Anda di halaman 1dari 30

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan


Permasalahan gizi yang terjadi saat ini sudah menjadi kendala yang mendunia.
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2012, status gizi buruk
pada anak Indonesia mencapai 900.000 jiwa. Hal ini membuat Indonesia menduduki
peringkat ke 5 se-dunia. Keadaan ini, kemungkinan disebabkan oleh faktor perekonomian
serta kebudayaan yang mempengaruhi pemahaman sebagian masyarakat Indonesia
tentang pentingnya menjaga asupan nutrisi yang tepat secara kualitas maupun kuantitas.
Pada saat sekarang ini, negeri kita sedang dihadapkan oleh permasalah gizi ganda,
yaitu gizi yang lebih baru muncul pada tahun 1990-an dan gizi kurang. Masalah gizi yang
dapat diketahui yaitu KEP atau Kurang Energi Protein, AGB atau Anemia Gizi Besi,
GAKI atau Gangguan Akibat Kekurangan Iodium dan KVA atau Kurang Vitamin A
(Almatsier, 2001).
Pada beberapa penelitian yang lalu, khususnya yang dilakukan Santoso Sugeng,
dkk.. pada tahun 1999-2001, Indonesia masih menghadapi masalah 6 juta balita yang
mengidap status gizi kurang dan 1,8 juta dengan status gizi buruk. Ditemukan 33.173
balita atau 1,83 persen dengan berat badan dibawah garis merah pada KMS, di provinsi
Jawa Timur pada tahun 2001. Keadaan tersebut menunjukkan angka kejadian gizi buruk
masih sangat tinggi di negara kita.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, keadaan balita kurang gizi mempunyai prevalensi
sebesar 10,9% (Riskerdas, 2007).
Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk
mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka
reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan tubuh untuk
mempertahankan diri dari serangan infeksi akan menurun. Kejadian ini disebabkan akibat
proses pembentukan antibodi yang terganggu atau terhambat dan akhirnya produksi dari
antibodi ini akan menurun. Penurunan ini mengakibatkan tubuh lebih rentan atau mudah
terkena infeksi. Status Gizi Buruk dan Kejadian ISPA sering kali bekerja sama dan
menumbuhkan prognosis yang buruk.
ISPA adalah penyakit yang tergolong sering menyerang atau terjadi pada balita.
Hal ini kemungkinan berhubungan erat dengan permasalahan daya tahan tubuh bayi yang
masih belum terlalu kuat dibandingkan manusia dewasa. Pada orang dewasa, sudah
banyak terjadi proses kekebalan alamiah yang lebih optimal akibat dari pengalaman

1
infeksi sebelumnya. Pada realitanya, risiko ISPA dalam menimbulkan kematian pada
anak masih dalam jumlah kecil, akan tetapi, komplikasi yang akan ditimbulkan dari ISPA
lanjutan seperti OMA dan Mastoiditis akan berujung kepada kecacatan bahkan dapat
menimbulkan komplikasi fatal seperti pneumonia.
Kejadian ISPA pada balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih berat dan
buruk. Hal ini disebabkan karena penyakit ISPA yang didapat umumnya merupakan
kejadian pertama kali atau orang tua berusaha mengobati anaknya sendiri terlebih dahulu
sehingga pada saat keadaan memberat baru diperiksakan kepada dokter.
Data yang saya sebutkan diatas, didukung oleh hasil survey SEAMIC Health
Statistic pada tahun 2000 yang menyebutkan bahwa masih tingginya angka kesakitan dan
angka kematian karena ISPA khususnya Penumonia, terutama pada bayi dan balita. ISPA
menyerang di negara maju dan berkembang. Di Amerika, ISPA berupa Pneumonia
menempati peringkat pertama untuk penyakit infeksi yang menimbulkan kematian.
Menurut statistik, angka kematian tersebut mencapai 12% atau sama dengan 25 – 30 per
100.000 penduduk (Heriana, 2005).
Di negara kita, pada tahun 2001 diperkirakan 10 hingga 20% balita mengalami
kejadian ISPA. Dari data, anak yang berumur 2 tahun menepati posisi prevalensi ISPA
tertinggi, yakni mencapai angka lebih dari 35%. Untuk daerah Jawa Tengah, prevalensi
ISPA sebesar 29,8% (Riskerdas, 2007).
Berdasarkan penelitian sebelumnya, penyakit ISPA ini juga meningkat karena
erupsi Gunung Merapi yang sempat meletus pada tahun 2010. Erupsi ini melontarkan
beberapa material dan beberapa diantaranya adalah benda – benda polutan yang
menyebabkan pencemaran udara. Menurut data penyakit pengungsian dari kesehatan
bencana Gunung Merapi Kabupaten Sleman tahun 2010 akibat erupsi merapi, penyakit
ISPA mengalami peningkatan. Penyakit ini juga sempat menjadi dorongan timbulnya
Kejadian Luar Biasa.

1.2. Perumusan Masalah


Apakah terdapat hubungan antara status gizi dengan terjadinya infeksi saluran
pernafasan akut pada anak ?

2
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara status gizi dengan terjadinya infeksi saluran
pernafasan akut pada balita yang memeriksakan dirinya di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta periode 1 Juli hingga 31 Desember 2012.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran status gizi balita yang memeriksakan diri di RS
PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
b. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga
status gizi anak.
c. Memberikan informasi kepada masyarakat sehingga penelitian ini
dijadikan pertimbangan dalam mencegah terjadinya ISPA pada anak.
d. Penelitian ini dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang hubungan antara
keadaan status gizi pada anak – anak yang memeriksakan dirinya di PKU
Muhammadiyah selama 1 Juli hingga 31 Desember 2012 dengan kejadian infeksi saluran
pernafasan akut. Dengan informasi tersebut, diharapkan dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dan pemikiran dalam pentingnya menjaga keadaan status gizi yang baik
serta pencegahan terkenanya infeksi saluran pernafasan akut pada anak.

