T9. SGD Kelompok 2-Trauma Medulla Spinalis Dan Spinal Shock - Compressed PDF
T9. SGD Kelompok 2-Trauma Medulla Spinalis Dan Spinal Shock - Compressed PDF
Disusun oleh:
Kelompok 2/ Kelas A2
Wahyu Dwi Septinengtias 131411131014
Mardhatillah Syauqina P 131411131022
Venni Hariani 131411131034
Diana Rachmawati 131411131060
Evi Nur Laili Rahma K. 131411131079
Nadhia Putri Ulva Sari 131411133006
Marissa Ulfah 131411133010
Iftitakhur Rohmah 131411133015
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
segala limpahan berkah dan rahmat yang diberikan, sehingga kita dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Klien
Dengan Trauma Medula Spinalis dan Spinal Shock” dengan lancar.
Dalam menyusun makalah ini, tentunya berbagai hambatan telah dialami.
Oleh karena itu, terselesaikannya makalah ini bukan semata-mata karena
kemampuan kelompok saja, melainkan karena adanya dukungan dan bantuan dari
pihak-pihak terkait. Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ketulusan hati kami
sampaikan terima kasih kepada fasilitator, kepada rekan-rekan mahasiswa
Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, serta kepada semua pihak yang
tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari bahwa pengetahuan
dan pengalaman yang dimiliki masih sangat terbatas, oleh karena itu kritik dan
saran yang konstruktif sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah
berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat untuk kita semua.
Penyusun
2
Daftar Isi
Halaman Judul................................................................................................... i
Kata Pengantar .................................................................................................. ii
Daftar Isi ........................................................................................................... iii
BAB 1 Pendahuluan .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
1.3 Tujuan.......................................................................................................... 2
BAB 2 Tinjauan Pustaka Trauma Medulla Spinal............................................ 4
2.1 Anatomi dan Fisiologi Medulla Spinal ....................................................... 4
2.2 Definisi Trauma Medulla Spinal................................................................. 6
2.3 Etiologi Trauma Medulla Spinal................................................................. 7
2.4 Patofisiologi Trauma Medulla Spinal ......................................................... 7
2.5 Manifestasi Klinis Trauma Medulla Spinal ................................................ 8
2.6 Pemeriksaan Diagnostik Trauma Medulla Spinal....................................... 8
2.7 Penatalaksanaan Trauma Medulla Spinal ................................................... 9
2.8 Komplikasi Trauma Medulla Spinal ........................................................... 10
2.9 Prognosis Trauma Medulla Spinal .............................................................. 11
2.10 WOC Trauma Medulla Spinal................................................................... 13
BAB III Asuhan Keperawatan Umum Trauma Medulla Spinal ....................... 16
BAB IV Tinjauan Pustaka Shock Spinal .......................................................... 30
4.1 Definisi Shock Spinal.................................................................................. 30
4.2 Etiologi Shock Spinal.................................................................................. 30
4.3 Patofisiologi Shock Spinal .......................................................................... 31
4.4 Manifestasi Shock Spinal............................................................................ 31
4.5 Penatalaksanaan Shock Spinal .................................................................... 31
4.6 Pemeriksaan Penunjang Shock Spinal ........................................................ 33
4.7 Komplikasi Shock Spinal............................................................................ 33
4.8 Prognosis Shock Spinal............................................................................... 34
BAB V Asuhan Keperawatan Shock Spinal ..................................................... 35
5.1 Askep Umum Shock Spinal ........................................................................ 35
3
5.2 Askep Kasus Pasien dengan Shock Spinal.................................................. 38
BAB VI Penutup ............................................................................................... 43
6.1 Kesimpulan.................................................................................................. 43
6.1 Saran ........................................................................................................... 43
Daftar Pustaka................................................................................................... 44
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan definisi dari trauma medula spinalis dan spinal shock
2. Menjelaskan etiologi dari trauma medula spinalis dan spinal shock
3. Menjelaskan patofisiologi dari trauma medula spinalis dan spinal shock
4. Menjelaskan manifestasi klinis dari trauma medula spinalis dan spinal
shock
5. Menjelaskan penatalaksanaan dari trauma medula spinalis dan spinal
shock
6. Menjelaskan pemeriksaan yang dilakukan untuk trauma medula spinalis
dan spinal shock
2
7. Menjelaskan macam-macam komplikasi dari trauma medula spinalis dan
spinal shock
8. Menjelaskan prognosis dari trauma medula spinalis dan spinal shock
9. Menyusun asuhan keperawatan pasien dengan trauma medula spinalis dan
spinal shock
3
BAB II
Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan
ramping, yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci)
dan garis tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medulla spinalis, yang
keluar dari sebuah lubang besar di dasar tengkorak, dilindungi oleh
kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis vertebralis. Dari
medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan melalui
ruang-ruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap
vertebra yang berdekatan.
Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut :
8 pasang saraf servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf
lumbal (L), 5 pasang saraf sakral (S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co).
Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm
lebih panjang daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan
tersebut, segmen-segmen medulla spinalis yang merupakan pangkal dari
saraf-saraf spinal tidak bersatu dengan ruang-ruang antar vertebra yang
sesuai. Sebagian besar akar saraf spinalis harus turun bersama medulla
spinalis sebelum keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai.
Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan sampai setinggi vertebra
lumbal pertama atau kedua (setinggi sekitar pinggang), sehingga akarakar
saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar dari kolumna
vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang
memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal
sebagai kauda ekuina (”ekor kuda”) karena penampakannya.
Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan
melintang dari medulla spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya.
Substansia grisea di medulla spinalis membentuk daerah seperti kupu-
kupu di bagian dalam dan dikelilingi oleh substansia alba di sebelah luar.
Seperti di otak, substansia grisea medulla spinalis terutama terdiri dari
4
badan-badan sel saraf serta dendritnya antarneuron pendek, dan sel-sel
glia. Substansia alba tersusun menjadi traktus (jaras), yaitu berkas serat-
serat saraf (akson-akson dari antarneuron yang panjang) dengan fungsi
serupa. Berkas-berkas itu dikelompokkan menjadi kolumna yang berjalan
di sepanjang medulla spinalis. Setiap traktus ini berawal atau berakhir di
dalam daerah tertentu di otak, dan masingmasing memiliki kekhususan
dalam mengenai informasi yang disampaikannya.
Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis
sinyal dipisahkan, dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla
spinalis dapat mengganggu sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh.
Substansia grisea yang terletak di bagian tengah secara fungsional juga
mengalami organisasi. Kanalis sentralis, yang terisi oleh cairan
serebrospinal, terletak di tengah substansia grisea. Tiap-tiap belahan
substansia grisea dibagi menjadi kornu dorsalis (posterior), kornu
ventralis (anterior), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis mengandung
badan-badan sel antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Kornu
ventralis mengandung badan sel neuron motorik eferen yang
mempersarafi otot rangka. Serat-serat otonom yang mempersarafi otot
jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badan-badan
sel yang terletak di tanduk lateralis. Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan
tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui akar spinalis dan akar ventral.
Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk ke medulla spinalis
melalui akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal keluar
meninggalkan medulla melalui akar ventral. Badan-badan sel untuk
neuron-neuronaferen pada setiap tingkat berkelompok bersama di dalam
ganglion akar dorsal. Badan-badan sel untuk neuron-neuron eferen
berpangkal di substansia grisea dan mengirim akson ke luar melalui akar
ventral. Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk
sebuah saraf spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf
spinalis mengandung serat-serat aferen dan eferen yang berjalan diantara
bagian tubuh tertentu dan medulla spinalis spinalis. Sebuah saraf adalah
berkas akson neuron perifer, sebagian aferen dan sebagian eferen, yang
5
dibungkus oleh suatu selaput jaringan ikat dan mengikuti jalur yang
sama. Sebagaian saraf tidak mengandung sel saraf secara utuh, hanya
bagian-bagian akson dari banyak neuron. Tiap-tiap serat di dalam sebuah
saraf umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama lain. Mereka berjalan
bersama untuk kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang
berjalan dalam satu kabel, nemun tiap-tiap sambungan telepon dapat
bersifat pribadi dan tidak mengganggu atau mempengaruhi sambungan
yang lain dalam kabel yang sama.
Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu,
yaitu traktus desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi
membawa sensasi yang bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer.
Sedangkan traktus asenden secara umum berfungsi untuk mengantarkan
informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran.
Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) informasi
eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan
raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh,
misalnya otot dan sendi.
6
servikalis, 12 pasang torakalis, 5 pasang lumbalis, 5 pasang sakralis, dan
1 pasang saraf kogsigis.
Cedera medula spinalis lumbal adalah suatu kerusakan fungsi
neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medula spinalis
khususnya lumbal (Brunner dan Suddarth, 2001). Berdasarkan
ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi, cedera medula
spinalis dapat diklasifikasikan menjadi cedera komplet dan inkomplet.
2.3 Etiologi Trauma/Cede ra Medula Spinalis
7
akson pada segmen medula spinalis yang terkena (lumbal). Akson yang
telah rusak tidak akan tersambung kembali karena terhalang jaringan
parut (Islam, 2006).
Kondisi kerusakan saraf lumbal dapat berakibat pada masalah-
masalah biopsikososiospiritual. Masalah biologis yang muncul yaitu nyeri
akut, kerusakan mobilitas fisik, gangguan eliminasi urin dan fekal, dan
disfungsi seksual. Masalah psikologis, pasien mengalami harga diri rendah
situasional akibat kerusakan fungsional pada lumbal. Masalah sosial yaitu
gangguan interaksi sosial karena keterbatasan dalam mobilitas fisik.
Masalah spiritual, pasien yang mengalami penurunan tingkat keyakinan
dapat berisiko terhadap kerusakan dalam beribadah/beragama.
2.5 Manifestasi Klinis Trauma/Cedera Medula Spinalis
Cedera medula spinalis lumbal dapat menyebabkan gambaran
paraplegia. Tingkat neurologik yang berhubungan akan mengalami
paralisis sensori dan motorik total yang menyebabkan gangguan kontrol
kandung kemih (retensi dan inkontinensia) dan usus besar, penurunan
tonus vasomotor, dan penurunan tekanan darah yang diawali dengan
resistensi vaskuler perifer (Brunner dan Suddarth, 2001).
2.6 Pemeriksaan Diagnostik Trauma/Cedera Medula Spinalis
1) Sinar X
Sinar X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur,
erosi, dan perubahan hubungan tulang pada vertebra lumbal. Sinar
X multipel diperlukan untuk pengkajian paripurna struktur yang
sedang diperiksa, menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
(fraktur, dislokasi), kesejajaran, dan reduksi setelah dilakukan
traksi atau operasi (Brunner dan Suddarth, 2001).
