Anda di halaman 1dari 22

1

DAFTAR ISI

HALAMAN
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang............................................................................................. 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 3
2.1 Definisi Spondilitis Tuberkulosa............................................................. 3
2.2 Anatomi Vertebra.................................................................................... 3
2.3 Etiologi.................................................................................................... 4
2.4 Epidemiologi ………….......................................................................... 5
2.5 Patogenesis…………………………………………………………….. 6
2.6 Manifestasi Klinis…………………………………………………….. 8
2.7 Diagnosis………………………………………...................................... 10
2.8 Penatalaksanaan………………………………………………………… 17
Daftar Pustaka…………………………………………………........................... 21
2

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia, TB masih merupakan masalah utama kesehatan


masyarakat. Sampai saat ini, Indonesia merupakan negara dengan pasien TB
terbanyak ke‑3 di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan terdapat 583.000
kasus baru tuberkulosis per tahun, sebagian besar berada dalarn usia produktif
(15‑54tahun), dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah.
Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien
TB didunia. 1,2 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa 1,9 milyar
manusia, sepertiganya penduduk dunia ini, telah terinfeksi kuman Micobacterium
tuberculosis. Angka infeksi tertinggi di Asia Tenggara, Cina, India, Afrika, dan
Amerika Latin. Tuberkulosis terutama menonjol di populasi yang mengalami stres,
nutrisi jelek, penuh sesak, perwatan kesehatan yang tidak cukup, dan perpindahan
tempat. Pada orang dewasa, dua pertiga kasus terjadi pada orang lakilaki, tetapi ada
sedikit dominasi tuberkulosis pada wanita di masa anak. Frekuensi tuberkulosis
terjadi pada orang tua populasi kulit putih di Amerika Serikat. Sebaliknya, pada
populasi kulit berwarna tuberkulosis paling sering pada orang dewasa muda dan
anakanak umur kurang dari lima tahun. 2
Di Amerika Serikat, seperlima dari kasus baru tuberkulosis dihubungkan
dengan penyakit ekstrapulmoner. Tuberkulosis telah dilaporkan terdapat pada
seluruh tulang di tubuh. Di Amerika, penyakit ini melibatkan tulang vertebra pada
50 % pasien (vertebra torakal pada 50 %, vertebra servikal 25 %, dan vertebra
lumbal 25 %), pelvis pada 12 % pasien, panggul dan paha pada 10 %, lutut dan
tungkai bawah 10 %, tulang iga 7 %, pergelangan kaki 2 %, siku 2 %, dan tempat
lain 3 %. Tuberkulosis ekstrapulmoner lebih sering terjadi pada anakanak
dibandingkan dengan orang dewasa yaitu sekitar sepertiga dari anakanak dengan
tuberkulosis punya manifestasi ekstrapulmoner. Spinal tuberkulosis telah dikenal
sejak zaman kuno di Egyp & Peru dan penyakit ini merupakan salah satu penyakit
tertua pada manusia yang pernah ditemukan.2
3

Percival Pott mempresentasikan tentang spinal tuberkulosis pada tahun


1779. dan sejak adanya obat antituberkulosis dan meningkatnya derajat kesehatan
masyarakat, spinal tuberkulosis menjadi jarang dijumpai. Spinal tuberkulosis dapat
menyebabkan morbiditas yang serius, termasuk defisit neurologis yang permanen
deformitas berat. Pengobatan medis atau kombinasi edis dan pembedahan dapat
mengontrol penyakit ini pada banyak pasien. 2
4

BAB 2

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Spondilitis Tuberkulosa

Spondilitis Tuberkulosa ialah suatu bentuk infeksi tuberkulosis


ekstrapulmoner yang mengenai tulang belakang (vertebra). Infeksi mulai dari
korpus vertebra, menjalar ke diskus intervertebralis dan kemudian mencapai alat -
alat dan jaringan di dekatnya. Walaupun Spondilitis Tuberkulosa dapat berkembang
di tiap korpus vertebra, namun menurut statistik lokalisasi di vertebra torakal adalah
paling umum (35 %). Lokalisasi di tingkat lumbal terdapat pada 31 % penderita.
Dan di tingkat torakolumbal (T12 L1) adalah sebesar 23 %. 3

2.2 Anatomi Vertebra


Vertebra tipikal terdiri dari beberapa bagian, yaitu 4:
• Korpus vertebra, terletak di anterior, berfungsi untuk menjaga untuk
menyangga berat badan.
• Arkus vertebra, terletak di posterior, menutup foramen vertebra. Di dalam
foramina vertebral terdapatkanal vertebral tempat medula spinalis. Fungsi
dari arkus vertebra untuk melindungi medulla spinalis.Arkus vertebra terdiri
dari dua pedikel melingkar, satu dari korpus, dan dua plat datar yang
disebutlaminae yang menyatu di garis tengah posterior.
• Tiga prosesus, dua transversus dan satu spinosus, merupakan tempat
perlekatan otot dan membantupergerakan vertebra
• Empat prosesus artikularis, dua superior dan dua inferior, masing‑masing
mempunyai articular facet.Prosesus artikularis terproyeksi ke superior dan
inferior dari arkus vertebra. Arah dari artikular facetmenentukan pergerakan
alami dari vertebra dan mencegah vertebra terjatuh ke anterior.
5

Gambar. Tulang kerangka tubuh.4

2.3 Etiologi
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis
di tempat lain di tubuh, 90‑ 95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik
(2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5‑10% oleh mikobakterium
tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil
Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi
apat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan
tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun. 1,3
6

