syok sepsis
o Tidak adanya manfaat yang jelas setelah administrasi koloid
dibandingkan dengan kristaloid dalam gabungan subkelompok dari
sepsis, bersamaan dengan biaya albumin, mendukung rekomendasi
yang kuat untuk penggunaan larutan kristaloid dalam resusitasi
awal pasien dengan sepsis dan syok septik.
o Tidak dapat direkomendasikan satu solusi kristaloid yang lebih
dari yang lain karena tidak ada perbandingan langsung dibuat
antara garam isotonik dan larutan garam seimbang pada pasien
dengan sepsis. Hiperkloremia harus dihindari, dengan demikian
pemeriksaan ketat kadar klorida serum disarankan.
 Disarankan, penggunakan cairan kristaloid seimbang atau saline untuk
resusitasi cairan pasien dengan sepsis/syok sepsis.
 Disarankan, penggunaan albumin sebagai cairan tambahan disamping
kristaloid untuk resusitasi awal dan penggantian volume cairan lanjut pada
pasien sepsis/syok sepsis yang membutuhkan jumlah kristaloid yang besar.
o Cairan albumin yang disarankan adalah albumin 5% (SAFE study).
Studi SAFE menunjukkan bahwa administrasi albumin
aman dan sama efektifnya dengan 0,9% saline pada pasien ICU
yang membutuhkan pemberian cairan.
 Direkomendasikan, tidak menggunakan hydroxyethyl starches (HES)
untuk cairan pengganti volume intravaskuler pada pasien sepsis/syok
sepsis.
o Penggunaan HES mengakibatkan risiko kematian yang lebih
tinggi dibandingkan dengan cairan lain. Penggunaan HES

23
menyebabkan risiko renal replacement therapy (RRT) yang lebih
tinggi (RR 1,36; 95% CI:1,08–1,72; bukti berkualitas tinggi)
 Disarankan, penggunaan cairan kristaloid daripada gelatin (gelafusal ®)
ketika melakukan resusitasi cairan pasien sepsis/syok sepsis.
OBAT-OBATAN VASOAKTIF
 Direkomendasikan, norepinefrin sebagai vasopresor pilihan pertama pada
pasien sepsis/syok sepsis.
o Norepinefrin meningkatkan MAP karena memberikan efek
vasokonstriksi, dengan sedikit perubahan dalam denyut jantung
dan peningkatan stroke volume yang lebih rendah dibandingkan
dengan dopamin.
o Norepinefrin lebih kuat daripada dopamin dan mungkin lebih
efektif untuk membalikkan hipotensi pada pasien dengan syok
septik.
o Penggunaan norepinefrin menghasilkan mortalitas yang lebih
rendah (RR 0,89; 95% CI 0,81-0,98) dan risiko aritmia lebih
rendah (RR 0,48; 95% CI 0,40-0,58) dibandingkan dengan
dopamin
 Disarankan, penambahan norepinefrin dengan vasopressin (hingga dosis
0,03 U/menit) atau epinefrin untuk meningkatkan MAP sesuai target (≥ 65
mmHg), atau penggunaan vasopressin (hingga dosis 0,03 U/menit) untuk
menurunkan dosis norepinefrin.
o Studi pada manusia dan hewan menunjukkan bahwa pemberian
epinefrin dapat memiliki efek merusak pada sirkulasi splanknikus
dan menghasilkan hiperlaktatemia. Epinefrin dapat meningkatkan
produksi laktat aerobik melalui stimulasi reseptor β2-adrenergik
otot rangka dan dengan demikian dapat menghalangi penggunaan
kadar laktat untuk memandu resusitasi.
o Studi yang membandingkan norepinefrin dengan epinefrin
menunjukkan tidak ada perbedaan dalam angka kematian.

24
o Dosis rendah vasopresin mungkin efektif untuk meningkatkan
tekanan darah pada pasien refrakter terhadap vasopressor lain
o Uji coba VASST, sebuah RCT membandingkan norepinefrin saja
dengan norepinefrin ditambah vasopresin 0,03 U / menit,
menunjukkan tidak ada perbedaan dalam hasil
o Dosis vasopresin yang lebih tinggi dikaitkan dengan iskemia
jantung, jari-jari, dan splanchnic dan harus digunakan untuk
situasi di mana vasopressor lain telah gagal
o Uji coba VANISH yang melibatkan sembilan trial (n = 1324 pasien
dengan syok septik), membandingkan norepinefrin dengan
vasopressin (atau terlipressin) menunjukkan tidak ada perbedaan
yang signifikan pada tingkat mortalitas (RR 0,89; 95% CI : 0,79-
1,00)
o Penggunaan vasopressin sebagai vasopressor lini pertama tidak
direkomendasikan untuk meningkatkan MAP dan dianjurkan
waspada saat menggunakannya pada pasien yang tidak euvolemik
atau pada dosis lebih tinggi dari 0,03 U / menit.
 Disarankan, penggunaan dopamine sebagai agen vasopressor alternatif
dari norepinefrin, hanya pada kasus-kasus tertentu (pasien dengan resiko
takiaritmia rendah, dan bradikardia absolut/relatif).
o Dopamin meningkatkan MAP dan curah jantung, terutama karena
peningkatan stroke volume dan denyut jantung.
o Dopamin dapat sangat berguna pada pasien dengan fungsi sistolik
yang terganggu tetapi lebih menyebabkan takikardia dan lebih
aritmogenik daripada norepinefrin
o Dopamin juga dapat mempengaruhi respon endokrin melalui aksis
hipofisis hipotalamus dan dapat memiliki efek imunosupresif
 Direkomendasikan, tidak menggunakan dopamine dosis rendah untuk
proteksi renal.
o Uji coba perbandingan meta-analisis dopamin dosis rendah dengan
plasebo tidak menemukan perbedaan untuk RRT, output urin,

