Anda di halaman 1dari 32

BAHAN TEKNIK

1. Pengujian Bahan Teknik


a. Uji Kekerasan Brinell
Pada umumnya kekerasan adalah ketahanan terhadap deformasi. Kekerasan
pada logam merupakan ukuran ketahanannya terhadap deformasi plastik atau deformasi
permanen (Dieter, 1987). Untuk para insinyur perancang, kekerasan sering diartikan
sebagai ukuran kemudahan dan kuantitas khusus yang menunjukkan sesuatu mengenai
kekuatan dan perlakuan panas dari suatu logam. Terdapat tiga jenis umum ukuran
kekerasan, tergantung pada cara melakukan pengujian, yaitu: (1) Kekerasan goresan
(scratch hardness); (2) Kekerasan lekukan (indentation hardness); (3) Kekerasan
pantulan (rebound). Untuk logam, hanya kekerasan lekukan yang banyak menarik
perhatian dalam kaitannya dengan bidang rekayasa. Terdapat berbagai macam uji
kekerasan lekukan, antara lain: Uji kekerasan Brinell, Vickers, Rockwell, Knoop, dan lain
sebagainya.
Metode uji kekerasan yang diajukan oleh J.A. Brinell pada tahun 1900 ini
merupakan uji kekerasan lekukan yang pertama kali banyak digunakan serta disusun
pembakuannya (Dieter, 1987). Uji kekerasan in berupa pembentukan lekukan pada
permukaan logam memakai bola baja yang dikeraskan yang ditekan dengan beban
tertentu. Beban diterapkan selama waktu tertentu, biasanya 30 detik, dan diameter
lekukan diukur dengan mikroskop, setelah beban tersebut dihilangkan. Permukaan yang
akan dibuat lekukan harus relatif halus, rata dan bersih dari debu atau kerak.

1
Gambar 2.1. Parameter-parameter
dasar pada pengujian Brinell (Dieter,
1987)

Angka kekerasan brinell (BHN) dinyatakan sebagai beban P dibagi luas permukaan
lekukan. Pada prakteknya, luas ini dihitung dari pengukuran mikroskopik panjang
diameter jejak. BHN dapat ditentukan dari persamaan berikut:

P 2P
BHN = = (1)
(D / 2)(D − D2 − d2 ) (D)(D − D2 − d2 )

dengan: P = beban yang digunakan (kgf)


D = diameter bola baja (mm)
d = diameter lekukan (mm)

Dari Gambar 2.1, Dapat dilihat bahwa d=DsinΦ. Dengan memasukkan harga ini ke dalam
persamaan (1) akan dihasilkan bentuk persamaan kekerasan brinell yang lain, yaitu:

P
BHN = 2 (2)
( / 2)D (1 − cos )

Untuk mendapatkan BHN yang sama dengan beban atau diameter bola yang tidak
standar, diperlukan keserupaan lekukan secara geometris. Keserupaan geometris akan
diperoleh, selama besar sudut 2Φ tidak berubah. Agar Φ dan BHN tetap konstan, beban
dan diameter bola harus divariasikan sehingga memenuhi perbandingan:

P1 P2 P3
2
= 2
= (3)
D 1 D 2 D 23

Tanpa menjaga P/D2 konstan, yang dalam percobaan sering sangat merepotkan, sehingga
BHN akan bervariasi terhadap beban.

2
Jejak penekanan yang relatif besar pada uji kekerasan brinell memberikan
keuntungan dalam membagikan secara pukul rata ketidak seragaman lokal. Selain itu, uji
brinell tidak begitu dipengaruhi oleh goresan dan kekasaran permukaan dibandingkan uji
kekerasan yang lain. Di sisi lain, jejak penekanan yang besar ukurannya, dapat
menghalangi pemakaian uji ini untuk benda uji yang kecil atau tipis, atau pada bagian yang
kritis terhadap tegangan sehingga lekukan yang terjadi dapat menyebabkan kegagalan
(failure).

b. Uji Kekerasan Vickers


Uji kekerasan vickers menggunakan indentor piramida intan yang pada dasarnya
berbentuk bujursangkar. Besar sudut antar permukaan-permukaan piramida yang saling
berhadapan adalah 1360. Nilai ini dipilih karena mendekati sebagian besar nilai
perbandingan yang diinginkan antara diameter lekukan dan diameter bola penumbuk pada
uji kekerasan brinell (Dieter, 1987). Angka kekerasan vickers didefinisikan sebagai beban
dibagi luas permukaan lekukan. Pada prakteknya, luas ini dihitung dari pengukuran
mikroskopik panjang diagonal jejak. VHN dapat ditentukan dari persamaan berikut:

2P sin (θ / 2) (1,854)P
VHN = = (4)
d2 d2

dengan: P = beban yang digunakan (kg)


d = panjang diagonal rata-rata (mm)
 = sudut antara permukaan intan yang berhadapan = 1360

Karena jejak yang dibuat dengan penekan piramida serupa secara geometris dan tidak
terdapat persoalan mengenai ukurannya, maka VHN tidak tergantung kepada beban. Pada
umumnya hal ini dipenuhi, kecuali pada beban yang sangat ringan. Beban yang biasanya
digunakan pada uji vickers berkisar antara 1 hingga 120 kg. tergantung pada kekerasan
logam yang akan diuji. Hal-hal yang menghalangi keuntungan pemakaian metode vickers
adalah: (1) Uji ini tidak dapat digunakan untuk pengujian rutin karena pengujian ini sangat
lamban, (2) Memerlukan persiapan permukaan benda uji yang hati-hati, dan (3) Terdapat
pengaruh kesalahan manusia yang besar pada penentuan panjang diagonal.

