Anda di halaman 1dari 15

Daftar Isi

Daftar Isi ..........................................................................................................................................1

Bab I. Anatomi .................................................................................................................................2

Bab II. Definisi.................................................................................................................................3

Bab III. Insiden ................................................................................................................................4

Bab IV. Patofisiologi .......................................................................................................................5

4.1. Hipopion .......................................................................................................................5

4.2. Pemakaian Lensa Kontak ..............................................................................................6

Bab V. Diagnosis .............................................................................................................................7

Bab VI. Terapi ...............................................................................................................................11

Bab VII. Prognosis .........................................................................................................................12

Daftar Pustaka ................................................................................................................................12

1
BAB I. ANATOMI

Bola mata berada dalam cekungan tulang yang disebut orbit dan dilingkupi oleh lemak
periorbital dan 6 otot ekstrinsik mata melekat pada sklera yang terdiri dari rektus superior, rektus
inferior, rektus lateralis, rektus medialis, superior oblique, dan inferior oblique. Bagian mata dari
luar terdiri dari kornea yang menutupi iris dan sklera yang membungkus sisah bagian mata. Kornea
berfungsi untuk membantu mengfokuskan cahaya ke retina. Pada perbatasan antara kornea dan
sklera terdapat Canal of Schlemm tempat keluarnya aqueous humor. Lapisan vaskular pembungkus
mata, disebut juga uvea, terdiri dari koroid, iris, dan korpus siliaris. Pembuluh darah pada lapisan
koroid memberikan nutrisi pada permukaan posterior retina. Pada bagian anterior, koroid berubah
menjadi korpus siliaris dimana terdapat prosessus siliaris dan otot siliaris. Pembuluh darah pada
prosessus siliaris akan mensekresi aqueous humor. Bagian mata iris mengandung melanosit yang
memberikan warna pada mata dan otot sfingter untuk konstriksi dari pupil. Cahaya terang pada
mata akan menstimulasi syaraf parasimpatetik dari nervus okulomotor untuk konstriksi pupil oleh
otot sfingter. Pada permukaan retina, lapisan terdalam mata, terdapat optic disc tempat keluarnya
nervus optikus, arteri sentra retina, vena sentral retina, dan makula lutea. Pada bagian tengah
makula lutea terdapat fovea sentralis yang tidak dilapisi sel bipolar dan sel ganglion sehingga area
tersebut memiliki visus dan ketajaman penglihatan yang terbaik.[1]

Gambar 1. Anatomi segmen anterior dan aliran aqueos humor[1]

2
Bagian dalam bola mata terbagi dua oleh lensa menjadi segmen anterior, terdiri dari bilik
anterior dan posterior, dan rongga vitreous. Bilik anterior terletak di antara kornea dan iris. Di
bagian posterior iris terdapat bilik posterior yang dibatasi oleh lensa dan otot siliaris. Kedua bilik
ini berisikan aqueous humor yang berfungsi untuk memberikan nutrisi pada bagian avaskular lensa
dan kornea dan menjaga tekanan intraokular. Aqueous humor berasal dari pembuluh darah kapiler
korpus siliaris pada bilik posterior. Kemudian aqueous humor mengalir ke bilik anterior melalui
pupil dan keluar melalui scleral venous sinous, atau Canal of Schlemm.[1]

BAB II. DEFINISI

Hipopion didefinisikan sebagai kumpulan sel darah putih atau pus pada bilik anterior mata
akibat inflamasi intraokular pada bilik anterior atau iris. Pus pada hipopion bersifat steril karena
merupakan hasil racun dari patogen bukan karena invasi patogen tersebut kareana sifatnyat
patogen yang tidak dapat melewati membran Descemet. Pus pada ulser akibat jamur umunya
mengandung hifa. Pus pada hipopion bersifat lebih pekat dibanding aqueous humor sehingga akan
posisinya akan berada di bagian terbawah bilik anterior mengikuti gaya gravitasi dan memberikan
tampilan fluid level di belakang kornea. [2,3,4,5]

