Anda di halaman 1dari 19

Manajemen Penyakit Tuberkulosis

Disusun oleh :

Nurul Anisa

Rifqi Zakiyah Rahmani

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN SYARIF


HIDAYATULLAH

JAKARTA OKTOBER/ 2016


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu sistem yang bekerja di dalam tubuh manusia adalah sistem pernapasan.
Sistem ini yang akan membantu manusia untuk dapat bernafas, melalui pertukaran dari
udara ke paru-paru. Dengan adanya sistem ini manusia dapat melakukan metabolisme,
respirasi, dan pengaturan suhu tubuh. Akan tetapi sering terjadi gangguan yang
menyerang paru-paru dan mengakibatkan kelainan pada paru-paru baik secara
fisiologis maupun anatomis. Salah satu penyakit yang dapat mengganggu system
pernafasan adalah penyakit Tuberkulosis (TB).

Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis dan paling sering bermanifestasi di paru. Penyakit
tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan global dan merupakan penyebab
kematian ke dua setelah HIV. Tuberkulosis paru menyerang sepertiga dari 1,9 miliar
penduduk dunia dewasa ini. Setiap tahun terdapat 8 juta kasus baru penderita
tuberkulosis paru dan angka kematian tuberkulosis paru mencapai 3 juta orang setiap
tahunnya. 1% dari penduduk dunia akan terinfeksi tuberkulosis paru setiap tahun.
WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2011 ada 8,7 juta kasus baru tuberkulosis
(13% merupakan koinfeksi dengan HIV) dan 1,4 juta orang meninggal karena
tuberkulosis (WHO, 2012). Satu orang memiliki potensi menularkan 10 hingga 15
orang dalam 1 tahun. Menurut WHO (2006) dilaporkan angka prevalensi kasus
penyakit tuberkulosis paru di Indonesia 130/100.000, setiap tahun ada 539.000 kasus
baru dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun, angka insidensi kasus
Tuberkulosis paru BTA (+) sekitar 110/100.000 penduduk. Penyakit ini merupakan
penyebab kematian urutan ketiga, setelah penyakit jantung dan penyakit saluran
pernapasan.
Sekitar 75% penderita tuberkulosis paru adalah kelompok usia produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang penderita tuberkulosis paru dewasa
akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan, hal tersebut berakibat pada
kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika meninggal
akibat penyakit tuberkulosis paru, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15
tahun, selain merugikan secara ekonomis, Tuberkulosis paru juga memberikan dampak
buruk lainnya secara sosial bahkan kadang dikucilkan oleh masyarakat.

1.2 Rumusan masalah

1.2.1 Apa definisi penyakit TB


1.2.2 Bagaimana Gejala Penyakit TB
1.2.3 Bagaimana Sejarah Penyakit TB
1.2.4 Apa Saja Klasifikasi TB
1.2.5 Bagaimana Penyebaran penyakit TB
1.2.6 Bagaimana Cara penularan Tuberculosis
1.2.7 Bagaimana cara Diagnosis penyakit TB
1.2.8 Bagaimana Pengobatanpenyakit TB
1.2.9 Bagaimana Manajemen Pencegahan penyakit TB
1.2.10 Bagaimana Manajemen Resisten Obat TB

1.2 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi penyakitTB
1.3.2 Untuk mengetahui gejala penyakit TB
1.3.3 Untuk mengetahui sejarah penyakit TB
1.3.4 Untuk mengetahui karakteristik Mycobacterium tuberculosis
1.3.5 Untuk mengetahui klasifikasi penyakit TB
1.3.6 Untuk mengetahui Penyebaran penyakit TB
1.3.7 Untuk mengetahui cara penularan penyakit TB
1.3.8 Untuk mengetahui cara diagnosis penyakit TB
1.3.9 Untuk mengetahui pengobatan penyakit TB
1.3.10 untuk mengatahui cara Manajemen pencegahan penyakit TB
1.3.11 untuk mengetahui manajemen resisten obat TB
1.3.12 Manajemen TB Resistan Obat
1.3.13 Kasus

