Anda di halaman 1dari 17

BAB I

Pendahuluan

Latar Belakang

Thrombocytopenia yang terjadi mencapai 10% dari total wanita hamil dan dapat
menyebabkan berbagai kondisi obstetrik. Walaupun beberapa diantaranya tidak berhubungan
dengan akibat langsung dengan kehamilan atau kelahiran, yang lainnya dapat berhubungan
langsung dengan morbiditas dan mortalitas maternal maupun janin (1).

Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) terjadi diperkirakan dari 1: 10.000 sampai


1: 1.000 wanita hamil, dihitung dari sekitar 3% wanita hamil yang mengalami
thrombocytopenia. Lini pertama terapi dari IVIg dan kortikosteroid sama pada pasien hamil
maupun tidak. Walaupun tatalaksana pada pasien hamil dengan menggunakan kortikosteroid
dan IV Ig sukar dilakukan dan pilihan terapi sangat terbatas karena adanya potensi toksik
terhadap janin, tingkat respon yang rendah dan perlunya untuk melakukan prolonged
theraphy sebelum adanya respon (2).

Tatalaksana Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) pada kehamilan merupakan


pekerjaan yang kompleks dan menantang dan dapat menyebabkan komplikasi berupa
trombocytopenia pada janin ataupun bayi yang telah dilahirkan. Walaupun perdarahan
intrakranial pada janin merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada ibu hamil dengan
Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP), terdapat penelitian invasif yang dirancang untuk
memastikan jumlah trombosit janin sebelum dilahirkan dihubungkan dengan besarnya resiko
terjadinya perdarahan intrakranial pada janin. Selebihnya, resiko komplikasi perdarahan pada
bayi, tidak berhubungan dengan cara persalinan dan sectio caesarea hanya dilakukan atas
indikasi obstetric (3).
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP); yang juga bisa disebut Idiopathic


Thrombocytopenic Purpura) adalah kelainan dapatan yang berakibat terhadap terjadinya
immune mediated destruction of platelets dan kemungkinan terjadinya platelet release dari
megakaryocyte. Pada anak selalu menjadi akut, sebagian besar terjadi setelah adanya infeksi
dan bersifat terbatas. Pada dewasa biasanya terjadi pada bentuk kronik. Penyebab pasti
terjadinya disfungsi imunitas ini secara umum belum diketahui. Immune Thrombocytopenic
Purpura (ITP) dikatakan sekunder apabila berhubungan dengan kelainan lain; kelainan
autoimun; terutama Systemic Lupus Erythematosis (SLE) dan infeksi, seperti HIV dan
hepatitis C, yang merupakan penyebab tersering. Dan hubungan antara Immune
Thrombocytopenic Purpura (ITP) dengan infeksi Helicobacter pylori masih belum jelas (4).

Adanya thrombocytopenia pada Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) ini akan


mengakibatkan gangguan pada sistem hemostasis karena platelet ini bersama dengan sistem
vaskular faktor koagulasi darah terlibat secara bersamaan dalam mempertahankan hemostasis
normal. Manifestasi klinis Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) sangat bervariasi mulai
dari manifestasi perdarahan ringan, sedang sampai dapat mengakibatkan kejadian-kejadian
yang fatal. Kadang juga asimptomatik. Oleh karena merupakan penyakit autoimun maka
kortikosteroid merupakan pilihan konvensional dalam pengobatan Immune
Thrombocytopenic Purpura (ITP). Pengobatan akan sangat ditentukan oleh keberhasilan
mengatasi penyakit yang mendasari Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) sehingga
tidak mengakibatkan keterlambatan penanganan akibat perdarahan fatal, ataupun
penanganan-penanganan pasien yang gagal atau relaps (5).

Thrombocytopenia dapat menjadi komplikasi sampai 10% dari semua kehamilan, dan
dapat dihasilkan oleh sejumlah penyebab. Beberapa diantaranya khas pada kehamilan, dan
beberapa diantaranya dapat meningkat frekuensinya selama kehamilan. Beberapa kelainan
thrombocytopenia tidak berhubungan dengan kehamilan, dan yang lainnya mempunyai
hubungan dengan terjadinya morbiditas dan mortalitas ibu atau anak yang signifikan (3).
Tabel 1. Penyebab Thrombocytopenia yang berhubungan dengan Kehamilan (3).

