DAFTAR ISI
HALAMAN
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang............................................................................................. 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 3
2.1 Definisi Spondilitis Tuberkulosa............................................................. 3
2.2 Anatomi Vertebra.................................................................................... 3
2.3 Etiologi.................................................................................................... 4
2.4 Epidemiologi ………….......................................................................... 5
2.5 Patogenesis…………………………………………………………….. 6
2.6 Manifestasi Klinis…………………………………………………….. 8
2.7 Diagnosis………………………………………...................................... 10
2.8 Penatalaksanaan………………………………………………………… 17
Daftar Pustaka…………………………………………………........................... 21
2
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJUAN PUSTAKA
2.3 Etiologi
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis
di tempat lain di tubuh, 90‑ 95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik
(2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5‑10% oleh mikobakterium
tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil
Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi
apat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan
tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun. 1,3
6
2..4 Epidemiologi
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB
baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB
dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara‑negara berkembang.
Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena
kehamilan, persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang
paling produktif secara ekonomis (15‑50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB
dewasa, akan kehilangan rata‑rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20 – 30%.
Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15
tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk
lainnya secara sosial – stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.3,4 Indonesia
adalah kontributor penderita tuberkulosis nomor 3 di dunia setelah India dan Cina.3
2.5 Patogenesis
Spondilitis tuberkulosis terjadi melalui penyebaran hematogen dari fokus
infeksi primer seperti paru, kelenjar limfe mediastinum, mesenterium, servikal,
ginjal dan alat‑alat dalam lainnya. Kuman mencapai vertebra melalui Batson’s
plexus of paravertebral veins.2 Spondilitis tuberkulosa merupakan kelanjutan dari
penyebaran kuman tuberkulosa yang sudah bermukim di tubuh, misalnya di paru
atau kelenjar getah bening. Penyebaran itu berlangsung melalui aliran darah arteri
vertebralis. Kuman tuberkulosa pertama bersarang di korpus vertebra. Sarang itu
terletak dekat lapisan epifisial atas atau bawah. Erosi yang terjadi akibat
perkembangan sarang tuberkulosa itu merusak korpus vertebra dan menjebolkan
diskus intervertebralis ke dalam kanalis vertebralis. Konsekuensinya ialah
deformitas tulang belakang setempat sehingga timbul gibusdan timbulnya
penekanan pada medula spinalis akibat proses tuberkulosa itu berada di salah satu
korpus vertebra. Bila ligamentum longitudenal posterior saja yang terkena maka
proses itu dapat berkembang di bagian itu saja tanpa merusak tulang belakang.
Dalam hal itu foto rontgen memperlihatkan tulang belakang yang normal, tapi
pasien bisa berada dalam keadaan paraplegi akibat penekanan terhadap medula
spinalis.3
Gibus tidak selamanya disertai penjebolan diskus intervertebralis, sehingga
tidak timbul kompresi medula spinalis. Gibus itu disebut gibus yang terkompensasi.
Bila yang rusak hanya sebuah korpus vertebra saja, lengkungan yang terjadi runcing
bentuknya. Gibus yang runcing ini disebut gibus angularis. Bila yang mengalami
kerusakan lebih dari satu vertebra, gibus yang terjadi berbentuk seperti busur dan
dinamakan gibus arkuatus. Sebagai proses kelanjutan dapat berkembang abses yang
pada mulanya merupakan tempat hancurnya jaringan yang terkena proses
tuberkulosa. Semain hancur maka terjadilah abses yang pada permulaan menjebol
ke anterior dan ke samping korpus vertebra. Kemudian dapat terjadi perluasan ke
bawah atau menjebol ke posterior di sela subdural. Penjebolan ke belakang di sela
subdural inilah yang mengakibatkan paraplegi. Abses paravertebral itu bisa
menurun dan tiba di tepat origo otot psoas, lalu berkembang di dalam sarung otot
tersebut dan akhirnya tiba di bawah ligamentum Poupart. Pada tempat ini ia dapat
8
salah didiagnosa sebagai hernia. Ia pun dapat menurun sampai ke pelvis dan
menjebol di daerah gluteus dan menurun ke bagian lateral paha. Di sini yaitu dapat
salah didiagnosa sebagai lipoma. 3
basil tuberkulosis. Kumpulan sel‑sel epiteloid disebut sel datia langhans yang hanya
terjadi jika ada nekrosis perkijuan. Fungsi utama sel datia langhans ini adalah
mencerna dan membuang jaringan nekrosis. Dalam waktu sekitar 1 (satu) minggu
limfosit muncul dan membentuk cincin yang mengelilingi lesi. Kumpulan sel‑sel
epiteloid, sel datia langhans, dan limfosit ini membentuk suatu nodul yang disebut
tuberkel. Pada minggu kedua mulai terjadi perkijuan di sentral tuberkel tersebut.
