Anda di halaman 1dari 47

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Musculoskeletal Disorder (MSDs) adalah gangguan pada bagian otot skeletal
yang disebabkan oleh karena otot menerima beban statis secara berulang dan
terus menerus dalam jangka waktu yang lama dan akan menyebabkan
keluhan pada sendi, ligamen dan tendon. Musculoskeletal disorder (MSDs)
pada umumnya berupa bentuk nyeri, cidera, atau kelainan pada sistem otot-
rangka, meliputi pada jaringan saraf, tendon, ligamen, otot atau sendi. Bekerja
dengan rasa sakit dapat mengurangi produktivitas kerja dan apabila bekerja
dengan kesakitan ini diteruskan maka akan berakibat pada kecacatan yang
akhirnya menghilangkan pekerjaan bagi pekerjanya (Susianingsih, Hartanti,
Dewi, & Sujoso, 2014)
Menurut Self- Reported Work- Related Illness (SWI) di UK, Melaporkan
bahwa pada tahun 2009-2010 diperkirakan prevalensi 572.000 orang di
Inggris menderita gangguan Musculoskeletal yang disebabkan atau
diperburuk dengan pekerjaannya dimasa lalu (Fuady, 2013)
Di Indonesia, berdasarkan dari hasil studi Departemen Kesehatan tahun 2005,
terdapat sekitar 40,5% penyakit yang
1
diderita tenaga kerja sehubungan
dengan pekerjaan. Gangguan kesehatan yang dialami pekerja, menurut
penelitian yang dilakukan terhadap 482 pekerja di 12 kabupaten/kota di
Indonesia, 16% di antaranya berupa gangguan muskuloskeletal. Penelitian
Pusat Studi Kesehatan dan Ergonomi ITB tahun 2006-2007 memperoleh data
sekitar 40-80% pekerja melaporkan keluhan muskuloskeletal (Ramdan et al.,
2012)
Gangguan musculoskeletal dapat dialami oleh semua pekerja yang banyak
menggunakan tenaga fisik serta bekerja dengan posisi janggal dan statis
seperti pekerja laundry. Laundry adalah salah satu bagian instalasi yang
memberi jasa untuk mencuci berbagai jenis kain (Susianingsih et al., 2014)
2

Proses kerja pada pekerjaan laundry meliputi proses penimbangan, pencucian,


pengeringan, penyetrikaan dan pengemasan dengan posisi kerja yang tidak
ergonomis, kondisi tersebut sangat berisiko terjadi MSDs (Ulfah, Harwanti,
& Nurcahyo, 2014)
Secara pasti hubungan sebab dan akibat faktor penyebab timbulnya
MSDs sulit untuk dijelaskan, karena banyak faktor yang mempengaruhinya
dan dalam banyak kesempatan MSDs terjadi akibat dari kombinasi dari
berbagai faktor tersebut. Adapun faktor risiko yang biasanya muncul
memberikan kontribusi terhadap timbulnya MSDs dapat dikategorikan
dalam tiga kategori yaitu faktor pekerjaan, faktor individu dan faktor
lingkungan. Faktor pekerjaan meliputi: postur kerja (postur janggal dan
postur statis), beban kerja, penggunaan tenaga, pergerakan repetitif dan
karakteristik objek. Fakor karakteristik individu terdiri dari: umur, jenis
kelamin, kebiasaan merokok, kekuatan fisik, masa kerja dan Indeks Masa
Tubuh (IMT). Sedangkan faktor lingkungan terdiri dari: vibrasi/getaran dan
mikroklimat (Bukhori, 2010)
Berdasarkan survey awal yang dilakukan kepada 5 pekerja laundry dari
kecamatan tampan terdapat 4 (80%) pekerja memiliki gejala seperti
musculoskeletal disorder. Adapun gejala yang mereka rasakan seperti, Sakit
atau pegal-pegal dan kelelahan selama jam kerja.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk mengangkat
permasalahan tersebut untuk dijadikan sebuah penelitian dengan judul
“Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Musculoskeletal Disorder
Pada Pekerja Laundry di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru Tahun 2018”.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Faktor-Faktor apa yang
Berhubungan dengan Keluhan Musculoskeletal Disorder Pada Pekerja
Laundry di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru Tahun 2018?”.
3

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan
musculoskeletal disorder pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan
Kota Pekanbaru tahun 2018.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan umur dengan keluhan musculoskeletal
pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru Tahun
2018.
b. Untuk mengetahui hubungan indeks massa tubuh dengan keluhan
musculoskeletal pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan Kota
Pekanbaru Tahun 2018.
c. Untuk mengetahui hubungan beban kerja dengan keluhan
musculoskeletal pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan Kota
Pekanbaru Tahun 2018.
d. Untuk mengetahui hubungan masa kerja dengan keluhan
musculoskeletal pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan Kota
Pekanbaru Tahun 2018.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pekerja Laundry
Diharapkan dengan adanya penelitian ini bisa menjadi informasi dan
masukan pada pekerja laundry khususnya tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan keluhan musculoskeletal disorder pada pekerja
laundry di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru.
2. Bagi STIKes Payung Negeri Pekanbaru
Sebagai informasi meningkatkan pendidikan kesehatan, serta sebagai
masukan bagi penelitian selanjutnya khususnya bagi peminatan kesehatan
dan keselamatan kerja.
3. Bagi Peneliti
4

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk dijadikan bahan perbandingan


ataupun data mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan
musculoskeletal disorder pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan Kota
Pekanbaru.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis
1. Musculoskeletal Disorders (MSDs)
a. Definisi Musculoskeletal Disorders
Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah sekelompok kondisi
patologis yang mempengaruhi fungsi normal dari jaringan halus
sistem musculoskeletal yang mencakup syaraf, tendon, otot, dan
struktur penunjang seperti discus intervetebral. Istilah Musculoskeletal
Disorders (MSDs) pada beberapa negara mempunyai sebutan
berbeda, misalnya di Amerika istilah ini dikenal dengan nama
Cumulative Trauma Disorders (CTDs), di Inggris dan Australia
disebut dengan nama Repetitif Strain Injury (RSI), sedangkan di
Jepang dan Skandinavia dikenal dengan sebutan Occupational
Cervicubrachial Disorders (OCD) (Fuady, 2013)
Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan sekumpulan
gejala/gangguan yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon,
ligamen, kartilago, sistem saraf, struktur tulang, dan pembuluh darah.
MSDs pada awalnya menyebabkan sakit, nyeri, mati rasa, kesemutan,
bengkak, kekakuan, gemetar, gangguan tidur, dan rasa terbakar
(Bukhori, 2010)
Fokus penelitian dari MSDs adalah leher, bahu, punggung, lengan
atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan kaki. MSDs pada
awalnya menyebabkan gangguan tidur; mati rasa/sensasi terbakar
pada tangan, kekakuan atau bengkak, nyeri pada pergelangan tangan,
lengan, siku, leher atau punggung yang diikuti dengan rasa tidak
nyaman, rasa tegang yang menekan rasa sakit di kepala dan yang
berhubungan dengan penyakit, kering, gatal atau nyeri di mata,
penglihatan yang buram/ganda, rasa nyeri atau kaku, kram,

5
6

kesemutan, gemetar, lemah dan pucatnya daerah yang terserang;


menurunnya daya genggam tangan dan gerakan pada bahu,
leher/punggung, yang pada akhirnya mengakibatkan ketidakmampuan
seseorang untuk melakukan pergerakan dan koordinasi gerakan
anggota tubuh atau ekstrimitas sehingga dapat dilihat bahwa MSDs
akan mengakibatkan efisiensi kerja berkurang dan produktifitas kerja
menurun, hal ini akan berakibat pada ketidakmampuan seseorang
untuk melakukan gerakan dan koordinasi gerakan anggota tubuh
sehingga berakibat buruk pada efisiensi kerja dan produktivitas
kerjapun menurun (Fuady, 2013)

b. Anatomi dan Fisiologi Sistem Musculoskeletal


Sistem musculoskeletal meliputi tulang, persendian, otot, tendon, dan
bursa. Struktur tulang memberikan perlindungan terhadap organ-organ
penting dalam tubuh seperti jantung, paru, otak. Tulang berfungsi juga
memberikan bentuk serta tempat melekatnya otot sehingga tubuh kita
dapat bergerak, disamping itu tulang berfungsi sebagai penghasil sel
darah merah dan sel darah putih (tepatnya di sumsum tulang) dalam
proses yang disebut hematopoesis. Tubuh kita tersusun dari kurang
lebih 206 macam tulang dalam bentuk dan ukuran yang bermacam-
macam, dalam tubuh kita ada 4 kategori yaitu tulang panjang, tulang
pipih, tulang pendek dan tulang tidak beraturan (Judha, 2016).
Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25% berat
badan, dan otot menyusun kurang lebih 50%. Kesehatan dan baiknya
fungsi sistem musculoskeletal sangat tergantung pada sistem tubuh
yang lain. Struktur tulang memberi perlidungan terhadap oragan vital
termasuk otak, jantung dan paru. Kerangka tulang merupakan
kerangka yang kuat untuk menyangga struktur tubuh. Otot yang
melekat ke tulang memungkinkan tubuh bergerak. Matriks tulang
menyimpan kalsium, fosfor, magnesium dan fluor. Lebih dari 99 %
kalsium tubuh total terdapat dalam tulang (Smeltzer & Bare, 2002)
7