Pseudo-hipopion adalah kondisi ketika ada endapan putih selain pus pada bilik anterior.
Pseudo-hipopion dapat disebabkan oleh sel-sel ganas, kumpulan injeksi steroid pada bilik anterior,
ghost cell pada glaukoma, atau minyak silikon. Minyak silikon bersifat lebih ringan dibanding
aqueous humor sehingga minyak silikon akan pindah ke sisi yang lebih tinggi disebut inverse-
hypopyon.[4]

Gambar 2. Hipopion[3] Gambar 3. Hipopion pada ulkus kornea[4]

3
Gambar 4. Inverse-hypopyon[4]

Hipopion umumnya terjadi pada kondisi ulkus kornea, uveitis, ulkus kornea, Behcet’s
disease, Sarcoidosis, atau positif Human Leucocyte Antigen B27 (HLA-B27). Ulkus kornea
merupakan manifestasi dari keratitits infektif dimana patogen menyebabkan nekrosis dan
pembentukkan pus pada jaringan kornea. Uveitis, berdasarkan lokasinya, dapat terbagi menjadi
uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior, dan panuveitis. Uveitis anterior mencangkup
bilik anterior, iris, dan korpus siliaris, uveitis intermediet mencangkup vitreous dan retina bagian
perifer, uveitis posterior mencangkup retina dan koroid, sedangkan panuveitis merupakan
gabungan dari uveitis anterior dan posterior.[7,10]

Behcet’s disease, atau Silk road disease, adalah kelainan vaskulitis sistemik yang tidak
diketahui etiologinya. Behcet’s disease serangan inflamasi berulang ditandai dengan ulkus oral,
ulkus genital, dan lesi okular. Ciri khas dari inflamasi ini adalah dapat sembuh dengan sendirinya
namun terjadi berulang.[9] Sarcoidosis adalah penyakit inflamasi sistemik yang bermanifestasi
sebagai kumpulan sel inflamatorik atau yang disebut juga granuloma.[10] HLA-B27 adalah protein
yang menyebabkan disfungsi pada sel darah putih. Adanya HLA-B27 menyebabkan penyakit
autoimun yang seperti reamatik artritis juvenil atau ankylosing spondylitis.[13]

BAB III. INSIDEN

Berdasarkan sebuah studi tahun 2015, prevalensi dari Behcet’s disease per 100.000
populasi di beberapa negara Asia adalah 13,5 di Jepang, 20 di Suadi Arabia, 17 di Irak, 80 di Iran,

4
dan 421 di Turki. Berbeda dengan negeara di Eropa dimana prevalensi per 100.000 populasi hanya
4,9 di Sweden dan 2,26 di Jerman. Hal ini dikarenakan epidemiologi dari Behcet’s disease
mengikuti geografi dari jalur perdagangan Silk Road dari Jepang ke Timur tengah.[11] Sedangkan
prevalensi sarkoidosis berdasarkan sebuah penelitian di Jepang hanyalah 1,01 per 100.000
populasi.[12] Berdasarkan studi di Amerika, ditemukan sebanyak 124 pasien dengan HLA-B27
positif dari 2.320 populasi dimana dari 1.021 populasi ras non hispanic white terdapat 79 kasus
HLA-B27 positif.[13] Di sisi lain, setiap tahunnya terdapat dekitar 15 juta kasus ulkus kornea di
negara berkembang. Prevalensi ulkus kornea di Amerika sendiri adalah 27,6 kasus per 100.000
populasi. Berdasarkan sebuah studi cohort pada 5000 pasien dengan uveitis, sebanyak 0,83% dari
kasus uveitis juga mengalami hipopion.