3
a b c

Gambar 2.2. Tipe-tipe lekukan piramid intan: (a) lekukan yang sempurna, (b) lekukan
bantal jarum, (c) lekukan berbetuk tong (Dieter, 1987)

Lekukan yang benar yang dibuat oleh penekan piramida intan harus berbentuk bujur
sangkar (gambar 2.2a). Lekukan bantal jarum (gambar 2.2b) adalah akibat terjadinya
penurunan logam di sekitar permukaan piramida yang datar. Keadaan demikian terdapat
pada logam-logam yang dilunakkan dan mengakibatkan pengukuran panjang diagonal
yang berlebihan. Lekukan berbentuk tong (gambar 2.2c) akibat penimbunan ke atas logam-
logam di sekitar permukaan penekan tedapat pada logam-logam yang mengalami proses
pengerjaan dingin. Tambahan pengetahuan dapat diakses melalui laman
https://www.youtube.com/watch?v=ipdiYGW4ucY.

c. Uji Kekerasan Brinell Palupoldy


Metode pengujian kekerasan ini dibuat untuk pemakaian praktis dilapangan atau
industri. Dengan metode pengujian ini benda kerja yang hendak diuji kekerasannya tidak
perlu dipotong atau dibawa ke laboratorium, karena peralatan pengujian ini praktis dan
dapat dibawa keluar dari laboratorium. Dengan demikian untuk benda kerja dengan ukuran
yang besar yang tidak mungkin dibawa ke dalam laboratorium dapat diuji kekerasannya
dengan metode ini.
Pada pengujian kekerasan brinell palu poldy digunakan benda uji standar yang
telah diketahui harga kekerasannya sebagai referensi. Maka berdasarkan persamaan (1)
kekerasan benda uji standar adalah:

2P
HB1 = kg / mm2 (5)
2 2
(D)(D − D − d ) 1

dan kekerasan benda kerja yang hendak diukur kekerasannya adalah:


2P
HB 2 = kg / mm2 (6)
2 2
(D)(D − D − d ) 2

4
dengan: D = diameter indentor = 10 mm
d1 = diameter indentasi pada benda uji standar (mm)
d2 = diameter indentasi pada benda kerja (mm)
HB1 = kekerasan benda uji satndar yang sudah diketahui (kg/mm2)
HB2 = kekerasan benda kerja yang hendak diukur (kg/mm2)
P = Gaya pemukulan (kg)
Dengan substitusi, dari persamaan (5) dan (6) dapat dihitung harga kekerasan benda kerja.

P = Gaya pemukulan

d1
Benda uji standar (HB1)

Indentor bola baja


D

Benda kerja (HB2)

d2

Gambar 2.3. Skema pengujian kekerasan Brinell Palu Poldy

d. Uji Kekerasan Rockwell B


Pengujian rockwell mirip dengan pengujian brinell, yakni angka kekerasan yang
diperoleh merupakan fungsi derajat indentasi. Beban dan indentor yang digunakan
bervariasi tergantung pada kondisi pengujian. Berbeda dengan pengujian brinell, indentor
dan beban yang digunakan lebih kecil sehingga menghasilkan indentasi yang lebih kecil
dan lebih halus. Banyak digunakan di industri karena prosedurnya lebih cepat (Davis,
Troxell, dan Wiskocil, 1955).
Indentor atau “penetrator” dapat berupa bola baja atau kerucut intan dengan ujung
yang agak membulat (biasa disebut “brale”). Diameter bola baja umumnya 1/16 inchi, tetapi
terdapat juga indentor dengan diameter lebih besar, yaitu 1/8, 1/4, atau 1/2 inchi untuk bahan-
bahan yang lunak. Pengujian dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan beban minor
10 kg, dan kemudian beban mayor diaplikasikan. Beban mayor biasanya 60 atau 100 kg
untuk indentor bola baja dan 150 kg untuk indentor brale. Mesikpun demikian, dapat
digunakan beban dan indentor sesuai kondisi pengujian.
Karena pada pengujian rockwell, angka kekerasan yang ditunjukkan merupakan kombinasi
antara beban dan indentor yang dipakai, maka perlu diberikan awalan huruf pada angka
kekerasan yang menunjukkan kombinasi beban dan penumbuk tertentu untuk skala beban
yang digunakan.

5
Dial pada mesin terdiri atas warna merah dan hitam yang didesain untuk
mengakomodir pengujian skala B dan C yang seringkali dipakai. Skala kekerasan B
digunakan untuk pengujian dengan kekerasan medium seperti baja karbon rendah dan baja
karbon medium dalam kondisi telah dianil (dilunakkan). Range kekerasannya dari 0–100.
Bila indentor bola baja dipakai untuk menguji bahan yang kekerasannya melebihi B 100,
indentor dapat terdefomasi dan berubah bentuk. Selain itu, karena bentuknya, bola baja
tidak sesensitif brale untuk membedakan kekerasan bahan-bahan yang keras. Tetapi jika
indentor bola baja dipakai untuk menguji bahan yang lebih lunak dari B 0, dapat
mengakibatkan pemegang indentor mengenai benda uji, sehingga hasil pengujian tidak
benar dan pemegang indentor dapat rusak.

Tabel 2.1. Skala kekerasan Rockwell dan huruf awalannya (Davis, Troxell, dan Wiskocil, 1955)
Simbol skala dan
Indentor Beban penekanan (kg) Warna dial
huruf awalan
Kelompok 1:
B Bola baja 1/16 –inchi 100 Merah
C Brale 150 Hitam
Kelompok 2:
A Brale 60 Hitam
D Brale 100 Hitam
E Bola baja 1/8 –inchi 100 Merah
F Bola baja 1/16 –inchi 60 Merah
G Bola baja 1/16 –inchi 150 Merah
H Bola baja 1/8 –inchi 60 Merah
K Bola baja 1/8 –inchi 150 Merah
Kelompok 3:
L Bola baja 1/4 –inchi 60 Merah
M Bola baja 1/4 -inchi 100 Merah
P Bola baja 1/4 –inchi 150 Merah
R Bola baja 1/2 –inchi 60 Merah
S 1
Bola baja /2 –inchi 100 Merah
V Bola baja 1/2 –inchi 150 Merah

Tambahan pengetahuan dapat diakses melalui laman


https://www.youtube.com/watch?v=iditV5dwyrw.

e. Uji Impak Charpy


Beberapa bahan dapat tiba-tiba menjadi getas dan patah karena perubahan
temperatur dan laju regangan, walaupun pada dasarnya logam tersebut liat. Gejala ini biasa
disebut transisi liat getas, yang merupakan hal penting ditinjau dari penggunaan praktis
bahan (Surdia dan Saito, 1995). Patahan patah getas bersifat getas sempurna, yaitu tanpa
adanya deformasi plastis sama sekali, jadi berbeda dengan bidang slip biasa, patah terjadi
pada bidang kristalografi spesifik pada bidang pecahan. Permukaan patah dari bidang

6
pecahan mempunyai kilapan yang menunjukkan pola Chevron secara makrokospik pada
arah yang menuju titik permulaan patah.