c. Gejala Musculoskeletal Disorders


Gejala yang menunjukkan tingkat keparahan MSDs (Oborne,1995)
dapat dilihat dari tingkatan sebagai berikut:
1) Tahap pertama
Timbulnya rasa nyeri dan kelelahan saat bekerja tetapi setelah
beristirahat akan pulih kembali dan tidak mengganggu kapasitas
kerja.
2) Tahap kedua
Rasa nyeri tetap ada setelah semalaman dan mengganggu waktu
istirahat.
3) Tahap ketiga
Rasa nyeri tetap ada walaupun telah istirahat yang cukup, nyeri
ketika melakukan pekerjaan yang berulang, tidur menjadi
terganggu, kesulitan menjalankan pekerjaan yang akhirnya
mengakibatkan terjadinya inkapasitas (Bukhori, 2010)

d. Jenis Musculoskeletal Disorders


Ada beberapa jenis Musculoskeletal Disorders yaitu:
1) Bursitis adalah kondisi peradangan pada lapisan bursal atau cairan
synovial yang terbungkus dalam bursa. Peradangan dari setiap
bursa dapat membatasi aktivitas. Peradangan pada cairan sinovial
dapatmenyebabkan bursa membesar.
2) Intersection Syndrom disebabkan oleh rusaknya tendon
pergelangan tangan yaitu di daerah ibu jari dan fleksi pergelangan
tangan atau pergelangan tangan yang mengalami fleksi dan
ekstensi berulang.
3) Tension Neck Syndrome adalah ketegangan pada otot leher yang
disebabkan oleh postur leher flexion kearah belakang dalam waktu
yang lama sehingga timbul gejala kekakuan pada otot leher,
kejang otot dan rasa sakit yang menyebar ke bagian leher.
8

4) Trigger Fingeri adalah rasa sakit dan ketidak nyaman pada bagian
jari-jari akibat tekanan yang berulang pada bagian jari-jari (pada
saat menggunakan alat kerja yang memiliki pelatuk) yang
menekankan tendon secara terus menerus hingga ke jari-jari.
5) Focal Hand Dystonia adalah kram tangan yang dialami oleh
penulis atau pemusik.
6) Carpal Tunnel Syndrome (CTS) yaitu tekanan pada syaraf tengah
yang terletak dipergelangan tangan yang dikelilingi jaringan dan
tulang penekanan tersebut disebabkan oleh pembengkakan dan
iritasi dari tendon dan penyelubuh tendon. Gejalanya seperti sakit
pada pergelangan tangan, perasaan tidak nyaman pada jari-jari dan
mati rasa/kebas. CTS dapat menyebabkan seseorang kesulitan
menggenggam.
7) Tendinitis merupakan peradangan (pembengkakan) hebat atau
iritasi pada tendon, biasanya terjadi pada titik dimana otot melekat
pada tulang. Keadaan tersebut akan semakin berkembang ketika
tendon terus menerus digunakan untuk mengerjakan hal-hal yang
tidak biasa (penggunaan berlebihan atau postur janggal pada
tangan, pergelangan, lengan dan bahu). Seperti tekanan yang kuat
pada tangan, membengkokkan pergelangan tangan selama bekerja
atau menggerakkan pergelangan tangan selama bekerja, atau
menggerakkan pergelangan tangan secara berulangjika ketegangan
otot tangan ini terus berlangsung akan menyebabkan tendinitis
(Budiman, 2015)

e. Dampak Musculoskeletal Disorders


Suma’mur (1989) menjelaskan, bahwa keluhan-keluhan pada tulang
belakang yang dialami pekerja jika terus dibiarkan berpeluang besar
menyebabkan dislokasi bagian tulang punggung yang menimbulkan
rasa sangat nyeri dan bisa irreversible serta fatal. Rasa sakit yang
mengganggu sistem muskuloskeletal pada saat bekerja dapat
9

menyebabkan pecahnya lempeng dan bahan atau bagian dalam yang


menonjol keluar serta mungkin menekan saraf-saraf di sekitarnya, hal
tersebut yang menyebabkan cidera atau bahkan menyebabkan
kelumpuhan. Rasa nyeri pada tubuh juga secara psikologis dapat
menyebabkan menurunnya tingkat kewaspadaan dan kelelahan akibat
terhambatnya fungsi-fungsi kesadaran otak dan perubahan-perubahan
pada organ-organ di luar kesadaran sehingga berpotensi menimbulkan
kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Sedangkan pada aspek ekonomi perusahaan, dampak yang
diakibatkan oleh MSDs yaitu:
1) Pada aspek produksi yaitu berkurangnya output, kerusakan
material, produk yang hasil akhirnya menyebabkan tidak
terpenuhinya deadline produksi, pelayanan yang tidak
memuaskan, dll.
2) Biaya yang timbul akibat absensi pekerja yang akan menyebabkan
penurunan keuntungan, biaya untuk pelatihan karyawan baru yang
menggantikan karyawan yang sakit, biaya untuk menyewa jasa
konsultan atau agensi.
3) Biaya pergantian karyawan (turn over) untuk recruitment dan
pelatihan.
4) Biaya lainnya (opportunity cost) (Bukhori, 2010)

f. Pengendalian Keluhan Musculoskeletal Disorders


Pengendalian pada umumnya terbagi menjadi tiga :
1. Mengurangi atau mengeliminasi kondisi yang berpotensi
bahaya menggunakan pengendalian teknik.
2. Mengubah dalam praktek kerja dan kebijkan manajemen yang
sering disebut pengendalian administratif.
3. Menggunakan alat pelindung diri.
Agar tidak mengalami risiko MSDs pada saat melakukan pekerjaan,
maka ada beberapa hal yang harus dihindari. Hal tersebut adalah :
10

1. Jangan memutar atau membungkukkan badan ke samping.


2. Jangan menggerakkan, mendorong atau menarik secara
sembarangan, karena dapat meningkatkan risiko cidera.
3. Jangan ragu meminta tolong pada orang.
4. Apabila jangkauan tidak cukup, jangan memindahkan barang.
5. Apabila barang yang hendak dipindahkan terlalu berat, jangan
melanjutkan.
6. Lakukan senam/peregangan otot sebelum bekerja (Zulfiqor,
2010)

g. Pemeriksaan Penunjang Sistem Musculoskeletal


1) Pemeriksaan sinar rontgen
Tujuannya untuk menentukan struktur, masa tulang tekstur serta
perubahan tulang dan persendian untuk penegakan diagnosa.
Pemeriksaan dilakukan tanpa prosedur khusus.
2) CT Scan
a) Menunjukkan tincian bidang tertentu tulang yang terkena dan
dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cedera
ligament atau tendon.
b) Pemeriksaan yang dilakukan bisa menggunakan kontras
ataupun tanpa kontras.
c) Prosedur yang dilakukan: puasa 4 jam sebelum prosedur,
melepas perhiasan dan objek logam lain, penyuntikan kontras
diikuti minum. Setelah 1-3 jam dilakukan prosedur scan,
jangan lupa penandatanganan informed concent sebelum
tindakan.
3) MRI / Magnetic Resonance Imaging
a) Teknik pencitraan khusus dengan menggunakan medan
magnet, gelombang radio dan komputer.
11

b) Memperlihatkan pendeteksian tumor, abnormalitasan atau


penyempitan jalur jaringan lunak yang melalui tulang.
c) Pada saat prosedur lepas semua jenis perhiasan.
d) Hati-hati pada pasien klostrofobia.
4) Biopsy tulang atau biopsi otot
a) Menentukan struktur dan komposisi tulang, otot, sendi untuk
penegakan diagnosa medis.
b) Prosedur ini harus ada lembar persetujuan.
c) Lakukan elevasi bagian tersebut selama 24 jam.
d) Berikan ice pack untuk mencegah hematome.
e) Monitor vital sign dan pendarahan.
f) Jelaskan bahwa prosedur tersebut menimbulkan rasa kurang
nyaman.
5) Artografi
a) Penyuntikan bahan radiophage atau udara ke dalam rongga
sendi untuk melihat struktur jaringan lunak dan kontur sendi
yang trauma.
b) Prosedur yang dilakukan anastesi lokal, puasa 8 jam sebelum
prosedur, tanda tangan informed concent, minimalkan aktivitas
12 jam setelah tindakan, informasikankemungkinan terjadi
edema 1-2 hari, beri ice pack (Judha, 2016).

