Anda di halaman 1dari 13

MATERI

A. PENGERTIAN

• Karsinoma bronkogenik adalah tumor malignan yang timbul dari bronkus.


(brunner&suddarth.buku ajar keperawatan medikal bedah.)
• Carsinoma bronkogenik tumor maligna yang timbul dari bronkus. Tumor
seperti ini adalah epidermoid, biasanya terletak dalam bronki yang besar, atau
mungkin adenokarsinoma, yang timbul jauh di luar paru.
(smeltzer,suzanne c. Buku ajar keperawatan medikal bedah.2002

B. PENYEBAB

Meskipun etiologi karsinoma bronkogenik yang sebenarnya belum diketahui, tetapi


ada 3 faktor yang agaknya bertanggung jawab dalam peningkatan isidensi penyakit
ini: merokok, bahaya industri, dan polusi udara.

A. Rokok
• Perokok aktif
Dari faktor-faktor ini, merokok agaknya berperan paling penting, yaitu 85% dari
seluruh kasus (van houtten, 2001). Banyak bukti statistik yang menunjukkan
adanya hubungan antara perokok kretek berat dengan timbulnya kanker paru. tiga
penilaian prospektif yang melibatkan hampir 200.000 laki-laki berusia 50-69 tahun
yang diteliti selama 44 bulan menyatakan bahwa angka kematian akibat kanker paru
per 100.000 orang adalah 2.4 diantara laki-laki yang tidak merokok, 59,3 diantara
mereka yang merokok 10-20 batang sehari, dan 217,3 diantara mereka yang
merokok 40 batang atau lebih dalam sehari. Mereka yang berhenti merokok untuk
seterusnya akan memiliki risiko kanker paru yang sama dengan mereka yang tidak
merokok, yaitu setelah orang tersebut berhenti merokok selama 15 tahun.

• Perokok pasif
Semakin banyak orang yang terkait dengan hubungan antara perokok pasif, atau
menghisap asap rokok yang dihembuskan oleh orang lain di dalam ruangan tertutup,
dengan resiko terjadinya kanker paru. beberapa penelitian menunjukkan orang yang
tidak merokok, tetapi mengisap asap dari orang lain, resiko mendapatkan kanker
melipat dua kali. Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara,
tetapi pegaruhnya kecil jika dibandingkan dengan merokok kretek.
Kematian akibat kanker paru jumlahnya meningkat 2 kali lebih banyak di daerah
perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Sebagian juga ditemukan bahwa
kelompik sosial ekonomi yang lebih rendah cendrung hidup lebih dekat dengan
tempat kerja mereka, dimana tempat udara lebih besar kemungkinan tercemar oleh
polusi. Suatu bahan karsinogen (bahan yang dapat menimbulkan kanker) yang
ditemukan dalam udara polusi (juga ditemukan dalam asap rokok) adalah 3,4
benzpiren.

B. Asbes
Asbes saat ini banyak sekali digunakan pada industri bangunan. Resiko kanker paru
diantara pekerja yang menangani asbes kira-kira 10 kali lebih besar dari pada
masyarakat umum. Mesotelioma jinak lokal atau ganas difusi dari pleur adalah
tumor langka yang secara spesifik berkaitan dengan pajanan terhadap asbes. Dan
juga peningkatan resiko pada mereka yang bekerja dengan uranium, kromat, arsen.

C. Makanan dan kecendrungan family (Pengaruh genetik dan status imunologis.)


Perokok yang makanannya rendah vitamin A memiliki resiko yang lebih besar untuk
terjadinya kanker paru. terdapat juga bahwa keluarga pasien kanker paru lebih
beresiko terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik molekuler
memperlihatkan bahwa mutasi pada protoonkogen dan gen-gen penekan tumor
memiliki arti penting dalam timbul dan berkembangnya kanker paru. tujuan
khususnya adalah pengaktifan onkogen . pada banyak jaringan diketahui,
perubahan peradangan kronik terjadi sebelum timbulnya kanker.

D. PATOFISIOLOGI
Kanker paru primer biasanya diklasifikasika menurut jenis histologinya, semua
memiliki riwayat alami dan respons terhadap pengobatan yang berbeda-beda.
Walaupun terdapat lebih dari satulusin jenis kanker paru primer, namun kanker
bronkogenik (termasuk keempat tipe sel yang pertama) merupakan 95% dari
seluruh kanker paru.
Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan cilia
hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya
pengendapan karsinogen maka menyebabkan metaplasia,hyperplasia dan displasia.
Bila lesi perifer yang disebabkan oleh metaplasia, hyperplasia dan displasia
menembus ruang pleura, biasa timbul efusi pleura, dan bisa diikuti invasi langsung
pada kosta dan korpus vertebra.
Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi
ini menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di
bagian distal. Gejala – gejala yang timbul dapat berupa batuk, hemoptysis, dispneu,
demam, dan dingin.Wheezing unilateral dapat terdengan pada auskultasi.
Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan adanya metastase,
khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur – struktur terdekat
seperti kelenjar limfe, dinding esofagus, pericardium, otak, tulang rangka.

