Anda di halaman 1dari 22

KEDARURATAN UMUM ONKOLOGI & KEDARURATAN BEDAH ONKOLOGI

PENDAHULUAN

Kedaruratan bedah onkologi sering tumpang tindih dengan kedaruratan onkologis


secara umum, sehingga mungkin masih penting artinya jika kita juga menyinggung
kedaruratan onkologis secara umum terlebih dahulu. Secara umum kedaruratan onkologis
menunjukkan adanya keganasan yang telah lanjut, dimana keadaan darurat tersebut
terjadi akibat komplikasi dari tumor metastasenya, dan lebih jarang lagi sebagai akibat
tumor primer. Meskipun demikian “assesment” yang lengkap dan detail dari keadaan
tumor ataupun metastasenya perlu dilakukan, untuk melakukan managemen secara
komprehensif, dan memberikan hasil akhir yang optimal, meskipun hanya untuk
meningkatkan kwalitas hidup penderita.

Pada umumnya kedaruratan onkologis adalah :

Obstruksi jalan napas


Sindroma vena cava (terutama superior)
Penekanan pada medula spinalis
Effusi rongga pericardial (tamponade) ataupun rongga toraks
Metastase cerebri dan meningitis carcinomatosa
Uropati obstruktif
Kedaruratan metabolik
Kedaruratan akibat kemoterapi anti kanker
Kedaruratan bedah

DIAGNOSA DAN MANAGEMEN KEDARURATAN ONKOLOGIS.


1. OBSTRUKSI JALAN NAPAS.
Obstruksi trakea seringkali terjadi sebagai akibat penekanan akibat keganasan
yang berasal dari luar trakea, dan sering juga terjadi akibat lesi yang benigna.
Sedangkan obstruksi dari bronkus lebih sering terjadi sebagai akibat keganasan dari
endo-bronchus (bronchogenic carcinoma) tersebut. Metastase pada trakea ataupun
bronkus adalah sangat jarang (kurang dari 2%). Obstruksi jalan napas dapat juga
terjadi oleh karena tracheomalacia, stenosis pasca radioterapi.

Diagnosa.
Sulit untuk membedakan obstruksi tersebut pada trakea ataupun bronkus. Biasanya
gejala dan tanda yang sering muncul adalah :
- dyspnea
- orthopnea
- batuk
- suara nafas berbunyi
- Stridor
- Suara serak / berubah
- Hemoptisis

Foto toraks dan foto leher (tehnik jaringan lunak) dapat membantu diagnosa obstruksi
jalan napas, yaitu dengan melihat penyempitan trakea, tarikan terhadap trakea,
bronkus, atelektasis dll.

Terapi.
Terapi darurat sangat diperlukan secepatnya untuk mencegah kematian.
Trakeostomi rendah dapat dilakukan pada cincin trakea bagian bawah, sedikit diatas
manubrium sterni. Dalam keadaan stenosis trakea yang cukup panjang, sering kali
diperlukan dilatasi dari stenosis, dan dipasang kanula trakeostomi yang cukup
panjang (mungkin tidak tersedia di Indonesia), ataupun dengan pemasangan T-tube.
2. SINDROMA VENA CAVA SUPERIOR.
Vena vena besar pada rongga toraks sangat mudah mengalami kompresi dan
obstruksi. Jika vena cava superior terbendung, maka seringkali terjadi efusi pleura,
edema pada muka, kepala, extremitas bagian atas, dan trakea. Pada bentuk yang lebih
berat lagi dapat terjadi edema otak, terjadinya pengisian atrium jantung ( gangguan
“preload”). Tanda dan gejala yang muncul tergantung dari berat ringannya obstruksi
pada vena cava superior, dan juga ada tidaknya obstruksi pada organ organ vital
disekitarnya (trakea dll).
Pada umumnya SVC (“Superior Vena Cava Syndrome”) disebabkan karena
keganasan pada rongga mediastinum. Angka pada literatur barat dikatakan kurang
lebih 75 % disebabkan oleh keganasan pada paru, sedangkan sisanya disebabkan oleh
karena limfoma, lesi benigna seperti TBC ataupun thrombosis vena o.k CVP. Di
Indoensia angka ini belum jelas.

