Anda di halaman 1dari 26

Nama : Desi Mawarni

NIM : 04011181621056
Kelas : Beta 2016

ANATOMI DAN FISIOLOGI GI TRACT

1.1 Anatomi Gaster

Gaster merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar terletak di bagian atas
abdomen. Gaster mempunyai dua lubang (ostium cardium dan ostium pyloricum) dan dua
curvatura (curvatura major dan curvatura minor) serta dua permukaan (facies anterior dan
facies posterior).

 Bagian-bagian gaster
 Fundus: berbentuk kubah, menonjol ke atas, dan terletak di sebelah kiri ostium
cardiacum. Biasanya fundus penuh dengan udara
 Corpus: terbentang dari ostium cardiacum sampai incisura angularis (lekukan pada
bagian bawah curvatura minor)
 Antrum pyloricum: terbentang dari incisura angularis sampai pylorus
 Pylorus: merupakan bagian lambung yang berbentuk panjang paling tubular. Dinding
ototnya yang tebal membentuk sphincter pyloricus dan rongga dinamakan canalis
pyloricus.
 Batas-batas gaster
 Ke anterior: Arcus costalis sinister, dinding anterior abdomen, diafragma, pleura
sinistra, basis pulmonis sinistra, perikardium, lobus hepatis sinister.
 Ke posterior: Omentum minus, pankreas (corpus dan cauda), arteri lienalis,
diafragma, glandula suprarenalis sinistra, bagian atas ren sinister, dan mesocolon
transversum
 Pendarahan
 Arteri
Arteri gastrica dextra dan sinistra mendarahi curvatura minor. Arteri gastroepiploica
dextra dan sinistra mendarahi curvatura major. Arteri gastricae breves berasal dari
arteri lienalis mendarahi fundus.
 Vena
Vena-vena mengalirkan darah ke dalam sirkulasi portal. Vena gastrica dextra dan
sinistra bermuara ke vena porta. Vena gastrica brevis dan vena gastroepiplocia sinistra
bermuara ke dalam vena lienalis, dan vena gastro epiploica dextra bermuara ke dalam
vena mesentrica superior.
 Aliran Limfe
Pembuluh-pembuluh limfe mengikuti perjalanan arteri menuju ke nodi gastrici sinistra
dan dextra, nodi gastroepiploici sinistra dan dekstra, serta nodi gastrica breves. Semua
cariran limfe dan gaster aihirnya berjalan ke nodi coeliaci
 Persarafan
Persarafan serabut simpatik berasal dari pleksus coeliacus dan serabut parasimpatik dari
nervi vagi.
1.2 Histologi dan Fisiologi Gaster

Gaster merupakan organ yang berfungsi sebagai reservoar, alat untuk mencerna
makanan secara mekanik, dan kimiawi. Makanan yang ditelan mengalami homogenisasi lebih
lanjut oleh kontraksi otot dinding gaster, dan secara kimiawi diolah oleh asam dan enzim
yang disekresi oleh mukosa lambung. Saat makanan sudah menjadi kental, sedikit demi
sedikit mendesak masuk ke dalam duodenum.

Gaster memiliki fungsi motorik serta fungsi pencernaan dan sekresi. Fungsi motorik
meliputi fungsi menampung dan mencampur makanan serta pengosongan lambung
sedangkan fungsi pencernaan dan sekresi meliputi pencernaan protein, sintesis dan pelepasan
gastrin, sekresi faktor intrinsic, sekresi mukus serta sekresi bikarbonat.
Mekanisme Sekresi Asam Lambung

Hormon-hormon dasar atau neurotransmitter yang secara langsung merangsang


sekresi kelenjar gaster adalah histamin, asetilkolin, dan gastrin. Sekresi asam lambung
dirangsang oleh histamin melalui reseptor H2, asetilkolin melalui reseptor muskarinik
M1dan oleh gastrin melalui reseptor gastrin di membran sel parietal. Reseptor
H2meningkatkan AMP siklik intrasel sedangkan reseptor muskarinik dan reseptor
gastrin menimbulkan efek melalui peningkatan kadar Ca2+ bebas intrasel. Proses-proses
intrasel saling berinteraksi sehingga pengaktifan salah satu jenis resesptor akan
memperkuat respon reseptor lain terhadap rangsangan.