E. TANDA DAN GEJALA


Karsinoma bronkogenik menyerupai banyak penyakin paru lain dan tidak mempunyai
awitan yang khas. Karsinoma bronkogenik sering kali menyerupai pneumonitis
yang tidak dapat ditanggulangi. Batuk merupakan gejala umum yang sering kali
diabaikan oleh pasien sebagai akibat merokok atau bronkitis. Bila karsinoma
bronkus berkembang pada pasien bronkitis kronik, maka batuk timbul lebih sering,
atau volume sputum bertambah. Hemoptisismerupakan gejala umum lainnya.
Gejala-gejala awal adalah mengi lokal dan dispnea ringan yang mungkin
diakibatkan oleh obstruksi bronkus. Nyeri dada dapat timbul dalam berbagai bentuk
tetapi biasanya dialami sebagai perasaan sakit atau tidak enak akibat penyebaran
neoplastik ke mediastinum. Nyeri pleuritik dapat pula timbul bila terjadi serangan
sekunder pada pleura akibat penyebaran neoplastik ke mediastinum. Nyeri pleuritik
dapat pula timbul bila terjadi serangan skunder pada pleura akibat penyebaran
neoplastik atau pneumonia. Pembengkakan jari yang timbul cepat merupakan
penanda yang penting karena dapat dikaitkan dengan karsinoma bronkogenik (30%
kasus, biasanya NSCLC). Gejala-gejala umum seperti anoreksia, lelah dan
penurunan berat badan merupakan gejala-gejala lanjut.
Gejala penyebaran intratoraks atau ekstratoraks dapat juga ditemukan pada saat pasien
diperiksa oleh dokter untuk pertama kalinya. Penyebaran lokal tumor ke struktur
mediastinum dapat menimbulkan suara serak akibat terserangnya saraf laringeus
rekuren, disfagia akibat keterlibatan esofagus, dan paralisis hemidiagfragma akibat
keterlibatan saraf frebikus. Penekana vena cava superior menyebabkan sindrom
vena cava (pelebaran vena-vena di leher dan edema pada wajah, leher, dan lengan
atas).nyeri dada atau tamponade jantung dapat terjadi akibat penyebaran ke dinding
dada atau ke perikardium secara terpisah. Tumor-tumor yang berkembang pada
apeks paru (tumor pancoast) dapat melibatkan plekus brachialis, menyebabkan
nyeri dan kelemahan pada bahu dan lengan pada bagian yang terkena; ganglion
simpatikus dapat terkena, menyebabkan sindrom Horner unilateral (ptosis dan
kantriksi pupil unilateral serta tidak adanya produksi keringat pada bagian yang
sama dengan wajah).
Gejala penyebaran ekstratoraks bergantung pada metastatis. Struktur yang sering
terserang adalah kelenjer getah bening skalenus (terutama pada tumor paru perifer),
kelenjer adrenalin (50%), hati (30%), otak (20%), tulang (20%), dan ginjal (15%).
Sindrom paraneoplastik seringkali berkaitan dengan kanker paru. sindrom endokrin
terlihat pada 12% pasien. Tumor sel oat menghasilkan hampir seluruh hormon
polipeptida, seperti hormon paratiroid (PTH), hormon adrenokortikotropik
(ACTH), atau hormon antidiuretik (ADH) yang menimbulkan gejala
hiperparatiroid, sindrom Cushing, sindrom ketidak tepatan sekresi ADH (SIADH)
berhubungan dengan retensi cairan dan hiponatremia. Sindrom jaringan ikat rangka
termasuk jari tubuh (biasanya pada NSCLC) tibul pada 30% kasus dan
osteoartropati hipertrofik (HOA) hingga 10% kasus (biasanya pada
adenokarsinoma). Gejala sistemik seperti anoreksia, penurunan berat badan, dan
kekaksia pada 30% kasus adalah sindrom paraneoplastik yang tidak diketahui
asalnya.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Chest x – ray ( pandangan lateral dan poteroanterior), tomografi dada dan


CTscanning.
2. Radioisotop scanning
3. Tes laboratorium
a. Pengumpulan sputum untu sitologi, bronkoskopi dengan biopsi, hapusan dan
perkutaneus biopsi
b. Mediastinoskopi