Diagnosa.
- edema dari muka
- adanya kongesti vena vena di leher, lengan atas
- Jika SVC terjadi secara perlahan-lahan, seringkali diagnosa lebih sulit
ditegakkan, dan memerlukan pemeriksaan khusus seperti venografi,
radioisotop.
- CT Scan dengan bantuan kontras, biasanya dapat memastikan lokasi
dari obstruksi, dan kira kira penyebab obstruksi tersebut.
- Diagnosa histopatologi/ sitologi, didapatkan dari biopsi lesi yang
dicurigai atau metastasenya, sitologi sputum, bronkoscopi, FNA (untuk
limfoma, tumor paru).
- Bahkan kadang kadang tindakan yang lebih agresif seperti torakotom
ataupun mediastinoscopi pun dilakukan.
- Seringkali tindakan untuk memastikan diagnosa ditunda agar keadaan
darurat penderita dapat diatasi terlebih dahulu.
Terapi.
- Terapi sangat tergantung dari etiologi SVC.
- Dalam keadaan darurat, (adanya obstruksi trakea), maka diagnosa
etiologi ditangguhkan.
- Radioterapi dengan dosis harian yang lebih tinggi merupakan terapi
pilihan. (Biasanya diberikan 4.0 Gy perhari), sampai mencapai 30 - 50 Gy.
- Pada keganasan sistemik, maka kemoterapi merupakan pilihan yang
lain. Pilihan kemoterapi sangat tergantung pada kecurigaan terhadap data
histopatologi / sitologi ataupun kecurigaan kita.
- Kombinasi radioterapi dan khemoterapi merupakan pilihan yang
diharapkan dengan cepat akan mengecilkan masa tumor yang menyebabkan
kompresi.
- Kortikosteroid dosis tinggi merupakan obat yang hampir selalu
diberikan, untuk mengurangi edema, dan reaksi inflamasi sebagai akibat tumor
nekrosis ataupun lisis setelah pengobatan.
- Pengobatan untuk lesi benigna, seperti TBC statika, anti trombus
diberikan sesuai etiologinya.

Prognosa.
Pada keganasan, umumnya “dubious ad malam” oleh karena adanya SVC
menunjukan keadaan stadium yang telah lanjut.

3. SPINAL CORD COMPRESSION.


Kompresi medula spinalis hampir selalu merupakan kedaruratn onkologis,
terutama jika gejala kerusakan neurologis terjadi secara cepat, oleh karena jika telah
terjadi kelumpuhan atau paraplegia, maka harapan untuk pulih kembali menjadi
semakin kecil.
Penekanan pada medulla spinalis sering terjadi pada metastase karsinoma mamma,
paru, prostat, mieloma multiple, limfoma. Seringkali metastase tersebut terdapat pada
epidura, ataupun pada corpus vertebrae, yang kemudian tumbuh menekan pada
medula spinalis, ataupun menimbulkan fraktur kompresi pada vertebra, dan menekan
medula spinalis.

Gejala Klinis Dan Diagnosa.


Sering kali gejala dan tanda yang muncul, bukan sebagai akibat langsung dari
kompresi medulla spinalis, melainkan sebagai akibat dari “para - neoplastic
syndrome”.
Gejala sebagai akibat langsung kompresi biasanya a.l :
- gejala awal yang muncul adalah rasa nyeri lokal pada daerah tumor /
metastase. Nyeri dirasakan semakin bertambah jika penderita batuk, bersin,
membungkuk dan sebagainya.
- Hal diatas diikuti dengan gangguan sensoris, seperti parestesia, anestesia, dingin,
dan sebagainya.
- Gangguan motorik.
- Jarang dijumpai gangguan fungsi vegetatif.

Diagnosa ditegakkan dengan :


- Pemeriksaan foto polos x-ray, untuk melihat proses osteolitik, atau
osteoblastik, fraktur kompresi.
- CT Scan
- Myelografi
- Pemeriksaan dengan bahan radioisotop.
- MRI, dikatakan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.
- Pemeriksaan CSF tergantung ada tidaknya indikasi dan kontraindikasi.

Terapi.
Terapi terhadap kompresi medula spinalis yang disebabkan oleh metastase keganasan,
sangat tergantung pada :
- sensitivitas keganasan tersebut terhadap radioterapi.
- Tersedianya ahli untuk melakukan dekompresi bedah.
- Level dari kompresi tersebut.
- Cepat lambatnya gangguan neurologis terjadi.
- Pernah tidaknya menjalani kemoterapi, dan sensitif tidaknya terhadap kemoterapi.

Sebagai dasar terapi yang dipilih adalah :


- Radioterapi. Meskipun hal ini bersifat paliatif. Adapun dasar
pemilihan radioterapi, adalah pada umumnya tumor telah bersifat sistemik. Dosis
radiasi perhari adalah harus cukup tinggi 3 - 4 Gy.
- Pembedahan dekompresi / laminektomi, biasanya dengan approach
posterior, mengingat kausa kompresi adalah kolapsnya corpus vertebrae yang
terletak didepan medulla spinalis. Sehingga pada laminektomi untuk dekompresi
pada bagian posterior vertebra, akan lebih mengurangi stabilitas vertebra yang
terkena. Pada kompresi didaerah servikal, maka dekompresi bedah cukup
memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya paralise pada otot otot
pernafasan. Pada keadaan dimana tumor primer tidak diketahui, maka
laminektomi dan pengambilan jaringan tumor, dapat bersifat paliatif dan sekaligus
diagnostik.
- Corticosteroid (dosis tinggi : dexamethasone 4-10 mg / 6 jam), dapat
mengurangi edema peritumoral dan memperbaiki fungsi neurologis.
- Kemoterapi. Terutama untuk keganasan yang telah diketahui sensitif
terhadap kemoterapi.
- Gabungan dari semua modalitas diatas. Dilakukan pada keganasan
dengan agresifitas yang tinggi, seperti “multiple myeloma”, “limfoma”, dsb.

