Anda di halaman 1dari 33

TELAAH JURNAL

Pengaruh Cold Compression Therapy terhadap Proses Penyembuhan


Pasien Pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF) Ektremitas
Bawah

Mulyati, S.Kep
N.I.P : 196311081988032001

Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Dajamil Padang


2016
PERSETUJUAN TELAAH JURNAL

“Pengaruh Cold Compression Therapy terhadap Proses Penyembuhan Pasien Pasca Open

Reduction Internal Fixation (ORIF) Ektremitas Bawah”

Laporan telaah jurnal ini telah disetujui


pada Oktober 2016

Oleh:

Ketua Tim Penilai Ketua Satuan Perawat Fungsional

Yulius, S.Kp Mulyati, S.Kep


NIP.1961107071988031001 NIP.196311081988032001

Untuk memnuhi tugas kenaikan pangkat 4 IV (Perawat Pembina Madya )


Oktober 2016
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejadian fraktur di Indonesia sebesar 1,3 juta setiap tahun dengan jumlah
penduduk 238 juta, merupakan terbesar di Asia Tenggara (Wrongdignosis, 2011).
Kejadian fraktur di Indonesia yang dilaporkan Depkes RI (2007) menunjukkan
bahwa sekitar delapan juta orang mengalami fraktur dengan jenis yang berbeda.
Insiden fraktur di Indonesia 5,5% dengan rentang setiap provinsi antara 2,2%
sampai 9% (Depkes 2007). Fraktur ekstremitas bawah memiliki prevalensi sekitar
46,2% dari insiden kecelakaan.
Fraktur biasanya terjadi karena adanya trauma mendadak yang disebabkan
oleh kekerasan baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut penyebabnya
fraktur dibedakan menjadi 3 yaitu fraktur yang disebabkan oleh trauma, baik
langsung maupun tak langsung, fraktur yang disebabkan oleh kelelahan pada tulang,
fraktur karena keadaan patologi (Sjamsuhudajat dan Jong 2007).
Pada kasus fraktur, dapat ditangani dengan cara konservatif atau penanganan
tanpa dilakukan operasi, seperti pembebatan, gips, bracing, dll. Dapat pula
dilakukan dengan operatif atau tindakan dengan operasi, menggunakan fiksasi
internal (ORIF) ataupun fiksasi eksternal (OREF). Pada kasus ini menggunakan
metode operasi dengan Open Reduction Internal Fixation (ORIF). Metode ini
merupakan metode yang paling sering digunakan yaitu dengan melakukan
pembedahan dan pemasangan internal fiksasi berupa Plate and Screw atau Intra
Medullary Nail.
Pada kasus fraktur terutama post operasi ORIF fraktur cruris 1/3 distal akan
menimbulkan problematik seperti edema, nyeri, keterbatasan lingkup gerak sendi,
penurunan kekuatan otot, gangguan aktifitas fungsional dalam melakukan aktifitas
sehari-hari seperti berjalan (Smeltzer & Bare, 2005). Trauma akibat pembedahan
pada tulang, otot, jaringan, atau sendi akan mengakibatkan nyeri secara signifikan.
Pembedahan menimbulkan trauma jaringan lunak dan struktur yang sebelumnya
tidak mengalami cedera. Nyeri pasca pembedahan ekstremitas bawah memiliki
intensitas nyeri hebat dengan kejadian sampai 70 % dengan durasi 3 hari
(Smeltzer
& Bare, 2005).
Homeostasis, bengkak, nyeri, rasa tidak nyaman, peningkatan mobilisasi dini
dan rencana pulang merupakan fokus utama pada periode akut pasca operasi (Smith,
Stevens, Taylor, & Tibbey; 2002). Pendekatan famakologis perlu dikombinasikan
dengan pendekatan non farmakologis untuk meningkatkan penyembuhan pasien
sehingga mempersingkat lama hari rawat.
Perawatan fase pasca operasi ortopedi merupakan upaya untuk
menanggulangi efek operasi dan meningkatkan penyembuhan. Manajemen trauma
jaringan lunak meliputi proteksi, istirahat, dingin, kompresi, dan elevasi. Cold
compression therapy merupakan terapi modalitas yang digunakan pada berbagai
manajemen operasi dengan berbagai variasi prosedur ortopedi dimana pembedahan
menghasilkan kerusakan jaringan yang sama tetapi berat ringannya ter
gantung gejala (Block, 2010).
Cold compression therapy secara langsung ditujukan untuk bengkak,
inflamasi, dan nyeri berkaitan dengan cedera dengan berbagai mekanisme (Block,
2010). Cold compression akan mengakibatkan efek secara lokal menurunkan tingkat
metabolisme jaringan lunak sehingga mereduksi aktivitas enzimatik mencegah
kerusakan jaringan yang diakibatkan hipoksia. Lokal hipotermia merangsang
vasokontriksi dan penurunan mikrosirkulasi lebih dari 60 % sehingga mereduksi
ekstravasasi darah melingkupi jaringan, inflamasi lokal, dan produksi edema.
Penurunan formasi edema akan menurunkan konduksi saraf sensorik dan motorik
sehingga nyeri menurun. Reduksi aliran darah dan bengkak akan tercapai dengan
kompresi pada area yang cedera. Kompresi akan meningkatkan tingkat, besaran, dan
kedalaman reduksi temperatur yang akan mempercepat vakuasi limfe. Dingin
meningkatkan rentang gerak sendi dengan mengurangi nyeri, menghambat spasme
otot, dan mengurangi tegangan otot (Lin, 2002).
Penelitian yang dilakukan Smith, Stevens, Taylor, & Tibbey (2002)
menunjukan bahwa kompres es dengan elastis bandage mengurangi nyeri, edema,
meningkatkan rentang gerak sendi, dan mempersingkat lama hari rawat pada pasien
total knee arthroplasty. Penelitian berjudul “Cold and Compression in The
Management of Musculosceletal Injuries and Orthopaedic Operative Procedures : a
Narrative Review”dilakukan pada berbagai prosedur bedah ortopedi. Hasil
penelitian menunjukan bahwa terapi merupakan cold compression therapy
memberikan manfaat lebih sebagai intervensi pada kerusakan jaringan yang parah
akibat pembedahan, edema dan nyeri pasca operasi, dan kehilangan darah dalam
jumlah cukup banyak (Block, 2010).
Berdasarkan wawancara dengan salah satu pegawai bagian Rekam Medis
pada tanggal 19 Mei 2016 mengatakan setiap hari lebih kurang adanya 3 pasien
yang terpasang ORIF dan membutuhkan hari rawat yang lama baik pada fraktur
tibia maupun fibula. Dan pada ruangan Bedah RSUP Dr M Djamil Padang belum
ada melakukan cold compression therapy untuk melakukan kompres pada pasien
yang dipasang ORIF. Untuk itu kelompok tertarik untuk melakukan seminar jurnal
mengenai cold compression therapy terhadap proses penyembuhan pasien pasca
ORIF.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan yang telah di uraikan pada latar belakang, penetapan
masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh Cold Compression
Therapy terhadap proses penyembuhan pasien pasca Open Reduction Internal
Fixation (ORIF) ektremitas bawah