Sel parietal menyekresi larutan asam dengan kekuatan pendrong utama sekresi HCl
oleh sel-sel parietal adalah pompa hidrogen-kalium (H+-K+ ATPase). Mekanisme kimia
pembentukan asam hidroklorida meliputi langkah-langkah berikut:

 Air di dalam sel parietal berdisosiasi menjadi H+ dan OH- di dalam sitoplasma sel. Ion-
ion hidrogen kemudian secara aktif disekresikan ke dalam kanalikulus sebagai pertukaran
terhadap ion-ion kalium; proses pertukaran aktif ini dikatalisis oleh H+-K+ ATPase, ion-
ion kalium ditraspor ke dalam sel oleh pompa H+-K+ ATPase pada sisi basolateral
(ekstraseluler) membran yang cenderung bocor ke dalam lumen tetapi akan dikembalikan
ke dalam sel oleh H+-K+ ATPase. H+-K+ ATPase basolateral akan mengakibatkan Na+
intrasel rendah, yeng berkontribusi terhadap reasorbsi Na+ dari lumen kanalikulus.
 Pemompaan H+ keluar sel oleh H+-K+ ATPase mengakibatkan OH- terakumulasi dan
membentuk HCO3- dari CO2, dan dibentuk selama metabolisme di dalam sel atau
memasuki sel dari darah. Reaksi ini dikatalis oleh karbonik anhidrase. HCO3- lalu
ditraspor melewati membran basolateral ke dalam cairan ekstraseluler sebagai pertukaran
ion-ion klorida yang memasuki sel dan disekresi melalui kanal klorida ke dalam
kanalikulus, memberikan larutan HCl kuat di dalam kanalikulus. Asam klorida kemudian
disekresi keluar melalui ujung terbuka kanalikulus ke dalam lumen kelenjar.
 Air masuk ke dalam kanalikulus secara osmosis akibat sekresi ion tambahan ke dalam
kanalikulus. Jadi sekresi akhir dari kanalikulus mengandung air, HCl, KCl, dan sejumlah
kecil NaCl.
Pertahanan Mukosa Gaster

Mukus lambung penting dalam pertahanan mukosa dan dalam mencegah ulserasi
peptik. Mukus lambung disekresi oleh sel mukosa pada epitel mukosa gaster dan kelenjar
gaster. Sekresi mukus dirangsang oleh iritasi mekanis atau kimiawi dan oleh rangsang
kolinergik. Mukus lambung terdapat dalam dua fase, yaitu cairan lambung pada fase terlarut
dan sebagai lapisan jeli mukus yang tidak larut, dengan tebal sekitar 0,2 mm yang melapisi
permukaan mukosa lambung. Normalnya gel mukus disekresi secara terus menerus oleh sel
epitel mukosa lambung dan secara kontinyu dilarutkan oleh pepsin yang disekresi ke dalam
lumen lambung. Ketebalan jeli meningkat dengan adanya prostaglandin dan berkurang
dengan adanya obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS).

Permukaan lumen dan sambungan interseluler yang ketat dari sel epitel gaster
memberikan barier mukosa lambung yang hampir secara keseluruhan impermeable terhadap
difusi baik ion-ion hidrogen dari lumen pada keadaan normalnya. Barier ini tampaknya
menjadi komponen penting dari resistensi mukosa terhadap jejas asam peptic. Barier ini dapat
terputus oleh asam empedu, salisilat, etanol, zat kimia dan asam-asam lemah organik,
sehingga memungkinkan terjadinya difusi balik ion-ion hidrogen dari lumen ke dalam
jaringan gaster. Hal ini dapat menyebabkan jejas sel, pelepasan histamin dari sel mast,
rangsangan sekresi asam yang lebih lanjut, kerusakan pembuluh darah kecil, perdarahan
mukosa, dan erosi atau ulserasi. Penurunan aliran darah mukosa lambung, yang disertai oleh
difusi balik ion hidrogen dari lumen, penting dalam menimbulkan kerusakan lambung.

Prostaglandin terdapat dalam jumlah besar di dalam mukosa lambung. Prostaglandin


dibentuk dari asam arakhidonat yang berasal dari fosfolipid membran. Bermacam-macam
prostaglandin terlihat menghambat jejas mukosa lambung yang disebabkan oleh berbagai
macam agen. Prostaglandin endogen merupakan elemen penting yang membangun
pertahanan mukosa. Prostaglandin ini merangsang sekresi mukus lambung dan bikarbonat
mukosa lambung. Prostaglandin berperan dalam mempertahankan aliran darah mukosa
lambung dan dalam integritas barier mukosa lambung serta mempermudah pembaruan sel
epitel dalam responnya terhadap jejas mukosa.
PERITONITIS

2.1 Definisi

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi aseptik pada
selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang
membungkus organ perut dan dinding perut bagian dalam. Peritonitis merupakan salah satu
penyebab tersering dari akut abdomen. Akut abdomen adalah suatu kegawatan abdomen yang
dapat terjadi karena masalah bedah dan non bedah.

2.2 Epidemiologi

Menurut survei World Health Organization (WHO), kasus peritonitis di dunia adalah
5,9 juta kasus. Di Republik Demokrasi Kongo, antara 1 Oktober dan 10 Desember 2004,
telah terjadi 615 kasus peritonitis berat (dengan atau tanpa perforasi), termasuk 134 kematian
(tingkat fatalitas kasus, 21,8%), yang merupakan komplikasi dari demam tifoid. Penelitian
yang dilakukan di Rumah Sakit Hamburg-Altona Jerman, ditemukan 73% penyebab tersering
peritonitis adalah perforasi dan 27% terjadi pasca operasi. Terdapat 897 pasien peritonitis
dari 11.000 pasien yang ada. Angka kejadian peritonitis di Inggris selama tahun 2002-2003
sebesar 0,0036% (4562 orang).

