Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh:
Nabilla Turista Lastanta
30101206697
Nur Sulistiyaningsih
30101407274
Pembimbing:
dr. Elly Noer Hidayah, Sp.KJ
VARIABEL DEMOGRAFI
Abstrak
Latar Belakang: Penyakit ginjal kronis (CKD) adalah masalah kesehatan yang
dapat muncul baik di negara maju maupun negara berkembang. Depresi, cemas
dan gangguan tidur sangat lazim terjadi pada pasien dengan penyakit kronis, tetapi
hal tersebut tetap belum terobati meskipun ada konsekuensi negatif yang
berisiko tinggi dan bila dapat memodifikasi prediktor ini diharapkan akan
membantu dalam mewujudkan kehidupan yang aktif dan sehat pada pasien CKD.
Metode: Kami melakukan studi cross sectional pada 200 pasien CKD stadium III
pusat pelayanan tersier tunggal di negara bagian Haryana, India. Kami menilai
demografi pada pasien ini. Kuesioner terstruktur yang digunakan dalam penelitian
responden, serta informasi yang diperoleh dari kuisioner HADS dan PSQI. Faktor
yang terkait dengan cemas, depresi dan insomnia diolah dengan analisis regresi
logistik ganda.
Hasil: Prevalensi dari cemas, depresi dan insomnia masing-masing antara lain
71%, 69% dan86,5%. Pada CKD tingkat lanjut, prevalensi sertaparameter tingkat
insomnia pada pasien CKD. Perlu dilakukannya pegembangan strategi agar secara
mengidentifikasi pasien CKD dengan risiko tinggi yang terkait dengan kesehatan
PENGANTAR
diperhatikan dan seperti banyak penyakit kronis lainnya yang selalu dikaitkan
dengan berbagai kondisi kejiwaan dan kualitas hidup yang lebih buruk. CKD
memiliki dampak negatif yang mempengaruhi dari segi sosial, finansial, dan
[1,2]
kesejahteraan psikologis pasien. Pasien dengan CKDdianggap sangat rentan
terhadap masalah emosi karena stres kronis yang terkait dengan beban penyakit,
obat, perubahan persepsi diri dan rasa takut mati. Pasien hemodialisis mengalami
psikopatologis yang lebih besar termasuk bunuh diri, kepatuhan yang lebih rendah
[3]
terhadap pengobatan dan peningkatan jangka panjang rasa nyeri pada tubuh.
Karena itu, diagnosis dan pengobatan kondisi ini menjadi penting untuk
serta pada akhirnya dapat mengurangi morbiditas dan risiko kematian pada
populasi tersebut.
tumpang tindih dengan gejala akibat uremia pada CKD, pasienpun banyak yang
tidak terdiagnosis oleh dokter yang merawat. Cemas pada pasien CKD sering
kekebalan serta status gizi pasien. Menurunnya kualitas tidur adalah halumum
yang dapat terjadi pada pasien hemodialisis sehingga dapat menurunkan kualitas
[5]
hidup. Penyebab kurang tidur pada pasien CKD antara lain cemas, depresi,
Meski beberapa studi tentang depresi, cemas dan kualitas tidur telah
Penelitian pada kesehatan mental terkait pasien CKD di India jarang dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji prevalensi cemas, depresi dan insomnia
dengan harapan temuan ini dapat menjadi pertimbangan psikologis yang sesuai
Dalam penelitian cross sectional ini, sebanyak 200 pasien dengan penyakit
ginjal kronis stadium III hingga V-D direkrut antara bulan Mei 2014 - Oktober
negara bagian Haryana, India. Pasien berusia <18 tahun, pasien dengan riwayat
dengan transplantasi ginjal atau kondisi apa saja menghalangi pasien untuk
menjadi kondisi psikiatri primer, atau bisa sebagai bagian atau temuan klinis dari
Insomnia: Sensasi subyektif dari tidur yang singkat, dan tidak memuaskan,
meski memiliki kemampuan untuk tidur. Baik kesulitan dalam memulai tidur,
terbangun saat malam, maupun kesulitan untuk tidur kembali yang harus terus
radiografi dan biokimia dasar. Profil demografis setiap pasien dicatat sesuai
(Hospital Anxiety and Depression Scale) untuk cemas dan depresi serta PSQI
(Pittsburgh Sleep Quality Index) untuk insomnia. HADS adalah skala pengukuran
dengan 14 item pertanyaan yang menghasilkan data ordinal. 7 dari item tersebut
berhubungan dengan cemas dan 7berhubungan dengan depresi. Ini adalah alat
yang berguna untuk mendeteksi cemas dan depresi pada orang dengan masalah
kesehatan fisik. Tanggapan diberi skor dengan skala 0-3, skala 3 menunjukkan
frekuensi gejala yang lebih tinggi. Skor dari setiap subskala dapat berkisar antara
cemas/depresi sedang dan 15-21 cemas/depresi berat. Total skor untuk seluruh
skala (gangguan mood dan afek) berkisar antara 0-42,dengan skor yang lebih
Pittsburgh Sleep Quality Indeks. PSQI adalah kuesioner untuk menilai kualitas
[7]
tidur dalam interval waktu 1 bulan. Ia membedakan antara kualitas tidur yang
"buruk" dengan yang "baik" dengan cara mengukur tujuh domain yaitu: kualitas
tidur subjektif, latensi tidur, durasi tidur, kebiasaan tidur, dan gangguan tidur,
penggunaan obat tidur, dan gangguan aktivitas pada siang hari selama beberapa
bulan terakhir. Setiap domain diberi skor tertentu yang pada akhirnya dirangkum
dalam skor global untuk memprediksi kualitas tidur. Skor ≥5 adalah indikasi
stadium V).
