Anda di halaman 1dari 7

Perpajakan berdimensi moral dan etika berdasarkan nilai-nilai Kewarganegaraan

Pajak merupakan sumber pendapatan terbesar yang dikelola pemerintah untuk menjalankan roda

pembangunan di Negara Indonesia. Kemajuan dan keberhasilan suatu bangsa pada dasarnya

ditentukan oleh kualitas pemerintahan yang bersih. Pelaksanaan perpajakan yang baik

mensyaratkan pemerintahan yang bersih. Pemerintahan yang bersih merupakan syarat

fundamental bagi penyusunan dan penyelenggaraan pajak yang baik. Salah satu cara mewujudkan

pemerintahan yang bersih adalah dengan menerapkan prinsip good governance (tata kelola

pemerintahan yang baik). Penerapan good governance di berbagai aspek termasuk di dalamnya

perpajakan diyakini mampu mengantisipasi kekhawatiran publik atas ketidakberesan pemerintah

dalam pengelolaan dan pengorganisasian pajak. Good governance menjamin bahwa

penyelenggaraan perpajakan negara steril dari berbagai bentuk penyalahgunaan dan

penyelewengan aparatur perpajakan maupun wajib pajak. Permasalahan pajak yang tengah

membelenggu praktik perpajakan di tanah air tidak dapat dilepaskan dari persoalan moral yang

mendera bangsa ini. Berbagai kasus perpajakan yang belakangan tampil ke permukaan

memperlihatkan bagaimana rupa perpajakan Indonesia yang tidak didukung dengan dimensi

moralitas yang baik. Perbuatan manipulasi dan rekayasa pajak menjadi bagian yang tak dapat
dipisahkan dari penyelenggaraan perpajakan yang melibatkan entitas pemerintah selaku aparatur

pajak dan rakyat sebagai wajib pajak. Dibutuhkan kesadaran yang tinggi dengan berdasarkan niat

untuk membangun negeri dalam pengelolaan pajak. Penyertaan nilai-nilai kewarganegaraan yang

di interpretasikan melalui nilai-nilai Pancasila mutlak diperlukan karena Pancasila merupakan

dasar filsafat bangsa. Sehingga seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,

termasuk di dalamnya perpajakan harus bersandar pada falsafah dasar negara Pancasila.

Pembahasan
Dimensi moral dalam perpajakan mengantarkan diskusi perpajakan pada ranah disiplin ilmu
etika. Etika perpajakan berupaya menjelaskan dan mendalami persoalan moral perpajakan
hingga batas jangkauan nalar. Secara garis besar, etika perpajakan membuka peluang bagi
kemungkinan reflektif penelusuran dimensi moral dalam perpajakan. Sedangkan di wilayah
praksis, etika perpajakan menggambarkan tindakan dan perilaku manusia dalam praktik
perpajakan. Etika perpajakan dalam hal ini merupakan dasar bagi praktik penyelenggaraan pajak
yang luhur melalui keterlibatan aktif peran serta rakyat dan pemerintah.
Berbagai persoalan perpajakan yang terjadi belakangan menunjukkan bahwa problem perpajakan
menyangkut praksis penatalaksanaan pajak yang melibatkan aparatur pajak dan wajib pajak.
Problem ini terkait erat dengan etika kelembagaan yang mengatur bagaimana relasi pemerintah
selaku aparatur pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak. Persoalan yang melibatkan aparatur
pajak mengindikasikan lemahnya tanggung jawab pemerintah selaku pengelola perpajakan.
Keadaan ini semakin memperjelas urgensi etika kelembagaan yang mengatur perilaku etis
lembaga dalam menjalankan tanggung jawabnya.
Etika institusional perpajakan menyangkut domain pemerintah pada tataran kelembagaan, dalam
hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Etika institusional merupakan modalitas bangunan etika
perpajakan dikarenakan perpajakan terkait erat dengan institusi pemerintah yang diwakili DJP.
Kongkretisasi etika institusional dalam perspektif kelembagaan diwujudkan melalui keberadaan
kode etik yang mengatur perilaku dan tindakan aparatur pajak. Kode etik diperlukan untuk
mengantisipasi perilaku aparatur yang menyalahi atau bertindak di luar kewenangannya. Kode
etik secara eksplisit juga menyatakan perbuatanperbuatan etis yang relevan dengan
penatalaksanaan perpajakan. Direktorat.
Jenderal Pajak dalam hal ini telah menyusun kode etik yang mengikat perilaku aparatur pajak.
Termasuk pula kode etik yang mengatur profesi konsultan pajak. Kode etik yang mengatur
perilaku aparatur pajak maupun konsultan pajak membatasi ruang gerak kewenangan mereka
pada wilayahwilayah yang menjamin penatalaksanaan perpajakan sesuai prosedur dan ketentuan
yang berlaku.
Pancasila sebagai filsafat negara mengandaikan refleksi Pancasila secara falsafati. Filsafat
Pancasila merupakan pemikiran-pemikiran Pancasila yang bersifat kritis, mendasar, rasional,
sistematis dan komprehensif (Kaelan, 2002: 132). Pancasila dalam konteks sistem filsafat
dimaknai sebagai sebuah sistem organis yang saling terhubung secara formal logis maupun
ontologis, epistemologis dan aksiologis. Silasila yang tertuang dalam Pancasila merupakan satu
kesatuan yang memberi dasar fundamental bagi kehidupan seluruh masyarakat Indonesia di
berbagai bidang kehidupan.