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh Cold Compression Therapy terhadap proses
penyembuhan pasien pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF) ektremitas
bawah

2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi apakah Cold Compression Therapy dapat memberikan
pengaruh terhadap nyeri pada pasien pasca Open Reduction Internal Fixation
(ORIF) ektremitas bawah
b. Mengidentifikasi apakah Cold Compression Therapy dapat memberikan
pengaruh terhadap edema pada pasien pasca Open Reduction Internal
Fixation (ORIF) ektremitas bawah.
c. Mengidentifikasi apakah Cold Compression Therapy dapat memberikan
pengaruh terhadap rentang gerak sendi pada pasien pasca Open Reduction
Internal Fixation (ORIF) ektremitas bawah
Mengidentifikasi apakah hasil penelitian mengenai pengaruh Cold Compression
Therapy dapat memberikan pengaruh terhadap proses penyembuhan pasien
pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF) ektremitas bawah.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

1. Konsep Musculoskeletal

Sistem muskuloskeletal merupakan sistem tubuh yang terdiri dari otot (muskulo)
dan tulang-tulang yang membentuk rangka (skelet). Otot adalah jaringan tubuh
yang mempunyai kemampuan mengubah energi kimia menjadi energi mekanik
(gerak). Sedangkan rangka adalah bagian tubuh yang terdiri dari tulang-tulang yang
memungkinkan tubuh mempertahankan bentuk, sikap dan posisi (Setiadi, 2007).