4. TAMPONADE JANTUNG DAN EFUSI PLEURA.


Biasanya tamponade jantung lebih sering terjadi sebagai akibat invasi
langsung keganasan paru ataupun esophagus. Sedangkan metastase hematogen
biasanya berasal dari keganasan paru, payudara, limfoma, leukemia, melanoma
ataupun sarkoma. Lebih jarang lagi berasal dari keganasan G.I tract. Komplikasi
radiasi didaerah toraks, juga dapat menimbulkan tamponade jantung (“post-radiation
pericarditis”).
Efusi pleura juga merupakan kedaruratan yang sering muncul pada penderita dengan
keganasan (10%), dan harus mendapatkan perhatian yang serius. Pada wanita efusi
pleura sering dijumpai pada keganasan payudara, ovarium, uterus dan serviks. Efusi
pleura terjadi sebagai akibat meningkatnya permeabilitas kapiler, naiknya tekanan
hidrostatis, hipoalbuminemia, gangguan drainaie lymfe akibat obstruksi oleh tumor,
reaksi inflamasi akibat tumor dsb.
Gejala dan tanda yang muncul tergantung dari derajat efusi tersebut dan kausanya.

Gejala dan Tanda Klinis.


Efusi Pleura.
- Sebagian penderita (25 %) tanpa gejala dan tanda.
- 50-90% pasien dengan keganasan primer atau metastatik pada pleura akan datang
dengan efusi pleura.
- 90% akan datang dengan efusi lebih dari 500 ml, dan 30% bilateral.
- Sesak napas, batuk, nyeri toraks merupakan gejala utama.
- Takipnea, ekspansi toraks yang terbatas, redup pada perkusi, turunnya fremitus
suara, deviasi trakea dll, merupakan tanda yang dapat dijumpai.

Efusi Percardia.
- Batuk, sesak napas, nyeri toraks, ortopnea, palpitasi, anxietas / gelisah, pusing,
fatique.
- Distensi vena jugular (eksterna), pembengkakan gambaran jantung, suara jantung
terdengar lemah dan jauh, aritmia, “pericardiac friction rubs”.

Diagnosa.
Efusi Pleura :
- Klinis, fisik diagnostik yang baik.
- Radiologi : tumpulnya sinus phrenico-costalis (AP atau lateral foto),
perselubungan hemitoraks, atau bilateral, mediastinal shifting.
- Sitologi cairan pleura.
- Lab/ biokimia cairan pleura : CEA dll.
- Torkcosintesis : diagnostik dan terapeutik.
- Biopsi pleura.
- Toracoskopi.
- Toracotomi diagnostik.

Efusi Percardium.
- Klinis, fisik diagnostik yang baik.
- Radiologi : perubahan “contour” dari jantung, “water – bottle heart”.
- C.T scan
- Ekokardiografi.
- EKG.
- Pericardiosentesis : Sitologis, terapeutik.

Terapi.
Pada prinsipnya bersifat paliatif, dengan prognosa rata- rata buruk.

Efusi Pleura.
- Sclerotherapy : “tetracyclin intrapleural”.
Dosis : Tetracyclin 1 gram ( bisa lebih).
Quinacrine.
Lidocaine 150 mg
Premedikasi : narcotik.
Obat obat lain : Bleomycin, Nitrogen mustard, Thiotepa, 5FU,
Talc, radiasi, BCG dan corynebacterium parvum.
- Radioterapi eksternal : terutama untuk limfoma.
- Pembedahan : pleurektomi, pleuro-peritoneal shunting (Denver shunt).

Efusi Pericardium.
- Drainase dengan kateter.
- Penyuntikan obat kedalam rongga pericard : nitrogen mustard, thio tepa,
quinacrine.
- Radioterapi : terutama untuk lymphoma.
- Pembedahan : pemasangan kateter intra perikard, sampai terjadi simpisis antara
perikard dan epikard.
- Prognosa buruk.

5. METASTASE SEREBRAL DAN MENINGITIS KARSINOMATOSA.


Kedua hal ini merupakan kedaruratan yang sering terjadi bersama sama, oleh
karenanya kami bicarakan secara bersama sama pula. Kedaruratan yang muncul pada
metastase serebral diakibatkan oleh kenaikan tekanan intrakranial, herniasi otak
ataupun perdarahan otak. Sedangkan meningitis karsinomatosa, tampaknya akan lebih
sering diketemukan, oleh karena makin banyak “survivor” pasien dengan limfoma,
ataupun leukemia, dengan kemajuan kemoterapi. Karena kemoterapi pada umumnya
tidak dapat menembus “blood brain barrier”, maka tumor primer diluar CNS
seringkali dapat terkontrol dengan baik.

