Bab I-Iii
Bab I-Iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Musculoskeletal Disorder (MSDs) adalah gangguan pada bagian otot skeletal
yang disebabkan oleh karena otot menerima beban statis secara berulang dan
terus menerus dalam jangka waktu yang lama dan akan menyebabkan
keluhan pada sendi, ligamen dan tendon. Musculoskeletal disorder (MSDs)
pada umumnya berupa bentuk nyeri, cidera, atau kelainan pada sistem otot-
rangka, meliputi pada jaringan saraf, tendon, ligamen, otot atau sendi. Bekerja
dengan rasa sakit dapat mengurangi produktivitas kerja dan apabila bekerja
dengan kesakitan ini diteruskan maka akan berakibat pada kecacatan yang
akhirnya menghilangkan pekerjaan bagi pekerjanya (Susianingsih, Hartanti,
Dewi, & Sujoso, 2014)
Menurut Self- Reported Work- Related Illness (SWI) di UK, Melaporkan
bahwa pada tahun 2009-2010 diperkirakan prevalensi 572.000 orang di
Inggris menderita gangguan Musculoskeletal yang disebabkan atau
diperburuk dengan pekerjaannya dimasa lalu (Fuady, 2013)
Di Indonesia, berdasarkan dari hasil studi Departemen Kesehatan tahun 2005,
terdapat sekitar 40,5% penyakit yang
1
diderita tenaga kerja sehubungan
dengan pekerjaan. Gangguan kesehatan yang dialami pekerja, menurut
penelitian yang dilakukan terhadap 482 pekerja di 12 kabupaten/kota di
Indonesia, 16% di antaranya berupa gangguan muskuloskeletal. Penelitian
Pusat Studi Kesehatan dan Ergonomi ITB tahun 2006-2007 memperoleh data
sekitar 40-80% pekerja melaporkan keluhan muskuloskeletal (Ramdan et al.,
2012)
Gangguan musculoskeletal dapat dialami oleh semua pekerja yang banyak
menggunakan tenaga fisik serta bekerja dengan posisi janggal dan statis
seperti pekerja laundry. Laundry adalah salah satu bagian instalasi yang
memberi jasa untuk mencuci berbagai jenis kain (Susianingsih et al., 2014)
2
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Faktor-Faktor apa yang
Berhubungan dengan Keluhan Musculoskeletal Disorder Pada Pekerja
Laundry di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru Tahun 2018?”.
3
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan
musculoskeletal disorder pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan
Kota Pekanbaru tahun 2018.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan umur dengan keluhan musculoskeletal
pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru Tahun
2018.
b. Untuk mengetahui hubungan indeks massa tubuh dengan keluhan
musculoskeletal pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan Kota
Pekanbaru Tahun 2018.
c. Untuk mengetahui hubungan beban kerja dengan keluhan
musculoskeletal pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan Kota
Pekanbaru Tahun 2018.
d. Untuk mengetahui hubungan masa kerja dengan keluhan
musculoskeletal pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan Kota
Pekanbaru Tahun 2018.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pekerja Laundry
Diharapkan dengan adanya penelitian ini bisa menjadi informasi dan
masukan pada pekerja laundry khususnya tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan keluhan musculoskeletal disorder pada pekerja
laundry di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru.
2. Bagi STIKes Payung Negeri Pekanbaru
Sebagai informasi meningkatkan pendidikan kesehatan, serta sebagai
masukan bagi penelitian selanjutnya khususnya bagi peminatan kesehatan
dan keselamatan kerja.