2) Computed Tomography (CT Scan)
Pencitraan ini menunjukkan rincian bidang tertentu tulang
yang terkena (lumbal) dan dapat memperlihatkan cedera ligamen
atau tendon. Teknik ini dapat mengidentifikasai lokasi dan
panjangnya patah tulang di daerah yang sulit dievaluasi.
Pemindaian CT selalu dilakukan pertama tanpa zat kontras, namun
8
jika dengan zat kontras, maka akan diinjeksi melalui intravena
(Brunner dan Suddarth, 2001).
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah teknik pencitraan khusus, noninvasif, yang
menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan komputer
untuk memperlihatakan abnormalitas jaringan lunak seperti otot,
tendon, dan tulang rawan. MRI mempunyai potensial untuk
mengidentifikasi keadaan abnormal serebral dengan mudah dan
lebih jelas dari tes diagnostik lainnya. MRI dapat memberikan
informasi tentang perubahan kimia dalam sel, namun tidak
menyebabkan radiasi sel (Brunner dan Suddarth, 2001).
4) Mielografi
Merupakan penyuntikan bahan kontras ke dalam rongga
subarachnoid spinalis lumbal. Mielogram menggambarkan ruang
subarachnoid spinal dan menunjukkan adanya penyimpangan
medula spinalis atau sakus dural spinal yang disebabkan oleh
tumor, kista, hernia diskus vertebral, atau lesi lain. Zat kontras
dapat menggunakan larutan air atau yang mengandung minyak.
Metrizamid adalah zat kontras yang larut air, diabsorbsi oleh
tubuh, serta diekskresi melalui ginjal (Brunner dan Suddarth,
2001).
2.7 Penatalaksanaan Trauma/Cedera Medula Spinalis
Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah cedera medula spinalis
lumbal agar tidak berlanjut dan untuk mengobservasi gejala penurunan
neurologik. Penatalaksanaan farmakoterapi dapat dilakukan dengan
pemberian kortikosteroid dosis tinggi, khususnya metilprednisolon karena
dapat memperbaiki prognosis dan mengurangi kecacatan bila diberikan
dalam delapan jam pertama cedera. Dosis pemberian diikuti dengan infus
kontinu yang dikaitkan dengan perbaikan klinis bermakna untuk pasien
dengan cedera medula spinalis akut. Nalokson telah teruji dalam
mengobati binatang dengan cedera medula spinalis lumbal, mempunyai
efek samping minimal dan dapat meningkatkan perbaikan neurologik pada
9
manusia. Terapi farmakologik yang masih dalam penyelidikan adalah
pengobatan dengan steroid dosis tinggi, mannitol (untuk menurunkan
edema), dan dekstran (untuk mencegah tekanan darah turun cepat dan
memperbaiki aliran darah kapiler) yang diberikan dalam kombinasi
(Brunner dan Suddarth, 2001).
2.8 Komplikasi Trauma/Cedera Medula Spinalis
a) Pendarahan mikroskopik
Pada semua cedera madula spinalis atau vertebra, terjadi
perdarahan-perdarahan kecil. Yang disertai reaksi peradangan, sehingga
menyebabkan pembengkakan dan edema dan mengakibatkan terjadinya
peningkatan tekanan didalam dan disekitar korda. Peningkatan tekanan
menekan saraf dan menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia
dan secara drastis meningkatkan luas cidera korda. Dapat timbul jaringan
ikat sehingga saraf didarah tersebut terhambat atau terjerat.
b) Hilangnya sensasi, kontrol motorik, dan refleks.
Pada cedera spinal yang parah, sensasi, kontrol motorik, dan
refleks setinggi dan dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua
refleks disebut syok spinal. Pembengkakan dan edema yang mengelilingi
korda dapat meluas kedua segmen diatas kedua cidera. Dengan demkian
lenyapnya fungsi sensorik dan motorik serta syok spinal dapat terjadi
mulai dari dua segmen diatas cidera. Syok spnal biasanya menghilang
sendiri, tetap hilangnya kontrol sensorik dan motorik akan tetap
permanen apabila korda terputus akan terjadi pembengkakan dan
hipoksia yang parah.
c) Syok spinal.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks
dari dua segmen diatas dan dibawah tempat cidera. Refleks-refleks yang
hilang adalah refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan
rektum, tekanan darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi
akibat hilangnya secara akut semua muatan tonik yang secara normal
dibawah neuron asendens dari otak, yang bekerja untuk mempertahankan
fungsi refleks. Syok spinl biasanya berlangsung antara 7 dan 12 hari,
10
tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat tmbul
hiperreflekssia, yang ditadai oleh spastisitas otot serta refleks,
pengosongan kandung kemih dan rektum.
d) Hiperrefleksia otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis
secar refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper
refleksia otonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya syok spinal.
Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda spnalis dan
mencetukan suatu refleks yang melibatkan pengaktifan sistem saraf
simpatis. Dengan diaktifkannya sistem simpatis, maka terjadi konstriksi
pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan tekanan darah sistem
2.9 Prognosis Trauma/Cedera Medula Spinalis
Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya mempunyai
harapan untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi
selama 72 jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika
sebagian fungsi sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan
untuk dapat berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita
cedera medula spinalis dapat sembuh dan mandiri
1. Sumsum tulang belakang memiliki kekuatan regenerasi.yang
sangat terbatas
2. Pasien dengan complete cord injury memiliki kesempatan
recovery yang sangat rendah, terutama jika paralysis berlangsung
selama lebih dari 72 jam.
3. Prognosis jauh lebih baik untuk incomplete cord syndromes
4. Prognosis untuk cervical spine fractures and dislocations
sangat bervariasi, tergantung pada tingkat kecacatan neurologis
5. Prognosis untuk defisit neurologis tergantung pada besarnya
kerusakansaraf tulang belakang pada saat onset.
6. Selain disfungsi neurologis, prognosis juga ditentukan oleh
pencegahandan keefektifan pengobatan infeksi - misalnya,
pneumonia, dan infeksisaluran kemih.
11
7. Secara umum, sebagian besar individu mendapatkan kembali
beberapafungsi motorik, terutama dalam enam bulan pertama,
meskipun mungkin ada perbaikan lebih lanjut yang perlu diamati
diamati di tahun akan datang.
12
2.10 WOC
Terjadinya
SPINAL CORD INJURY perdarahan
Kerusakan jalur simpatetik Timbul perlukaan pada Adanya robekan di ligament Blok saraf Trauma berat yang 13
desending spinal cord sekitar spinal cord simpatis menyebabkan penurunan
kesadaran
Kerusakan jalur simpatetik Timbul perlukaan pada Adanya robekan di ligament Blok saraf Trauma berat yang
desending spinal cord sekitar spinal cord simpatis menyebabkan penurunan
kesadaran
15
BAB III
Pengkajian
1. Primary Survey
a. Airway
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan
besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi
pada penderita yang tidak sadar, yang disebabkan oleh benda asing,
muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah.
Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra
servikalis (servical spine control) yaitu tidak boleh melakukan
ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini,
kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan
hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan
maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau
suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya
dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak
adekuat perlu bantuan napas. Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan
nafas klien. Nilai airway sewaktu dengan mempertahankan posisi
tulang leher tetap dalam keadaan in line position.
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada asimetris
atau tidak, adanya retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan
kesadaran, bila diduga terjadi fraktur servical maka lakukan jaw
thrust.
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan, dengar suara nafas
vesikuler atau tidak.
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan.
b. Breathing : sesak nafas, gagal napas.
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya
dispnea, takipnea, bradipnea, ataupun sesak. Kaji juga apakah ada
16
suara nafas tambahan seperti snoring, gargling, rhonki atau
wheezing. Selain itu kaji juga kedalaman nafas klien. Berikan
oksigenasi yang adekuat dan bantuan ventilasi bila diperlukan.
c. Circulation : tekanan darah rendah, brakikardia, nadi cepat,
vasokontriksi perifer, CRT > 2detik.
Status sirkulasi dinilai secara cepat dengan cara memeriksa
tingkat kesadaran dan denyut nadi. Kaji ada tidaknya
peningkatan/penurunan tekanan darah, kelainan detak jantung
misalnya takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan
capilarrefil. Kaji juga kondisi akral dan nadi klien. Kaji vena leher
dan warna kulit (adanya sianosis), periksa keluaran urin.
d. Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan
refleks, pupil anisokor dan nilai GCS. Menilai kesadaran dengan
cepat, apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau sama
sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara
yang cukup jelas dan cepat dengan metode AVPU. Namun sebelum
melakukan pertolongan, pastikan terlebih dahulu 3A yaitu aman
penolong, aman korban dan aman lingkungan. Kaji juga keluhan klien
misalkan adanya nyeri pada daerah-daerah tertentu.
a) A = Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
b) V = Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan
berbicara keras di telinga korban, pada tahap ini jangan sertakan
dengan menggoyang atau menyentuh klien, jika tidak merespon
lanjut ke P.
c) P = Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada klien, yang paling
mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di
pangkal kuku), selain itu dapat juga dengan menekan bagian
tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata (supra
orbital).
d) U = Unresponsive : setelah diberi rangsangan nteri tetapi tidak
bereaksi klien berada dalam keadaan unresponsive.
17
Nilai kekuatan tonus otot, terdapat lateralisasi apa tidak. Berikut tabel
menyajikan penilaian derajat kekuatan otot :
2. Secondary Survey
A : Alergi (adakah alergi pada klien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis klien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi
termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)
18
Saat dilakukan secondary survey, tahap pelaksanaan yang harus
dilakukan adalah:
a. Anamnesa
1) Identitas
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin,
status perkawinan, dan penanggung biaya.
2) Keluhan Utama
Keluhan utama yang menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan
ekstremitas, inkontinensia defekasi dan urine, deformitas pada
daerah trauma.
3) Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai tulang belakang akibat
dari kecelakaan lalu lintas, olahraga, jatuh dari pohon atau
bangunan, luka tusuk, luka tembak dan kejatuhan benda keras.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar
klien atau bila klien tidak sadar tentang penggunaan obat-
obatan adiktif dan penggunaan alkohol yang sering terjadi pada
beberapa klien yang suka kebut-kebutan.
4) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
penyakit degeneratif pada tulang belakang, seperti
osteoporosis, osteoartritis, spondilitis,spondilolistesis, spinal
stenosis yang memungkinkan terjadinya kelainan pada tulang
belakang.
5) Riwayat penyakit keluarga
Kaji apakah dalam keluarga px ada yang menderita hipertensi,
DM, penyakit jantung untuk menambah komprehensifnya
pengkajian
6) Riwayat penggunaan obat
19
Kaji obat-obatan yang dikonsumsi pasien,seperti penggunaan
obat penenang, anastesi spinal/ lumbal.
7) Pengkajian bio-psiko-sosio-spiritual
Berhubungan dengan perasaan dan emosi yang di alami pasien
mengenai kondisinya. Kaji juga kondisi psikologis pasien,
stress psikologis, mungkin dalam kondisi berduka atau
kehilangan. Kaji pula spiritual pasien, persepsi pasien terhadap
kondisi sakitnya dan pola kebiasaan pasien sehari-hari.
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : pucat, kulit kerirng, penurunan kesadaran, napas
pendek dan menggunakan otot bantu nafas
2) Palpasi : akral dingin , nadi cepat ,paraplegia, nyeri
3) Perkusi :-
4) Auskultasi : -
c. Pemeriksaan Diagnostik
1) Sinar X spinal: menentukan lokasi dan jenis cedera tulang
(fraktur , dislokasi), untuk kesejajaran traksi atau operasi
2) Scan CT: menentukan tempat luka/jejas, mengevalkuasi
gangguan structural
3) MRI: mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema
dan kompresi
4) Mielografi: untuk memperlihatkan kolumna spinalis jika
terda[at oklusi pada subaraknoid medulla spinalis
5) Rongent torak : untuk memperlihatkan keadan paru
6) Pemeriksaan fungsi paru: mengukur volume inspirasi
maksimal dan ekpirasi maksimal terutama pada kasus trauma
servikal bagian bawah
7) GDA : menunjukan keefektifan pertukaran gas atau upaya
ventilasi.
Analisis Data
20
1. DS : Pasien mengeluh Blok saraf Pola napas tidak
sesak napas parasimpatis C1– C2 efektif
DO : Pasien terlihat ↓
menggunakan alat bantu,
Kelumpuhan otot
pucat dan pernapasan
pernapasan
cuping hidung, RR 23
x/mnt, napas pendek, ↓
cepat
Ekspansi paru
menurun pernapasan
Hilangnya tonus
vasomotor
Hipotensi,
vasokonstriksi perifer
Syok neurogenic
21
3. DS : klien mengeluhkan Trauma Disrefleksia
nyeri kepala berdenyut dan Autonomik
semakin parah dan mual ↓
Hiperefleksi otonom
Disrefleksia
Autonomik
Gangguan perfusi
jaringan perifer
Pelepasan mediator
kimia
22
Nyeri
Gangguan fungsi
vesika urinaria
Inkontinensia urin
Gangguan Eliminasi
Kelumpuhan saraf
usus dan rektum
Gangguan eliminasi
alvi
23
pemenuhan ADL spinalis
Ganggunan motorik
sensorik
kelumpuhan
Gangguan mobilitas
Diagnosa Keperawatan
Intervensi Keperawatan
24
041504 Auskultasi suara napas 3. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
(terdengar vesikuler) tambahan
041508 Saturasi oksigen > 95% 4. Kolaborasi pemberian oksigenasi simple
041513 Tanda sianosis tidak ada mask
041514 Dispnea hilang 5. Ajarkan klien untuk menggunakan inhaler
dengan tepat
6. Monitor RR, status O 2, dan vital sign
7. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
8. Monitor adanya kecemasan klien terhadap
oksigenasi
9. Informasikan pada klien dan keluarga
tentang teknik relaksasi untuk memperbaiki
pola napas
25
160503 Menggunakan tindakan kinerja kerja, dan tanggung jawab peran).
pencegahan 4. Kontrol faktor lingkungan yang mungkin
160504 pasien mampu Menggunakan menyebabkan respon ketidaknyamanan klien
non analgesic tekhnik untuk (misalnya temperature ruangan,
menghilangkan Nyeri pencahayaan, suara).
5. Pilih dan terapkan berbagai cara
(farmakologi, nonfarmakologi, interpersonal)
untuk meringankan nyeri.
6. Ajarkan penggunaan obat anti nyeri
26
040748 Tidak ada parastesia
27
Domain 4 impaired physical mobility
Class 2. Activity/ excercise
00085 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
NOC NIC
Domain I Functional health Domain 1 Physiological : Basic
Class C Mobility Class A : Activity and Exercise Management
0200 Ambulation 0221 Terapi Aktivitas : Ambulasi
020003 Berjalan pelan 1. Latih keterampilan mobilitas bertahap
0200010 berjalan berjarak pendek mulai dari tempat tidur, duduk, duduk
0200015 berjalan menyeret ke berdiri, berdiri ke berjalan.
Skala : 2. Pantau dan catat kemampuan pasien
1 : severely compromised menoleransi aktivitas.
2 : substantialy compromised 3. Kaji nyeri pasien sebelum beraktivitas,
3 : moderately compromised jika perlu lakukan terapi.
4 : mildly compromised 4. Konsultasikan dengan fisioterapis untuk
5 : not compromised latihan kekuatan dan mobilitas lanjut.