Epidemiologi

Diperkirakan insidensi Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) terjadi pada 100


kasus per 1 juta penduduk per tahun, dan kira-kira setengahnya terjadi pada anak-anak.
Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) terjadi apabila trombosit mengalami destruksi
secara prematur sebagai hasil dari deposisi autoantibodi atau kompleks imun dalam
membran sistem retikuloendothelial limpa dan umumnya di hati (5).

Insiden Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) pada anak antara 4,0-5,3 per
100.000, Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) akut umumnya terjadi pada anak-anak
usia antara 2-6 tahun. 7-28% anak-anak dengan Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP)
akut berkembang menjadi kronik 15-20%. Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) pada
anak yang berkembang menjadi bentuk Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) kronik
pada beberapa kasus menyerupai Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) dewasa yang
khas insidensi Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) kronis pada anak diperkurakan 0,46
per 100.000 anak per tahun (5).

Insidensi Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) kronis dewasa adalah 58-66


kasus baru per satu juta populasi per tahun (5,8-6,6 per 100.000) di Amerika dan serupa yang
ditemukan di Inggris. Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) kronik pada umumnya
terdapat pada orang dewasa dengan median rata-rata usia 40-45 tahun. Rasio antara
perempuan dan laki-laki adalah 1:1 pada pasien Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP)
akut sedangkan pada Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) kronik adalah 2-3:1 (5).

Pasien Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) refrakter didefinisikan sebagai


suatu Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) yang gagal diterapi dengan kortikosteroid
dosis standar dan splenektomi yang selanjutnya mendapat terapi karena angka trombosit di
bawah normal atau ada perdarahan. Pasien Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP)
refrakter ditemukan kira-kira 25-30% dari jumlah pasien Immune Thrombocytopenic Purpura
(ITP). Kelompok ini mempunyai respon yang jelek terhada pemberian terapi dengan
morbiditas yang cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16% (5).

Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) terjadi pada 1-2 tiap 1000 kehamilan dan
terjadi 5% kasus kehamilan yang berhubungan dengan thrombocytopenia. Walaupun jarang
terjadi dibandingkan thrombocytopenia gestasional, Immune Thrombocytopenic Purpura
(ITP) merupakan penyebab umum terjadinya isolated thrombocytopenia pada trimester
pertama dan kedua (3).

Patofisiologi

Sindrom Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) disebabkan oleh autoantibodi


trombosit spesifik yang berkaitan dengan trombosit autolog kemudian dengan cepat
dibersikan dari sirkulasi oleh sistem fagosit mononuklir melalui reseptor Fc makrofag. Pada
tahun 1982 Van Leeuwen pertama mengidentifikasi membran trombosit glikoprotein IIb/IIIa
(CD41) sebagai antigen yang dominan dengan mendemonstrasikan bahwa elusi autoantibodi
dari trombosit pasien Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) berkaitan dengan trombosit
normal (5).

Diperkirakan bahwa Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) diperantarai oleh


suatu autoantibodi, mengingat kejadian transient trombocytopenia pada bayi yang lahir dari
ibu yang menderita Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP), dan perkiraan ini didukung
oleh kejadian transient trombocytopenia pada orang sehat yang meneriam transfusi plasma
kaya IgG, dari seorang pasien Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP). Trombosit yang
diselimuti oleh autoantibodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati
setelah diberikan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada
sebagian besar pasien, akan terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi
trombosit. Pada sebagian kecil yanglain, produksi trombosit tetap terganggu, sebagian akibat
destruksi trombosit yang diselimuti autoantibodi oleh makrofag di dalam sumsum tulang
(intramedullary), atau karena hambatan pembentukan megakaryosit (megakaryocytopoiesis),
kadar thrombopoetin tidak meningkat, menunjukkan adanya masa megakariosit normal (5).

Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi Immune
Thrombocytopenic Purpura (ITP) untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetik
kekurangan kompleks glikoprotein IIb/IIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang
bereaksi dengan glikoprotein Ib/IX, Ia/IIa, IV dan V dan determinan trombosit yang lain.
Juga dijumpai antibodi yang berekasi terhadap berbagai antigen yang berbeda. Destruksi
trombosit dalam sel penyaji antigen yang diperkirakan dipicu oleh antibodi, akan
menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen, yang berakibat produksi antibodi yang cukup
untuk menimbulkan thrombocytopenia (gambar 1) (5).

Gambar 1. Patogenesis penyebaran epitop pada Purpura Trombositopenia Idiopatik (5).


Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks glikoprotein IIb/IIIa memperlihatkan
restriksi penggunaan rantai ringan, sedangkan antibodi yang berasal dari display phage
menunjukkan penggunaan gen VH. Pelacakan pada daerah yang berikatan dengan antigen dari
anibodi-antibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel B yang
mengalami seleksi afinitas yang diperantarai antigen dan melalui mutasi somatik. Pasien
Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) dewasa sering menunjukkan peningkatan jumlah
HLA-DR + T cells, peningkatan jumlah reseptor interleukin 2 dan peningkatan profil sitokin
yang menunjukkan aktivasi prekursor sel T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasien-pasien
ini, sel T akan merangsang sintesis antibodi setelah terpapar oleh fragmen glikoprotein
IIb/IIIa tetapi bukan terpapar oleh protein alami. Penurunan epitop kriptik ini secara invivo
dan alasan aktivasi sel T yang bertahan lama tidak diketahui dengan pasti (5).

Dari gambar 1 dapat memperjelas bahwa faktor yang memicu produksi autoantibodi
tidak diketahui. Kebanyakan pasien mempunyai antibodi terhadap glikoprotein pada
permukaan trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya
glikoprotein IIb/IIIa dikenali oleh autoantibodi, sedangkan antibodi yang mengenali
glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap ini. (1). Trombosit yang diselimuti
autoantibodi akan berikatan dengan sel penyaji antigen (makrofag atau sel dendritik) melalui
reseptor Fcg kemudian mengalami proses internalisasi dan degradasi. (2). Sel penyaji antigen
tidak hanya merusak glikoprotein IIb/IIIa, tetapi juga memproduksi epitop kriptik dari
glikoprotein trombosit yang lain. (3). Sel penyaji antigen yang teraktivasi (4)
mengekspresikan peptida baru padda permukaan sel dengan bantuan kostimulasi (yang
ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang berfungsi
memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T ccell clone (T-cell clone-1) dan spesifitas
tambahan (T-cell clone2) (5). Reseptor sel imunoglobulin sel B yang mengenali antigen
trombosit (B-cell clone 2) dengan demikian akan mengiduksi proliferasi dan sintesis
antiglikoprotein 1 b/IX antibodi dan juga meningkatkan produksi anti-glikoprotein IIb/IIIa
antibodi oleh B-cell clone 1 (5).

Metode yang saat ini digunakan untuk penatalaksanaan Immune Thrombocytopenic


Purpura (ITP) diarahkan secara langsung pada berbagai aspek yang berbeda dari lingkarang
produksi antibodi dan sensitisasi, klirens dan produksi trombosit (5).
Gambar 2. Pendekatan Terapi Purpura Trombositopenia Idiopatik berdasarkan Mekanisme
Kerja dari Splenektomi, Beberapa Obat dan Plasmafaresis (5).

Dari gambar 2. Dijelaskan bahwa pada umumnya obat yang digunakan sebagai terapi
awal Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) menghambat terjadinya klirens antibodi yang
menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor Fcg pada makrofag jaringan(1). Splenektomi
sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme ini namun mungkin pula mengganggu interaksi
sel T dan sel B yang terlibat dalam sintesis antibodi pada beberapa pasien. Kortikosteroid
dapat pula meningkatkan produksi trombosit dengan cara menghalangi kemampuan makrofag
dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit, sedangkan trombopoeitin berperan
merangsang progenitor megakariosit (2). Beberapa imunosupresan non spesifik seperti
azathioprin dan siklosporin, bekerja pada tingkat sel-T. (3). Antibodi monoklonal terhadap
CD 154 yang saat ini menjadi target uji klinik, merupakan kostimulasi molekul yang
diperlukan untuk mengoptimalkan sel-T makrofag dan interaksi sel-T dan sel-b yang terlibat
dalam produksi antibodi dan pertukaran klas (4). Immunoglobulin iv mengandung
antiidiotypic antibody yang dapat menghambar produksi antibodi. Antibodi monoklonal yang
mengenali ekspresi CD 20 pada sel-sel B juga masih dalam penelitian (5). Plasmaferesis
dapat mengeluarkan antibodi sementara dari plasma (6). Transfusi trombosit diperlukan pada
kondisi darurat untuk terapi perdarahan. Efek dari stafilokokkus protein A pada susunan
antibodi masih dalam penelitian (5).