3. Bagi Peneliti
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teoritis
1. Musculoskeletal Disorders (MSDs)
a. Definisi Musculoskeletal Disorders
Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah sekelompok kondisi
patologis yang mempengaruhi fungsi normal dari jaringan halus
sistem musculoskeletal yang mencakup syaraf, tendon, otot, dan
struktur penunjang seperti discus intervetebral. Istilah Musculoskeletal
Disorders (MSDs) pada beberapa negara mempunyai sebutan
berbeda, misalnya di Amerika istilah ini dikenal dengan nama
Cumulative Trauma Disorders (CTDs), di Inggris dan Australia
disebut dengan nama Repetitif Strain Injury (RSI), sedangkan di
Jepang dan Skandinavia dikenal dengan sebutan Occupational
Cervicubrachial Disorders (OCD) (Fuady, 2013)
Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan sekumpulan
gejala/gangguan yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon,
ligamen, kartilago, sistem saraf, struktur tulang, dan pembuluh darah.
MSDs pada awalnya menyebabkan sakit, nyeri, mati rasa, kesemutan,
bengkak, kekakuan, gemetar, gangguan tidur, dan rasa terbakar
(Bukhori, 2010)
Fokus penelitian dari MSDs adalah leher, bahu, punggung, lengan
atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan kaki. MSDs pada
awalnya menyebabkan gangguan tidur; mati rasa/sensasi terbakar
pada tangan, kekakuan atau bengkak, nyeri pada pergelangan tangan,
lengan, siku, leher atau punggung yang diikuti dengan rasa tidak
nyaman, rasa tegang yang menekan rasa sakit di kepala dan yang
berhubungan dengan penyakit, kering, gatal atau nyeri di mata,
penglihatan yang buram/ganda, rasa nyeri atau kaku, kram,
5
6
4) Trigger Fingeri adalah rasa sakit dan ketidak nyaman pada bagian
jari-jari akibat tekanan yang berulang pada bagian jari-jari (pada
saat menggunakan alat kerja yang memiliki pelatuk) yang
menekankan tendon secara terus menerus hingga ke jari-jari.
5) Focal Hand Dystonia adalah kram tangan yang dialami oleh
penulis atau pemusik.
6) Carpal Tunnel Syndrome (CTS) yaitu tekanan pada syaraf tengah
yang terletak dipergelangan tangan yang dikelilingi jaringan dan
tulang penekanan tersebut disebabkan oleh pembengkakan dan
iritasi dari tendon dan penyelubuh tendon. Gejalanya seperti sakit
pada pergelangan tangan, perasaan tidak nyaman pada jari-jari dan
mati rasa/kebas. CTS dapat menyebabkan seseorang kesulitan
menggenggam.
7) Tendinitis merupakan peradangan (pembengkakan) hebat atau
iritasi pada tendon, biasanya terjadi pada titik dimana otot melekat
pada tulang. Keadaan tersebut akan semakin berkembang ketika
tendon terus menerus digunakan untuk mengerjakan hal-hal yang
tidak biasa (penggunaan berlebihan atau postur janggal pada
tangan, pergelangan, lengan dan bahu). Seperti tekanan yang kuat
pada tangan, membengkokkan pergelangan tangan selama bekerja
atau menggerakkan pergelangan tangan selama bekerja, atau
menggerakkan pergelangan tangan secara berulangjika ketegangan
otot tangan ini terus berlangsung akan menyebabkan tendinitis
(Budiman, 2015)
a) Postur janggal
Postur janggal adalah deviasi dari gerakan tubuh atau anggota
gerak yang dilakukan oleh pekerja saat melakukan aktifitas
kerja secara berulang-ulang dan dalam waktu yang relatif
lama. Gerakan postur janggal merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya gangguan, penyakit, atau cedera pada sistem
otot rangka. Gangguan, penyakit, atau cidera pada sistem
musculoskeletal hampir tidak pernah terjadi secara langsung,
akan tetapi lebih merupakan suatu akumulasi dari benturan
kecil maupun besar secara terus-menerus dan dalam jangka
waktu yang relatif lama.