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-paru
dan menyerang organ-organ sekitarnya. Penyakit tuberculosis apabila tidak diobati atau
pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya dan
menimbulkan kematian.
2.2 Gejala penyakit tuberculosis
Penyakit tuberculosis memiliki gejala yang khas yaitu berat badan mengalami
penurunan drastis, hilangnya nafsu makan, berkeringat di malam hari,demam, dan
kelelahan. Namun, berdasarkan klasifikasi penyakit tuberkulosis terbagi menjadi
tuberkulosis paru dan di luar paru-paru. Gejala tuberkulosis paru yaitu batuk selama
lebih dari 3 minggu Hemoptysis (batuk sampai darah) nyeri dada(CDC,2015, n.d.).
Sedangkan tuberkulosis di luar paru-paru akan menunjukkan gejala tergantung pada
daerah yang terkena, misalnya tuberculosis pada ginjal dan saluran kemih memiliki
gejala sering buang air kecil dan nyeri pinggang (Crofton et al., 1994).
2.3 Sejarah TB
Penyakit TBC sudah ada dalam kehidupan manusia sejak zaman kuno. Deteksi
paling awal “M. tuberculosis” terdapat pada bukti adanya penyakit tersebut di dalam
bangkai bison yang berasal dari sekitar 17.000 tahun lalu. Tetapi, belum ada kepastian
apakah itu tuberkulosis berasal dari sapi (bovin), yang kemudian ditularkan ke manusia,
atau apakah tuberkulosis tersebut bercabang dari nenek moyang yang sama. Para
ilmuan yakin bahwa manusia terkena MTBC dari binatang selama proses penjinakan.
Tetapi, gen “Micobacterium tuberculosis” complex (MTbC) pada manusia telah
dibandingkan dengan MTbC pada binatang, dan teori tersebut telah terbukti salah.
Di Eropa, angka tuberkulosis mulai meningkat pada awal 1600-an. Angka kasus TB
mencapai puncak tertingginya di Eropa pada 1800-an ketika penyakit ini menyebabkan
hampir 25% dari keseluruhan kasus kematian. Angka kematian kemudian menurun
hingga hampir mencapai 90% pada 1950-an. Peningkatan kesehatan masyarakat secara
signifikan mengurangi angka tuberkulosis bahkan sebelum streptomisin dan antibiotik
lainnya digunakan. Namun, penyakit tersebut masih merupakan ancaman yang serius
bagi kesehatan masyarakat. Ketika Konsil Penelitian Medis dibentuk di Inggris pada
1913, fokus awalnya adalah penelitian tuberkulosis.
Tuberkulosis menimbulkan kekhawatiran masyarakat pada abad ke-19 dan pada
awal abad ke-20 sebagai penyakit endemik masyarakat miskin di perkotaan. Pada 1815,
satu di antara empat kematian di Inggris disebabkan oleh “konsumsi.” Pada 1918, satu
di antara enam kematian di Perancis disebabkan oleh TB. Setelah para ilmuwan
menetapkan bahwa penyakit tersebut menular pada 1880-an, TB dimasukkan ke
penyakit wajib lapor di Inggris. Kampanye dimulai agar orang-orang berhenti meludah
di tempat umum dan orang miskin yang terinfeksi penyakit tersebut ‘didorong’ untuk
masuk sanatorium yang menyerupai rumah tahanan. (Sanatorium untuk kelas
menengah ke atas menawarkan perawatan yang luar biasa dan pemeriksaan medis
terus-menerus.) Sanatorium tersebut seharusnya memberi manfaat “udara bersih” dan
pekerjaan. Namun bahkan dalam kondisi terbaik, 50% pasien di dalamnya meninggal
setelah lima tahun (“ca.” 1916).
Jenis TB paru yang dikaitkan dengan tuberkel ditetapkan sebagai patologi oleh Dr
Richard Morton pada 1689. Namun, TB memiliki berbagai gejala, sehingga TB tidak
diidentifikasi sebagai satu jenis penyakit hingga akhir 1820-an. TB belum dinamakan
tuberkulosis hingga 1839 oleh J. L. Schönlein. Selama tahun 1838–1845, Dr. John
Croghan, pemilik Gua Mammoth, membawa mereka yang terkena TB ke dalam gua
dengan harapan menyembuhkan penyakit tersebut dengan suhu konstan dan kemurnian
udara di dalam gua: mereka meninggal setelah satu tahun di dalam gua. Hermann
Brehmer membuka sanatorium pertama pada 1859 di Sokołowsko, Polandia.
Dr. Robert Koch menemukan basil tuberkulosis. Basilus yang menyebabkan
tuberkulosis, “Mycobacterium tuberculosis,” diidentifikasi dan dijelaskan pada 24
Maret 1882 oleh Robert Koch. Dia menerima Hadiah Nobel bidang fisiologi atau
kedokteran pada 1905 atas penemuan ini. Koch tidak percaya bahwa penyakit
tuberkulosis pada sapi (ternak) dan manusia adalah penyakit yang serupa. Keyakinan
ini menunda pengakuan bahwa susu yang terinfeksi menjadi sumber infeksi. Kemudian,
risiko penularan dari sumber ini sangat jauh berkurang karena penemuan proses
pasteurisasi. Koch mengumumkan ekstrak gliserin dari basil tuberkulosis sebagai
“obat” untuk tuberkulosis pada 1890. Dia menamakannya “tuberkulin.” Meskipun
“tuberkulin” tidak efektif, tuberkulin diadaptasi sebagai tes penapisan untuk
mengetahui adanya tuberkulosis prasimtomatik.
Albert Calmette dan Camille Guérin menerima kesuksesan pertama dalam
imunisasi anti tuberkulosis pada 1906. Mereka menggunakan tuberkulosis galur bovin
di-atenuasi, dan vaksin tersebut dinamakan BCG (basil Calmette dan Guérin). Vaksin
BCG pertama kali digunakan pada manusia pada 1921 di Perancis. Namun, vaksin
BCG baru diterima secara luas di AS, Inggris, dan Jerman setelah Perang Dunia II.
Sebelum Revolusi Industri, cerita rakyat seringkali menghubungkan tuberkulosis
dengan vampir. Jika seorang anggota keluarga meninggal karena TB, kesehatan
anggota keluarga lainnya dari orang yang terinfeksi tersebut perlahan-lahan menurun.
Masyarakat percaya bahwa orang pertama yang terkena TB menguras jiwa anggota
keluarga lainnya
.
2.4 Klasifikasi TB
 Tuberculosis paru
Tuberkulosis paru adalah bakteri mycobacterium tuberkulosis yang menyerang
jaringan paru, namun tidak termasuk pleura (selaput paru) (Kemenkes, 2011).
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik
dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons
dengan pemberian antibiotik spektrum luas
• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif
• Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
2. Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis
harian)
b. Kasus kambuh (relaps) Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
c. Kasus pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang mendapatkan
pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten
lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
d. Kasus lalai berobat adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1
bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebutkembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif.
e. Kasus Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan).
f. Kasus kronik adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang
baik.
 Tuberkulosis Ekstra Paru
Batasan : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis
sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis
kuat konsisten dengan TB ekstra paru aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh
klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh.
2.5 Penyebaran Tuberculosis
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh
dunia. Pada tahun 1992 WorldHealth Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberculosis sebagai (Global Emergency). Banyaknya penyakit tuberculosis juga
didukung oleh penyakit AIDS dan resistensi terhadap obat. Orang yang terinfeksi HIV
20-30 kali lebih mungkin untuk mengembangkan TB aktif (Palmer et al., 2001).
Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis
pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap
detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini dan sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia
tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah
penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk di Afrika hampir 2 kali lebih besar
dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk. Kejadian penyakit tuberculosis ini
selalu dilaporkan, namun laporan yang diberikan tidak akurat sehingga angka kejadian
penyakit tersebut tetap tinggi.
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab
kematian kedua setelah sistem sirkulasi.
2.6 Cara penularan Tuberculosis
Penyakit tuberculosis dapat menyebar dari orang ke orang melalui udara.
Ketika orang-orang yang terinfeksi tuberculosis batuk, bersin, atau meludah, mereka
dapat menghasilkan droplet yang mengandung bakteri mycobacterium tuberculosis dan
mendorong ke udara. Droplet yang mengandung bakteri mycobacterium tuberculosis
juga dapat dihasilkan dari laboratorium yang terdapat biakan bakteri tersebut.
Meskipun semua penderita tb menghasilkan droplet yang mengandung basil TB,
namun tidak selalu dapat menularkan penyakit karena bakteri Mycobacterium
tuberculosis tidak tetap berada diudara atau dapat mati apabila terkena sinar matahari
(Probes and Test, 1990). Pada anak-anak cara penularanya juga dapat melalui
pernafasan, makanan dan susu yang belum dipasteurisasi atau melalui kulit yang
sedang mengalami luka. Orang yang telah terinfeksi penyakit tuberkulosis sebaiknya
menutup mulut saat batuk dan bersin, serta dilarang meludah sembarangan dan
diharapkan menggunakan masker penutup mulut yang telah direkayasa dapat
menyerap tetesan atau droplet yang mengandung Mycobacterium tuberculosis agar
mengurangi penyebaran penyakit tb.

