Anda di halaman 1dari 48

KEPERAWATAN KRITIS II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


TRAUMA MEDULA SPINALIS DAN SPINAL SHOCK

Disusun oleh:
Kelompok 2/ Kelas A2
Wahyu Dwi Septinengtias 131411131014
Mardhatillah Syauqina P 131411131022
Venni Hariani 131411131034
Diana Rachmawati 131411131060
Evi Nur Laili Rahma K. 131411131079
Nadhia Putri Ulva Sari 131411133006
Marissa Ulfah 131411133010
Iftitakhur Rohmah 131411133015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
segala limpahan berkah dan rahmat yang diberikan, sehingga kita dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Klien
Dengan Trauma Medula Spinalis dan Spinal Shock” dengan lancar.
Dalam menyusun makalah ini, tentunya berbagai hambatan telah dialami.
Oleh karena itu, terselesaikannya makalah ini bukan semata-mata karena
kemampuan kelompok saja, melainkan karena adanya dukungan dan bantuan dari
pihak-pihak terkait. Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ketulusan hati kami
sampaikan terima kasih kepada fasilitator, kepada rekan-rekan mahasiswa
Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, serta kepada semua pihak yang
tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari bahwa pengetahuan
dan pengalaman yang dimiliki masih sangat terbatas, oleh karena itu kritik dan
saran yang konstruktif sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah
berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat untuk kita semua.

Surabaya, 6 Maret 2018

Penyusun

2
Daftar Isi

Halaman Judul................................................................................................... i
Kata Pengantar .................................................................................................. ii
Daftar Isi ........................................................................................................... iii
BAB 1 Pendahuluan .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
1.3 Tujuan.......................................................................................................... 2
BAB 2 Tinjauan Pustaka Trauma Medulla Spinal............................................ 4
2.1 Anatomi dan Fisiologi Medulla Spinal ....................................................... 4
2.2 Definisi Trauma Medulla Spinal................................................................. 6
2.3 Etiologi Trauma Medulla Spinal................................................................. 7
2.4 Patofisiologi Trauma Medulla Spinal ......................................................... 7
2.5 Manifestasi Klinis Trauma Medulla Spinal ................................................ 8
2.6 Pemeriksaan Diagnostik Trauma Medulla Spinal....................................... 8
2.7 Penatalaksanaan Trauma Medulla Spinal ................................................... 9
2.8 Komplikasi Trauma Medulla Spinal ........................................................... 10
2.9 Prognosis Trauma Medulla Spinal .............................................................. 11
2.10 WOC Trauma Medulla Spinal................................................................... 13
BAB III Asuhan Keperawatan Umum Trauma Medulla Spinal ....................... 16
BAB IV Tinjauan Pustaka Shock Spinal .......................................................... 30
4.1 Definisi Shock Spinal.................................................................................. 30
4.2 Etiologi Shock Spinal.................................................................................. 30
4.3 Patofisiologi Shock Spinal .......................................................................... 31
4.4 Manifestasi Shock Spinal............................................................................ 31
4.5 Penatalaksanaan Shock Spinal .................................................................... 31
4.6 Pemeriksaan Penunjang Shock Spinal ........................................................ 33
4.7 Komplikasi Shock Spinal............................................................................ 33
4.8 Prognosis Shock Spinal............................................................................... 34
BAB V Asuhan Keperawatan Shock Spinal ..................................................... 35
5.1 Askep Umum Shock Spinal ........................................................................ 35

3
5.2 Askep Kasus Pasien dengan Shock Spinal.................................................. 38
BAB VI Penutup ............................................................................................... 43
6.1 Kesimpulan.................................................................................................. 43
6.1 Saran ........................................................................................................... 43
Daftar Pustaka................................................................................................... 44

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis
vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang. Insiden tahunan spinal cord injury termasuk kematian pra-rumah
sakit telah diperkirakan 43-77 per juta penduduk di Amerika Serikat yang
setara dengan sekitar 20.000 pasien setiap tahun. (Bernhard et al, 2005). Syok
merupakan sindroma gangguan perfusi dan oksigenasi sel secara menyeluruh
sehingga kebutuhan metabolisme jaringan tidak terpenuhi. Syok digolongkan
menjadi 4 bagian yaitu syok kardiogenik, syok obstruktif, syok oligemik, dan
syok distributif. Spinal syok (syok pada medula spinalis) termasuk syok
distributif, terjadi karena volume darah secara abnormal berpindah tempat
pada vaskuler seperti ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer
(Moor, 2013).
Sekitar 20% dari pasien trauma medula spinal meninggal sebelum
mereka diterima di rumah sakit. Kejadian spinal cord injury dikaitkan dengan
prevalensi sekitar 200.000 pasien di Amerika Serikat. Dari pasien SCI ini 50-
70% adalah antara 15 dan 35 tahun usia, sedangkan 4-14% berusia 15 tahun
atau lebih muda (Bernhard et al, 2005). Kejadian trauma/cedera medulla
spinalis kebanyakan menjadi penyebab terjadinya syok spinal. Penyebab
paling sering Spinal cord injury pada orang dewasa adalah kecelakaan
kendaraan bermotor (40%), jatuh (21%), tindak kekerasan (15%), dan cedera
yang berhubungan dengan olahraga (13%). Pada anak-anak, spinal cord injury
sebagian besar disebabkan karena olahraga (24%) dan kegiatan rekreasi air
(13%). Penelitian yang dilakukan Domeier et al (2005), menggambarkan
distribusi lokasi cidera spinal cord injury 29% terjadi pada servikal, 24% pada
torakal, 37% pada lumbal, dan 10% pada sakral.
Banyaknya angka kejadian cedera medulla spinalis akan berpengaruh
pada peningkatan kejadian syok spinal. Terjadinya syok spinal terdiri dari 4
tahap. Beberapa manifestasi akan muncul pada pasien syok spinal antara lain
1
paralisis flaksid di bawah tingkat cedera, hipotensi dan bradikardi, tak adanya
aktivitas refleks di bawah tingkat cedera, ini dapat menyebabkan retensi urine,
paralisis usus dan ileus serta kehilangan kontrol suhu/hipertermi.
Penanganan syok spinal merupakan hal penting untuk menyelamatkan
pasien. Perawat sebagai tenaga kesehatan harus mampu menguasai dan
memmahami pengetahuan tentang asuhan keperawatan dan tindakan-tindakan
yang dilakukan pada pasien dengan trauma medula spinalis dan syok spinal.
Sehingga pada tatanan praktiknya, perawat mampu mengaplikasikan teori
dengan baik dan terampil. Perawat juga hendaknya mampu melakukan
tindakan untuk membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien
dengan spinal cord injury baik saat prehospital management, fase hospital,
maupun rehabilitatif, sehingga masalah yang dihadapi oleh klien dapat teratasi
dan terhindar dari komplikasi yang lebih lanjut seperti keadaan syok spinal.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi dari trauma medula spinalis dan spinal shock?
2. Apakah etiologi dari trauma medula spinalis dan spinal shock?
3. Bagaimanakah patofisiologi dari trauma medula spinalis dan spinal shock?
4. Apa sajakah manifestasi klinis dari trauma medula spinalis dan spinal
shock?
5. Bagaimana penatalaksanaan dari trauma medula spinalis dan spinal shock?
6. Apa sajakah pemeriksaan yang dilakukan untuk trauma medula spinalis
dan spinal shock?
7. Apa sajakah komplikasi dari trauma medula spinalis dan spinal shock?
8. Bagaimana prognosis dari trauma medula spinalis dan spinal shock?
9. Bagaimana penyusunan asuhan keperawatan pasien dengan trauma medula
spinalis dan spinal shock?