Reaksi eksudatif pada korpus vertebra berupa abses dingin yang terdiri dari serum,
lekosit, jaringan perkijuan, debris tulang dan basil tuberkel. Abses ini dapat
melakukan penetrasi dan menyebar ke berbagai arah. Proses selanjutnya ditandai
dengan hiperemi dan osteoporosis berat. Kerusakan vertebral terjadi akibat proses
osteolisis, mengakibatkan perlunakan korpus sehingga memungkinkan terjadinya
kompresi tulang. Selanjutnya akan terbentuk nekrosis yang lebih banyak berupa
abses dan debris. Abses dan debris makin banyak dan akan keluar dari vertebra
mencari lokasi dengan tahanan paling lemah. Di vertebra lumbal abses akan turun
ke bawah melalui sela aponeurosis otot psoas dan berhenti di retroperitoneal yang
teraba pada palpasi abdomen. Abses bisa berkumpul dan mendesak ke arah
belakang sehingga menekan medula spinalis dan mengakibatkan paraplegia Pott
yang disebut paraplegia awal. Paraplegia awal selain karena tekanan abses dapat
juga disebabkan oleh kerusakan medula spinalis akibat gangguan vaskuler.
Keadaan ini sangat jarang ditemukan pada tuberkulosis karena proses kronik
menyebabkan terbentuknya pembuluh darah kolateral. Paraplegia dapat juga
disebabkan akibat regangan terus menerus pada gibus yang disebut paraplegia
lanjut.
2.6 Manifestasi Klinis
agak lanjut nyeri di punggung itu ditambah dengan nyeri interkostal yang bersifat
radikular. Nyeri itu terasa bertolak dari ruas tulang belakang dan menjalar sejajar
dengan iga ke dada dan berhenti tepat di garis tengah dada. Untuk mengurangi
keadaan ini anak menarik punggungnya kuatkuat. Anak menghindari penekukan
tubuh waktu mengambil sesuatu di lantai. Jika terpaksa dia hanya menekukkan
lututnya untuk menjaga punggungnya tetap lurus. Rasa nyeri akan membaik bila
dia beristirahat.4,5,6
Tandatanda pada tingkatan yang berbeda :
Pada leher, jika mengenai vertebra servik al penderita tidak suka memutar
kepalanya dan duduk dengan meletakkan dagu di tangannya. Dia akan
merasa nyeri pada leher atau pundaknya. Jika terjadi abses, pembengkakan
dengan fluktuasi yang ringan akan tampak pada sisi yang sama pada leher
di belakang otot sternomastoid atau tonjolan pada bagian belakang mulut
(faring).
Pada punggung bawah sampai iga terakhir (regio toraks). Dengan adanya
penyakit pada regio ini, penderita memiliki punggung yang besar. Dalam
gerakan memutar dia lebih sering menggerakkan kakinya daripada
mengayunkan pinggulnya. Saat memungut sesuatu dari lantai dia menekuk
lututnya sementara punggungnya tetap lurus. Kemudian akan terdapat
pembengkakan atau lekukan yang nyata pada tulang belakang (gibus)
diperlihatkan dengan korpus vertebra yang terlipat.
Jika abses ini menjalar menuju dada bagian kanan dan kiri serta akan
muncul sebagai pembengkakan yang lunak pada dinding dada (abses dingin
yang sama dapat menyebabkan tuberkulosis kelenjar getah bening
interkosta). Jika menuju ke punggung dapat menekan serabut saraf spinal
yang menyebabkan paralisis.
Saat tulang belakang yang terkena lebih rendah dari dada (regio lumbal), di
mana juga berada di bawah serabut saraf spinal, pus juga dapat menjalar
pada otot sebagaimana pada tingkat yang lebih tinggi. Jika ini terjadi akan
tampak sebagai pembengkakan lunak di atas atau di bawah ligamentum
pada lipat paha atau di bawahnya tetap pada sisi dalam dari paha (abses
11
psoas). Pada keadaan yang jarang pus dapat berjalan menuju pelvis dan
mencapai permukaan belakang sendi panggul. (Pada Negara- negara dengan
prevalensi tinggi 1 dari 4 penderita dengan tuberkulosis tulang belakang
mempunyai abses yang dapat diraba.)