Dalam ukuran jarak atau dimensi pada dasarnya setiap orang
memiliki keinginan untuk melakukan kegiatannya dalam
postur yang optimal. Postur tubuh yang tidak stabil (tidak
alamiah) menunjukan bukti yang kuat sebagai faktor yang
berkontribusi terhadap MSDs dan menimbulkan terjadinya
gangguan leher, punggung dan bahu.
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang
menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi
posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat,
punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dsb. Semakin
jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka
semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot skeletal.
Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena
karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak
sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja.
Postur janggal pada leher:
(1) Menunduk ke arah depan sehingga sudut yang di bentuk
oleh garis vertikal dengan sumbu ruas tulang leher > 20o.
(2) Tengadah, setiap postur dari leher yang mendongak ke atas
atau ekstensi.
13
2) Beban Kerja
Menurut Soekidjo Notoatmodjo eban kerja adalah setiap pekerjaan
yang memerlukan otot atau pemikiran yang merupakan beban bagi
pelakunya beban tersebut meliputi beban fisik, mental ataupun
beban sosial sesuai dengan jenis pekerjaanya (Wiyatno, 2011)
Beban merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
gangguan otot rangka. Menurut Departemen Kesehatan (2009)
mengangkat beban sebaiknya tidak melebihi dari aturan yaitu laki-
laki dewasa sebesar 15-20 kg dan wanita sebesar 12-15 kg.
3) Penggunaan Tenaga
Pekerjaan membutuhkan penggunaan tenaga untuk menempatkan
beban yang tinggi untuk otot, tendon, ligamen, dan sendi.
Pekerjaan yang menggunakan tenaga besar dapat membebani
otot, tendon, ligamen, dan sendi. Peregangan otot yang berlebihan
pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas
kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas
mengangkat, mendorong, menarik, dan menahan beban yang
berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena
16
4) Pergerakan Repetitif
Pergerakan repetitif pada aktifitas pekerjaan yang sama dapat
memperburuk akibat dari postur kerja janggal dan gangguan
tenaga. Tendon dan otot dapat memperbaiki efek peregangan atau
18
5) Karakteristik Objek
Karakteristik objek yang menjadi faktor risiko cidera otot skeletal
antara lain:
a) Besar dan bentuk objek
19
b) Genggaman tangan
Kegiatan menggenggam dapat dibagi menjadi dua kategori
utama yaitu:
(1) Power grip : dimana jari dapat menggenggam benda
dengan fleksibel dan mengapit dalam telapak tangan.
(2) Pinch grip : dimana objek ditahan dengan ujung ibu jari
dan satu atau lebih jari lain, seperti saat menggunakan
ujung jari, mencubit, menggenggam kunci, pena dan lain-
lain (Bukhori, 2010)
b. Faktor Individu
1) Umur
Menurut Oborne (1995) keluhan otot skeletal biasanya dialami
seseorang pada usia kerja yaitu 24-65 tahun. Keluhan pertama
biasa dialami pada usia 35 tahun dan tingkat keluhan akan
meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Sedangkan
menurut Bridger (2003), sejalan dengan meningkatnya usia akan
terjadi degenerasi pada tulang dan keadaan ini mulai terjadi di saat
seseorang berusia 30 tahun. Pada usia 30 tahun terjadi degenerasi
yang berupa kerusakan jaringan, penggantian jaringan menjadi
20
2) Jenis kelamin
Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli
tentang pengaruh jenis kelamin terhadap resiko keluhan otot
skeletal, namun beberapa hasil penelitian secara signifikan
menunjukkan bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat
resiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis,
kemampuan otot wanita memang lebih rendah daripada pria.
Astrand & Rodahl (1977) menjelaskan bahwa kekuatan otot
wanita hanya sekitar dua pertiga dari kekuatan otot pria, sehingga
daya tahan otot pria pun lebih tinggi dibandingkan dengan wanita.