1.3 Tujuan
1. Menjelaskan definisi dari trauma medula spinalis dan spinal shock
2. Menjelaskan etiologi dari trauma medula spinalis dan spinal shock
3. Menjelaskan patofisiologi dari trauma medula spinalis dan spinal shock
4. Menjelaskan manifestasi klinis dari trauma medula spinalis dan spinal
shock
5. Menjelaskan penatalaksanaan dari trauma medula spinalis dan spinal
shock
6. Menjelaskan pemeriksaan yang dilakukan untuk trauma medula spinalis
dan spinal shock
2
7. Menjelaskan macam-macam komplikasi dari trauma medula spinalis dan
spinal shock
8. Menjelaskan prognosis dari trauma medula spinalis dan spinal shock
9. Menyusun asuhan keperawatan pasien dengan trauma medula spinalis dan
spinal shock

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TRAUMA MEDULA SPINALIS

2.1 Anatomi dan Fisiologi Medulla Spinalis

Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan
ramping, yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci)
dan garis tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medulla spinalis, yang
keluar dari sebuah lubang besar di dasar tengkorak, dilindungi oleh
kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis vertebralis. Dari
medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan melalui
ruang-ruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap
vertebra yang berdekatan.
Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut :
8 pasang saraf servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf
lumbal (L), 5 pasang saraf sakral (S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co).
Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm
lebih panjang daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan
tersebut, segmen-segmen medulla spinalis yang merupakan pangkal dari
saraf-saraf spinal tidak bersatu dengan ruang-ruang antar vertebra yang
sesuai. Sebagian besar akar saraf spinalis harus turun bersama medulla
spinalis sebelum keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai.
Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan sampai setinggi vertebra
lumbal pertama atau kedua (setinggi sekitar pinggang), sehingga akarakar
saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar dari kolumna
vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang
memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal
sebagai kauda ekuina (”ekor kuda”) karena penampakannya.
Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan
melintang dari medulla spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya.
Substansia grisea di medulla spinalis membentuk daerah seperti kupu-
kupu di bagian dalam dan dikelilingi oleh substansia alba di sebelah luar.
Seperti di otak, substansia grisea medulla spinalis terutama terdiri dari

4
badan-badan sel saraf serta dendritnya antarneuron pendek, dan sel-sel
glia. Substansia alba tersusun menjadi traktus (jaras), yaitu berkas serat-
serat saraf (akson-akson dari antarneuron yang panjang) dengan fungsi
serupa. Berkas-berkas itu dikelompokkan menjadi kolumna yang berjalan
di sepanjang medulla spinalis. Setiap traktus ini berawal atau berakhir di
dalam daerah tertentu di otak, dan masingmasing memiliki kekhususan
dalam mengenai informasi yang disampaikannya.
Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis
sinyal dipisahkan, dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla
spinalis dapat mengganggu sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh.
Substansia grisea yang terletak di bagian tengah secara fungsional juga
mengalami organisasi. Kanalis sentralis, yang terisi oleh cairan
serebrospinal, terletak di tengah substansia grisea. Tiap-tiap belahan
substansia grisea dibagi menjadi kornu dorsalis (posterior), kornu
ventralis (anterior), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis mengandung
badan-badan sel antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Kornu
ventralis mengandung badan sel neuron motorik eferen yang
mempersarafi otot rangka. Serat-serat otonom yang mempersarafi otot
jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badan-badan
sel yang terletak di tanduk lateralis. Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan
tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui akar spinalis dan akar ventral.
Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk ke medulla spinalis
melalui akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal keluar
meninggalkan medulla melalui akar ventral. Badan-badan sel untuk
neuron-neuronaferen pada setiap tingkat berkelompok bersama di dalam
ganglion akar dorsal. Badan-badan sel untuk neuron-neuron eferen
berpangkal di substansia grisea dan mengirim akson ke luar melalui akar
ventral. Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk
sebuah saraf spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf
spinalis mengandung serat-serat aferen dan eferen yang berjalan diantara
bagian tubuh tertentu dan medulla spinalis spinalis. Sebuah saraf adalah
berkas akson neuron perifer, sebagian aferen dan sebagian eferen, yang

5
dibungkus oleh suatu selaput jaringan ikat dan mengikuti jalur yang
sama. Sebagaian saraf tidak mengandung sel saraf secara utuh, hanya
bagian-bagian akson dari banyak neuron. Tiap-tiap serat di dalam sebuah
saraf umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama lain. Mereka berjalan
bersama untuk kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang
berjalan dalam satu kabel, nemun tiap-tiap sambungan telepon dapat
bersifat pribadi dan tidak mengganggu atau mempengaruhi sambungan
yang lain dalam kabel yang sama.
Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu,
yaitu traktus desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi
membawa sensasi yang bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer.
Sedangkan traktus asenden secara umum berfungsi untuk mengantarkan
informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran.
Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) informasi
eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan
raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh,
misalnya otot dan sendi.

2.2 Definisi Trauma/Cedera Medula Spinalis

Medula spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-


masing memiliki sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis
vertebralis melalui foramen inverterbra. Terdapat 8 pasang saraf

6
servikalis, 12 pasang torakalis, 5 pasang lumbalis, 5 pasang sakralis, dan
1 pasang saraf kogsigis.
Cedera medula spinalis lumbal adalah suatu kerusakan fungsi
neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medula spinalis
khususnya lumbal (Brunner dan Suddarth, 2001). Berdasarkan
ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi, cedera medula
spinalis dapat diklasifikasikan menjadi cedera komplet dan inkomplet.
2.3 Etiologi Trauma/Cede ra Medula Spinalis

Penyebab utama Cedera Medula Spinalis (CMS) lumbal adalah


trauma, dan dapat pula disebabkan oleh kelainan lain pada vertebra, seperti
arthropathi spinal, keganasan yang mengakibatkan fraktur patologik,
infeksi, osteoporosis, kelainan kongenital, dan gangguan vaskular.
Penyebab trauma spinal lumbal yang paling banyak dikemukakan adalah
kecelakaan lalu lintas, olah raga, tembakan senapan, serta bencana alam
(Islam, 2006).
2.4 Patofisiologi Trauma/Cedera Medula Spinalis
Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis lumbal
secara langsung. Sedangkan penyebab tidak langsung yaitu trauma
menimbulkan fraktur dan instabilitas vertebra sehingga mengakibatkan
cedera pada medula spinalis lumbal. Beberapa saat setelah trauma, cedera
sekunder berupa iskemia muncul karena gangguan pembuluh darah yang
terjadi. Iskemia mengakibatkan pelepasan glutamat, influks kalsium dan
pembentukan radikal bebas dalam sel neuron di medula spinalis yang
mengakibatkan kematian sel neuron karena nekrosis dan terputusnya

7
akson pada segmen medula spinalis yang terkena (lumbal). Akson yang
telah rusak tidak akan tersambung kembali karena terhalang jaringan
parut (Islam, 2006).
Kondisi kerusakan saraf lumbal dapat berakibat pada masalah-
masalah biopsikososiospiritual. Masalah biologis yang muncul yaitu nyeri
akut, kerusakan mobilitas fisik, gangguan eliminasi urin dan fekal, dan
disfungsi seksual. Masalah psikologis, pasien mengalami harga diri rendah
situasional akibat kerusakan fungsional pada lumbal. Masalah sosial yaitu
gangguan interaksi sosial karena keterbatasan dalam mobilitas fisik.
Masalah spiritual, pasien yang mengalami penurunan tingkat keyakinan
dapat berisiko terhadap kerusakan dalam beribadah/beragama.
2.5 Manifestasi Klinis Trauma/Cedera Medula Spinalis
Cedera medula spinalis lumbal dapat menyebabkan gambaran
paraplegia. Tingkat neurologik yang berhubungan akan mengalami
paralisis sensori dan motorik total yang menyebabkan gangguan kontrol
kandung kemih (retensi dan inkontinensia) dan usus besar, penurunan
tonus vasomotor, dan penurunan tekanan darah yang diawali dengan
resistensi vaskuler perifer (Brunner dan Suddarth, 2001).
2.6 Pemeriksaan Diagnostik Trauma/Cedera Medula Spinalis
1) Sinar X
Sinar X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur,
erosi, dan perubahan hubungan tulang pada vertebra lumbal. Sinar
X multipel diperlukan untuk pengkajian paripurna struktur yang
sedang diperiksa, menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
(fraktur, dislokasi), kesejajaran, dan reduksi setelah dilakukan
traksi atau operasi (Brunner dan Suddarth, 2001).
2) Computed Tomography (CT Scan)
Pencitraan ini menunjukkan rincian bidang tertentu tulang
yang terkena (lumbal) dan dapat memperlihatkan cedera ligamen
atau tendon. Teknik ini dapat mengidentifikasai lokasi dan
panjangnya patah tulang di daerah yang sulit dievaluasi.
Pemindaian CT selalu dilakukan pertama tanpa zat kontras, namun