Diagnosa Klinis.
Metastase serebral :
- Terutama sebagai akibat tekanan intrakranial yang meningkat, adanya penekanan
pada lokasi tertentu, dan adanya edema otak.
- Gejala yang sering muncul yaitu menurunnya status mental, vomitus, nausea, dan
headache.
- C.T scan, MRI.
- Mielografi, jika ada tanda tanda kompresi spinal.
- FNA baik intraoperatif maupun melalui “burr hole”, untuk diagnosa pasti.

Meningitis karsinomatosa.
- Gejala yang muncul berupa kelainan neurologis yang tidak mengarah
pada satu lokasi / area.
- Headache, vomitus, nausea, perubahan status mental, lethargi,
hilangnya memori.
- Pemeriksaan CSF terutama untuk sitologis.
- CT scan / MRI
- Mielografi jika ada tanda tanda kompresi spinal.

Terapi.
Serebral metastases.
- Kortikosteroid dosis tinggi. (deksamethasone 10 mg a 6 jam perhari),
yang diteruskan selama terapi radiasi dijalankan. Hal ini untuk mencegah
terjadinya edema otak sekunder sebagai akibat radiasi.
- Radioterapi. “Gamma knive” jika lesi kecil.
- Surgery. Pembedahan ini penting jika kemungkinan metastase masih
diragukan (tidak ada tumor primer, ataupun tidak ada riwayat pernah menderita
tumor ganas). Pembedahan juga penting dieprtimbangkan pada keadaan dimana
tumor primer dapat terkontrol dengan baik, dan tidak menunjukan adanya
diseminasi sistemik ditempat lain.

Meningitis karsinomatosa.
- Pemberian “intrathecal chemotherapy” sendiri atau dikombinasi
radioterapi dilokasi tumor sesuai dengan defisit neurologis. Adapun obat obat
yang digunakan a.l : methotrexate, thiotepa, cytosine arabinose. Tergantung dari
jenis keganasan yang menjadi etiologi (lmfoma, leukemia ).
- Injeksi intraventrikuler dapat pula dipertimbangan, terutama untuk
mencapai dosis terapeutik dilokasi ini.
- Radiasi “whole brain and brain stem” dengan dosis 30 Gy, dalam
waktu 2 minggu, jika lokasi defisit neurologis tidak jelas.
6. OBSTRUSTIVE UROPATHY.
Biasanya berhubungan dengan keganasan dari rongga abdomen,
retroperitoneal, dan pelvis. Gejala dan tanda tanda yang muncul tergantung dari
tempat obstruksi. Obstruksi pada “bladder neck” biasanya disebabkan oleh keganasan
prostat (laki laki), Ca cervix (wanita). Obstruksi pada ureter biasanya disebabkan oleh
keganasan yang terletak intra abdominal atau paraaortal, seperti misalnya sarkoma,
limfoma, metastase keganasan pada kelenjar getah bening para - aorta. “Obstructive
uropathy” pada umumnya disebabkan oleh proses keganasan itu sendiri, meskipun
perlu juga dipertimbangkan sebagai akibat keadaan benigna, ataupun komplikasi
terapi terhadap keganasan. Seperti misalnya striktura urethra akibat pembedahan atau
radioterapi, absces, hematoma pada pelvis. Pada keadaan keganasan tertentu, sering
terjadi “acute nephropathy” sebagai akibat batu asam urat yang tertimbun pada
tubulus ginjal, misalnya pada myeloproliferative disorder, lymphoma.

Gejala klinis.
Timbulnya retensi urine, nyeri pada pinggang (‘flank pain”), hematuria, ataupun
infeksi saluran kemih berulang, merupakan tanda tanda adanya obstruksi saluran
kemih. Seringkali obstruksi ini tidak terdiagnosa, sampai terjadinya kegagalan fungsi
ginjal. Terjadinya gangguan pada proses pengosongan kandung kemih akan
menimbulkan gejala “hesitancy”, “urgency”, “nocturia”, “frequency” dan lemahnya
pancaran miksi.
Adanya gejala oliguria berganti - ganti dengan poliuria, menunjukan adanya obtruksi
partial dari ginjal.
Pemeriksaan fisik perlu diperhatikan pembesaran prostat, retensi kandung kemih,
terabanya ginjal. Menurunnya tonus sphincter anus, dan refleks bulbocavernosus
menunjukan kemungkinan suatu “neurogenic bladder” o.k metastase.
Diagnosa
Pada prinsipnya kausa dan lokasi obstruksi harus dapat didiagnosa.
- Lab : BUN, S creatinin, elektrolit darah, calcium, asam urat, DL, UL.
- USG dari ginjal.
- I.V.P
- CT. Scan.
- Scintigrafi ginjal
- “Percutaneous antegrade pyelografi” untuk kepentingan diagnostik dan juga
terapeutik.
- Endoskopi dan “retrograde pyelography” jika diperlukan.