1.5. Keaslian Penelitian


Tabel 1. Keaslian Penelitian
No. Peneliti (Tahun) Judul Kesimpulan Perbedaan
1. Susi Asmidayanti Hubungan Status Gizi Semakin baik Lokasi
(2012) dengan Morbiditas status gizi Dan teknik
ISPA Anak Usia seseorang pengambilan
Balita di Kecamatan maka semakin bantuan data
Danau Kerinci menurun yang memakai
Kabupaten Kerinci morbiditas kuesioner dan
ISPA, wawancara.

3
begitupun
sebaliknya
2. Dewi Rahmawati Hubungan antara Terdapat Lokasi dan
(2008) Status Gizi dengan hubungan bentuk
Kejadian ISPA Balita antara status pengambilan
di URJ Anak RSU gizi terhadap responden
Dr. Soetomo kejadian ISPA
Surabaya pada balita
yang taraf
signifikansinya
positif,
sehingga
artinya
semakin baik
status gizi
balita semakin
besar peluang
tidak
menderita
ISPA
3. Patricia, dkk Viral and Atypical Ditemukan Penggunaan
(2011) Bacterial Detection bahwa variable bebas
in Acute Respiratory malnutrisi atau serta metode
Infection in Children kelainan pada penelitian
Under Five Yars status gizi
yang tidak
sesuai
merupakan
faktor risiko
terjadinya

4
ISPA
4. Collins John, Nutritional Status and Beberapa
dkk. (2013) Morbidity in Children morbiditas
in 0 – 5 years seen in atau kejadian
JOS University penyakit yang
ditimbulkan
karena
pengaruh
status gizi
misalnya
malaria, ISPA,
kelainan
vaksinasi,
diare dsb.
5. Garba dan Relationship beetwen Kejadian Variabel
Mbofung (2010) Malnutrition and malnutrisi dan terikat yang
Parasitic Infection infeksi dipakai dan
berkaitan erat metode
dan menjadi pemakaian
masalah data primer
kesehatan dan sekunder
yang penting
di usia anak –
anak

5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Gizi


2.1.1. Definisi
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi
secara normal melalui proses pencernaan, absorbsi, transportasi, penyimpanan,
metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan
kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ – organ, serta menghasilkan energi
( Supariasa dkk, 2002).
Keseimbangan antara konsumsi, penyerapan zat gizi serta penggunaan zat – zat
gizi akan membentuk suatu keadaan fisiologik yang diakibatka oleh karena ketersediaan
zat gizi dalam seluler tubuh. Keadaan ini disebut juga keadaan gizi (Supariasa dkk, 2002).
Status gizi merupakan suatu keadaan atau konsekuensi yang diakibatkan oleh status
keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan
(requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan,
perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan dll (Suyatno, 2009).
Pengungkapan Status Gizi akan lebih baik dan mempunyai fungsi yang efektif
dalam pemeriksaan medis jika dapat mengungkapkan status gizi pada saat ini atau present
time. BB/TB merupakan indikator pengukuran antropometric yang paling baik karena
dapat menggambarkan keadaan status gizi pada individu tersebut lebih sensitif dan
spesifik. Berat badan akan diikuti oleh pertambahan tinggi badan, dan hingga seiring
pertumbuhan yang normal, berat dan tinggi akan menjadi proporsional (Sukirman, 2000).
Selain itu, Almatsier (2001) menjelaskan, status gizi adalah suatu keadaan tubuh
sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang diukur mengunakan
alat ukur dan satuan tertentu. Hasil dari pengukuran keadaan tersebut digolongkan
kedalam beberapa kelas atau kategori. Kategori itu yang nanti dapat kita jadikan acuan
apakah status gizi seseorang tersebut baik, kurang atau bahkan berlebih.

2.1.2 Faktor – faktor Status Gizi


Faktor – faktor yang mempengaruhi keadaan status gizi ada 2 yaitu penyebab
langsung dan tidak langsung.
a. Penyebab Langsung
Penyebab langsung yaitu asupan makanan dan penyakit infeksi
yang mungkin diderita. Anak yang mendapat makanan cukup baik

6
namun sering diserang penyakit infeksi seperti diare atau gejala demam
dapat lebih rentan terkena status kurang gizi. Selain itu, anak yang
mendapat asupan makanan yg tidak cukup baik dari segi kualitas maupun
kuantitas akan membuat daya tahan tubuh melemah. Dalam keadaan
demikian akan lebih mudah terserang penyakit infeksi. Sehingga dapat
dibuat sebuah kesimpulan nyata bahwa makanan dan penyakit cukup
berpengaruh terhadap status kurang gizi (Sukirman, 2000).
b. Penyebab Tidak Langsung
Pengaruh yang tidak berkaitan secara langsung terhadap status
gizi yaitu tidak cukupnya penyediaan pangan dikarenakan keadaan
ekonomi, pola asuh anak karena status sosial dan budaya, air bersih dan
pelayanan kesehatan anak yang tidak memadai. Kurangnya pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan juga ikut berpengaruh (Sukirman, 2000).
Menurut Sediautama (1993), penyebab tidak langsung kurang
gizi adalah hambatan aborsi dan hambatan utilisasi zat gizi karena
berbagai hal, misalkan seperti penyakit infeksi pencernaan.
2.1.3. Penilaian Status Gizi
Penilaian terhadap status gizi dibagi ke dalam 2 jenis yaitu secara langsung dan
tidak langsung. Penilaian secara langsung meliputi Antropometri, klinis, biofisik,
biokimia. Sedangkan peniliaian secara tidak langsung yaitu survey konsumsi makanan,
statistik vital dan faktor ekologi. Masing – masing pendekatan penilaian ini mempunyai
kelemahan dan kelebihan, sehingga dapat digunakan sendiri - sendiri maupun kombinasi
(Supariasa, 2002).
Diantara keseluruhan pengukuran, Antropometrik adalah yang paling relatif
sederhana dan banyak dilakukan (Sukirman, 2000).
Dalam ilmu status gizi, pengukuran tidak hanya diketahui dengan mengukur berat
badan (BB) atau tinggi badan (TB) sesuai dengan umur secara terpisah-pisah, tetapi juga
dalam bentuk kombinasi ketiganya yang dapat menjadi indikator. Masing-masing
indikator mempunyai makna tersendiri (Sukirman, 2000).
Indikator berat badan menurut umur menunjukan secara sensitif status gizi saat ini
(saat diukur) karen mudah berubah. Namun indikator ini tidak spesifik karena berat badan
selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan. Indikator berat badan
menurut tinggi badan menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi pada saat ini
(Sukirman, 2000).