Metode Statistik:
menggunakan sintaks perangkat lunak untuk HADS dan PSQI. Data dianalisis dan
disajikan sesuai untuk hasil tes distribusi normal. Tes ANOVA digunakan untuk
HASIL:
50,11 ± 13,99 tahun, dan sebagian besar subjek adalah laki-laki (64%),
rendah (≤1,5 lac per tahun) (56%) dan yang berada di daerah pedesaan (52,5%).
Selain itu, 58% pasien mendapat pendidikan hingga tingkat dasar sementara
34,5% pasien memiliki pendidikan tingkat menengah dan hanya 7,5% yang
distribusi etiologi, penyebabCKD yang paling umum antara lain penyakit diabetes
Seperti yang telah ditunjukkan pada Tabel 1, tidak ada perbedaan statistik
yang signifikan antara 4 kelompok tersebut dalam hal usia, SBP, DBP, MAP,
gula darah, serum asam urat, dan serum kalium. Disisi lain, hemoglobin, serum
kalsium dan eGFR menunjukkan penurunan yang signifikan secara statistik dari
<0,05).
Dari 200 pasien, 142 (71%) pasien mengalami cemas (HADS-A score> 7),
138 (69%) pasien mengalami depresi (skor HADS-D> 7) dan 173 (86,5%) pasien
memiliki kualitas tidur yang buruk (PSQI skor ≥5). Skor cemas, depresi, dan
insomnia masing-masing 11,16 ± 3,91, 10,74 ± 3,69 dan 7,93 ± 3,37. Skor
tersebut lebih tinggi dari nilai ambang, dalam diagnosis kondisi ini; di sebagian
insomnia yang tinggipada pasien CKD. Rata-rata skor cemas, depresi dan
ditunjukkan pada tabel 2 yang signifikan secara statistik (p <0,001). Temuan ini
pasien mengalami cemas, depresi dan insomnia. Tingkat keparahan penyakit juga
berbagai klinis dan variabel sosio-demografi. Rata-rata dari skor cemas, depresi
dan insomnia ditemukan menjadi lebih tinggi pada mereka yang memiliki Hb <9,
universitas tidak signifikan (p> 0,05). Temuan ini menunjukkan bahwa pasien
yang kurang berpendidikan memiliki skor depresi dan skala insomnia yang lebih
yang signifikan antara cemas, depresi dan skor PSQI dengan jumlah leukosit, urea
signifikan secara statistik dengan hemoglobin, serum kalsium dan eGFR. Skor
depresi dan PSQI juga berkorelasi positif dengan kadar serum kalium sedangkan
cemas tidak menunjukkan korelasi dengan serum kalium. Cemas dan depresi juga
berkorelasi negatif dengan BMI namun skor PSQI tidak memiliki korelasi yang
signifikan dengan BMI. Korelasi variabel lain seperti usia, MAP, serum asam
urat, serum natrium, gula darah dengan cemas, depresi dan skor PSQI juga dinilai
dalam penelitian ini. Namun, hasilnya tidak signifikan secara statistik. Cemas,
depresi, dan insomnia ditemukan memiliki korelasi positif yang signifikan satu
DISKUSI
hidup dan kesehatan mental yang lebih buruk, termasuk tingkat depresi yang lebih
tinggi [8,9]Dalam sebagian besar studi literatur, telah ditemukan bahwa pada pasien
obat dalam jangka waktu lama dan banyak serta seringnya rawat inap dapat
berkontribusi pada depresi atau cemas. Meski sudah ada peningkatan perhatian
perencanaan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara fungsi ginjal,
cemas, depresi, kualitas tidur dan prediktornya karena terdapat kelangkaan studi
semacam itu pada pasien CKD pada populasi India, sehingga diharapkan dapat
berkontribusi dalam manajemen masalah kesehatan yang lebih baik pada pasien
CKD.