Terapi.
- Terapi terhadap keganasan primer.
- Retensi urine dapat diatasi dengan kateterisasi, suprapubic sistostomi.
- Jika obstruksi terletak pada ureter dan terjadi hidronefrosis, dan
pertimbangan tumor dapat dikontrol dengan modalitas terapi yang ada, maka
perlu dipertimbangkan nephrostomi.
- Radioterapi ataupun kemoterapi terhadap kausa / keganasan yang
menekan. dengan mempertimbangkan dosis obat terhadap fungsi ginjal dsb.
- Koreksi terhadap kelainan elektrolit dan kimia darah.

7. KEDARURATAN METABOLIK.
Kedaruratan onkologis merupakan kedaruratan yang “under reportation”. Oleh
karena seringkali tidak memberikan gejala ataupun tanda yang jelas, kecuali
dilakukan “assesment” secara baik.
Adapun kedaruratan metabolik yang akan sering dijumpai adalah a.l :

a. Hiperkalsemia.
Terjadi jika mobilisasi Ca dari tulang melampaui kemampuan ekskresi
Ca oleh ginjal. Dan keganasan merupakan penyakit yang paling sering
menyebabkan terjadinya hiperkalsemia. Keganasan yang sering menimbulkan
hiperkalsemia adalah keganasan payudara, paru, hipernefroma, multiple
mieloma, SCC leher kepala, esophagus dan tiroid. Sebaliknya keganasan
glandula paratiroid seringkali menimbulkan hiperkalsemia, akan tetapi sangat
jarang dijumpai. 80% dari hiperkalsemia o.k keganasan akan didapatkan adanya
metastase pada tulang, akan tetapi luas kerusakan tulang tersebut paralel dengan
tinggi rendahnya kadar kalsium dalam darah. Kenaikan kalsium dalam darah
menunjukan progresi keganasan, dan seringkali merupakan indikator adanya
prognose yang buruk. 20% dari hiperkalsemia tidak menunjukan adanya
metastase tulang, dan pada keadaan ini peneliti mencurigai adanya substansi
hormonal seperti “parathyroid – hormone like susbtances” ataupun “osteolytic
prostaglandins” yang disekresikan oleh sel sel tumor yang akan menimbulkan
mobilisasi Ca. Pada multiple myeloma, hiperkalsemia terjadi oleh karena adanya
produk “osteoclast activating factors (OAF)” oleh sel plasma abnormal, dan
bukan akibat efek langsung dari sel tumor terhadap tulang. Adanya metastase
tulang ataupun efek indirek dari substansi hormonal ektopik akan menstimuli
aktifitas dan proliferasi osteoklas. SCC dari leher kepala ataupun esophagus
seringkali menyebabkan gejala gejala seperti hiper-paratiroidisme, oleh karena
produksi “parathormon” ataupun substansi “parathyrotropic”.
Biasanya berhubungan dengan hiperkalsemia, maka akan terjadi pula
“hipofosfatemia”, kenaikan “cyclic AMP” dan kenaikan “bone alkali
phosphatase”.

Pemeriksaan Klinis.
Hiperkalsemia memberikan keluhan : rasa lelah, anorexia, nausea, poliuria,
polidipsia dan konstipasi. Secara neurologis hiperkalsemia memberikan tanda
kelemahan otot, lethargy, apathy, dan hiporefleksi. Tanpa terapi gejala gejala ini
akan semakin berat, dan akan timbul perubahan status mental, psikosis, kejang –
kejang, koma dan akhirnya meninggal dunia. Pasien dengan hiperkalsemia yang
lama, akan terjadi kerusakan tubulus ginjal yang permanen berupa “renal
tubular acidosis”, glukosuria, aminoasiduria, dan hiperfosfaturia. Kematian tiba
tiba dapat terjadi sebagai akibat aritmia cordis, jika terjadi kenaikan akut dari
Ca. EKG sering menunjukan adanya perubahan “pemendekan interval QT,
pelebaran gelombang T, bradikardia, dan memanjangnya PR.