25
waktu untuk pemulihan ginjal, kelangsungan hidup, perawatan
ICU, rawat inap di rumah sakit, atau aritmia. Dengan demikian,
data yang tersedia tidak mendukung pemberian dopamin dosis
rendah untuk menjaga fungsi ginjal.
 Disarankan, pemberian dobutamin pada pasien dengan hipoperfusi
persisten walau telah diberikan loading cairan adekuat dan telah diberikan
obat vasopressor.
o Beberapa pasien dapat mengalami peningkatan perfusi jaringan
dengan terapi inotropik yang ditujukan untuk meningkatkan
pengiriman oksigen. Dalam situasi ini, dobutamine adalah
inotropik pilihan pertama untuk pasien dengan atau dicurigai
memiliki curah jantung rendah dalam kondisi ventrikel kiri yang
dan MAP yang memadai.
 Disarankan, pasien yang memerlukan pemberian obat vasopressor
memiliki kateter arterial secepatnya, bila tersedia.
o Dalam keadaan syok, estimasi tekanan darah menggunakan
manset, terutama sistem pengukuran otomatis mungkin tidak
akurat. Penggunaan kanula arteri memberikan pengukuran yang
lebih akurat.
o Mengingat rendahnya tingkat komplikasi dan perkiraan tekanan
darah yang lebih baik, tetapi sumber daya yang berpotensi terbatas
di beberapa negara, dan kurangnya studi berkualitas tinggi,
manfaat dari kateter arteri mungkin tidak lebih besar daripada
risikonya. Oleh karena itu, kami mengeluarkan rekomendasi yang
lemah mendukung pemasangan kateter arteri.
o Arteri kateter harus dilepaskan segera setelah pemantauan
hemodinamik kontiniu tidak diperlukan untuk meminimalkan
risiko komplikasi.
Jika sudah diinisiasi, dosis vasopressor harus dititrasi sampai titik akhir yang
mencerminkan perfusi, dan dosis vasopresor dikurangi atau dihentikan dalam
kondisi hipotensi memburuk atau aritmia.

26
KORTIKOSTEROID
 Disarankan, tidak memberikan hidrokortison intravena untuk terapi pasien
sepsis/syok sepsis yang respon terhadap resusitasi cairan adekuat dan
terapi vasopressor. Bila stabilitas hemodinamik ini tidak tercapai dengan 2
hal tersebut, maka disarankan pemberian hidrokortison intravena dengan
dosis 200 mg/hari.

PRODUK DARAH
 Direkomendasikan, transfusi PRC hanya diberikan bila Hb < 7 g/dL pada
pasien dewasa tanpa adanya keadaan buruk seperti iskemia miokard,
hypoxemia berat, atau perdarahan akut.
o TRISS (Transfusion Requirements In Septic Shock) menunjukkan
perbandingan hasil pada pasien syok sepsis dengan ambang
transfusi 7 dengan 9 g / dL yang telah masuk ke ICU. Hasilnya
menunjukkan kematian 90 hari, kejadian iskemik, dan alat bantu
hidup yang sama pada kedua kelompok dengan jumlah transfusi

27
yang lebih sedikit pada kelompok dengan ambang bawah yang
lebih rendah.
 Direkomendasikan, tidak menggunakan eritripoetin untuk terapi pasien
anemia berhubungan dengan sepsis
o Uji coba pemberian eritropoietin pada pasien kritis menunjukkan
sedikit penurunan kebutuhan transfusi sel darah merah tanpa efek
pada angka mortalitas.
o Pemberian Erythropoietin dapat terkait dengan peningkatan
insidensi trombotik pada pasien kritis.
 Disarankan, tidak memberikan FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk koreksi
abnormalitas pembekuan darah tanpa adanya perdarahan atau prosedur
invasive terencana.
o Rekomendasi saat ini, menurut pendapat ahli FFP ditransfusikan
bila ada kelainan faktor koagulasi yang didokumentasikan (PT,
INR, atau PTT) dan adanya perdarahan aktif atau sebelum
pembedahan atau prosedur invasif.
o Transfusi FFP biasanya gagal memperbaiki PT pada pasien tanpa
perdarahan dengan kelainan ringan.
 Disarankan, tranfusi platelet profilaksis bila trombosit < 10,000 /mm3
tanpa adanya perdarahan, atau trombosit < 20,000 /mm3 pada pasien
dengan risiko perdarahan.Target jumlah trombosit > 50,000 /mm3
disarankan untuk pasien dengan perdarahan aktif, akan dilakukan
operasi/tindakan invasif.
o Faktor-faktor yang mungkin meningkatkan risiko pendarahan dan
menunjukkan kebutuhan trombosit yang lebih tinggi sering
ditemukan pada pasien dengan sepsis.

IMUNOGLOBULIN
 Disarankan, tidak memberikan immunoglobulin intravena pada pasien
sepsis/syok sepsis

28
PURIFIKASI DARAH
 Tidak ada rekomendasi untuk penggunaan teknik purifikasi darah (seperti
hemofiltrasi volume tinggi, hemoadsorbsi) pada pasien sepsis/syok sepsis

ANTIKOAGULAN
 Direkomendasikan, tidak memberikan antitrombin untuk terapi sepsis dan
syok sepsis
 Tidak ada rekomendasi untuk penggunaan trombomodulin atau heparin
pada terapi sepsis/syok sepsis