8
jika dengan zat kontras, maka akan diinjeksi melalui intravena
(Brunner dan Suddarth, 2001).
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah teknik pencitraan khusus, noninvasif, yang
menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan komputer
untuk memperlihatakan abnormalitas jaringan lunak seperti otot,
tendon, dan tulang rawan. MRI mempunyai potensial untuk
mengidentifikasi keadaan abnormal serebral dengan mudah dan
lebih jelas dari tes diagnostik lainnya. MRI dapat memberikan
informasi tentang perubahan kimia dalam sel, namun tidak
menyebabkan radiasi sel (Brunner dan Suddarth, 2001).
4) Mielografi
Merupakan penyuntikan bahan kontras ke dalam rongga
subarachnoid spinalis lumbal. Mielogram menggambarkan ruang
subarachnoid spinal dan menunjukkan adanya penyimpangan
medula spinalis atau sakus dural spinal yang disebabkan oleh
tumor, kista, hernia diskus vertebral, atau lesi lain. Zat kontras
dapat menggunakan larutan air atau yang mengandung minyak.
Metrizamid adalah zat kontras yang larut air, diabsorbsi oleh
tubuh, serta diekskresi melalui ginjal (Brunner dan Suddarth,
2001).
2.7 Penatalaksanaan Trauma/Cedera Medula Spinalis
Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah cedera medula spinalis
lumbal agar tidak berlanjut dan untuk mengobservasi gejala penurunan
neurologik. Penatalaksanaan farmakoterapi dapat dilakukan dengan
pemberian kortikosteroid dosis tinggi, khususnya metilprednisolon karena
dapat memperbaiki prognosis dan mengurangi kecacatan bila diberikan
dalam delapan jam pertama cedera. Dosis pemberian diikuti dengan infus
kontinu yang dikaitkan dengan perbaikan klinis bermakna untuk pasien
dengan cedera medula spinalis akut. Nalokson telah teruji dalam
mengobati binatang dengan cedera medula spinalis lumbal, mempunyai
efek samping minimal dan dapat meningkatkan perbaikan neurologik pada

9
manusia. Terapi farmakologik yang masih dalam penyelidikan adalah
pengobatan dengan steroid dosis tinggi, mannitol (untuk menurunkan
edema), dan dekstran (untuk mencegah tekanan darah turun cepat dan
memperbaiki aliran darah kapiler) yang diberikan dalam kombinasi
(Brunner dan Suddarth, 2001).
2.8 Komplikasi Trauma/Cedera Medula Spinalis
a) Pendarahan mikroskopik
Pada semua cedera madula spinalis atau vertebra, terjadi
perdarahan-perdarahan kecil. Yang disertai reaksi peradangan, sehingga
menyebabkan pembengkakan dan edema dan mengakibatkan terjadinya
peningkatan tekanan didalam dan disekitar korda. Peningkatan tekanan
menekan saraf dan menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia
dan secara drastis meningkatkan luas cidera korda. Dapat timbul jaringan
ikat sehingga saraf didarah tersebut terhambat atau terjerat.
b) Hilangnya sensasi, kontrol motorik, dan refleks.
Pada cedera spinal yang parah, sensasi, kontrol motorik, dan
refleks setinggi dan dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua
refleks disebut syok spinal. Pembengkakan dan edema yang mengelilingi
korda dapat meluas kedua segmen diatas kedua cidera. Dengan demkian
lenyapnya fungsi sensorik dan motorik serta syok spinal dapat terjadi
mulai dari dua segmen diatas cidera. Syok spnal biasanya menghilang
sendiri, tetap hilangnya kontrol sensorik dan motorik akan tetap
permanen apabila korda terputus akan terjadi pembengkakan dan
hipoksia yang parah.
c) Syok spinal.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks
dari dua segmen diatas dan dibawah tempat cidera. Refleks-refleks yang
hilang adalah refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan
rektum, tekanan darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi
akibat hilangnya secara akut semua muatan tonik yang secara normal
dibawah neuron asendens dari otak, yang bekerja untuk mempertahankan
fungsi refleks. Syok spinl biasanya berlangsung antara 7 dan 12 hari,

10
tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat tmbul
hiperreflekssia, yang ditadai oleh spastisitas otot serta refleks,
pengosongan kandung kemih dan rektum.
d) Hiperrefleksia otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis
secar refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper
refleksia otonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya syok spinal.
Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda spnalis dan
mencetukan suatu refleks yang melibatkan pengaktifan sistem saraf
simpatis. Dengan diaktifkannya sistem simpatis, maka terjadi konstriksi
pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan tekanan darah sistem
2.9 Prognosis Trauma/Cedera Medula Spinalis
Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya mempunyai
harapan untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi
selama 72 jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika
sebagian fungsi sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan
untuk dapat berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita
cedera medula spinalis dapat sembuh dan mandiri
1. Sumsum tulang belakang memiliki kekuatan regenerasi.yang
sangat terbatas
2. Pasien dengan complete cord injury memiliki kesempatan
recovery yang sangat rendah, terutama jika paralysis berlangsung
selama lebih dari 72 jam.
3. Prognosis jauh lebih baik untuk incomplete cord syndromes
4. Prognosis untuk cervical spine fractures and dislocations
sangat bervariasi, tergantung pada tingkat kecacatan neurologis
5. Prognosis untuk defisit neurologis tergantung pada besarnya
kerusakansaraf tulang belakang pada saat onset.
6. Selain disfungsi neurologis, prognosis juga ditentukan oleh
pencegahandan keefektifan pengobatan infeksi - misalnya,
pneumonia, dan infeksisaluran kemih.

11
7. Secara umum, sebagian besar individu mendapatkan kembali
beberapafungsi motorik, terutama dalam enam bulan pertama,
meskipun mungkin ada perbaikan lebih lanjut yang perlu diamati
diamati di tahun akan datang.

12
2.10 WOC

Trauma langsung: Trauma tidak langsung: Faktor resiko:


Kecelakaan kendaraan bermotor Penyakit motor neuron Minum obat saat berkendara
Jatuh dari ketinggian Infeksi myelopati spondilosis Usia terlalu tua
Kekerasan fisik Tumor inflamasi JK: Laki-laki
Cedera olahraga Kegansan spondilitis TB Alkohol
Menyelam pada air dangkal Factor congenital Perokok
Luka tembak/tusuk

Menyebabkan benturan/ kerusakan


pada medulla spinalis (vertebrae)

Akselerasi, Deselerasi, kompresi


yang berlebihan

Medula spinalis mengalami trauma,


kompresi, tertarik dan robek

Terjadinya
SPINAL CORD INJURY perdarahan

Kerusakan jalur simpatetik Timbul perlukaan pada Adanya robekan di ligament Blok saraf Trauma berat yang 13
desending spinal cord sekitar spinal cord simpatis menyebabkan penurunan
kesadaran
Kerusakan jalur simpatetik Timbul perlukaan pada Adanya robekan di ligament Blok saraf Trauma berat yang
desending spinal cord sekitar spinal cord simpatis menyebabkan penurunan
kesadaran

Terputusnya jaringan saraf Peradangan/inflamasi pada Robekan mengenai saraf, Kelumpuhan