Pada pasien-pasien dengan malnutrisi akan didapatkan demam
(kadangkadang demam tinggi), kehilangan berat badan dan kehilangan
nafsu makan. Di beberapa negara Afrika juga didapati pembesaran kelenjar
getah bening, tuberkel subkutan, pembesaran hati dan limpa.
Pada penyakit-penyakit yang lanjut mungkin tidak hanya terdapat gibus
(angulasi dari tulang belakang), juga terdapat kelemahan dari anggota badan
bawah dan paralisis (paraplegi) akibat tekanan pada serabut saraf spinal atau
pembuluh darah.
2.7 Diagnosis
Diagnosis spondilitis ditentukan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan
rontgen. Gejala yang mendukung diagnosis spondilitis tuberkulosis adalah nyeri
yang meningkat pada malam hari makin lama makin berat terutama pada
pergerakan. Anak kecil dapat berteriak saat tidur nyenyak malam hari. Keadaan ini
terjadi karena otot erektor trunkus mengendur, sehingga terdapat pergerakan kecil
Antara vertebra yang sangat nyeri. Kemudian terbentuk gibus dan LED meningkat.
Pada foto rontgen tampak penyempitan sela diskus dan gambaran abses
paravertebral. Reaksi tuberkulin biasanya positif. Untuk melakukan pemeriksaan
bakteriologis, dapat dilakukan pungsi abses atau dari debris yang didapat dari
pembedahan.
2.7.1 Anamnesis
Tahap awal untuk menegakkan diagnosa adalah dengan menggali anamnesis yang
mencakup tempat kelahiran, riwayat penderita/keluarga dan lingkungannya
terhadap TB, riwayat imunisasi, sejarah kontak dengan penderita TB dan
12
dapat dipakai untuk menduga kelainan yang ada pada tulang belakang mempunyai
kaitan dengan TB. Jika seorang klinikus secara rutin melakukan palpasi prosesus
spinosus dari leher sampai ke sakrum akan dapat mendeteksi perubahan bentuk
sekecil apapun sehingga dapat mendiagnosa TB tulang belakang
sebelum penyakitnya berlanjut dan terjadinya destruksi korpus yang lebih luas dan
gibus yang lebih menonjol. Pada stadium penyembuhan, bila penyakit sudah
sembuh penderita tidak nampak atau merasa sakit sama sekali. Tidak ada keringat
malam dan panas sore hari lagi. Nyeri pada punggung dan spasme otot hilang.
Tetapi deformitas yang terjadi pada stadium akut akan menetap. Gambaran klinis
TB yang tidak biasa (unusual) sebagai penyebab nyeri punggung yang menetap
harus diingat bila ingin menegakkan diagnosa secara dini sebelum gejala lainnya
timbul. Jarang sekali gejala pertama yang timbul berupa gangguan neurologis.
Infeksi pada craniocervical juntion menghasilkan gejala progresif. Gejala utama
adalah nyeri pada belakang kepala dan leher. Sebagian besar disertai gejala umum
infeksi tuberkulosis. Serak dapat terjadi dislokasi atlantoaksial yang menekan
struktur saraf dan dapat menyebabkan deficit neurologis atan bahkan kematian.
Para penderita harus selalu dicoba dicari focus primer tuberculosis yaitu dapat
berupa infeksi di paruparu, saluran kemih maupun saluran cerna. 7,8,
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status generalis penderita harus selalu dicari
tanda‑tanda TB pulmonal dan TB ekstra pulmonal lainnya seperti kelenjar limfe,
saluran urogenital, abdomen, tulang dan sendi. Kemudian baru dicari gejala lokal
pada tulang belakang, seperti gibus, abses. Perhatian khusus untuk mencari dan
menilai beratnya gangguan neurologis harus betul‑betul dikerjakan, karena
berkaitan erat dengan metode pengobatan yang diberikan dan untuk meramal
prognosis penyakit. Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan dan dinilai dengan
Inspeksi kulit pada tulang belakang, dengan perhatian ada tidaknya Sinus
Alignment tulang belakang, adanya spasme otot‑otot paravertebral. Diperhatikan
ada tidaknya massa subkutan pada regio flank, inguinal, perineal atau gluteal .