Hasil penelitian Betti’e at al. (1989) menunjukkan bahwa rerata
kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60 % dari kekuatan otot
pria, khususnya untuk otot lengan, punggung dan kaki. Hal ini
diperkuat oleh hasil penelitian Chiang et al. (1993), Bernard et al.
21
3) Kebiasaan merokok
Sama halnya dengan jenis kelamin, kebiasaan merokok pun masih
dalam taraf perdebatan para ahli. Namun dari penelitian oleh para
ahli diperoleh bahwa meningkatnya frekuensi merokok akan
meningkatkan keluhan otot yang dirasakan. Meningkatnya
keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat
kebiasaan merokok. Risiko meningkat 20% untuk tiap 10 batang
rokok per hari. Mereka yang telah berhenti merokok selama
setahun memiliki risiko LBP sama dengan mereka yang tidak
merokok. Kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas paru-
paru, sehingga kemampuannya untuk mengkonsumsi oksigen akan
menurun. Bila orang tersebut dituntut untuk melakukan tugas yang
menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena
kandungan oksigen dalam darah rendah (Jeanie Croasmun. 2003).
Sedangkan menurut Bustan (2000), kebiasaan merokok dibagi
menjadi 4 kategori yaitu, kebiasaan merokok berat (> 20
batang/hari), sedang (10-20 batang/hari), ringan (< 10 batang/hari)
dan tidak merokok. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh
Annuals of Rheumatic Diseases (Croasmun, 2003) terhadap
13.000 perokok dan non perokok dengan rentang umur antara 16
s.d 64 tahun, dilaporkan bahwa perokok memiliki risiko 50 %
lebih besar untuk merasakan MSDs. Hal ini dikarenakan efek
rokok akan menciptakan respon rasa sakit atau sebagai permulaan
rasa sakit, mengganggu penyerapan kalsium pada tubuh sehingga
meningkatkan risiko terkena osteoporosis, menghambat
22
4) Kekuatan fisik
Sama halnya dengan beberapa faktor lainnya, hubungan antara
kekuatan fisik dengan resiko keluhan otot skeletal juga masih
diperdebatkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan, namun penelitian lainnya menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara kekuatan fisik dengan keluhan
otot skeletal. Chaffin and Park (1973) yang dilaporkan oleh
NIOSH menemukan adanya peningkatan keluhan punggung yang
tajam pada pekerja yang melakukan tugas yang menuntut
kekuatan melebihi batas kekuatan otot pekerja. Bagi pekerja yang
kekuatan ototnya rendah, resiko terjadinya keluhan tiga kali lipat
dari yang mempunyai kekuatan tinggi. Sementara itu, Betti’e et al.
(1990) menemukan bahwa pekerja yang sudah mempunyai
keluhan pinggang mampu melakukan pekerjaan seperti pekerja
lainnya yang belum memiliki keluhan pinggang.
Terlepas dari perbedaan kedua hasil penelitian tersebut di atas,
secara fisiologis ada yang dilahirkan dengan struktur otot yang
mempunyai kekuatan fisik lebih kuat dibandingkan dengan yang
lainnya. Dalam kondisi kekuatan yang berbeda ini, apabila harus
melakukan pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot, jelas
yang mempunyai kekuatan rendah akan lebih rentan terhadap
resiko cedera otot. Namun untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak
memerlukan pengerahan tenaga, maka faktor kekuatan fisik
kurang relevan terhadap resiko keluhan otot skeletal (Tarwaka et
al, 2004).
5) Masa kerja
23
2) Mikroklimat
Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan
kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja, sehingga gerakannya
menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya
kekuatan otot (NIOSH, 1997).
Berdasarkan hasil penelitian John (2007), sebuah rentang suhu
nyaman pada umumnya adalah 68-74 derajat Fahrenheit dan
dipengaruhi juga oleh beban kerja fisik dengan kelembaban antara
20 sampai 60 persen.