2. Faktor Risiko Musculoskeletal Disorders


Hubungan sebab akibat faktor penyebab timbulnya MSDs sulit untuk
dijelaskan secara pasti. Namun ada beberapa faktor risiko tertentu yang
selalu ada dan berhubungan atau turut berperan dalam menimbulkan
MSDs. Faktor-faktor risiko tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga
kategori yaitu pekerjaan, lingkungan dan manusia atau pekerja (Zulfiqor,
2010)
a. Faktor Pekerjaan
1) Postur Kerja
12

a) Postur janggal
Postur janggal adalah deviasi dari gerakan tubuh atau anggota
gerak yang dilakukan oleh pekerja saat melakukan aktifitas
kerja secara berulang-ulang dan dalam waktu yang relatif
lama. Gerakan postur janggal merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya gangguan, penyakit, atau cedera pada sistem
otot rangka. Gangguan, penyakit, atau cidera pada sistem
musculoskeletal hampir tidak pernah terjadi secara langsung,
akan tetapi lebih merupakan suatu akumulasi dari benturan
kecil maupun besar secara terus-menerus dan dalam jangka
waktu yang relatif lama.
Dalam ukuran jarak atau dimensi pada dasarnya setiap orang
memiliki keinginan untuk melakukan kegiatannya dalam
postur yang optimal. Postur tubuh yang tidak stabil (tidak
alamiah) menunjukan bukti yang kuat sebagai faktor yang
berkontribusi terhadap MSDs dan menimbulkan terjadinya
gangguan leher, punggung dan bahu.
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang
menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi
posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat,
punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dsb. Semakin
jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka
semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot skeletal.
Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena
karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak
sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja.
Postur janggal pada leher:
(1) Menunduk ke arah depan sehingga sudut yang di bentuk
oleh garis vertikal dengan sumbu ruas tulang leher > 20o.
(2) Tengadah, setiap postur dari leher yang mendongak ke atas
atau ekstensi.
13

(3) Miring, setiap gerakan dari leher yang miring, baik ke


kanan maupun ke kiri, tanpa melihat besarnya sudut yang
dibentuk oleh garis vetikal dengan sumbu dari ruas tulang
leher.
(4) Rotasi leher, setiap postur leher yang memutar, baik ke
kanan dan atau ke kiri, tanpa melihat berapa derajat
besarnya rotasi yang dilakukan.
Postur janggal pada punggung :
(1) Membungkuk, postur punggung membungkukkan badan
hingga membentuk sudut 20o terhadap vertikal dan
berputar.
(2) Rotasi badan, berputar (twisting) adalah adanya rotasi dan
torsi pada tulang punggung (gerakan, postur, posisi badan
yang berputar baik ke arah kanan, kiri) dimana garis
vertikal menjadi sumbu tanpa memperhitungkan berapa
derajat besarnya rotasi yang dilakukan.
(3) Miring, memiringkan badan (bending) dapat didefinisikan
sebagai fleksi dari tulang punggung, deviasi bidang
median badan dari garis vertikal, tanpa memperhitungkan
besarnya sudut yang dibentuk, biasanya dalam arah ke
depan atau ke samping.
Untuk postur janggal pada kaki adalah bertumpu di atas satu
kaki atau tidak seimbang. Sedangkan postur janggal pada
bahu :
(1) Aduksi adalah posisi bahu menjahui garis tengah atau
vertikal tubuh.
(2) Fleksi adalah posisi bahu diangkat menuju kearah vertikal
tubuh, depan dada.
(3) Ekstensi adalah posisi bahu menjauhi arah vertikal tubuh,
atau lengan berada di belakang badan.
Postur janggal pada lengan:
14

(1) Fleksi adalah posisi lengan bawah diangkat menuju kearah


vertikal tubuh, depan dada. Fleksi penuh pada siku terkuat
pada sudut 90o.
(2) Ekstensi adalah posisi lengan bawah menjauhi arah
vertikal tubuh, atau lengan berada dibelakang badan.
Ekstensi penuh pada siku adalah besarnya sudut yang
dibentuk oleh sumbu lengan atas dan sumbu lengan bawah
>135o.
Postur janggal pada pergelangan tangan :
(1) Deviasi radial adalah postur tangan yang miring ke arah
ibu jari.
(2) Deviasi ulnar adalah postur tangan yang mering ke arah
kelingking.
(3) Ekstensi pergelangan tangan adalah posisi tangan yang
menekuk ke arah punggung tangan di ukur dari sudut yang
dibentuk oleh lengan bawah dan sumbu tangan sebesar >
45o.
(4) Fleksi pergelangan tangan adalah posisi tangan yang
menekuk kearah telapak, diukur dari sudut yang dibentuk
oleh lengan bawah dan sumbu tangan sebesar >45o.
Perputaran (rotasi) pergelangan tangan yang berisiko adalah
melakukan perputaran keluar (supinasi) daripada perputaran
ke dalam (pronasi).
b) Postur Statis
Postur statis yaitu pada saat persendian tidak bergerak. Hal
tersebut tidak hanya membatasi pemasukan nutrisi dan
oksigen, tetapi juga membatasi pembuangan metabolisme.
Oleh sebab itu, postur statis sangat dianjurkan untuk dihindari.
Postur statis merupakan postur saat kerja fisik dalam posisi
yang sama dimana pergerakan yang terjadi sangat minimal.
Kondisi ini memberikan peningkatan beban pada otot dan
15

tendon yang menyebabkan kelelahan. Aliran darah yang


membawa nutrisi dan oksigen, serta pengangkutan sisa
metabolisme pada otot terhalang. Gerakan yang dipertahankan
> 10 detik dinyatakan sebagai postur statis.
Posisi tubuh dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan
kelelahan jika dipertahankan untuk jangka waktu yang lama.
Berdiri misalnya, adalah postur tubuh alami, dan dengan
sendirinya tidak menimbulkan bahaya kesehatan tertentu.
Namun, bekerja untuk waktu lama dalam posisi berdiri dapat
menyebabkan sakit kaki, kelelahan otot umum, dan sakit
punggung (OSHA, 2002).

2) Beban Kerja
Menurut Soekidjo Notoatmodjo eban kerja adalah setiap pekerjaan
yang memerlukan otot atau pemikiran yang merupakan beban bagi
pelakunya beban tersebut meliputi beban fisik, mental ataupun
beban sosial sesuai dengan jenis pekerjaanya (Wiyatno, 2011)
Beban merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
gangguan otot rangka. Menurut Departemen Kesehatan (2009)
mengangkat beban sebaiknya tidak melebihi dari aturan yaitu laki-
laki dewasa sebesar 15-20 kg dan wanita sebesar 12-15 kg.

3) Penggunaan Tenaga
Pekerjaan membutuhkan penggunaan tenaga untuk menempatkan
beban yang tinggi untuk otot, tendon, ligamen, dan sendi.
Pekerjaan yang menggunakan tenaga besar dapat membebani
otot, tendon, ligamen, dan sendi. Peregangan otot yang berlebihan
pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas
kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas
mengangkat, mendorong, menarik, dan menahan beban yang
berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena
16

pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan


optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat
mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat
menyebabkan cideranya otot skeletal (tarwaka et al, 2004).
Dalam banyak peristiwa, tenaga akan menjadi paling besar jika
sebanyak-banyaknya otot berkontraksi. Sikap tubuh yang
bertalian dengan pengerahan tenaga yang paling besar dengan
pengerahan tenaga yang paling besar bagi gerakan-gerakan
tertentu adalah sebagai berikut (Suma’mur, 1989):
a) Rotasi (perputaran) tangan ke arah dalam paling kuat jika
dimulai dengan telapak tangan berada pada keadaan rotasi
ke luar secara penuh (supsinasi penuh)
b) Rotasi tangan ke arah luar paling kuat jika dimulai dengan
telapak tangan berada pada keadaan rotasi ke dalam secara
penuh (rotasi penuh)
c) Ekstensi siku (perentangan lengan terhadap siku) paling
kuat jika dimulai pada posisi fleksi penuh
d) Fleksi siku (dengan tangan terbuka) terkuat pada sudut 90°
(efek pengungkit)
e) Pada pekerjaan mendorong dengan tangan sambil duduk,
kekuatan terbesar didapat pada keadaan siku bersudut 150-
160° dan dengan pegangan tangan pada jarak kira-kira 66
cm dari daratan sandaran pinggang
f) Sambil duduk, kekuatan mendorong lebih besar dari pada
menarik, apabila sandaran pinggang dan injakan kaki
disediakan dengan memadai. Kekuatan menarik terbesar
didapat dengan lengan pada keadaan ekstensi dan
pegangan tangan diantara 18-23 cm di atas dataran duduk
g) Secara ungkitan, tenaga terbesar dalam posisi duduk
diperoleh jika pegangan tangan berada pada ketinggian
17

diantara bahu dan siku, sedangkan pada posisi berdiri


pegangan harus setinggi bahu.
h) Pada posisi berdiri, kekuatan lebih besar pada menarik ke
belakang daripada mendorong ke depan. Gerakan-gerakan
ke depan lebih kuat pada kegiatan mendorong daripada
kegiatan menarik.
i) Sambil duduk, kekuatan terhadap pedal terbesar didapat
pada fleksi lutut 160° dan fleksi sendi kaki 120°. Sikap
istirahat terbesar diperoleh dengan fleksi lutut 105-135°.
Penggunaan tenaga akan semakin besar, jika gerakan
tubuh yang membutuhkan pengerahan tenaga ditambah
dengan berat beban objek yang harus diangkat. Menurut
ILO, beban maksimum yang diperbolehkan untuk
diangkat oleh seseorang adalah 23-25 kg. Mengangkat
beban yang terlalu berat akan mengakibatkan tekanan
diskus pada tulang belakang. Selain itu, berat beban juga
dapat menyebabkan kelelahan karena dipicu peningkatan
tekanan pada diskus intervertebralis (Bridger, 1995).