5. Berikan alat bantu sesuai kebutuhan
Domain I Functional health (kruk, walker, tongkat, kursi).
Class C Mobility 6. Konsultasikan dengan dokter keamanan
0208 Mobilitas dan keselamatan posisi untuk program
020801 Keseimbangan latihan fisik.
020809 Koordinasi 7. Bantu posisi mobilitasi dan berjalan,
020803 Pergerakan otot sesegera mungkin jika tidak ada
020804 Pergerakan sendi kontraindikasi.
020806 Berjalan 8. Tingkatkan kemandirian pasien dalam
020814 Berpindah dengan mudah melakukan ADL.
Skala : a.
1 : severely compromised Domain 1 Physiological : Basic
2 : substantialy compromised Class A : Activity and Exercise Management
3 : moderately compromised 0140 Promosi Bodi Mekanik
4 : mildly compromised a. Kolaborasikan dengan fisioterapi untuk
5 : not compromised perencanaan promosi bodi mekanik, jika
28
diindikasikan.
b. Ajarkan pasien menggunakan postur dan
bodi mekanik yang tepat untuk mengurangi
kelelahan/ injuri.
c. Ajarkan posisi yang sesuai.
d. Monitor perkembangan postur / bodi
mekanik pasien.
29
BAB IV
4.1 Definisi
Spinal syok (syok pada medulla spinalis) termasuk syok distributive,
terjadi karena volume darah secara abnormal berpindah tempat pada
vasikulerseperti ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer.
(Moor, 2013).
Spinal syok / syok pada medulla spinalis adalah suatu keadaan
disorganisasi fungsi medulla spinalis yang fisiologis dan berlangsung untuk
sementara waktu, keadaan ini timbul segera setelah cedera dan dapat
berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa minggu. Syok spinal juga
diketahui sebagai syok neurogenik adalah akibat dari kehilangan tonus
vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum.
Syok ini menimbulkan hipotensi, dengan penumpukan darah pada
pembuluh penyimpanan atau penampung dari kapiler organ splanknik. Tonus
vasomotor dikendalikan dan dimediasi oleh pusat vasomotor di medulla dan
serat simpatis yang meluas ke medulla spinalis sampai pembuluh darah
perifer secara berurutan. Karenanya kondisi apapun yang menekan fungsi
medulla atauintegritas medulla spinalis serta persarafan dapat mencetuskan
syok neurogenik / syok spinal (Tambayong, 2000).
4.2 Etiologi
Neurogenik syok disebabkan oleh beberapa factor yang mengganggu
CNS. Masalah ini terjadi akibat transmisi impuls yang terhambat dan
hambatan hantaran simpatik dari pusat vasomotor pada otak . penyebab
utamanya adalah SCI (spinal cord injury). Syok neurogenik keliru disebut
juga dengan syok tulang belakang. Kondisi berikutnya mengacu pada
hilangnya aktivitas neurologis dibawah tingkat cidera tulang belakang, tetapi
tidak melibatkan perfusi jaringan tidak efektif . (Linda D. Urden, 2008).
Tipe syok ini bias disebabkan oleh banyak factor yang menstimulasi
parasimpatik atau menghambat stimulasi simpatik dari otot vascular. Trauma
pada syaraf spinal atau medulla dan kondisi yang menggaggu suplai oksigen
atau gulokosa ke medulla menyebabkan syok neurogenik akibat gangguan
30
aktivitas simpatik. Obat penenang, ansietas dan stress hebat beserta nyeri juga
merupakan penyebab lainnya.
4.3 Patofisiologi
Terjadinya syok spinal biasanya diawali dengan adanya trauma pada
spinal. Syok spinal merupakan hilangnya reflek pada segmen atas dan bawah
lokasi terjadinya cedera pada medulla spinalis. Reflek yang hilang antara lain
reflek yang mengontrol postur, fungsi dan kandung kemih dan usus, tekanan
darah dan suhu tubuh. Hal ini terjadi akibat hilangnya muatan tonik secara
akut yang seharusnya disalurkan melalui neuron dari otak untuk
mempertahankan fungsi reflek. Ketika syok spinal terjadi akan mengalami
regresi dan hiperrefleksia ditandai dengan spastisitas otot serta reflek
pengosongan kandung kemih dan usus (Corwin, 2009).
Syak spinal akan menimbulkan hipotensi, akibat penumpukan darah pada
pembuluh darah dan kapiler organ splanknik tonus vasomotor di medulla dan
saraf simpatis yang meluas ke medulla spinalis sampai pembuluh darah
perifer secara berurutan.
4.5 Penatalaksanaan
Tatalaksana syok spinal secara umum sama seperti penanganan syok
pada umumnya, dengan mengikuti tatalaksana penyebab dari spinal syok
yang sebagai besar terjadi karena trauma medula spinalis. Berikut merupakan
tabel secara umum talalaksana trauma medula spinalis. Tatalaksana syok
spinal di Indonesia mengacu pada Konsensus Nasional PERDOSSI :
Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma spinal 2006 yang meliputi :
a. Konsensus Manajemen Pre Hospital4 Untuk mendukung tujuan
31
penyembuhan yang optimal, maka perlu diperhatikan tatalaksana disaat
pre hospital, yaitu :
1. Stabilisai manual
2. Membatasi fleksi dan gerakan-gerakan lain
3. Penanganan imobilitas vertebra dengan kolar leher dan vertebral brace
b. Konsensus Manajamen Di Instalasi Gawat Darurat4 tindakan mengacu
pada :
1. A (AIRWAY) Menjaga jalan nafas tetap lapang
2. B (BREATHING) Mengatasi gangguan pernafasan, jika perlu lakukan
intubasi endotrakheal (pada cedera medulla spinalis servical atas) dan
pemasangan alat bantu nafas supaya oksigenasi adekuat.