7
a. Indikator Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Indikator BB/U mempunyai kategori normal, lebih rendah atau
lebih tinggi. BB/U normal dapat digolongkan kepada keadaan status gizi
baik. BB/U rendah dapat diartikan sebagai keadaan status gizi yang
kurang atau buruk. Adapun BB/U tinggi dapat diartikan sebagai keadaan
status gizi lebih. Baik status gizi kurang maupun lebih, sama-sama
mengandung risiko yang tidak baik. Status gizi kurang yang diukur
menurut indikator BB/U dikelompokkan ke dalam kelompok Berat
Badan Rendah atau underweight.
1. Kelebihan Indikator BB/U
- Dapat dengan mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat
umum
- Sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam jangka waktu
pendek
- Dapat mendeteksi kegemukan.
2. Kekurangan Indikator BB/U
- Interpretasi status gizi dapat keliru apabila terdapat
pembengkakan
- data umur yang akurat sering sulit untuk diperoleh terutama di
negara yang sedang berkembang
- kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian anak yang tidak
dilepas, dikoreksi dan anak yang bergerak terus.
b. Indikator Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Hasil pengukuran dari indikator TB/U ini dapat dikelompokkan
ke dalam 3 kelompok yaitu normal, kurang dan tinggi. Hasil pengukuran
TB/U menggamabarkan status gizi masa lalu. Seseorang yang termasuk
PTSU (Pendek Tak Sesuai Umur) kemungkinan keadaan gizi masa
lalunya tidak baik. Pada anak balita, kemungkinana untuk menormalkan
pertumbuhan linier dan mengejar pertumbuhan potensial (catch up
grown) masih ada. Sedangkan pada anak usia sekolah sampai pada
remaja kemungkinan menormalkan pertumbuhan linier masih ada, tetapi
kemungkinan kecil untuk dapat catch-up growth.

8
Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan
bertambahnya umur. Pertambahan tinggi atau panjang badan relatif
kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu yang singkat. Indikator
TB/U menggambarkan status gizi masa lampau.
1. Kelebihan indikator TB/U
- Dapat memberikan gambaran status gizi dalam masa lampau
- Dapat dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi penduduk
2. Kelemahan indikator TB/U
- Kesulitan dalam pengukuran panjang badan pada kelompok
balita
- Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat kini
- Memerlukan data umur yang akurat sering sulit diperoleh
- Kesalahan saat pembacaan skala ukur.
c. Indikator Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Pengukuran antropometrik yang terbaik adalah menggunakan
indikator BB/TB. Ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini
lebih akurat. Mereka yang dikatakan kurang dalam pengukuran BB/TB
ini dapat dikatakan kurus atau wasted.
Berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan , artinya
dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti
pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian
berat badan yang normal akan proporsional atau tumbuh seimbang
dengan tinggi badannya. Indikator BB/TB ini merupakan indikator yang
independen terhadap umur.
1. Kelebihan indikator BB/TB
- Independen terhadap umur dan ras
- Dapat menilai status kurus dan gemuk , keadaan marasmus atau
keadaan KEP berat
2. Kelemahan indikator BB/TB
- Kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian anak yang tidak
dilepas
- Masalah sosial budaya setempat yang mempengaruhi orang tua
untuk tidak mau menimbang anaknya

9
- Kesulitan dalam melakukan pengukuran tinggi badan pada
kelompok balita
- Kesalahan pada saat pembacaan skala pengukuran
- Tidak memberikan gambaran apakah anak tersebut normal,
pendek atau jangkung.

10
2.2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut
2.2.1 Definisi ISPA
ISPA singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Nelson (2008) mengartikan
ISPA sebagai suatu penyakit yang terutama mengenai struktur saluran pernafasan di atas
laring, tetapi dapat juga sering ditemukan mengenai bagian saluran atas dan bawah secara
simultan atau berurutan.
Definisi lain tentang ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu
bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli
termasuk adneksanya, seperti sinus, rongga telingadan pleura ( Depkes, 1996).
ISPA adalah penyakit infeksi saluran pernafasan atas maupun bawah yang
disebabkan oleh masuknya kuman mikroorganisme (bakteri dan virus) ke dalam organ
saluran pernafasan yang berlangsung selama 14 hari (Anonim, 2003).
2.2.2 Etiologi serta Faktor yang Mempengaruhi
Infeksi saluran pernafasan akut ini biasanya disebabkan tidak jauh dari infeksi viral
maupun bakterial. Faringitis biasanya 70% lebih banyak disebabkan oleh virus. Adapun
faringitis akut dengan tanda – tanda adanya lapisan pada tenggorokan, sering disebabkan
oleh Corynebacterium Diphteria (Nelson, 2008).
Etiologi ISPA terdiri atas 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab
ISPA antara lain genus streptokokus, stafilokokus, pnemuokokkus, hemofilus, berdetella
dan korinebakterium. Virus penyebab ISPA antara lain golongan mikosovirus,
adenovirus, korona virus, pikonavirus, mikoplasma, harpesvirus (Anonimus, 2003).
Infeksi Akut pada telinga juga merupakan masalah yang akan menimbulkan infeksi
saluran pernafasan akut bagian atas jika tidak ditangani secara cepat. Kebanyakan infeksi
akut pada telinga itu sendiri disebabkan oleh infeksi bakterial (Nelson, 2000).
Pada pengidap Pneumonia, dapat ditemukan baik Bakteri atau Virus pada saa
pemeriksaan. Pneumonia Bacterial biasanya disebabkan oleh H.Influenzae, Stafilococcus
Aureus dan golongan Streptococci. Untuk Pneumonia Viral, biasanya disebabkan oleh
Measles Virus, RSVs, Parainfluenza Virus, Influenza Virus Type A dan Adenovirus
(Nelson, 2008).