Risiko yang berkaitan dengan berat beban perlu memperhatikan


durasi dan frekuensi beban yang akan ditangani. Tangan, siku,
bahu dan kaki hanya diperbolehkan mengangkat beban kurang
dari 4,5 kg. Sedangkan beban yang dijepit pada tangan tidak
boleh melebihi 0,9 kg dengan durasi tidak lebih dari 10 detik.
Durasi pada kaki tidak boleh dilakukan lebih dari 30% per hari
(Humantech, 1995).

4) Pergerakan Repetitif
Pergerakan repetitif pada aktifitas pekerjaan yang sama dapat
memperburuk akibat dari postur kerja janggal dan gangguan
tenaga. Tendon dan otot dapat memperbaiki efek peregangan atau
18

penggunaan tenaga jika waktu yang dibagikan cukup dalam


penggunaannya. Bagaimanapun jika pergerakan meliputi otot
yang sama sering diulang, tanpa istirahat, kelelahan, dan
ketegangan, dapat terakumulasi menghasilkan kerusakan jaringan.
Pekerjaan repetitif dapat menyebabkan nyeri akibat akumulasi
sampah metabolisme dalam otot. Otot akan melemah dan spasme,
yang biasanya terjadi pada tangan/lengan bawah ketika
melakukan pekerjaan repetitif. Dengan demikian pekerjaan yang
mengharuskan melakukan kegiatan berulang, gerakan yang kasar
dan kuat termasuk pekerjaan yang berisiko tinggi (Kroemer,1989
dalam Bridger, 1995).
Aktivitas berulang (Tarwaka et al, 2004) adalah pekerjaan yang
dilakukan secara terus menerus seperti pekerjaan mencangkul,
membelah kayu besar, angkat-angkut dsb. Keluhan otot terjadi
karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus
menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.
Menurut Sue Hignett dan Mc. Atamney (2000) penggunaan otot
berisiko apabila diindikasikan melakukan gerakan statis lebih dari
1 menit atau gerakan yang dilakukan berulang-ulang sebanyak 4x
atau lebih dalam satu menit. Oleh karena itu, perlu diatur waktu-
waktu istirahat khusus agar kemampuan kerja dan kesegaran
jasmani tetap dapat dipertahankan dalam batas-batas toleransi
untuk mencegah terjadinya kelelahan, penurunan kemampuan
fisik dan memberi kesempatan tubuh untuk melakukan pemulihan
atau penyegaran (Tarwaka et al, 2004).

5) Karakteristik Objek
Karakteristik objek yang menjadi faktor risiko cidera otot skeletal
antara lain:
a) Besar dan bentuk objek
19

Ukuran dan bentuk objek ikut mempengaruhi terjadinya


gangguan otot rangka. Ukuran objek harus cukup kecil agar
dapat diletakkan sedekat mungkin dari tubuh. Lebar objek
yang besar dapat membebani otot bahu lebih dari 300-400
mm, pajang lebih dari 350 mm dengan ketinggian lebih dari
450 mm. Sedangkan bentuk objek yang baik harus memiliki
pegangan, tidak ada sudut tajam dan tidak dingin atau panas
saat diangkat. Mengangkat objek tidak boleh hanya dengan
mengandalkan kekuatan jari, karena kemampuan otot jari
terbatas sehingga dapat cidera pada jari.

b) Genggaman tangan
Kegiatan menggenggam dapat dibagi menjadi dua kategori
utama yaitu:
(1) Power grip : dimana jari dapat menggenggam benda
dengan fleksibel dan mengapit dalam telapak tangan.
(2) Pinch grip : dimana objek ditahan dengan ujung ibu jari
dan satu atau lebih jari lain, seperti saat menggunakan
ujung jari, mencubit, menggenggam kunci, pena dan lain-
lain (Bukhori, 2010)

b. Faktor Individu
1) Umur
Menurut Oborne (1995) keluhan otot skeletal biasanya dialami
seseorang pada usia kerja yaitu 24-65 tahun. Keluhan pertama
biasa dialami pada usia 35 tahun dan tingkat keluhan akan
meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Sedangkan
menurut Bridger (2003), sejalan dengan meningkatnya usia akan
terjadi degenerasi pada tulang dan keadaan ini mulai terjadi di saat
seseorang berusia 30 tahun. Pada usia 30 tahun terjadi degenerasi
yang berupa kerusakan jaringan, penggantian jaringan menjadi
20

jaringan parut, pengurangan cairan sehingga hal tersebut


menyebabkan stabilitas pada tulang dan otot menjadi berkurang.
Berdasarkan hasil penelitian Collins dan O'Sullivan (2009) yang
dilakukan pada 200 perempuan dan 132 laki-laki dengan jenis
pekerjaan yang berbeda di Irlandia dan rentang umur antara 18-66
tahun, diperoleh keluhan pada tulang belakang, bahu dan bagian
leher lebih banyak dialami pada pekerja yang muda daripada
pekerja yang tua. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian
Mathiowetz et al. (1985) dalam NIOSH (1997), diperoleh tidak
ada hubungan antara munculnya keluhan MSDs dengan usia
pekerja, hal tersebut dibuktikan bahwa pada tangan pekerja yang
sudah tua tidak mengalami penurunan kekuatan ototnya. Torell er
al. (1988) menemukan bahwa tidak ada hubungan antara keluhan
MSDs dengan usia, akan tetapi mereka hubungan yang sangat kuat
antara beban kerja (dengan kategori rendah, sedang, berat) dengan
gejala atau diagnosis MSDs.

2) Jenis kelamin
Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli
tentang pengaruh jenis kelamin terhadap resiko keluhan otot
skeletal, namun beberapa hasil penelitian secara signifikan
menunjukkan bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat
resiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis,
kemampuan otot wanita memang lebih rendah daripada pria.
Astrand & Rodahl (1977) menjelaskan bahwa kekuatan otot
wanita hanya sekitar dua pertiga dari kekuatan otot pria, sehingga
daya tahan otot pria pun lebih tinggi dibandingkan dengan wanita.
Hasil penelitian Betti’e at al. (1989) menunjukkan bahwa rerata
kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60 % dari kekuatan otot
pria, khususnya untuk otot lengan, punggung dan kaki. Hal ini
diperkuat oleh hasil penelitian Chiang et al. (1993), Bernard et al.
21

(1994), Hales et al. (1994) dan Johanson (1994) yang menyatakan


bahwa perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah
1:3. Dari uraian tersebut di atas, maka jenis kelamin perlu
dipertimbangkan dalam mendesain beban tugas (Tarwaka et al,
2004).

3) Kebiasaan merokok
Sama halnya dengan jenis kelamin, kebiasaan merokok pun masih
dalam taraf perdebatan para ahli. Namun dari penelitian oleh para
ahli diperoleh bahwa meningkatnya frekuensi merokok akan
meningkatkan keluhan otot yang dirasakan. Meningkatnya
keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat
kebiasaan merokok. Risiko meningkat 20% untuk tiap 10 batang
rokok per hari. Mereka yang telah berhenti merokok selama
setahun memiliki risiko LBP sama dengan mereka yang tidak
merokok. Kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas paru-
paru, sehingga kemampuannya untuk mengkonsumsi oksigen akan
menurun. Bila orang tersebut dituntut untuk melakukan tugas yang
menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena
kandungan oksigen dalam darah rendah (Jeanie Croasmun. 2003).
Sedangkan menurut Bustan (2000), kebiasaan merokok dibagi
menjadi 4 kategori yaitu, kebiasaan merokok berat (> 20
batang/hari), sedang (10-20 batang/hari), ringan (< 10 batang/hari)
dan tidak merokok. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh
Annuals of Rheumatic Diseases (Croasmun, 2003) terhadap
13.000 perokok dan non perokok dengan rentang umur antara 16
s.d 64 tahun, dilaporkan bahwa perokok memiliki risiko 50 %
lebih besar untuk merasakan MSDs. Hal ini dikarenakan efek
rokok akan menciptakan respon rasa sakit atau sebagai permulaan
rasa sakit, mengganggu penyerapan kalsium pada tubuh sehingga
meningkatkan risiko terkena osteoporosis, menghambat
22

penyembuhan luka patah tulang serta menghambat degenerasi


tulang.