Hasil survei pada tahun 2008, angka kejadian peritonitis di sebagian wilayah
Indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia, jmlah pasien yang menderita peritonitis
berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang. (Depkes
RI, 2008).

2.3 Etiologi

 Peritonitis primer
Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) merupakan infeksi bakterial akut pada ascitic
fluid. Kontaminasi kavitas peritoneal merupakan hasil translokasi bakteri dari dinding
usus atau saluran limfatik mesentrika. SBP juga merupakan komplikasi dari penyakit
yang menghasilkan gejala klinis asites seperti pada gagal jantung, sirosis hepatik, dan
sindrom Budd-Chiari. Lebih dari 90% kasus SBP disebabkan oleh infeksi monomikrobial
seperti E. coli, K. Pneumoniae, Pseudomonas sp, Streptococcus sp, dan Staphylococcus
sp.
 Peritonitis sekunder
Penyebab paling umum adalah apendisitis, perforasi gaster atau ulserasi duodenum,
perforasi colon sigmoid karena diverticulitis, volvulus, atau kanker, strangulasi usus,
pankreatitis yang mengalami nekrosis, trauma, iatrogenik. Flora mikrobial pada
peritonitis sekunder adalah bakteri gram negatif (E. coli, Enterobacter/Klebsiella), bakteri
gram positif (Streptococcus sp, Enterococcus, Staphylococcus), bakteri anaerob
(Bacteriodes, Eubacteria, Clostridia), dan fungi (Candida).
 Peritonitis tersier
Peritonitis tersier banyak berkembang pada pasien immunocompromised seperti HIV dan
pasien yang memiliki komorbid tertentu. Peritonitis ini juga ada pada pasien yang
mendapat terapi inadekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan operasi.

2.4 Faktor Risiko

Faktor risiko peritonitis adalah penyakit hati dengan ascites, kerusakan ginjal,
compromised immune system, pelvic inflammatory disease, appendisitis, ulkus gaster, infeksi
kandung empedu, colitis ulseratif/chron’s disease, trauma, CAPD (Continous Ambulatory
Peritoneal Dyalisis), pankreatitis. Faktor risiko yang mempengaruhi kerusakan mukosa gaster
adalah infeksi helicobacter pylori, konsumsi obat dalam jangka panjang (NSAID, aspirin,
digitalis, iodium), makanan pedas dan asam, usia tua, merokok, dan konsumsi alkohol.

2.5 Patofisiologi

Patofisiologi utama kerusakan gaster akibat OAINS adalah disrupsi fisiokimia


pertahanan mukosa gaster dan inhibisi sistemik terhadap pelindung mukosa gaster melalui
inhibisi aktivitas Cyclooxygenase (COX) mukosa gaster (Wallace & Vong, 2007).

Gangguan pencernaan yang dapat timbul dimulai dari dispepsia ringan dan nyeri ulu
hati sampai ulser lambung dan duodenum (Price& Wilson, 2006). Efek samping tersebut
mucul pada minggu-minggu pertama pemakaian dengan dosis besar yaitu 4 sampai 5 gram
sehari (Brunton et al., 2006) yang sering digunakan pada terapi raumatoid arthritis.
Mekanisme NSAID dalam merusak mukosa lambung terdiri dari dua cara yaitu topikal dan
sistemik (Katzung, 2011).

Efek topikal terjadi karena aspirin yang bersifat asam dan lipofilik, sehingga
memudahkan obat masuk bersama H+ dan terperangkap di dalam sel. Selanjutnya
terjadi pembengkakan disertai proses inflamasi dan akan terjadi kerusakan sel epitel
tersebut (Philipson et al., 2008). Peran faktor agresif seperti asam lambung dan
pepsin akan memperberat lesi mukosa karena bertambahnya proses radang yang terjadi.
Efek topikal ini akan diikuti oleh efek sistemik dalam bentuk hambatan produksi
prostaglandin melalui jalur COX-1 dan COX-2 (Lichtenbergeret al., 2007).

Prostaglandin dalam lambung merupakan sitoprotektor, akibat sintesisnya yang


berkurang karena hambatan aspirin maka ketahanan mukosa (faktor defensif) lambung
terganggu oleh faktor agresif (HCL, pepsin, OAINS dll) (Sibuea dkk.,2005). Hambatan
sintesis prostaglandin dari COX-1 oleh aspirin dapat mempengaruhi faktor defensif
mukosa lambung (Robbins et al., 2007). Penurunan kadar prostaglandin dari jalur COX-1
akan menurunkan produksi mukus yang menjaga mukosa dari faktor iritan. Saat produksi
mukus melemah, difusi asam lambung serta terperangkapnya obat aspirin ke dalam
mukosa mudah terjadi. Sehingga terjadilah efek topikal aspirin yang berakibat reaksi
inflamasi (Price & Wilson, 2006).