2.7 Diagnosis
untuk menegakkan diagnosis bahwa seseorang menderita penyakit tuberculosis paru
atau tidak yaitu dengan melihat gejala-gejala khas dari penyakit tuberculosis dan
ditemukannya bakteri mycobacterium tuberculosis melalui pemeriksaan mikroskopis
yaitu pemeriksaan utama yang dapat dilakukan dengan memeriksa dahak pada tiga
spesimen yaitu dahak dalam waktu 2 hari, SPS (sewaktu – pagi –sewaktu) (World
Health Organization, 2007). Pemeriksaan lainnya seperti foto rontgen toraks yang
memberikan gambaran kuat tentang adanya bakteri tuberculosis apabila ada bayangan
berupa bercak, kavitas atau lubang, dan pemeriksaan tuberkulin dapat dijadikan
sebagai penunjang diagnosis sesuai indikasinya (Crofton et al., 1994). Mantoux kulit
tuberculin (TST) atau tes darah TB dapat digunakan untuk menguji infeksi bakteri
tuberkulosis. Test ini dapat dijadikan test tambahan yang diperlukan untuk
mengkonfirmasi penyakit TBC yang dilakukan dengan menyuntikkan sejumlah kecil
cairan yang disebut tuberculin ke dalam kulit di bagian bawah lengan. Tes tuberculin
dapat dibaca dalam 48-72 jam oleh seorang pemeriksa kesehatan yang terlatih, dan
tampak untuk reaksi (Indurasi) di lengan. Sedangkan untuk mendiagnosis tb ekstra
paru dapat dilakukan dengan mengetahui gejala dan keluhan tergantung organ yang
terkena misalnya, kaku kuduk pada meningitis tb,nyeri dada pada tb pleura, deformitas
tulang belakang pada spondilitis tb setelah itu melakukan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena.