4) Kekuatan fisik
Sama halnya dengan beberapa faktor lainnya, hubungan antara
kekuatan fisik dengan resiko keluhan otot skeletal juga masih
diperdebatkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan, namun penelitian lainnya menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara kekuatan fisik dengan keluhan
otot skeletal. Chaffin and Park (1973) yang dilaporkan oleh
NIOSH menemukan adanya peningkatan keluhan punggung yang
tajam pada pekerja yang melakukan tugas yang menuntut
kekuatan melebihi batas kekuatan otot pekerja. Bagi pekerja yang
kekuatan ototnya rendah, resiko terjadinya keluhan tiga kali lipat
dari yang mempunyai kekuatan tinggi. Sementara itu, Betti’e et al.
(1990) menemukan bahwa pekerja yang sudah mempunyai
keluhan pinggang mampu melakukan pekerjaan seperti pekerja
lainnya yang belum memiliki keluhan pinggang.
Terlepas dari perbedaan kedua hasil penelitian tersebut di atas,
secara fisiologis ada yang dilahirkan dengan struktur otot yang
mempunyai kekuatan fisik lebih kuat dibandingkan dengan yang
lainnya. Dalam kondisi kekuatan yang berbeda ini, apabila harus
melakukan pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot, jelas
yang mempunyai kekuatan rendah akan lebih rentan terhadap
resiko cedera otot. Namun untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak
memerlukan pengerahan tenaga, maka faktor kekuatan fisik
kurang relevan terhadap resiko keluhan otot skeletal (Tarwaka et
al, 2004).

5) Masa kerja
23

Masa kerja adalah panjangnya waktu terhitung mulai pertama kali


pekerja masuk kerja hingga saat penelitian berlangsung. Masa
kerja memiliki hubungan yang kuat dengan keluhan otot dan
meningkatkan risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs), terutama
untuk pekerjaan yang menggunakan kekuatan kerja yang tinggi
(Bukhori, 2010)
Pekerja dengan lama bekerja lebih dari 3 tahun mempunyai reisiko
yang lebih tinggi untuk terjadinya kelelahan dan keluhan otot
dibandingkan masa kerja kurang dari atau sama dengan 3 tahun
(Mawadi, 2016)

6) Indeks Masa Tubuh (IMT)


Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan, tinggi badan dan
massa tubuh merupakan faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya keluhan otot skeletal. Vessy et al (1990) menyatakan
bahwa wanita yang gemuk mempunyai resiko dua kali lipat
dibandingkan wanita kurus. Hal ini diperkuat oleh Werner et al
(1994) yang menyatakan bahwa bagi pasien yang gemuk (obesitas
dengan masa tubuh >29) mempunyai resiko 2,5 lebih tinggi
dibandingkan dengan yang kurus (masa tubuh <20), khususnya
untuk otot kaki. Temuan lain menyatakan bahwa pada tubuh yang
tinggi umumnya sering menderita keluhan. sakit punggung, tetapi
tubuh tinggi tidak mempunyai pengaruh terhadap keluhan pada
leher, bahu dan pergelangan tangan.
Apabila dicermati, keluhan otot skeletal yang terkait dengan
ukuran tubuh lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan
struktur rangka di dalam menerima beban, baik beban berat tubuh
maupun beban tambahan lainnya. Sebagai contoh, tubuh yang
tinggi pada umumnya mempunyai bentuk tulang yang langsing
sehingga secara biomekanik rentan terhadap beban tekan dan
rentan terhadap tekukan, oleh karena itu mempunyai resiko yang
24

lebih tinggi terhadap terjadinya keluhan otot skeletal (Tarwaka et


al, 2004)

Gambar 2.1 Rumus Menghitung IMT

Sumber: Hello Sehat


c. Faktor Lingkungan
1) Getaran
Getaran mempunyai parameter yang hampir sama dengan bising
seperti: frekuensi,amplitudo,lama pajanan dan apakah sifat getaran
terus menerus atau intermitten. Metode kerja dan keterampilan
memegang peranan penting dalam efek yag berbahaya. Pekerjaan
manual menggunakan ”powered tool” berasosiasi dengan gejalan
ganguan peredaran darah yang dikenal sebagai “raynaud’s
phenomenon” atau “fibration-induced white finger” (VWF).
Peralatan yang menimbulkan getaran juga dapat memberi efek
negatif pada sistem saraf dan sistem musculoskeletal dengan
mengurangi kekuatan cengkram dan sakit tulang belakang. Contoh
: loaders, forklift truck, pneumatic tools, chain saws (Sucipto,
2014)
25

2) Mikroklimat
Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan
kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja, sehingga gerakannya
menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya
kekuatan otot (NIOSH, 1997).
Berdasarkan hasil penelitian John (2007), sebuah rentang suhu
nyaman pada umumnya adalah 68-74 derajat Fahrenheit dan
dipengaruhi juga oleh beban kerja fisik dengan kelembaban antara
20 sampai 60 persen.

3) Pencahayaan
Pencahayaan sangat mempengaruhi manusia untuk melihat obyek
secara jelas dan tepat tanpa menimbulkan kesalahan. Pencahayaan
yang kurang mengakibatkan mata pekerja menjadi cepat lelah
karena mata akan berusaha melihat dengan cara membuka mata
lebar-lebar. Intensitas cahaya untuk membaca sekitar 300-700 lux,
pekerjaan di kantor 400-600 lux, pekerjaan yang memerlukan
ketelitian 800-1200 lux dan pekerjaan di gudang 80-170 lux.
Berdasarkan hasil penelitian Spinger (2007), diperoleh bahwa
mengurangi cahaya silau di tempat kerja dapat meningkatkan
produktifitas sebanyak 7%, sehingga ketika seseorang bekerja di
depan komputer dapat bertahan hingga 8-12 jam (Zulfiqor, 2010)

3. Metode Penilaian Postur Kerja


a. RULA (Rapid Upper Limb Assessment)
RULA merupakan alat untuk mengevaluasi faktor-faktor risiko postur,
interaksi otot statis, gerakan repititif, dan gaya yang digunakan untuk
suatu pekerjaan teretntu. Setiap faktor memiliki kontribusi masing-
masing terhadap satu nilai yang dihitung. Nilai-nilai tersebut dijumlah
dan diterapkan pada tabel untuk menentukan grand score. Grand score
26

menunjukkan sejauh mana pekerja terpapar faktor-faktor risiko di atas


dan berdasarkan nilai tersebut, dapat disarankan tindakan yang perlu
diambil.
Rapid Upper Limb Assesment adalah metode yang dikembangkan
dalam bidang ergonomi yang menginvestigasi dan menilai posisi kerja
yang dilakukan oleh tubuh bagian atas. Peralatan ini tidak
memerlukan piranti khusus dalam memberikan suatu pengukuran
postur leher, punggung dan tubuh bagian atas, sejalan dengan fungsi
otot dan beban eksternal yang ditopang oleh tubuh.
Penilaian dengan menggunakan RULA membutuhkan waktu sedikit
untuk melengkapi dan melakukan scoring general pada daftar aktivitas
yang mengindikasikan perlu adanya pengurangan risiko yang
diakibatkan pengangkatan fisik yang dilakukan operator. RULA
diperuntukkan pada bidang ergonomi dengan bidang cakupan yang
luas.
RULA dikembangkan untuk memenuhi tujuan sebagai berikut:
1) Memberikan suatu metode pemeriksaan populasi pekerja secara
cepat, terutama pemeriksaan paparan (exposure) terhadap risiko
gangguan bagian tubuh atas yang disebabkan karena bekerja.
2) Menentukan penilaian gerakan-gerakan otot yang dikaitkan
dengan postur kerja, mengeluarkan tenaga, dan melakukan kerja
statis dan repetitif yang mengakibatkan kelelahan otot.
3) Memberikan hasil yang dapat digunakan pada pemeriksaan atau
pengukuran ergonomi yang mencakup faktor-faktor fisik,
epidemiologis, mental, lingkungan dan faktor organisional dan
khususnya mencegah terjadinya gangguan pada tubuh bagian atas
akibat kerja.
b. REBA (Rapid Entire Body Assessment)
REBA atau Rapid Entire Body Assessment dikembangkan oleh Dr.
Sue Hignett dan Dr. Lynn Mc Atamney yang merupakan ergonom
dari universitas di Nottingham (University of Nottingham’s Institute
27

of Occuptaional Ergonomic). Rapid Entire Body Assissment (REBA)