2.2.3 Klasifikasi ISPA


ISPA atau Acute Respiratory Infections (ARI) diklasifikasikan oleh Simoes Eric,
dkk., menjadi infeksi saluran pernafasan atas dan infeksi saluran pernafasan bawah.
Infeksi bagian atas yaitu jika infeksi terjadi dari lubang hidung hingga ke plika vokal di

11
laring. Disebut infeksi saluran pernafasan bawah jika terjadi infeksi dari laring hingga ke
paru – paru bagian bronkiolus dan alveolus (Nelson, 2008).
Infeksi saluran pernafasan bagian atas lebih sering terjadi. Seperti nasofaringitis,
rhinitis, sinusitis, faringitis, tonsilo faringitis dsb. Infeksi saluran pernafasan bagian
bawah memang jarang terjadi, namun akan lebih berbahaya. Contoh dari infeksi saluran
pernafasan bagian bawah ini adalah Pneumonia dan Bronhitis (Nelson, 2008).
a. Nasofaringitis
Sesuai dengan terminologinya, nasofaringitis adalah radang pada saluran
pernafasan sepanjang nasal hingga faring. Nasofaringitis akut merupakan infeksi
yang memang sering terjadi pada anak – anak. Biasanya nasofaringitis pada anak
berawal seperti common cold biasadan bisa lebih meluas melibatkan sinus paranasal
dan telinga tengah (Nelson, 2008).
Secara Patologi, perubahan pertama yang ditimbulkan oleh infeksi pada
nasofaring ini adalah gejala edema pada submukosa yang juga disertai dengan
vasodilatasi. Perubahan ini mempengaruhi struktural dan fungsional silia sehingga
pembersihan mukus pun terganggu. Mukus yang tidak di bersihkan menumpuk,
diperparah dengan produksi mukus yang meningkat pada keadaan infeksi sedang
hingga berat. Pada keadaan ini juga dapat terjadi pengelupasan epitel di lapisan
superfisial sehinga biasanya mukus yang mula – mula encer dapat berubah menjadi
kental bahkan menjadi purulen (Nelson, 2008).
Pada umumnya, gejala demam akan ditemui oleh anak yang berumur 3 bulan
sampai 3 tahun sebagai awal perjalanan dari infeksi ini. Manifestasi awal lain setelah
demam tinggi mendadak yaitu iritabilitas, gelisah dan bersin. Ingus hidung mulai
keluar dan menyebabkan sumbatan dalam rongga hidung.Jika hal ini berlangsung
selama 2-3 hari, akan berisiko menjadi otitis media purulenta. Fase demam berakhir
dari beberapa jam sampai beberapa hari namun demam dapat berulang dengan
komplikasi purulen (Nelson, 2008).
Sebagian besar kegawatan pada infeksi ini terjadi pada bayi yang sudah
mempunyai kebiasan bernafas dengan hidung, sedangkan gejala didapatkan
obstruksi hidung yang disebabkan mukus. Memasukan obat – obatan melalui hidung
lebih efektif untuk melegakan obstruksi hidung (Nelson, 2008).
Obstruksi hidung pada bayi sukar diobati. Drainase yang terbaik biasanya
dapat dicapai saat bayi dalam posisi menelungkup. Dekongestan yang diberikan

12
secara oral juga digunakansecara luas untuk mengurangi mukosa hidung yang
menebal dan melegakan obstruksi hidung (Nelson, 2008).
b. Faringitis Akut
Infeksi akut pada faring biasanya menunjukkan infeksi dimana keterlibatan
utama pada tenggorokan. Keterlibatan faring merupakan sebagian besar infeksi
saluran pernafasan atas dan juga ditemukan berbagai infeksi menyeluru akut.
Faringitis akut juga dapat merujuk pada tonsilitis dan faringolaringitis (Nelson,
2008).
Etiologi faringitis, sama seperti nasofaringitis yaitu bakteri dan virus. Masing
– masing etiologi mampeunyai manifestasi klinis yang berbeda. Faringitis virus
biasanya dianggap merupakan penyakit yang mempunyai tanda awalan berupa
demam, malaise dan anoreksia dengan nyeri khas pada tenggorokan dengan tingkat
nyeri sedang (Nelson, 2008).
Faringitis yang disebabkan oleh streptokokkus yang menyerang anak diatas
umur 2 tahun biasanya dimulai dengan keluhan nyeri kepala, nyeri perut dan
muntah. Gejala ini disertai dengan demam tinggi hingga 40 derajat celcius. Demam
dapat berlanjut selama 1 – 4 hari. Jika kasus berat, demam dapat bertahan hingga 2
minggu (Nelson, 2008).
Faringitis streptokokkus paling baik diobati dengan penisilin. Terapi ini dapat
langsung menunjukkan penurunan demam dalam 24 jam dam memperpendek
perjalanan penyakit dengan rata – rata 1,5 hari (Nelson, 2008).