Koma
medulla spinalis spinal cord terputusnya saraf otot pernapsan

Injury, baik complete Reaksi inflamasi Hilangnya fungsi saraf Kelumpuhan


Pemberian Lidah jatuh
maupun incomplete otot pernapsan
makan via ke belakang
NGT/parenteral
Pembengkakan Perangsangan Hilangnya Gangguan saat
Airway
Tetraplegia Paraplegia (Edema) reseptor nyeri reflex tubuh bernafas Nutrisi yg terhalang
(mengenai C1-T1) (Mengenai diterima <<
torakal, lumbal RR abnormal
dan sacral) Penekanan Timbulnya MK:
Seluruh anggota saraf dan nyeri hebat MK: ketidak bersihan
gerak tidak bias pembuluh MK: efektifan
jalan napas
Ekstremitas darah Ketidakefektifan nutrisi
bergerak tidak
bawah dan MK: Nyeri akut pola pernapasan kurang dari efektif
sebagian tubuh kebutuhan
tidak bias Sirkulasi darah daerah tubuh
bergerak cidera tidak adekuat Hilangnya Reflex Reflex Resiko masuk
reflex T7 pengosongan kandung
ke atas usus hilang saluran
kemih hilang pernapasan
MK: Gangguan
Proses pergerakan perfusi jaringan MK: Disrefleksia Pengontrolan
tubuh terganggu Autonom Peristaltic
tidak pengeluaran MK: Resiko
Posisi supine terus- aspirasi
menerus terkontrol urine gagal
MK: Gangguan
Mobilitas Fisik
Penekanan jaringan MK: MK:
ADL tidak terpenuhi setempat dalam waktu Gangguan Gangguan 14
lama Eliminasi fekal Eliminasi
Urine
MK: Defisit
Perawatan Diri
Terjadinya
perdarahan

Internal bleeding Eksternal bleeding


Penurunan perfusi
vaskuler pH akibat
HIpoksia dan iskemik akumulasi laktat Banyak darah yang
keluar

Jumlah Myelin saraf


menurun Reperfusi jaringan Darah output > 500 cc Resusitasi terlambat
seluler dan kondisi semakin
memburuk
Transmisi saraf MK: Resiko
mengalami penurunan kekurangan volume CRT > 2 detik, akral
Perburukan cidera dan cairan dingin, basah, pucat,
peningkatan kematian seluler TD turun, nadi
Mikro Hemoragic meningkat

Hipoperfusi sistemik Perlambatan otot dan


hilangnya refleks MK: Syok
Hipovolemik
Suplay darah otak
menurun Flacid Paralisis

PK: Shock PK: Shock Spinal


Neurogenik

15
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN UMUM

PASIEN DENGAN TRAUMA MEDULA SPINALIS

Pengkajian
1. Primary Survey
a. Airway
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan
besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi
pada penderita yang tidak sadar, yang disebabkan oleh benda asing,
muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah.
Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra
servikalis (servical spine control) yaitu tidak boleh melakukan
ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini,
kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan
hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan
maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau
suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya
dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak
adekuat perlu bantuan napas. Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan
nafas klien. Nilai airway sewaktu dengan mempertahankan posisi
tulang leher tetap dalam keadaan in line position.
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada asimetris
atau tidak, adanya retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan
kesadaran, bila diduga terjadi fraktur servical maka lakukan jaw
thrust.
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan, dengar suara nafas
vesikuler atau tidak.
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan.
b. Breathing : sesak nafas, gagal napas.
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya
dispnea, takipnea, bradipnea, ataupun sesak. Kaji juga apakah ada
16
suara nafas tambahan seperti snoring, gargling, rhonki atau
wheezing. Selain itu kaji juga kedalaman nafas klien. Berikan
oksigenasi yang adekuat dan bantuan ventilasi bila diperlukan.
c. Circulation : tekanan darah rendah, brakikardia, nadi cepat,
vasokontriksi perifer, CRT > 2detik.
Status sirkulasi dinilai secara cepat dengan cara memeriksa
tingkat kesadaran dan denyut nadi. Kaji ada tidaknya
peningkatan/penurunan tekanan darah, kelainan detak jantung
misalnya takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan
capilarrefil. Kaji juga kondisi akral dan nadi klien. Kaji vena leher
dan warna kulit (adanya sianosis), periksa keluaran urin.
d. Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan
refleks, pupil anisokor dan nilai GCS. Menilai kesadaran dengan
cepat, apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau sama
sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara
yang cukup jelas dan cepat dengan metode AVPU. Namun sebelum
melakukan pertolongan, pastikan terlebih dahulu 3A yaitu aman
penolong, aman korban dan aman lingkungan. Kaji juga keluhan klien
misalkan adanya nyeri pada daerah-daerah tertentu.
a) A = Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
b) V = Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan
berbicara keras di telinga korban, pada tahap ini jangan sertakan
dengan menggoyang atau menyentuh klien, jika tidak merespon
lanjut ke P.
c) P = Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada klien, yang paling
mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di
pangkal kuku), selain itu dapat juga dengan menekan bagian
tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata (supra
orbital).
d) U = Unresponsive : setelah diberi rangsangan nteri tetapi tidak
bereaksi klien berada dalam keadaan unresponsive.

17
Nilai kekuatan tonus otot, terdapat lateralisasi apa tidak. Berikut tabel
menyajikan penilaian derajat kekuatan otot :

Skor Hasil Pemeriksaan


0 Kelumpuhan total
1 Teraba / terasanya kontraksi
2 Gerakan tanpa menahan gaya berat
3 Gerakan melawan gaya berat
4 Gerakan kesegala arah, tetapi kekuatan kurang
5 Tidak dapat diperiksa
NT

e. Exposure : akral dingin, kering


Melihat secra keseluruhan keadaan klien. Pasien dalam keadaan
sadar (GCS 15) dengan simple head injury bila tidak ada deficit
neurologis dilakukan rawat luka, pemeriksaan radiologi, klien
dipulangkan. Bila terjadi penurunan kesadaran segera bawa ke rumah
sakit.

2. Secondary Survey
A : Alergi (adakah alergi pada klien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis klien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi
termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)

18
Saat dilakukan secondary survey, tahap pelaksanaan yang harus
dilakukan adalah:
a. Anamnesa
1) Identitas
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin,
status perkawinan, dan penanggung biaya.
2) Keluhan Utama
Keluhan utama yang menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan
ekstremitas, inkontinensia defekasi dan urine, deformitas pada
daerah trauma.
3) Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai tulang belakang akibat
dari kecelakaan lalu lintas, olahraga, jatuh dari pohon atau
bangunan, luka tusuk, luka tembak dan kejatuhan benda keras.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar
klien atau bila klien tidak sadar tentang penggunaan obat-
obatan adiktif dan penggunaan alkohol yang sering terjadi pada
beberapa klien yang suka kebut-kebutan.
4) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
penyakit degeneratif pada tulang belakang, seperti
osteoporosis, osteoartritis, spondilitis,spondilolistesis, spinal
stenosis yang memungkinkan terjadinya kelainan pada tulang
belakang.
5) Riwayat penyakit keluarga
Kaji apakah dalam keluarga px ada yang menderita hipertensi,
DM, penyakit jantung untuk menambah komprehensifnya
pengkajian
6) Riwayat penggunaan obat