2.8 Pengobatan
Tujuan dari pengobatan penyakit TB adalah untuk menyembuhkan pasien dan
memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya kematian oleh
penyakit TB atau dampak buruk selanjutnya yang dapat menimbulkan kecacatan,
mencegah terjadinya kekambuhan TB, menurunkan penularan penyakit TB, mencegah
terjadinya dan penularan TB resisten obat. Penyakit TB dapat diobati dengan
pemberian obat anti TB (OAT) yang memiliki 5 jenis yaitu Ioniazid, Rifampisin,
Pirazinamid, Stretomisin, dan Etambutol. Tahapan pengobatan TB meliputi tahapan
awal dan tahapan lanjutan.
 Tahapan Awal : pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap
ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada
di tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien belum mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan.
Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur
 Tahapan Lanjutan : pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk
membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman
persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan

2.9 Manajemen Pencegahan Penyakit


Penyakit tuberculosis dapat diminimalisir dengan adanya tindakan manajemen
penyakit atau mengontrol lingkungan. Manajemen penyakit tuberculosis dapat
dilakukan dengan mengendalikan atau mengontrol sumber infeksi. Sumber infeksi
penyakit tuberculosis yaitu bakteri Mycobacterium tuberculosis yang berasal dari
udara, sehingga untuk mengendaliakannya dengan penggunaan ventilasi udara yang
baik di setiap ruangan (CDC,2015, n.d.).
Cara Pencegahan penyakit TBC (berdasarkan faktor penyebab penyakit), sebagai
berikut :
1. Tingkat hunian rumah padat
a. Satu kamar dihuni tidak lebih dari 2 orang atau sebaiknya luas kamar lebih atau
sama dengan 8m2 /jiwa
b. Lantai rumah disemen
2. Ventilasi rumah/dapur tidak memenuhi syarat
a. Memperbaiki lubang penghawaan / ventilasi
b. Selalu membuka pintu/jendela terutama pagi hari
c. Menambah ventilasi buatan
Ventilasi pada rumah memiliki banyak fungsi, selain menjaga agar aliran udara
dalam rumah tetap segar juga membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri,
terutama bakteri pathogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus
menerus. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu dalam
kelembaban yang optimum. Ventilasi yang tidak mencukupi akan menyebabkan
peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan dan
penyerapan cairan dari kulit. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media
yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-bakteri patogen termasuk
kuman tuberkulosis (Soekidjo, 2007). Ventilasi udara juga dapat memungkinkan
cahaya matahari masuk kedalam ruangan sehingga dapat membunuh bakteri
Mycobacterium tuberculosisdengan sinar ultraviolet yang dimiliki.