Lebih dari 20% pasien dengan sarcoidosis mengalami manifestasi pada mata dan sekitar 4
– 13% kasus uveitis terjadi karena sarcoidosis.[10] Kasus uveitis yang paling sering menyebabkan
hipopion adalah kasus uveitis anterior. Faktor risiko yang paling sering menyebabkan hipopion
adalah Behcet’s disease disusul dengan sarcoidosis dan HLA-B27.[3]

BAB IV. PATOFISIOLOGI

4.1. Hipopion

Perkembangan hipopion dipengaruhi oleh faktor virulensi dari patogen dan kemampuan
resistensi dari jaringan yang bersangkutan. Patogen yang sering menyebabkan hipopion adalah
Staphylococci spp, grup A Streptococcus, gonococci, pneumococci, dan Pseudomonas
pyocyanea.[6]

Trauma, mata kering, pemakaian steroid yang lama, entropion dengan trichiasis,
pemaikaian lensa kontak, atau lagophthalmos dapat menunrunkan resistensi dari laipsan kornea.
Menurunnya resistensi lapisan kornea atau abrasi akan memudahkan penyebaran patogen dan
mengakibatkan ulserasi pada lapisan kornea. Ulkus kornea ditandai dengan adanya diskontinuitas
dari lapisan epitel kornea dan nekrosis yang terjadi secara lokal. Ulkus tersebut berbentuk seperti
cekungan dengan pinggir menonjol karena penyerapan cairan oleh lapisan kornea dan dikelilingi
kumpulan leukosit. Racun dari bakteri akan berdifusi menembus kornea ke bilik anterior. Racun
tersebut akan mengiritasi pembuluh darah iris dan korpus siliaris sehingga terjadi keratouveitis

5
dimana iris akan menjadi hiperemis dengan injeksi siliar. Iritasi yang berlanjut akan menyebabkan
sel leukosit masuk ke dalam aqueous humor dari pembuluh darah dan berkumpul di bagian
terbawah bilik anterior menjadi hipopion.[7]

Sebanyak 30 – 70% pasien dengan Behcet’s disease mengalami gangguan pada retina dan
uvea. Kelainan tersebut bermanifestasi sebagai uveitis non-granulomatous bilateral yang dapat
terjadi pada segmen anterior ataupun posterior. Serangan uveitis anterior membaik dengan spontan
namun serangan berulang dapat mengakibatkan kerusakan struktur yang permanen. Satu pertiga
dari pasien-pasien tersebut mengalami pembentukkan hipopion.[9]

Uveitis anterior, atau yang disebut juga iridocyclitis, merupakan inflamasi pada iris dan
badan siliar. Eksudat yang berupa infiltrasi sel leukosit dan protein albumin pada aqueous humor
bilik anterior, dengan tampilan aqueous flare, menandakan inflamasi tersebut aktif. Kumpulan sel
leukosit pada tepi pupil disebut Koeppe’s nodule dan pada permukaan stroma iris disebut Busaca’s
nodule. Eksudat yang berlebih tersebut dapat menjadi hipopion.[8] Uveitis anterior yang terjadi
karena sarcoidosis disebut juga granulomatous uveitis. Granulomatous uveitis memberikan
gambaran akumulasi sel inflamatorik leukosit pada endotel kornea sebagai persipitat keratik
mutton fat, nodul pada iris dan jaringan trabekula, dan granuloma koroid.[10]

Gambar 5. Persipitat keratik mutton fat [10]

4.2. Pemakaian Lensa Kontak

Pemakaian lensa kontak yang terlalu lama atau semalaman merupakan salah satu risiko
dari terjadinya infeksi pada kornea. Patogen dapat masuk ke dalam mata melalui batas pinggir

6
kelopak mata, melalui jari saat melepaskan atapun memakai lensa kontak, melalui lensa kontak itu
sendiri, cairan pembersih lensa kontak, atau tempat penyimpanannya. [17]