Gambar 2.4. Contoh hasil pengujian impak


charpy. Paling kiri memperlihatkan
patah ulet. Semakin ke kanan
memperlihatkan patahan yang
semakin getas.

Titik permulaan patah

Pola Chevron

Gambar 2.5. Pola Chevron pada permukaan patah getas

Patah getas terjadi pada pangkal takikan benda uji. Bahan tiba-tiba patah tanpa
deformasi plastis. Secara praktis patahan buatan seperti itu tidak pernah terjadi pada
struktur mesin, tetapi mesin selalu mempunyai bagian yang terdapat konsentrasi tegangan
dan mungkin mempunyai cacat pada lasan, jadi adanya cacat yang bekerja seperti takikan
tidak dapat dihindari, meskipun bahan tersebut merupakan bahan yang ulet.
Pengujian impak charpy banyak dipergunakan untuk menentukan kualitas bahan.
Batang uji dengan takikan 2 mm V notch, paling banyak dipakai. Di samping itu lebih dari
30 jenis batang uji diusulkan termasuk jenis yang memancing retak lelah. Pada pengujian
kali ini akan dipergunakan batang uji berbentuk bulat berdiameter 8 mm dengan takikan

7
bentuk V (V notch). Pengujian impak charpy dilakukan untuk mengetahui sifat liat dari
bahan yang ditentukan dari banyaknya energi yang dibutuhkan untuk mematahkan batang
uji dengan sekali pukul. Tambahan pengetahuan dapat diakses melalui laman
https://www.youtube.com/watch?v=b_lcfRoe4-8.

f. Uji Makro dan Mikro


Pemeriksaan fisis terhadap logam dilakukan untuk mendukung analisis sifat-sifat
yang dimiliki oleh logam. Logam-logam yang telah mengalami perlakuan tertentu baik
perlakuan fisik seperti penempaan, pengerolan, ekstrusi, dsb., maupun perlakuan termal
seperti pencelupan dingin, pelunakan, normalisir, dsb., ataupun bahkan kombinasi
perlakuan fisik dan termal seperti perlakuan temo-mekanikal akan mempunyai sifat-sifat
yang berlainan satu dengan yang lainnya. Pemeriksaan fisis dapat dibedakan atas
pemeriksaan secara makro dan mikro. Pemeriksaan mikro membutuhkan alat bantu berupa
mikroskop optik. Scanning Electron Microscope (SEM), atau bahkan Transmission Electron
Microscope (TEM), sedangkan pemeriksaan makro dapat dilakukan dengan mata biasa.

Pemeriksaan Makro
Pemeriksaan makro biasanya dilakukan untuk mengetahui jenis pengerjaan
mekanis yang telah dialami oleh sebuah komponen. Pengerjaan mekanis seperti
pengerolan, ekstrusi, penempaan, penekanan, dan sebagainya akan menyebabkan bahan
“mengalir” sesuai proses-proses yang diberikan terhadapnya. Bentuk aliran bahan ini dapat
diamati dengan “merebus” komponen dalam larutan etsa asam klorida.
Pemeriksaan Mikro
Pemeriksaan visual dengan mikroskop bertujuan untuk mengungkap dan
memperoleh informasi struktur dalam skala mikro yang tidak dapat diamati dengan mata
biasa. Dengan pemeriksaan menggunakan mikroskop dapat diamati struktur mikro logam,
baik itu berupa besar butirnya, arah dan susunan butir dan fasa-fasa yang ada di dalam
kristal logam. Detail struktur mikro yang dapat diamati tergantung pada skala
perbesarannya. Untuk memperoleh gambar struktur mikro yang jelas dan baik sangat
bergantung pada persiapan benda kerja dan proses pengetsaannya. Permukaan benda
kerja harus rata dan sejajar antara permukaan atas dan bawahnya. Permukaan yang akan
diamati dihaluskan dengan kertas ampelas dan dipoles sehingga halus dan tidak terdapat
goresan-goresan, kemudian dietsa dengan larutuan yang sesuai dengan jenis logamnya.

8
a. Uji Tarik
Uji tarik rekayasa banyak dilakukan untuk melengkapi informasi rancangan dasar
kekuatan suatu bahan dan sebagai data pendukung bagi spesifikasi bahan (Dieter, 1987).
Pada uji tarik, benda uji diberi beban gaya tarik sesumbu yang bertambah secara kontinyu,
bersamaan dengan itu dilakukan pengamatan terhadap perpanjangan yang dialami benda
uji (Davis, Troxell, dan Wiskocil, 1955). Kurva tegangan regangan rekayasa diperoleh dari
pengukuran perpanjangan benda uji.
Tegangan yang dipergunakan pada kurva adalah tegangan membujur rata-rata dari
pengujian tarik yang diperoleh dengan membagi beban dengan luas awal penampang
melintang benda uji.
P
= (7)
A0

Regangan yang digunakan untuk kurva tegangan regangan rekayasa adalah


regangan linier rata-rata, yang diperoleh dengan membagi perpanjangan panjang ukur
(gage length) benda uji, ΔL, dengan panjang awalnya, L0.

L L − L 0
= = (8)
L0 L0

P P

L0
Gambar 2.6. Benda kerja bertambah
panjang ΔL ketika diberi beban P

P P

L0 ΔL

Pada waktu menetapkan regangan harus diperhatikan:


- Pada baja yang lunak sebelum patah terjadi pengerutan (pengecilan penampang)
yang besar.
- Regangan terbesar terjadi pada tempat patahan tersebut, sedang pada kedua ujung
benda uji paling sedikit meregang.