3. Perilaku untuk mencegah terjadinya penyakit TB yaitu dengan ,Menutup mulut bila
batuk, Membuang ludah pada tempatnya, Jemur peralatan dapur, Jaga kebersihan
diri, Istirahat yang cukup, Makan makan bergizi, Tidur terpisah dari penderita
4. Lingkungan Sehat
Pencegahan TB yang utama adalah dengan menyembuhkan semua penderita
TB sehingga tidak lagi dapat menyebarkan kuman TB pada orang sehat di
sekitarnya. Menjaga kebersihan lingkungan, menciptakan lingkungan rumah yang
sehat, menerapkan pola gizi yang baik, menghindari asap rokok dan imunisasi BCG
untuk bayi baru lahir dapat mencegah penyakit TB. Lingkungan yang sehat dari
bersih adalah dambaan setiap manusia. Begitu pula dengan apa yang diharapkan
dalam Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya
keadaan sehat. Dimana lingkungan tersebut bebas dari polusi terutama polusi udara,
tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan/pemukiman
yang sehat dan perencanaan kawasan yang berwawasan kesehatan lingkungan.
Lingkungan sendiri mempunyai 2 unsur utama yaitu fisik dan sosial.
Lingkungan fisik adalah semua hal yang berhubungan langsung dengan kesehatan
dan perilaku seseorang. Sedangkan lingkungan sosial yaitu adanya masalah
kesenjangan sosial yang nantinya akan menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan
inilah yang nantinya berdampak terhadap status kesehatan masyarakat dimana akan
timbul penyakit berbasis lingkungan. Masalah kesehatan berbasis lingkungan
disebabkan oleh berbagai hal antara lain yaitu kondisi lingkungan yang tidak
memadai, baik kualitas maupun kuantitasnya serta perilaku hidup sehat masyarakat
yang masih rendah. Kondisi tersebut akan menimbulkan berbagai penyakit
mengakibatkan: TB Paru, ISPA, Diare, malari, Demam Berdarah.
5. Rumah Sehat
Rumah dan lingkungan yang sehat dapat mencegah penularan penyakit paru.
Adapun syarat-syarat rumah sehat yaitu dinding dan lantai kedap air, ada ventilasi
10 % x luas lantai, penerangan dalam setiap ruang harus cukup 20% x luas lantai,
ada sumber air bersih, ruangan rumah cukup luas dan tidak padat huni, ruang dapur
harus dilengkapi dengan sarana pembuangan asap pakai cerobong, ada pembuangan
limbah (tempat sampah, jamban, saluran pembuangan air, limbah, septic tank
berjarak 10 meter dari sarana air bersih), langit-langit dan halaman rumah bersih
dan pekarangan ditanami tumbuhan yang bermanfaat, kandang ternak terpisah dari
rumah. Cara pencegahan penularan penyakit TB paru yang berkaitan dengan
lingkungan dan perilaku yaitu :
 Membuka jendela pada pagi hari sampai sore hari, agar rumah
mendapat sinar matahari dan udara yang cukup
 Menjemur kasur, bantal dan guling secara teratur 1 kali seminggu
 Dalam satu kamar sebaiknya tidak lebih dari 3 orang
 Menjaga kebersihan diri, rumah dan lingkungan disekitar rumah
 Lantai disemen atau dipasang tegel/keramik
 Bila batuk, tutup mulut dengan sapu tangan atau tissu
 Tidak meludah di sembarang tempat tapi gunakan tempat khusus yang
sudah di isi Lysol/air sabun.
 Istirahat yang cukup, tidak tidur larut malam
 Makan makanan bergizi seimbang
 Hindari polusi udara dalam rumah seperti asap dapur dan asap rokok

2.12 Manajemen TB Resistan Obat


TB resiten obat adalah keadaan dimana bakteri M. Tuberkulosis sudah tidak
dapat lagi dibunuh dengan salah satu atau lebih obat anti TB (OAT). Pada tahun
2013 WHO memperkirakan indonesia terdapat 6.800 kasus baru TB dengan Multi
Drug Resistant Tuberculosis. Setiap tahun diperkirakan 2% dari kasus TB baru dan
12% dari kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus TB MDR. Diperkirakan
pula lebih dari 55% pasien MDR TB belum terdiagnosis atau belum mendapatkan
pengobatan yang baik. Meningkatnya pasien MDR TB diakibatkan penggunaan
obat yang salah , menggunakan formulasi obat yang tidak efektif [seperti obat yang
kualitasnya rendah atau penyimpananya kurang baik sehingga obat tersebut tidak
berfungsi] dan gangguan pengobatan dini yang kemudian dapat menularkan kepada
orang lain. Dibeberapa negara MDR TB menjadi menjadi masalah yang sulit untuk
diatasi karena pilihan pengobatan terbatas, Obat-obatan yang mahal, efek samping
obat. Resistensi obat dapat dideteksi menggunakan tes laboratorium khusus yang
menguji bakteri untuk kepekaan terhadap obat-obatan atau mendeteksi pola
perlawanan (WHO,2015).