13
2.3. Tinjauan Teori
2.3.1. Kaitan Status Gizi dengan Imunitas
Hubungan keadaan nutrisi atau status gizi dengan sistem imunitas sudah menjadi
topik penelitian selama beberapa dekade. Gizi yang baik dapat memungkinkan individu
tersebut untuk mendapatkan tumbuh kembang yang optimal. Secara molekuler, bahan
senyawa kimiawi yang dibutuhkan untuk membangun sistem imunitas juga dapat
terpenuhi dengan baik (Rodrigues dkk., 2011).
Sistem imun baik alamiah maupun adaptive, mempunyai respon yang tergantung
kepada leukosit. Keduanya bekerja bersama – sama secara simultan untuk menjaga
pertahanan tubuh. Bagian pertama dari respon imun adalah pertahanan yang dilakukan
oeh sel epitelial sebagai sel yang ada di permukaan. Untuk mikroorganisme atau patogen
yang melakukan invasi akan berurusan dengan fagosit. Jika hal tersebut tdak berhasil
maka sistem imun adaptive akan melanjutkan mempertahankan imun tubuh (Rodrigues
dkk., 2011).
2.3.2. Kaitan Status Gizi dengan Kejadian Infeksi
Studi lapangan yang mengkaji korelasi antara status gizi dan kejadian infeksi sudah
sangat banyak dilakukan. Dari beberapa penelitian tersebut, didapatkan pernyataan bahwa
status gizi dari host akan menggambarkan secara signifikan hasil dari infeksi (Rodrigues
dkk., 2011).
Terdapat multiple mekanisme kaitan status gizi seseorang dengan terjadinya infeksi
, khususnya infeksi bakterial. Sebagai contoh, defisiensi vitamin A dapat menyebabkan
kurangnya produksi mukus. Kekurangan ini menyebabkan bakteri yang seharusnya dapat
terperangkap pada mukus ini dan dibersihkan melalui mucus cleansing flow menjadi
semakin meningkat virulensinya terhadap host. Defek mukus sebagai barrier ini akan
sangat signifikan dalam patogenesis dari infeksi saluran pernafasan dan pencernaan atau
gastrointestinal (Rodrigues, 2011).

14
Infection

Decreased Impaired
Nutrient Intake
barrier
protection
Malabsorption

Impaired
Increased
Immune
Metabolism Function

Malnutrition

Gambar 1. Kaitan Malnutrisi dengan Kejadian Infeksi


Sumber: Rodrigues dkk., 2008

15
2.4. Kerangka Teori

Asupan Makanan
Penyebab Langsung
Demam
Penyakit Infeksi
Diare Mempe –
ngaruhi
status gizi
Ekonomi

Sosial
Penyebab Tidak
Budaya
Langsung
Air Bersih

Pelayanan
Kesehatan
Sumber : Sukirman (2000)

Rhinitis

Sinusitis

Atas Laringitis

Bakteri Faringitis
ISPA
dsb
Virus

Bawah Pneumonia

Bronhitis

Bronhiolitis

Sumber : Nelson (2008)

16
Gangguan
Kelainan Status Gizi
Tumbuh Kembang

Makro dan Mikro Nutrient


tubuh tidak terpenuhi
Defisiensi
Substansi atau
senyawa
pendukung
imunitas tubuh

Imunitas menurun

Barrier
pertahanan tubuh
tidak optimal
Malaria
Rentan Infeksi
ISPA
Bakteri & Virus
Diare

Sumber : Rodrigues (2008)

17
2.5. Kerangka Konsep Penelitian

ISPA ( + )
Status Gizi Anak Kejadian ISPA
ISPA ( - )

2.6. Hipotesis Penelitian


Terdapat hubungan antara Status Gizi seorang anak terhadap kejadian ISPA

18
BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian


Penelitian yang akan saya lakukan menggunakan metode deskriptif analitik dengan
pendekatan cross-sectional, suatu studi penelitian yang menggunakan data dengan
rentang waktu saat ini (present time). Penelitian ini mengambil kesimpulan atas apa yang
terjadi atau hubungan antara 2 variabel yaitu variabel yg dipengaruhi dan yang
mempengaruhi.
Data yang dijadikan variabel mempengaruhi adalah data status gizi anak,
sedangkan yang dijadikan variabel yang dipengaruhi adalah kejadian atau riwayat status
gizi anak. Setelah dilakukan pengambilan data, keduanya akan dihubungkan.

3.2. Populasi dan Sampel Penelitian


3.2.1. Populasi
Populasi target dari penelitian ini adalah anak usia 0 – 5 tahun yang berada
di kota Yogyakarta. Populasi terjangkau adalah bagian dari populasi target yang
dibatasi oleh tempat dan waktu dan dapat dijangkau oleh peneliti (Sastroasmoro
dkk., 2002). Populasi pada penelitian ini adalah semua anak usia 0 – 5 tahun yang
memeriksakan dirinya di RS PKU Muhammadiyah yang berusia 0 – 5 tahun.
3.2.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil dengan cara tertentu sesuai
dengan jenis penelitian yang akan dipakai oleh peneliti. Untuk penelitian ini saya
menggunakan consecutive sampling, suatu teknik pengambilan sampel sederhana yang
masuk kedalam jenis non-probability sampling. Cara dengan teknik ini adalah dengan
mengambil sampel yang memenuhi kriteria tertentu sampai diperoleh sejumlah
sampel.(Sugiarto dkk., 2003)
Kriteria Inklusi untuk penelitian ini adalah :
a. Balita (usia 0 -5 tahun)
Kriteria Ekslusi untuk penelitian ini adalah :
a. Mempunyai Penyakit Kongenital Pernafasan dan pencernaan
b. Mempunyai riwayat BBLR
c. Mempunyai riwayat infeksi saluran pencernaan
d. Mempunyai riwayat infeksi saluran pernafasan kronis