3. C (CIRCULATION) Memperhatikan tanda-tanda hipotensi, terjadi
karena pengaruh pada sistem saraf ortosimpatis.
Harus dibedakan antara :
a. Syok hipovolemik (hipotensi, tachycardia, ekstremitas
dingin/basah). Tindakan : diberikan cairan kritaloid ( NaCl 0.9% /
Ringer laktat). Kalau perlu dengan koloid ( misal : Albumin 5%)
a) Syok neurogenik (hipotensi, bradikardia, ekstremitas
hangat/kering), pemberian cairan tidak akan menaikkan tensi
(awasi oedema paru) maka harus diberi vasopressor :
-Dopamine untuk menjaga MAP>70
-Bila perlu adrenalin 0.2 mg s.k
-Dapat diulang 1 jam kemudian
4. Selanjutnya
a. pasang foley catheter untuk memonitor hasil urine dan cegah
retensi urine
b. pasang pipa naso-gastrik (hati-hati pada cedera servikal), dengan
tujuan untuk :
-dekompresi lambung pada distensi
-kepentingan nutrisi enteral
5. Pemeriksan Umum dan Neurologis khusus Jika terdapat fraktur atau
dislokasi kolumna vertebralis :
32
a. servikal : pasang kerah fiksasi leher, jangan dimanipulasi dan
disamping kiri-kanan leher ditaruh bantal pasir.
b. Torakal : lakukan fiksasi (torakolumbal brace) c. Lumbal : fiksasi
dengan korset lumbal
Defisit neurologis berdasarkan gejala dan tanda klinis sesuai dengan
tinggi dan luas lesi.
4.7 Komplikasi
33
4.8 Prognosis
Prognosis syok spinal tergantung dari waktu dan cara penanganan awal
dan. Semakin awal ditangani dan semakin baik penanganan baik pre hospita,
waktu di IGD maupun saat di bangsal, maka prognosis semakin baik.
34
BAB V
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1. Identitas
Terdiri dari nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, alamat, diagnose medis,
suku, dan identitas keluarga yang bertanggung jawab.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama : Klien mengalami kelemahan alat gerak bahkan
kelumpuhan secara total atau partial setelah terjadi trauma atau cidera
pada spinal cord. Penurunan kesadaran, nyeri juga bisa menjadi
keluhan utama klien.
b. Riwayat penyakit sekarang : pasien mengalami cidera spinal cord
karena trauma, kecelakaan, jatuh dll.
c. Riwayat penyakit dahulu : Kaji penyakit degeneratif seperti
osteoporosis, osteoarthritis, dll.
d. Riwayat penyakit keluarga : apakah ada keluarga dengan penyakit
serupa atau penyakit degeneratif.
e. Riwayat sosial (pekerjaan dan kebiasaan) : kaji pekerjaan klien dan
kebiasaan yang dilakukan klien sehari-hari.
3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan ROS (Review Of System) B1-B6
a. B1 (breath) : RR klien akan menurun (bradikardia) dan nafas
pendek. BGA tidak normal, saturasi oksigen <90%, sianosis.
b. B2 (blood) : Tekanan darah akan menurun (hipotensi), tampak
pucat.
c. B3 (brain) : Klien kehilangan refleks sensori dan motorik,
mengalami tetraplegia dan atau paraplegia, penurunan kesadaran,
35
beberapa klien akan mengalami sianosis. Pengkajian objektif wajah
klien terlihat meringis,
d. B4 (bladder) : Terjadi gangguan eliminasi urin, distensi abdomen
akibat penumpukan urin, retensi urin.
e. B5 (bowel) : terjadi gangguan eliminasi fekal, peristaltik usus
menghilang
f. B6 (bone) : klien mengalami kelemahan otot ekstremitas,
terjadi gangguan mobilitas fisik.
2. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas b.d spinal cord injury (injuri tulang
belakang)
b. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler
c. Defisit perawatan diri b.d kerusakan neuromuskuler
d. Nyeri akut b.d agen injuri (SCI)
e. Gangguan perfusi jaringan b.d gangguan peredaran darah
f. Konstipasi b.d gangguan peristaltik
g. Retensi urin b.d hambatan reflek
h. Penurunan curah jantung b.d perubahan preload dan afterload
i. Hipotermi
36
Status pernafasan yang 5. Kolaborasi pemberian O2
baik dibuktikan dengan : 6. Observasi adanya tanda-tanda
RR 5 hipoventilasi
Ritme 5
Volume tidal 5 Oxygen therapy (3320)
Retraksi dada 5 1. Jaga kepatenan jalan nafas
Penggunaan otot bantu 2. Monitor aliran oksigen
pernafasan 5 3. Monitor SaO2
4. Monitor BGA
5. Monitor adanya kecemasan
oksigenasi
37
c. Nyeri akut b.d agen injuri (SCI)
NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan Pain management (1400)
keperawatan …x24 jam 1. Observasi reaksi nonverbal
diharapkan nyeri klien klien
berkurang. 2. Kontrol lingkungan klien
3. Kurangi faktor presipitasi
Pain control (2102) nyeri
Ekspresi wajah 5 4. Ajakarkan teknis distraksi
Panjang episode nyeri 4 dan relaksasi
Gelisah 5 5. Kolaborasi pemberian
RR 5 analgesic
6. Posisikan klien kearah
berlawanan
Tn. L usia 35th dibawa ke RS Universitas Airlangga karena terjatuh dari pohon
saat sedang menebang pohon tersebut. Tn. L jatuh dengan posisi terlentang
kemudian merasakan berat pada kaki sebelah kanan dan menjalar ke pinggang
saat berjalan. Tn. L juga mengeluh kaki kirinya mengalami kesemutan terus-
menerus dan tidak bisa kencing selama 10 jam setelah kejadian. Dari pemeriksaan
fisik ditemukan TD: 90/70 mmHg, N: 60x/mnt, RR: 12x/mnt, Suhu: 36 C.