Gejala Klinis

Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) ditandai dengan adanya perdarahan


mucocutaneus (6) dan jumlah platelet yang rendah bahkan sangat rendah dengan kemungkinan
sel darah perifer pada pengecatan normal. Pada pasien juga dapat terjadi ecchymoses dan
petechiae atau dengan thrombocytopenia yang secara tidak sengaja ditemukan pada CBC.
Perdarahan mucocutaneus seperti pada mukosa oral, gastrointestinal atau pada perdarahan
menstruasi yang berlebihan dapat terjadi. Jarang sekali terjadi, perdarahan yang dapat
mengancam nyawa termasuk perdarahan pada sistem saraf pusat. Wet purpura (blister yang
berisi darah pada mulut) dan perdahan retina dapat menjadi suatu peringatan adanya
perdarahan yang mengancam nyawa (4).

Sebagian besar wanita dengan ITP mempunyai riwayat mudah memar, petechiae,
mimisan dan perdarahan gusi yang terjadi sebelum kehamilan (1).

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium antibodi biasanya tidak terlalu berguna karena sensitivitas


dan spesifisitasnya yang rendah. Pemeriksaan sumsum tulang dapat dilakukan pada pasien
usia lanjut (biasanya lebih dari 60 tahun) atau siapapun yang mempunyai tanda atau hasil
laboratorium yang abnormal, atau pada pasien yang tidak berespon terhadap terapi awal.
Pengecatan darah tepi dapat menunjukkan adanya platelet yang berukuran besar dengan
morfologi yang normal. Tergantung pada riwayat perdarahan, anemia defisiensi besi dapat
juga terjadi (4).

Dilakukannya pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi penyebab sekunder dari


Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) dan sudah seharusnya termasuk pemeriksaan
terhadap terjadinya infeksi HIV dan hepatitis C (dan infeksi lainnya apabila terdapat
indikasi); pemeriksaan serologi untuk SLE; serum electrophoresis dan level immunoglobin
berguna untuk mendeteksi hypogammaglobulinemia, defisiensi IgA atau monoclonal
gammopathies, dan jika terjadi anemia, dapat dilakukan pemeriksaan direct antiglobulin
(Coombs test) untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya kombinasi autoimmune
hemolytic anemia dengan Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) (Evan’s Syndrome) (4).

Immune Thrombocytopenia dan Kehamilan

Belum ada penelitian yang menyebutkan bahwa kehamilan dapat meningkatkan


resiko terjadinya relaps pada wanita yang sebelumnya didiagnosa menderita immune
thrombocytopenia. Juga tidak memperburuk thrombocytopenia pada wanita dengan penyakit
yang aktif. Yang bisa dikatakan adalah thrombocytopenia dapat terjadi berulang pada wanita
selama masa kehamilannya walaupun sudah terjadi remisi klinis sebelumnya. Diduga pula
hyperestrogenemia dapat menjadi penyebab (7).

Terapi diperlukan jika jumlah platelet kurang dari 30.000-50.000/µL. Prednison


dengan dosis 1mg/kgBB/hari/oral dapat diberikan sebagai pelengkap dan seringkali terapi ini
dilanjutkan selama masa kehamilan. Terapi kortikosteroid seringkali menghasilkan
amelioration. Dengan steroid-refractory disease, immunoglobulin dosis tinggi diberikan
secara intravena dan dianjurkan sebagai terapi lini pertama pada trimester ketiga. Pada
penelitian Clark dan Gall pada tahun 1997, menyimpulkan adanya 16 laporan dan 21
kehamilan dimana Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) telah diterapi dengan
immunoglobulin. Kesemuanya mempunyai respon positif, dimana 4 diantaranya jumlah
platelet lebih dari 50.000/µL dan 11 diantaranya lebih dari 100.000/µL (7).

Pada wanita hamil yang tidak berespon terhadap terapi steroid atau immunoglobulin,
dilakukannya open atau laparoscopic splenectomy dapat efektif. Pada kehamilan trimester
akhir, pembedahan secara tekhnik lebih sukar dan kemungkinan sectio caesarea perlu untuk
dilakukan. IgG anti-D 50-75µg/kgBB secara intravena dianjurkan untuk terapi Immune
Thrombocytopenic Purpura (ITP) resisten pada pasien D-positif. Dimana biasanya
didapatkan peningkatan dalam 1-3 hari dan akan mencapai puncaknya pada hari ke 8.
Sieunarine et al pada tahun 2008 melaporkan terapi yang sama pada wanita hamil lainnya (7).
Efek pada Janin dan Bayi

Platelet-associated IgG antibody melewati plasenta dan mungkin dapat menyebabkan


thrombocytopenia pada janin maupun bayi. Kematian janin akibat perdarahan seringkali
terjadi. Thrombocytopenic yang berat pada janin akan meningkatkan resiko perdarahan
intrakranial pada saat proses persalinan dan kelahiran. Payne et al pada tahun 1997
menyimpulkan dari berbagai penelitian maternal Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP)
yang dipublikasikan sejak 1973 dan menambahkannya dengan 55 eksperimennya. Dari 601
bayi yang baru lahir, 12% diantaranya mengalami thrombocytopenia yang berat dengan
jumlah platelet kurang dari 50.000/µL (7).