Produksi prostaglandin dari jalur COX-1 juga menghambat aliran darah sehingga
proses penyembuhan terganggu (Wallace & Vong, 2008). Hambatan sintesis prostaglandin
dari jalur COX-2 juga dapat merusak mukosa lambung. Pemakaian aspirin dapat
menginduksi adhesi neutrofil di sel endotel pembuluh darah. Proses ini terjadi karena
naiknya kadar tumor necrosis factor alpha (TNF-α) akibat sintesis PGE2 yang menurun
dari jalur COX-2. Kenaikan kadar TNF-α akan menginduksi pengeluaran molekul
adhesi endotel yaitu intercellular adhesion molecule 1(ICAM-1) yang akan menambah
melekat kuatnya neutrofil pada sel endotel sebelum masuk ke ruang ekstravaskuler
(Wallace & Vong, 2008).

Apabila terjadi ekstravasasi neutrofil maka akan mengaktifasi neutrofiluntuk


melakukan fagositosis dan menimbulkan kerusakan mukosa melalui pembentukan
oksigen radikal, nitrogen reaktif dan protease. Radikal bebas ini akan menginduksi
lipid peroksidase yang akan mempengaruhi lemak tak jenuh pada dinding sel epitel
melalui proses stres oksidatifdan akan berakibat gangguan permeabilitas dinding sel
sehingga timbul kerusakan sel (Kaneko etal.,2007). Ulkus pada gaster lama kelamaan akan
menyebabkan perforasi gaster.

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-
pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami


kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat
memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi
cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami


oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut
meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta
oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan
lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis
umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit
hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai
usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus
yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan
berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena
penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi
lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul
mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam
lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang
fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan
peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi
keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala peritonitis pada 80% pasien adalah demam dan menggigil, nyeri abdomen
(70% pasien), diare, asites yang tidak membaik dengan medikasi diuretik, ileus. Nyeri
abdomen merupakan keluhan utama pada pasien peritonitis. Awalnya nyeri difus dan sulit
dilokalisir (peritoneum visceral) kemudian progresifitas nyeri menjadi lebih berat dan
terlokalisir (peritoneum parietal). Nyeri abdominal dapat dipengaruhi gerakan (seperti batuk,
fleksi panggul) dan tekanan lokal. Pada penyakit tertentu (seperti perforasi gaster, pakreatitis
berat akut, iskemia intestinal, nyeri abdomen mungkin tergeneralisasi dari awal. Distensi
abdomen dapat terjadi. Anoreksia dan mual merupakan gejala lanjutan dari nyeri abdomen.
Muntah mungkin dikarenakan patologi dari organ atau iritasi peritoneal sekunder.

2.7 Diagnosis

1. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi,
pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen.
Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan.

Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak baik. Demam
dengan temperatur >38OC biasanya terjadi. Pasien dengan sepsishebat akan muncul gejala
hipotermia. Takikardia disebabkan karena dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia
intravaskuler yang disebabkan karena mual dan muntah, demam, kehilangan cairan yang
banyak dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara progresif,
pasien bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang,
dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis.
 Inspeksi: Pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi menununjukkan
kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus
yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut
yang membuncit dan tegang atau distended.
 Palpasi: Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang sangat
sensitif. Bagian anterior dari peritoneum parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi
harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini
berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri.
Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang
mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses refleks
otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap
rangsangan tekanan. Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan
setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk
melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat.
 Perkusi: Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara bebas
atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati
dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan
perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas tadi.
 Auskultasi: Dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus. Pasien
dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini
disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut
lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus
dapat terdengar normal.

Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok
dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan diagnosis. Nyeri yang difus pada
lipatan peritoneum di kavum doglasi kurang memberikan informasi pada peritonitis murni;
nyeri pada satu sisi menunjukkan adanya kelainan di daeah panggul, seperti apendisitis,
abses, atau adneksitis. Nyeri pada semua arah menunjukkan general peritonitis. Colok dubur
dapat pula membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus, karena pada paralisis
dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampula biasanya kolaps.
Pemeriksaan vagina menambah informasi untuk kemungkinan kelainan pada alat kelamin
dalam perempuan.
2. Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan


dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos
abdomen 3 posisi, yaitu :

 Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior (AP).
 Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal
proyeksi AP.
 Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi
AP.

Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu: terlihat kekaburan pada cavum abdomen,
preperitonial fat dan psoas line menghilang. Terlihat udara bebas pada sebagian besar kasus
perforasi gaster anterior dan duodenal. Upright film berguna untuk mengidentifikasi udara
bebas di bawah diafragma sebagai indikasi perforasi viscus.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan darah lengkap, biasanya ditemukan leukositosis (>11.000 sel/ul)


dengan shift ke bentuk imatur pada diff count. Pada pemeriksaan kimia darah mungkin
menunjukkan dehidrasi dan asidosis. PT, PTT, INR, dan tes fungsi hati merupakan indikasi.
Kadar amilase dan lipase harus dilakukan pada pasien suspek pankreatitis.

4. Ultrasonografi

Ultrasonografi dapat mendeteksi peningkatan jumlah cairan peritoneal (asites), tetapi


kemampuannya untuk mendeteksi cairan yang <100 mL terbatas. Kavitas peritoneal sentral
(perimesentrika) tidak tervisualisasi dengan baik dengan USG transbdominal. USG
membantu aspirasi dan melihat posisi drainase yang berguna untuk diagnosis dan tatalaksana
pengumpulan cairan abdominal. Keuntungan USG adalah harganya yang murah, portability,
dan availability.

5. Analisis Cairan Peritoneal

Evaluasi glukosa, protein, laktat dehidrogenase (LDH), diff count, pewarnaan gram,
dan kultur bakteri aerob & anaerob. Bilirubin dan kreatinin harus dianalisis jika kemungkinan
etiologinya berasal dari perforasi biliaris atau traktus urinarius.
6. Urinalisis

Pemeriksaan urinalisis dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit traktus


urinarius (seperti pyelonefritis, penyakit batu ginjal). Pasien dengan infeksi abdomen bawah
dan pelvis sering menunjukkan adanya peningkatan WBC pada urin dan mikrohematuria.

7. CT scan

Jika diagnosis peritonitis dapat ditegakkan secara klinis, pemeriksaan dengan CT scan
tidak diperlukan. Walaupun CT scan diindikasikan untuk semua kasus yang diagnosisnya
tidak dapat ditegakkan jika hanya dengan klinis dan foto polos abdomen. Ct scan dapat
mendeteksi sejumlah kecil cairan, area inflamasi, dan petologi GI lainnya. CT scan biasanya
digunakan untuk mengevaluasi iskemia untuk medeteksi obstruksi usus.

8. MRI

MRI merupakan modalitas diagnosis pada pasien suspek abses intraabdomen.


Pemeriksaan MRI terbatas dikarenakan ketersediaan dan harganya yang mahal.

9. Endoskopi

Endoskopi diperlukan untuk mengetahui adanya ulkus peptikum dan perforasi gaster.
Endoskopi memungkinkan visualisasi dan dokumentasi fotografik sifat ulkus, ukuran, bentuk,
dan lokasinya dan dapat memberikan suatu dasar referensi untuk penilaian penyembuhan.

2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis,


gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu.

2.10 Tatalaksana

Konservatif

1. Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan
cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial. Pengembalian
volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk
menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan
terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red
Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk
mengganti cairan yang hilang. Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi
kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid
lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena
kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal. Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan
hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diproduksi
2. Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup
diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat
adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika
terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar
yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2)
hipoksemia yang ditandai dengan PaO kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang
cepat dan dangkal.
3. Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah
muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus.
Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin.
Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak
tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa
darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis.
4. Analgetik
Digunakan analgetik opiat intravena dan mungkin dibutuhkan antiemetik.
5. Antibiotik
Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan anaerob, diberikan intravena.
Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah strategi primer. Bagi pasien yang
mendapatkan peritonitis di RS (misalnya oleh karena kebocoran anastomose) atau yang
sedang mendapatkan perawatan intensif, dianjurkan terapi lini kedua diberikan
meropenem atau kombinasi dari piperacillin dan tazobactam. Terapi antifungal juga harus
dipikirkan untuk melindungi dari kemungkinan terpapar spesies Candida.

Definitif

1. Laparotomi
Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi yang dikira.
Tujuannya untuk :
 menghilangkan kausa peritonitis
 mengkontrol origin sepsis dengan membuang organ yang mengalami inflamasi atau
ischemic (atau penutupan viscus yang mengalami perforasi).
 Peritoneal lavage
Mengkontrol sumber primer dari sepsis adalah sangat penting. Re-laparotomi mempunyai
peran yang penting pada penanganan pasien dengan peritonitis sekunder, dimana setelah
laparotomi primer berefek memburuk atau timbul sepsis. Re-operasi dapat dilakukan
sesuai kebutuhan. Re-laparotomi yang terencana biasanya dibuat dengan membuka
dinding abdomen dengan pisau bedah sintetik untuk mencegah eviserasi. Bagaimanapun
juga, penelitian menunjukkan bahwa five year survival rate di RS dan jangka panjang,
lebih tinggi pada relaparotomi sewaktu daripada relaparotomi yang direncanakan.
Pemeriksaan ditunjang dengan CT scan. Perlu diingat bahwa tidak semua pasien sepsis
dilakukan laparotomi, tetapi juga memerlukan ventilasi mekanikal, antimikrobial, dan
support organ. Mengatasi masalah dan kontrol pada sepsis saat operasi adalah sangat
penting karena sebagian besar operasi berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
2. Laparoskopi
Teori bahwa resiko keganasan pada hiperkapnea dan syok septik dalam absorbsi
karbondioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang mengalami inflamasi, belum
dapat dibuktikan. Tetapi, laparoskopi efektif pada penanganan appendicitis akut dan
perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi dapat digunakan pada kasus perforasi kolon,
tetapi angka konversi ke laparotomi lebih besar. Syok dan ileus adalah kontraindikasi
pada laparoskopi.
3. Drain
Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat melekat pada dinding
sehingga seringkali gagal untuk menjangkau rongga peritoneum. Ada banyak kejadian
yang memungkinkan penggunaan drain sebagai profilaksis setelah laparotomi.