Namun, kornea yang sehat akan kebal terhadap patogen. Maka dari itu, dibutuhkan kondisi
lain yang melemahkan resistensi permukaan lapisan mata. Pemakaian lensa kontak yang terlalu
lama dapat menyebabkan edema epitel kornea karena hipoksia dengan akumulasi laktat dan karbon
dioksida yang menumpuk. Edema epitel memiliki gejala pandangan yang buram selama beberapa
jam. Kondisi ini dapat berlanjut menjadi erosi, ulserasi, dan nekrosis. Kondisi lain yang dapat
terjadi adalah timbulnya microcytic epitheliopathy yang terlihat sebagai kita epitelial pada
pemeriksaan retroiluminasi. Kondisi ini dapat bersifat asimptomatik atau menyebabkan nyeri atau
lakrimasi berleibih. Kista tersebut akan hiang dengan sendirinya setelah 6 minggu tanpa
menggunakan lensa kontak.[18]

Cairan pembersih lensa kontak yang mengandung pengawet atau enzim proteolitik dapat
menyebabkan injeksi konjungtiva, bercak pada epitel, punctate epithelial keratopathy, erosi, dan
mikrokista. Micropannus, atau pertumbuhan neovaskular pada bagian perofer kornea, terjadi
akibat hipoksia dan trauma kronis pada limbus. Kondisi lain yang dapat menyebabkan
neovaskularisasi adalah keratokonjungtivitis akibat klamidia atau staphylococcus. Pertumbuhan
neovaskularisasi sebanyak 2 mm masih dapat ditoleransi. Pemakaian lensa kontak harus
diberhentikan apabila pertumbuhan neovaskularisasi sudah melebihi 2 mm.[18]

BAB V. DIAGNOSIS

Keluhan gejala dan hasil pemeriksaan fisik pada pasien dengan hipopion dapat berbeda-
beda sesuai dengan penyakit mata yang mendasarinya. Pasien dengan ulkus kornea akan
mengeluhkan nyeri, lakrimasi, fotofobia, dan tajam penglihatan yang menurun. Salah satu teori
terjadinya fotofobia adalah melalui jaras aferen nervus trigeminus. Cabang pertama nervus
trigeminus, nervus ophthalmikus, mentransmisi stimulus nyeri dari konjungtiva, kornea, sklera,
dan uvea. Iritasi lokal pada mata seperti iritis dan uveitis akan menghipersensitisasi nervus
trigeminus yang mendukung terjadinya fotofobia. Perjalanan sirkuit proses fotofobia dimulai dari
impuls ganglion sel pada retina yang yang terkena cahaya. Impuls tersebut kan diterukan menuju
olivary pretectal nucleus yang akan diteruskan mengaktivasi superior salivatory nucleus (SSN).

7
Dari SSN impuls akan menyebabkan vasodilatasi okular melalui ganglion pterygopalatine dan
aktivasi dari saraf aferen nervus trigeminus. Saraf aferen tersebut akan meneruskan impuls menuju
trigeminal nucleus caudalis yang akan diterukan lagi menuju thalamus dan korteks cerebri.
Intrinsically photsosensitive retinal ganglion cells (IPRGCs) juga akan mengirim impuls langsung
menuju thalamus sebagai respon dari cahaya.[7,16]

Gambar 6. Sirkuit Fotofobia[16]

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan mata merah, kornea yang tidak jernih dengan
kerusakan epitel yang dekelilingi infiltrasi kornea pada pemeriksaan fluorescein, dasar yang
nekrosis, abses kornea, dan penipisan kornea yang dapat berujung pada prolaps uvea bila ada
perforasi. Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur akan memberikan tampilan pinggir yang
halus, lesi satelit, dan deposit kompleks imun yang disebut cincin Wesseley. Pemeriksaan
mikrobiologi untuk mengetahui etiologi patogen dilakukan dengan cara mengerok dasar dan
pinggir dari ulkus untuk diperiksa dengan perwarnaan gram, giemsa, dan KOH.[7]

Uveitis umumnya terjadi unilateral kecuali pada pasien dengan Behcet’s disease dimana
uveitis terjadi bilateral. Gejala dari uveitis anterior terdiri dari nyeri tumpul yang hilang timbul,