Diperlukan perhatian khusus yang langsung mengidentifikasi janin yang sangat


potensial mengalami thrombocytopenia. Penelitian George et al pada tahun 1996 dan Payne
et al pada tahun 1997, tidak menemukan korelasi yang kuat antara jumlah platelet janin dan
ibu. Oleh karena itu telah dilakukan usaha untuk menilai hubungan antara maternal IgG free
platelet antibody levels, platelet-associated antibody levels dan jumlah platelet janin.
Penelitian Kaplan pada tahun 1990 dan Samuels tahun 1990 melaporkan adanya hasil yang
bertentangan pada penggunaan indirect platelet immunoglobulin untuk mengidentifikasi pada
janin dengan resiko tinggi (7).

Investigasi juga dilakukan untuk memeriksa hubungan antara penyebab spesific


thrombocytopenia pada maternal dan resiko thrombocytopenia pada janin. Empat penyebab
yang ditemukan yaitu gestasional thrombocytopenia, hypertension-associated
thrombocytopenia, Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) dan isoimmune
thrombocytopenia. Penelitian Burrow dan Kelton pada tahun 1993 melaporkan jumlah
platelet pada tali pusat bayi kurang dari 50.000/µL pada 19 dari 15.932 bayi (0,12%). Dari
semua kehamilan, hanya satu dari 756 ibu dengan gestational thrombocytopenia.

Tata Laksana Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) pada Kehamilan

Tatalaksana klinik Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) pada kehamilan


merupakan pekerjaan yang kompleks, memerlukan kolaborasi yang baik antara obstetrician
dan hematologist. Ibu hamil yang menderita Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP)
memerlukan monitoring yang seksama dan harus dipantau setiap bulannya pada trimester
pertama dan kedua, setiap 2minggu setelah kehamilan berusia 28 minggu dan setiap minggu
setelah kehamilan usia 36 minggu. Pemeriksaan termasuk pemeriksaan obstetri rutin dan
yang paling penting pemeriksaan tekanan darah, berat badan, analisis protein dengan urine
dipstik dan serial platelet counts. Keputusan berdasarkan kebutuhan terapi yang dapat dilihat
dari gejala-gejala yang ditimbulkan oleh pasien, terutama jika terjadi perdarahan aktif,
walaupun jumlah trombosit yang pasti harus diketahui sebagai persiapan anastesi epidural.
Terapi yang lebih agresif direkomendasikan pada akhir kehamilan untuk menyiapkan proses
persalinan dimana sering diikuti dengan penggunaan anastesi epidural (3).

Lini pertama tatalaksana Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) baik pada pasien
hamil maupun tidak yaitu dengan menggunakan immunoglobulin intravena dan
kortikosteroid (8).

Terapi direkomendasikan untuk wanita dengan jumlah trombosit <10.000/µL pada


tiap waktu selama kehamilan atau <30.000/µL pada trimester kedua atau ketiga atau ketika
terjadi perdarahan. Hanya sedikit konsensus yang merekomendasikan pemberian terapi pada
pasien dengan jumlah trombosit <30.000/µL tetapi tidak terjadi perdarahan pada trimester
pertama, untuk menghindari pemberian kortikosteroid selama kehamilan. Walaupun terapi
Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) baik pada wanita hamil maupun tidak hamil tidak
berbeda secara signifikan (3).

Karena efikasi dan “low cost”, beberapa penelitian menyarankan pemakaian


kortikosteroid sebagai terapi lini pertama Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) pada
kehamilan. Mekanisme aksi kortikosteroid yaitu berfungsi untuk menginhibisi terjadinya
fagositosis pada trombosit yang telah teropsonisasi, sehingga terjadi penurunan terhadap
produksi autoantibodi (3).

Penggunaan kortikosteroid dan immunoglobulin intravena direkomendasikan sebagai


lini pertama tatalaksana pada kehamilan dengan laparoscopic splenectomy jika diperlukan
pada trimester kedua sebagai lini kedua terapi (9).