Terapi.
Seringkali dijumpai keadaan dehidrasi pada pasien dengan hiperkalsemia.
- Pada keadaan hiperkalsemia yang ringan, maka terapi cukup diberikan
rehidrasi saja. Dan jika terdapat modalitas terapi anti tumor yang efektif,
maka pemberian terapi anti tumor akan menurunkan Ca darah secara
otomatis.
- Ca serum harus dikoreksi, sampai pengobatan anti tumor yang efektif
dapat dimulai. Mobilisasi pasien untuk mencegah osteolisis, konstipasi
harus diobati.
- Rehidrasi dengan NaCl fisiologis akan meningkatkan ekskresi Ca.
Rehidrasi dapat diberikan dengan cepat (250 – 300 ml / jam) dan diberikan
furosemid I.V untuk mencegah reabsorbsi Ca.
- Pada “multiple myeloma”, “lymphoma”, “leukemia, dan “carcinoma
mamma pemberian kortikosteroid untuk menghambat reabsorbsi tulang dan
kerja OAF, dilaporkan cukup efektif. Dosis yang diperlukan cukup besar,
yaitu antara 40 – 100 mg prednisolon / hari.
- Pemakaian obat obat yang akan meningkatkan ca darah harus
dihindari. (diuretik thiazide, vit A dan vit D).
- Obat khusus untuk hipercalcemia adalah “mithracin (plicamycin)”.
Suatu agen kemoterapi yang dapat bekerja efektif mencegah reabsorbsi
tulang dengan menurunkan jumlah dan aktifitas dari osteoklas.
- Calcitonin juga bekerja menghambat reabsorbsi tulang, dan akan
menurunkan kadar Ca beberapa jam setelah pemberian. Pemakaian
calcitonin seringkali harus dikombinasi dengan glucorticoid untuk
mencegah terjadinya “tachyphylaxis”.
- Pemberian “diphosphonat” pada hipercalcemia oleh karena karsinoma
mamma atau “multiple nyeloma” cukup memberikan hasil, meskipun
pemberian I.V dari diphosphonat dilaporkan memberikan komplikasi
hipotensi, hipocalcemia, gagal ginjal dan kematian. Demikian juga
pemberian phosphat I.V tidak dianjurkan oleh karena tingginya komplikasi
yang terjadi.

7.2. Uric Acid Nephropathy.


Nephropathy o.k asam urat sering terjadi pada keganasan yang
mempunyai “turn over cell” yang tinggi. Hai ini sering terjadi pada keadaan
dimana terapi sitotoksik diberikan dan terjadi kematian sel-sel tumor secara
masif (“tumor lysis syndrome”). Sel-sel tumor yang mati ini akan menimbulkan
hiperuricemia dan penumpukan kristal asam urat pada traktus urinarius. Tipe
keganasan yang menimbulkan kedaruratan ini antara lain : limfoma (Burkitt
lymphoma), leukemia dan “myeloproliferative disorder”. Lysis dari tumor yang
menimbulkan “tumor lysis syndrome” juga dapat terjadi pada pengobatan
dengan radiasi.

Gejala klinis.
Sebagai gejala dan tanda-tanda yang sering terlihat adalah uremia, seperti a.l
nausea, vomitus, lethargy, dan oliguria. Pengobatan yang dini akan memberikan
hasil kembalinya fungsi ginjal. Kadang-kadang sulit dibedakan antara
nephropathy akibat hiperuricemia, ataupun gagal ginjal oleh kausa lain dengan
sekunder hiperuricemia. Pemeriksaan asam urat darah pada keadaan akut
seringkali mencapai rata rata 20,1 mg/dL (berkisar antara 9.2 – 92 mg/dL). Jika
terjadi “nyeri pinggang” dan hematuria, maka perlu dilakukan USG untuk
melihat obstruksi ureter. IVP sebaiknya dihindarkan untuk mencegah kerusakan
ginjal lebih lanjut. Pada “tumor lysis syndrome” sering juga terjadi
hiperphophatemia dan hipocalcemia. Pemeriksaan lab yang diperlukan antara
lain BUN, Serum Kreatinin, Ca, phosphor, dan asam urat.
Terapi.
Objektif dari pengobatan adalah pencegahan. Pasien dengan resiko tinggi
dilakukan terapi pencegahan a.l hidrasi yang cukup, allopurinol, dan alkalinisasi
urine.

8. KEDARURATAN AKIBAT KEMOTERAPI


8.1. Sepsis kateter vena sentral
Pengobatan kanker saat ini yang makin intensif menyebabkan penggunaan
akses vaskuler sangat luas. Akses vaskuler merupakan penyebab infeksi yang
cukup banyak pada penderita kanker, sehingga diperlu pemeriksaan lebih
lanjut bila timbul kecurigaan infeksi oleh karena pemakaian kateter.

Diagnosa.
Gejala klinis berupa eritema, indurasi terkadang supurasi. Pada keadaan
bakteremia atau sepsis, maka perlu pemeriksaan kultur baik dari darah dan
tempat suntikan. Kuman penyebab paling banyak adalah Staphylococcus
coagulase negative, kemudian kuman gram positif, gram negatif dan jamur.

Terapi
Antibiotika selama 10-14 hari. Bila menggunakan kateter multi lumen atau
port, maka antibiotika harus diberikan secara bergantian pada lumen tersebut.