Etika Pancasila berangkat dari refleksi kritis atas nilai-nilai fundamental Pancasila. Lebih jauh
Yudi Latif (2011: 42) menegaskan Pancasila sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-
kenegaraan. Etika Pancasila mendasarkan dirinya pada keberadaan nilainilai Pancasila. Nilai-
nilai yang tertuang dalam Pancasila menjadi inspirasi sekaligus pegangan hidup dalam
mewujudkan harapan dan cita-cita bangsa. Secara garis besar, nilainilai dasar Pancasila
berlandaskan pada adanya Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil (Notonagoro, 1995: 46).

Nilai universal yang terkandung dalam sila pertama Pancasila memposisikan perpajakan dalam
bingkai etis keyakinan atau kepercayaan masyarakat. Agama mengajarkan keutamaan hidup dan
mengantarkan penganutnya pada kualitas hidup (Sudaryanto, 2007: 22). Dalam konteks sila
pertama, perpajakan dipahami sebagai kewajiban yang bersifat keilahian. Pensifatan ini
dilekatkan karena kepentingan perpajakan menyangkut hajat hidup orang banyak. Perpajakan
diperlukan dalam rangka pembiayaan pembangunan. Pembangunan ditujukan bagi kepentingan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Korelasi positif perpajakan dengan kesejahteraan rakyat
memperjelaskan kedudukan pajak bagi kemaslahatan hidup masyarakat. Keikutsertaan rakyat
membangun negeri sejalan dengan ajaran agama manapun sehingga pajak dalam hal ini memiliki
muatan relijiusitas agama-agama. Pemenuhan kewajiban pajak di sisi lain menunjukkan
kepatuhan atau ketaatan terhadap pemimpin. Ketaatan kepada pemimpin merupakan bagian dari
ketaatan kepada Tuhan. Kewajiban perpajakan harus dipenuhi karena terkait tanggung jawab
rakyat terhadap pemimpin, negara dan Tuhan. Hal yang sama juga berlaku pada pemimpin.
Pemimpin bertanggung jawab atas kepercayaan yang diberikan rakyat. Pengelolaan pajak harus
dipertanggungjawabkan oleh pemerintah kepada rakyat. Tanggung jawab ini tentu tidak semata-
mata ditujukan kepada rakyat. Pemerintah bertanggung jawab kepada Tuhan atas tugas dan
kepercayaan yang diembannya. Tanggung jawab pemerintah dan rakyat dalam hal ini bisa
dimaknai sebagai tanggung jawab teologis. Pemenuhan tanggung jawab baik oleh pemerintah
maupun rakyat merupakan salah satu bentuk pemenuhan tanggung jawab kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Perpajakan dalam perspektif sila kedua Pancasila menekankan aspek perpajakan pada
dimensi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Perpajakan merepresentasikan moralitas
manusia beradab. Manusia yang beradab menyadari keterlibatan dirinya bagi kebermanfaatan
orang banyak. Perpajakan bernilai etis karena potensi pajak ditujukan bagi hajat hidup kolektif.
Oleh karenanya, pemenuhan pajak menjadi kewajiban integral manusia bermoral karena
menyangkut kepentingan manusia itu sendiri maupun kepentingan orang banyak. Manusia yang
adil dalam perpajakan menyangkut integritas dan kejujuran rakyat dalam membayar pajak sesuai
proporsi yang tepat. Setiap wajib pajak harus bersikap adil dalam menyisihkan pendapatannya
bagi kepentingan pajak. Pajak dalam hal ini harus dikeluarkan sesuai dengan kemampuan wajib
pajak sesungguhnya dan bukan sebaliknya.