3) Pencahayaan
Pencahayaan sangat mempengaruhi manusia untuk melihat obyek
secara jelas dan tepat tanpa menimbulkan kesalahan. Pencahayaan
yang kurang mengakibatkan mata pekerja menjadi cepat lelah
karena mata akan berusaha melihat dengan cara membuka mata
lebar-lebar. Intensitas cahaya untuk membaca sekitar 300-700 lux,
pekerjaan di kantor 400-600 lux, pekerjaan yang memerlukan
ketelitian 800-1200 lux dan pekerjaan di gudang 80-170 lux.
Berdasarkan hasil penelitian Spinger (2007), diperoleh bahwa
mengurangi cahaya silau di tempat kerja dapat meningkatkan
produktifitas sebanyak 7%, sehingga ketika seseorang bekerja di
depan komputer dapat bertahan hingga 8-12 jam (Zulfiqor, 2010)
Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assesment-reba.html
Penilaian posisi punggung adalah skor 1 (posisi punggung lurus atau
0o), skor 2 (posisi 0o-20o ke depan dan ke belakang), skor 3 (posisi
20o-60o ke depan dan > 20oke belakang), skor 4 (posisi > 60o ke
depan), skor + 1 (jika punggung berputar atau miring ke kanan dan
atau ke kiri, serta ke atas dan atau ke bawah).
Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assesment-reba.html
Penilaian posisi kaki yaitu skor 1 (tubuh bertumpu pada kedua kaki,
jalan, duduk), skor 2 (berdiri dengan satu kaki, tidak stabil), skor + 1
30
(jika lutut ditekuk 30°-60º ke depan), skor + 2 (jika lutut ditekuk >60°
ke depan).
Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assesment-reba.html
Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assesment-reba.html
32
Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assesment-reba.html
Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assesment-reba.html
4 2 3 3 4 5 7 8 9 10 11 11 12
5 3 4 4 5 6 8 9 10 10 11 12 12
6 3 4 5 6 7 8 9 10 10 11 12 12
7 4 5 6 7 8 9 9 10 11 11 12 12
8 5 6 7 8 8 9 10 10 11 12 12 12
35
9 6 6 7 8 9 10 10 10 11 12 12 12
10 7 7 8 9 9 10 11 11 12 12 12 12
11 7 7 8 9 9 10 11 11 12 12 12 12
12 8 8 8 9 9 10 11 11 12 12 12 12
Activity Score
+1 = Jika 1 atau lebih +1 = Jika pengulangan +1 = Jika gerakan
bagian tubuh statis, gerakan dalam rentang waktu menyebabkan perubahan atau
ditahan lebih dari 1 menit singkat, diulang lebih dari 4 pergeseran postur yang cepat
kali permenit (tidak termasuk dari posisi awal
berjalan)
perubahan
Melalui NBM seperti pada Gambar 9.4 dapat diketahui bagian-bagian otot
yang mengalami keluhan dengan tingkat keluhan mulai dari rasa tidak
nyaman (agak sakit) sampai sangat sakit (Corlett,1992). Dengan melihat
dan menganalisis peta tubuh (NBM) seperti pada Gambar 9.4, maka dapat
diestimasi jenis dan tingkat keluhan otot skeletal yang dirasakan oleh
pekerja. Cara ini sangat sederhana namun kurang teliti karena
mengandung subjektivitas yang tinggi. Untuk menekan bias yang
mungkin terjadi, maka sebaiknya pengukuran di lakukan sebelum dan
sesudah melakukan aktivitas kerja (pre and post test) (Tarwaka et al,
2004)
Gambar 9.4 Nordic Body Map (Sumber:Corlett, 1992. Static Muscle
Loading and the Evaluation of Pasture)
38
B. Penelitian Terkait
Penelitian yang dilakukan oleh Mawadi tahun 2016 tentang “faktor yang
berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal pada pekerja laundry di
Banda Aceh” hasil penelitiannya adalah hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada hubungan antara umur dengan gangguan muskuloskeletal pada pekerja
laundry (p-value 0,001) yang berarti p-value ≤ 0,05. Tidak ada hubungan
antara jenis kelamin dengan gangguan muskuloskeletal pada pekerja laundry
(p-value 0,346) yang berarti p-value > 0,05. Tidak ada hubungan antara masa
kerja dengan gangguan muskuloskeletal pada pekerja laundry (p-value 0,567)
yang berarti p-value >0,05. Ada hubungan antara postur kerja dengan
gangguan muskuloskeletal pada pekerja laundry (p-value 0,019) yang berarti
p-value > 0,05.