2.11 Prognosis

Pada peritonitis sekunder dan simple abses memiliki angka mortalitas <5%, tetapi
mortalitas dapat meningkat >30-50% pada infeksi berat. Faktor yang secara independen
memiliki prgnosis buruk adalah usia tua, malnutrisi, adanya kanker, skor APACHE II yang
tinggi, disfungsi organ preoperasi, adanya abses kompleks. Pada infeksi intraabdomen dan
peritonitis berat, mortalitas dapat meningkat >30-50%. Adanya perkembangan menjadi
sepsis, SIRS, dan MOF dapat meingkatkan moertalitas menjadi >70%, dan pada kondisi ini
>80% kematian terjadi dengan adanya infeksi aktif.

2.12 Komplikasi

 Syok Sepsis. Pasien memerlukan penanganan intensif di ICU


 Abses intraabdominal atau sepsis abdominal persisten. Pada tanda-tanda sepsis (pireksia,
leukositosis), pemeriksaan harus disertakan CT dengan kontras luminal (khususnya
apabila terdapat anastomosis in-situ). Re-laparotomi diperlukan apabila terdapat
peritonitis generalisata. Drainase perkutaneus dengan antobiotik pilihan terbaik
merupakan terapi pada tempat yang terlokalisir. Terapi antibiotik disesuaikan dengan
kultur yang diambil dari hasil drainase. Sepsis abdominal mengakibatkan mortalitas
sekitar 30-60%.
 Adhesi. Dapat menyebabkan obstruksi intestinal atau volvulus

2.13 SKDI

Peritonitis: 3B Gawat Darurat

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau
kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah
kembali dari rujukan
ANALISIS MASALAH

1D) Bagaimana derajat nyeri yang dialami oleh Tn. Zulfa?

Jawab:

1. Skala Wong-Baker (berdasarkan eksperesi wajah) dapat dilihat dibawah :

 ekspresi wajah 1 : tidak merasa nyeri sama sekali


 ekspresi wajah 2 : nyeri hanya sedikit
 ekspresi wajah 3 : sedikit lebih nyeri
 ekspresi wajah 4 : jauh lebih nyeri
 ekspresi wajah 5 : jauh lebih nyeri sangat
 ekspersi wajah 6 : sangat nyeri luar biasa hingga penderita menangis

2. Skala Angka nyeri 0-10 (Comparative Pain Scale)

 0: tidak ada rasa nyeri / normal


 1: nyeri hampir tidak terasa (sangat ringan) seperti gigitan nyamuk,
 2: tidak menyenangkan (nyeri ringan) seperti dicubit
 3: bisa ditoleransi (nyeri sangat terasa) seperti ditonjok bagian wajah atau disuntik
 4: menyedihkan (kuat, myeri yang dalam) seperti sakit gigi dan nyeri disengat tawon
 5: sangat menyedihkan (kuat, dalam, nyeri yang menusuk) seperti terkilir, keseleo
 6: intens (kuat, dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat sehingga tampaknya
mempengaruhi salah satu dari panca indra)menyebabkan tidak fokus dan komunikasi
terganggu.
 7: sangat intens (kuat, dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat) dan merasakan rasa
nyeri yang sangat mendominasi indra sipenderita yang menyebabkan tidak bisa
berkomunikasi dengan baik dan tidak mampu melakukan perawatan sendiri.
 8: benar-benar mengerikan (nyeri yang begitu kuat) sehingga menyebabkan
sipenderita tidak dapat berfikir jernih, dan sering mengalami perubahan kepribadian
yang parah jika nyeri datang dan berlansung lama.
 9: menyiksa tak tertahankan (nyeri yang begitu kuat) sehingga sipenderita tidak bisa
mentoleransinya dan ingin segera menghilangkan nyerinya bagaimanapun caranya
tanpa peduli dengan efek samping atau resiko nya.
 10: sakit yang tidak terbayangkan tidak dapat diungkapkan (nyeri begitu kuat tidak
sadarkan diri) biasanya pada skala ini sipenderita tidak lagi merasakan nyeri karena
sudah tidak sadarkan diri akibat rasa nyeri yang sangat luar biasa seperi pada kasus
kecelakaan parah, multi fraktur.