19
Kaji obat-obatan yang dikonsumsi pasien,seperti penggunaan
obat penenang, anastesi spinal/ lumbal.
7) Pengkajian bio-psiko-sosio-spiritual
Berhubungan dengan perasaan dan emosi yang di alami pasien
mengenai kondisinya. Kaji juga kondisi psikologis pasien,
stress psikologis, mungkin dalam kondisi berduka atau
kehilangan. Kaji pula spiritual pasien, persepsi pasien terhadap
kondisi sakitnya dan pola kebiasaan pasien sehari-hari.
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : pucat, kulit kerirng, penurunan kesadaran, napas
pendek dan menggunakan otot bantu nafas
2) Palpasi : akral dingin , nadi cepat ,paraplegia, nyeri
3) Perkusi :-
4) Auskultasi : -
c. Pemeriksaan Diagnostik
1) Sinar X spinal: menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
(fraktur , dislokasi), untuk kesejajaran traksi atau operasi
2) Scan CT: menentukan tempat luka/jejas, mengevalkuasi
gangguan structural
3) MRI: mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema
dan kompresi
4) Mielografi: untuk memperlihatkan kolumna spinalis jika
terda[at oklusi pada subaraknoid medulla spinalis
5) Rongent torak : untuk memperlihatkan keadan paru
6) Pemeriksaan fungsi paru: mengukur volume inspirasi
maksimal dan ekpirasi maksimal terutama pada kasus trauma
servikal bagian bawah
7) GDA : menunjukan keefektifan pertukaran gas atau upaya
ventilasi.
Analisis Data

No Data Etiologi Masalah Keperawatan

20
1. DS : Pasien mengeluh Blok saraf Pola napas tidak
sesak napas parasimpatis C1– C2 efektif

DO : Pasien terlihat ↓
menggunakan alat bantu,
Kelumpuhan otot
pucat dan pernapasan
pernapasan
cuping hidung, RR 23
x/mnt, napas pendek, ↓
cepat
Ekspansi paru
menurun pernapasan

Pola napas tidak


efektif

2. DS : pasien mengeluh Trauma PK : Syok neurogenik


tidak bisa menggerakkan

ekstremitas bawah dan
sesak napas Cedera pada tulang
DO : TD 90/60 mmHg, leher / servikal
nadi 60 x/menit, akral ↓
dingin, kelemahan
ekstremitas bawah Lesi pada medulla
spinalis

Hilangnya tonus
vasomotor

Hipotensi,
vasokonstriksi perifer

Syok neurogenic

21
3. DS : klien mengeluhkan Trauma Disrefleksia
nyeri kepala berdenyut dan Autonomik
semakin parah dan mual ↓

Cedera pada medulla


DO : TD : >300 mmHg,
spinalis
bradikardia (30-40x
/menit), penglihatan ↓
kabur,kongesti nasal,
ansietas Cedera padavertebra
torakal ke -7

Respon saraf simpatis

Hiperefleksi otonom

Disrefleksia
Autonomik

4 DO : Nadi teraba lemah Syok Spinal Ketidakefektifan


(bradikardi) TD 100x/ perfusi jaringan
menit ↓ perifer
hipotensi dan
bradikardi

Gangguan perfusi
jaringan perifer

5. DS : Pasien mengeluh Fraktur Gangguan rasa


nyeri hebat saat nyaman nyeri

beraktivitas,

DO : Skala nyeri pasien 7, Memar, kerusakan


klien gelisah laserasi sumsum

Pelepasan mediator
kimia

22
Nyeri

6. DS : pasien mengeluh Fraktur servikal dan Perubahan pola


reflek BAK hilang lumbal eliminasi urine

DO : pasien BAK secara ↓


involunter dan terpasan
Kompresi medula
kateter
spinalis

Gangguan fungsi
vesika urinaria

Inkontinensia urin

Gangguan Eliminasi

7. DS : pasien mengeluh Cidera servikal Gangguan eliminasi


tidak bisa BAB alvi

DO : peristaltik usus klien
Kompresi medula
menurun, abdomen
spinalis
distensi

Kelumpuhan saraf
usus dan rektum

Gangguan eliminasi
alvi

8. Ds : Pasien mengalami Fraktur servikal dan Gangguan mobilitas


kelemahan pada lumbal fisik
ekstremitas bawah

DO : klien membutuhkan
kompresi medula
bantuan dalam

23
pemenuhan ADL spinalis

Ganggunan motorik
sensorik

kelumpuhan

Gangguan mobilitas

Diagnosa Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif (00032)bd kerusakan persarafan C1-C2


2. Nyeri (00132) b.d trauma medulla spinalis
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer (00204)b.d penurunan tekanan
darah dan brakikardia
4. Gangguan eliminasi urine (00016) b.d gangguan sensori motorik
5. Gangguan mobilitas fisik (00085) b.d kerusakan neuromuskuler

Intervensi Keperawatan

Domain 4. Activity / Rest


Class 4. Cardiovascular/pulmonary responses
00032 Pola napas tidak efektif b.d kerusakan persarafan C1-C2
NOC NIC
Domain II. Physiological health Domain 2. Physiological
Class E - Cardiopulmonary Class K – Respiratory management
0415 Respiratory status 3140 Airway management
1. Pertahankan jalan napas paten
041501 Respiratory Rate dalam batas 2. Posisikan klien untuk memaksimalkan
normal (16-24 x/menit) ventilasi yaitu semifowler 450

24
041504 Auskultasi suara napas 3. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
(terdengar vesikuler) tambahan
041508 Saturasi oksigen > 95% 4. Kolaborasi pemberian oksigenasi simple
041513 Tanda sianosis tidak ada mask
041514 Dispnea hilang 5. Ajarkan klien untuk menggunakan inhaler
dengan tepat
6. Monitor RR, status O 2, dan vital sign
7. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
8. Monitor adanya kecemasan klien terhadap
oksigenasi
9. Informasikan pada klien dan keluarga
tentang teknik relaksasi untuk memperbaiki
pola napas

Domain 12. Comfort


Class 1. Physical Comfort
00132 Nyeri b.d trauma medulla spinalis
NOC NIC
Domain IV Health knowledge and Domain 1. Physiological: Basic
behavior Class E – Physical comfort promotion
Class R-Health Behaviour 1400 Pain Management
1605 Pain Control 1. Kaji rasa nyeri secara komprehensif untuk
menentukan lokasi, karakteristik,
160511 pasien mampu Merespon onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
Kontrol nyeri atau beratnya nyeri, dan faktor pencetus.
160502 pasien mampu Mengenal 2. Observasi tanda-tanda non verbal dari
penyebab nyeri ketidaknyamanan, terutama pada klien yang
160501 pasien mampu Menjelaskan mengalami kesulitan berkomunikasi.
factor penyebab 3. Tentukan dampak nyeri terhadap kualitas
160510 Menggunakan catatan untuk hidup klien (misalnya tidur, nafsu makan,
memonitor gejala setiap waktu aktivitas, kognitif, suasana hati, hubungan,

25
160503 Menggunakan tindakan kinerja kerja, dan tanggung jawab peran).
pencegahan 4. Kontrol faktor lingkungan yang mungkin
160504 pasien mampu Menggunakan menyebabkan respon ketidaknyamanan klien
non analgesic tekhnik untuk (misalnya temperature ruangan,
menghilangkan Nyeri pencahayaan, suara).
5. Pilih dan terapkan berbagai cara
(farmakologi, nonfarmakologi, interpersonal)
untuk meringankan nyeri.
6. Ajarkan penggunaan obat anti nyeri

Domain 4. Activity / Rest


Class 4. Cardiovascular/pulmonary responses
00204 Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan tekanan
darah dan bradikardi
NOC NIC
Domain II. Physiological health Domain 2. Physiological
Class E - Cardiopulmonary Class N – Tissue Perfusion Management
Tissue perfusion: Peripheral 4150 Hemodynamic Regulation

040715 CRT < 2 detik dan akral 1. Kaji hemodinamik komprehensif


hangat, kering, merah 2. Kaji status cairan
040710 Temperatur ekstremitas dalam 3. Kaji CRT
batas normal (36,5 - 37,5) 4. Monitoring TTV secara berkala
040738 Denyut arteri karotis, 5. Periksa adanya edema perifer atau pitting
brankialis, radial dan femural teraba edema
dengan baik 6. Monitoring tanda dan gejala gangguan
040727 Tekanan darah sistolik normal perfusi jaringan dengan mengecek JVP, kaji
(100-120) status perfusi
040728 Tekanan darah diastolik
normal (80-100)
040712 Tidak ada edema perifer
040744 Tidak ada kelemahan otot