19
Agar penelitian ini menjadi lebih valid, tentu dibutuhkan jumlah sampel yang
cukup dan memenuhi nilai minimal sampel. Dalam penelitian ini, digunakan rumus
menurut Sastroasmoro dkk. (2008), yaitu
( Zα√2. P. Q + Zβ√P1. Q1 + P2. Q2 )2
𝑛=
(P1 − P2) 2
Keterangan.
P2 = 0,004 (Nuryanto, 2012)
Q2 = 1 – P2 = 0,996
P1 = 0,004 + 0,2 = 0,204
Q1 = 1 – P1 = 0,204 = 0,796
P = 1⁄2(0,204 + 0,004) = 0,104
Q = 1 – P = 1 – 1,104 = 0,896
Zα = 1,96 dan Zβ = 0,842

( 1,96√2 . 0,104 .0,896 + 0,842√0,204 . 0,796 + 0,004 . 0,996 )2


𝑛=
(0,2) 2
( 1,96√0,186368 + 0,842√0,162384 + 0,003984 )2
𝑛=
0,04
( 1,96√0,186368 + 0,842√0,166368 )2
𝑛=
0,04
( 0.84613906 + 0,34343693)2
𝑛=
0,04
1,4150911
𝑛=
0,04
𝑛 = 35,377278
n dibulatkan menjadi 36

20
3.3. Variabel Penelitian
3.3.1 Variabel Bebas
Variabel Bebas atau variabel independen adalah variabel yang memberikan
pengaruh. Adapun variabel independen yang akan diapakai dalam penelitian ini adalah
Status Gizi anak.
3.3.2 Variabel Terikat
Variabel terikat atau variabel dependen merupakan variabel yang ingin di evaluasi
atau diteliti akibat dari pengaruh yang disebabkan oleh variabel bebas. Adapun yang
dijadikan variabel dependen pada penelitian ini adalah Kejadian ISPA pada anak.

3.4. Definisi Operasional


3.4.1. Status Gizi Anak
Gambaran dari keadaan nutrisi tubuh anak yang diukur melalui pengukuran Z-
Score atau Antropometri dengan Indikator BB/TB. Pengukuran ini dimaksud untuk
mengetahui keadaan status gizi anak saat sekarang.
Skala : Nominal
Parameter : - Normal
- 2 SD hingga 2 SD
- Tidak Normal
Kurang dari -2 SD
3.4.2. Kejadian ISPA
Pasien yang terdiagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut sesuai dengan Riwayat
Medis sesuai dengan gejala atau tanda berupa batuk, pilek, dan atau sesak nafas, tanpa
atau disertai demam, atau dengan minimal pemeriksaan penunjang berupa gambaran
radiologi thorax dan atau dengan pemeriksaan laboratorium berupa hitung darah lengkap
yang menunjukkan adanya infeksi seperti leukositosis (Depkes. RI., 2002)
Skala : Nominal
Parameter : - Ya
Terdiagnosis ISPA
- Tidak
Tidak terdiagnosis ISPA
3.4.3. Balita
Anak yang berusia 0 – 5 tahun. Pengambilan rentang usia diambil dari hasil
pengkalsifikasian umur oleh WHO tahun 1990 sebagai referensi.

21
3.5. Instrumen Penelitian
Alat dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Riwayat pasien atau rekam medis anak untuk mengetahui adanya riwayat
status gizi serta ISPA
2. Form standar baku antropometri WHO-NCHS

3.6. Tahap Penelitian


Tahapan dari penelitian ini adalah :
1. Tahap Persiapan
a. Menentukan masalah
b. Memilih lokasi penelitian
c. Melakukan studi pendahuluan
d. Menyusun Proposal Penelitian
e. Melakukan Seminar Proposal Penelitian
2. Tahap Pelaksanaan
a. Izin Penelitian
b. Melakukan Pengambilan Data
c. Melakukan Pengolahan Data
3. Tahap Pelaporan
a. Menyusun laporan hasil penelitian
b. Seminar Hasil Penelitian

3.7. Rencana Analisis Data


Data penelitian ini dianalisis secara statistik dengan menggunakan bantuan
software Statistical Package for The Social Science (SPSS) for Windows. Untuk melihat
hubungan antara status gizi yang bersifat nominal dengan kejadian ISPA yang juga
bersifat nominal, dilakukan uji Chi-Square.

22
Tabel 2. Dummy Table
Diagnosis ISPA
Total
Ya Tidak
Tidak Normal
Status Gizi
Normal
Total

3.8. Etika Penelitian


3.8.1 Permohonan Ijin
Penelitian dilakukan dengan mengajukan permohonan ijin kepada Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Indonesia dan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta
3.8.2 Informasi
Sesuai dengan etika kedokteran bahwa rekam medis hanya dapat dilihat oleh
dokter dan pasien yang bersangkutan. Untuk itu, Semua informasi dan data yang
diperoleh akan digunakan untuk keperluan penelitian dan akan dijaga kerahasiaannya.

23
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Dari penelitian yang dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta,
didapatkan populasi sejumlah 1201 pasien anak -anak yang pernah di rawat inap di
bangsal Ibnu Sina dalam periode Juli hingga Desember 2012.
Dengan merujuk kepada cara pengambilan data serta besar sampel dan
mengendalikan kriteria inkusi dan kriteria ekslusi, didapatkan 50 pasien balita (besar
sampel minimal = 35).
Analisis Univariat
Pada penelitian ini, 50 pasien yang saya dapat terdiri atas 32 laki – laki atau 64%
dan perempuan sebanyak 18 atau 36%.