G. PENATALAKSANAAN
Banyak tumor mediastinum adalah benigna dan dapet dioperasi. Letak tumor dalam
mediastinum akan menentukan jenis insisi. Sebagian besar insisi adalah sternotomi
median. Perawatannya adalah sama seperti pada pasien yang menjalani bedah torak.
Komplikasi utama, meski jarang termasuk hemoragi, cidera pada saraf llaringeal
kambuhan atau frenikus, dan infeksi. Jika tumor adalah maligna dan telah
menginfiltrasi jaringan sekitar, terapi radiasi dan kemoterapi adalah modalitas
terapeutik yang digunakan bila pengangkatan komplit melalui bedah tidak dapat
dilakukan. Pembedahan yang umum seperti Lobektomi, pneumonektomi dan
reseksi.
H. PENCEGAHAN
Bagi seseorang yang tidak di diagnosa menderita penyakit ini sebaiknya tetap
waspada, karena penyakit ini bisa menyerang siapa saja dan kapan saja, dan
sebaiknya anda melakukan beberapa langkah antisipasi dan pencegahan,
diantaranya:
1. Jangan merokok, jika anda seorang perokok maka lebih baik hentikan kebiasaan
buruk anda, karena 80% penyebab kanker paru-paru adalah rokok, dan 15% dari
para perokok adalah penderita kanker paru-paru
2. Hindari konsumsi alkohol, konsumsi alcohol yang berlebihan juga dapat memicu
timbulnya kanker
3. Hindari asap rokok, bagi perokok pasif memiliki resiko yang cukup besar juga
mangidap penyakit ini. Untuk menghindari asap rokok di tempat-tempat umum
mungkin menggunakan masker bisa menjadi pilihan anda
4. Hindari paparan zat-zat kimia berbahaya dan zat radioaktif, meskipun hanya 15%,
tetapi zat kimia dan radioaktif tetap beresiko menjadi pemicu kanker
5. Hindari makanan yang mengandung zat-zat karsinogenik, makanan yang dibakar,
dll.
6. Olahraga dan istirahan teratur juga dapat mengurangi resiko kanker paru-paru
menyerang kita
7. Terapkan pola hidup sehat, pola hidup sehat merupakan langkah pencegahan utama
untuk semua jenis penyakit
8. Mengkonsumsi makanan bergizi dan suplemen alami, makanan yang mengandung
vitamin D dan Fe memberi dampak yang baik bagi para penderita kanker paru-paru.
Selain itu makanan yang banyak mengandung antioksidan juga dapat mencegah sel-
sel kanker
Cara Pengobatan
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti
terapi). Kenyataanya pada saat pemilihan terapi, sering bukan hanya diharapkan
pada jenis histologis, derajat dan tampilan penderita saja tetapi juga kondisi non-
medisseperti fasiliti yang dimilikirumah sakit dan ekonomi penderita
juga merupakan faktor yang amat menentukan.
Menurut Persatuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (2005),
penatalaksanaan/pengobatan utama penyakit kanker meliputi empat macam yaitu
pembedahan, radioterapi, kemoterapi dan hormoterapi. Pembedaha dilakukan
untuk mengambil ‘massa kanker‘ dan memperbaiki komplikas yang mungkin
terjadi. Sementara tindakan radioterapi dilakukan dengan sina ionisasi untuk
menghancurkan kanker. Kemoterapi dilakukan untu membunuh sel kanker dengan
obat anti-kanker (sitostatika). Sedangkan hormonterapi dilakukan untuk mengubah
lingkungan hidup kanker sehingga pertumbuhan sel-selnya terganggu dan akhirnya
mati sendiri (Sukardja 1996 dalam Lutfia, 2008).
a. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK stadium I
dan II. Pembedahan juga merupakan bagian dari “combine modality therapy”,
misalnya kemoterapi neoadjuvan untuk KPBKSK stadium IIIA. Indikasi lain
adalah bila ada kegawatan yang memerlukan intervensi bedah, seperti kanker paru
dengan sindroma vena kava superiror berat. Prinsip pembedahan adalah sedapat
mungkin tumor direseksi lengkap berikut jaringan KGB intrapulmoner, dengan
lobektomi maupun pneumonektomi. Segmentektomi atau reseksi baji hanya
dikerjakan jika faal paru tidak cukup untuk lobektomi. Tepi sayatan diperiksa
dengan potong beku untuk memastikan bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor.