Penelitian yang dilakukan oleh Fajri tahun 2015 tentang “Faktor-Faktor
Sekunder Yang Berhubungan Dengan Keluhan Muskuloskeletal Pekerja
Laundry Di Kelurahan Muktiharjo Kidul Semarang” hasil penelitiannya
adalah hasil menunjukkan bahwa tidak ada hubungan umur dengan keluhan
muskuloskeletal pada pekerja laundry (p-value 0,141) yang berarti p-value >
0,05. Tidak ada hubungan antara kesegaran jasmani dengan keluhan
muskuloskeletal pada pekerja laundry (p-value 0,373) yang berarti p-value >
0,05. Ada hubungan antara lama kerja dengan keluhan muskuloskeletal pada
pekerja laundry (p-value 0,047) yang berarti p-value < 0,05. Ada hubungan
antara IMT dengan keluhan muskuloskeletal pada pekerja laundry (p-value
0,025) yang berarti p-value < 0,05. Ada huubungan antara masa kerja dengan
keluhan muskuloskeletal pada pekerja laundry (p-value 0,229) yang berarti p-
value < 0,05. Ada hubungan antara getaran dengan keluhan muskuloskeletal
pada pekerja laundry (p-value 0,138) yang berarti p-value < 0,05. Tidak ada
hubungan antara mikroklimat dengan keluhan muskuloskeletal pada pekerja
laundry (p-value 0,928) yang berarti p-value > 0,05.
39
C. Kerangka Teori
Skema 2.1
Kerangka Teori
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keluhan Musculoskeletal
Disorder Pada Pekerja Laundry Di Kecamatan Tampan
Kota Pekanbaru Tahun 2018
1. Faktor Pekerjaan:
a. Postur Kerja
b. Beban Kerja
c. Penggunaan tenaga
d. Pergerakan repititif
e. Karakteristik objek
2. Faktor Individu:
a. Umur Keluhan
b. Jenis kelamin
Musculoskeletal
c. Kebiasaan merokok
d. Kekuatan fisik Disorders (MSDs)
e. Masa kerja
f. Indek Masa Tubuh (IMT)
3. Faktor Lingkungan:
a. Getaran
b. Mikroklimat
c. Pencahayaan
40
D. Kerangka Konsep
Skema 2.2
Kerangka Konsep
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keluhan Musculoskeletal
Disorder Pada Pekerja Laundry Di Kecamatan Tampan
Kota Pekanbaru Tahun 2018
1. Umur
2. Indeks Massa Tubuh
Keluhan Musculoskeletal
3. Beban Kerja
Disorders (MSDs)
4. Masa kerja
E. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian, patokan duga, atau dalil
sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut
(Notoatmodjo, 2012).
1. Hipotesis Nol (Ho) : Ada hubungan antara umur dengan keluhan
musculoskeletal pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan.
2. Hipotesis Nol (Ho) : Ada hubungan antara indeks massa tubuh dengan
keluhan musculoskeletal pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan.
3. Hipotesis Nol (Ho) : Ada hubungan antara beban kerja dengan keluhan
musculoskeletal pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan.