2..4 Epidemiologi
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB
baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB
dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara‑negara berkembang.
Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena
kehamilan, persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang
paling produktif secara ekonomis (15‑50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB
dewasa, akan kehilangan rata‑rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20 – 30%.
Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15
tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk
lainnya secara sosial – stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.3,4 Indonesia
adalah kontributor penderita tuberkulosis nomor 3 di dunia setelah India dan Cina.3

Diperkirakan terdapat 583.000 kasus baru tuberkulosis per tahun. Sebagian


besar penderita berada dalam usia produktif (15‑54 tahun), dengan tingkat
sosioekonomi dan pendidikan yang rendah. 3 Keterlibatan tulang belakang akan
mempererat morbiditas karena adanya potensi memperberat morbiditas karena
adanya potensi defisit neurologis dan deformitas yang permanen. Ironisnya tulang
belakang adalah lokasi infeksi tuberkulosis tulang dan send tersering, mencakup
50% seluruh penderita tuberkulosis osteoartikular. 2,4, Pertuiset dkk mencatat pada
sebuah penelitian, di Perancis tahun 1980‑ 1994, spondilitis tuberkulosis
merupakan 15% semua kasus tuberkulosis ekstrapulmoner dan merupakan 3‑5%
semua kasus tuberkulosis.4Hidalgo melaporkan di Amerika Serikat tahun
1986‑1995 tuberkulosis osteoartikular merupakan 10% dari kasus tuberkulosis
2
ekstrapulmoner dan 1,8% dari semua kasus tuberkulosis. Hidalgo dan Pertuiset
dkk 4 melaporkan adanya predominasi pria terhadap wanita. Didapatkan insidens
lebih besar pada anak‑anak terutama pada negara dengan prevalensi .4
7

2.5 Patogenesis
Spondilitis tuberkulosis terjadi melalui penyebaran hematogen dari fokus
infeksi primer seperti paru, kelenjar limfe mediastinum, mesenterium, servikal,
ginjal dan alat‑alat dalam lainnya. Kuman mencapai vertebra melalui Batson’s
plexus of paravertebral veins.2 Spondilitis tuberkulosa merupakan kelanjutan dari
penyebaran kuman tuberkulosa yang sudah bermukim di tubuh, misalnya di paru
atau kelenjar getah bening. Penyebaran itu berlangsung melalui aliran darah arteri
vertebralis. Kuman tuberkulosa pertama bersarang di korpus vertebra. Sarang itu
terletak dekat lapisan epifisial atas atau bawah. Erosi yang terjadi akibat
perkembangan sarang tuberkulosa itu merusak korpus vertebra dan menjebolkan
diskus intervertebralis ke dalam kanalis vertebralis. Konsekuensinya ialah
deformitas tulang belakang setempat sehingga timbul gibusdan timbulnya
penekanan pada medula spinalis akibat proses tuberkulosa itu berada di salah satu
korpus vertebra. Bila ligamentum longitudenal posterior saja yang terkena maka
proses itu dapat berkembang di bagian itu saja tanpa merusak tulang belakang.
Dalam hal itu foto rontgen memperlihatkan tulang belakang yang normal, tapi
pasien bisa berada dalam keadaan paraplegi akibat penekanan terhadap medula
spinalis.3
Gibus tidak selamanya disertai penjebolan diskus intervertebralis, sehingga
tidak timbul kompresi medula spinalis. Gibus itu disebut gibus yang terkompensasi.
Bila yang rusak hanya sebuah korpus vertebra saja, lengkungan yang terjadi runcing
bentuknya. Gibus yang runcing ini disebut gibus angularis. Bila yang mengalami
kerusakan lebih dari satu vertebra, gibus yang terjadi berbentuk seperti busur dan
dinamakan gibus arkuatus. Sebagai proses kelanjutan dapat berkembang abses yang
pada mulanya merupakan tempat hancurnya jaringan yang terkena proses
tuberkulosa. Semain hancur maka terjadilah abses yang pada permulaan menjebol
ke anterior dan ke samping korpus vertebra. Kemudian dapat terjadi perluasan ke
bawah atau menjebol ke posterior di sela subdural. Penjebolan ke belakang di sela
subdural inilah yang mengakibatkan paraplegi. Abses paravertebral itu bisa
menurun dan tiba di tepat origo otot psoas, lalu berkembang di dalam sarung otot
tersebut dan akhirnya tiba di bawah ligamentum Poupart. Pada tempat ini ia dapat
8

salah didiagnosa sebagai hernia. Ia pun dapat menurun sampai ke pelvis dan
menjebol di daerah gluteus dan menurun ke bagian lateral paha. Di sini yaitu dapat
salah didiagnosa sebagai lipoma. 3

Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott’s terjadi melalui kombinasi


4 faktor yaitu Penekanan oleh abses dingin ,Iskemia akibat penekanan pada arteri
spinalis,terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya dan
penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak.