Resistensi ini dimulai dari yang sederhana yaitu mono resistan sampai
dengan Multi Drug Resistan (MDR) dan Extensive Drug Resistan (XDR). Saat ini
menurut WHO Indonesia menduduki peringkat ke delapan dari 27 negara dengan
jumlah kasus MDR tertinggi. Survey resistensi OAT di provinsi Jawa Tengah
menunjukkan bahwa angka TB MDR pada pasien yang belum pernah mendapat
pengobatan OAT sebelumnya sekitar 2 % dan sekitar 16 % bagi yang pernah
mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya. Faktor utama penyebab terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT adalah ulah manusia, baik penyedia layanan,
pasien, maupun program/sistem layanan kesehatan yang berakibat terhadap
tatalaksana pengobatan pasien TB yang tidak sesuai dengan standar dan mutu yang
ditetapkan.
Manajemen Program TB resistan Obat (Programmatic Manajment Of Drug
Resistant Tuberculosis) merupakan program yang sistematis, komprehensif dan
terpadu sesuai kerangka strategi DOTS dalam mengendalikan perkembangan TB
kebal obat agar tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat, dengan kegiatan
utama yaitu pencegahan terjadinya TB resistan obat, penemuan secara dini dan
tatalaksana kasus TB resistan obat yang bermutu, pengurangan risiko penularan dan
pencegahan timbulnya TB resistan obat ekstensif (extensively drugs resistant
/XDR) dengan tujuan agar TB resistan obat . Terdapat lima jenis kategori resistensi
terhadap obat TB. Jenis-jenis resistan :
 Monoresistan: Resistensi terhadap salah satu OAT, misalnya resistan
terhadap INH saja, atau rifampisin saja, dll.
 Polyresistan: Resistensi terhadap lebih dari satu OAT, selain isoniazid (H)
bersama rifampisin (R), misalnya resistensi terhadap H-E atau R-E, atau H-
E-S, dll.
 Multi drug resistan (MDR): Resistan terhadap sekurang-kurangnya
isoniazid (H) dan rifampicin (R), secara bersamaan dengan atau tanpa OAT
lini pertama yang lain, misalnya : HR, HRE, HRES.
 Ekstensif drug resistan (XDR):
TB MDR disertai resistensi terhadap salah satu obat golongan
fluorokuinolon, dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (Capreomisin,
Kanamisin, dan Amikasin).
 Total drug resistan (Total DR):
Resistensi terhadap semua OAT (lini pertama dan lini kedua).
Menurut Leavell (1953), terdapat lima tahapan dalam pencegahan penyakit
menular, yaitu promosi kesehatan, proteksi khusus, diagnosis dini dan pengobatan
yang cepat, pembatasan disabilitas, dan rehabilitasi. Berkaitan dengan upaya
penurunan angka kasus baru TB di Indonesia, maka tahapan ke-3 sangat penting
guna memutuskan rantai penularan dari penderita ke orang yang sehat. Selama ini,
upaya yang ditempuh dalam hal pengobatan penderita TB di Indonesia adalah
dengan pemberian obat anti-tuberkulosis (OAT) lini-1. Pada tahun 2006, angka
keberhasilan pengobatan mencapai 91%, tapi keberhasilan pengobatan ulangan
hanya mencapai 77%, dan tidak semua kasus TB mendapatkan pengobatan seperti
yang diharapkan sebab angka case detection rateIndonesia hanya 51% pada tahun
yang sama. Permasalahan ini diperberat dengan fakta bahwa Indonesia dan dunia
telah dihadapkan pada permasalahan baru dalam pengobatan TB yakni TB
dengan multidrug-resistant (TB-MDR).
Pada tahun 2008, diperkirakan terdapat 390.000 – 510.000 kasus TB-MDR
di seluruh dunia, dan telah menyebabkan 150.000 kematian. WHO bahkan telah
menetapkan 27 negara yang termasuk dalam high MDR-TB burden countries, dan
Indonesia yang termasuk di dalamnya menduduki peringkat ke-10 dengan 9.300
kasus TB-MDR di tahun 2008. TB-MDR disebabkan oleh bakteri yang menjadi
resisten sekurang-kurangnya terhadap dua jenis OAT yang paling efektif yaitu
isoniazid dan rifampicin. TB-MDR dapat terjadi baik dari infeksi primer dari
bakteri yang memang resisten, maupun dari pengobatan penderita yang tidak
adekuat. Bakteri yang telah resisten tersebut akan mengurangi efektivitas
pengobatan dengan angka kesembuhan hanya sekitar 59–70%. Akibatnya
pengobatan terhadap pasien TB-MDR secara perlahan beralih pada OAT lini-2,
yang seringkali lebih sulit, mahal, dan memberikan hasil yang kurang memuaskan.
Diagnosis TB-MDR membutuhkan pemeriksaan uji sensitivitas obat yang didahului
dengan pemeriksaan biakan yang rata-rata membutuhkan waktu yang cukup lama
berkisar 6–12 minggu. Oleh karena biaya pemeriksaan yang cenderung mahal dan
fasilitas laboratorium yang masih kurang, tidak semua penderita TB di Indonesia
menjalani pemeriksaan tersebut. Hal yang perlu disadari dalam hal ini adalah bahwa
pengobatan TB-MDR lebih sulit dibandingkan dengan TB pada umumnya.
Tindakan pencegahan terjadinya TB-MDR akan jauh lebih mudah
dilakukan. Dengan demikian, identifikasi suspek TB-MDR, tatalaksana diagnosis,
pengobatan dan monitoring pengobatan TB dengan tepat dan benar adalah kunci
utama mencegah timbulnya MDR.
2.13 Kasus
Jurnal 1 dengan judul Hubungan Faktor Lingkungan Rumah Dengan Penularan Tb
Paru Kontak Serumah ini menjelaskan hasil analisis hubungan faktor lingkungan
rumah dengan kejadian penualran tb didalam rumah (kontak serumah) Kabupaten
Tangerang 2002. Penyakit TB yang diteliti di Kabupaten Tangerang terdiri dari
kelompok usia produktif yaitu 15 – 60 tahun. Padahal kelompok usia tersebut
seharusnya dapat melakukan hal-hal yang produktif, akan tetapi karena terserang
penyakit TB menjadikan seseorang tidak produktif sehingga berdampak pada sosial
ekonomi masyarakat. Sebagian besar penderita TB adalah ibu rumah tangga. Dengan
demikian, keadaaan ini tidak hanya berpengaruh terhadap aktivitas rumah tangga tetapi
juga berpengaruh buruk terhadap kemungkinan terjadinya penularan TB paru di
rumah. Di kabupaten juga