4. Hipotesis Nol (Ho) : Tidak ada hubungan antara masa kerja dengan
keluhan musculoskeletal pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan
41
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bulan
No Uraian Kegiatan Feb Maret April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persiapan proposal
2 Seminar proposal
Pelaksanaan dan
3
pengumpulan data
4 Pengolahan data
Penyusunan
5
laporan
Seminar Hasil
6
skripsi
41
42
C. Populasi
Populasi adalah seluruh individu yang akan dikenai sasaran generalisasi dari
sampel yang akan diambil dalam suatu penelitian (Hadi dalam Sumantri,
2011).
Populasi yang digunakan dalam penelitian yaitu 46 tempat laundry dengan 70
jumlah pekerja di Kecamatan Tampan. Seluruh populasi dijadikan responden.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah salah segala peralatan yang digunakan untuk
memperoleh, mengelola dan menginteprasikan informasi dari para responden
yang dilakukan dengan dengan pola pengukuran yang sama (Ideputri et al,
2011).
Instrumen penelitian ini berupa :
1. Kuesioner
Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang
pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui. Kuesioner yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari data diri responden, beban kerja dan masa kerja
yang diadopsi dari penelitian Laraswati (2009) yang berjudul “Analisis
Risiko Musculoskeletal Disorder (MSDs) Pada Pekerja Laundry Tahun
2009 (Studi Kasus Pada 12 Laundry Sektor Usaha Informal) di
Kecamatan Beji Kota Depok” yang telah diuji validitasnya.
2. Kamera
Kamera merupakan alat yang berfungsi dan mampu untuk menangkap dan
mengabadikan gambar. Kamera digunakan untuk dokumentasi seperti
gambar, recorder, video, rekaman suara pada saat wawancara.
43
E. Definisi Operasional
Definisi operasional ialah untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian
variabel-variabel diamati/diteliti, perlu sekali variabel-variabel tersebut diberi
batasan. Definisi operasional ini juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada
pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan
serta pengembangan instrumen (alat ukur). Definisi Operasional mencakup
cara pengukuran, hasil ukur dan skala pengukuran (Notoatmodjo, 2012).
Tabel 3.2
Definisi Operasional
(IMT <
29)
Beban Kerja beban kerja kuesioner ordinal 1. Berisiko
adalah setiap jika
pekerjaan beban
yang kerja >
memerlukan 12-15 kg
pemikiran perempu
an
yang
2. Tidak
merupakan
berisiko
beban bagi
jika
pelakunya
beban
beban
kerja <
tersebut
12-15 kg
meliputi
kg pada
beban
perempu
fisik,
an.
mental
ataupun
beban sosial
sesuai
dengan
jenis
pekerjaanya
Masa Kerja Lama bekerja kuesioner ordinal 1. Berisiko
sebagai > 3 tahun
pekerja 2. Tidak
laundry berisiko
≤ 3 tahun
45
G. Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan SPSS 16,0.
Setelah semua data dikumpulkan, untuk mengetahui gambaran distribusi
frekuensi masing-masing variabel, analisa data yang digunakan adalah
analisis univariat dan bivariat. Adapun penjabaran analisis tersebut yaitu :
1. Analisis Univariat
Analisis Univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel dalam penelitian ini.
2. Analisis Bivariat
Analisis Bivariat merupakan analisis untuk mengetahui interaksi dua
variabel, baik berupa komparatif, asosiatif maupun korelatif
(Arikunto, 2006). Analisis Bivariat dilakukan terhadap dua variabel
yang di duga berhubungan, dengan tujuan untuk melihat apakah ada
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
Untuk membuktikan adanya hubungan antara dua variabel tersebut
dengan menggunakan uji statistik dengan uji Chi square dan odds
Ratio (OR).
Uji Chi square digunakan untuk menguji perbedaan proporsi antara
beberapa kelompok data sejenenis kategorik dengan derajat
kepercayaan 95% (p =0,05) dengan batas kepercayaan (α) 0,05,
apabila p value < α (0,05) berarti data sampel mendukung adanya
47