Dari sepuluh skala diatas dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu:

 skala nyeri 1 - 3 (nyeri ringan) nyeri masih dapat ditahan dan tidak mengganggu pola
aktivitas sipenderita.
 skala nyeri 4 - 6 (nyeri sedang) nyeri sedikit kuat sehingga dapat mengganggu pola
aktivitas penderita
 skala nyeri 7 - 10 (nyeri berat) nyeri yang sangat kuat sehingga memerlukan therapy
medis dan tidak dapat melakukan pola aktivitas mandiri.

2B) Apa kemungkinan tipe nyeri yang dialami oleh Tn Zulfa?

Jawab:

Nyeri yang dirasakan oleh Tn. Zulfa pada awalnya merupakan nyeri visceral di mana
nyeri memiliki karakteristik seperti nyeri tumpul difus pada daerah epigastrium. Hal ini
dikarenakan nyeri berasal dari ulkus pada gaster yang mengenai ujung saraf bebas. Kemudian
nyeri bertambah berat pada saat gaster mengalami perforasi. Hal ini menyebabkan terjadinya
respon inflamasi di peritonium visceral. Seiring dengan progresifitasnya, tipe nyeri menjadi
nyeri parietal dikarenakan respon inflamasi akhirnya juga terjadi pada peritoneum parietal
yang ditandai dengan hasil pemeriksaan fisik defans muskuler (+).

4A) Apa hubungan riwayat sering minum obat anti rematik dengan riwayat sering
nyeri ulu hati dan BAB hitam?

Jawab:
Kerusakan mukosa gaster oleh obat anti rematik seperti NSAID melalui 2 mekanisme
yaitu efek topikal dan efek sistemik. Efek topikal terjadi karena NSAID yang bersifat asam
dan lipofilik, sehingga memudahkan obat masuk bersama H+ dan terperangkap di dalam
sel. Selanjutnya terjadi pembengkakan disertai proses inflamasi dan akan terjadi
kerusakan sel epitel tersebut . Peran faktor agresif seperti asam lambung dan
pepsin akan memperberat lesi mukosa karena bertambahnya proses radang yang terjadi.
Efek topikal ini akan diikuti oleh efek sistemik dalam bentuk hambatan produksi
prostaglandin melalui jalur COX-1 dan COX-2.

NSAID memiliki kemampuan menghambat kerja kedua isoform enzim


siklooksigenase, baik enzim siklooksigenase-1 dan siklooksigenase-2. Enzim siklooksigenase
diketahui bekerja pada jalur konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin dan
tromboksan, sehingga ketika enzim ini dihambat maka asam arakidonat tidak dapat
dikonversi menjadi prostaglandin dan tromboksan. Prostaglandin endogen merupakan elemen
penting yang membangun pertahanan mukosa. Prostaglandin ini merangsang sekresi mukus
lambung dan bikarbonat mukosa lambung. Prostaglandin berperan dalam mempertahankan
aliran darah mukosa lambung dan dalam integritas barier mukosa lambung serta
mempermudah pembaruan sel epitel dalam responnya terhadap jejas mukosa. Oleh karena
penggunaan NSAID, sekresi mukus dan bikarbonat mnjadi terhambat, aliran darah mukosa
lambung terganggu dan respon terhadap jejas mukosa lambat. Sehingga ketidakseimbangan
faktor agresif dan faktor defensif inilah yang menyebabkan erosi dan ulkus peptikum. Ulkus
dapat menyebabkan pecahnya pembuluh kapiler pada gaster sehingga terjadi pendarahan
pada mukosa gaster. Hemoglobin akan bereaksi dengan asam lambung sehingga pada saat
bercampur dengan feses maka akan terlihat berwarna hitam.

5A) Apa interpretasi pemeriksaan fisik di atas?

Jawab:

No. Pemeriksaan Hasil Nilai normal Keterangan


pemeriksaan
1 Kesadaran Compos mentis Compos mentis Sadar sepenuhnya
2 Indeks Massa TB 169 cm IMT 18,5-22,9 Normal
Tubuh BB 60 kg
IMT =
60/(1,69)2 = 21
3 Tekanan 110/80 mmHg 100-120/60-80 Normal
Darah mmHg
4 Nadi 110x/menit 60-100x/menit Takikardi.
Mengindikasikan adanya
infeksi/inflamasi
5 RR 22x/menit 16-24x/menit Normal
6 Suhu 37,9oC 36,5-37,2oC Subfebris.
Mengindikasikan adanya
infeksi/inflamasi

8A) Apa Interpretasi pemeriksaan penunjang di atas?