9
σ N/mm2

B
σB

σF
Y F
R
σR
Y’


ε%
A F’ F’’

Gambar 2.7. Kurva umum tegangan - regangan hasil uji tarik.

Kurva tegangan regangan hasil pengujian tarik umumnya tampak seperti pada
gambar 2.7. Dari gambar tersebut dapat dilihat:
1. AR garis lurus dan disebut daerah elastis. Regangan yang diperoleh pada daerah
ini disebut regangan elastis. Pada bagian ini pertambahan panjang sebanding
dengan pertambahan beban yang diberikan. Pada bagian ini, berlaku hukum Hooke:
P L
L =  0 (9)
A E

dengan:
ΔL = pertambahan panjang benda kerja (mm)
L0 = panjang benda kerja awal (mm)
P = beban yang bekerja (N)
A = luas penampang benda kerja (mm2)
E = modulus elastisitas bahan (N/mm2)

Dari persamaan (7) dan (8), bila disubstitusikan ke persamaan (9), maka akan diperoleh:


E = (10)

2. Y disebut titik luluh (yield point) atas.


3. Y’ disebut titik luluh bawah.

10
4. Pada daerah YY’ benda kerja seolah-olah mencair dan beban naik turun disebut
daerah luluh.
5. Pada titik B beban mencapai maksimum dan titik ini biasa disebut tegangan tarik
maksimum atau kekuatan tarik bahan (B). Pada titik ini terlihat jelas benda kerja
mengalami pengecilan penampang (necking).
6. Setelah titik B, beban mulai turun dan akhirnya patah di titik F (failure)
7. Titik R disebut batas proporsional, yaitu batas daerah elastis dan daerah plastis.
8. Melewati batas proporsional sampai dengan benda kerja putus, biasa dikenal
dengan daerah plastis dan regangannya disebut regangan plastis.
9. Jika benda kerja putus telah patah disambungkan lagi (dijajarkan) kemudian diukur
pertambahan panjangnya (ΔL), maka regangan yang diperoleh dari hasil
pengukuran ini adalah regangan plastis (AF’).
10. F’F” adalah regangan elastis. Setelah putus, sebagian perpanjangan benda kerja
akan melenting balik. Sehingga perpanjangan yang melenting balik ini tidak dapat
diukur menggunakan alat ukur. Perpanjangan benda kerja yang melenting balik ini
disebut regangan elastis.
11. Persamaan 11 disebut juga Modulus Elastisitas atau Modulus Young yang
menunjukkan kekakuan benda. Persamaan 11 merupakan perbandingan antara
tegangan (sumbu vertikal) dengan regangan (sumbu horisontal) pada daerah elastis.
Perbandingan tersebut merupakan tangen sudut α, yaitu sudut antara regangan
(sumbu horisontal) dengan garis lurus AR. Jika sudut α semakin besar, garis AR
akan semakin tegak, maka berarti bahan semakin kaku.
12. Regangan yang ditunjukkan oleh perpanjangan pada sumbu horisontal
menggambarkan sifat keuletan (ductilty) bahan. Semakin panjang regangan, maka
berarti bahan semakin ulet.
13. Luas bidang dibawah kurva, yaitu bidang yang dibatasi oleh garis-garis
ARYY’BF”F’A disebut Modulus of Resilence yang menggambarkan kemampuan
bahan menyerap energi yang terjadi saat diberikan gaya tarik selama pengujian
sampai benda kerja putus. Semakin luas bidang dibawah kurva, maka semakin
besar energi yang mampu diserap bahan yang berarti bahan semakin tangguh.

Kekuatan tarik dan kekerasan merupakan indikator ketahanan logam terhadap


deformasi plastis. Konsekuensinya adalah terdapat korelasi secara kasar untuk kekuatan
tarik (σB) sebagai fungsi kekerasan Brinell untuk besi tuang, baja, dan kuningan. Untuk
sebagian besar baja hubungan HB dengan σB adalah (Callister, 1997: 135):

σB = 0,345 X HB (11)

dengan : σB dalam MPa (N/mm2)


HB dalam N/mm
Proses uji tarik dapat diakses melalui https://www.youtube.com/watch?v=ACCPOW_H-Nw

11
b. Uji Geser
Merupakan hal yang umum logam diaplikasikan dalam desain teknik dengan
pembebanan geser. Baut, paku keling dan pasak mendapat beban sedemikian rupa
sehingga akan membelah komponen tersebut menjadi dua bagian (Budinski,1999).
Kekuatan geser suatu bahan adalah tegangan yang menyebabkan komponen rusak/patah
akibat beban geser. Pengujian geser dapat dilakukan pada mesin uji tarik menggunakan
peralatan tambahan khusus.
Bagian yang tergeser
Gambar 2.8. Contoh paku
keling yang menerima beban
P
geser tunggal
P

Bagian yang tergeser

P Gambar 2.9. Contoh paku


keling yang menerima beban
P
geser ganda
P

Pada gambar 2.8, ditunjukkan bagian paku keling yang menerima beban geser P
Newton. Tegangan yang terjadi pada bagian yang tergeser adalah: σ=P/A dengan A adalah
luas penampang melintang paku keling. Untuk penampang bulat, maka A = ¼D2, dengan
D adalah diameter penampang. Jadi dapat dituliskan tegangan geser tunggal yang terjadi
adalah:

4P
σ= (12)
πD 2

Pada beberapa konstruksi tertentu dijumpai paku keling atau baut pengencang yang
menerima beban geser ganda (gambar 2.9). Dalam hal demikian maka luas penampang
yang menahan beban geser menjadi dua kali, sehingga paku keling atau baut akan
menerima tegangan geser sebesar σ=P/2A. Selanjutnya untuk kondisi pembebanan geser
ganda, besarnya tegangan geser ganda yang terjadi adalah:

12
2P
σ= (13)
πD 2

Pemahaman mengenai sifat-sifat kekuatan geser sangat penting dalam


perancangan konstruksi. Sifat bahan terhadap geseran harus diperhatikan pada konstruksi
yang memakai baut pengencang atau semacamnya yang menerima beban geser.
Sayangnya, sering agak sulit untuk mendapatkan data-data tentang kekuatan geser bahan
yang baik dari literatur. Dalam hal demikian dapat digunakan sebuah hubungan
(persamaan) konservatif yang sangat berguna, yaitu (Budinski, 1999):

Kekuatan Geser ≈ 40% Kekuatan Tarik

1. Sifat- Sifat Logam, Non Logam dan Komposit


Bahan Teknik yang terklasifikasi di industri terbagi menjadi tiga yaitu logam, non logam dan
komposit. Logam dibedakan menjadi logam besi/ferrous dan non besi/non ferrous. Non
logam terbagi menjadi keramik dan polimer.