Fungsi Tulang

1) Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.


2) Tempat melekatnya otot.
3) Melindungi organ penting.
4) Tempat pembuatan sel darah.
5) Tempat penyimpanan garam mineral.
Tulang mencapai kematangannya setelah pubertas dan pertumbuhan seimbang
hanya sampai usia 35 tahun. Berikutnya mengalami percepatan reabsorpsi sehingga
terjadi penurunan massa tulang sehingga pada usila menjadi rentan terhadap injury.
Pertumbuhan tulang dipengaruhi hormone dan mineral.

Penyusun Tulang
Tulang disusun oleh sel-sel tulang yang terdiri dari osteosit, osteoblast dan
osteoklast serta matriks tulang. Matriks tulang mengandung unsur organik terutama
kalsium dan fosfor. Tulang adalah jaringan yang paling keras diantara jaringan ikat
lainnya yang terdiri atas hampir 50 % air dan bagian padat, selebihnya terdiri dari
bahan mineral terutama calsium kurang lebih 67 % dan bahan seluler 33%.
Tulang tersusun dari 3 jenis sel yaitu :
a. Osteoblas
Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matrik
tulang. Matrik tulang tersusun atas 98% kolagen dan 2% substansi dasar
(glukosaminoglikan/ asam polisakarida dan proteoglikan). Matrik tulang
merupakan kerangka dimana garam-garam mineral ditimbun terutama calsium,
fluor, magnesium dan phosphor.
b. Osteosit
Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai pemeliharaan
fungsi tulang dan terletak pada osteon (unit matrik tulang). Osteon yaitu unit
fungsional mikroskopik tulang dewasa yang di tengahnya terdapat kapiler dan
disekeliling kapiler tedapat matrik tulang yang disebut lamella. Di dalam lamella
terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi lewat prosesus yang berlanjut kedalam
kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan dengan pembuluh darah yang
terletak kurang lebih 0,1 mm).
c. Osteoklas
Osteoklas adalah sel-sel besar berinti banyak memungkinkan mineral dan
matriks tulang dapat diabsorpsi, penghancuran dan remodeling tulang. Tidak seperti
osteoblas dan osteosit, osteoklas mengikis tulang.
Tulang merupakan jaringan yang dinamis dalam keadaan peralihan tulang (resorpsi
dan pembentukan tulang). Kalium dalam tubuh orang dewasa diganti 18%
pertahun.

Struktur Tulang
Secara makroskopis tulang terdiri dari dua bagian yaitu pars spongiosa (jaringan
berongga) dan pars kompakta (bagian yang berupa jaringan padat). Permukaan luar
tulang dilapisi selubung fibrosa (periosteum); lapis tipis jaringan ikat (endosteum)
melapisi rongga sumsum dan meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak.
Membran periosteum berasal dari perikondrium tulang rawan yang merupakan pusat
osifikasi. Periosteum merupakan selaput luar tulang yang tipis. Periosteum
mengandung osteoblas (sel pembentuk jaringan tulang), jaringan ikat dan pembuluh
darah. Periosteum merupakan tempat melekatnya otot-otot rangka (skelet) ke tulang
dan berperan dalam memberikan nutrisi, pertumbuhan dan reparasi tulang rusak.
Pars kompakta teksturnya halus dan sangat kuat. Tulang kompak memiliki
sedikit rongga dan lebih banyak mengandung kapur (Calsium Phosfat dan Calsium
Carbonat) sehingga tulang menjadi padat dan kuat. Kandungan tulang manusia
dewasa lebih banyak mengandung kapur dibandingkan dengan anak-anak maupun
bayi. Bayi dan anak-anak memiliki tulang yang lebih banyak mengandung serat-
serat sehingga lebih lentur.