8
pandangan buram, fotofobia, lakrimasi, floaters, dan hiperemis. Riwayat kelainan dermatologis,
respirasi, rematik, genitalia, gastrointestinal, atau neurologi juga harus diperdalam karena kondisi-
kondisi tersebut memiliki hubungan erat dengan uveitis anterior. Pupil miosis sebelum terkena
cahaya langsung terjadi karena refleks spasme dari sfingter atau distensi pembuluh darah iris.
Namun, apabila akomodasi pupil lemah maka dapat diduga iris beradesi dengan permukaan
anterior lensa atau yang disebut juga sinekia posterior. Sinekia posterior dapat menyebabkan
corectopia atau tampilan Vossius ring hasil dari adesi pigmen pada permukaan lensa. Sinekia
posterior yang berkelanjutan berakibat adesi sekeliling iris pada lensa sehingga blok pada pupil
dan penonjolan iris atau yang disebut juga iris bombé. Pemeriksaan bilik anterior harus dilakukan
dengan kaca pembesar dan cahaya yang terang untuk visualisasi Koeppe’s nodule, Busaca’s
nodule, dan persipitat keratik. Persipitat keratik halus menandakan inflamasi non-granulomatosa.
Nodul dan sel tersebut harus dibedakan dengan yang di dalam vitrous, yang merupakan gejala
uveitis intermediet atau posterior. Pemeriksaan bilik anterior dengan cahaya akan memberikan
tampilan flare akibat dari efek Tyndall pada partikel protein.[8,14]

Gambar 7. Koeppe’s nodule[14] Gambar 8. Busaca’s nodule[14]

International Criteria for Behcet’s disease tahun 2010 terdiri dari lesi pada mata, lesi pada
mulut, lesi pada kulit yang berupa eritema nodosum atau lesi papulopustular, kelainan vaskular
yang terdiri dari thrombosis atau aneurisma, ulkus genital, kelainan neurologis seperti nyeri kepala
atau kenaikan tekanan intrakranial, dan tes Pathergy positif.[9] Sedangkan kriteria untuk
mendiagnosis sarcoidosis dari International Workshop on Ocular Sarcoidosis (IWOS) berupa 7
gejala okular dan beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilihat pada Gambar 4.[15]

9
Gambar 9. International criteria for the diagnosis of ocular sarcoidosis [15]

Pasien dengan hipopion umunya akan mengeluhkan iritasi, dan gatal pada mata. Visual
acuity pasien umumnya akan menurun dan lapang pandang pasien akan berkurang. Pada
pemeriksaan slit-lamp akan ditemukan lapisan berwarna putih pada bagian inferior bilik
anterrior.[6]

Pemeriksaan fisik lainnya dilakukan dengan meminta pasien untuk duduk tegak selama
beberapa menit. Cahaya diarahkan ke bagian bawah bilik anterior bersamaan dengan pasien
diminta untuk melihat ke bawah. Beberapa hal yang harus diperiksa pada hipopion yang pertama
adalah banyaknya pus dihitung dalam milimeter dari batas bawah bilik anterior. Kemudian, tinggi
batas pus yang berubah dengan perubahan posisi dan gerakan kepala. Konsistensi dari pus yang
masih baru bersifat lebih cair dan akan berubah sesuai gerakan kepala. Semakin lama pus tersebut
akan mengendap. Pus karena infeksi jamur terlihat halus dan tidak mudah digerakkan. Pada
umumnya pus berwarna putih. Namun, pus akan berwarna merah bila ada darah, kekuningan pada
infeksi jamur, dan kehijauan pada infeksi pseudomonas.[4]

Umumnya pus pada hipopion tidak perlu untuk dibersihkan karena akan diserap dengan
sendirinya bila kondisi penyakit terkontrol. Namun, pada kasus ulser karena jamur yang sulit perlu
dilakukan paracentesis untuk mengetahui adanya invasi jamur pada bilik anterior. Bila diperlukan,
bilik anterior dapat dibersihkan dengan antifungal setelahnya.[7] Pada infeksi yang resisten juga
perlu dilakukan aspirasi untuk mengetahui jenis patogen.[6]