Gambar 2. Gambaran frekuensi dari jenis kelamin pasien yang dijadikan sampel
penelitian setelah pengambilan sampel.

Untuk pengelompokan umur, didapatkan pasien usia 0-12 bulan sebanyak 17


orang (34%), usia 13-24 bulan sebanyak 13 orang (26%), usia 25-36 bulan sebanyak 7
orang (14%), usia 37-48 sebanyak 8 orang (16%) dan usia 49 – 50 bulan sebanyak 5
orang (10%).

24
Gambar 3. Gambaran Frekuensi dari Usia yang dikelompokan setiap 12 bulan.
Analisis Bivariat.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin membandingkan antara keadaan status gizi
melalui perhitungan Z Score yang didapat dari pengukuran Antopometri dengan kejadian
ISPA yang ditegakan melalui diagnosis dokter yang menangani pasien tersebut di RS
PKU Muhammadiyah.
Unsur perhitungan Z-Score menggunakan rumus
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐴𝑛𝑡𝑜𝑝𝑜𝑚𝑒𝑡𝑟𝑖 − 𝑀𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛
1 𝑆𝐷 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑀𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛

Nilai 1 SD dari median :


- Jika Nilai Antopometri < Median = Median – (-1 SD)
- Jika Nilai Antopometri > Median = +1 SD – Median
Adapun nilai SD diambil dari standar baku WHO NCHS yang telah diresmikan oleh
MenKes RI pada tahun 2010 (Terlampir). Nilai Antopometri yang diambil adalah
perbandingan antara BB/U. Untuk intepretasi hasil masih menggunakan sub bab Definisi
Operasional. Adapun keadaan status gizi setelah dikategorikan sesuai Z Score adalah
ditemukan sebanyak 80% status gizi normal atau sebanyak 40 orang pasien dan sebesar
20% status gizi tidak normal atau sebanyak 10 orang pasien.

Gambar 4. Gambaran frekuensi dari Kategori Status Gizi melalui Penilaian Z


Score dengan nilai baku standar WHO NCHS yang disahkan oleh MenKes RI tahun
2010.

25
Dari hasil diagnosis dalam rekam medis, didapatkan data 22 pasien terdiagnosis
ISPA (44%) dan sisanya sebanyak 28 pasien tidak terdiagnosis ISPA (56%). Sebagai
bentuk spesifik, dalam 50 pasien tersebut ada yang mengidap Bronkhitis sebanyak 6
orang (12%), Pneumonia 1 orang (2%) dan ISPA atas berupa faringitis dan sebagainya
sebanyak 15 orang pasien (30%).
Setelah dua unsur tersebut diklarifikasi, dilanjutkan dengan penghitungan
korelasi dengan menggunakan Chi-Square untuk mengetahui apakah ada hubungan antara
Status Gizi dengan Kejadian ISPA. Hasilnya adalah sebagai berikut.
Diagnosis ISPA
Jumlah P value RP (CI 95%)
Ya Tidak
Keadaan Tidak Normal 6 4 10 RP = 1,5
Status Gizi Normal 16 24 40 0,254 0,245 – 0,515
Jumlah 22 28 50
Tabel 3. Distribusi Keadaan status gizi dengan kejadian ISPA di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta.
Dari perhitungan menggunakan analisis Chi Square didapatkan hasil bahwa keadaan
status gizi dengan kejadian ISPA di RS PKU Muhammadiyah memiliki nilai p = 0,254
dengan 1 sel (25%) mempunya hitung <5. Hal ini berarti p > 0,005 atau hasil akhirnya
tidak ditemukan signifkansi yang besar. Dari perhitungan Rasio Prevalensi dengan CI
95% (0,245 – 0,515) didapatkan nilai RP sebesar 1,5.

Rasio Prevalensi (RP) = A/(A+B) : C/(C+D)


= 6/(6+4) : 16/(16+24)
= 1,5

26
4.2. Pembahasan

Perhitungan Status Gizi dengan penggunaan Antopometri yang terbaik adalah


menggunakan BB/TB atau dengan kombinasi antara BB/U, TB/U dan BB/TB. Namun,
dikarenakan faktor pendokumentasian yang kurang, sehingga pengukuran Status Gizi
Antopometri yang peneliti lakukan hanya terbatas pada BB/U. Perhitungan Status Gizi
dengan pendekatan BB/U mempunyai keuntungan yang sejalan dengan metode penelitian
Cross Sectional yakni dapat mengetahui status gizi anak pada saat itu juga atau present
time. Selain itu, hasil interpretasinya juga akan cukup membantu dan lebih mudah
dipahami oleh pembaca karena menggunakan hasil parameter kurus (-3 SD hingga -2
SD), normal (-2 SD hingga 2 SD), gemuk (lebih dari 2 SD) dan buruk (kurang dari –3
SD). Seiring dengan teori – teori sebelumnya yang telah dikemukakan di tinjauan
pustaka, sebagaian besar memakai parameter kurus, normal atau gemuk untuk
disandingkan dengan suatu kejadian penyakit. Dalam penelitian serupa yang dikerjakan
oleh Nuryanto, dituliskan bahwa Nuryanto menggunakan parameter berat badan dalam
KMS untuk dikaitkan dalam pengukuran status gizi yang akan dikaitkan dengan kejadian
ISPA.
Dari cara pengambilan data, peneliti melakukan pengambilan data dari rekam
medis secara berurutan dengan melihat kriteria inklusi dan ekslusi. Dengan metode ini
diharapkan adanya randomisasi dari status gizi yang ingin saya dapatkan sebagai awal
pijakan penelitian ini. Namun, walaupun jumlah minimal sampel sudah dipenuhi, ternyata
proporsi untuk status gizi lebih banyak di dominasi oleh status gizi baik (-2 SD hingga +2
SD) yaitu 80% atau 40 orang pasien. Selain itu, data yang dipakai dalam penelitian ini
hanyalah data sekunder yang sifatnya terbatas.
Diagnosis ISPA yang dipakai untuk kriteria penelitian, memang direncanakan
untuk menggunakan diagnosis dokter. Namun di lapangan, peneliti harus menambahkan
kejadian penyakit ke dalam kriteria karena terpisah diagnosis dari ISPA seperti Faringitis,
Bronkhitis Akut, Pneumonia dsb.
Dari Hasil Chi-Square yang peneliti lakukan sebagai penunjang, ternyata
Hubungan Status Gizi terhadap Kejadian ISPA pada Anak usia 1 – 5 tahun di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta periode 1 Juli hingga 31 Desember 2012 mempunyai nilai
P= 0,254. Nilai P yang lebih dari 0,005 ini berarti tidak terdapat hubungan yang
signifikan. Dari nilai RP status gizi dengan kejadian ISPA mempunyai nilai 1,5 atau lebih