2. Penatalaksanaan

a. Gangguan Musculoskeletal

Tujuan pengobatan fraktur adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari


patah tulang supaya satu sama lain saling berdekatan, selain itu menjaga agar
tulang tetap menempel sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan
memerlukan waktu minimal 4 minggu, tetapi pada usia lanjut biasanya
memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah sembuh, tulang biasanya kuat dan
kembali berfungsi (Corwin, 2010).
Penatalaksanaan fraktur telah banyak mengalami perubahan dalam waktu
sepuluh tahun terakhir ini. Traksi dan spica casting atau cast bracing
mempunyai banyak kerugian karena waktu berbaring lebih lama, meski pun
merupakan penatalaksanaan non-invasif pilihan untuk anak-anak. Oleh karena
itu tindakan ini banyak dilakukan pada orang dewasa (Mansjoer, 2000).
Bila keadaan penderita stabil dan luka telah diatasi, fraktur dapat
dimobilisasi dengan salah satu cara dibawah ini:
1. Traksi
Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk
menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Tujuan traksi
adalah untuk menangani fraktur, dislokasi atau spasme otot dalam usaha
untuk memperbaiki deformitas dan mempercepat penyembuhan. Traksi
menggunakan beban untuk menahan anggota gerak pada tempatnya. Tapi
sekarang sudah jarang digunakan. Traksi longitudinal yang memadai
diperlukan selama 24 jam untuk mengatasi spasme otot dan mencegah
pemendekan, dan fragmen harus ditopang di posterior untuk mencegah
pelengkungan. Traksi pada anak-anak dengan fraktur femur harus kurang
dari 12 kg, jika penderita yang gemuk memerlukan beban yang lebih besar.
2. Fiksasi Internal
Fiksasi interna dilakukan dengan pembedahan untuk menempatkan
piringan atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang. Fiksasi interna
merupakan pengobatan terbaik untuk patah tulang pinggul dan patah tulang
disertai komplikasi.
3. Pembidaian
Pembidaian adalah suatu cara pertolongan pertama pada cedera/
trauma sistem muskuloskeletal untuk mengistirahatkan (immobilisasi)
bagian tubuh kita yang mengalami cedera dengan menggunakan suatu alat
yaitu benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
4. Pemasangan Gips
Gips adalah suatu bubuk campuran yang digunakan untuk
membungkus secara keras daerah yang mengalami patah tulang.
Pemasangan gips bertujuan untuk menyatukan kedua bagian tulang yang
patah agar tak bergerak sehingga dapat menyatu dan fungsinya pulih
kembali dengan cara mengimobilisasi tulang yang patah tersebut.

b. ORIF

ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi


pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan
posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran.
Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk
fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.

ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi


pada tulang yang mengalami fraktur. ORIF merupakan suatu tindakan
pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah/ fraktur
sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya. Internal fiksasi biasanya
melibatkan penggunaan plat, sekrup, paku maaupun suatu intramedulary (IM)
untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan
tulang yang solid terjadi.

ORIF adalah alat bantu jalan dan mobilisasi yaitu alat yang digunakan untuk
membantu klien supaya dapat berjalan dan bergerak.

c. OREF

OREF adalah reduksi terbuka dengan fiksasi internal dimana prinsipnya tulang
ditransfiksasikan di atas dan di bawah fraktur, sekrup atau kawat ditransfiksi di
bagian proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama lain dengan suatu
batang lain.

Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan


jaringan lunak. Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur
kominutif (hancur atau remuk). Pen yang telah terpasang dijaga agar tetap
terjaga posisinya, kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini
memberikan rasa nyaman bagi pasien yang mengalami kerusakan fragmen
tulang.