KGB mediastinum diambil dengan diseksi sistematis, serta diperiksa secara
patologi anatomis (PDPI, 2003).
b. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pilihan utama untuk kanker paru karsinoma sel kecil
(KPKSK) dan beberapa tahun sebelumnya diberikan sebagai terapi paliatif untuk
kanker paru karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) stage lanjut. Tujuan pemberian
kemoterapi paliatif adalah mengurangi atau menghilangkan gejala yang diakibatkan
oleh perkembangan sel kanker tersebut sehingga diharapkan akan dapat
meningkatkan kualiti hidup penderita. Tetapi akhir-akhir ini berbagai penelitian
telah memperlihatkan manfaat kemoterapi untuk KPKBSK sebagai upaya
memperbaiki prognosis, baik 3 sebagai modaliti tunggal maupun bersama modaliti
lain, yaitu radioterapi dan/atau pembedahan. Indikasi pemberian kemoterapi pada
kanker paru ialah:
1. Penderita kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK) tanpa atau dengan gejala.
2. Penderita kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) yang inoperabel
(stage IIIB & IV), jika memenuhi syarat dapat dikombinasi dengan radioterapi,
secara konkuren, sekuensial atau alternating kemoradioterapi.
3. Kemoterapi adjuvan yaitu kemoterapi pada penderita kanker paru jenis karsinoma
bukan sel kecil (KPKBSK) stage I, II dan III yang telah dibedah.
4. Kemoterapi neoadjuvan yaitu kemoterapi pada penderita stage IIIA dan beberapa
kasus stage IIIB yang akan menjalani pembedahan. Dalam hal ini kemoterapi
merupakan bagian terapi multimodaliti.
Penderita yang akan mendapat kemoterapi terlebih dahulu harus menjalani
pemeriksaan dan penilaian, sehingga terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Jusuf
et al., 2005) :
1. Diagnosis histologis telah dipastikan
Pemilihan obat yang digunakan tergantung pada jenis histologis. Oleh
karena itu diagnosis histologis perlu ditegakkan. Untuk kepentingan itu dianjurkan
menggunakan klasifikasi histologis menurut WHO tahun 1997. Apabila ahli
patologi sulit menentukan jenis yang pasti, maka bagi kepentingan kemoterapi
minimal harus dibedakan antara:
 Jenis karsinoma sel kecil
 Jenis karsinoma bukan sel kecil, yaitu karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma
dan karsinoma sel besar
2. Tampilan/performance status menurut skala Karnofsky minimal 60 - 70 atau skala
WHO
3. Pemeriksaan darah perifer untuk pemberian siklus pertama :
 Leukosit > 4.000/mm3
 Trombosit > 100.000/mm3
 Hemoglobin > 10 g%. Bila perlu, transfusi darah diberikan sebelum pemberian
obat.
Sedangkan untuk pemberian siklus berikutnya, jika nilai-nilai di atas itu
lebih rendah maka beberapa jenis obat masih dapat diberikan dengan penyesuaian
dosis.
4. Sebaiknya faal hati dalam batas normal
5. Faal ginjal dalam batas normal, terutama bila akan digunakan obat yang nefrotoksik.
Untuk pemberian kemoterapi yang mengandung sisplatin, creatinine clearance
harus lebih besar daripada 70 ml/menit. Apabila nilai ini lebih kecil, sedangkan
kreatinin normal dan penderita tua sebaiknya digunakan karboplatin.
Penelitian di Asia , MTTH penderita limited stage (LD-SCLC) yang
mendapat kemoradioterapi 14,2 bulan (95% CI, 10,96 – 17,44) dan meningkat
menjadi 16,9 bulan (95% CI, 11,83 – 21,97) pada yang mendapat tambahan PCI.
Angka MTTH lebih rendah yaitu 8,17 bulan (95%CI, 5,44 – 10,89) pada pasien
extensive disease (ED_SCLC) yang mendapat kemoradioterapi (Toh et al,2007 ).
Penelitian tentang pemberian kombinasi kemoterapi dan radioterapi pada
karsinoma sel kecil/ limited stage mendapatkan perbedaan hasil mengenai pengaruh
terhadap ketahanan hidup. Tetapi insidens relaps tumor tersebut berkurang. Di RS
Persahabatan, Jakarta kemoterapi pada KPKSK dilakukan dengan paduan obat