VENTILASI MEKANIS
 Direkomendasikan, target tidal volume 6 ml/kg berat badan yang
diprediksi daripada tidal volume 12 mL/kg berat badan yang diprediksi
pada pasien ARDS yang disebabkan sepsis
 Direkomendasikan, penggunaan target batas atas plateu pressure sebesar
30 cmH2O lebih tinggi pada pasien dewasa sepsis dengan ARDS
o ARDS ringan, sedang, dan berat (Pao2 / Fio2 ≤300, ≤200, dan
≤100 mm Hg)
o Uji strategi pemberian volume dan tekanan terbatas menunjukkan
9% penurunan absolut angka kematian pada pasien ARDS
diventilasi dengan volume tidal 6 mL / kg dibandingkan dengan 12
mL / kg PBW, dengan tekanan ≤30 cmH2Od
o Penggunaan strategi perlindungan paru-paru dengan kedua cara
diatas didukung secara klinis dan uji coba dan telah diterima secara
luas
 Disarankan, penggunaan PEEP tinggi dibandingkan PEEP rendah pada
pasien sepsis dengan ARDS sedang-berat
o Meningkatkan PEEP di ARDS dapat membuka unit paru-paru agar
dapat berpartisipasi dalam pertukaran gas. Ini dapat meningkatkan
PaO2 ketika PEEP diterapkan melalui endotrakeal tube atau face
mask

29
o PEEP > 5 cmH2O biasanya diperlukan untuk menghindari kolaps
paru-paru
 Disarankan, penggunaan manuver recruitment pada pasien dewasa sepsis
dengan ARDS
o Banyak strategi yang ada untuk mengobati hipoksemia refraktori
pada pasien dengan ARDS berat. Meningkatkan tekanan
transpulmoner untuk sementara waktu dapat memfasilitasi
membukanya alveoli atelectatik untuk memungkinkan terjadinya
pertukaran gas,tetapi dapat juga menyebabkan overdistensi unit
paru-paru menyebabkan cedera paru yang diinduksi ventilator dan
hipotensi sementara.
o Penggunaan CPAP meningkatkan kelangsungan hidup (RR 0,84;
95% CI 0,74-0,95) dan mengurangi terjadinya hipoksia berat (RR
0,76; 95% CI 0,41–1.40) pada pasien dengan ARDS.
o Meski efek manuver ini meningkatkan oksigenasi di awal, efeknya
bisa sementara.
o Setiap pasien yang menerima terapi ini harus dimonitor secara
ketat dan manuver dihentikan jika terdapat perburukan klinis yang
diamati.
 Direkomendasikan, posisi prone/tengkurap dibandingkan posisi
supine/terlentang pada pasien dewasa sepsis dengan ARDS dengan rasio
PaO2/FiO2 < 150
 Direkomendasikan, tidak menggunakan HFOV (High Frequency
Occilatory Ventilation) pada pasien dewasa sepsis dengan ARDS
Peningkatan barotrauma terlihat pada pasien yang menerima HFO
 Tidak ada rekomendasi penggunaan NIV (non invasive ventilation) pada
pasien sepsis dengan ARDS
o NIV mungkin memiliki manfaat teoritis pada pasien dengan
kegagalan pernafasan yang diinduksi sepsis, seperti kemampuan
komunikasi yang lebih baik, mengurangi kebutuhan akan sedasi,
dan menghindari intubasi. Namun, NIV menghalangi penggunaan

30
ventilasi volume tidal rendah atau mencapai tingkat PEEP yang
cukup, dua strategi ventilasi yang telah menunjukkan manfaat
bahkan dalam kondisi ARDS ringan-sedang.
 Disarankan, penggunaan agen penghambat neuromuskular selama ≤ 48
jam pada pasien dewasa dengan ARDS dan rasio PaO2/FiO2 < 150
mmHg
o Indikasi paling umum untuk penggunaan NMBA di ICU adalah
untuk memfasilitasi ventilasi mekanis. Ketika digunakan dengan
tepat, agen-agen ini dapat mencegah dissinkroni pernapasan dan
mengurangi tekanan udara puncak. Kelumpuhan otot juga dapat
mengurangi konsumsi oksigen karena menurunkan kerja
pernapasan dan otot pernapasan.
o Namun, studi RCT menunjukkan pengirimian oksigen, konsumsi
oksigen, dan ph intramukosa gaster tidak membaik selama
pemberian NMBA.
o Jika NMBA digunakan, dokter harus memastikan kecukupan
e
sedasi dan analgesia pasien dengan tujuan sedasi dalam. Dalam
studi, pasien yang telah lumpuh tanpa menerima cukup sedasi
dilaporkan merasa ketakutan dan mengalami panik luar biasa
 Direkomendasikan, pemberian cairan konservatif untuk pasien sepsis
dengan ARDS tanpa tanda hipoperfusi jaringan
Mekanisme berkembangnya edema paru pada pasien dengan
ARDS adalah peningkatan permeabilitas kapiler, peningkatan tekanan
hidrostatik, dan penurunan tekanan onkotik. Strategi konservatif cairan
untuk meminimalkan infus cairan dan berat badan pada pasien dengan
ARDS, berdasarkan pengukuran CVP atau kateter pulmonal arteri (PA)
kateter bersama dengan variabel klinis untuk memandu pengobatan,
menghasilkan berkurangnya durasi penggunaan ventilasi mekanis dan
berkurangya waktu rawat di ICU tanpa mengubah insidensi gagal ginjal
atau tingkat kematian. Usaha untuk mengurangi pemberian cairan hanya
dilakukan di luar periode syok.