3. Cold Compression Therapy

Coldtherapy adalah pemanfaatan dingin untuk mengobati nyeri atau gangguan


kesehatan lainnya. Istilah cryotherapy digunakan untuk penggunaan terapi dingin
yang sangat ekstrim, biasanya mengunakan cairan nitrogen, untuk merusak
jaringan. Beberapa jenis cryotherapy yang ada antaralain
meliputi:cryosurgery,cryoablation atau targeted cryoablation. Cryotherapy kadang
dipakai untuk penanganan luka di kulit, seperti warts atau beberapa jenis kanker
kulit. Terapi dingin dapat dipakai dengan beberapa cara,seperti penggunaan es,
dancold baths. Terapi ini dipakai pada saat respon peradangan masih sangat nyata
(keadaan cedera akut).
a. Efek Fisiologis Cold Therapy
Pada terapi dingin, digunakan modalitas terapi yang dapat menyerap suhu
jaringan sehingga terjadi penurunan suhu jaringan melewati mekanisme
konduksi. Efek pendinginan yang terjadi tergantung jenis aplikasi terapi dingin,
lama terapi dan konduktivitas. Pada dasarnya agar terapi dapat efektif, lokal
cedera harus dapat diturunkan suhunya dalam jangka waktu yang
mencukupi.Inti dari terapi dingin adalah menyerap kalori area lokal cedera
sehingga terjadi penurunan suhu. Berkait dengan hal ini, jenis terapi dengan
terapi es basah lebih efektif menurunkan suhu dibandingkan es dalam kemasan
mengingat pada kondisi ini lebih banyak kalori tubuh yang dipergunakan untuk
mencairkan es. Semakin lama waktu terapi, penetrasi dingin semakin dalam.
Pada umumnya terapi dingin pada suhu 3,5 °C selama 10 menit dapat
mempengaruhi suhu sampai dengan 4 cm dibawah kulit. Jaringan otot dengan
kandungan air yang tinggi merupakan konduktor yang baik sedangkan jaringan
lemak merupakan isolator suhu sehingga menghambat penetrasi dingin. Terapi
dingin dapat dipakai dalam beberapa bentuk, seperti penggunaan es dan cold
baths. Aplikasi dingin dapat mengurangi suhu daerah yang sakit, membatasi
aliran darah dan mencegah cairan masuk ke jaringan di sekitar luka. Hal ini akan
mengurangi nyeri dan pembengkakan. Aplikasi dingin dapat mengurangi
sensitivitas dari akhiran syaraf yang berakibat terjadinya peningkatan ambang
batas rasa nyeri. Aplikasi dingin juga akan mengurangi kerusakan jaringan
dengan jalan mengurangi metabolisme lokal sehingga kebutuhan oksigen
jaringan menurun. Respon neuro-hormonal terhadap terapi dingin adalah sebagai
berikut :
 •Pelepasan endorphin
 •Penurunan transmisi saraf sensoris
 •Penurunan aktivitas badan sel saraf
 •Penurunan iritan yang merupakan limbah metabolisme sel
 •Peningkatan ambang nyeri
Indikasi Cold Therapy Beberapa kondisi yang dapat ditangani dengan
Coldtherapy antara lain :
a. Cedera (sprain, straindan kontusi)
b.Sakit kepala (migrain, tension headache dan cluster headache).
c.Gangguan temporomandibular (TMJ disorder).
d.Testiculardan scrotal pain
e.Nyeri post operasi..
f.Fase akut arthritis (peradangan pada sendi).
g.Tendinitis dan bursitis.
h.Carpal tunnel syndrome.
i.Nyeri lutut.
j. Nyeri sendi
k. Nyeri perut
b. Kontra Indikasi Cold Therapy
Coldtherapy sangat mudah digunakan, cepat, efisien dan ekonomis. Akan tetapi
terdapat beberapa kondisi yang dapat dipicu oleh coldtherapy. Individu dengan
riwayat gangguan tertentu memerlukan pengawasan yang ketat pada terapi dingin.
Beberapa kondisi tersebut diantaranya adalah :
a) Raynaud`s syndrom
yang merupakan kondisi dimana terdapat hambatan pada arteri terkecil yang
menyalurkan darah ke jari tangan dan kaki ketika terjadinya dingin atau emosi.
Pada keadaan ini timbul sianosis yanga pabila berlanjut dapat mengakibatkan
kerusakan anggota tubuh perifer.
b) Vasculitis (peradangan pembuluh darah)
c) Gangguan sensasi saraf misal neuropathy akibat diabetes mellitus maupun
leprosy.
d) Cryoglobulinemia yang merupakan kondisi berkurangnya protein di dalam darah
yang menyebabkan darah akan berubah menjadi gel bila kena dingin
e) Paroxysmal cold hemoglobinuria
yang merupakan suatu kejadian pembentukan antibodi yang merusak sel darah
merah bila tubuh dikenai dingin.
BAB III