siklofosfamid + vinkristin + adriamisin menurut anjuran UICC atau sisplatin +
etoposid. Jumlah penderita jenis ini tidak begitu banyak, lagipula yang mampu
menyediakan obat masih amat terbatas. Karena itu, hasil pengobatan masih belum
dapat dinilai secara cermat. Tetapi terlihat 70% penderita mengalami respons
subjektif yang cukup nyata. Tampilan membaik pada 71,4% dan 14,3% mengalami
kenaikan berat badan. Efek samping berupa gangguan hemopoetik dan gejala
gastrointestinal terlihat pada semua kasus, 57% tidak mengalami kerontokan
rambut dan respons objektif terlihat pada 70% (ED-SCLC). Dua puluh lima persen
penderita hidup sampai 15 bulan dan masa tengah tahan hidup 2-5 bulan (Data Div
Onkologi dalam Anwar, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
FKUI).
c. Pengobatan lain
Pengobatan lain yang dapat dilakukan kepada penderita kanker paru adalah
Imunoterapi, Hormonoterapi dan Terapi Gen. Namun untuk ketiga pengobatan ini
masih dalam tahap ujicoba dan belum dipakai secara luas di Indonesia.
1. Rehabilitasi
Penderita kanker yang menjadi cacat karena komplikasi penyakitnya atau
karena pengobatan kanker, perlu direhabilitasi untuk mengembalikan bentuk
dan/atau fungsi organ yang cacat itu supaya penderita dapat hidup dengan layak dan
wajar di masyarakat. Ada bermacam-macam rehabilitasi yang perlu dilakukan
seperti rehabilitasi mental, rehabilitasi pekerjaan, rehabilitasi sosial dan lain-lain
(Sukardja, 2000).
a. Rehabilitasi mental
Penderita kanker paru yang mengetahui dirinya mengidap kanker dapat
menjadi stres dan merasa ia cepat mati dalam keadaan yang menyedihkan, ia juga
merasa dirinya tidak berguna lagi untuk hidup yang hanya memberatkan beban
keluarganya.
Depresi mental yang dihadapi penderita kanker dan juga keluarganya
umumnya disebabkan kurang pengertiannya terhadap kanker atau karena salah
persepsi akan penyakit kanker paru itu. Untuk mengatasi depresi mental itu, perlu
penderita dan atau kelurganya diberi bimbingan mental dan penyuluhan tentang
penyakit kanker itu. Kalau perlu dengan bantuan seorang psikolog, ahli agama, atau
tokoh masyarakat. Penderita perlu diketahui bahwa sebenarnya penyakit kanker
dapat disembuhkan asal saja dapat diobati pada stadium dini. Bila tidak dapat
disembuhkan lagi perlu pula diberitahu bagaimana sebaiknya ia hidup dengan
kanker, dan diajar bagaimana menyesuaikan kehidupan dirinya dengan penyakit
kanker yang dideritanya dan kenyataan yang dihadapinya.
b. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi penting agar penderita setelah pulang dari rumah sakit dapat
hidup keembali secara normal di masyarakat, dapat hidup mandiri di lingkungan
keluarga dan masyarakat secara wajar. Masyarakat juga perlu dipersiapkan agar
dapat menerima penderita.
c. Rehabilitasi Pekerjaan
Setelah penderita pulang dari rumah sakit dan terbebas dari penyakit kanker
yang dideritanya, diharapkan dapat bekerja lagi di masyarakat dengan normal
seperti sediakala. Bila tidak mungkin dapat lagi bekerja seperti sedia kala, penderita
diberi bimbingan dan latihan kerja (vocational training), supaya dapat bekerja
dengan pekerjaan lain sesuai dengan keadaan fisik dan mentalnya (Sukardja, 2000).
2. Prognosis
Prognosis penyakit buruk bukan hanya karena keterlambatan diagnosis
tetapi juga akibat respons sel kanker yang rendah terhadap berbagai obat sitostatik
yang ada.. Angka tahan hidup 1 tahun 2347 penderita kanker paru yang diteliti oleh
National Cancer Institute pada tahun 1983-1998, dihitung dengan life table method
hanya 41,8% dan angka tahan hidup 5 tahun 12,0 %. Berbagai data memperlihatkan
bahwa hal itu berkaitan dengan stage penyakit pada saat ditemukan (Greene, 2002).
Usaha–usaha preventif seharusnya dapat dilakukan karena kaitan antara