26
040748 Tidak ada parastesia

Domain 3 Elimination and exchange


Class 1 Urinary function
(00016) Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan gangguan sensori
motoric
NOC NIC
Tujuan : Urinary Elimination Management (0590)
Setelah dilakukan tindakan 1. Monitoring eliminasi urin meliputi
keperawatan selama 3 x 24 jam, klien frekuensi, konsistensi, bau, volume,
melaporkan pola eliminasi urin normal. dan warna jika diperlukan
2. Kolaborasikan dengan dokter untuk
Urinary Elimination (0503) tindakan Urinalisis jika diperlukan
Indikator : dengan mengumpulkan spesimen urin
1. Kandung kemih kosong secara porsi tengah
penuh 3. Ajarkan teknik berkemih yang benar
2. Tidak ada residu urin >100-200cc dan kenali urgensi berkemih
3. Intake cairan dalam rentang 4. Ajarkan klien tentang tanda dan gejala
normal ISK
4. Bebas dari ISK 5. Instruksikan klien dan keluarga untuk
5. Tidak ada spasme bladder mencatat haluaran urin
6. Balance cairan seimbang 6. Catat waktu eliminasi urin terakhir,
7. Eliminasi urin tidak terganggu yang sesuai
(bau, jumlah, warna urin normal, 7. Anjurkan pasien / keluarga untuk
kejernihan urin) merekam output urin, yang sesuai
8. Masukkan supositoria uretra, yang
sesuai
9. Rujuk ke dokter jika tanda-tanda dan
gejala infeksi saluran kemih terjadi
10. Anjurkan pasien untuk minum 8 liter
perhari kecuali ada kontraindikasi

27
Domain 4 impaired physical mobility
Class 2. Activity/ excercise
00085 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
NOC NIC
Domain I Functional health Domain 1 Physiological : Basic
Class C Mobility Class A : Activity and Exercise Management
0200 Ambulation 0221 Terapi Aktivitas : Ambulasi
020003 Berjalan pelan 1. Latih keterampilan mobilitas bertahap
0200010 berjalan berjarak pendek mulai dari tempat tidur, duduk, duduk
0200015 berjalan menyeret ke berdiri, berdiri ke berjalan.
Skala : 2. Pantau dan catat kemampuan pasien
1 : severely compromised menoleransi aktivitas.
2 : substantialy compromised 3. Kaji nyeri pasien sebelum beraktivitas,
3 : moderately compromised jika perlu lakukan terapi.
4 : mildly compromised 4. Konsultasikan dengan fisioterapis untuk
5 : not compromised latihan kekuatan dan mobilitas lanjut.
5. Berikan alat bantu sesuai kebutuhan
Domain I Functional health (kruk, walker, tongkat, kursi).
Class C Mobility 6. Konsultasikan dengan dokter keamanan
0208 Mobilitas dan keselamatan posisi untuk program
020801 Keseimbangan latihan fisik.
020809 Koordinasi 7. Bantu posisi mobilitasi dan berjalan,
020803 Pergerakan otot sesegera mungkin jika tidak ada
020804 Pergerakan sendi kontraindikasi.
020806 Berjalan 8. Tingkatkan kemandirian pasien dalam
020814 Berpindah dengan mudah melakukan ADL.
Skala : a.
1 : severely compromised Domain 1 Physiological : Basic
2 : substantialy compromised Class A : Activity and Exercise Management
3 : moderately compromised 0140 Promosi Bodi Mekanik
4 : mildly compromised a. Kolaborasikan dengan fisioterapi untuk
5 : not compromised perencanaan promosi bodi mekanik, jika

28
diindikasikan.
b. Ajarkan pasien menggunakan postur dan
bodi mekanik yang tepat untuk mengurangi
kelelahan/ injuri.
c. Ajarkan posisi yang sesuai.
d. Monitor perkembangan postur / bodi
mekanik pasien.

29
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA SPINAL SHOCK

4.1 Definisi
Spinal syok (syok pada medulla spinalis) termasuk syok distributive,
terjadi karena volume darah secara abnormal berpindah tempat pada
vasikulerseperti ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer.
(Moor, 2013).
Spinal syok / syok pada medulla spinalis adalah suatu keadaan
disorganisasi fungsi medulla spinalis yang fisiologis dan berlangsung untuk
sementara waktu, keadaan ini timbul segera setelah cedera dan dapat
berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa minggu. Syok spinal juga
diketahui sebagai syok neurogenik adalah akibat dari kehilangan tonus
vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum.
Syok ini menimbulkan hipotensi, dengan penumpukan darah pada
pembuluh penyimpanan atau penampung dari kapiler organ splanknik. Tonus
vasomotor dikendalikan dan dimediasi oleh pusat vasomotor di medulla dan
serat simpatis yang meluas ke medulla spinalis sampai pembuluh darah
perifer secara berurutan. Karenanya kondisi apapun yang menekan fungsi
medulla atauintegritas medulla spinalis serta persarafan dapat mencetuskan
syok neurogenik / syok spinal (Tambayong, 2000).

4.2 Etiologi
Neurogenik syok disebabkan oleh beberapa factor yang mengganggu
CNS. Masalah ini terjadi akibat transmisi impuls yang terhambat dan
hambatan hantaran simpatik dari pusat vasomotor pada otak . penyebab
utamanya adalah SCI (spinal cord injury). Syok neurogenik keliru disebut
juga dengan syok tulang belakang. Kondisi berikutnya mengacu pada
hilangnya aktivitas neurologis dibawah tingkat cidera tulang belakang, tetapi
tidak melibatkan perfusi jaringan tidak efektif . (Linda D. Urden, 2008).
Tipe syok ini bias disebabkan oleh banyak factor yang menstimulasi
parasimpatik atau menghambat stimulasi simpatik dari otot vascular. Trauma
pada syaraf spinal atau medulla dan kondisi yang menggaggu suplai oksigen
atau gulokosa ke medulla menyebabkan syok neurogenik akibat gangguan

30
aktivitas simpatik. Obat penenang, ansietas dan stress hebat beserta nyeri juga
merupakan penyebab lainnya.

4.3 Patofisiologi
Terjadinya syok spinal biasanya diawali dengan adanya trauma pada
spinal. Syok spinal merupakan hilangnya reflek pada segmen atas dan bawah
lokasi terjadinya cedera pada medulla spinalis. Reflek yang hilang antara lain
reflek yang mengontrol postur, fungsi dan kandung kemih dan usus, tekanan
darah dan suhu tubuh. Hal ini terjadi akibat hilangnya muatan tonik secara
akut yang seharusnya disalurkan melalui neuron dari otak untuk
mempertahankan fungsi reflek. Ketika syok spinal terjadi akan mengalami
regresi dan hiperrefleksia ditandai dengan spastisitas otot serta reflek
pengosongan kandung kemih dan usus (Corwin, 2009).
Syak spinal akan menimbulkan hipotensi, akibat penumpukan darah pada
pembuluh darah dan kapiler organ splanknik tonus vasomotor di medulla dan
saraf simpatis yang meluas ke medulla spinalis sampai pembuluh darah
perifer secara berurutan.

4.4 Manifestasi Klinis


Hilangnya sensasi control motorik, dan reflek dibawah cedera. Suhu
didalam tubuh akan menggambarkan suhu yang ada di lingkungan, kemudian
tekanan darah akan menurun, sedangkan frekuensi denyut nadi sering normal
akan tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu rendah (Corwin, 2009).

4.5 Penatalaksanaan
Tatalaksana syok spinal secara umum sama seperti penanganan syok
pada umumnya, dengan mengikuti tatalaksana penyebab dari spinal syok
yang sebagai besar terjadi karena trauma medula spinalis. Berikut merupakan
tabel secara umum talalaksana trauma medula spinalis. Tatalaksana syok
spinal di Indonesia mengacu pada Konsensus Nasional PERDOSSI :
Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma spinal 2006 yang meliputi :
a. Konsensus Manajemen Pre Hospital4 Untuk mendukung tujuan

31
penyembuhan yang optimal, maka perlu diperhatikan tatalaksana disaat
pre hospital, yaitu :
1. Stabilisai manual
2. Membatasi fleksi dan gerakan-gerakan lain
3. Penanganan imobilitas vertebra dengan kolar leher dan vertebral brace
b. Konsensus Manajamen Di Instalasi Gawat Darurat4 tindakan mengacu
pada :
1. A (AIRWAY) Menjaga jalan nafas tetap lapang
2. B (BREATHING) Mengatasi gangguan pernafasan, jika perlu lakukan
intubasi endotrakheal (pada cedera medulla spinalis servical atas) dan
pemasangan alat bantu nafas supaya oksigenasi adekuat.
3. C (CIRCULATION) Memperhatikan tanda-tanda hipotensi, terjadi
karena pengaruh pada sistem saraf ortosimpatis.
Harus dibedakan antara :
a. Syok hipovolemik (hipotensi, tachycardia, ekstremitas
dingin/basah). Tindakan : diberikan cairan kritaloid ( NaCl 0.9% /
Ringer laktat). Kalau perlu dengan koloid ( misal : Albumin 5%)
a) Syok neurogenik (hipotensi, bradikardia, ekstremitas
hangat/kering), pemberian cairan tidak akan menaikkan tensi
(awasi oedema paru) maka harus diberi vasopressor :
-Dopamine untuk menjaga MAP>70
-Bila perlu adrenalin 0.2 mg s.k
-Dapat diulang 1 jam kemudian
4. Selanjutnya
a. pasang foley catheter untuk memonitor hasil urine dan cegah
retensi urine
b. pasang pipa naso-gastrik (hati-hati pada cedera servikal), dengan
tujuan untuk :
-dekompresi lambung pada distensi
-kepentingan nutrisi enteral
5. Pemeriksan Umum dan Neurologis khusus Jika terdapat fraktur atau
dislokasi kolumna vertebralis :

32
a. servikal : pasang kerah fiksasi leher, jangan dimanipulasi dan
disamping kiri-kanan leher ditaruh bantal pasir.
b. Torakal : lakukan fiksasi (torakolumbal brace) c. Lumbal : fiksasi
dengan korset lumbal
Defisit neurologis berdasarkan gejala dan tanda klinis sesuai dengan
tinggi dan luas lesi.

4.6 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium :
-Darah perifer lengkap
-Urine lengkap
-Gula darah sewaktu
-Ureum dan kreatinin
-Analisa gas darah
b. Radiologi
-Foto vertebra posisi AP/Lat/Odontoid dengan sesuai letak lesi
-CT scan / MRI jika dengan foto konvensional masih meragukan atau bila
akan dilakukan tindakan operasi
c. Pemeriksaan lain
-EKG bila terdapat aritmia jantung

4.7 Komplikasi

1. Neurogenic shock 7. ISK


2. Hipoksia 8. Batu saluran kemih
3. Gangguan paru – paru 9. Kontraktur
4. Instabilitas spinal 10. Dekubitus
5. Orthostatic hipotensi 11. Inkontinensia blader
6. Ileus paralitik 12. Konstipasi

33
4.8 Prognosis
Prognosis syok spinal tergantung dari waktu dan cara penanganan awal
dan. Semakin awal ditangani dan semakin baik penanganan baik pre hospita,
waktu di IGD maupun saat di bangsal, maka prognosis semakin baik.

34
BAB V

ASUHAN KEPERAWATAN

PASIEN DENGAN SPINAL SHOCK

5.1 Asuhan Keperawatan Umum

1. Pengkajian

1. Identitas
Terdiri dari nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, alamat, diagnose medis,
suku, dan identitas keluarga yang bertanggung jawab.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama : Klien mengalami kelemahan alat gerak bahkan
kelumpuhan secara total atau partial setelah terjadi trauma atau cidera
pada spinal cord. Penurunan kesadaran, nyeri juga bisa menjadi
keluhan utama klien.
b. Riwayat penyakit sekarang : pasien mengalami cidera spinal cord
karena trauma, kecelakaan, jatuh dll.
c. Riwayat penyakit dahulu : Kaji penyakit degeneratif seperti
osteoporosis, osteoarthritis, dll.
d. Riwayat penyakit keluarga : apakah ada keluarga dengan penyakit
serupa atau penyakit degeneratif.
e. Riwayat sosial (pekerjaan dan kebiasaan) : kaji pekerjaan klien dan
kebiasaan yang dilakukan klien sehari-hari.
3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan ROS (Review Of System) B1-B6
a. B1 (breath) : RR klien akan menurun (bradikardia) dan nafas
pendek. BGA tidak normal, saturasi oksigen <90%, sianosis.
b. B2 (blood) : Tekanan darah akan menurun (hipotensi), tampak
pucat.
c. B3 (brain) : Klien kehilangan refleks sensori dan motorik,
mengalami tetraplegia dan atau paraplegia, penurunan kesadaran,

35
beberapa klien akan mengalami sianosis. Pengkajian objektif wajah
klien terlihat meringis,
d. B4 (bladder) : Terjadi gangguan eliminasi urin, distensi abdomen
akibat penumpukan urin, retensi urin.
e. B5 (bowel) : terjadi gangguan eliminasi fekal, peristaltik usus
menghilang
f. B6 (bone) : klien mengalami kelemahan otot ekstremitas,
terjadi gangguan mobilitas fisik.

2. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas b.d spinal cord injury (injuri tulang
belakang)
b. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler
c. Defisit perawatan diri b.d kerusakan neuromuskuler
d. Nyeri akut b.d agen injuri (SCI)
e. Gangguan perfusi jaringan b.d gangguan peredaran darah
f. Konstipasi b.d gangguan peristaltik
g. Retensi urin b.d hambatan reflek
h. Penurunan curah jantung b.d perubahan preload dan afterload
i. Hipotermi

3. Intervensi berdasarkan diagnosa prioritas


a. Ketidakefektifan pola nafas b.d spinal cord injury (injuri tulang
belakang)
NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan kepe Respiratory monitoring (3350)
rawatn …x24 jam, pasien 1. Monitor frekuensi, ritme,
diharapkan menunjukkan status kedalaman, dan penggunaan
pernapasan yang baik. alat bantu nafas klien.
2. Monitor SaO2
Respiratory status : ventilation 3. Posisikan klien semi fowler
(0403) 4. Auskultasi suara nafas

36
Status pernafasan yang 5. Kolaborasi pemberian O2
baik dibuktikan dengan : 6. Observasi adanya tanda-tanda
RR 5 hipoventilasi
Ritme 5
Volume tidal 5 Oxygen therapy (3320)
Retraksi dada 5 1. Jaga kepatenan jalan nafas
Penggunaan otot bantu 2. Monitor aliran oksigen
pernafasan 5 3. Monitor SaO2
4. Monitor BGA
5. Monitor adanya kecemasan
oksigenasi

b. Penurunan curah jantung b.d perubahan preload dan afterload


NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan Cardiac care (4040)
keperawatan …x24 jam klien 1. Monitor keadaan klien
diharapkan menunjukan 2. Monitor TTV
peningkatan curah jantung. 3. Catat tanda-tanda penurunan
curah jantung
Cardiac pump effectiveness 4. Monitoring status respirasi
(0400) klien
Tekanan darah 5 5. Monitor keseibangan cairan
RR 5

Circulation status (0401)


Nadi 5
Kekuatan nadi karotis atau
brakialis 5
Status oksigen 5
CTR 5

37
c. Nyeri akut b.d agen injuri (SCI)
NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan Pain management (1400)
keperawatan …x24 jam 1. Observasi reaksi nonverbal
diharapkan nyeri klien klien
berkurang. 2. Kontrol lingkungan klien
3. Kurangi faktor presipitasi
Pain control (2102) nyeri
Ekspresi wajah 5 4. Ajakarkan teknis distraksi
Panjang episode nyeri 4 dan relaksasi
Gelisah 5 5. Kolaborasi pemberian
RR 5 analgesic
6. Posisikan klien kearah
berlawanan

5.2 Asuhan Keperawatan Kasus Pasien dengan Spinal Shock

Tn. L usia 35th dibawa ke RS Universitas Airlangga karena terjatuh dari pohon
saat sedang menebang pohon tersebut. Tn. L jatuh dengan posisi terlentang
kemudian merasakan berat pada kaki sebelah kanan dan menjalar ke pinggang
saat berjalan. Tn. L juga mengeluh kaki kirinya mengalami kesemutan terus-
menerus dan tidak bisa kencing selama 10 jam setelah kejadian. Dari pemeriksaan
fisik ditemukan TD: 90/70 mmHg, N: 60x/mnt, RR: 12x/mnt, Suhu: 36 C.