31
 Direkomendasikan, tidak menggunakan ß-2 agonis untuk terapi pasien
sepsis dengan ARDS tanpa bronkospasme
o Data praklinis menunjukkan bahwa agonis β-adrenergik dapat
mempercepat resorpsi edema alveolar.
o Studi menunjukkan bahwa β-agonis mengurangi jumlah hari bebas
ventilator (MD, −2.19; 95% CI −3.68 hingga −0.71). Penggunaan
β-Agonis juga menyebabkan lebih banyak aritmia (RR 1,97; 95%
CI 0,70-5,54) dan takikardia.
o Indikasi spesifik adalah pengobatan bronkospasme dan
hiperkalemia.
 Direkomendasikan, TIDAK memasang rutin kateter arteri pulmoner (PA)
pada pasien sepsis dengan ARDS.
 Disarankan, pemberian volume tidal rendah dibandingkan volume tidal
tinggi pada pasien sepsis dengan gagal nafas tanpa ARDS.
o Ventilasi volume tidal rendah (4-6 mL / kg) telah terbukti
bermanfaat pada pasien ARDS dengan mencegah cedera paru
yang diinduksi ventilator.
o Meta-analisis menunjukkan manfaat ventilasi volume tidal rendah
pada pasien tanpa ARDS, termasuk penurunan durasi ventilasi
mekanik (MD, 0,64 hari lebih sedikit; 95% CI 0,49-0,79) dan
penurunan perkembangan ARDS (RR 0,30; 95% CI 0,16-0,57)
tanpa berdampak pada kematian.
 Direkomendasikan, pasien sepsis dengan ventilasi mekanik diposisikan
dengan kenaikan kepala (head up) 30 – 45 derajat untuk meminimalkan
risiko aspirasi dan terjadinya VAP (ventilation associated pneumonia)
 Direkomendasikan, dilakukan SBT (spontaneous breathing trial) pada
pasien sepsis yang akan dilakukan weaning ventilator
o Pilihan percobaan pernapasan spontan meliputi tingkat dukungan
tekanan rendah, CPAP (≈5 cmH2O), atau penggunaan T-piece.
 Direkomendasikan, penggunaan protokol weaning pada pasien sepsis
dengan gagal nafas yang mampu mentoleransi weaning

32
SEDASI DAN ANALGESIA
 Direkomendasikan sedasi kontiniu atau intermiten dapat diminimalisir
pada pasien sepsis dengan ventilasi mekanis.
o Membatasi penggunaan sedasi pada pasien kritis yang berventilasi
mengurangi durasi ventilasi mekanik dan waktu rawat di rumah
sakit, dan memungkinkan mobilisasi lebih awal.
o Beberapa strategi telah terbukti mengurangi penggunaan sedasi
dan durasi ventilasi mekanis : administrasi intermiten bukan sedasi
terus menerus  Daily sedation interruption (DSI), penggunaan
opioid saja dan menghindari obat sedasi, penggunaan obat-obatan
kerja singkat seperti propofol dan dexmedetomidine dapat
menghasilkan hasil yang lebih baik daripada penggunaan
benzodiazepin

KONTROL GLUKOSA
 Direkomendasikan, pembuatan protocol manajemen gula darah pasien
ICU dengan sepsis, pemberian dosis insulin ketika pemeriksaan GDS 2
kali berturutturut memberikan hasil GDS > 190 mg/dL. Protokol ini harus
mentargetkan level tertinggi GDS normal adalah ≤180 mg/dL daripada
target level tertinggi GDS ≤110 mg/dL
 Direkomendasikan nilai GDS dimonitoring 1-2 jam hingga nilai GDS dan
kecepatan pemberian insulin stabil, dilanjutkan per 4 jam pada pasien
yang diberikan insulin infus (intravena).
 Direkomendasikan, nilai GDS yang didapat dengan pengambilan darah
kapiler harus di interpretasi hati-hati karena pengukuran tersebut mungkin
tidak akurat memperkirakan darah ateri atau nilai glukosa plasma.
 Disarankan, penggunaan darah arterial dibandingkan darah kapiler untuk
tes glukosa menggunakan alat glucose meter bila pasien terpasang kateter
arterial.

RENAL REPLACEMENT TERAPHY (RRT)

33
 Disarankan penggunaan mesin RRT secara terus menerus atau intermitten
pada pasien sepsis dengan AKI (acute kidney injury)
 Disarankan penggunaan mesin RRT untuk manajemen balans cairan pada
pasien sepsis hemodinamik tidak stabil
 Disarankan tidak menggunakan mesin RRT untuk indikasi oligouria atau
peningkatan kreatinin pada pasien sepsis dengan AKI tanpa indikasi lain
untuk dialisis

TERAPI BIKARBONAT
 Disarankan tidak menggunakan bicnat untuk meningkatkan hemodinamik
atau untuk mengurangi dosis vasopressor pada pasien hipoperfusi dengan
asidosis laktat dengan pH ≥ 7.15

PROFILAKSIS TROMBOEMBOLI VENA


 Direkomendasikan pemberian profilaksis heparin (UFH) atau LMWH
untuk pencegahan tromboemboli vena bila tidak ada kontraindikasi
mutlak
 Direkomendasikan penggunaan LMWH dibandingkan UFH untuk
pencegahan tromboemboli vena bila tidak ada kontraindikasi penggunaan
LMWH

PROFILAKSIS ULKUS PEPTIKUM


 Direkomendasikan pemberian profilaksis ulkus peptikum pada pasien
sepsis/syok sepsis resiko perdarahan saluran cerna
 Obat yang disarankan untuk profilaksis ulkus peptikum adalah proton
pump inhibitors (PPIs) atau histamine-2 receptor antagonists (H2RAs)
 Tidak disarankan pemberian profilaksis ulkus peptikum pada pasien tanpa
resiko perdarahan saluran cerna