Besi/Ferrous
Baja Karbon
Baja Paduan
Baja Tuang
Baja Spesial,dll
Logam
Non Besi/ Non Ferrous
Alumunium dan paduannya
Tembaga dan paduannya
Seng dan paduannya
Nikel dan paduannya dll
Material
Teknik
Keramik
Non Logam

Polimer
Komposit

Gambar 2.10. Klasifikasi Bahan dalam Industri

13
a. Logam
Logam merupakan material (sebuah unsur, senyawa, atau paduan) yang biasanya keras
tak tembus cahaya, berkilau, dan memiliki konduktivitas listrik dan termal yang baik. Logam
besi (ferrous): logam dan paduan yang mengandung besi (Fe) sebagai unsur utamanya
sebagai contoh yaitu besi dan baja. Logam non-besi (non-ferrous): logam yang
mengandung sedikit atau sama sekali tanpa kadar besi seperti Al, Cu, Zn, Ni, dan lain-lain.
Logam terutama logam ferrous merupakan bahan yang paling banyak dipakai dalam dunia
teknik mesin, karena pada umumnya kuat, ulet, dan mudah dibuat dalam berbagai bentuk
praktis Logam merupakan konduktor yang baik dengan ciri-ciri yaitu tidak transparan,
mengkilap, penghantar panas dan listrik yang baik, dapat ditempa/direnggangkan, pada
suhu kamar berwujud padat kecuali raksa dan memiliki titik didih dan titik leleh tinggi.

b. Non Logam
Bahan non logam terbagi menjadi dua yaitu keramik dan polimer. Keramik adalah bahan
yang terbentuk dari hasil senyawa (compound) antara satu atau lebih unsur-unsur logam
(termasuk Si dan Ge) dengan satu atau lebih unsur-unsur anorganik bukan logam. Contoh
bahan keramik yaitu silikon oksida, aluminium oksida, kalsiumoksida, magnesium oksida,
kalium oksida dan natrium oksida.
Polimer merupakan bahan yang memiliki berat molekul > 10.000 , tersusun dari monomer
yang saling berikatan kovalen. Polimer mempunyai senyawa karbon dengan rantai molekul
panjang, termasuk bahan plastik dan karet. Polimer yang dapat dibentuk kembali dengan
pemanasan disebut termoplastik, sedangkan yang tidak dapat dibentuk kembali disebut
termoset. Contoh polimer yaitu polietilen, polipropilen, polivinilklorid dan lain-lain.

c. Komposit
Komposit merupakan campuran bahan yang tersusun dari dua/lebih bahan dasar dalam
skala makroskopis yang sifatnya sangat berbeda dengan sifat masing-masing bahan
pembentuknya misalnya keramik dengan polimer. Bahan komposit yang sering dijumpai
yaitu contohnya : fiberglass, tripleks, semen-pasir, dan lain-lain. Selain komposit buatan,
juga terdapat bahan komposit alam seperti kayu, terdiri dari serat selulose yang berada
dalam matriks lignin.

2. Proses Perlakuan Panas


Dari sebuah rangkuman yang ditulis oleh Avner (1974: 676) menyatakan bahwa
perlakuan panas (heat treatment) adalah: “Heating and cooling a solid metal or alloy in such
away as to obtain desired conditions or properties. Heating for the sole purpose of hot-
working is excluded from the meaning of this definition”.
Perlakuan panas adalah suatu proses pemanasan dan pendinginan logam dalam
keadaan padat untuk mengubah sifat-sifat mekanik. Baja dapat dikeraskan sehingga tahan
aus dan kemampuan potong meningkat atau dapat dilunakan untuk memudahkan proses
pemesinan. Melalui perlakuan panas yang tepat, tegangan dalam dapat dihilangkan, ukuran
butir dapat diperbesar atau diperkecil, ketangguhan dapat ditingkatkan atau dapat dihasilkan
suatu permukaan yang keras disekeliling inti yang ulet. Komposisi kimia baja harus diketahui

14
untuk melakukan perlakuan panas yang tepat, karena perubahan komposisi kimia,
khususnya karbon dapat mengakibatkan perubahan sifat-sifat fisis.
Diagram kesetimbangan Fe–Fe3C dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan
perlakuan panas (George Krauss, 1995: 1-4). Penggunaan diagram ini relatif terbatas
karena beberapa metode perlakuan panas digunakan untuk menghasilkan struktur non-
equilibrium. Bagaimanapun, pengetahuan mengenai perubahan fasa pada kondisi
setimbang memberikan ilmu pengetahuan dasar untuk melakukan perlakuan panas. Pada
bagian diagram Fe–Fe3C dengan karbon dibawah 2 % menjadi perhatian utama untuk
perlakuan panas baja. Metode perlakuan panas baja didasarkan pada perubahan fasa
austenit pada sistem Fe–Fe3C. Transformasi austenit selama perlakuan panas ke fasa lain
akan menentukan struktur mikro dan sifat baja.
Besi merupakan logam allotropik, artinya besi akan berada pada lebih dari bentuk
kristal tergantung dari suhunya. Pada suhu kurang dari 912 0C (1674 0F) berupa besi alfa ().
Besi gamma () pada suhu 912-1394 0C (1674-2541 0F). Besi delta () berada pada suhu
1394–1538 0C (2541-1538 0F). Penambahan unsur karbon ke besi memberikan perubahan
yang besar pada fasa-fasa yang ditunjukkan oleh diagram kesetimbangan Fe–Fe3C. Selain
karbon, pada baja terkandung juga unsur-unsur lain seperti Si, Mn dan unsur pengotor lain
seperti P, S dan sebagainya. Unsur-unsur ini tidak memberikan pengaruh utama kepada
diagram fasa sehingga diagram tersebut dapat digunakan tanpa menghiraukan adanya
unsur-unsur tersebut. (Surdia dan Saito, 1999: 69).