8.2. Tumor lysis syndrome


Tumor lysis syndrome (TLS) merupakan komplikasi yang amat serius dari
pengobatan kanker dengan kemoterapi, radiasi, terapi hormonal serta
cryotherapy yang memerlukan perawatan multidisiplin di ruang ICU untuk
mencegah terjadinya gagal ginjal dan kematian. TLS dapat timbul spontan
pada penderita dengan limfoma dan lekemia. Umumnya penderita dengan
massa tumor yang bulky dan besar serta sensitif terhadap kemoterapi atau
radiasi mudah terkena TLS. Sindroma ini dipicu oleh “turn over cell” yang
cepat dan peningkatan dari materi intraseluler ke dalam aliran darah, yang
melampaui kemampuan ekskresi ginjal sehingga terjadi peningkatan kadar
elektrolit yang membahayakan penderita. TLS dapat terjadi setelah
pengobatan Limfoma (Burkitt’s Lymphoma, Non Hodgkin Lymphma), Acute
Lymphoblastic Leukemia, Acute Nonlymphoblastic leukemia, atau Chronic
Myelogenous Leukemia fase blast crisis, Kanker paru small cell, metastasis
kanker payudara dan metastasis meduloblastoma

Terapi
Antibiotika selama 10-14 hari. Bila menggunakan kateter multi lumen atau port,
maka antibiotika harus diberikan secara bergantian pada lumen tersebut.

8.3. Tumor lysis syndrome


Tumor lysis syndrome (TLS) merupakan komplikasi yang amat serius
dari pengobatan kanker dengan kemoterapi, radiasi, terapi hormonal serta
cryotherapy yang memerlukan perawatan multidisiplin di ruang ICU untuk
mencegah terjadinya gagal ginjal dan kematian. TLS dapat timbul spontan pada
penderita dengan limfoma dan lekemia. Umumnya penderita dengan massa
tumor yang bulky dan besar serta sensitif terhadap kemoterapi atau radiasi
mudah terkena TLS. Sindroma ini dipicu oleh “turn over cell” yang cepat dan
peningkatan dari materi intraseluler ke dalam aliran darah, yang melampaui
kemampuan ekskresi ginjal sehingga terjadi peningkatan kadar elektrolit yang
membahayakan penderita. TLS dapat terjadi setelah pengobatan Limfoma
(Burkitt’s Lymphoma, Non Hodgkin Lymphma), Acute Lymphoblastic
Leukemia, Acute Nonlymphoblastic leukemia, atau Chronic Myelogenous
Leukemia fase blast crisis, Kanker paru small cell, metastasis kanker payudara
dan metastasis meduloblastoma
Gejala klinis
- Hiperurisemia
- Hiperkalemia : Gejala hiperkalemia diperburuk oleh insufisiensi ginjal.
Perubahan pada EKG (K > 6 mEq) berupa hilangnya gelombang P,
gelombang T yang tinggi, pelebaran kompleks QRS, depresi segmen ST.
Bila hiperkalemia berlanjut dapat terjadi heart block samapi cardiac arresst
- Hiperfosfatemia
- Hipokalsemia

Pencegahan
- Rehidrasi
- Membuat ph urine menjadi alkali selama 1-2 hari pertama pengobatan
- Alupurinol, pada tumor-tumor yang besar sudah dapat diberikan
sebelum kemoterapi dimulai

Terapi
- Monitor EKG pada keadaan hiperkalemia atau hipokalsemia
- Pada hiperkalemia diberikan insulin dan glukosa, loop diuretika dan
sodium bikarbonat, calcium, oral atau rectal kayexalate setiap 6 jam.
- Bila kondisi memburuk atau hiperkalemia tak teratasi dipertimbangkan
untuk hemodialisis.

9. KEDARURATAN BEDAH
9.1. Obstruksi intestinal
Merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi di
bidang onkologi. Obstruksi intestinal bisa berasal dari intra abdominal atau
ekstra abdominal. Lebih kurang 2/3 dari kasus obstruksi intestinal intra
abdominal dijumpai pada penderita kanker ovarium, tumor dari kolon dan
metastasis, sedang sisanya dijumpai pada hernia, adesi dan enteritis akibat
radiasi. Obstruksi intestinal ekstra abdominal sebagai akibat metastasis berasal
dari keganasan paru, payudara dan melanoma. Obstruksi intestinal tanpa
penyebab mekanik (Ogylvie’s syndrome) sering dijumpai pada penderita kanker
sebagai akibat penggunaan narkotik analgetik, abnormalitas elektrolit, radiasi,
malnutrisi, imobilisasi yang lama yang menyebabkan motilitas usus terganggu.
Keputusan untuk melakukan pembedahan sering menimbulkan kontroversi.

Pemeriksaan klinis
- Anamnesis
- Pemeriksaan fisik
- Penunjang laboratorium dan pencitraan (colon in loop, CT scan abdomen
dengan kontras oral dan rectal)

Terapi
- Resusitasi cairan dan elektrolit
- Mencari underlying disease
- Dekompresi intestinal dengan pemasangan pipa nasogastrik
- Dekompresi dengan kolonoskopi dipertimbangkan bila diameter
sekum tidak melebihi 10 cm
- Penderita dengan obstruksi intestinal partial dicoba dengan pemberian
medikamentosa dimana ± 50 % pasien berespon dengan pengobatan
konservatif selama 2 minggu
- Pembedahan dikerjakan bila terjadi dilatasi progresif dengan
impending perforasi atau jika ada tanda dan gejala peritonitis atau
pengobatan konservatif gagal