Spondilitis korpus vertebra dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu sentral,


anterior, dan paradiskus.Spondilitis bentuk sentral Pada bentuk ini destruksi awal
terletak di sentral korpus vertebra. Bentuk ini sering ditemukan pada anak. Penyakit
ini sering dikaitkan dengan meningitis tuberkulosa karena penyebarannya melalui
pleksus Batson. Pada bentuk sentral akan terjadi osteoporosis dan destruksi hingga
dapat terjadi kompresi vertebra. Kompresi vertebra bisa spontan, atau akibat jatuh
yang ringan sehingga mungkin salah didiagnosis sebagai patah tulang kompresi
traumatik. Bila terjadi kompresi, pada pemeriksaan klinis didapati gibus.
Spondilitis bentuk anterior Lokus awal berada di korpus vertebra bagian
anterior dan merupakan penjalaran perkontinuitatum dari vertebra di atasnya.
Ketiganya adalah Spondilitis bentuk paradiskus. Terletak di bagian korpus vertebra
yang bersebelahan dengan diskus intervertebralis. Bentuk ini sering ditemukan
pada orang dewasa. Bentuk paradiscal yang disertai destruksi korpus vertebra yang
bersebelahan dengan diskus akan mengakibatkan iskemia sehingga terjadi nekrosis
diskus. Pada gambaran rontgen terdapat penyempitan diskus intervertbra. Bila
proses terus berlanjut terjadi osteoporosis dan penyebaran keseluruh korpus
vertebra sehingga timbul kopresi vertebra dan terjadi gibus. Reaksi yang pertama
kali terjadi setelah adanya infeksi tuberkulosis terjadi pada sistem RES
(reticuloendothelial system) korpus vertebra berupa penimbunan sel‑sel PMN yang
segera digantikan oleh makrofag dan monosit. Lipid yang dihasilkan oleh poses
fagositosis basil tuberkulosis oleh makrofag pada akhirnya akan dikeluarkan
melalui sitoplasma makrfag tersebut dan membentuk sel‑sel epiteloid. Sel‑sel
epiteloid inilah yang memberikan gambaran spesifik reaksi tubuh terhadap infeksi
9

basil tuberkulosis. Kumpulan sel‑sel epiteloid disebut sel datia langhans yang hanya
terjadi jika ada nekrosis perkijuan. Fungsi utama sel datia langhans ini adalah
mencerna dan membuang jaringan nekrosis. Dalam waktu sekitar 1 (satu) minggu
limfosit muncul dan membentuk cincin yang mengelilingi lesi. Kumpulan sel‑sel
epiteloid, sel datia langhans, dan limfosit ini membentuk suatu nodul yang disebut
tuberkel. Pada minggu kedua mulai terjadi perkijuan di sentral tuberkel tersebut.
Reaksi eksudatif pada korpus vertebra berupa abses dingin yang terdiri dari serum,
lekosit, jaringan perkijuan, debris tulang dan basil tuberkel. Abses ini dapat
melakukan penetrasi dan menyebar ke berbagai arah. Proses selanjutnya ditandai
dengan hiperemi dan osteoporosis berat. Kerusakan vertebral terjadi akibat proses
osteolisis, mengakibatkan perlunakan korpus sehingga memungkinkan terjadinya
kompresi tulang. Selanjutnya akan terbentuk nekrosis yang lebih banyak berupa
abses dan debris. Abses dan debris makin banyak dan akan keluar dari vertebra
mencari lokasi dengan tahanan paling lemah. Di vertebra lumbal abses akan turun
ke bawah melalui sela aponeurosis otot psoas dan berhenti di retroperitoneal yang
teraba pada palpasi abdomen. Abses bisa berkumpul dan mendesak ke arah
belakang sehingga menekan medula spinalis dan mengakibatkan paraplegia Pott
yang disebut paraplegia awal. Paraplegia awal selain karena tekanan abses dapat
juga disebabkan oleh kerusakan medula spinalis akibat gangguan vaskuler.
Keadaan ini sangat jarang ditemukan pada tuberkulosis karena proses kronik
menyebabkan terbentuknya pembuluh darah kolateral. Paraplegia dapat juga
disebabkan akibat regangan terus menerus pada gibus yang disebut paraplegia
lanjut.
2.6 Manifestasi Klinis

Tuberkulosis pada tulang belakang tidak tampak pada tahun pertama


kehidupan. Mulai timbul setelah anak belajar berjalan dan melompat. Kemudian
terjadi pada semua umur. · Keluhan yang paling dini berupa rasa pegal di punggung
yang belum jelas lokalisasinya. Kemudianterasa nyeri sejenak kalau badan
digerakkan atau tergerak, yang tidak lama berikutnya akan jelas lokalisasinya
karena nyerinya lebih mudah timbul dan lebih keras intensitasnya. Pada tahap yang
10

agak lanjut nyeri di punggung itu ditambah dengan nyeri interkostal yang bersifat
radikular. Nyeri itu terasa bertolak dari ruas tulang belakang dan menjalar sejajar
dengan iga ke dada dan berhenti tepat di garis tengah dada. Untuk mengurangi
keadaan ini anak menarik punggungnya kuatkuat. Anak menghindari penekukan
tubuh waktu mengambil sesuatu di lantai. Jika terpaksa dia hanya menekukkan
lututnya untuk menjaga punggungnya tetap lurus. Rasa nyeri akan membaik bila
dia beristirahat.4,5,6
Tandatanda pada tingkatan yang berbeda :
 Pada leher, jika mengenai vertebra servik al penderita tidak suka memutar
kepalanya dan duduk dengan meletakkan dagu di tangannya. Dia akan
merasa nyeri pada leher atau pundaknya. Jika terjadi abses, pembengkakan
dengan fluktuasi yang ringan akan tampak pada sisi yang sama pada leher
di belakang otot sternomastoid atau tonjolan pada bagian belakang mulut
(faring).
 Pada punggung bawah sampai iga terakhir (regio toraks). Dengan adanya
penyakit pada regio ini, penderita memiliki punggung yang besar. Dalam
gerakan memutar dia lebih sering menggerakkan kakinya daripada
mengayunkan pinggulnya. Saat memungut sesuatu dari lantai dia menekuk
lututnya sementara punggungnya tetap lurus. Kemudian akan terdapat
pembengkakan atau lekukan yang nyata pada tulang belakang (gibus)
diperlihatkan dengan korpus vertebra yang terlipat.
 Jika abses ini menjalar menuju dada bagian kanan dan kiri serta akan
muncul sebagai pembengkakan yang lunak pada dinding dada (abses dingin
yang sama dapat menyebabkan tuberkulosis kelenjar getah bening
interkosta). Jika menuju ke punggung dapat menekan serabut saraf spinal
yang menyebabkan paralisis.
 Saat tulang belakang yang terkena lebih rendah dari dada (regio lumbal), di
mana juga berada di bawah serabut saraf spinal, pus juga dapat menjalar
pada otot sebagaimana pada tingkat yang lebih tinggi. Jika ini terjadi akan
tampak sebagai pembengkakan lunak di atas atau di bawah ligamentum
pada lipat paha atau di bawahnya tetap pada sisi dalam dari paha (abses
11