Gambar 2.11. Diagram keseimbangan besi karbon (Japrie, 1991: 380)

15
Adapun selama proses perlakuan panas yang dilakukan merubah struktur atom yang
ada seperti pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.12. Perubahan struktur pada proses perlakuan panas

a. Pengerasan (Hardening)
Hardening atau pengerasan dan disebut juga penyepuhan merupakan salah satu
proses perlakuan panas yang sangat penting dalam produksi komponen-komponen
mesin. Struktur baja yang halus, keuletan, kekerasan yang diinginkan, dapat
diperoleh melalui proses ini. Menurut Kenneth Budinski (1999: 167), pengerasan baja
membutuhkan perubahan struktur kristal dari body-centered cubic (BCC) pada suhu
ruangan ke struktur kristal face-centered cubic (FCC). Dari diagram kesetimbangan
Fe–Fe3C dapat diketahui suhu pemanasan baja karbon untuk mendapatkan struktur
FCC. Baja harus dipanaskan dengan sempurna sampai daerah austenit. Gambar
2.13 menunjukkan daerah suhu pengerasan untuk baja karbon.
Pengerasan meliputi pekerjaan pendinginan yang menyebabkan karbon terbentuk
dalam struktur kristal. Pendinginan dilakukan dengan mengeluarkan baja dari dapur
pemanas dengan cepat (setelah direndam selama waktu yang cukup untuk
mendapatkan suhu yang dibutuhkan) dan mencelupkan kedalam media pendingin air
atau oli.

16
Gambar 2.13. Suhu pengerasan pada diagram besi karbon (Budinski, 1999: 167)

Pada kasus-kasus tertentu dilakukan tempering pada proses hardening yang


dilakukan. Tempering adalah proses memanaskan kembali baja yang telah
dikeraskan untuk menghilangkan tegangan dalam. Pada proses tempering baja yang
telah diheat treatments dipanasi kembali pada suhu 150 oC - 650 oC.

b. Pelunakan (Annealing)
Selain untuk tujuan pengerasan perlakuan panas dapat dilakukan untuk tujuan
pelunakan. Hal ini diperlukan untuk baja-baja yang keras, sehingga dapat dikerjakan
dengan mesin. Disamping itu juga pelunakan di lakukan untuk tujuan meningkatkan
keuletan dan mengurangi tegangan dalam yang menyebabkan material berperilaku
getas. Secara umum proses pelunakan dapat berupa proses normalizing, full
annealing dan spheroidizing.
1) Normalizing
Normalizing merupakan proses perlakuan panas yang bertujuan untuk
memperhalus dan, menyeragamkan ukuran serta distribusi ukuran butir logam.
Proses ini diperlukan untuk komponen atau material yang mengalami proses
pembentukan seperti pengerolan dingin, tempa dingin dan pengelasan.

17
Gambar 2.14. Diagram Phasa Fe-Fe3C pada daerah eutectoid
Proses normalizing dilakukan dengan cara memanaskan baja karbon pada suhu
55 – 85 0C diatas suhu kritis (Gambar 2.14). Kemudian ditahan untuk beberapa
lama hingga fasa secara penuh bertransformasi ke fasa austenit. Selanjutnya
material didinginkan pada udara terbuka hingga mencapai suhu kamar.
2) Full Annealing
Full annealing merupakan proses perlakuan panas yang bertujuan untuk
melunakkan logam yang keras sehingga dapat dikerjakan dengan mesin. Proses
ini banyak dilakukan pada baja karbon medium. Proses ini dilakukan dengan cara
memanaskan baja karbon pada suhu 15 – 40 0C di atas suhu A3 atau ACM
tergantung kadar karbonnya. Pada suhu tersebut pemanasan ditahan untuk
beberapa lama hingga tercapai kesetimbangan. Selanjutnya baja karbon
didinginkan dalam dapur pemanas secara perlahan-lahan hingga mencapai suhu
kamar. Struktur mikro hasil proses full annealing adalah perlit kasar yang relatif
lunak dan ulet.
3) Spheroidizing.
Baja karbon medium dan tinggi memiliki kekerasan yang tinggi dan sulit untuk
dikerjakan dengan mesin dan dideformasi. Baja ini dilunakkan melalui proses
spheroidizing. Proses ini dilakukan dengan memanaskan baja karbon pada suhu
sedikit dibawah suhu eutectoid atau sedikit di bawah suhu A1 yaitu sekitar 700
0
C. Pada suhu tersebut ditahan selama 15 hingga 25 jam. Kemudian didinginkan
secara perlahan-lahan di dalam tungku pemanas hingga mencapai suhu kamar.

18
3. Analisis Hasil Uji Material Logam
Analisis hasil uji material logam disesuaikan dengan pengujian yang dilaksanakan.
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a. Analisis hasil uji kekerasan
Hasil analisis uji kekerasan dilakukan sesuai dengan uji kekerasannya. Pengujian
kekerasan yang umum dilakukan sebagaimana telah diutarakan sebelumnya yaitu
indentasi atau lekukan. Uji kekerasan melalui indentasi seperti Brinell, Vickers dan
palupoldy mempunyai formulasi sendiri dalam menghitung kekerasan benda uji.
Perhitungan berdasarkan hasil pengukuran identasi hasil penekanan yang dilakukan.