34
NUTRISI
 Direkomendasikan tidak menggunakan nutrisi parenteral dini ataupun
kombinasi nutrisi parenteral dengan enteral pada pasien kritis dengan
sepsis/syok sepsis yang dapat diberi makan enteral.
 Direkomendasikan tidak menggunakan nutrisi parenteral dini ataupun
kombinasi nutri parenteral dan enteral, (lebih disarankan untuk memulai
pemberian glukosa intravena dan pemberian makan enteral, sesuai
toleransi pasien), pada 7 hari pertama pada pasien kritis sepsis/syok sepsis
yang sulit dilakukan pemberian makanan enteral dini
 Disarankan pemberian makanan enteral dini dibanding mempuasakan
pasien atau hanya memberikan glukosa intravena pasien syok
sepsis/sepsis yang dapat diberikan makan enteral
 Disarankan diet hopokalori makanan enteral pada pasien sepsis/syok
sepsis, jika makanan enteral hipokalori merupakan strategi awal, maka
pemberian makan disesuaikan dengan toleransi pasien
 Disarankan pemberian asam amino omega 3 sebagai suplementasi pada
pasien sepsis/syok sepsis
 Disarankan untuk tidak secara rutin monitoring volume residu
lambung,melainkan mengukur residu cairan lambung pasien dengan
intoleransi makanan atau pasien resiko tinggi aspirasi
 Disarankan penggunaan obat-obat prokinetik pada pasien dengan
intoleransi makanan
 Disarankan penggunaan NGT pada pasien ICU dengan sepsis/syok sepsis
resiko tinggi aspirasi
 Direkomendasikan tidak memberikan selenium intravena pada pasien
sepsis/syok sepsis
 Disarankan tidak memberikan arginin untuk terapi sepsis/syok sepsis
 Direkomendasikan tidak menggunakan glutamin untuk terapi sepsis/syok
sepsis

35
2.8. PENANGANAN ANESTESI PADA PASIEN SEPSIS
Beberapa studi menunjukkan bahwa berbagai mode anestesi memiliki efek
imunomodulator. Secara umum, anestesi menekan respon sistem imun pada sepsis
dan syok sepsis yang mengurangi kerusakan organ.4

Pre operatif :
Pemeriksaan pasien secara sistematis untuk mencari sumber infeksi.
Pemeriksaan harus berfokus pada keparahan SIRS, status hidrasi intravaskuler,
adanya syok atau disfungsi multi organ, dan kecukupan resusitasi hemodinamik.21

Intra operatif
Tujuan utama anestesi selama periode intraoperatif adalah memberikan
pelayanan yang aman dan optimal pada pasien sepsis sehingga pasien dapat
menerima keuntungan secara maksimal dari prosedur operasi. Sebagian besar
operasi dapat berjalan optimal dibawah anestesi umum. Sebelum induksi,
dilakukan pre oksigenasi dengan denitrogenisasi, oksigen 100% melalui masker
sampai 3 menit.21
 Induksi
Pada sepsis awal, resistensi vaskuler sistemik rendah dan curah jantung
tinggi. Pada sepsis lanjut, kegagalan kontraksi miokard dapat terlihat. Pasien yang
menjalani prosedur pengontrolan sumber infeksi berada pada kondisi
kardiovaskuler yang tidak stabil. Sebagian besar obat anestesi tidak hanya
memiliki efek depresan langsung pada kardiovaskuler, tetapi juga menginhibisi
respon kompensasi hemodinamik seperti barorefleks. Obat-obatan ini dapat
memperburuk reduksi preload dan afterload. Usaha untuk resusitasi cairan secara
adekuat harus dilakukan sebelum dilakukan induksi.22
Rapid sequence induction (RSI) adalah teknik pada situasi dimana pasien
membutuhkan operasi segera. Pasien-pasien tersebut biasanya memiliki
kompromi hemodinamik, resusitasi suboptimal, dan atau memiliki berbagai
komorbiditas. Kunci keberhasilan RSI adalah pemilihan agen induksi dengan
onset cepat, penggunaan agen penghambat neuromuskuler dengan onset cepat
(seperti suxamethonium) untuk memberikan kondisi optimal intubasi trakea. Agen

36
induksi darurat ideal adalah cepat menyebabkan tidak sadar tetapi tidak
menyebabkan kompromi hemodinamik. 22
Anestesi umum diindikasikan selama prosedur operasi untuk sepsis.
Anestesi umum terdiri dari obat anestesi intravena dan inhalasi. Induksi biasanya
menggunakan obat-obat anestesi intravena. Agen induksi dengan properti
farmakologis sesuai untuk pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik adalah
ketamin dan etomidate. Etomidate memiliki efek minimal pada profil
kardiovaskular dan ideal untuk induksi pada pasien sepsis karena dapat
mempertahankan stabilitas hemodinamik. Tetapi, etomidate dapat menginhibisi
aktivitas mitochondrial 11-β-hydroxylase dan dapat menyebabkan supresi adrenal.
Penggunaan etomidate sudah ditarik di beberapa negara karena penggunaan yang
berkepanjangan menganggu sintesis steroid pada pasien kritis. 3,22
Propofol adalah agen induksi intravena paling populer untuk kasus elektif.
Pada suatu studi pada pasien syok hemoragik yang telah menerima resusitasi
kristaloid, dosis propofol pada otak lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol
dengan pemberian dosis yang sama, maka dari itu disarankan, dosis propofol 10-
20% pasien normal ( 1-2mg/kgbb menjadi 0,1-0,4 mg/kgbb pada pasien syok).
Studi Shafer dan Reich menyarankan propofol tidak boleh diberikan pada pasien
dengan tekanan darah dasar <70mmHg dan propofol tidak menjadi pilihan untuk
induksi pasien syok bahkan setelah resusitasi. Barbiturat (thiopentone) memiliki
waktu paruh yang singkat namun vasodilatasi arteriole, inotropi negatif, dan
terganggunya respon baroreseptor membuat barbiturat kurang dipercayai sebagai
pilihan untuk pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik.22
Ketamin sangat larut dalam lipid sehingga perpindahan dari darah ke otak
cepat. Pada studi pasien syok hemoragik, didapatkan bahwa pasien yang
menerima ketamin menghasilkan angka hipotensi yang lebih rendah secara
signifikan dibandingkan dengan isoflurane. Ketamin adalah satu-satunya obat
anestesi yang meningkatkan kontraktilitas dan resistensi vaskuler sistemik dan
secara lansgung melawan perubahan kardiovaskuler pada sepsis. Ketamin
meningkatkan denyut nadi, tekanan arterial dan curah jantung. Respon barorefleks