Terapi Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) lebih ditujukan untuk menjaga


jumlah trombosit dalam kisaran aman sehingga mencegah terjadinya perdarahan mayor.
Terapi umum meliputi menghindari aktivitas fisik berlebihan untuk mencegah trauma
terutama trauma kepala, menghindari pemakaian obat-obatan yang mempengaruhi fungsi
trombosit. Terapi khusus yakni terapi farmakologis (5).
Terapi Awal Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) (standar)

Prednison

Terapi awal Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) dengan prodnisolon atau


prednison dosis 1,0-1,5mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respon terapi prednison terjadi
dalam 2 minggu dan pada umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik
kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan, kemudian tapering. Kriteria respon awal adalah
peningkatan AT<30.000/ml, AT >50.000/µL setelah terapi 10 hari. Respon menetap bila AT
menetap >50.000/ml setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simptomatik persisten dan
trombositopenia berat (AT<10.000/µL) setelah mendapat terapi prednison perlu
dipertimbangkan untuk splenektomi (5).

Immunoglobulin Intravena

Immunoglobulin intravena (IgIV) dosis 1g/kg/hari selama 2-3 hari berturut-turut


digunakan bila terjadi perdarahan internal, saat AT<5.000/ml meskipun telah mendapat terapi
kortikosteroid dalam beberapa hari atau adanya purpura yang progresif. Hampir 80% pasien
berespon baik dengan cepat meningkatkan AT namun perlu pertimbangan biaya. Gagal ginjal
dan insufisiensi paru dapat terjadi serta syok anafilaktik pada pasien yang mempunyai
(5)
defisiensi IgA kongenital . Efek pemberian immunoglobulin intravena kemudian
diobservasi antara 6 sampai 72 jam setelah pemberian (10).

Terapi dosis tinggi immunoglobulin intravena (2mg/kgBB selama 5 hari) secara


efektif meningkatkan jumlah trombosit. Walaupun efek terapeutik dari immunoglobulin
intravena dapat menyebabkan beberapa mekanisme seperti sedikitnya tersedia FcRɣ IIb,
sebuah inhibitor reseptor FcRɣ yang telah didapatkan pada hewan percobaan. Dibanding
dengan kortikosteroid, IgIV kurang menginduksi terjadinya toksisitas seperti hipertensi.
Beberapa guideline menyarankan untuk menggunakan IgIV sebagai lini pertama untuk
thrombocytopenia yang berat atau perdarahan akibat thrombocytopenia pada trimester ketiga.
Walaupun respon terhadap IgIV cenderung bersifat sementara dan berbagai jenis terapi
lainnya dapat diperlukan. Jika respon pasien gagal terhadap pengobatan kortikosteroid saja
atau IgIV saja, maka dapat diberikan kombinasi dengan dosis tinggi (methylprednisolone
1mg/kgBB, IgIV 1-2mg/kgBB) (3).

Mekanisme kerja IgIV pada Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) masih belum
banyak diketahui, namun meliputi blokade fc reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV
yang menghambat ikatan autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi
(5)
.

Splenektomi

Splenektomi untuk terapi Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) telah digunakan


sejak tahun 1916 dan digunakan sebagai pilihan terapi setelah steroid sejak tahun 1950an.
Splenektomi pada Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) dewasa dipertimbangkan
sebagai terapi lini kedua yang gagal berespon dengan terapi kortikosteroid atau yang perlu
terapi trombosit terus menerus. Efek splenektomi pada kasus yang berhasil adalah
menghilangkan tempat-tempat antibodi yang tertempel trombosit yang bersifat merusak dan
menghilangkkan produksi antibodi anti trombin. Indikasi splenektomi sebagai berikut: a).
Bila AT <50.000/µl setelah 4 minggu (satu studi menyatakan bahwa semua pasien yang
mengalami remisi komplit mempunyai AT>50.000/µL dalam 4 minggu); b). Angka trombosit
tidak menjadi normal setelah 6-8 minggu (karena problem efek samping); c). Angka
trombosit normal tetapi menurun bila dosis diturunkan (tapering off). Respon pasca
splenektomi didefinisikan sebagai: Tak ada respons bila gagal mempertahankan
AT≥50.000/µL beberapa waktu setelah splenektomi, Relaps bila AT turun <50.000/µL.
Angka 50.000 dipilih karena di atas batas ini, pasien tidak diberi terapi. Respon splenektomi
bervariasi antara 50% sampai dengan 80% (5).