1. Pengkajian
Nama : Tn. L
Usia : 35 th
Agama : Islam
Alamat : Mulyorejo
Pekerjaan : Wiraswasta
2. Riwayat Kesehatan :
38
a. Keluhan Utama : nyeri yag menjalar dari kaki kanan ke pinggang, kaki kiri
kesemutan, susah kencing
b. Riwayat penyakit sekarang : Tn.L mengalami trauma spinal cord
c. Riwayat penyakit dahulu : tidak ada
d. Riwayat penyakit keluarga : tidak ada
3. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (breath) : RR: 12x/menit, sianosis.
b. B2 (blood) : TD: 90/70 mmHg, tampak pucat.
c. B3 (brain) : Somnolen
d. B4 (bladder) : Terjadi gangguan eliminasi urin, distensi abdomen.
e. B5 (bowel) :-
f. B6 (bone) : kesemutan pada kaki kiri, gangguan mobilitas
fisik.
4. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen injuri (SCI)
2. Retensi urin b.d hambatan reflek
3. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler
5. Analisa Data
No Data Etiologi MK
Hilangnya reflek
kencing
Gangguan pengeluaran
urin
Retensi Urin
40
sebagian lumpuh
Gangguan pergerakan
tubuh
Gangguan mobilitas
fisik
6. Intervensi Keperawatan
NOC NIC
NOC NIC
41
Tidak ada residu urin >100-200cc antikolinergik
Intake cairan dalam rentang normal
Monitor derajat distensi bladder
NOC NIC
42
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis
vertebralis dan lumbali akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang. Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis
yang disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Gejala yang
ditimbulkan bervariasi tergantung pada lokasi cedera. Cedera tulang belakang
menyebabkan kelemahan dan hilangnya rasa (lumpuh) pada lokasi cidera dan
pada area bawahnya. Klasifikasi dari trauma medula spinalis dibedakan
menjadi 2 yaitu komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total) dan
tidak komplet (kehilangan dari salah satu fungsi sensori dan fungsi motorik).
Spinal syok (syok pada medula spinalis) termasuk syok distributif, terjadi
karena volume darah secara abnormal berpindah tempat pada vaskuler seperti
ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer . Neurogenik syok
disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu CNS. Manifestasi klinis
yang ditunjukkan yaitu hilangnya sensasi,control motorik, dan reflek dibawah
cedera. Suhu didalam tubung akan menggambarkan suhu yang ada di
lingkungan, kemudian tekanan darah akan menurun. Sedangkan frekuensi
denyut nadi sering normal akan tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu
rendah.
6.2 Saran
Setelah anda mengetahui dampak dari trauma medula spinalis dan spinal syok
maka penting bagi kita untuk mengetahui cara menangani atau mencegah
cedera medula spinalis agar tidak terjadi trauma yang lebih fatal atau parah
lagi seperti kejadian spinal syok. Untuk kedepannya apabila terdapat korban
kecelakaan di jalan maka kita sebagai tenaga kesehatan harus tahu cara yang
benar dalam penanganan gawat darurat sebagai pencegahan terhadap trauma
medula spinalis dan syok spinal.
43
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson PP, Atkinson JL. Spinal shock. Mayo Clin Proc 1996; 71: 384–389.
Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol.
3 . Jakarta : EGC.
Hall M. Synopsis of the Diastaltic Nervous System: or The System of the Spinal
Marrow, and its Reflex Arcs; as the Nervous Agent in all the Functions of
Ingestion and of Egestion in the Animal Oeconomy. Mallett J.:
London,1850. 4. Soertidewi, Lyna, Jusuf Misbach, Hasan Sjahrir, et al.
Konsensus Nasional Penanganan
https://www.academia.edu/6661140/ASUHAN_KEPERAWATAN_PADA_PASI
EN_CEDERA_MEDULA_SPINALIS_LUMBAL diakses pada tanggal 4
Maret 2018
Islam, Mohammad S. 2006. Terapi Sel Stem pada Cedera Medulla Spinalis
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Ruamah Sakit Umum Dr.
Soetomo. Surabaya: Cermin Dunia Kedokteran No. 154, 2007 39.
Ko HY, Ditunno Jr JF, Graziani V, Little JW. The pattern of reflex recovery
during spinal shock. Spinal Cord 1999; 37: 402–409.
44