Jadi, hasil penelitian tersebut tidak ada hubungan antara bahan jenis lantai rumah,
keberadaan dapur, jenis bahan bakar masak yang digunakan, cara pembuangan sampah
rumah tangga dan kepadatan hunian dalam rumah dengan kejadian penularan TB paru
kontak serumah. Sedangkan, ada hubungan bermakna dari kejadian penularan TB paru
dalam pencahayaan dan penghawaan, faktor masuknya sinar matahari ke dalam rumah.
Proporsi kejadian penularan TB paru lebih rendah pada rumah tangga yang rumahnya
dimasuki sinar matahari dan sebaliknya.

Jurnal 2

Jurnal 1 dengan judul Caring for Children with Drug-ResistantTuberculosis


Practice-based Recommendations, menjelaskan bagaimana perawatan anak dengan
drug resistant tuberculosis. Dalam pedoman perawatan drug resistant tuberculosis pada
anak sering sekali dianggap remeh. Factor-faktor yang mempengaruhi tuberculosis
adalah inisiasi pengobatan, desain rejimen dan durasi pengobatan, manajemen kondisi
komorbiditas, pemantauan pengobatan, efek samping, promosi kepatuhan, dan
pengendalian infeksi, semua dalam lingkungan multidisiplin. Anak yang menderita
tuberculosis didapatkan akibat tidak efektifnya pengobatan lini pertama. Biasanya obat
anti TB pada anak-anak dapat memberikan efek samping muntah dan diare yang dapat
mempengaruhi penyerapan obat dan mengganggu kepatuhan dalam minum obat.
Untuk menangani kegagalan pengobatan atau terjadinya resisten dengan obat TB,
maka dilakukan DOT atau pengawasan langsung minum obat oleh keluarga dan orang
diluar keluarganya untuk mengaewasi. Diagnosis TB pada anak seringkali terjadi
ketika mereka sudah besar, sehingga memungkinkan untuk menularkan kepada orang
lain maka strategi manajemen penyakit diperlukan untuk pengendalian penularan.