Defisit neurologis dapat muncul awal atau pada fase penyembuhan. Gejala yang
timbul tergantung pada level medula spinalis atau syaraf spinal yang terlibat dan
14
kifosis.Di foto toraks juga kita dapt identifikasikan dekalsifikasi suatu korpus
vertebra (pada tomogram dari korpus tersebut mungkin terdapat suatu kaverne
dalam korpus tersebut) oleh karena itu maka mudah sekali pada tempat tersebut
suatu fraktur patologis. Dengan demikian terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga
bagian depan dari korpus vertebran itu adalah menjadi lebih tipis daripada bagian
belakangnya (korpus vertebra jadi berbentuk baji) dan tampaklah suatu Gibbus
pada tulang belakang itu. “Dekplate” korpus vertebra itu akan tampak kabur (tidak
tajam) dan tidak teratur dan diskus Intervertebrale akan tampak menyempit. Foto
Roentgen dapat menunjukkan kejadian abses dingin , abses dingin itu akan tampak
sebagai suatu bayangan yang berbentuk kumparan (“Spindle”). Spondilitis ini
paling sering ditemukan pada vertebra T8‑L3 dan paling jarang pada vertebra C1‑2.
2,3,10
ditemui penurunan intensitas sinyal fokus infeksi pada gambaran T1‑weighted dan
peningkatan sinyal yang heterogen pada gambaran T2‑weighted. Pada pemberian
kontras infeksi tuberkulosis memperlihatkan penyangatan inhomogen pada
infiltrasi sumsum tulang dengan tepi lesi menyangat. Abses tuberkulosis pada
pemberian kontras akan memperlihatkan penyangatan perifer dengan nekrosis
sentral. Keterlibatan diskus invertebralis sebagian besar akan menampilkan
gambran klasik diskitis berupa peningkatan singal pada gambaran T2‑weighted,
penurunan sinyal pada gambaran T1‑weighted dan menyangat setelah pemberian
kontras. 11,12
MRI juga dapat menggambarkan perluasan infeksi paling baik dan dapat
memperlihatkan penyebaran granuloma tuberkulosis di bawah ligamentum
ongitudinal anterior dan posterior. MRI dapat membedakan jaringan patologis yang
mengakibatkan penekanan pada struktur neurologis. Hal ini penting karena
intervensi bedah dibutuhkan pada defisit neurologis yang disebabkan penekanan
oleh deformitas tulang
berupa kifosis atau oleh konstriksi akibat fibrosis di sekeliling kanalis neuralis.
Mehta mengajukan klasifikasi tuberkulosis vertebra torakal berdasarkan ekstensi
lesi yang terlihat pada MRI untuk perencanaan strategi pembedahan dan
Mengevaluasi infeksi diskus intervertebrata dan osteomielitis tulang belakang.yaitu
juga dapat Menunjukkan adanya penekanan saraf. Dilaporkan 25 % dari pasien
mereka memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT‑Scan dan MRI yang
lebih luas dibandingkan dengan yang terlihat dengan foto polos.CT‑Scan efektif
mendeteksi kalsifikasi pada abses jaringan lunak . Selain itu CT‑Scan dapat
digunakan untuk memandu prosedur biopsi. 11,12
2.7.7 Bakteriologis
Kultur kuman tuberkulosis merupakan baku emas dalam diagnosis.
Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengonfirmasi diagnosis klinis
dan radiologis secara mikrobakteriologis. Masalah terletak pada bagaimana
mendapatkan spesimen dengan jumlah basil yang adekuat. Pemeriksaan
mikroskopis dengan pulasan Ziehl‑Nielsen membutuhkan 104 basil per mililiter
spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 103 basil per mililiter spesimen.5
18
dengan atau tanpa meningitis , Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau
efusi pericardial, Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran
kencing (untuk mencegah penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar getah bening
dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah atau Hipersensitivitas berat
terhadap OAT dan IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome ). Dosis dan
lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya keluhan
serta respon klinis. Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu,
dosis harus diturunkan secara bertahap (tappering off).Kortikosteroid yang
diberikan adalah Predinisolon (per oral) ,untuk Anak diberikan 2 mg / kg BB, sekali
sehari pada pagi hari dan untuk Dewasa: 30 – 60 mg, sekali sehari pada pagi hari.
Seterusnya Terapi operatif dimana Bedah Kostotransversektomi yang
dilakukan berupa debrideman dan penggantian korpus vertebra yang rusak dengan
tulang spongiosa/kortiko – spongiosa. Indikasi operasi yaitu adalah defisit
neurologis yang signifikan terutama bila berhubungan dengan kifosis yang
progresif atauherniasi tulang atau diskus pada kanalis neuralis dan abses besar
segmen servikal pada penderita dengan obstruksi saluran respirasi atau Lesi
posterior yang disertai dengan pembentukan abses atau sinus. Sekitanya berlaku
Instabilitas tulang belakang atau kifosis yang progresif walaupun telah mendapat
kemoterapi adekuat Kegagalan terapi konservatif setelah pengobatan kemoterapi
3‑6 bulan atau Rekurensi infeksi atau defisit neurologisbi bila dengan terapi
konservatif setelah pengobatan kemoterapi 3‑6 bulan tidak terjadi perbaikan
paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya 2 minggu sebelum tindakan operasi
dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.Adanya
abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan sekaligus
debrideman serta bone graft.
Abses besar segmen servikal pada pasien dengan obstruksi saluran respirasi
.dan ada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun
pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla
spinalis. Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi
penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang
peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin),
21
lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis progresif atau hernasi tulang atau diskus
1,2,3,4
pada kanalis neuralis. Terdapat perdebatan perlu tidaknya intervensi operatif
untuk mencegah kifosis pada fase penyembuhan. Rajasekkaran menyatakan
ditemukannya disrupsi elemen posterior berupa dislokasi joint facet, retropulsi
segmen vertebra ke posterior, translasi lateral kolumna vertebralis dan adanya
tilting/toppling merupakan tanda awal instabilitas yang akan berakibat kifosis
progresif dan menganjurkan tindakan bedah dilakukan dini.
Beberapa penulis menganjurkan diguanakannya metode anterior bone graft
disertai dengan osteotomy posterior dan arthrodesis dengan menggunakan fiksasi
interna sehingga akan didapatkan pemanjangan kolumna anterior dan pemendekan
kolumna posterior. Metode ini membutuhkan kemampuan ahli bedah yang lebih
trampil, tetapi memberikan tulang belakang yang lebih stabil dan dapat diterima
secara kosmetik. Karena spondilitis tuberkulosis terutama melibatkan elemen
anterior tulang belakang direkomedasikan melakukan approach anterior sehingga
abses dapat dievakuasi, subtansi yang nekrosis dapat dibuang, dapat dilakukan
dekompresi anterior medulla spinalis.
Jaringan untuk pemeriksaan histopatologi dan kultur didapat dengan mudah
dan kifosis dapat dikoreksi atau distabilisasi dengah autogenous bone graft.
Approach posterior diindikasikan pada keterlibatan elemen posterior dan posterior
dan stabilisasi posterior dibutuhkan sebelum tindakan dekompresi anterior dan
arthrodesis, juga pada penderita dengan tulang belakang yang sebenarnya stabil
atau memiliki deformitas minimal tetapi memiliki tuberkuloma intrameduler atau
abses epidural. 5
22
Daftar Pustaka
1.World Health Organization, 2002. Spinal Tuberculosis.. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs194/en/..
5. Hidalgo, JA. Pott Disease. [Online]. 2005 Aug 25];[17 screens]. Available
from:URL:http:www.eMedicine.com/med/topic
6. Anonim. Penyakit paget pada tulang. [Online]. 2006 Oct [2 screens]. Available
from:URL:http://www.patient.co.uk/showdoc/40001278/
(http://www.patient.co.uk/showdoc/40001278/)
7. Anonim. Paget’s disease of bone. [Online]. 2005 Oct;[4 screens]. Available
from:URL:http://http://www.thamburaj.com (http://www.thamburaj.com)
8. Tamburaf, V. Spinal Tuberculosis. [Online]. 2006 Available from:
URL:http://www.infeksi.com (http://www.infeksi.com)
9. Harisinghani, MG. Tuberculosis from Head to Toe. [Online]. 1999 Feb 19 [4
screens]. Available from: URL:http://www.nejm.com(hꬻ p://www.nejm.com)
10. Yanardag, H. Pott Disease. [Online]. 1999 Feb 19 [cited 2008 Des 27];[5
screens]. Available from:URL:http://www.ispub.com (hꬻ p://www.ispub.com)
11. Sinan, T. Spinal tuberculosis: CT and MRI features. [Online]. 1999 Feb 19 ;[5
screens].Availablefrom:URL:http://www.kfshrc.edu.sa (http://www.kfshrc.edu.sa)
12. Danchaivijitr, N. Diagnostic Accuracy of MR Imaging in Tuberculous
Spondylitis. [Online]. 2007 Feb 19 [cited 2016 aug 28];[5 screens]. Available from:
URL:http://www.medassocthai.org/journal(http://www.medassocthai.org/journal)