Sila ke 2
Bagi pemerintah, moralitas manusia
53
Jurnal Madani Edisi I/ Mei 2012
beradab tidak bisa dipisahkan dari moralitas aparatur perpajakan. Aparatur pajak yang adil dan
beradab menyadari tanggung jawabnya sebagai aparat perpajakan. Aparatur pajak beradab akan
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai kode etik yang berlaku. Demikian pula dengan
pemerintah. Pemerintah yang beradab menyadari bahwa potensi pajak yang sedemikian besar
ditujukan bagi kepentingan rakyat. Sehingga dalam pengelolaan pajak, pemerintah dituntut untuk
mampu bersikap adil dan bertanggung jawab dalam mengelola perpajakan.

Sila Ke 3
Perpajakan yang dibebankan kepada seluruh warga negara ditujukan bagi pemenuhan
kepentingan dan kebutuhan rakyat. Dalam konteks inilah nilai persatuan dan kesatuan dihadirkan
melalui perpajakan. persatuan Indonesia mengandung di dalamnya cita-cita persahabatan dan
persaudaraan yang dipupuk oleh keinsyafan atas persamaan nasib dan tujuan (Hatta, 1977: 33).
Pembangunan yang dibiayai oleh pajak pada hakikatnya diperuntukkan bagi kepentingan seluruh
rakyat Indonesia. Situasi yang setara, senasib dan sepenanggungan semakin memperkuat
kohesivitas sosial di masyarakat karena apa yang mereka keluarkan sebagai bentuk kewajiban
perpajakan berpulang kembali dalam wujud pemerataan pembangunan.

Sila Ke 4
Nilai kerakyatan dalam perpajakan dimanifestasikan melalui keikutsertaan rakyat dalam
mendukung kebijakan pemerintah yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Perpajakan adalah
wujud partisipasi dan kontribusi riil rakyat kepada negara. Upaya nyata keterlibatan rakyat dalam
pembangunan nampak melalui kerelaan rakyat membayar pajak. Oleh karenanya perpajakan
dapat dianggap sebagai kerja gotong royong dalam membangun bangsa dan negara. Di sisi lain,
nilai universal sila keempat Pancasila turut pula mendorong pemerintah untuk bertanggung
jawab atas pengoptimalan potensi rakyat bagi kepentingan bangsa dan negara. Pemerintah
sebagai representasi demokrasi harus memahami bahwa tugas dan tanggung jawab pemerintah
adalah mengabdi dan melayani kepentingan masyarakat.