37
juga dipertahankan.h Ketamin dapat menghentikan respons inflamasi dengan
membatasi sekresi sitokin inflamasi secara in vitro dan in vivo. 4
Midazolam tidak dapat digunakan pada RSI karena membutuhkan waktu
lama (10 menit) agar dapat mencapai otak.22 Terganggunya fungsi hepar atau
renal memperlambat pembersihan benzodiazepine. Midazolam dimetabolisme
oleh sitokrom P450 yang berkurang pada disfungsi hepar. Metabolit aktif
midazolam dapat berakmulasi pada disfungsi renal, sehingga dapat terjadi
oversedasi.23
 Analgesia
Fentanyl memiliki onset cepat sehingga menjadi analgetik pilihan pada
pasien yang membutuhkan analgesia secara cepat seperti pasien sepsis. Pada
klinisnya, administrasi fentanyl dosis tinggi (sampai 75μg/kg) menghasilkan
konsentrasi plasma yang rendah yang menciptakan stabilitas hemodinamik.
Fentanyl dosis tinggi tidak berhubungan dengan lepasnya histamin yang
menyebabkan hipotensi. Alfentanyl secara umum tidak mempengaruhi denyut
nadi dan tekanan arteri rata-rata. Morfin memiliki durasi kerja yang lebih lama
dibandingkan fentanyl, tetapi dapat menyebabkan hipotensi karena venodilasi dan
lepasnya histamin. Metabolit morfin dapat menyebabkan efek berkepanjangan
pada pasien dengan insufisiensi renal yang sering terjadi pada pasien sepsis.
Hydromorphone memmiliki durasi kerja yang sama dengan morfin, tetapi
metabolit aktif dan efek pada hemodinamik lebih sedikit. Maka dari itu, morfin
dan hydromorphone adalah agen pilihan untuk penggunaan intermiten. Fentanyl
dan hydromorphone adalah pilihan pada pasien dengan instabilitas hemodinamik
atau insufisiensi renal. Meperidine tidak direkomendasikan untuk pemakaian
berulang karena metabolit aktifnya dapat menyebabkan neuroeksitasi dan dapat
menginduksi hipotensi. Remifentanil adalah opioid ultra short acting. Kecuali
remifentanil, efek dan durasi kerja opioid intravena dapat meningkat karena
terganggunya fungsi hepar atau ginjal. Infus remifentanil sebagai agen primer atau
penyerta direkomendasikan pada pasien sepsis. Walaupun dapat menyebabkan
bradikardia, kebanyakan pasien takikardi dan efek pada kontraktilitas miokard

38
minimal. Remifentanil juga tidak menyebabkan reduksi tiba-tiba pada resistensi
vaskuler sistemik.m Dosis maintenance remifentanil adalah 0.25–0.5 μg/kg
 Neuromuscular blocking agents
Kebanyakan prosedur operasi pada pasien sepsis adalah darurat sehingga
penggunaan rocuronium dibandingkan succinylcholine lebih dipilih. Rocuronium
adalah pelemah otot non depolarisasi, durasi kerjanya lebih lama dari
succinylcholine (0,3-0,7 L/kg), onset kerjanya 1,5-3 menit. Tidak ada perubahan
hemodinamik (tekanan darah, denyut nadi, atau ECG) dan tidak ada peningkatan
konsentrasi histamin plasma. Succinylcholine adalah pelemah otot depolarisasi
dengan durasi kerja 0,04 L/kg dan onset 1-1,5 menit. Sebelum paralisis otot
muncul, terdapat fasikulasi. Efek samping succinylcholine adalah hyperkalemia,
malignant hyperpyrexia.
Manajemen intraoperatif bertujuan untuk mempertahankan kondisi
hemodinnamik pasien. Manajemen hemodinamik dan respirasi intraoperatif sesuai
dengan rekomendasi SSC 2016. Usaha resusitasi harus diteruskan sampai target
tercapai.h Pasien syok sepsis umunya menderita trauma paru-paru akut dan
membutuhkan ventilator canggih.Pasien membutuhkan inspirasi dengan
konsentrasi oksigen yang tinggi dan positive end expiratory pressures (PEEP)
sering diberikan. Memberhentikan PEEP walaupun hanya dalam waktu singkat
menyebabkan hipoksia arteri yang lebih parah. Studi lain mendukung pemberian
ventilasi dengan volum tidal rendah untuk meminimalisir efek ventilasi tekanan
positif pada paru-paru dan juga aliran balik vena dan curah jantung. Manajemen
hipoksemia yang terjadi selama operasi adalah dengan meningkatkan konsentrasi
oksigen yang diinspirasi dan meningkatkan PEEP.21
 Anestesi inhalasi
Belum ada literatur yang membandingkan penggunaan anestesi inhalasi
atau intravena pada pasien sepsis. Suatu studi yang membandingkan propofol
dengan isoflurane pada pasien yang menjalani operasi abdomen menunjukkan
kelompok isoflurane memiliki peningkatan insidensi trakeobronkitis post operasi
dan pneumonia dalam sebulan.3

39
Efek umum agen anestesi inhalasi adalah turunnya tekanan darah arteri
yang berhubungan dengan dosis. Halothane adalah agen yang paling jelas
menyebabkan turunnya curah jantung dan tekanan darah. Mekanisme halotan
menyebabkan turunnya curah jantung adalah depresi kontraktilitas miokard, hal
ini berkebalikan dengan anestesi inhalasi baru seperti desflurane, sevoflurane, dan
isoflurane yang mempertahankan kontraktilitas miokard. Desflurane
meningkatkan denyut jantung, sedangkan sevoflurane menghasilkan denyut nadi
yang relatif stabil. Sevoflurane dan halotan sampai 1 MAC menghasilkan
perubahan denyut nadi yang minimal. Enflurane dan isoflurane berhubungan
dengan meningkatnya denyut nadi 10-20% pada 1 MAC. Anestesi inhalasi
memiliki efek depresi fungsi miokard yang bergantung pada dosis, tetapi
halothane dan enflurane memiliki efek yang lebih besar daripada isoflurane,
sevoflurane, dan desflurane.
Administrasi anestetik inhalasi sebelum atau setelah induksi mengurangi
level sitokin proinflamasi. Chiang et al. mendemonstrasikan isoflurane (1.4 MAC;
minimum alveolar concentration) menurunkan panel sitokin, kemokin, dan protein
yang aktif untuk migrasi sel dan kemotaksis pada pasien zymozan A-induced
peritonitis. Isoflurane (1,4 MAC) meningkatkan resolusi, mengurangi amplitudo
infiltrasi neutrofil dan memperpendek interval resolusi. Anestetik inhalasi
menginhibisi proliferasi limfosit. Anestesi inhalasi memiliki efek pada fungsi
mitokondria. Membran potensial mitokondria imfosit dan miosit meningkat,
produksi ROS meningkat, protein kinase C dan mitogen activated protein kinase
teraktivasi. Alternasi ini memiliki efek berbeda pada limfosit dan miosit. Pada
limfosit, terjadi pengurangan transkipsi activator protein 1 dan penurunan
produksi sitokin pro inflamasi. Pada miosit, Katp channel terbuka dan
pengurangan kalsium mitokondria. Hal ini mengurangi respirasi mitokondria dan
memperlambat deplei atp, menjaga miosit tetap viable selama hibernasi.3
 Anestesi regional
Blok saraf perifer dapat meminimalisir respons simpatetik pada stimulus
nyeri, menghindari efek sistemik opioid, tetapi, adanya koagulopati, penyebaran
infeksi lokal atau sistemik, dan fakta bahwa anestesi lokal tidak dapat bekerja

40
maksimal dengan adanya infeksi atau asidosis membatasi. Blok neuraksial (spinal
dan epidural) harus digunakan dengan hati-hati karena efek hemodinamik teknik
ini dapat sulit dikembalikan.
 Balanced anaesthesia
Balanced anesthesia adalah keseimbangan agen-agen dan teknik anestesi
digunakan untuk menghasilkan komponen-komponen anestesi (analgesia,
amnesia, relaksasi otot, menghilangkan refleks autonom). Anestesia dengan agen
tunggal membutuhkan dosis yang menghasilkan depresi hemodinamik yang
berlebihan. Inklusi opioid sebagai komponen balanced anesthesia dapat
mengurangi nyeri dan ansietas preoperatif, berkurangnya respon somatik dan
autonomik pada manipulasi jalan napas, meningkatkan stabilitas hemodinamik,
menurunkan kebutuhan untuk anestetik inhalasi, dan memberikan analgesia post
operatif. Walaupun tujuan mengkombinasi opioid dengan sedatif-hipnotik dan
atau anestetik inhalasi adalah untuk memproduksi kondisi anestesi dengan
hemodinamik yang stabil, hal ini tidak selalu tercapai. Administrasi opioid
sebelum stimulasi nyeri melemahkan respon fisiologis. Opioid berinteraksi secara
sinergis dan mengurangi dosis sedatif-hipnotik yang dibutuhkan untuk
menghilangkan kesadaran dan stimulasi nyeri. Opioid dapat mengeliminasi respon
terhadap rapid sequence induction.
Alfentanil dan remifentanil memiliki waktu titrasi yang cepat karena onset
hanya 1-2 menit. Alfentanil jika dibandingkan dengan fentanil menyebabkan
penurunan denyut nadi dan tekanan darah yang lebih besar. Dibandingkan dengan
alfentanil, sufentanil memberikan stabilitas hemodinamik yang lebih baik.
Meperidine menghasilkan efek samping yang paling banyak yaitu hipotensi,
takikardi, dan urtikaria. Induksi biasanya dicapai dengan mengkombinasikan
loading dose fentanyl (2–6 μg/kg) dengan sedatif-hipnotik dan pelemah otot.
MAC isoflurane saat insisi kulit dapat berkurang 50% dan 63% dengan
konsentrasi fentanyl plasma 1,67 dan 3 ng/mL. Alfentanyl yang diberikan
sebelum atau bersamaan dengan sedatif-hipnotik efektif dengan konsentrasi
alfentanyl plasma yang relatif rendah (29 ng/mL) dapat menurunkan MAC
isoflurane + 50%. Pada sepsis, pemilihan agen pendamping induksi lebih penting

41
daripada pemilihan agen induksi itu sendiri. Ketamin atau midazolam dapat
memberikan stabilitas hemodinamik dan opioid kerja cepat seperti fentanyl dan
alfentanyl dapat menurunkan dosis agen induksi.