Jawab:

No. Pemeriksaan Hasil Nilai normal Keterangan


pemeriksaan
1 USG Cairan bebas (+) Cairan bebas (-) di Abnormal.
Abdomen di hepatorenal hepatorenal space Mengindikasikan
space peningkatan cairan
peritoneum akibat
perforasi gaster
2 Foto Polos Distensi usus Distensi usus Normal.
Abdomen halus (-) halus (-) Mengindikasikan tidak
ada obstruksi usus halus.
3 Herring bone (-) Herring bone (-) Normal.
Mengindikasikan tidak
ada obstruksi usus.
4 Free air (+) Free air (-) Abnormal.
Mengindikasikan adanya
perforasi organ berongga
5 Air Fluid Level (-) Air Fluid Level (-) Normal.
Mengindikasikan tidak
ada obstruksi usus.

8D) Apa saja pemeriksaan penunjang lainnya yang dibutuhkan?

Jawab:

1. Endoskopi

Endoskopi diperlukan untuk mengetahui adanya ulkus peptikum dan perforasi gaster.
Endoskopi memungkinkan visualisasi dan dokumentasi fotografik sifat ulkus, ukuran, bentuk,
dan lokasinya dan dapat memberikan suatu dasar referensi untuk penilaian penyembuhan.

2. Analisis Cairan Peritoneal

Evaluasi glukosa, protein, laktat dehidrogenase (LDH), diff count, pewarnaan gram,
dan kultur bakteri aerob & anaerob. Bilirubin dan kreatinin harus dianalisis jika kemungkinan
etiologinya berasal dari perforasi biliaris atau traktus urinarius.

7. Urinalisis

Pemeriksaan urinalisis dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit traktus


urinarius (seperti pyelonefritis, penyakit batu ginjal). Pasien dengan infeksi abdomen bawah
dan pelvis sering menunjukkan adanya peningkatan WBC pada urin dan mikrohematuria.

8. CT scan

Jika diagnosis peritonitis dapat ditegakkan secara klinis, pemeriksaan dengan CT scan
tidak diperlukan. Walaupun CT scan diindikasikan untuk semua kasus yang diagnosisnya
tidak dapat ditegakkan jika hanya dengan klinis dan foto polos abdomen. Ct scan dapat
mendeteksi sejumlah kecil cairan, area inflamasi, dan petologi GI lainnya. CT scan biasanya
digunakan untuk mengevaluasi iskemia untuk medeteksi obstruksi usus.

9G) Apa faktor risiko dari kasus ini?

Jawab:

Faktor risiko peritonitis adalah penyakit hati dengan ascites, kerusakan ginjal,
compromised immune system, pelvic inflammatory disease, appendisitis, ulkus gaster, infeksi
kandung empedu, colitis ulseratif/chron’s disease, trauma, CAPD (Continous Ambulatory
Peritoneal Dyalisis), pankreatitis. Faktor risiko yang mempengaruhi kerusakan mukosa gaster
adalah infeksi helicobacter pylori, konsumsi obat dalam jangka panjang (NSAID, aspirin,
digitalis, iodium), makanan pedas dan asam, usia tua, merokok, dan konsumsi alkohol.
KERANGKA KONSEP
DAFTAR PUSTAKA

Daley, J Brian., Anand BS., Roy, Praveen K. 2017. Peritonitis and Abdominal Sepsis.
Saunders Elsevier.

DU, Almi. 2013. Hematemesis Melena Et Causa Gastritis Erosif dengan Riwayat
Penggunaan Obat Nsaid pada Pasien Laki-Laki Lanjut Usia. Medula. Vol 1(1): 72-78.

Eroschenko, Victor P. 2015. Atlas Histologi deFiore dengan Korelasi Fungsional Edisi 12.
Jakarta: EGC.
Hall, John E., Guyton, C Arthtur. 2014. Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
Edisi Keduabelas. Singapura: Saunders Elsevier

Isselbacher, Kurt J., Braunwald, Eugene,. Wilson, Jean D. 1999. Harrison prinsip-prinsip
ilmu penyakit dalam. Jakarta: EGC

Japanesa, Aiwi., Zahari, Asril., Rusjdi, Selfi Renita., 2016. Pola Kasus dan Penatalaksanaan
Peritonitis Akut di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas. Vol 5 (1): 209-2014.

Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil
Kedokteran Indonesia

Nurdjanah, Siti. 1997. Patofisiologi Ulkus Peptikum. FK UGM.

Prince, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta: EGC

Snell, Richard S. 2011. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC.

Triyadi. 2014. Post Operasi Laparatomy Et Cause Peritonitis Hari Ke 6 – 7 di Ruang Dahlia
Rumah Sakit dr. R Goeteng Taorenadibrata Purbalingga. Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.

Wallace, Jhon L. 2001. Pathogenesis of NSAID-induced gastroduodenal mucosal injury. Best


Practice & Research Clinical Gastroenterology. Vol 15(5): 691-703.

Anda mungkin juga menyukai