Anda di halaman 1dari 2

Basket Keringat Dan Jeritano

Cerpen Karangan: Dian Tri Larasati


Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Olahraga, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 2 September 2017

Terkadang aku merasa tidak puas dengan prestasi-prestasiku. Ibu tak pernah bangga terhadap
apa yang aku sudah lakukan. Mendali-mendali dan piagam-piagam pernghargaanku seakan
tak ada nilainya di mata ibu. Aku sering sekali berbicara pada ibu bahwa hobi yang aku
miliki bisa menjadi prestasi yang tinggi. Tapi tetap saja ibu tak pernah setuju dengan hobiku
bermain basket.

Semenjak ayah dan ibu berpisah, aku seakan tak pernah hadir dalam kehidupan ibu. Aku
ingin ibu dapat melihat dengan bangga semua prestasi yang aku raih dari hobiku. Dulu ayah
pemain basket dengan penghargaan MIP (Most Improvement Players) di Indonesian
Basketball League 5 tahun berturut-turut dan masih banyak lagi prestasi ayah dalam dunia
perbasketan indonesia. Mungkin karena aku bermain basket sama seperti ayah, membuat ibu
teringat kepada sosok ayah yang tega meninggalkan aku dan ibu dalam kondisi yang
mendesak.

Aku putri sulung dengan berbagai hobi yang menarik. Aku gemar membaca, menulis,
melukis, bermain games online, dan menonton film animasi jepang berbagai genre, aku juga
memiliki prestasi cukup baik di sekolah SMAku. Tapi sayang hobi dan prestasiku tak pernah
membuat ibu bangga. Terkadang saat aku sedang bermain atau berlatih basket aku teringat
ayah yang dengan sabar mengajariku berbagai teknik bermain basket dari yang dasar hingga
yang kompleks.
Prestasiku bisa dibilang cukup banyak. Penghargaan pun terpajang dalam ruang tidurku agar
aku memiliki dorongan untuk terus berprestasi dalam dunia perbasketan.

Malam ini aku akan bertanding basket dalam liga DBL se-Bandung Raya. Aku telah
memberitahu ibu untuk datang menonton pertandingan finalku. Aku juga sudah memberi
tiket kepada ibu untuk masuk ke dalam gor basket. Meskipun aku dapat menebak bahwa ibu
tak akan datang.

Aku beserta timku sudah siap untuk bertanding. Suara penonton begitu bergema di dalam gor
tri lomba juang pajajaran. Suara bising dari pembangunan gor sebelah seakan menjadi
pengacau suasana final kali ini.
Permainan pun dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya oleh pemain dan seluruh
orang di dalam ruangan ini. Peluit wasit berbunyi tanda dimulainya pertandingan.
Semua teman-temanku sudah dalam posisi siap. Quarter 1st dimulai dengan bola yang berada
pada timku. Kami terus berkejaran mencari posisi untuk dapat menerobos pertahanan lawan
kami. Point pertama kami sebagai pembuka.
Di Quarter 1st kami unggul 4 point. 4 point bukan selisih yang jauh, banyak kemungkinan
untuk lawan bisa menyusul ketertinggalannya. Pergantian Quarter sudah cukup, saatnya kami
mulai berjuang kembali.

Permainan semakin memanas dengan skor yang saling susul menyusul. Hanya tinggal 5
menit lagi permainan berakhir. Selisih kami hanya 2 point dengan timku yang lebih unggul
artinya jika lawan memasukan bola dari jarak dekat mereka bisa menyamakan kedudukan dan
bisa menyusul point kami.

Point terakhir kami berikan. Tim kami memenangkan pertandingan final sebagai juara
pertama DBL tahun ini. Aku bersujud tanda syukurku kepada Allah Swt. Tanpa sadar aku
meneteskan air mata haru. Dari ratusan penonton, aku mencari ibu. Aku berharap ibu melihat
kemenanganku saat ini. Aku ingin memperlihatkan mendali emasku kepada ibu.

“Dinda, kamu mencari siapa?” tanya temanku seraya menepuk puncak pundak kananku.
“Aku mencari ibu, aku harap dia menonton pertandinganku,” Jawabku.
Ya Tuhan, aku tak bisa melihat ibu dari ratusan penonton yang terus bersorak ini.

*TRANGGGGGG*
Suara dari gor sebelah yang sedang dibangun membuat seisi ruangan ini mendadak hening.
Kami semua keluar dari dalam gor untuk melihat keadaan di luar.
Astaga, tiang bangunan gor yang sedang dibangun itu runtuh menimpa beberapa mobil
hingga mobil-mobil itu rusak parah.
“Tolongggg! Ada orang dalam mobil!” Teriak salah satu pekerja bangunan itu.

Saat kuselidiki, mobil itu seperti mobil ibu. Aku segera b.erlari mendekati mobil yang sudah
rusak parah tertimpa tiang besi.
Tubuhku mendadak lemas melihat ibu yang sudah tidak berdaya, berlumuran darah di kepala
dan badan. Tiket masuk terlihat tergeletak di kursi jok sebelah.

Aku memeluk ibu keras-keras, tak peduli mendali emas ini tersentuh darah. Tangisanku tak
dapat terkendali. Aku tak dapat mendengar suara orang-orang di sekitarku. Aku hanya
mendengar tangisanku yang makin menjadi-jadi.

Tama

Anda mungkin juga menyukai