Post operatif

Biasanya setelah operasi, pasien akan dirawat di ICU. Infus vasopresor


disesuaikan dengan status hemodinamik pasien. Mempertahan jalan napas pasien
dengan ventilasi mekanis dengan tekanan rendah dan konsentrasi oksigen tinggi.
Volum tidal rendah (sampai 6 ml/kg) dapat dipikirkan. Terapi antimikroba
diteruskan. Transfusi darah diberikan sesuai indikasi. Kontrol glikemik
diteruskan. Manajemen nutrisi disesuaikan. Nutrisi enteral melalui pipa
nasogastrik adalah pilihan terbaik untuk mempertahankan integritas enterocyte
dan menutrisi pasien. Nutri parenteral total dipilih apabila terdapat kontraindikasi
pemberian nutrisi enteral atau kebutuhan nutrisi tidak dapat dipenuhi dengan
enteral. Hidrokortison intravena diberikan ketika hipotensi kurang berespon pada
resusitasi cairan dan vasopresor. Dosis nya adalah 200 mg/hari dibagi ke 4 dosis
atau infus kontiniu dengan dosis 240 mg/hari selama 7 hari. Renal replacement
therapy diberikan untuk menangani asidosis, hiperkalemia, atau kelebihan cairan.
Analgesi dan sedasi dilanjutkan, tetapi sedasi atau pelemah otot berlebihan
tidak direkomendasikan. Sedasi digunakan untuk menangani ansietas dan agitasi.
Untuk agitasi akut digunakan midazolam, diazepam, atau propofol. Secara
ekonomi, lorazepam lebih dipilih dengan efektifitas yang sama dengan midazolam
dan propofol. Indikasi pemberian pelemah otot adalah untuk memfasilitasi
ventilasi mekanis. NMBA dapat memperbaiki pergerakan dada, mencegah
dissinkroni respirasi, dan mengurangi tekanan puncak. Paralisis otot mengurangi
konsumsi oksigen dengan mengurangi kerja otot pernapasan. Pancuronium adalah
agen pilihan karena harganya yang murah dan durasinya yang lama. Efek
pancuronium menjadi berkepanjangan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
atau hepar. Karena durasi kerja cisatracurium dan atracurium tidak dipengaruhi
fungsi hepar atau renal, penggunaan agen ini dipilih pada pasien dengan disfungsi
organ multipel. NMBA dapat menyebabkan kelemahan otot berkepanjangan,

42
dapat menyebabkan keterlambatan weaning ventilator. Kebanyakan pasien
sembuh dalam 4 bulan. Penggunaan NMBA harus diberhentikan secara periodik
untuk mengurangi risiko terjadinya miopati.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Wagenlehner et al. 2013. Diagnosis and management for urosepsis.


International Journal of Urology (2013) 20, 963–970.
2. Rhodes et al. 2017. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines
for Management of Sepsis and Septic Shock: 2016. Intensive Care Med
(2017) 43:304–377. DOI 10.1007/s00134-017-4683-6.
3. Yuki et al. 2015. Sepsis Pathophysiology and Anesthetic Consideration.
Cardiovasc Hematol Disord Drug Targets. 2015; 15(1): 57–69.
4. Khanna et al. 2014. Septic shock and anesthesia: Much ado about
nothing?. J Anaesthesiol Clin Pharmacol. 2014 Oct-Dec; 30(4): 481–483.
5. Runge MS, Greganti MA. Netter’s Internal Medicine. 2nd ed. Philadelphia
USA: Saunders Elsevier; 2009. p. 644-9
6. Melamed A, Sorvillo FJ. The burden of sepsis-associated mortality in the
United States from 1999 to 2005: an analysis of multiple-cause-of-death
data. Crit Care 2009, 13:R28
7. Aulia, D., et al., 2003. “The Use of Immatane to Total Neutrophil (IT)
Ratio to Detect Bacteremia in Neonatal Sepsis”. Journal Laboratory
Medicine & Quality Assurance; 25: hh 237-242.
8. Caterino JM, Kahan S. Master Plan Kedaruratan Medik. Indonesia:
Binarupa Aksara Publisher; 2012
9. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Loscalzo J, et al. Harrison Manual
Kedokteran. Indonesia:Karisma Publising Group; 2009. p. 99-104
10. AirdWC et al. 2003. The role of the endothelium in severe sepsis and
multiple organ dysfunction syndrome. Blood 2003:101:3765-77.
11. Levi M et al. 2001. Pathogenesis and treatment of disseminated
intravascular coagulation in the septic patient. J Crit Care 2001:16-167-
77.
12. Matthay MA,Ware LB, ZimmermanGA. 2012. The acute respiratory
distress syndrome. J Clin Invest 2012;122:2731-40.
13. Fink MP et al. 2003. Intestinal epithelial hyperpermeability: update on the
pathogenesis of gut mucosal barrier dysfunction in critical illness. Curr
Opin Crit Care 2003;9:143-51.
14. Ishikawa K et al. 2010. Pathophysiology of septic acute kidney injury: a
different view of tubular injury. Contrib Nephrol 2010;165:18-27.
15. Cabrera-Perez J et al. 2014. Impact of sepsis on CD" T cell immunity. J
Leukoc Biol 2014;96:767-77.
16. Jeffrey et al. 2016. Sepsis: pathophysiology and clinical management.
BMJ 2016; 353:i1585.
17. Neviere et al. 2018. Sepsis syndromes in adults: Epidemiology,
definitions, clinical presentation, diagnosis, and prognosis. Uptodate.
18. Singer et al. The Third International Consensus Definitions for Sepsis and
Septic Shock (Sepsis-3). JAMA. 2016;315(8):801-810.
doi:10.1001/jama.2016.0287
19. Levy et al. 2018. The Surviving Sepsis Campaign Bundle: 2018 Update.
Crit Care Med 2017; 45:486–552

44
20. Jansen TC, van Bommel J, Schoonderbeek FJ, et al: LACTATE study
group. Early lactate-guided therapy in intensive care unit patients: A
multicenter, open-label, randomized controlled trial. Am J Respir Crit
Care Med 2010; 182:752–761.
21. Eissa et al. 2010. Anaesthetic management of patients with severe sepsis.
British Journal of Anaesthesia 105 (6): 734–43 (2010)
22. Morris et al. 2009. Anaesthesia in haemodynamically compromised
emergency patients: does ketamine represent the best choice of induction
agent? Anaesthesia, 2009, 64, pages 532–539
23. Vender et al. 2004. Sedation, analgesia, and neuromuscular blockade in
sepsis:An evidence-based review. Crit Care Med 2004 Vol. 32, No. 11

45

Anda mungkin juga menyukai