bahan karsinogen yang terkandung dalam asap rokok dan polusi udara telah dapat
dibuktikan secara ilmiah sebagai bagian dari patogenesis kanker paru. Tetapi usaha
preventif primer yaitu mencegah orang merokok sangat sulit untuk dilakukan,
demikian juga usaha penemuan penyakit pada tahap dini juga belum
menggembirakan. Akibatnya sangat sedikit penderita yang terdeteksi pada stage
dini, hal ini mengakibatkan terapi tidak dapat lagi diberikan untuk tujuan kuratif.
Di sisi lain tampak bahwa pemberian multi-modality terapi pada penderita dapat
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan mereka yang hanya menerima
modaliti tunggal. Bagaimanapun pembedahan masih merupakan pengobatan
kanker paru yang memberikan hasil yang paling baik, bila dilakukan pada derajat
yang operabel, yaitu stage I dan II (intrapulmoner, intratorakal) serta pada jenis
histologis yang cocok untuk tindakan tersebut. Tetapi kesimpulan dari berbagai data
menunjukkan bahwa umur tahan hidup 5 tahun penderita kanker paru dengan TNM
stage T1N0 dan T2N0 serta telah menjalani reseksi lengkap (complete resection)
masih berkisar antara 40-50% (Deslauriers, 2000). Di luar negeri angka tersebut
cukup tinggi, sedangkan data di Indonesia hanya 10-25% penderita menjalani
pembedahan (Busroh, 1988) dengan angka tahan hidup penderita kanker yang
dibedah 1 tahun 56,6%, 2 tahun 16,4% dan 5 tahun 2,4% ( Burhan, 2004).
3. Penatalaksanaan Pada Keadaan Khusus
3.1 Efusi Pleura Ganas (EPG)
Rongga pleura pada orang sehat berisi sekitar 20 ml cairan. Efusi pleura
(Cairan pleura) normal ini biasanya bersih tidak berwarna, mengandung < 1,5 gr
protein/ 100 ml dan 1.500 sel/ microliter. Efusi pleura dapat terjadi pada penyakit
tumor ganas intratoraks, organ ekstratoraks maupun keganasan sistemik. Seperti
pada penderita efusi pleura lain, EPG memberikan gejala sesak napas, napas
pendek, batuk, nyeri dada dan isi dada terasa penuh. Gejala ini sangat bergantung
pada jumlah cairan dalam rongga pleura. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
gerakan diafragma berkurang dan deviasi trakea dan/atau jantung kearah
kontralateral, fremitus melemah, perkusi redup dan suara napas melemah pada sisi
toraks yang sakit. Pada kanker paru, infiltrasi pleura oleh sel tumor dapat terjadi
sekunder akibat perluasan langsung (inviltrasi), terutama tumor jenis
adenokarsinoma yang letaknya perifer. Dapat juga terjadi akibat metastasis ke
pembuluh darah dan getah bening. Bila efuasi pleura terjadi akibat metastasis,
cairan pleuranya banyak mengandung sel tumor ganas sehingga pemeriksaan
sitologi cairan pleura dapat diharapkan memberi hasil positif.
Efusi pleura ganas mempunyai 2 aspek penting dalam penatalaksaannya
yaltu pengobatan lokal dan pengobatan kausal. Pengobatan kausal disesuaikan
dengan stage dan jenis tumor. Tidak jarang tumor primer sulit diternukan, maka
aspek pengobatan lokal menjadi pilihan dengan tujuan untuk mengurangi sesak
napas yang sangat mengganggu, terutama bila produksi cairan berlebihan dan cepat.
Tindakan yang dapat dilakukan antara lain, punksi pleura, pemasangan WSD dan
pleurodesis untuk mengurangi produksi cairan. Zat-zat yang dapat dipakal, antara
lain talk, tetrasikiin, mitomisin-C, adriamisin dan bleomisin. Bila tumor primer
berasal dari paru dan dari cairan pleura diternukan sel ganas maka EPG termasuk
T4, tetapi bila diternukan sel ganas pada biopsi pleura termasuk stage IV. Bila
setelah dilakukan berbagai pemeriksaan tumor primer paru tidak diternukan, dan
tumor-tumor di luar paru juga tidak dapat dibuktikan, maka EPG dianggap berasal
dari paru. Apabila tumor primer diternukan di luar paru, maka EPG ini termasuk
gejala sisternik tumor tersebut dan pengobatan disesuaikan dengan penatalaksanaan