homogenitas dan konsistensi internal”. [12] Dalam ulasan lain yang dilakukan oleh
Bjelland dkk, HADS digunakan dalam menilai keparahan dari gangguan cemas
dan depresi baik dalam somatik, psikiatri dan pelayanan primer pasien dan
[13]
populasi secara umum. Kualitas tidur dinilai menggunakan skor PSQI.
yang digunakan untuk mengukur kualitas dan pola tidur pada orang dewasa yang
lebih tua.
insomnia yang tinggi pada pasien CKD. Sebanyak 142 (71%) pasien mengalami
cemas (HADS-A > 7), 138 (69%) pasien mengalami depresi (HADS-D > 7) dan
173 (86,5%) pasien memiliki kualitas tidur yang buruk (PSQI ≥5). Terdapat
persentase yang lebih tinggi untuk ketiga parameter tersebut dibandingkan dengan
[14,15]
dan cemasmasing-masing 29% dan 45,7% pada pasien ESRD. Temuan ini
dapat dikaitkan dengan fakta bahwa dalam populasi India sebagian besar orang
fasilitas medis yang baik. Dan juga tingkat pendidikan yang rendah, masalah
berkepanjangan yang dapat memperburuk kondisi stres pada pasien CKD. Dalam
populasi penelitian ini, 10% dikategorikan sebagai cemas ringan, 36,5% cemas
sedang dan 24,5% cemas berat. Proporsi depresi ringan, sedang dan berat masing-
masing 11%, 43,5% dan 14,5%. Temuan penelitian kami juga mengungkapkan
bahwa semakin lanjut stadium CKD lebih besar pula prevalensi dan tingkat
keparahan cemas, depresi, serta insomnia. Hal ini menyiratkan bahwa seiring
dengan peningkatan stadium CKD, kesehatan mental dan kualitas tidur pasien
akan semakin memburuk. Hubungan antara gejala depresi dengan stadium CKD
yang serupa dilihat oleh Palmer dkk dan Chiang dkk dalam studi masing-masing.
[16, 17]
Terdapat kekurangnan dari studi yang membandingkan cemas pada berbagai
stadium CKD. Dalam studi lain yang dilakukan oleh Cantekin dkk pada pasien
pra hemodialisis ditemukan bahwa 35% pasien mengalami depresi dan 53,4%
hidup pada pasien dengan CKD. Prevalensi gangguan tidur di antara pasien CKD
diperkirakan sekitar 41% hingga 83% dalam studi berbasis kuesioner. Keluhan
yang paling seringantara lain kesulitan dalam memulai tidur, kesulitan dalam
[19]
mempertahankan tidur, kantuk di siang hari,dan kelelahan. Temuan serupa
telah diamati pada penelitian kami dengan 86,5% pasien mengalami kualitas tidur
yang kurang berdasarkan kuesioner PSQI. Maqbool dkk melakukan studi tentang
insomnia pada pasien CKD yang menunjukkan bahwa insomnia masih merupakan
[20]
masalah utama, yaitu sebanyak 42,9% pasien. Di tempat lain studi yang
dilakukan oleh Iliescu dkk, kualitas tidur pada pasien dengan penyakit ginjal
kronis diukur menggunakan PSQI dengan hasil sebanyak 53% pasien memiliki
'kualitas tidur yang buruk' yang didefinisikan sebagai skor PSQI global ≥5. [21]
untuk mengevaluasi peran mereka dalam kesehatan mental dan kualitas tidur.