psoas). Pada keadaan yang jarang pus dapat berjalan menuju pelvis dan
mencapai permukaan belakang sendi panggul. (Pada Negara- negara dengan
prevalensi tinggi 1 dari 4 penderita dengan tuberkulosis tulang belakang
mempunyai abses yang dapat diraba.)
 Pada pasien-pasien dengan malnutrisi akan didapatkan demam
(kadangkadang demam tinggi), kehilangan berat badan dan kehilangan
nafsu makan. Di beberapa negara Afrika juga didapati pembesaran kelenjar
getah bening, tuberkel subkutan, pembesaran hati dan limpa.
 Pada penyakit-penyakit yang lanjut mungkin tidak hanya terdapat gibus
(angulasi dari tulang belakang), juga terdapat kelemahan dari anggota badan
bawah dan paralisis (paraplegi) akibat tekanan pada serabut saraf spinal atau
pembuluh darah.

2.7 Diagnosis
Diagnosis spondilitis ditentukan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan
rontgen. Gejala yang mendukung diagnosis spondilitis tuberkulosis adalah nyeri
yang meningkat pada malam hari makin lama makin berat terutama pada
pergerakan. Anak kecil dapat berteriak saat tidur nyenyak malam hari. Keadaan ini
terjadi karena otot erektor trunkus mengendur, sehingga terdapat pergerakan kecil
Antara vertebra yang sangat nyeri. Kemudian terbentuk gibus dan LED meningkat.
Pada foto rontgen tampak penyempitan sela diskus dan gambaran abses
paravertebral. Reaksi tuberkulin biasanya positif. Untuk melakukan pemeriksaan
bakteriologis, dapat dilakukan pungsi abses atau dari debris yang didapat dari
pembedahan.
2.7.1 Anamnesis
Tahap awal untuk menegakkan diagnosa adalah dengan menggali anamnesis yang
mencakup tempat kelahiran, riwayat penderita/keluarga dan lingkungannya
terhadap TB, riwayat imunisasi, sejarah kontak dengan penderita TB dan
12

penyakit‑penyakit lain yang terutama dapat menurunkan daya tahan/immunitas


tubuh.
Riwayat penderita :
 Apakah berasal dari daerah endemis TB ?
 Apakah ada kontak dengan penderita TB ?
 Adakah riwayat atau sedang menderita TB Pulmonal atau ekstra pulmonal
lain diluar tulang belakang?
 Riwayat Imunisasi; apakah pernah/tidak pernah dilakukan, atau pernah
dilakukan tetapi tidaklengkap.
 Apakah sedang menderita penyakit lain yang menurunkan daya tahan tubuh
seperti HIV, dll.
Gejala dan tanda‑tanda penyakit spondilitis TB :
Perjalanan klinis spondilitis tuberkulosis biasanya perlahan‑lahan walaupun
telah ilaporkan kasus dengan onset yang akut. 4 Gejala utama adalah nyeri tulang
belakang. Nyeri biasanya bersifat kronis, dapat lokal maupun radikular. Penderita
dengan keterlibatan vertebra segmen servikal dan torakal cenderung menderita
defisit neurologis yang lebih akut sedangkan keterlibatan lumbal biasanya
bermanifestasi sebagai nyeri radikular. 4 Selain nyeri, terdapat gejala sistemik
berupa demam, malaise,
keringat malam, peningkatan suhu tubuh pada sore hari dan penurunan berat badan.
5
Tulang belakang terasa kaku dan nyeri pada pergerakan. Tuli
mengelompokkannya menjadi dua stadium, yaitu stadium akut dan
penyembuhan.2,6 Pada stadium aktif, gejala dan tanda‑tandanya biasanya tidak jelas
tetapi dapat juga akut. Gejala yang sering terjadi pada stadium akut adalah nyeri
pinggang yang terdapat pada setengah kasus spondilitis TB. Disertai demam,
menggigil, keringat malam, penurunan berat badan, tidak ada nafsu makan, lemas
dan kelelahan yang tidak spesifik. Punggung jadi kaku dan sakit waktu digerakkan
disertai benjolan (gibus) yang juga terasa sakit bila ditekan. Otot‑otot paravertebral
menjadi kejang/spasme. Secara klinis sering ditemukan abses dingin di daerah
inguinal. Kenyataannya beberapa gejala dan keluhan tersebut tidak selalu terjadi
pada stadium akut, sehingga adanya riwayat keluarga yang menderita TB saja sudah
13