untuk pengobatan kanker primernya (PDPI,2003).
3.2 Sindrom Vena Kava Superior (SVSC)
Sindrom vena kava superior muncul bila terjadi gangguan aliran oleh
berbagai sebab, di antaranya tumor paru dan tumor mediastinum. Gangguan ini
pada penderita kanker paru muncul akibat penekanan atau invasi massa ke vena
cava superior, sehingga menimbulkan gejala SVKS. Keluhan yang ditimbulkan
tergantung berat ringannya gangguan, sakit kepala, sesak napas, batuk, sinkope,
sakit menelan, dan batuk darah. Pada keadaan berat selain gejala sesak napas yang
hebat dapat dilihat pembengkakan leher dan lengan kanan disertai pelebaran vena-
vena subkutan leher dan dada. Keadaan ini kadang-kadang memerlukan tindakan
emergensi untuk mengatasi keluhan (PDPI,2003).
Berdasarkan PDPI (2003) penatalaksanaan kanker paru pada kasus SVSC
adalah bila keadaan umurn penderita baik (PS > 50) maka harus dilakukan prosedur
diagnostik untuk mendapatkan jenis sel kanker. Narnun tindakan radiasi cito harus
segera diberikanbila keluhan sesak napas sangat berat dan setelah gejala berkurang,
prosedur diagnostik harus dilakukan. Tindakan radioterapi selanjutnya tergantung
dari kondisi berikut ini:
a. Bila belum ada hasil pemeriksaan patotogi anatomi : radiasi 2-3 Gy perfraksi,
dengan penilaian klinis setiap hari. Tindakan bedah harus dipikirkan bila respons
tidak mernuaskan.
b. Bila hasil patologi anatomi sudah ada:
 Untuk keadaan gawat darurat penyinaran dapat diberikan dengan dosis 3 Gy/fraksi.
 Bila tidak gawat darurat, dosis radiasi berdasarkan staging penyakit.
 Untuk stage IV, dosis 3 Gy/fraksi sampai 10 kali atau Dosis 4 Gy/fraksi sampai 5
kali.
3.3 Obstruksi Bronkus
Obstruksi terjadi karena tumor intrabronkial menyumbat langsung atau
tumor diluar bronkus menekan bronkus sehingga terjadi sumbatan. Sumbatan
intrabronkial dapat parsial atau total dan kadang-kadang diperlukan tindakan untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita. Keluhan sesak napas disertai napas
berbunyi dapat terjadi pada obstruksi yang hebat. Keluhan akan bertambah bila
disertai “mucus plug”. Pada pemeriksaan jasmani akan ditemukan bunyi napas
melemah pada sisi paru yang sakit, dan dapat dijumpai pula bunyi napas patologis,
misalnya mengi pada ekspirasi dan inspirasi, suara ekspirasi memanjang atau stidor
bila sumbatan pada jalan napas yang besar (PDPI, 2003).
Berdasarkan PDPI, penatalaksanaannya adalah dengan
melakukanbronchial toilet bila terdapat mucus plug. Bronkoskopi lase diikuti
pemasangan stent dapat dilakukan bila tebal sumbatan intrabronkial nnasih dapat
diketahui. Hal Inl diperlukan agar komplikasi tindakan laser tidak terjadi dan juga
dibutuhkan untuk mengetahui ukuran stent yang diperlukan. Bila sumbatan
disebabkan oleh penekanan massa ekstrabronkial, atau sumbatan intrabronkial tidak
dapat diatasi dengan bronkoskopi laser dan pemasangan stent maka tindakan bedah
perlu dipikirkan. Pada keadaan tertentu dapat diberikan radiasi endobronkial
(brachytherapy) pada batas proksimal dan distal 3 cm dari penyempitan, dosis : (5
- 8 Gy) 1 cm dari sumbu sumber radio aktif. Apabila radiasi endobronkial tidak
dapat dikerjakan, maka dapat diberikan radiasi ekstemal di daerah bronkus yang
menyempit dan daerah mukosa dengan dosis 3-4 Gy/fraksi subjek.
3.4 Batuk Darah (Hemoptasis)
Hemoptisis pada kanker paru juga terkadang memerlukan segera karena
dapat mengancam nyawa. Pada batuk darah masif harus dilakukan segera tindakan
bronkoskopi, selain untuk membuang bekuan darah ( stool cell), tindakan ini juga
perlu untuk mengetahui sumber perdarahan yang bermanfaat bila diperlukan
pembedahan untuk mengatasinya. Radiasi adalah salah satu noninvasiv untuk batuk
darah.Target volume dan dosis seperti pada obstruksi bronkus (PDPI, 2003).