Gambar.2.15. Hasil indentasi (lekukan) uji kekerasan Brinell

Seperti pada contoh di atas adalah hasil uji kekerasan Brinell dimana dihasilkan identasi.
Ukuran pada hasil identasi inilah sebagai data pokok yang dimasukan dalam formulasi
untuk mencari kekerasan Brinell. Selain indentasi bola baja, juga terdapat identasi intan
pada uji kekerasan Vickers.

Gambar.2.16. Hasil indentasi uji kekerasan Vickers

19
Selain model perhitungan indentasi juga terdapat uji kekerasan dengan melihat langsung
dial yang ditunjukan pada mesin uji nya seperti pada uji rockwell. Hasil perhitungan
maupun pembacaan dial secara langsung pada mesin masing masing uji seperti pada
uji Brinell dan Brinell palupoldy yaitu BHN (Brinell Hardness Number), VHN (Vickers
Hardness Number) dan pembacaan rockwell selanjutnya disesuaikan terhadap tabel
yang sudah ada, untuk melihat tingkat kekearasannya.
Tabel 2.2. Konversi kekerasan

20
21
Gambar 2.17. Tingkat kekerasan dalam pengujian kekerasan

22
b. Analisis uji ketangguhan
Analisis uji ketangguhan dilakukan salah satunya melalui uji impak charpy. Analisis
dilakukan melalui hasil perhitungan ketangguhan impak sesuai dengan energi patah dan
luas penampang patahannya.

Gambar. 2.18. Gambaran penampang uji impak charpy

Impact Test adalah suatu pengujian yang dilakukan untuk menguji ketangguhan suatu
specimen terhadap pemberian beban secara tiba-tiba melalui tumbukan. Semakin rendah
harga impak maka jenis perpatahan yang terjadi akan semakin getas. Salah satu hal yang
mempengaruhi impak adalah temperatur. Semakin rendah temperatur suatu material
maka akan semakin getas material tersebut, dan semakin tinggi temperatur maka material
akan semakin ulet. Energi impak yang terbesar terdapat pada takikan setengah lingkaran
dan terendah pada takikan segitiga. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perpatahan akan
semakin mudah terjadi pada takikan bersudut.

Tabel 2.3. Contoh nilai impak charpy

c. Analisis uji makro dan mikro


Analisis uji makro dan mikro secara umum dilakukan melalui pengamatan ataupun
visual. Uji makro dan mikro ini disebut metalografi yaitu disiplin ilmu yang mempelajari
karakteristik mikrostruktur suatu logam dan paduannya serta hubungannya dengan sifat-
sifat logam dan paduannya tersebut. Ada beberapa metode yang dipakai yaitu:
mikroskop (optik maupun elektron), difraksi ( sinar-X, elektron dan neutron), analasis (X-
ray fluoresence, elektron mikroprobe) dan juga stereometric metalografi. Pada praktikum

23
metalografi ini digunakan metode mikroskop, sehingga pemahaman akan cara kerja
mikroskop, baik optik maupun elektron perlu diketahui. Pengamatan metalografi dengan
mikroskop umumnya dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Metalografi makro, yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran 10 – 100 kali.
2) Metalografi mikro, yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran diatas100 kali.
Sebelum dilakukan pengamatan mikrostruktur dengan mikroskop maka diperlukan
proses-proses persiapan sampel. Hasil pengamatan selanjutnya dapat dilihat
bagaimana struktur yang ada didalamnya.Untuk menganalisis hasil uji makro dan mikro
tentu tidak akan lepas dari struktur logam yang ada. Secara umum logam mempunyai
bentuk struktur FCC (face centered cubic) dan BCC (body centered cubic). Struktur FCC
mempunyai sebuah atom pada pusat semua sisi kubus dan sebuah atom pada setiap
titik sudut kubus. Beberapa logam yang memiliki struktur kristal FCC yaitu tembaga,
aluminium, perak, dan emas.

Gambar 2.19. Face centered cubic


Selain struktur FCC juga terdapat struktur BCC. Strukur BCC mempunyai Logam–logam
dengan struktur BCC mempunyai sebuah atom pada pusat kubus dan sebuah atom
pada setiap titik sudut kubus.

Gambar 2.20. Body centered cubic

Hexagonal close packed (HCP) adalah struktur terakhir yang ada dalam struktur atom
mikro logam. Gambar Struktur kristal heksagonal tumpukan padat (HCP): (a) sel satuan
HCP digambarkan dengan bola padat kecil, (b) sel satuan HCP yang berulang dalam
padatan kristalin. Ciri khas logam–logam dengan struktur HCP adalah setiap atom dalam
lapisan tertentu terletak tepat diatas atau dibawah sela antara tiga atom pada lapisan
berikutnya

24
Gambar 2.21. Struktur HCP

Dalam pengamatan yang dilakukan ada kaitan mengenai bentuk struktur logam dengan
komposisi pembentukannya. Adapun contoh dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.22. Struktur pada baja

25
Gambar 2.23. Jenis struktur pada baja

d. Analisis uji tarik


Untuk menganalisis hasil uji tarik, selain melalui formulasi yang ada juga dapat dilakukan
melalui pembacaan kurva dan membandingkan dengan rerata hasil standar uji tarik
material yang sudah dilaksanakan.
1) Luluh dan Kekuatan Luluh
Titik luluh terjadi pada daerah dimana deformasi plastis mudah terjadi pada logam
grafik σ-ε berbelok secara bertahap sehingga titik luluh ditentukan dari awal
perubahan kurva σ-ε dari linier ke lengkung. Titik ini di sebut batas proporsional (
titik p pada gambar). Pada kenyataannya titik p ini tidak bisa ditentukan secara
pasti. Kesepakatan di buat dimana di tarik garis lurus paralel, dengan kurva σ-ε
dengan harga ε = 0.002. Perpotongan garis ini dengan kurva σ-ε didefinisikan
sebagai kekuatan luluh τy.
2) Kekuatan Tarik
Setelah titik luluh, tegangan terus naik dengan berlanjutnya deformasi plastis
sampai titik maksimum dan kemudian menurun sampai akhirnya patah. Kekuatan

26
tarik adalah tegangan maksimum pada kurva σ-ε . Hal ini berhubungan dengan
tegangan maksimum yang bisa di tahan struktur pada kondisi tarik

Gambar 2.24. Tegangan tarik maksimum

3) Keuletan
Mengukur derajat deformasi plastis pada saat patah. Bahan yang mengalami sedikit
atau tidak sama sekali deformasi plastis di sebut rapuh.