Sila ke 5
Sila kelima Pancasila yang memuat nilai keadilan sosial menghendaki perpajakan berorientasi
pada upaya mewujudkan keadilan sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara. Keadilan sosial yang dimaksudkan dalam konteks perpajakan adalah pembebanan pajak
yang tidak membeda-bedakan atau mendiskriminasi warga negara. Setiap warga negara berhak
diperlakukan sama kaitannya dengan kewajiban perpajakan. Pengecualiaan pajak hanya
ditujukan bagi mereka yang memang tidak memenuhi kualifikasi pembebanan pajak. Tidak ada
diskriminasi, dispensasi atau perlakuan khusus bagi mereka yang terkena kewajiban pajak.
Semua mendapat perlakuan secara adil. Nilai keadilan sosial juga memberi dasar bagi
pemerintah dalam mengusahakan pemerataan pembangunan.

Orientasi etika perpajakan yang didasarkan pada etika Pancasila memperlihatkan bagaimana
perpajakan seharusnya diwujudkan. Nilai-nilai yang melandasi perpajakan harus berpijak pada
nilai universal Pancasila. Permasalahan perpajakan yang melingkupi praktik perpajakan bisa
dihindari manakala seluruh komponen yang terlibat di dalamnya memahami bahwa perpajakan
mempunyai fundamental nilai yang mengantarkan manusia pada kualitas penghidupan berbangsa
dan bernegara paripurna. Penghayatan terhadap nilai-nilai perpajakan yang disandarkan kepada
nilai Pancasila akan membuka mata seluruh komponen bangsa ini bahwa perpajakan bukan
sekedar kewajiban belaka yang ditegakkan tanpa makna. Perpajakan adalah kewajiban yang sarat
nilai dan makna bagi kehidupan manusia.

Perpajakan memiliki pengaruh yang signifikan bagi masa depan negara. Eksistensi negara
bergantung sepenuhnya dari keberhasilan pemerintah dalam mengusahakan optimalisasi
perpajakan. Berbagai permasalahan yang melingkupi perpajakan di tanah air berimbas pada
ketidakoptimalan perputaran roda perekonomian rakyat. Pembangunan terhambat, kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat pun ikut berdampak. Permasalahan perpajakan umumnya disebabkan
oleh kurangnya integritas dan komitmen moral pemerintah dan rakyat selaku wajib pajak.
Persoalan moral yang melingkari perpajakan harus dipecahkan melalui pendekatan etika
perpajakan. Penguatan moral dalam pajak diperlukan dalam kerangka membangun sistem
perpajakan berdimensi moral. Etika perpajakan diharapkan mampu menjawab berbagai
permasalahan pajak dan menjamin penatalaksanaan pajak sesuai dengan nilai-nilai moral yang
mendasari praktik perpajakan. Keberadaan etika perpajakan tidak bisa dilepaskan dari etika
Pancasila yang menjadi dasar bagi seluruh kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Etika
perpajakan dalam hal ini mendasarkan diri pada etika Pancasila yang bersumber dari nilai-nilai
Pancasila. Pendasaran etika perpajakan berbasis etika Pancasila diharapkan akan semakin
memperkuat keberadaan etika perpajakan yang mengatur dan mengarahkan setiap praktik
perpajakan di tanah air agar berjalan sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa.

Daftar Pustaka

De Vos, H. 2002. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Hatta, Mohammad. 1977. Pengertian Pancasila. Jakarta: Idayu Press.

Joesoef, Daoed. 1987. Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan. Dalam Soeroso H.P.,et.al. (ed).
Pancasila Sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu. Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat.

Kaelan. 2002. Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Notonagoro. 1995. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Bumi Aksara.

Soemarso. 2007. Perpajakan Pendekatan Komprehensif. Jakarta: Salemba Empat.

Sudaryanto. 2007. Etika Pancasila Sebuah Refleksi Awal. Yogyakarta: Fakultas Filsafat – UGM.

Sunoto. 1982. Mengenal Filsafat Pancasila: Etika Pancasila. Yogyakarta: Bagian Penerbitan
Fakultas Ekonomi – UII.

Zain, Mohammad. 2008. Manajemen Perpajakan. Ed. 3. Cet. 2. Jakarta: Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai