Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Paru – paru merupakan salah satu organ vital bagi kehidupan manusia yang berfungsi
pada sistem pernapasan manusia. Bertugas sebagai tempat pertukaran oksigen yang
dibutuhkan manusia dan mengeluarkan karbondiksida yang merupakan hasil sisa proses
pernapasan yang harus dikeluarkan dari tubuh, sehingga kebutuhan tubuh akan oksigen
terpenuhi. Udara sangat penting bagi manusia, tidak menghirup oksigen selama beberapa
menit dapat menyebabkan kematian. Itulah peranan penting paru – paru. Cabang trakea
yang berada dalam paru – paru dinamakan bronkus, yang terdiri dari 2 yaitu bronkus
kanan dan bronkus kiri. Organ yang terletak di bawah tulang rusuk ini memang
mempunyai tugas yang berat, belum lagi semakin tercemarnya udara yang kita hirup serta
berbagai bibit penyakit yang berkeliaran di udara. Ini semua dapat menimbulkan berbagai
penyakit paru – paru. Salah satunya adalah penyakit yang terletak di bronkus yang
dinamakan bronchitis. Bronkitis (Bronkitis inflamasi-Inflamation bronchi) digambarkan
sebagai inflamasi dari pembuluh bronkus. Inflamasi menyebabkan bengkak pada
permukaannya, mempersempit pembuluh dan menimbulkan sekresi dari cairan inflamasi.
Penyakit bronchitis terbagi menjadi 2 yaitu bronchitis akut dan kronis.

Bronkitis kronik ditandai dengan batuk dan produksi sputum yang berlebihan
(ekspektorasi) dengan disertai rasa kelelahan/lemah dan tidak nyaman akibat batuk kronik
berdahak tersebut. Penyakit ini menimbulkan dampak baik fisik maupun psikis yang tidak
sederhana kepada yang penderitanya dengan efek samping pada kualiti hidupnya.
Penderita dengan bronkitis kronis mengalami eksaserbasi yang cukup sering sepanjang
tahunnya, terutama pada saat musim penghujan atau musim dingin pada negara dengan 4
musim. Data setiap tahunnya di Poliklinik PPOK RS Persahabatan, menunjukkan
kunjungan meningkat 3-4 kali pada bulan November sampai dengan Februari
dibandingkan bulan-bulan lainnya. Kejadian eksaserbasi merupakan episode perburukan
gejala respirasi yang berulang mengakibatkan penurunan fungsi paru, perburukan kualiti
hidup dan peningkatan kebutuhan perawatan medis (kunjungan ke dokter, penambahan
medikasi, emergensi, rawat inap, dll). Dengan kata lain eksaserbasi akut bronkitis kronis
adalah penyebab utama rawat inap dan kematian pada penderita bronkitis kronis. Lima
puluh persen penderita bronkitis kronis mengalami episodik eksaserbasi > 2 kali dalam
setahunnya dengan seperlimanya membutuhkan rawat inap pada eksaserbasi tersebut dan
sebagiannya membutuhkan perawatan di ICU. Banyak pula penderita bronkitis kronis
dnegan rawat inap membutuhkan ulang (readmission) karena gejala yang menetap dan
berkepanjangan. Penyebab tersering dari eksaserbasi adalah infeksi virus pernapasan dan
infeksi bakteri, penyebab lainnya seperti polusi lingkungan, gagal jantung kongestif,
emboli paru, pemberian oksigen yang tidak tepat, obat-obatan seperti narkotik dan lain-
lain. Menurut SKRT Tahun 1992, bersamaan dengan empisema dan asma, bronkitis
kronik menduduki tempat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia dengan proporsi
sebesar 5,6% dari semua kematian.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :

1. untuk mengetahui defenisi dari bronkitis kronik.


2. Untuk mengetahui Etiologi dan patogenesis bronkitis kronik.
3. Untuk mengetahui tata laksana terapi penyakit bronkitis kronik.
4. Untuk mengetahui tata laksana terapi pada contoh kasus Bronkitis Kronik.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Bronkitis Kronis

Bronkhitis adalah kondisi peradangan pada daerah trakheobronkhial. Peradangan


tidak meluas sampai alveoli. Bronkhitis seringkali diklasifikasikan sebagai akut dan
kronik. Bronkhitis akut mungkin terjadi pada semua usia, namun bronkhitis kronik
umumnya hanya dijumpai pada dewasa. Pada bayi penyakit ini dikenal dengan nama
bronkhiolitis. Bronkhitis akut umumnya terjadi pada musim dingin, hujan, kehadiran
polutan yang mengiritasi seperti polusi udara, dan rokok.

Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik
berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut,
tidak disebabkan penyakit lainnya.

Bronkitis kronis adalah suatu kondisi peningkatan pembengkakan dan lendir (dahak
atau sputum) produksi dalam tabung pernapasan (saluran udara). Obstruksi jalan napas
terjadi pada bronkitis kronis karena pembengkakan dan lendir ekstra menyebabkan bagian
dalam tabung pernapasan lebih kecil dari normal. Diagnosis bronkitis kronis dibuat
berdasarkan gejala batuk yang menghasilkan lendir atau dahak di hampir setiap hari,
selama tiga bulan, selama dua tahun atau lebih (setelah penyebab lain untuk batuk telah
dikeluarkan).

Bronkitis kronik merupakan penyakit saluran napas yang sering didapat di


masyarakat. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan oleh karena sifatnya yang kronis dan
persisten dan progresif. Infeksi saluran nafas merupakan masalah klinis yang sering
dijumpai pada penderita bronkitis kronik yang dapat memperberat penyakitnya. Bronkitis
kronik ditandai dengan batuk dan produksi sputum yang berlebihan (ekspektorasi) dengan
disertai rasa kelelahan/lemah dan tidak nyaman akibat batuk kronik berdahak tersebut.
Eksaserbasi infeksi akut akanbronkitis kronik yang dapat memperberat penyakitnya.
Eksaserbasi infeksi akut akan mempercepat kerusakan yang telah terjadi, disamping itu
kuman yang menyebabkan eksaserbasi juga berpengaruh terhadap mortalitas dan
morbiditas penyakit ini. Semakin sering terjadi eksaserbai, maka mortalitas juga akan dan
morbiditas penyakit ini. Semakin sering terjadi eksaserbasi, maka mortalitas juga akan
semakin meningkat.

2.2 Epidemiologi dan Etiologi

Bronkitis kronis adalah penyakit non spesifik yang terutama mempengaruhi orang
dewasa. Antara 10% dan 25% dari populasi orang dewasa 40 tahun atau lebih tua
menderita bronkitis kronis, yang mengakibatkan substansial perawatan kesehatan dengan
biaya yang tinggi dan kehilangan berat badan. Penyakit ini begitu umum bahwa bronkitis
akut dan bronchitis kronik eksaserbasi akut terdapat sekitar 14 juta kunjungan dokter per
tahun di Amerika Serikat. Mirip dengan bronkitis akut kondisi dingin, iklim lembab dan
adanya konsentrasi udara yang tinggi dengan zat asing dapat mendukung penyakit
Bronkitis kronis. Ini terjadi lebih umum pada pria dibandingkan pada wanita.

Bronkitis kronis adalah hasil dari beberapa faktor; itu yang paling menonjol
diantaranya merokok; ekspos terhadap debu kerja, asap, dan pencemaran lingkungan; dan
infeksi bakteri (dan mungkin virus). Pengaruh masing-masing faktor dan lain-lain, baik
sendiri atau dalam kombinasi, memberikan kontribusi untuk bronkitis kronis tidak
diketahui. Asap rokok adalah agen iritasi terkenal dan diyakini menjadi faktor dominan
dalam etiologi bronchitis kronik. Studi dari paru-paru pada individu merokok dan tidak
merokok individu jelas telah menunjukkan peningkatan yang substansial dalam jumlah
makrofag alveolar, serta adanya peradangan bronkial, pada individu yang merokok.
Meskipun mayoritas pasien yang menderita bronkitis kronis memiliki merokok positif,
tidak ada riwayat merokok dapat diidentifikasi dalam sebanyak 10% dari pasien. Temuan
ini menunjukkan bahwa ada iritasi saluran napas tambahan, baik sendiri atau lebih
mungkin dalam kombinasi, bertanggung jawab untuk pathogenesis bronkitis kronis.

2.3 Tanda, Diagnosis dan Penyebab


Tanda Bronkhitis memiliki manifestasi klinik sebagai berikut :

 Batuk yang menetap yang bertambah parah pada malam hari serta biasanya
disertai sputum. Rhinorrhea sering pula menyertai batuk dan ini biasanya
disebabkan oleh rhinovirus.
 Sesak napas bila harus melakukan gerakan eksersi (naik tangga, mengangkat
beban berat).
 Lemah, lelah, lesu.
 Nyeri telan (faringitis).
 Laringitis, biasanya bila penyebab adalah chlamydia.
 Nyeri kepala.
 Demam pada suhu tubuh yang rendah yang dapat disebabkan oleh virus influenza,
adenovirus ataupun infeksi bakteri.
 Adanya ronchii.
 Skin rash dijumpai pada sekitar 25% kasus

Diagnosis bronkhitis dilakukan dengan cara: Tes C- reactive protein

(CRP) dengan sensitifitas sebesar 80-100%, namun hanya menunjukkan

60-70% spesifisitas dalam mengidentifikasi infeksi bakteri.

Metodediagnosis lainnya adalah pemeriksaan sel darah putih, dimana

dijumpai peningkatan pada sekitar 25% kasus. Pulse oksimetri, gas darah

arteri dan tes fungsi paru digunakan untuk mengevaluasi saturasi oksigen

di udara kamar. Pewarnaan Gram pada sputum tidak efektif dalam

menentukan etiologi maupun respon terhadap terapi antibiotika.

Penyebab bronkhitis kronik berkaitan dengan penyakit paru obstruktif,

merokok, paparan terhadap debu, polusi udara, infeksi bakteri.

2.4 Faktor Resiko Bronkitis Kronis


Penularan bronkhitis melalui droplet. Faktor risiko terjadinya bronkhitis adalah
sebagai berikut:
 Merokok
 Infeksi sinus dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan atas dan
menimbulkan batuk kronik.
 Bronkhiektasi.
 Anomali saluran pernapasan.
 Foreign bodies.
 Aspirasi berulang
2.5 Patogenesis dan Komplikasi
Temuan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar
mukosa bronkus dan peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet, dengan infiltraasi
sel-sel radang dan edema mukosa bronkus. Pembentukan mukus yang meningkat
mengakibatkan gejala khas yaitu batuk kronis. Batuk kronik yang disertai peningkatan
sekresi bronkus tampaknya mempengaruhi bronkiolus kecil sehingga bronkiolus
tersebut rusak dan dindingnya melebar. Faktor etiologi utama adalah merokok dan
polusi udara yang lazim di daerah industri. Polusi udara yan terus menerus juga
merupakan predisposisi infeksi rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia
dan fagositsis, sehingga timbunan mukus menigkat sedangkan mekanisme
pertahanannya sendiri melemah. Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar
mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan
serta distorsi akibat fibrosis1.
Berbagai faktor risiko untuk terjadinya bronkitis kronis (merokok, polusi
udara, infeksi berulang, dll) menimbulkan kondisi inflamasi pada bronkus. Perubahan
patologi yang terjadi pada trakea, bronki dan bronkiolus terus sampai ke saluran napas
kecil (diameter 2-4 mm) berupa infiltrasi permukaan epitel jalan napas, kelenjar
duktus, kelenjar-kelenjar dengan eksudat inflamasi (sel dan cairan) yang didominasi
oleh sel T limfosit (CD8+), makrofag dan neutrofil. Proses inflamasi kronik itu
berhubungan dengan metaplasia sel goblet dan sel squamosa dari epitelium,
peningkatan ukuran epitelepitel kelenjar, peningkatan banyak otot polos dan jaringan
penunjang pada dinding jalan napas, serta degenerasi tulang rawan jalan napas.
Semua perubahan patologi itu bertanggung jawab terhadap gejala pada bronkitis
kronis yaitu batuk kronik dan produksi sputum berlebihan seperti yang dijelaskan
sebagai definisi bronkitis kronis dengan kemungkinan berkombinasi dengan masalah
jalan napas perifer dan emfisema.
Komplikasi jarang terjadi kecuali pada anak yang tidak sehat. Komplikasi
meliputi antara lain PPOK, bronkhiektasis, dilatasi yang bersifat irreversible dan
destruksi dinding bronkhial
2.6 Klasifikasi Bronkitis Kronis

Berdasarkan klinis dibedakan menjadi 3 :

1. Bronkitis kronis ringan (simple chronic bronchitis), ditandai dengan batuk


berdahak dan keluhan lain yang ringan.
2. Bronkitis kronis mukopurulen (chronic mucupurulent bronchitis), ditandai dengan
batuk berdahak kental, purulen (berwarna kekuningan).
3. Bronkitis kronis dengan penyempitan saluran napas (chronic bronchitis with
obstruction), ditandai dengan batuk berdahak yang disertai dengan sesak napas
berat dan suara mengi.

2.7 Kontribusi Infeksi Terhadap Perjalanan klinis Bronkitis Kronik


 Eksaserbasi infeksi akut mempercepat kerusakan yang telah terjadi.
 Kuman yang menyebabkan eksaserbasi berpengaruh pada morbiditas dan
mortalitas.
 Terjadi kolonisasi.
 Infeksi saluran napas berulang pada anak merupakan faktor predisposisi terhadap
terjadinya bronkitis kronik.

Bronkitis kronik eksaserbasi akut ditandai dengan bertambahnya batuk dengan


produksi sputum yang purulent/mukopurulent atau sputum berwarna kuning/hijau dan
adanya peningkatan dyspnoe dan/atau bertambahnya volume sputum. Semakin sering
terjadi fase eksaserbasi akan menyebabkan semakin cepatnya perburukan faal paru.
Kebanyakan eksaserbasi akut dipercaya oleh karena infeksi, tetapi paparan allergen,
polutant dan merokoksigaret dapat berperan dalam perburukan bronkitis kronik.
Organisme patogen tersering adalah H.Influeza, pneumococcus dan M.Catarrhalis,
organisme partogen seperti klebsiella, mycoplasma, legionella dan gram negatif
lainnya jarang.

BKEA diklasifikasikan dalam 3 tingkatan keparahan:

 Eksaserbasi type I :peningkatan sesak, peningkatan volume sputum dan purulensi


sputum
 Eksaserbasi type II :adanya dua dari tiga gejala diatas
 Eksaserbasi type III :adanya satu dari tiga gejala ditambah salah satu dari (demam
37,5, 38,50C; sakit tenggorokan dan hidung berlendir dalam 5 hari, bertambahnya
wheezing atau batuk).

Menurut literature lain Bronkitis kronik eksaserbasi akut ditandai dengan 3


kriteria klinis mayor yaitu

 peningkatan purulensi sputum (batuk dengan produksi sputum yang


purulent/mukopurulent atau sputum berwarna kuning/hijau)
 peningkatan dyspnoe
 peningkatan volume sputum, semakin sering terjadi fase eksaserbasi akan
menyebabkan semakin cepatnya perburukan faal paru.

Terdapat tambahan kriteria minor dari gejala BKEA, diantaranya :

 infeksi saluran pernafasan atas selama 5 hari


 peningkatan wheezing
 peningkatan batuk
 demam tanpa sumber yang jelas
 peningkatan 20% dari respiratory rate atau heart rate.
2.8 Outcome

Tanpa adanya komplikasi yang berupa superinfeksi bakteri, bronkhitis akut akan
sembuh dengan sendirinya, sehingga tujuan penatalaksanaan hanya memberikan
kenyamanan pasien, terapi dehidrasi dan gangguan paru yang ditimbulkannya. Namun
pada bronkhitis kronik ada dua tujuan terapi yaitu: pertama, mengurangi keganasan gejala
kronik kemudian yang kedua menghilangkan eksaserbasi akut dan untuk mencapai
interval bebas infeksi yang panjang.

2.9 Terapi Farmakologi


A. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau
obat berefek panjang (long acting).

Macam - macam bronkodilator :

 Golongan antikolinergik: digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping


sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari)
 Golongan agonis beta – 2: bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat.
 Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2: kombinasi kedua golongan obat ini
akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja
yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan
mempermudah penderita.
 Golongan xantin: dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan
kadar aminofilin darah.
B. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >
20% dan minimal 250 mg.

C. Antibiotika

Untuk batuk yang menetap > 10 hari diduga adanya keterlibatan Mycobacterium
pneumoniae sehingga penggunaan antibiotika disarankan. Untuk anak dengan batuk >
4 minggu harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut terhadap kemungkinan TBC,
pertusis atau sinusitis.

D. Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -


asetilsistein.

E. Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat


perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin.

Untuk pasien yang secara konsisten menunjukkan keterbatasan klinis di aliran


udara, tantangan terapi bronkodilator (seperti albuterol aerosol) harus
dipertimbangkan. Tes fungsi paru dapat dilakukan sebelum dan setelah pemberian
aerosol β2-agonis untuk menentukan lebih objektif kecenderungan pasien untuk
mendapatkan keuntungan dari tambahan Terapi aerosol. Namun, penilaian
laboratorium ini, sering dilakukan pada saat-saat kesehatan yang lebih baik, tidak
mungkin secara akurat memprediksi pasien potensi manfaat dari aerosol β2 selama
bronkitis kronis eksaserbasi akut.

Albuterol adalah paling sering digunakan, 1-2 puff dari inhaler meteran-dosis tiga
sampai empat kali setiap hari. Peran surfaktan aerosol juga telah dinilai pada pasien
bronkitis kronis adalah stabil dan menunjukkan hasil yang menggembirakan
sehubungan dengan peningkatan fungsi paru dan transportasi dahak oleh silia (yaitu,
clearance). Peran surfaktan sebagai kendaraan pembawa untuk obat aerosol lainnya
juga muncul menjanjikan dan kemungkinan besar akan terus dievaluasi.

Penggunaan antimikroba untuk bronkitis kronis adalah kontroversial. Banyak


evaluasi komparatif, termasuk terkontrol placebo. Studi administrasi antibiotik dengan
pengobatan akut dan kronis dari bronchitics kronis, telah menyarankan manfaat klinis
yang pasti, sedangkan penelitian lain yang sejenis tidak memiliki. Antibiotik yang
paling sering dipilih memiliki variabel dalam kegiatan vitro terhadap sputum umum
isolat H. influenzae, S. pneumoniae, M. catarrhalis, dan M. pneumoniae.

Secara umum, hasil ini yang bertentangan muncul independen yang antibiotik
digunakan atau rejimen dibandingkan. Disparitas yang lebar yang ada dalam hasil dari
studi ini, dikombinasikan dengan kesulitan dalam pengakuan dan kurangnya kriteria
diagnostik standar untuk bronkitis kronis eksaserbasi akut, berfungsi sebagai dasar
untuk besar kontroversi seputar keadaan penggunaan antibiotik. Ini Lebih rumit
pemilihan antibiotik adalah meningkatkan resistensi dari bakteri patogen umum untuk
agen lini pertama. Sebagai Sebanyak 30% sampai 40% dari H. influenzae dan 95%
dari M. catarrhalis menghasilkan beta-laktamase. Selain itu, hingga 30% dari S.
pneumoniae isolate menunjukkan resistensi terhadap penisilin (konsentrasi hambat
minimum [MIC] = 0,1-2 mg / L), dengan sekitar 14% dari isolat yang sangat tahan
(MIC> 2 mg / L) . Selain itu, resistensi Pneumonia meningkat karena kejadian dari
macrolide resistensi adalah sekitar 20%. Meskipun ini perubahan kerentanan bakteri,
dianjurkan untuk memulai terapi dengan agen lini pertama pada pasien yang kurang
terpengaruh. Skema ini diuraikan dalam Tabel 2. dapat digunakan sebagai panduan
awal dalam pemilihan antibiotic berdasarkan beratnya penyakit (kelas I sampai IV).
Pedoman ini cukup konsisten, yang baru-baru ini diterbitkan oleh Canadian Thoracic
dan Penyakit Infeksi Societies.

Terlepas dari antibiotik yang dipilih, perhatian terhadap ukuran hasil yang telah
ditentukan harus dipantau ketat di setiap pasien untuk menentukan keberhasilan atau
kegagalan terapi Antibiotik oral intervensi. Dengan spektrum antibakteri yang lebih
luas (misalnya, cefixime, amoksisilin-klavulanat, fluoroquinolones, atau azalides)
yang memiliki lebih kuat dalam kegiatan vitro terhadap isolat sputum umumnya tidak
diperlukan sebagai terapi awal karena respon klinis sering muncul independen dari
patogen di kerentanan vitro untuk banyak pasien.

Sebuah hasil klinis pemilihan obat mengarahkan variabel penting dan kriteria
untuk mulai antibiotik pada pasien individu adalah periode bebas infeksi ketika
bronchitics kronis berhenti antibiotik. Sebenarnya panjang periode waktu bebas
infeksi, serta perubahan dalam jumlah kunjungan praktek dokter dan rumah sakit
dengan penerimaan rejimen antibiotik tertentu, sangat penting untuk mengidentifikasi,
bila memungkinkan, untuk setiap pasien. Regimen antibiotik yang dihasilkan pada
periode bebas infeksi terpanjang mendefinisikan "rejimen pilihan" untuk pasien
khusus untuk eksaserbasi akut masa depan penyakit mereka.

Antibiotik harus dipilih yang efektif terhadap bertanggung jawab patogen, yang
menunjukkan risiko paling interaksi obat, dan yang dapat diberikan dengan cara yang
mempromosikan kepatuhan. Antibiotik yang biasa digunakan dalam pengobatan
pasien dan mereka dewasa masing mulai dosis diuraikan dalam Tabel 3. Dosis
antibiotik harus disesuaikan sesuai kebutuhan untuk efek klinis yang diinginkan dan
kejadian terendah efek samping yang dapat diterima. Sebuah sering digunakan
strategi klinis untuk meningkatkan durasi periode bebas gejala menggabungkan
regimen antibiotik dosis tinggi menggunakan batas atas dosis harian yang
direkomendasikan antibiotik untuk jangka waktu 10 sampai 14 hari.

Secara tradisional, ampisilin telah dianggap sebagai obat pilihan untuk pengobatan
eksaserbasi akut bronkitis kronis. Sayangnya, kebutuhan untuk dosis harian beberapa
ulangi (empat kali sehari), peningkatan kejadian efek samping gastrointestinal, dan
meningkatnya
Insiden penisilin-tahan β-laktamase-memproduksi strain bakteri (lihat Tabel 2 dan
3) telah membatasi kegunaan biaya-efektif antibiotik aman dan sangat ini. Seperti
yang dinyatakan sebelumnya, sistem klasifikasi yang diusulkan diuraikan dalam Tabel
2 menawarkan Pilihan pertama pengobatan lini kedua untuk bronkitis kronis
eksaserbasi akut yang diarahkan oleh status klinis awal pasien. Rekomendasi
perawatan ini dapat digunakan untuk memulai terapi di pasien dengan kelas I sampai
IV penyakit.

Nilai erythromycins ketika Mycoplasma terlibat adalah dipertanyakan, sedangkan


nilai, jika ada, dari eritromisin baru Analog azitromisin atau klaritromisin sebagai
agen lini pertama dalam pengobatan pasien ini tidak diketahui. Azitromisin harus
dipertimbangkan macrolide/azalide sebagai pilihan ketika mempertimbangkan obat
dalam spektrum antibakteri aktivitas vitro, karakteristik jaringan distribusi, dan
kurangnya berbasis interaksi metabolism obat-obat ini. Sebaliknya, fluoroquinolones
telah muncul sebagai alternatif agen yang efektif, terutama ketika patogen gram
negatif yang terlibat atau pasien lebih klinis atau sakit berat (lihat Tabel 2).
Meningkatkan resistensi patogen dipilih untuk ciprofloxacin mungkin memerlukan
penggunaan analog yang lebih baru dengan yang lebih besar dalam aktivitas
antibakteri vitro, termasuk penisilin-toleran atau tahan S. pneumoniae (misalnya,
gatifloksasin). Biaya peningkatan fluoroquinolones mungkin sebanding oleh
kemungkinan keunggulan fluoroquinolones di awal jelas mereka tingkat keberhasilan
dan periode lebih lama.

Waktu bebas infeksi Pada pasien yang sejarah menunjukkan eksaserbasi berulang
penyakit yang mungkin timbul dari peristiwa tertentu (misalnya, itu adalah musiman
atau terkait dengan musim dingin), percobaan antibiotik profilaksis mungkin akan
bermanfaat. Jika tidak ada perbaikan klinis tepat dicatat melalui jangka waktu (2-3
bulan per tahun selama 2 sampai 3 tahun), lebih lanjut upaya terapi profilaksis dapat
dihentikan. Demikian pula, uji antibiotik-pasien tertentu dapat dilakukan pada
individu mengalami eksaserbasi akut, berfokus pada mendefinisikan periode bebes
infeksi. Meskipun kurang diinginkan, metode penilaian klinis mungkin membedakan
pasien yang akan mendapatkan keuntungan dari profilaksis terapi antibiotik dari
mereka tidak.
Sementara Terapi yang dianjurkan untuk Bronkitis Kronik Eksaserbasi Akut
(BKEA) adalah dengan antibiotika oral, tetapi harus mencapai konsentrasi yang tinggi
di jaringan, ditolerensi dengan baik, berspektrum luas dan mempunyai onset kerja
yang cepat. Kondisi diatas ini dipenuhi oleh ciprofloxacin, inhibitor
fluroquinolonegyrase yang spetrum anti bakterinya mencakup gram negatif dan gram
positif. Salah satu standard di dalam pengobatan terhadap BKEA adalah amoxycilin,
sering dikombinasi dengan asam klavulanat. Dalam membandingkan antara terapi
standard menggunakan amoxycilin dengan ciprofloxacin. Ciprofloxacin sangat baik
untuk mengatasi penderita BKEA walaupun hanya diberikan per oral denga dosis 2 x
500 mg per hari selam 7 hari. Efektifitas pengobatan ciprofloxacul sedikit lebih baik
dibanding amoxycilin yang diberikan dengan dosis 3 x 500 mg. Selain itu
Keuntungan dari ciprofloxacin dalam resistensi tidak mudah terjadi.

2.10 Terapi Non Farmakologi dan Terapi Pendukung


 Stop rokok, karena rokok dapat menggagalkan mekanisme pertahanan tubuh.
 Bronkhodilasi menggunakan salbutamol, albuterol.
 Analgesik atau antipiretik menggunakan parasetamol, NSAID.
 Antitusiv, codein atau dextrometorfan untuk menekan batuk.
 Vaporizer
 Melakukan senam fisik atau senam asma
 Banyak minum air putih
 Makan teratur
 Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh
 Hiruplah uap air panas sekali sehari.
2.11 KIE

KIE (Konseling, Informasi, Edukasi) yang dilakukan pada pasien yaitu

 Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit bronkhitis kronik yang diderita


 Memberitahukan kepada pasien mengenai obat-obat yang diberikan
 Memberitahukan kepada pasien mengenai terapi non farmakologi yang harus
dijalankan oleh pasien untuk menunjang terapi farmakologi
 Menerangkan tentang bahaya dan keburukan merokok sehingga pasien mau
berhenti merokok
 Memberikan edukasi tentang self medication terhadap pasien jikalau sesaknya
kambuh
 Memberikan nasihat pada pasien agar segera melaporkan ke dokter atau apoteker
jika ada keluhan dalam menggunakan obat sehingga tidak memperparah sakit
yang dideritanya
 Menekankan pada pasien untuk kembali datang dan memeriksakan diri jika
setelah diberi obat justru muncul gejala lain yang diakibatkan oleh obat agar
segera ditangani dengan tepat.
2.12 Monitoring
Monitoring yang dilakukan yaitu mencakup :
 Monitoring fungsi paru secara periodik
 Monitoring dispnea dan frekuensi eksaserbasi
 Memantau bising mengi, Volume dan purulen sputum, reaksi obat bantu nafas
 Memantau efek samping obat yang mungkin terjadi
 Memantau kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi

BAB III

PERTANYAAN DAN JAWABAN

3.1 Pertanyaan
1. Apa perbedaan asma, bronkitis kronis dan emfisema paru ? (hamidatus kel.3)
2. Usia yang paling rentan terkena bronkitis kronis ? (annisa kel. 1)
3. Apa hubungan bronkitis kronis dan sinusitis ? (vellia kel. 1)
4. Apa bronkitis kronis merupakan penyakit yang bisa diturunkan secara
genetik ? (tarida kel 1)
3.2 Jawaban
1. Asma adalah jenis penyakit jangka panjang atau kronis pada saluran
pernapasan yang ditandai dengan peradangan dan penyempitan saluran napas
yang menimbulkan sesak atau sulit bernapas. Selain sulit bernapas,
penderita asma juga bisa mengalami gejala lain seperti nyeri dada, batuk-
batuk, dan mengi.
Bronkitis kronis yaitu iritasi dan peradangan menyebabkan bronkus
menghasilkan mukosa atau lendir lebih banyak. Dan tubuh berusaha
mengeluarkan lendir atau mukosa yang berlebihan dengan cara batuk.
Penyebab bronkitis kronis yang paling umum adalah kebiasaan merokok.
Emfisem atau Emfisema adalah kondisi di mana kantung udara
di paru-paru secara bertahap hancur, membuat napas lebih
pendek. Emfisema adalah salah satu dari beberapa penyakit yang secara
kolektif dikenal sebagai penyakit paruobstruktif kronis (PPOK). Merokok
adalah penyebab utama emfisema.
2. Bronkitis akut adalah salah satu infeksi sistem pernapasan yang paling umum
terjadi dan paling sering menyerang anak-anak berusia di bawah 5 tahun.
Kedua, bronkitis kronis adalah infeksi bronkus yang bertahan setidaknya tiga
bulan dalam satu tahun dan berulang pada tahun berikutnya. Bronkitis kronis
lebih sering terjadi pada orang dewasa di atas usia 40 tahun.
3. Sinusitis tidak secara langsung berhubungan dengan bronkitis kronis.
Bronkitis kronis bisa memberikan gejala yang mirip dengan sinusitis seperti
demam, sakit kepala, hidung tersumbat, namun gejala utama dari bronkitis
kronis adalah sesak napas. Selain itu penyebab dari sinusitis selain karena
komplikasi dari rhinitis alergi, paling sering disebabkan oleh infeksi virus.
Sedangkan bronkitis kronis terutama disebabkan oleh paparan asap rokok atau
kondisi lingkungan kerja yang tidak sehat seperti serat kain, serpihan debu,
klorin.
4. Tingkat bronkitis kronis terkait erat dengan faktor genetik, seseorang dengan
kedua orang tuanya menderita bronkitis kronis memiliki 50 - 57 %
kemungkinan untuk menderita bronkitis kronis. Sedangkan salah satu dari
orang tuanya menderita, maka hanya 10 – 20 % yang kemungkinan menderita
bronkitis kronis. Dari beberapa penelitian, orang mempunyai silsilah dengan
keluarga yaitu orang tua, kakek, nenek, dan saudara lainnya yang menderita
bronkitis kronis ada kecendrungan untuk terkena bronkitis kronis juga. Faktor
yang mungkin secara genetik antara lain efek transport natrium dan membrane
sel. (Imam Soeharjo 2004).
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan Bronkitis Kronik diatas maka dapat ditarik beberapa


kesimpulan yaitu sebagai berikut :

a. Bronkitis kronik merupakan penyakit saluran napas yang sering didapat di


masyarakat. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan oleh karena sifatnya yang kronis
dan persisten dan progresif. Infeksi saluran nafas merupakan masalah klinis yang
sering dijumpai pada penderita bronkitis kronik yang dapat memperberat
penyakitnya.

b. Epidemologi, Etiologi dan Patogenesis Penyakit Bronkitis Kronik yaitu

 Bronkitis kronis adalah penyakit non spesifik yang terutama mempengaruhi


orang dewasa. Antara 10% dan 25% dari populasi orang dewasa 40 tahun atau
lebih tua menderita bronkitis kronis, yang mengakibatkan substansial
perawatan kesehatan dengan biaya yang tinggi dan kehilangan berat badan.

 Bronkitis kronis adalah hasil dari beberapa faktor; itu yang paling menonjol di
antaranya merokok; ekspos terhadap debu kerja, asap, dan pencemaran
lingkungan; dan infeksi bakteri (dan mungkin virus).
-Patogenesis Pada bronkitis kronis, dinding bronkus menebal, dan jumlah
lendir disekresi sel goblet pada permukaan epitel lebih besar pada bronkus
kecil dan bronkus besar nyata meningkat.

Terapi yang dilakukan pada penyakit bronkitis kronik terbagi menjadi terapi
farmakologi dan terapi non farmakologi. Terapi farmakologi yang dilakukan yaitu
berdasarkan dengan tipe bronkitis kronik yang di alami oleh pasien.

3.2 Saran

Saran yang dapat kami sampaikan dalam makalah ini yaitu Apabila dalam penulisan
makalah ini masih benyak terdapat banyak kekurangan, mohon kritik dan saranya yang
bersifat membangun.

Anda mungkin juga menyukai