dapat dipakai untuk menduga kelainan yang ada pada tulang belakang mempunyai
kaitan dengan TB. Jika seorang klinikus secara rutin melakukan palpasi prosesus
spinosus dari leher sampai ke sakrum akan dapat mendeteksi perubahan bentuk
sekecil apapun sehingga dapat mendiagnosa TB tulang belakang
sebelum penyakitnya berlanjut dan terjadinya destruksi korpus yang lebih luas dan
gibus yang lebih menonjol. Pada stadium penyembuhan, bila penyakit sudah
sembuh penderita tidak nampak atau merasa sakit sama sekali. Tidak ada keringat
malam dan panas sore hari lagi. Nyeri pada punggung dan spasme otot hilang.
Tetapi deformitas yang terjadi pada stadium akut akan menetap. Gambaran klinis
TB yang tidak biasa (unusual) sebagai penyebab nyeri punggung yang menetap
harus diingat bila ingin menegakkan diagnosa secara dini sebelum gejala lainnya
timbul. Jarang sekali gejala pertama yang timbul berupa gangguan neurologis.
Infeksi pada craniocervical juntion menghasilkan gejala progresif. Gejala utama
adalah nyeri pada belakang kepala dan leher. Sebagian besar disertai gejala umum
infeksi tuberkulosis. Serak dapat terjadi dislokasi atlantoaksial yang menekan
struktur saraf dan dapat menyebabkan deficit neurologis atan bahkan kematian.
Para penderita harus selalu dicoba dicari focus primer tuberculosis yaitu dapat
berupa infeksi di paruparu, saluran kemih maupun saluran cerna. 7,8,
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status generalis penderita harus selalu dicari
tanda‑tanda TB pulmonal dan TB ekstra pulmonal lainnya seperti kelenjar limfe,
saluran urogenital, abdomen, tulang dan sendi. Kemudian baru dicari gejala lokal
pada tulang belakang, seperti gibus, abses. Perhatian khusus untuk mencari dan
menilai beratnya gangguan neurologis harus betul‑betul dikerjakan, karena
berkaitan erat dengan metode pengobatan yang diberikan dan untuk meramal
prognosis penyakit. Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan dan dinilai dengan
Inspeksi kulit pada tulang belakang, dengan perhatian ada tidaknya Sinus
Alignment tulang belakang, adanya spasme otot‑otot paravertebral. Diperhatikan
ada tidaknya massa subkutan pada regio flank, inguinal, perineal atau gluteal .
Defisit neurologis dapat muncul awal atau pada fase penyembuhan. Gejala yang
timbul tergantung pada level medula spinalis atau syaraf spinal yang terlibat dan
14

Infeksi pada craniocervical junction, ruang lingkup pada pemeriksaan fisik


ditemukan keterbatasan gerak sendi leher, nyeri tekan dan spasme otot‑otot
posterior leher. Hampir pada semua kasus terbentuk abses retrofaring, selain itu
dapat muncul disfagia, stridor, tortikolis dan suara . 8,9
2.7.3 Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan Laboratorium kita dapat diperliatkan Peningkatan LED
dan mungkin disertai leukositosis, tetapi hal ini tidak dapat digunakan untuk uji
tapis. Al‑marri melaporkan 144 anak dengan spondilitis tuberkulosis didapatkan 33
% anak dengan laju endap darah yang normal.Seterusnya , Uji Mantoux atau
tuberkulin (tuberculin skin test/TST) positif pada TBC aktif dan
Uji tuberkulin merupakan alat diagnostik yang sampai saat ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas cukup tinggi untuk mendiagnosis adanya infeks
tuberculosis. Test mantoux adalah suatu cara yang digunakan untuk mendiagnosis
TBC. Tes mantoux itu dilakukan dengan menyuntikan suatu protein yang berasal
dari kuman TBC sebanyak 0,1ml dengan jarum kecil di bawah lapisan atas kulit
lengan bawah kiri. Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman
mungkin ditemukan mikobakterium dan Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar
limfe regional. ,9
Selain itu , Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel dan
Pungsi lumbal, harus dilakukan dengan hati‑hati, karena jarum dapat menembus
masuk abses dingin yang merambat ke daerah lumbal. Akan didapati tekanan cairan
serebrospinalis rendah, test Queckenstedt menunjukkan adanya blokade sehingga
menimbulkan sindrom Froin yaitu kadar protein likuor serebrospinalis amat tinggi
hingga likuor dapat secara spontan membeku. Pemeriksaan CRP ( C‑Reaktif
Protein ) menunjukkan peningkatan CRP pada 66 % dari 35 pasien spondilitis
tuberkulosis yang berhubungan dengan pembentukan abses dan Pemeriksaan
serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi. ,9
Tambahan pula, Pemeriksaan dengan ELISA ( Enzyme‑Linked
Immunoadsorbent Assay ) dilaporkan memiliki sensitivitas 60‑80 % , tetapi
emeriksaan ini menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan alergi.Pada populasi
dengan endemis tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi sehingga sulit
15

mendeteksi kasus tuberkulosis aktif.Identifikasi dengan Polymerase Chain


Reaction ( PCR ) masih terus dikembangkan. Prosedur tersebut meliputi denaturasi
DNA kuman tuberkulosis melekatkan nucleotida tertentu pada fragmen DNA ,
amplifikasi menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai DNA utuh
2,3
yang dapat diidentifikasi dengan gel. Pada pemeriksaan mikroskopik dengan
pulasan Ziehl Nielsen membutuhkan 10 basil permililiter spesimen, sedangkan
kultur membutuhkan 10 basil permililiter spesimen. Kesulitan lain dalam
menerapkan pemeriksaan bakteriologik adalah lamanya waktu yang diperlukan.
Hasil biakan diperoleh setelah 4‑6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2‑4
minggu sesudahnya.Saat ini mulai dipergunakan system BATEC ( Becton
Dickinson Diagnostic Instrument System ), Dengan system ini identifikasi dapat
dilakukan dalam 7‑10 hari.Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh
kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena system ini memakai zat
radioaktif maka harus dipikirkan bagaimana membuang sisa‑sisa radioaktifnya. ,9