Splenectomy dapat dipertimbangkan sebagai pilihan lain untuk pasien yang telah
gagal memberikan respon terhadap pemberian kortikosteroid atau IgIV yang adekuat. Remisi
Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) pada awalnya dicapai 75% dari wanita hamil yang
menjalani splenectomy. Jika diperlukan, splenectomy dapat dilakukan pada trimester kedua,
pembedahan yang dilakukan terlalu dini pada kehamilan dapat menginduksi terjadinya
persalinan prematur dan splenectomy yang dilakukan pada akhir kehamilan akan
menyebabkan kesulitan secara tekhnik karena lapangan operasi yang sempit karena terhalang
oleh uterus gravid. Laparascopic splenectomy dapat secara aman dilakukan pada wanita
hamil (3).
Tabel 2. Tatalaksana Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) pada Kehamilan- ASH and
BCSH Guidelines (3).

Pada pasien dengan Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) refrakter yang berat
terhadap kortikosteroid dan IgIV, dan telah melewati trimester kedua yang merupakan
trimester yang baik dilakukannya splenectomy, intravenous anti-D telah berhasil digunakan.
Pada satu laporan, 6 dari 8 wanita telah menerima anti-D pada trimester kedua dan ketiganya
telah menunjukkan respon yang baik, tanpa disertai dengan komplikasi maternal ataupun
pada janin. Walaupun, penelitian dengan menggunakan terapi ini pada kehamilan sangat
terbatas pada kehamilan, namun keamanannya masih belum dapat dijelaskan (3).

Terapi lain yang digunakan dalam tatalaksana Immune Thrombocytopenic Purpura


(ITP) yaitu cytotoxic dan immunosuppressive agents, yang mempunyai potensi teratogen.
Sehingga, untuk alasan ini, danazol, cyclophosphamide dan vinca alkaloids dihindari
pemakaiannya pada kehamilan. Terkecuali azathioprine yang telah digunakan secara aman
pada pasien hamil dengan transplantasi ginjal. Walaupun, telah dilaporkan terjadinya
kerusakan hematologi dan sistem imun pada bayi yang terpapar oleh pemakaian azathioprine.
Rituximab telah digunakan pada beberapa wanita hamil dengan lymphoma. Tidak terdapat
malformasi janin yang dihubungkan dengan pemakaian obat tersebut, walaupun bayi yang
lahir dari ibu yang diterapi agen tersebut mengalami perkembangan abnormal limfost B pada
tahun pertama kehidupannya. Pada beberapa laporan kasus, penyembuhan immunologi ini
telah diobservasi pada usia 6 bulan tanpa adanya infeksi yang berhubungan dengan
komplikasi yang telah terjadi. Tetapi, dengan kurangnya bukti keamanan pemakainannya,
Rituximab lebih baik dihindari pemakaiannya pada terapi pasien Immune Thrombocytopenic
Purpura (ITP) dengan kehamilan. Dapat disimpulkan, penggunaan cytotoxic dan agent
immunosuppressive harus dibatasi pada kasus refraktory yang berat terhadap obat lain. Obat
ini hanya dapat digunakan pada trimester kedua dan ketiga dan tiap kasus harus ditangani
secara individual (3).

Penanganan Relaps Pertama

Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang tidak
berespon dengan kortikosteroid, imunoglobulin iv dan imunoglobulin anti-D (5).