9.2. Pendarahan.
Insidens pendarahan intraabdominal yang disebabkan oleh keganasan
adalah jarang. Penyebab pendarahan yang terbanyak adalah ulkus peptikum,
gastritis atau yang berhubungan dengan limfoma dan metastasis tumor.
Diagnosis dan terapi adalah sama dengan penanganan kasus pendarahan
intestinal yang bukan disebabkan oleh kanker
9.3. Perforasi intestinal
Perforasi intestinal dapat terjadi setiap saat selama tahap perjalanan penyakit
maupun dalam pengobatan (kemoterapi atau radiasi) atau dapat sebagai akibat
lanjut dari metastasis tumor. Perforasi traktus gastrointesrtinal sebagai akibat
pemberian kemoterapi pada kasus solid tumor metastase umumnya fatal.
Sebagian besar perforasi intestinal pada penderita kanker bukandisebabkan oleh
penyakit kankernya tetapi oleh penyebab lain seperti ulkus peptikum,
divertikulitis dan appendicitis dan penanganannya sama dengan prinsip
pembedahan standar. Perforasi intestinal umumnya dijumpai pada sekum.
Mortalitas yang dijumpai pada tindakan laparotomi emergency mencapai 30%.
Dengan pemberian kemoterapi mortalitas meningkat diatas 80%. Hal ini
disebabkan karena toksisitas dari kemoterapi terhadap mieloid, adanya
malnutrisi, dan efek imunosupresif, sehingga gejala khas dari perforasi intestinal
menjadi tidak jelas yang mengakibatkan keterlambatan diagnose dan terapi.

9.4. Obstruksi bilier


Obstruksi bilier pada hilus dari hepar atau pada kelenjar getah bening
aorta sangat jarang tetapi menimbulkan masalah pada penderita kanker.
Obstruksi ini umumnya disebabkan oleh limfoma, melanoma, kanker payudara,
kolon, lambung, paru dan ovarium. Obstuksi pada biliary tree umumnya
brerasal dari common bile duct dan pankreas. Diagnosis terbaik ditegakkan
dengan CT scan yang dapat memberikan informasi tentang lokasi, derajat
obstruksi, informasi tentang organ intra abdominal yang lain yang juga sering
menyebabkan obstruksi. Dengan CT scan dapat dikerjakan guiding FNA untuk
mendap[atkan diagnosa patologi. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah
endoscopic guiding. Prognosa penderita dengan obstruksi bilier sangat jelek.

Terapi
Ditujukan untuk meringankan obstruksinya dan mencegah cholangitis. ERCP
dan pemasangan stent merupakan pilihan drainase, bila gagal dapat dikerjakan
Percutaneous Transhepatic Drainage. Eksternal radiasi dengan atau tanpa
kemoterapi dapat merupakan pengobatan paliatif, khususnya pada tumor primer
bilier dan pancreas. Pembedahan dikerjakan pada penderita dengan
kemungkinan hidup yang lama, resiko rendah atau kemungkinan metastasisnya
rendah.
DAFTAR PUSTAKA :

1. Glover D., Glick J.H. : Oncologie Emergencies. American


Cancer Society Textbook of Clinical Oncology. Chapter 34. American Cancer
Society, Atlanta. 1991. pg 513-533.
2. Yahalom J. : Superior Vena Cava Syndrome. Oncology
Emergency In : DeVita V.T., Hellman S., Rosenberg S.A., (eds), Cancer Principles
& Practice of Oncology. 6th ed. Lippincott William & Wilkins. Philadelphi. 2001.
pg. 2609-1215.
3. Fuller B.G., Heiss J.D., Oldfield E.H., Spinal Cord
Compression. Oncology Emergency In : Devita V.T., Hellman S., Rosenberg S.A.,
(Eds), Cancer Principles & Practice of Oncology. 6th ed. Lippincott William &
Wilkins. Philadelphi. 2001. pg. 2617-2630.
4. Warrel Jr. R.P., Metabolic Emergencies. Oncology
Emergency In : DeVita V.T., Hellman S., Rosenberg S.A., (eds), Cancer Principles
& Practice of Oncology. 6th ed. Lippincott William & Wilkins. Philadelphi. 2001.
pg. 2633-2642.
5. Walther M.M., : Urologic Emergencies. Oncology
Emergency In : DeVita V.T., Hellman S., Rosenberg S.A., (eds), Cancer Principles
& Practice of Oncology. 6th ed. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia. 2001.
pg. 2645-2651.
6. Wayne JD, Bild RJ. Oncologic Emergencies in : Feig BW,
Berger DH, Fuhrman GM. Eds. The M.D. Anderson Surgical Oncology
Handbook 3rd ed Lippincott William & Wilkins. Philadelphia. 2003. pg. 491-509.
7. Yahanda AM. Surgical Emergencies in the Cancer Patient
in : Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, et al Eds. Surgery. Basic Science and
Clinical Evidence. Springer-Verlag New York, Inc. 2001. pg. 1823-1839.

Anda mungkin juga menyukai