2.7. 4 Pemeriksaan Radiologis


Suatu pencitraan yang ideal harus dapat memberikan keterangan mengenai
Jumlah vertebra yang terlibat, sudut kifosis yang terjadi dan Seberapa jauh destruksi
tulang telah terjadi, apakah hanya terbatas pada kolumna anterior atau sudah
mencapai kolumna posterior. Selain itu,kita juga dapat memastikan Ada tidaknya
keterlibatan jaringan lunak, termasuk pembentukan abses dan sekuesterisasi
diskusinterverbralis dan ada tidaknya kompresi medula spinalis dan tingkat
keseriusannya. 2,3,7
Pemeriksaan adalah foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru.
Hal in sangat diperlukan untuk menyingkirkan diagnosa banding penyakit yang lain
. Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus
vertebra, disertai penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara korpus
tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto
AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (bird’s net), di
daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat berbentuk
fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul
16

kifosis.Di foto toraks juga kita dapt identifikasikan dekalsifikasi suatu korpus
vertebra (pada tomogram dari korpus tersebut mungkin terdapat suatu kaverne
dalam korpus tersebut) oleh karena itu maka mudah sekali pada tempat tersebut
suatu fraktur patologis. Dengan demikian terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga
bagian depan dari korpus vertebran itu adalah menjadi lebih tipis daripada bagian
belakangnya (korpus vertebra jadi berbentuk baji) dan tampaklah suatu Gibbus
pada tulang belakang itu. “Dekplate” korpus vertebra itu akan tampak kabur (tidak
tajam) dan tidak teratur dan diskus Intervertebrale akan tampak menyempit. Foto
Roentgen dapat menunjukkan kejadian abses dingin , abses dingin itu akan tampak
sebagai suatu bayangan yang berbentuk kumparan (“Spindle”). Spondilitis ini
paling sering ditemukan pada vertebra T8‑L3 dan paling jarang pada vertebra C1‑2.
2,3,10

2.7.5 Pemeriksaan CT scan


CT scan menggambarkan luasnya infeksi secara lebih akurat dan
mendeteksi lesi lebih dini dibandingkan foto polos. Hofmann dkk24 melaporkan
25% penderita mereka memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT scan dan
MRI yang lebih polos. CT scan efektif kalsifikasi pada abses jaringan lunak. Selain
itu CT scan dapat digunakan untuk memandu prosedur biopsi. Lesi terlihat
osteolitik iregular, bermula pada korpus dan kemudian menyebar sehingga vertebra
kolaps dan terjadi herniasi diskus ke dalam vertebra yang hancur. CT scan dapat
menggambarkan keterlibatan elemen posterior bilateral akan berakibat instabilitas
tulang belakang sehingga tindakan operatif merupakan indikasi dan prosedur
anterior strut grafting mungkin tidak adekuat sehingga dibutuhkan instrumentasi
posterior.2,4,6 CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang. Mendeteksi
lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan kalsifikasi dari abses
jaringan lunak. 11,12
2.7. 6 Pemeriksaan MRI
Kelebihan MRI adalah kemampuannya dalam proyeksi multiplanar dan
dalam spesifitas terutama jaringan lunak yang dapat ditampilkan lebih baik
sehingga dapat mendeteksi lesi lebih awal dan lebih menyeluruh. Pada MRI akan
17

ditemui penurunan intensitas sinyal fokus infeksi pada gambaran T1‑weighted dan
peningkatan sinyal yang heterogen pada gambaran T2‑weighted. Pada pemberian
kontras infeksi tuberkulosis memperlihatkan penyangatan inhomogen pada
infiltrasi sumsum tulang dengan tepi lesi menyangat. Abses tuberkulosis pada
pemberian kontras akan memperlihatkan penyangatan perifer dengan nekrosis
sentral. Keterlibatan diskus invertebralis sebagian besar akan menampilkan
gambran klasik diskitis berupa peningkatan singal pada gambaran T2‑weighted,
penurunan sinyal pada gambaran T1‑weighted dan menyangat setelah pemberian
kontras. 11,12
MRI juga dapat menggambarkan perluasan infeksi paling baik dan dapat
memperlihatkan penyebaran granuloma tuberkulosis di bawah ligamentum
ongitudinal anterior dan posterior. MRI dapat membedakan jaringan patologis yang
mengakibatkan penekanan pada struktur neurologis. Hal ini penting karena
intervensi bedah dibutuhkan pada defisit neurologis yang disebabkan penekanan
oleh deformitas tulang
berupa kifosis atau oleh konstriksi akibat fibrosis di sekeliling kanalis neuralis.
Mehta mengajukan klasifikasi tuberkulosis vertebra torakal berdasarkan ekstensi
lesi yang terlihat pada MRI untuk perencanaan strategi pembedahan dan
Mengevaluasi infeksi diskus intervertebrata dan osteomielitis tulang belakang.yaitu
juga dapat Menunjukkan adanya penekanan saraf. Dilaporkan 25 % dari pasien
mereka memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT‑Scan dan MRI yang
lebih luas dibandingkan dengan yang terlihat dengan foto polos.CT‑Scan efektif
mendeteksi kalsifikasi pada abses jaringan lunak . Selain itu CT‑Scan dapat
digunakan untuk memandu prosedur biopsi. 11,12
2.7.7 Bakteriologis
Kultur kuman tuberkulosis merupakan baku emas dalam diagnosis.
Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengonfirmasi diagnosis klinis
dan radiologis secara mikrobakteriologis. Masalah terletak pada bagaimana
mendapatkan spesimen dengan jumlah basil yang adekuat. Pemeriksaan
mikroskopis dengan pulasan Ziehl‑Nielsen membutuhkan 104 basil per mililiter
spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 103 basil per mililiter spesimen.5
18