10
BAB VI. TERAPI

Penanganan penderita hipopion harus dilakukan dengan segara. Penangan yang dapat
dilakukan adalah drainase dan pemberian antibiotik topikal, antibiotik parenteral, atau injeksi
antibiotik intravitreal. Namun, penanganan hipopion harus disesuaikan dengan penyakit yang
mendasari dan jenis patogennya.[6]

Prinsip manajemen pada orang dengan Behcet’s disease adalah menangani gejala sistemik,
mencegah kerusakan permanen, dan peningkatan kualitas hidup. Pengobatan inisial Behcet’s
disease berupa pemberian steroid untuk menekan sistem imun ditambah azathioprine. Pada kasus
penyakit refraktorik pilihan utamanya berupa cyclosporin A, steroid, dan azathioprine.
Cyclosporin A tidak boleh digunakan apabila pasien mengalami gejala neurologis karena sifat
neurotoksisitasnya. Pilihan keduanya berupa interferon α dengan atau tanpa steroid.[11] Penderita
Sarcoidosis dengan uveitis anterior dapat ditangani dengan pemberian steroid topikal. Bila
penyakit belum membaik maka dapat ditambah dengan injeksi coticosteroid periocular dengan
triamcinolone acetonide atau implan corticosteroid dexamethasone atau fluocinolone acetonide.[10]

Pilihan lain manajemen dari uveitis non infektif adalah pemberian imunosupresan
antimetabolit seperti methotrexate, calcineurin inhibitor seperti cyclosporine, atau ankylating
agent seperti cyclophosphamide atau chlorambucil. Pilihan terakhir berupa Tumor necrosis factor
alpha seperti infliximab atau adalimumab.[14]

Prinsip manajemen dari uveitis anterior adalah pengendalian gejala dan indektifikasi jenis
patogen. Mata dengan anterior uveitis akut harus dilindungi dari cahaya terang dengan
menggunakan kacamata hitam ataupun meredupkan lampu. Pemberian cyclopegic penting untuk
relaksasi dari iris dan perbaikan sinekia posterior. Jenis cyclopegic yang sering digunakan adalah
homatropine 5%, scopolamine 0,25%, dan untuk kondisi yang lebih buruk dapat digunakan
atropin. Pemberian midratik phenylephrine 2,5% atau 10% digunakan bersamaan dengan
cyclopegic untuk memperbaiki sinekia posterior yang sudah bertahan lama. Corticosteroid topikal
diberikan untuk mengurangi nyeri, inflamasi, dan mata merah. Corticosteroid yang paling sering
digunakan adalah prednisolone 1% atau lotoprednol 0,5%. Corticosteroid umumnya digunakan
selama 1 minggu dan diturunkan dosisnya bila ada perbaikan gejala. Bila gejala kembali maka
corticostreroid diberikan sesuai dosis awalnya. Pemberian corticosteroid jangka panjang memiliki
risiko pembentukkan katarak subskapular posterior dan peningkatan tekanan intrakranial.

11
Pemberian steroid oral prednisone atau methylprednisolone dengan dosis 1 mg/kgBB hanya
dilakukan pada anterior uveitis yang memburuk atau menyebar ke posterior.[14]

Operasi pada kasus anterior uveitis hanya dilakukan bila muncul komplikasi katarak,
glukoma sekunder, atau ablasio retina. Tipe-tipe operasi termasuk phacoemulsifikasi atau ekstraksi
katarak, iridotomi atau iridectomi, dan vitrectomy.[14]