adalah suatu metode dalam bidang ergonomi yang digunakan secara
cepat untuk menilai postur leher, punggung, lengan, pergelangan
tangan dan kaki seorang pekerja. Metode ini juga dilengkapi dengan
faktor coupling, beban eksternal, dan aktivitas kerja. Penilaian dengan
menggunakan REBA tidak membutuhkan waktu yang lama untuk
melengkapi dan melakukan scoring general pada daftar aktivitas yang
mengindikasikan perlu adanya pengurangan resiko yang diakibatkan
postur kerja operator (Mc Atamney, 2000).
Dalam metode ini, segmen-segmen tubuh dibagi menjadi dua grup,
yaitu grup A dan Grup B. Grup A terdiri dari punggung (batang
tubuh), leher dan kaki. Sedangkan grup B terdiri dari lengan atas,
lengan bawah dan pergelangan tangan. Penentuan skor REBA, yang
mengindikasikan level resiko dari postur kerja, dimulai dengan
menentukan skor A untuk postur-postur grup A ditambah dengan skor
beban (load) dan skor B untuk postur-postur grup B ditambah dengan
skor coupling. Kedua skor tersebut (skor A dan B) digunakan untuk
menentukan skor C. Skor REBA diperoleh dengan menambahkan
skor aktivitas pada skor C. Dari nilai REBA dapat diketahui level
resiko cedera. Pengembangan Rapid Entire Body Assissment (REBA)
terdiri atas 3 (tiga) tahapan, yaitu:
1) Mengidentifikasikan kerja
2) Sistem pemberian skor
3) Skala level tindakan yang menyediakan sebuah pedoman pada
tingkat yang ada, dibutuhkan untuk mendorong penilaian yang
lebih detail berkaitan dengan analisis yang didapat.
REBA dikembangkan tanpa membutuhkan piranti khusus. Ini
memudahkan peneliti untuk dapat dilatih dalam melakukan
pemeriksaan dan pengukuran tanpa biaya peralatan tambahan.
Pemeriksaan REBA dapat dilakukan di tempat yang terbatas tanpa
menggangu pekerja. Pengembangan REBA terjadi dalam empat tahap.
28

Tahap pertama adalah pengambilan data postur pekerja dengan


menggunakan bantuan video atau foto, tahap kedua adalah penentuan
sudut–sudut dari bagian tubuh pekerja, tahap ketiga adalah penentuan
berat benda yang diangkat, penentuan coupling, dan penentuan
aktivitas pekerja. Dan yang terakhir, tahap keempat adalah
perhitungan nilai REBA untuk postur yang bersangkutan. Dengan
didapatnya nilai REBA tersebut dapat diketahui level resiko dan
kebutuhan akan tindakan yang perlu dilakukan untuk perbaikan kerja.
Penilaian postur dan pergerakan kerja menggunakan metode REBA
melalui tahapan-tahapan sebagai berikut (Hignett dan McAtamney,
2000) :
1) Pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan
bantuan video atau foto untuk mendapatkan gambaran sikap
(postur) pekerja dari leher, punggung, lengan, pergelangan
tangan hingga kaki secara terperinci dilakukan dengan
merekam atau memotret postur tubuh pekerja. Hal ini
dilakukan supaya peneliti mendapatkan data postur tubuh
secara detail (valid), sehingga dari hasil rekaman dan hasil foto
bisa didapatkan data akurat untuk tahap perhitungan serta
analisis selanjutnya.
2) Penentuan sudut-sudut dari bagian tubuh pekerja. Setelah
didapatkan hasil rekaman dan foto postur tubuh dari pekerja
dilakukan perhitungan besar sudut dari masing-masing
segmen tubuh yang meliputi punggung (batang tubuh), leher,
lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan kaki. Pada
metode REBA segmen-segmen tubuh tersebut dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu grup A dan B. Grup A meliputi punggung
(batang tubuh), leher dan kaki. Sementara grup B meliputi
lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Dari data
sudut segmen tubuh pada masing-masing grup dapat diketahui
skornya, kemudian dengan skor tersebut digunakan untuk
29

melihat tabel A untuk grup A dan tabel B untuk grup B agar


diperoleh skoruntuk masing–masing tabel.
Penilaian posisi leher yaitu skor 1 (posisi leher 0o-20o ke depan), skor
2 (posisi leher >20oke depan dan ke belakang), skor + 1 (jika leher
berputar atau miring ke kanan dan atau ke kiri, serta ke atas dan atau
ke bawah).
Gambar 2.2 Penilaian Grup A Posisi Leher

Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assesment-reba.html
Penilaian posisi punggung adalah skor 1 (posisi punggung lurus atau
0o), skor 2 (posisi 0o-20o ke depan dan ke belakang), skor 3 (posisi
20o-60o ke depan dan > 20oke belakang), skor 4 (posisi > 60o ke
depan), skor + 1 (jika punggung berputar atau miring ke kanan dan
atau ke kiri, serta ke atas dan atau ke bawah).

Gambar 2.3 Penilaian Grup A Posisi Punggung

Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assesment-reba.html
Penilaian posisi kaki yaitu skor 1 (tubuh bertumpu pada kedua kaki,
jalan, duduk), skor 2 (berdiri dengan satu kaki, tidak stabil), skor + 1
30

(jika lutut ditekuk 30°-60º ke depan), skor + 2 (jika lutut ditekuk >60°
ke depan).

Gambar 2.4 Penilaian Grup A Posisi Kaki

Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assesment-reba.html

Tabel 2.1 Penilaian Skor Tabel A


Leher
Punggung
1 2 3
Kaki 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 1 2 3 4 1 2 3 4 3 3 5 6
2 2 3 4 5 3 4 5 6 4 5 6 7
3 2 4 5 6 4 5 6 7 5 6 7 8
4 3 5 6 7 5 6 7 8 6 7 8 9
5 4 6 7 8 6 7 8 9 7 8 9 9
Beban
0 1 2 +1
Penambahan beban secara tiba-tiba
<5 kg 5-10 kg >10 kg
atau secara cepat
31

Tabel A merupakan penggabungan nilai dari group A untuk skor


postur tubuh, leher dan kaki. Sehingga didapatkan skor tabel A.
Kemudian skor tabel A dilakukan penjumlahan terhadap besarnya
beban atau gaya yang dilakukan operator dalam melaksanakan
aktifitas. Skor A adalah penjumlahan dari skor tabel A dan skor beban
atau besarnya gaya. Skor tabel A ditambah 0 (nol) apabila berat beban
atau besarnya gaya dinilai <5 Kg, ditambah 1 (satu) bila berat beban
atau besarnya gaya antara kisaran 5-10 Kg, ditambah 2 (dua) bila berat
beban atau besarnya gaya dinilai > 10 Kg. Pertimbangan mengenai
tugas atau pekerjaan kritis dari pekerja, bila terdapat gerakan
perputaran (twisting) hasil skor berat beban ditambah 1 (satu). Setelah
perhitungan skor tabel A selesai dilakukan, perhitungan untuk skor
tabel B dapat dilakukan yaitu lengan atas, lengan bawah dan
pergelangan tangan. Penilaian posisi bahu (lengan atas) yaitu skor 1
(posisi bahu 00 -20o ke depan dan ke belakang), skor 2 (posisi bahu >
20o ke belakang, dan 20o-40o ke depan), skor 3 (posisi bahu antara
45o-90o), skor 4 (posisi bahu > 90o ke atas), skor + 1 (jika lengan
berputar atau bahu dinaikkan atau di beri penahan), skor – 1 (jika
lengan dibantu oleh alat penopang atau terdapat orang yang
membantu).

Gambar 2.5 Penilaian Grup B posisi Lengan Atas

Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assesment-reba.html
32

Penilaian area siku yaitu skor 1 (posisi lengan 60o-100o ke depan),


skor 2 (posisi lengan antara 0o-60o ke bawah, dan > 100o ke atas).

Gambar 2.6 Penilaian Grup B Posisi Lengan Bawah

Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assesment-reba.html

Penilaian area pergelangan tangan yaitu skor 1 (posisi pergelangan


tangan 0o-15o ke depan dan ke belakang), skor 2 (posisi pergelangan
tangan > 15o ke depan dan ke belakang), skor + 1 (jika terdapat
penyimpangan pada pergelangan).