Gambar 2.25. Kurva regangan – tegangan untuk material ulet dan rapuh

Keuletan bisa di rumuskan sebagai persen perpanjangan atau persen


pengurangan luas.

27
LF = panjang patah
LO = panjang awal
% AR = % perubahan penampang
% EL = % perpanjangan
Ao = luas penampang mula-mula
AF = luas penampang pada saat patah
Bahan dianggap rapuh jika regangan pada saat patah kira-kira 5%.

Tabel 2.4. Sifat mekanik beberapa logam

4) Resilience (kelentingan)
Adalah kapasitas material untuk menyerap energi ketika mengalami deformasi
elastis dan ketika beban dilepaskan, energi ini juga dilepaskan. Hal yang berkait
dengan resilience Modulus resilience, Ur adalah energi regang persatuan volume
yang diperlukan sehingga material mendapat tegangan dari kondisi tidak berbeban
ketitik luluh.

Gambar 2.23. Modulus resilience

Material yang mempunyai sifat resilience adalah material yang mempunyai


tegangan luluh tinggi (σ) dan modulus elastisitas rendah. Contoh : alloy untuk
pegas.

28
5) Ketangguhan (Toughness)
Adalah kemampuan bahan untuk menyerap energi sampai patah. Satuan
ketangguhan = satuan resilience
bahan ulet bahan tangguh
bahan getas bahan tidak tangguh

6) Tegangan dan Regangan Sebenarnya


Tegangan dan regangan sebenarnya diukur berdasarkan luas penampang
sebenarnya pada saat diberikan beban

σt = tegangan sebenarnya (true stress)


Ai = luas penampang pada saat dibebani

ετ = regangan sebenarnya
1i = panjang bahan yang pada saat diberi beban
Jika tidak ada perubahan volume :
Ai li = Ao Lo
σT = σ ( 1 + ε )
εT = ln ( 1 + ε )

Gambar 2.24. Regangan dan teangan sebenarnya

Untuk beberapa logam dan paduan, tegangan sebenarnya pada kurva σ-ε
pada daerah mulai terjadinya deformasi plastis ke kondisi terjadinya necking
(pengecilan penampang) dirumuskan :

29
Tabel 2.5. Harga n dan K untuk beberapa logam

Beberapa contoh hasil pengujian bahan teknik. Bentuk kurva dapat diketahui sifat
sifatnya seperti kekuatan luluh, kekuatan tarik, keuletan, kelentingan, ketanggguhan dan
tegangan maksimal yang mampu diterima.

Gambar 2.25. Contoh hasil uji tarik beberapa logam

30
Gambar 2.26. Contoh kurvabeberapa hasil pengujian tarik.

A. Rangkuman
Pengujian bahan teknik pada bidang teknik mesin dilakukan untuk melihat kekerasan,
ketangguhan, pemerikasaan fisis dan kekuatan. Uji kekerasan yang umum dilakukan
menggunakan sistem indentasi dengan metode uji kekerasan Brinell, Vickers, rockwell B dan
Brinell palupoldy. Ketangguhan bahan dilakukan melalui uji impak charpy. Pemeriksaan fisis
dilakukan melalui uji makro dan mikro. Uji makro dilakukan untuk mengetahui jenis
pengerjaan mekanis yang dialami. Uji mikro dilakukan untuk memperoleh struktur dalam
skala mikro. Pengujian kekuatan bahan teknik dilakukan melalui pengujian tarik. Pengujian
tarik dapat melengkapi informasi tentang kekuatan bahan teknik mulai dari tegangan dan
regangan. Pengujian kekuatan dilakukan juga pada pengujian geser untuk melihat kekuatan
bahan terhadap tegangan geser.
Material teknik terbagi menjadi logam, non logam dan komposit. Logam adalah
material (sebuah unsur, senyawa, atau paduan) yang biasanya keras tak tembus cahaya,
berkilau, dan memiliki konduktivitas listrik dan termal yang baikLogam merupakan unsur
Logam terbagi menjadi dua yaitu ferrous(besi) dan non ferrous (non besi). Non Logam terbagi
menjadi keramik dan polimer. Keramik merupakan bahan yang terbentuk dari hasil senyawa
yang terbentuk antara satu atau lebih unsur-unsur logam (termasuk Si dan Ge) dengan satu
atau lebih unsur-unsur anorganik bukan logam. Polimer merupakan bahan yang memiliki
berat molekul > 10.000 , tersusun dari monomer yang saling berikatan kovalen. Polimer
mempunyai senyawa karbon dengan rantai molekul panjang, termasuk bahan plastik dan
karet. Komposit merupakan campuran bahan yang tersusun dari dua/lebih bahan dasar
dalam skala makroskopis yang sifatnya sangat berbeda dengan sifat masing-masing bahan
pembentuknya misalnya keramik dengan polimer.
Perlakuan panas adalah proses pemanasan dan pendinginan logam dalam keadaan
padat untuk mengubah sifat-sifat mekaniknya. Pengerasan material dilakukan melalui
hardening. Pelunakan material terbagi menjadi 3 metode yaitu normalizing (menyeragamkan

31
butir), full annealing ( pelunakan agar dapat dilakukan proses pemesinan) dan spheroidizing
( pelunakan baja karbon tinggi).
Analisis hasil uji dilakukan dengan melakukan pengujian serta perhitungan
berdasarkan uji yang dilakukan. Uji kekuatan dilakukan melalui perhitungan uji tarik, tekan
maupun puntir. Uji kekerasan melalui prosedur pengujian kekerasan Brinell, Vickers maupun
rockwell. Hasil ujicoba dan perhitungan dianalisis hasil yang didapat selain melihat beberapa
tabel dan standar diagram normal masing-masing material.

32

Anda mungkin juga menyukai