1. Pengkajian

Nama : Tn. L
Usia : 35 th
Agama : Islam
Alamat : Mulyorejo
Pekerjaan : Wiraswasta

2. Riwayat Kesehatan :

38
a. Keluhan Utama : nyeri yag menjalar dari kaki kanan ke pinggang, kaki kiri
kesemutan, susah kencing
b. Riwayat penyakit sekarang : Tn.L mengalami trauma spinal cord
c. Riwayat penyakit dahulu : tidak ada
d. Riwayat penyakit keluarga : tidak ada

3. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (breath) : RR: 12x/menit, sianosis.
b. B2 (blood) : TD: 90/70 mmHg, tampak pucat.
c. B3 (brain) : Somnolen
d. B4 (bladder) : Terjadi gangguan eliminasi urin, distensi abdomen.
e. B5 (bowel) :-
f. B6 (bone) : kesemutan pada kaki kiri, gangguan mobilitas
fisik.

4. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen injuri (SCI)
2. Retensi urin b.d hambatan reflek
3. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler

5. Analisa Data
No Data Etiologi MK

1. Ds: px mengeluh nyeri Trauma spinal cord Nyeri akut


pada bagian kaki hingga (terjatuh)
pinggang
DO : Terjadi perlukaan di
P : trauma SCI spinal cord
Q: seperti tertimpa benda
berat Inflamasi di spinal cord
R: menjalar dari kaki
kanan ke pinggang Rangsangan reseptor
S: 7 nyeri
39
T: mendadak setelah
trauma Nyeri akut
2. Ds: px mengatakan tidak Trauma pinal cord Retensi Urin
bisa kencing selama 10 jam
setalah kejadian Terjadi robean di sekitar
Do: Nampak distensi ligament spinal cord
abdomen
Robekan mengenai saraf
hingga putus

Hilangnya fungsi saraf

Hilangnya reflek tubuh

Hilangnya reflek
kencing

Gangguan pengeluaran
urin

Retensi Urin

3. Ds: Px mengatakan bahwa Trauma spinal cord Gangguan


ia susah berjalan (terjatuh) mobilitas fisik
Do: Px nampak meringis
saat menggerakkan kaki Kerusakan jalur
simpatik desending

Jaringan saraf medulla


spinalis terputus

Ekstremitas bawah dan

40
sebagian lumpuh

Gangguan pergerakan
tubuh

Gangguan mobilitas
fisik

6. Intervensi Keperawatan

1.Nyeri akut b.d agen injuri (SCI)

NOC NIC

Setelah dilakukan tindakan Pain management (1400)


keperawatan 1x24 jam diharapkan nyeri 7. Observasi reaksi nonverbal klien
klien berkurang. 8. Kontrol lingkungan klien
9. Kurangi faktor presipitasi nyeri
Pain control (2102) 10. Ajakarkan teknis distraksi dan
Ekspresi wajah 5 relaksasi
Panjang episode nyeri 4 11. Kolaborasi pemberian analgesic
Gelisah 5 12. Posisikan klien kearah berlawanan
RR 5

2.Retensi Urin b.d hambatan reflek

NOC NIC

Setelah dilakukan tindakan Urinary Retention Care


keperawatan 1x24 jam diharapkan
Monitor intake dan Output
retensi urin pasien dapat diatasi
Dengan kriteria hasil : Monitor penggunaan obat
Kandung kemih kosong secara penuh

41
Tidak ada residu urin >100-200cc antikolinergik
Intake cairan dalam rentang normal
Monitor derajat distensi bladder

Katerisasi jika perlu

3. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler

NOC NIC

Joint Movement : Active Exercise therapy: ambulation

Transfer performance Monitoring vital sign sebelum dan


sesudah latihan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1x24jam gangguan mobilitas Konsultasikan terapi fisik tentang
fisik teratasi dengan kriteria hasil : rencana ambulasi sesuai kebutuhan

Klien meningkat dalam aktivitas fisik Bantu klien untuk menggunakan


tongkat saat berjalan
Memverbalisasikan perasaan dalam
meningkatkan kekuatan dan Kaji kemampuan klien dalam
kemampuan berpindah mobilisasi

42
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis
vertebralis dan lumbali akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang. Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis
yang disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Gejala yang
ditimbulkan bervariasi tergantung pada lokasi cedera. Cedera tulang belakang
menyebabkan kelemahan dan hilangnya rasa (lumpuh) pada lokasi cidera dan
pada area bawahnya. Klasifikasi dari trauma medula spinalis dibedakan
menjadi 2 yaitu komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total) dan
tidak komplet (kehilangan dari salah satu fungsi sensori dan fungsi motorik).
Spinal syok (syok pada medula spinalis) termasuk syok distributif, terjadi
karena volume darah secara abnormal berpindah tempat pada vaskuler seperti
ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer . Neurogenik syok
disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu CNS. Manifestasi klinis
yang ditunjukkan yaitu hilangnya sensasi,control motorik, dan reflek dibawah
cedera. Suhu didalam tubung akan menggambarkan suhu yang ada di
lingkungan, kemudian tekanan darah akan menurun. Sedangkan frekuensi
denyut nadi sering normal akan tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu
rendah.

6.2 Saran
Setelah anda mengetahui dampak dari trauma medula spinalis dan spinal syok
maka penting bagi kita untuk mengetahui cara menangani atau mencegah
cedera medula spinalis agar tidak terjadi trauma yang lebih fatal atau parah
lagi seperti kejadian spinal syok. Untuk kedepannya apabila terdapat korban
kecelakaan di jalan maka kita sebagai tenaga kesehatan harus tahu cara yang
benar dalam penanganan gawat darurat sebagai pencegahan terhadap trauma
medula spinalis dan syok spinal.

43
DAFTAR PUSTAKA

Atkinson PP, Atkinson JL. Spinal shock. Mayo Clin Proc 1996; 71: 384–389.

Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. Trauma Kaptis dan Trauma Spinal


PERDOSSI. Jakarta

Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol.
3 . Jakarta : EGC.

Hall M. Synopsis of the Diastaltic Nervous System: or The System of the Spinal
Marrow, and its Reflex Arcs; as the Nervous Agent in all the Functions of
Ingestion and of Egestion in the Animal Oeconomy. Mallett J.:
London,1850. 4. Soertidewi, Lyna, Jusuf Misbach, Hasan Sjahrir, et al.
Konsensus Nasional Penanganan

https://www.academia.edu/6661140/ASUHAN_KEPERAWATAN_PADA_PASI
EN_CEDERA_MEDULA_SPINALIS_LUMBAL diakses pada tanggal 4
Maret 2018

Islam, Mohammad S. 2006. Terapi Sel Stem pada Cedera Medulla Spinalis
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Ruamah Sakit Umum Dr.
Soetomo. Surabaya: Cermin Dunia Kedokteran No. 154, 2007 39.

Ko HY, Ditunno Jr JF, Graziani V, Little JW. The pattern of reflex recovery
during spinal shock. Spinal Cord 1999; 37: 402–409.

Sherwood,Lauralee.2001.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, edisi kedua.


Jakarta : EGC.

Waxman, Tephen. 2003. Clinical Neuroanatomy. 25th edition. New York:


McGraw-Hill.

44

Anda mungkin juga menyukai