Gambar 2.7 Posisi Pergelangan Tangan


33

Sumber: www.nur-w.blogspot.com/rapid-entire-body-assesment-reba.html

Kemudian untuk menghasilkan skor B mengikuti tabel lembar


pengumpulan data untuk grup B :

Tabel 2.2 Penilaian Skor Tabel B


Lengan bawah
Lengan atas 1 2
Pergelangan 1 2 3 1 2 3
1 1 2 3 1 2 3
2 1 2 3 2 3 4
3 3 4 5 4 5 5
4 4 5 5 5 6 7
5 6 7 8 7 8 8
6 7 8 8 8 9 9
Coupling
0 – good 1 – Fair 2 – Poor 3 – Unacceptable
Pegangan pas dan tepat ditengah, Pegangan tangan Pegangan tangan Dipaksakan,
genggaman kuat bisa diterima tapi tidak bisa diterima genggaman yang
tidak ideal/coupling walaupun tidak aman, tanpa
lebih sesuai memungkinkan pegangan coupling
digunakan oleh tidak sesuai
34

bagian lain dari digunakan oleh


tubuh bagian lain dari
tubuh

Tabel B merupakan penggabungan nilai dari group B untuk skor


postur lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan. Sehingga
didapatkan skor tabel B. Kemudian skor tabel B dilakukan
penjumlahan terhadap perangkai atau coupling dari setiap masing-
masing bagian tangan. Skor B adalah penjumlahan dari skor tabel B
dan perangkai atau coupling dari setiap masing-masing bagian tangan.
Skor tabel B ditambah 0 (nol) yang berarti good atau terdapat
pegangan pada beban dan operator mengangkat beban hanya dengan
mengunakan separuh tenaga, ditambah 1 (satu) yang berarti fair atau
terdapat pegangan pada beban walaupun bukan merupakan tangkai
pegangan dan operator mengangkat beban dengan dibantu
mengunakan tubuh lain, ditambah 2 (dua) yang berarti poor atau tidak
terdapat pegangan pada beban, dan ditambah 3 (tiga) yang berarti
unacceptable tidak terdapat pegangan yang aman pada beban dan
operator mengangkat beban tidak dapat dibantu oleh angota tubuh
lain. Skor C adalah dengan melihat tabel C, yaitu memasukkan skor
tersebut dengan skor A dan skor B. Kemudian skor REBA adalah
penjumlahan dari skor C dan skor aktivitas. Berikut ini adalah tabel
skor C dan skor aktivitas.
Tabel 2.3 Penilaian Skor Tabel C dan Skor Aktivitas
Score A
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Score B

4 2 3 3 4 5 7 8 9 10 11 11 12
5 3 4 4 5 6 8 9 10 10 11 12 12
6 3 4 5 6 7 8 9 10 10 11 12 12
7 4 5 6 7 8 9 9 10 11 11 12 12
8 5 6 7 8 8 9 10 10 11 12 12 12
35

9 6 6 7 8 9 10 10 10 11 12 12 12
10 7 7 8 9 9 10 11 11 12 12 12 12
11 7 7 8 9 9 10 11 11 12 12 12 12
12 8 8 8 9 9 10 11 11 12 12 12 12
Activity Score
+1 = Jika 1 atau lebih +1 = Jika pengulangan +1 = Jika gerakan
bagian tubuh statis, gerakan dalam rentang waktu menyebabkan perubahan atau
ditahan lebih dari 1 menit singkat, diulang lebih dari 4 pergeseran postur yang cepat
kali permenit (tidak termasuk dari posisi awal
berjalan)

Skor C ditambah 1 (satu) dengan skor aktifitas apabila satu atau


beberapa bagian tubuh bergerak secara statis untuk waktu yang lebih
dari satu menit, terdapat beberapa pengulangan pergerakan 4 (empat)
kali dalam satu menit (belum termasuk berjalan), dan pergerakan atau
perubahan postur lebih cepat dengan dasar yang tidak stabil. Tahap
terakhir dari REBA menilai action level dari hasil final skor REBA.
Berikut ini adalah tabel Action level dari metode REBA:

Tabel 2.4 Level Akhir dari Skor REBA


Level Aksi Skor REBA Level Resiko Aksi
(Termasuk Tindakan Penilaian)
0 1 Sangat Rendah Risiko masih dapat diterima dan tidak
perlu dirubah
1 2 atau 3 Rendah Mungkin diperlukan perubahan-
36

perubahan

2 4-7 Sedang Butuh pemeriksaan dan perubahan

3 8-10 Tinggi Kondisi berbahaya, oleh karena itu


perlu dilakukan pemeriksaan dan
perubahan dengan segera

4 11+ Sangat Tinggi Perubahan dilakukan saat itu juga

Kelebihan dari metode REBA adalah:


1) Metode ini dapat menganalisa pekerjaan berasarkan posisi tubuh
dengan cepat.
2) Menganalisa faktor-faktor risiko yang ada dalam melakukan
pekerjaan.
3) Metode ini cukup peka untuk menganlisa pekerjaan dan beban
kerja berdasarkan posisi tubuh ketika bekerja.
4) Teknik penilaian membagi tubuh kedalam bagian-bagian tertentu
yang kemudian diberi kode-kode secara individual berdasarkan
bidang-bidang geraknya untuk kemudian diberikan nilai.
5) Hasil akhir dari penilaian REBA dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah, untuk menentukan prioritas penyelidikan
dan perubahan yang perlu dilakukan.
6) Fasilitas kerja dan metode kerja yang lebih baik dapt dilakukan
ditinjau dari analisa yang telah dilakukan.
Metode ini juga memiliki kelemahan yaitu (Staton et al, 2005):
1) Hanya menilai aspek postur dari pekerja.
2) Tidak mempertimbangkan kondisi yang dialami oleh pekerja
terutama yang berkaitan dengan faktor psikososial.
3) Tidak menilai kondisi lingkungan kerja terutama yang berkaitan
dengan vibrasi, temperatur, dan jarak pandang (Maijunidah, 2010)

4. Nordic Body Map (NBM)


37

Melalui NBM seperti pada Gambar 9.4 dapat diketahui bagian-bagian otot
yang mengalami keluhan dengan tingkat keluhan mulai dari rasa tidak
nyaman (agak sakit) sampai sangat sakit (Corlett,1992). Dengan melihat
dan menganalisis peta tubuh (NBM) seperti pada Gambar 9.4, maka dapat
diestimasi jenis dan tingkat keluhan otot skeletal yang dirasakan oleh
pekerja. Cara ini sangat sederhana namun kurang teliti karena
mengandung subjektivitas yang tinggi. Untuk menekan bias yang
mungkin terjadi, maka sebaiknya pengukuran di lakukan sebelum dan
sesudah melakukan aktivitas kerja (pre and post test) (Tarwaka et al,
2004)
Gambar 9.4 Nordic Body Map (Sumber:Corlett, 1992. Static Muscle
Loading and the Evaluation of Pasture)
38

B. Penelitian Terkait
Penelitian yang dilakukan oleh Mawadi tahun 2016 tentang “faktor yang
berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal pada pekerja laundry di
Banda Aceh” hasil penelitiannya adalah hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada hubungan antara umur dengan gangguan muskuloskeletal pada pekerja
laundry (p-value 0,001) yang berarti p-value ≤ 0,05. Tidak ada hubungan
antara jenis kelamin dengan gangguan muskuloskeletal pada pekerja laundry
(p-value 0,346) yang berarti p-value > 0,05. Tidak ada hubungan antara masa
kerja dengan gangguan muskuloskeletal pada pekerja laundry (p-value 0,567)
yang berarti p-value >0,05. Ada hubungan antara postur kerja dengan
gangguan muskuloskeletal pada pekerja laundry (p-value 0,019) yang berarti
p-value > 0,05.
Penelitian yang dilakukan oleh Fajri tahun 2015 tentang “Faktor-Faktor
Sekunder Yang Berhubungan Dengan Keluhan Muskuloskeletal Pekerja
Laundry Di Kelurahan Muktiharjo Kidul Semarang” hasil penelitiannya
adalah hasil menunjukkan bahwa tidak ada hubungan umur dengan keluhan
muskuloskeletal pada pekerja laundry (p-value 0,141) yang berarti p-value >
0,05. Tidak ada hubungan antara kesegaran jasmani dengan keluhan
muskuloskeletal pada pekerja laundry (p-value 0,373) yang berarti p-value >
0,05. Ada hubungan antara lama kerja dengan keluhan muskuloskeletal pada
pekerja laundry (p-value 0,047) yang berarti p-value < 0,05. Ada hubungan
antara IMT dengan keluhan muskuloskeletal pada pekerja laundry (p-value
0,025) yang berarti p-value < 0,05. Ada huubungan antara masa kerja dengan
keluhan muskuloskeletal pada pekerja laundry (p-value 0,229) yang berarti p-
value < 0,05. Ada hubungan antara getaran dengan keluhan muskuloskeletal
pada pekerja laundry (p-value 0,138) yang berarti p-value < 0,05. Tidak ada
hubungan antara mikroklimat dengan keluhan muskuloskeletal pada pekerja
laundry (p-value 0,928) yang berarti p-value > 0,05.
39

C. Kerangka Teori
Skema 2.1
Kerangka Teori
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keluhan Musculoskeletal
Disorder Pada Pekerja Laundry Di Kecamatan Tampan
Kota Pekanbaru Tahun 2018

1. Faktor Pekerjaan:
a. Postur Kerja
b. Beban Kerja
c. Penggunaan tenaga
d. Pergerakan repititif
e. Karakteristik objek

2. Faktor Individu:
a. Umur Keluhan
b. Jenis kelamin
Musculoskeletal
c. Kebiasaan merokok
d. Kekuatan fisik Disorders (MSDs)
e. Masa kerja
f. Indek Masa Tubuh (IMT)