Pasien pada penelitian kami dengan hemoglobin <9,0 g/dl, menganggur, mereka
yang tinggal di daerah perkotaan dan kelompok yang memiliki pendapatan rendah
memiliki nilai prevalensi cemas, depresi dan insomnia yang lebih tinggi dan
signifikan(p <0,001). Temuan ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Tanvir
dkk yang menemukan skor cemas dan depresi yang lebih tinggi pada pasien
[22]
dengan status sosio-ekonomi rendah dan pendidikan yang kurang. Sesso dkk
demografis pada cemas dan depresi pada pasien CKD dan menemukan tingkat
depresi yang lebih tinggi pada kelompok sosio-ekonomi rendah yang memberikan
bukti langsung bahwa pasien ini menghadapi masalah yang meningkat baik dalam
[24]
kesejahteraan psikologis, hubungan sosial dan kesehatan umum. Jika
dibandingkan, pasien dengan komorbiditas memiliki skor yang lebih tinggi secara
signifikan dibandingkan dengan tanpa komorbiditas (p <0,001). Hal tersebut
serupa dengan hubungan depresi dan penyakit komorbid yang dilihat oleh Patel
dkk. Pasien yang menderita depresi memiliki tingkat kelelahan dan kecemasan
yang lebih besar, sering memiliki keinginan bunuh diri, dan kualitas hidup yang
[25]
lebih buruk daripada pasien yang tidak depresi. Hubungan antarapendapatan
rendah dan kehadiran penyakit komorbid dengan depresi juga diamati oleh
[25]
Andrade dkk pada pasien CKD. Terdapat kekurangan data dalam
juga pada studi kami ditemukanbahwa kualitas tidur secara signifikan dipengaruhi
perbedaan dalam skor cemas, depresi dan insomnia yang terlihat atas dasar BMI,
usia dan jenis kelamin. Temuan-temuan ini termasuk bertentangan dengan yang
terlihat oleh Patel dkk yang menemukan adanya hubungan langsung depresi
[25]
dengan BMI yang rendah. Namun, temuan ini sesuai dengan hasil yang
diperoleh oleh Chiang dkk yang mempelajari korelasi antara depresi pada pasien
CKD dan tidak menemukan hubungan antara depresi dengan usia dan jenis
[17]
kelamin. Dalam studi lain, Theofilou menemukan korelasi langsung depresi
[24]
tingkat kesejahteraan fisik dan tingkatdepresi yang lebih tinggi. Perbedaan ini
mungkin disebabkan oleh struktur populasi yang berbeda dan sedikitnya orang tua
dalam populasi. Status pernikahan juga tidak memiliki efek pada skor cemas dan
insomnia meskipun skor depresi yag lebih tinggi secara signifikan ditemukan pada
pasien yang sudah menikah. Hasil yang sama terlihat oleh Tanvir dkk yang
[22]
menemukan skor depresi yang lebih tinggi pada pasien yang menikah. Orang
yang menikah menanggung tanggung jawab ekstra dari keluarga mereka. Hal ini
dievaluasi setelah membagi populasi penelitian dalam tiga kelompok atas dasar
tingkat pendidikan yaitu dasar (hingga tingkat 8), menengah (tingkat 9-12) dan
rendah atau kurang dalam pendidikan, yang umumnya diambil sebagai indikator
Dalam penelitian kami, pasien yang kurang terdidik memiliki kesehatan yang
kurang dan prevalensi serta keparahan yang lebih tinggi dalam hal cemas, depresi
dan insomnia.
dan
kadar hemoglobin dengan skor cemas, depresi dan insomnia. Hal ini berarti
persepsi kesehatan mental pasien tidak hanya terkait dengan fungsi ginjal, tetapi
juga untuk kondisi lain - seperti anemia yang biasa terlihat pada pasien CKD.
Korelasi positif yangsignifikan dari skor ini terlihat pada urea darah, serum
Pearson, antara skor HADS-A, HADS-D dan PSQI. Korelasi positif yang
signifikan terlihat di antara semua skor. Hasil yang sama ditemukan oleh Chiang
dkk yang memeriksa prevalensi depresi, serta pengaruh faktor psikososial lainnya
gangguan tidur tiga kali lebih banyak cenderung mengalami depresi daripada
[17]
mereka yang memiliki tidur yang nyenyak. Keadaan psikopatologis tersebut
gairah sistem individu yang mengalami insomnia lebih aktif daripada pada
(ACTH) dan kortisol, yang mungkin dalam jangka panjang dapat mengakibatkan
[29, 30]
gangguan kejiwaan. Di lain studi yang dilakukan oleh Iliescu dkk riwayat
depresi dilaporkan menjadi prediktor independen dari 'Tidur yang buruk'. [21]’
dalam pikiran karena kendala ekonomi, keengganan pasien dan berbagai macam
alasan teknis hemodialisis yang adekuat yang tidak bisa dipertahankan pada
KESIMPULAN:
Mempertimbangkan dari meningkatkan prevalensi CKD yang berkembang
prediktor risiko tinggi pada pasien CKD. Rusaknyakesehatan mental pada pasien
berkembang sesuai dengan tahapan penyakit. Oleh karena itu perlu adanya
sehat pada pasien CKD. Mengingat bahwa banyaknya bukti dalam peningkatan
morbiditas danmortalitas yang terkait dengan depresi dan cemas pada pasien
CKD, menjadikan jelas bahwa penelitian guna mencari solusi yang efektif
daridepresi dan cemas itu rumit, seperti halnya "manajemen" penyakit kronis.
Oleh karena itu butuh waktu untukmengembangkan dan menguji efektivitas klinis
dan biaya dari sistem manajemen penyakit terpadu untukkondisi kejiwaan pada
kesehatan mentalnya, atau sebaliknya.[31] Hal tersebut tidak efektif, efisien atau
hemat biaya. Model pelayanan terpadu ini perlu untuk diimplementasikan dan
atau berjenjang.