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Kesimpulan
1) Sel kanker adalah sel normal yang mengalami mutasi/perubahan genetik dan
tumbuh tanpa terkoordinasi dengan sel-sel tubuh lain.
3) Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru
lainnya, terdiri dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis akan
didapat keluhan utama dan perjalanan penyakit, serta faktor–faktor lain yang sering
sangat membantu tegaknya diagnosis.
4.2 Saran
1. Perlunya Upaya Kesehatan bagi Penderita penyakit paru yakni melaksanakan upaya
Promotif, Perilaku Hidup Sehat, Upaya Preventif, Upaya Kuratif, dan Upaya
Rehabilitatif,
2. Perlunya Program alternatif yang lebih memperhatikan aspek psikologis penderita
penyakit paru dengan cara mengintegrasikan dengan program pemerintah yang
lainnya.
3. Perlunya sosialisasi terhadap seluruh kelompok umur masyarakat, agar lebih
memahami karakteristik penderita penyakit paru serta faktor resiko dan juga
karakterisitik penyakit pada lansia.

DAFTAR PUSTAKA
Alsagaf, H. 1995. Kanker Paru dan Terapi Paliatif. Penerbit Airlangga, Surabaya:11-14
Arisandi, Defa. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Kanker Paru. Sekolah
Tinggi Ilmu Keperawatan Muhammadiyah. Pontianak
Aditama, T.Y. 1992. Polusi Udara Dan Kesehatan. ARCAN
Anwar J, Elisna S, Ahmad H. Kemoterapi Kanker Paru .Departemen Pulmonologi dan
Ilmu Kedokteran Respirasi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS
Persahabatan, Jakarta
Budiono, I. 2007. Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Pengecatan Mobil
(Studi pada Bengkel Pengecatan Mobil di Kota Semarang). Tesis. Program Studi
Magister Epidemiologi Universitas Diponegoro. Semarang
Burhan E. 2004. Angka tahan hidup penderita kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil
yang layak dibedah. Tesis. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FKUI, Jakarta
Busroh, I. 1988. Peranan bedah dalam menanggulangi tumor ganas paru. Dalam:
Pencegahan, diagnosis dini dan pengobatan penyakit kanker, FKUI, Jakarta
Bustan. 2007. Epidimiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta. Jakarta
Data Divisi Onkologi Toraks. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
FKUI / RS Persahabatan (belum dipublikasi).
Deslauriers J, Gregoire J. Surgical therapy of early non-small cell lung cancer.
Chest 2000; 117: 104S-9S
Diananda, Rahma. 2007. Mengenal Seluk Beluk Kanker. Kata Hati. Yogyakarta
Fraumeni, J. F, Jr dan Blot, William. J. 1982. Cancer Epidemiology And Prevention: Lung
And Pleura. Press of W. B Saunders Company. United States of America.
Greene FL, Page DL, Fleming ID, Fritz AG, Balch CM, Haller DG, et al. Cancer Survival
Analysis. In : AJJ Cancer Staging handbook. 6th ed, Springer, New York, 2002, p.
15-25
Gondodiputro, Sharon,2007. Bahaya Tembakau dan Bentuk-bentuk Sediaan Tembakau.
BagianIlmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Bandung
Jusuf A, Harryanto A, Syahruddin E, Endardjo S, Mudjiantoro S, Sutantio N. 2005. Kanker
paru jenis karsinoma bukan sel kecil. Pedoman Nasional untuk diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia 2005. Ed. Jusuf A, Syahruddin E. PDPI dan POI,
Jakarta
Landis SH, Murray T, Bolden S, Wingo PA. 1998. Cancer Statistic 1998. CA Cancer J
Clin 1998 ; 48 : 6-29.
Lutfia, Umi. 2008. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan Pasien
Dengan Tindakan Kemoterapi Di Ruang Cendana RSUD DR. Moewardi Surakarta.
Skripsi. S-1 Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Mangunnegoro, H. 1990. Menyongsong Era Kanker Paru di Indonesia. Dalam: Yunus, F
et al (eds). Simposium Kanker Paru Diagnosis dan Terapi, 10/3, 1990. Bagian
Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 1-8
Murray JF. 2010. The Year of The Lung. Int J tuberc Lung Dis 2010; 14:1-4.
Nasar, I, M. 2000. Situasi Penyakit Kanker di Akhir Abad ke-20
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2003. Kanker Paru. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia.
Soedomo. M, Kumpulan Karya Ilmiah Mengenai Pencemaran Udara. ITB, Bandung,
1999.
Sukardja, IDG. 2000. Onkologi Klinik. Airlangga University Press: Surabaya
Sunu, P. 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001. Grasindo. Jakarta
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.
Syaifudin, Mukh. 2007. Gen penekan tumor p53, kanker dan radiasi pengion Pusat
Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi Batan. Jakarta Buletin
Alara, Volume 8 Nomor 3, April 2007,119 – 128
Toh CK, Hee SW, Lim WT, Leong SS, Fong KW, Yap SP, et al. 2007. Survival of smallcell
lung cancer and its determinants of outcome in Singapore. Ann Acad Med
Singapore. 2007 Mar;36(3):181-8.
Wahyuningsih, Faisal Yunus, Mukhtar Ikhsan. Dampak inhalasi catsemprot terhadap
kesehatan paru. Cermin kedokteran (138). 2003 : 12-17.
Wasripin, 2007. Pemeriksaan CT SCAN THORAX Pada Kasus Kanker Paru. Makalah
pada Seminar Persatuan Ahli Radiografi Indonesia, 18-20 Mei 2007. Denpasar Bali
www.emedicinehealth.com

Gambar

Anda mungkin juga menyukai