Kesimpulan :

Merawat anak-anak dengan DR-TB adalah suatu hal yang menantang. Namun, untuk
mencapai hasil yang sangat baik diperlukan berbagai pengaturan dan dengan sumber
daya yang berbeda-beda. Anak dan keluarga harus aktif terlibat dalam proses
pengobatan dan didukung oleh tim kesehatan. Mereka harus diperlakukan dengan
setidaknya empat obat yang mungkin efektif, dan anak harus dipantau secara hati-hati
untuk efek samping dan respon terhadap pengobatan. Sangat mungkin bahwa semakin
banyak anak-anak akan didiagnosis dengan DR-TB di masa depan.
Daftar Pustaka

CDC,2015, n.d. http://www.cdc.gov/tb/publications/factsheets/testing/diagnosis.htm -


Google Search [WWW Document]. URL
https://www.google.com/search?q=google+scholar&ie=utf-8&oe=utf-
8&client=firefox-
b#q=http:%2F%2Fwww.cdc.gov%2Ftb%2Fpublications%2Ffactsheets%2Ftesting
%2Fdiagnosis.htm (accessed 10.6.16).
Crofton, J., Horne, N., Miller, F., 1994. Tuberculosis clínica. Talc.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Pedoman nasional pengendalian
tuberkulosis. Kementrian Kesehat. Repub. Indones. 2, 1–35.
Palmer, P.E.S., Wambani, S.J., Reeve, P., 2001. The Imaging of Tuberculosis: With
Epidemiological, Pathological, and Clinical Correlation. Springer Science &
Business Media.
Probes, G., Test, T.S., 1990. Diagnostic standards and classification of tuberculosis. Am.
Rev. Respir. Dis. 142.
Soekidjo, N., 2007. Kesehatan Masyarakat ilmu dan seni. Penerbit Rineka Cipta Jkt.
WHO 2015, n.d. WHO | What is multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) and how do
we control it? [WWW Document]. URL http://www.who.int/features/qa/79/en/
(accessed 10.11.16).
World Health Organization, 2007. Improving the diagnosis and treatment of smear-
negative pulmonary and extrapulmonary tuberculosis among adults and
adolescents: recommendations for HIV-prevalent and resource-constrained settings.
Ahmad Ismail. 2010. Lingkungan Sehat Untuk TB. Diakses dari
http://www.bbkpmska.com/artikel/kesehatan-paru/81-lingkungan-sehat-untuk-
tb.html pada tanggCDC,2015, n.d.
http://www.cdc.gov/tb/publications/factsheets/testing/diagnosis.htm - Google
Search [WWW Document]. URL
https://www.google.com/search?q=google+scholar&ie=utf-8&oe=utf-
8&client=firefox-
b#q=http:%2F%2Fwww.cdc.gov%2Ftb%2Fpublications%2Ffactsheets%2Ftesting
%2Fdiagnosis.htm (accessed 10.6.16).
Crofton, J., Horne, N., Miller, F., 1994. Tuberculosis clínica. Talc.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Pedoman nasional pengendalian
tuberkulosis. Kementrian Kesehat. Repub. Indones. 2, 1–35.
Palmer, P.E.S., Wambani, S.J., Reeve, P., 2001. The Imaging of Tuberculosis: With
Epidemiological, Pathological, and Clinical Correlation. Springer Science &
Business Media.
Probes, G., Test, T.S., 1990. Diagnostic standards and classification of tuberculosis. Am.
Rev. Respir. Dis. 142.
Soekidjo, N., 2007. Kesehatan Masyarakat ilmu dan seni. Penerbit Rineka Cipta Jkt.
WHO 2015, n.d. WHO | What is multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) and how do
we control it? [WWW Document]. URL http://www.who.int/features/qa/79/en/
(accessed 10.11.16).
World Health Organization, 2007. Improving the diagnosis and treatment of smear-
negative pulmonary and extrapulmonary tuberculosis among adults and
adolescents: recommendations for HIV-prevalent and resource-constrained settings.
al 10 Oktober 2016. Balai Kesehatan Paru Pekalongan

Anda mungkin juga menyukai