27
dari 1 yang artinya status gizi yang tidak normal dapat dijadikan sebagai faktor resiko
terjadinya kejadian ISPA.
Hasil yang peneliti dapat, berbeda dengan hasil yang ada pada penelitian
sebelumnya pada rujukan keaslian penelitian. Dari 5 keaslian penelitian, seluruhnya
mempunyai hasil nilai P kurang dari 0,05 atau menunjukkan adanya hubungan antara
status gizi dengan kejadian ISPA.
Berdasarkan penelitian Garba dan Mbofung, kejadian mlanutrisi berkaitan erat
dengan kejadian infeksi khususnya infeksi parasitik. Dijelaskan dalam pendahuluannya,
malnutrisi merupakan keadaan yang dapat memudahkan parasit atau mikroorganisme
melakukan infeksi terhadap tubuh manusia karena turunnya pembentuk imunitas pada
tubuh tersebut. Dan hasil penelitian Garba dan Mbofung menunjukkan malnutrisi berat
dan sedang mempunyai jumlah 98 orang yang terinfeksi dan nutrisi yang normal
mempunyai jumlah 73 orang yang terinfeksi.

Perbedaan pada hasil ini terjadi karena jumlah balita dengan status gizi normal
(secara parameter) lebih banyak dibandingkan dengan jumlah status giz tidak normal.
Keadaan status gizi balita normal di RS PKU Muhammadiyah periode 1 Juli hingga 31
Desember 2012 berjumlah 40 orang, sedangkan yang tidak normal berjumlah 10 orang.
Hasil ini juga pernah didapati dalam penelitian Ike Suhandayani yang berjudul
“Faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA” pada tahun 2007 dengan nilai
P =0,78, dengan OR : 2,6 dan CI 95%. Proporsi gizi normal yang didapat sejumlah 87,9%
sedangkan untuk status gizi tidak normal adalah sejumlah 12,1%.
Selain itu, asupan makanan yang sangat berpengaruh pada keadaan status gizi
juga berperan untuk mengurangi kerentanan terhadap kejadian infeksi. Status gizi yang
baik, diperoleh dari asupan zat gizi yang baik pulasehingga dapat digunakan untuk
pertumbuhan, perkembangan dan meningkatkan daya tahan tubuh. (Sjahmien M, 2000)
Secara statistik, penilaian membuktikan tidak adanya korelasi, namun secara
lengkap, sebagian besar Status gizi normal yang terdiagnosis ISPA mempunyai nilai
status gizi yang berada di ambang bawah atau mendekati angka terbawah dari normal. 6
pasien dalam penelitian mempunyai status gizi normal yang terdiagnosis ISPA,
mempunyai nilai status gizi dari rentang -2SD hingga -1SD atau angka bawah dari
interpretasi Status Gizi Antropometri. Keberadaan hal ini ikut mendukung bahwa secara
realitanya status gizi yang kurang dapat menjadi faktor resiko dari kejadian ISPA. Untuk
itu, pentingnya menjaga status gizi anak semenjak dini sangatlah penting untuk

28
pertumbuhan dan perkembangan, khususnya dalam membangun imunitas tubuh sehingga
tidak mudah terkena infeksi.

29
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Secara statistika, didapatkan nilai P= 0,254 menunjukan bahwa P>0,05 yang
berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi anak dengan kejadian ISPA.
Dari perhitungan RP, didapatkan hasil RP 1,5 atau lebih dari 1, CI 95% (0,245 – 0,515)
hal ini menunjukkan bahwa keadaan status gizi dapat berpengaruh sebagai faktor resiko
terhadap kejadian ISPA. Data diatas menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
status gizi dengan kejadian ISPA di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode 1 Juli
hingga 31 Desember 2012.

5.2. Saran
1. Karena penelitian ini menggunakan status gizi, diperlukan adanya penelitian yang
lebih lanjut dengan sifat case control atau cohort untuk mengetahui apakah ada
perbedaan antara anak yang mengalami penurunan status gizi yang dibandingkan
dengan anak dengan status gizi normal dengan kejadian ISPA dalam perjalanan
penelitiannya.
2. Meskipun penelitian ini sudah mememenuhi besar sampel minimum, namun
untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambah lagi jumlah dari sampel
yang akan di teliti.
3. Meskipun secara statistik, status gizi tidak berhubungan secara signifikan dengan
kejadian ISPA, namun tetap didapatkan status gizi yang tidak normal
menyebabkan kejadian ISPA lebih banyak. Selain itu , 6 pasien yang mempunyai
Rentang status gizi terbawah terdiagnosis ISPA. Oleh karena itu, Penjagaan
status gizi tetap harus dijadikan bahan pemikiran yang penting dalam menjaga
pertumbuhan dan perkembangan anak agar tetap terjaga dari penyakit dan hal
negatif lainnya.

30

Anda mungkin juga menyukai