Infeksi pada ulkus kornea dikontrol dengan pemberian antimikrobial. Untuk ulkus kornea
akibat bakteri dapat diberikan antibiotik sesuai dengan Gambar 10. Ulkus kornea karena infeksi
jamur ditangani dengan pemberian obat tetes natamycin, voriconazol, atau amphoterecin B untuk
Aspergillus atau Fusarium dan Nystatin untuk Candida. Obat oral ketoconazole atau voriconazole
diberikan apabila hipopion timbul.[7]

Gambar 10. Atibiotik untuk ulkus kornea[7]

BAB VII. PROGNOSIS

Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien penderita hipopion adalah endoftalmitis
kronik dan hilangnya penglihatan secara permanen.[6] Namun, berdasarkan data tidak ada
perbedaan dalam perbaikan visus mata, insidensi peningkatan intraokular, operasi katarak,
maupun edema makula pada pasien dengan uveitis anterior yang mengalami hipopion dan yang

12
tidak. Pasien yang mengalami hipopion memiliki risiko yang lebih rendah dalam penurunan visus
mata sampai 20/200 atau kurang dibanding dengan pasien yang tidak pernah mengalami
hipopion.[2]

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Tortora G, Derrickson B. Principles of anatomy & physiology. 13th ed. Hoboken, N.J.:
John Wiley & Sons, Inc.; 2012.
2. Zaidi A, Ying G, Daniel E, Gangaputra S, Rosenbaum J, Suhler E et al. Hypopyon in
Patients with Uveitis. Ophthalmology. 2010;117(2):366-372.
3. LeBlond R, Brown D, Suneja M, Szot J. DeGowin's diagnostic examination. 10th ed.
McGraw-Hill Education; 2014.
4. Mukherjee P. Clinical examination in ophthalmology. Elsevier Health Sciences; 2016.
5. Wright W. Essentials of clinical infectious diseases. New York: Demos Medical; 2013.
6. Greenberg M, Hendrickson R, Silverberg M. Atlas emergency medicine. Philadelphia, Pa.:
Lippincott Williams & Wilkins; 2004.
7. Parsons J, Sihota R, Tandon R. Parsons' diseases of the eye. 22nd ed. Elsevier Health
Sciences; 2014.
8. Agrawal R, Murthy S, Sangwan V, Biswas J. Current approach in diagnosis and
management of anterior uveitis. Indian Journal of Ophthalmology. 2010;58(1):11.
9. Zeidan M, Saadoun D, Garrido M, Klatzmann D, Six A, Cacoub P. Behçet’s disease
physiopathology: a contemporary review. Autoimmunity Highlights. 2016;7(1).
10. Kim Y. Ocular Manifestations of Sarcoidosis: An Ophthalmologist's View. Hanyang
Medical Reviews. 2016;36(3):168.
11. Leonardo N, McNeil J. Behcet’s Disease: Is There Geographical Variation? A Review Far
from the Silk Road. International Journal of Rheumatology. 2015.
12. Morimoto T, Azuma A, Abe S, Usuki J, Kudoh S, Sugisaki K et al. Epidemiology of
sarcoidosis in Japan. European Respiratory Journal. 2008;31(2):372-379.
13. Amescua G, Miller D, Alfonso E. What is causing the corneal ulcer? Management
strategies for unresponsive corneal ulceration. Eye. 2011;26(2):228-236.
14. Hua L, Yudcovitch L. Anterior Uveitis: Teaching Case Reports. Optometric Education.
2018;36(2):92-102.
15. Baughman R, Lower E, Kaufman A. Ocular Sarcoidosis. Seminars in Respiratory and
Critical Care Medicine. 2010;31(04):452-462.

14
16. Digre K, Brennan K. Shedding Light on Photophobia. Journal of Neuro-Ophthalmology.
2012;32(1):68-81.
17. Fleiszig S, Evans D. Pathogenesis of Contact Lens-Associated Microbial Keratitis.
Optometry and Vision Science. 2010;:1.
18. The Eye M D Association. External disease and cornea. San Francisco, CA: American
Academy of Ophthalmology; 2012.

15

Anda mungkin juga menyukai