Kesulitan lain dalam menerapakan pemeriksaan bakteriologis adalah lamanya


waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4‑6 minggu dan hasil
resistensi baru diperoleh 2‑4 minggu sesudahnya. Saat ini mulai dipergunakan
sistem BACTEC (Becton Dickinson Diagnostic Intrument System). Dengan sistem
ini identifikasi dapat dilakukan dak\lam 7‑10 hari. Kendala yang sering timbul
adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena
sistem ini memakai zat radioaktif maka harus dipikirkan bagaimana membuang
sisa‑sisa radioaktifnya. Pada negara di mana terdapat prevalensi tuberkulosis yang
tinggi atau tidak terdapat sarana medis yang mencukupi, penderita dengan
gambaran klinis dan radiologis yang sugestif spondilitis tuberculosis tidak perlu
dilakukan biopsi untuk memastikan diagnosis dan memulai pengobatan.5
2.7.8 Histopatologis
Infeksi tuberkulosis pada jaringan akan menginduksi reaksi radang
granulomatosis dan nekrosis yang cukup karakteristik sehingga dapat membantu
penegakan diagnosis. Ditemukannya tuberkel yang dibentuk oleh sel epiteloid,
giant cell dan limfosit disertai nekrosis perkejuan di sentral memberikan nilai
diagnostik paling tinggi ibandingkan temuan histopatologis lainnnya. Gambaran
histopatologis berupa tuberkel saja harus dihubungkan dengan penemuan klinis dan
radiologis.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis ditujukan untuk eradikasi, atau
minimal menahan perkembangan penyakit dan Mencegah atau memperbaiki
deformitas. Mencegah atau menanggulangi komplikasi utama berupa paraplegi
Kriteria kesembuhan sebagian besar ditekankan pada tercapainya favourable status
yang didefenisikan sebagai pasien dapat beraktifitas penuh tanpa membutuhkan
kemoterapi atau tindakan bedah lanjutan, tidak adanya keterlibatan system saraf
pusat , focus infeksi yang tenang secara klinis maupun secara radiologis. 3,4,7
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan
sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah
paraplegia. Prinsip pengobatan paraplegia Pott’s sebagai berikut yaitu Pemberian
obat antituberkulosis. Perlu melakukan dekompresi medulla spinalis dan
19

menghilangkan/ menyingkirkan infeksi.untuk biasa lakukan Stabilisasi vertebra


dengan graft tulang (bone graft).Sebaai Terapi konservatif perlu manganjurkan
Tirah baring (bed rest) dengan posisi yang sesuai untuk pasien dan memberi korset
yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra.selainya ,
Memperbaiki keadaan umum penderita
Pengobatan antituberkulosa Standar pengobatan di indonesia berdasarkan
program P2TB paru adalah Kategori 1 untuk penderita baru BTA (+) dan
BTA(‑)/rontgen (+), diberikan dalam 2 tahap ; Tahap 1 : Rifampisin 450 mg, INH
300mg, Etambutol 1000 mg, dan Pirazinamid 1500 mg. Obat ini diberikan setiap
hari selama 2 bulan pertama (60 kali). Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg,
diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 4 bulan (54kali).
Lamanya pengobatan Dosis per hari Jumlah hari/kali menelan obat Tablet
Isoniazid 300 mg satu kali, Tablet Rifampicin 450 mg satu kali ,Tablet Pyrazinamid
500 mg tiga kali dan Tablet Etambutol 250 mg tiga kali selama 60 hari secara
terus menerus .Selepas itu , 42 bulan Seterusnya hanya perlu makan tablet
Isoniazid dua tablet dan Rifampisin satu tablet selama 542 hari dengan interval
satu hari .
Kategori 2 adalah untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat
selama sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang
diberikan dalam 2 tahap yaitu Tahap I diberikan Streptomisin 750 mg , INH 300
mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat ini
diberikan setiap hari , Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat
lainnya selama 3 bulan (90 kali).Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450
mg dan Etambutol 1250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama
5 bulan (66 kali). Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum
penderita bertambah baik, laju endap darah menurun dan menetap, gejala‑gejala
klinis berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran radiologik ditemukan
adanya union pada vertebra. 1,3
Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid
hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti
Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis TB milier
20