3. Faktor Lingkungan:
a. Getaran
b. Mikroklimat
c. Pencahayaan
40

D. Kerangka Konsep
Skema 2.2
Kerangka Konsep
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keluhan Musculoskeletal
Disorder Pada Pekerja Laundry Di Kecamatan Tampan
Kota Pekanbaru Tahun 2018

Variabel Independen Variabel Dependen

1. Umur
2. Indeks Massa Tubuh
Keluhan Musculoskeletal
3. Beban Kerja
Disorders (MSDs)
4. Masa kerja

E. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian, patokan duga, atau dalil
sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut
(Notoatmodjo, 2012).
1. Hipotesis Nol (Ho) : Ada hubungan antara umur dengan keluhan
musculoskeletal pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan.
2. Hipotesis Nol (Ho) : Ada hubungan antara indeks massa tubuh dengan
keluhan musculoskeletal pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan.
3. Hipotesis Nol (Ho) : Ada hubungan antara beban kerja dengan keluhan
musculoskeletal pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan.
4. Hipotesis Nol (Ho) : Tidak ada hubungan antara masa kerja dengan
keluhan musculoskeletal pada pekerja laundry di Kecamatan Tampan
41

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif yaitu suatu penelitian
yang ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
keluhan Musculoskeletal Disorders dengan menggunakan desain penelitian
cross sectional yaitu variabel sebab atau risiko dan akibat atau kasus yang
terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan secara simultan (dalam
waktu yang bersamaan) (Notoatmodjo, 2012).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru.
2. Waktu Penelitian
Tabel 3.1
Jadwal Kegiatan Penelitian

Bulan
No Uraian Kegiatan Feb Maret April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persiapan proposal
2 Seminar proposal
Pelaksanaan dan
3
pengumpulan data
4 Pengolahan data
Penyusunan
5
laporan
Seminar Hasil
6
skripsi

41
42

C. Populasi
Populasi adalah seluruh individu yang akan dikenai sasaran generalisasi dari
sampel yang akan diambil dalam suatu penelitian (Hadi dalam Sumantri,
2011).
Populasi yang digunakan dalam penelitian yaitu 46 tempat laundry dengan 70
jumlah pekerja di Kecamatan Tampan. Seluruh populasi dijadikan responden.

D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah salah segala peralatan yang digunakan untuk
memperoleh, mengelola dan menginteprasikan informasi dari para responden
yang dilakukan dengan dengan pola pengukuran yang sama (Ideputri et al,
2011).
Instrumen penelitian ini berupa :
1. Kuesioner
Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang
pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui. Kuesioner yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari data diri responden, beban kerja dan masa kerja
yang diadopsi dari penelitian Laraswati (2009) yang berjudul “Analisis
Risiko Musculoskeletal Disorder (MSDs) Pada Pekerja Laundry Tahun
2009 (Studi Kasus Pada 12 Laundry Sektor Usaha Informal) di
Kecamatan Beji Kota Depok” yang telah diuji validitasnya.
2. Kamera
Kamera merupakan alat yang berfungsi dan mampu untuk menangkap dan
mengabadikan gambar. Kamera digunakan untuk dokumentasi seperti
gambar, recorder, video, rekaman suara pada saat wawancara.
43

E. Definisi Operasional
Definisi operasional ialah untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian
variabel-variabel diamati/diteliti, perlu sekali variabel-variabel tersebut diberi
batasan. Definisi operasional ini juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada
pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan
serta pengembangan instrumen (alat ukur). Definisi Operasional mencakup
cara pengukuran, hasil ukur dan skala pengukuran (Notoatmodjo, 2012).

Tabel 3.2
Definisi Operasional

No Variabel Sub. Variabel Definisi Alat Ukur Skala Hasil


Operasional Ukur
1 Independen Umur Lamanya kuesioner ordinal 1. Berisiko
responden ≥30
hidup tahun
dihitung sejak 2. Tidak
tahun berisiko
kelahiran <30
sampai tahun
penelitian
berlangsung
Indeks Masa Tubuh Berat badan kuesioner ordinal 1. Berisiko
(kg) dibagi jika
tinggi badan gemuk
(m) kuadrat (IMT ≥
29)
2. Tidak
berisisko
jika tidak
gemuk
44

(IMT <
29)
Beban Kerja beban kerja kuesioner ordinal 1. Berisiko
adalah setiap jika
pekerjaan beban
yang kerja >

memerlukan 12-15 kg

otot atau pada

pemikiran perempu
an
yang
2. Tidak
merupakan
berisiko
beban bagi
jika
pelakunya
beban
beban
kerja <
tersebut
12-15 kg
meliputi
kg pada
beban
perempu
fisik,
an.
mental
ataupun
beban sosial
sesuai
dengan
jenis
pekerjaanya
Masa Kerja Lama bekerja kuesioner ordinal 1. Berisiko
sebagai > 3 tahun
pekerja 2. Tidak
laundry berisiko
≤ 3 tahun
45

2 Dependen Keluhan Rasa nyeri, kuesioner ordinal 1. Ada


musculoskeletal pegal-pegal, keluhan
panas, kejang, 2. Tidak
mati rasa, ada
bengkak, keluhan
kaku, pegal
dan ketidak
nyamanan
pada sistem
otot dan
tulang yang
dirasakan oleh
pekerja

F. Prosedur Pengumpulan Data


Pengolahan data merupakan suatu rangkaian kegiatan penelitian yang
dilakukan secara statistik dengan menggunakan bantuan komputer, yang
merupakan software SPSS versi 16.0 dengan tahapan sebagai berikut :
1. Pemeriksaan data (Editing)
Pemeriksaan data merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian
kuesioner yang sudah dikumpulkan untuk mengetahui kelengkapan
pengisian, kejelasan jawaban, relevansi jawaban dan konsistensi jawaban
yang ada pada kuesioner.
2. Pemberian kode (Coding)
Pemberian kode yang merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf
menjadi data yang berbentuk angka atau bilangan guna mempermudah
analisa data dan mempercepat entry data.
46

3. Tabulasi data (Processing)


Merupakan memproses data untuk dianalisis, proses data dilakukan
dengan cara meng-entry data kuesioner ke tabel yang telah disiapkan atau
memasukkan data dari kuesioner ke paket program komputer.
4. Pembersihan data (Cleaning)
Pembersihan data merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang
sudah di entry, apakah ada kesalahan atau tidak pada saat meng-entry data
ke komputer.

G. Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan SPSS 16,0.
Setelah semua data dikumpulkan, untuk mengetahui gambaran distribusi
frekuensi masing-masing variabel, analisa data yang digunakan adalah
analisis univariat dan bivariat. Adapun penjabaran analisis tersebut yaitu :
1. Analisis Univariat
Analisis Univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel dalam penelitian ini.
2. Analisis Bivariat
Analisis Bivariat merupakan analisis untuk mengetahui interaksi dua
variabel, baik berupa komparatif, asosiatif maupun korelatif
(Arikunto, 2006). Analisis Bivariat dilakukan terhadap dua variabel
yang di duga berhubungan, dengan tujuan untuk melihat apakah ada
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
Untuk membuktikan adanya hubungan antara dua variabel tersebut
dengan menggunakan uji statistik dengan uji Chi square dan odds
Ratio (OR).
Uji Chi square digunakan untuk menguji perbedaan proporsi antara
beberapa kelompok data sejenenis kategorik dengan derajat
kepercayaan 95% (p =0,05) dengan batas kepercayaan (α) 0,05,
apabila p value < α (0,05) berarti data sampel mendukung adanya
47

perbedaan yang bermakna (signifikan), kemudian jika p value > α


(0,05) berarti data sampel tidak mendukung adanya perbedaan yang
bermakna (signifikan).
Uji odds Ratio bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen, dengan interprestasi nilai OR
yaitu:
a. Bila OR > 1, berarti faktor resiko yang diteliti merupakan faktor
resiko timbulkan penyakit.
b. Bila OR = 1, maka faktor resiko yng diteliti bukan merupakan
faktor resiko timbulnya penyakit
c. Bila OR < 1, berarti bukan faktor resiko tapi faktor protektif
Tabel. 3.3
Formula Penghitungan Odds Ratio

Variabel Variabel Dependen


Independen Berisiko Tidak Jumlah
(Faktor berisiko
Risiko)
(Ya) + a B a+b
(Tidak) - c D c+d
Jumlah a+c b+d a+b+c+d
Sumber : Budiman, 2011.
Selanjutnya perhitungan Odds Ratio di peroleh dengan rumus : OR =
ad
bc
Keterangan :
a = Kasus yang berisiko (+)
b = Paparan yang tidak risiko (-)
c = Kasus yang tidak mengalami faktor risiko (+)
d = Paparan yang tidak mengalami faktor risiko (-)

Anda mungkin juga menyukai