Dari gambar 3 dijelaskan bahwa lebih banyak spesialis yang menggunakan AT<30.000/µL
sebagai ambang batas untuk memulai terapi pada Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP)
daripada AT>30.000/µL. Tidak ada konsensus yang menetapkan lama terapi kortikosteroid.
Penggunaan immunoglobulin anti-D sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan hanya
cocok untuk pasien Rh-positif. Apakah penggunaan IgIV atau immunoglobulin anti-D
sebagai terapi awal tergantung pada beratnya trombocytopenia dan luasnya perdarahan
mukokutaneus. Untuk memutuskan apakah terapi pasien yang mempunyai AT 30.000/µL
sampai 50.000µ/L bergantung pada ada tidaknya faktor resiko perdarahan yang menyertai
dan ada tidaknya faktor perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya resiko tinggi untuk
trauma. Pada AT>50.000µ/L perlu diberi IgIV sebelum pembedahan atau setelah trauma pada
beberapa pasien. Pada pasien Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) kronik dan
AT>30.000/µL IgIV atau metilprednisolon dapat membantu meningkatkan AT dengan segera
sebelum splenektomi. Daftar medikasi untuk terapi Immune Thrombocytopenic Purpura
(ITP) kronik pada pasien yang mempunyai AT<30.000µ/L dapat dipergunakan secara
individual, namun danazol atau dapson sering dikombinasi dengan prednison dosis rendah
dibutuhkan untuk mencapai suatu AT hemostasis. IgIV dan anti-D imunoglobulin umumnya
sebagai cadangan untuk Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) berat yang tidak berespon
dengan terapi oral. Untuk memutuskan apakah perlu dilakukan splenektomi, kemudian terapi
medis diteruskan atau dosis diturunkan dan akhirnya terapi dihentikan pada pasien Immune
Thrombocytopenic Purpura (ITP) kronik dengan AT 30.000/mL atau lebih, bergantung pada
intensitas terapi yang diperlukan, toleransi efek samping, resiko yang berhubungan dengan
pembedahan dan pilihan pasien (5).
Terapi Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) Kronik Refrakter

Pasien refrakter (±25%-30% pada Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP)


didefinisikan sebagai kegagalan terapi kortikosteroid dosis standar dan splenektomi
membutuhkan terapi lebih lanjut karena AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis.
Kelompok ini memiliki respon terapi yang rendah, mempunyai morbiditas yang bermakna
terhadap penyakit ini dan terapinya serta memiliki mortalitas sekitar 16%. Immune
Thrombocytopenic Purpura (ITP) refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria
sebagai berikut: a). Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) menetap lebih dari 3 bulan; b).
Pasien gagal berespon dengan splenektomi; c). AT<30.000/ml (5).

Tatalaksana Persalinan: Pertimbangan Ibu dan Janin

Penatalaksaan persalinan pada ibu hamil dengan Immune Thrombocytopenic Purpura


(ITP), merupakan hal yang unik dan harus dipertimbangkan dengan baik. Tatalaksana awal
yaitu memeriksa jumlah trombosit untuk meminimalisir terjadinya perdarahan maternal, tidak
hanya persalinan per vaginam namun juga pada sectio caesarea. Anastesi epidural seringkali
digunakan pada persalinan, dan hemostasis yang adekuat diperlukan untuk meminimalisir
resiko terjadinya komplikasi neurologi. The American Society of Hematology Guidelines,
menyarankan jumlah trombosit sebesar 50.000/µL cukup untuk dilakukannya persalinan per
vaginam maupun sectio caesarea. BCSH guidelines merekomendasikan jumlah trombosit
sebesar 80.000/µL harus dicapai, berdasarkan laporan retrospektif dimana anestesi epidural
telah sukses dilakukan tanpa menimbulkan komplikasi neurologi pada 30 wanita dengan
thrombosit antara 69.000-98.000/µL.

IgG maternal secara aktif ditransportasikan kepada sirkulasi janin sehingga terikat
pada reseptor Fcɣ pada sel syncytiotrophoblast dari placenta, yang dapat menyebabkan
terjadinya fetal thrombocytopenia dan berhubungan dengan peningkatan resiko perdarahan
selama persalinan. Pada sebuah penelitian meta analisis yang besar, yang meneliti 288 bayi
lahir hidup. Ditemukan jumlah trombosit kurang dari 50.000/µL pada 10,1% dari seluruh
bayi, dan jumlah trombosit kurang dari 20.000/µL pada 4,2% (3).
Komplikasi yang paling ditakuti terhadap terjadinya thrombocytopenia pada janin
yaitu resiko terjadinya perdarahan intrakranial yang dapat terjadi akibat trauma kepala selama
pengeluaran janin pada persalinan per vagina.

Prognosis

Respon terapi dapat mencapai 50-70% dengan kortikosteroid. Pasien Immune


Thrombocytopenic Purpura (ITP) dewasa hanya sebagian kecil dapat mengalami remisi
spontan penyebab kematian pada Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP) biasanya
disebabkan oleh perdarahan intrakranial yang berakibat fatal 2,2% untuk usia lebih dari 40
tahun dan sampai 47,8% untuk usia lebih dari 60 tahun (5).

Kehamilan yang disertai dengan Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP)


mempunyai prognosis yang baik, namun tetap diperlukan observasi yang ketat agar bayi baru
lahir dari kehamilan tersebut tidak mengalami komplikasi perdarahan pada saat persalinan
(11)
.

Anda mungkin juga menyukai