dengan atau tanpa meningitis , Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau
efusi pericardial, Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran
kencing (untuk mencegah penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar getah bening
dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah atau Hipersensitivitas berat
terhadap OAT dan IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome ). Dosis dan
lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya keluhan
serta respon klinis. Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu,
dosis harus diturunkan secara bertahap (tappering off).Kortikosteroid yang
diberikan adalah Predinisolon (per oral) ,untuk Anak diberikan 2 mg / kg BB, sekali
sehari pada pagi hari dan untuk Dewasa: 30 – 60 mg, sekali sehari pada pagi hari.
Seterusnya Terapi operatif dimana Bedah Kostotransversektomi yang
dilakukan berupa debrideman dan penggantian korpus vertebra yang rusak dengan
tulang spongiosa/kortiko – spongiosa. Indikasi operasi yaitu adalah defisit
neurologis yang signifikan terutama bila berhubungan dengan kifosis yang
progresif atauherniasi tulang atau diskus pada kanalis neuralis dan abses besar
segmen servikal pada penderita dengan obstruksi saluran respirasi atau Lesi
posterior yang disertai dengan pembentukan abses atau sinus. Sekitanya berlaku
Instabilitas tulang belakang atau kifosis yang progresif walaupun telah mendapat
kemoterapi adekuat Kegagalan terapi konservatif setelah pengobatan kemoterapi
3‑6 bulan atau Rekurensi infeksi atau defisit neurologisbi bila dengan terapi
konservatif setelah pengobatan kemoterapi 3‑6 bulan tidak terjadi perbaikan
paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya 2 minggu sebelum tindakan operasi
dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.Adanya
abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan sekaligus
debrideman serta bone graft.
Abses besar segmen servikal pada pasien dengan obstruksi saluran respirasi
.dan ada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun
pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla
spinalis. Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi
penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang
peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin),
21

lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis progresif atau hernasi tulang atau diskus
1,2,3,4
pada kanalis neuralis. Terdapat perdebatan perlu tidaknya intervensi operatif
untuk mencegah kifosis pada fase penyembuhan. Rajasekkaran menyatakan
ditemukannya disrupsi elemen posterior berupa dislokasi joint facet, retropulsi
segmen vertebra ke posterior, translasi lateral kolumna vertebralis dan adanya
tilting/toppling merupakan tanda awal instabilitas yang akan berakibat kifosis
progresif dan menganjurkan tindakan bedah dilakukan dini.
Beberapa penulis menganjurkan diguanakannya metode anterior bone graft
disertai dengan osteotomy posterior dan arthrodesis dengan menggunakan fiksasi
interna sehingga akan didapatkan pemanjangan kolumna anterior dan pemendekan
kolumna posterior. Metode ini membutuhkan kemampuan ahli bedah yang lebih
trampil, tetapi memberikan tulang belakang yang lebih stabil dan dapat diterima
secara kosmetik. Karena spondilitis tuberkulosis terutama melibatkan elemen
anterior tulang belakang direkomedasikan melakukan approach anterior sehingga
abses dapat dievakuasi, subtansi yang nekrosis dapat dibuang, dapat dilakukan
dekompresi anterior medulla spinalis.
Jaringan untuk pemeriksaan histopatologi dan kultur didapat dengan mudah
dan kifosis dapat dikoreksi atau distabilisasi dengah autogenous bone graft.
Approach posterior diindikasikan pada keterlibatan elemen posterior dan posterior
dan stabilisasi posterior dibutuhkan sebelum tindakan dekompresi anterior dan
arthrodesis, juga pada penderita dengan tulang belakang yang sebenarnya stabil
atau memiliki deformitas minimal tetapi memiliki tuberkuloma intrameduler atau
abses epidural. 5
22

Daftar Pustaka
1.World Health Organization, 2002. Spinal Tuberculosis.. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs194/en/..

2. Harsono. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi. Ed. II.


Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2003. p. 195‑197
3. Anonim. Spondylitis Tuberkulosa. [Online]. 2007 Sept;[3 screens]. Available
from:URL:http://http://www.medlinux.blogspot.com
(http://www.medlinux.blogspot.com)
4.Anonim.Introduction.3screens].Availablefrom:URL:http://www.kennethsternchi
ropractic.com/anatomy-of-spine.htm

5. Hidalgo, JA. Pott Disease. [Online]. 2005 Aug 25];[17 screens]. Available
from:URL:http:www.eMedicine.com/med/topic
6. Anonim. Penyakit paget pada tulang. [Online]. 2006 Oct [2 screens]. Available
from:URL:http://www.patient.co.uk/showdoc/40001278/
(http://www.patient.co.uk/showdoc/40001278/)
7. Anonim. Paget’s disease of bone. [Online]. 2005 Oct;[4 screens]. Available
from:URL:http://http://www.thamburaj.com (http://www.thamburaj.com)
8. Tamburaf, V. Spinal Tuberculosis. [Online]. 2006 Available from:
URL:http://www.infeksi.com (http://www.infeksi.com)
9. Harisinghani, MG. Tuberculosis from Head to Toe. [Online]. 1999 Feb 19 [4
screens]. Available from: URL:http://www.nejm.com(h꫏ꬻ p://www.nejm.com)
10. Yanardag, H. Pott Disease. [Online]. 1999 Feb 19 [cited 2008 Des 27];[5
screens]. Available from:URL:http://www.ispub.com (h꫏ꬻ p://www.ispub.com)
11. Sinan, T. Spinal tuberculosis: CT and MRI features. [Online]. 1999 Feb 19 ;[5
screens].Availablefrom:URL:http://www.kfshrc.edu.sa (http://www.kfshrc.edu.sa)
12. Danchaivijitr, N. Diagnostic Accuracy of MR Imaging in Tuberculous
Spondylitis. [Online]. 2007 Feb 19 [cited 2016 aug 28];[5 screens]. Available from:
URL:http://www.medassocthai.org/journal(http://www.medassocthai.org/journal)

Anda mungkin juga menyukai