HASIL TELAAH JURNAL

A. Telaah Isi Jurnal


1. Absrak

Permasalahan pasca pembedahan ortopedi berkaitan dengan nyeri, perfusi


jaringan, promosi kesehatan, mobilitas fisik, dan konsep diri. Perawatan fase
pasca operasi ortopedi merupakan upaya untuk menanggulangi efek operasi dan
meningkatkan penyembuhan. Manajemen trauma jaringan lunak meliputi
proteksi, istirahat, dingin, kompresi, dan elevasi. Hasil analisa penerapan EBN
menunjukan bahwa nyeri menurun dari rata-rata 6,6 menjadi 3,2; edema
A.menurun
Abstrak
dari rata-rata 49,3 cm menjadi 48 cm; dan rentang gerak sendi lutut
dari rata-rata 250 meningkat menjadi 440. Cold compression therapy
merupakan terapi modalitas yang digunakan pada berbagai manajemen operasi
dengan berbagai variasi prosedur ortopedi dengan kerusakan jaringan berperan
dapat meningkatkan proses penyembuhan dengan indikator penurunan nyeri dan
edema, serta peningkatan rentang gerak sendi. Cold compression therapy dapat
digunakan sebagai standar operasional prosedur untuk memberikan asuhan
keperawatan saat 24 – 48 jam pasca ORIF.

Kata kunci : cold compression therapy, proses penyembuhan, pasca ORIF

Abstrak dalam jurnal ini belum memenuhi kriteria penulisan abstrak. Abstrak dalam
jurnal ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan jumlah kata 139 kata, seharusnya syarat
abstrak yang baik berkisar antara 150-200 kata. Adapun poin-poin yang dimuat dalam
abstrak tersebut adalah sebagai berikut:

- Latar belakang
“ Permasalahan pasca pembedahan ortopedi berkaitan dengan nyeri, perfusi
jaringan, promosi kesehatan, mobilitas fisik, dan konsep diri. Perawatan fase
pasca operasi ortopedi merupakan upaya untuk menanggulangi efek operasi
dan meningkatkan penyembuhan”.
Dalam abstrak jurnal ini sudah terdapat penjabaran tentang latar
belakang dari penelitian yang dilakukan. Seharusnya dalam abstrak sebuah
penelitian harus terdapat latar belakang. Latar belakang diperlukan sebagai
pengantar tentang alasan mengapa penelitian tersebut dilakukan dan untuk
memperlihatkan secara spesifik tentang fenomena yang ditemukan dilapangan,
angka kejadian, dan masalah lanjut dari bedah ortopedi.

- Tujuan
Pada abstrak jurnal tidak mencantumkan tujuan penelitian sehingga
variabel yang diukur tidak dapat dinyatakan secara jelas, rinci dan tegas.
Sebaiknya tujuan pada abstrak di tuliskan agar jelas apa tujuan kita
melakukan penelitian ini, seperti :
“ Tujuan untuk mengetahui pengaruh cold compression therapy
terhadap proses penyembuhan pasien pasca Open Reduction Internal Fixation
(ORIF) ekstremitas bawah.

- Metode
Pada abstrak dalam jurnal ini tidak memaparkan secara ringkas tentang
metode penelitian yang digunakan sehingga tidak jelas bagaimana metode dalam
melakukan penelitan ini.
Sebaiknya metode dalam abstrak ini dituliskan, seperti :
“Metode Penelitian menggunakan Quasy Eksperimen : Non Randomized
Pretest-posttest”

- Tempat dan Sampling


Dalam abstrak jurnal juga tidak mencantumkan tentang tempat penelitian
dan jumlah sampel yang di ambil dalam penelitian. Untuk tempat dilakukan
penelitian sebaiknya disatukan saja dengan tujuan dari penelitian agar tidak
terjadi pemborosan kata-kata, seperti :
Tujuan untuk mengetahui pengaruh cold compression therapy terhadap
proses penyembuhan pasien pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF)
ekstremitas bawah di Lantai I Gedung Prof Soelarto RSUP Fatmawati Jakarta”
Dan untuk sampling :
“ Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan Total Sampling.”

- Hasil
“Hasil analisa penerapan EBN menunjukan bahwa nyeri menurun dari
rata-rata 6,6 menjadi 3,2; edema menurun dari rata-rata 49,3 cm menjadi 48
cm; dan rentang gerak sendi lutut dari rata-rata 250 meningkat menjadi 440.”
Hasil penelitian ada dicantumkan di dalam abstrak walaupun tidak
mencantumkan tujuan dari penelitian yang di lakukan.

- Saran/ Rekomendasi
“Cold compression therapy merupakan terapi modalitas yang digunakan
pada berbagai manajemen operasi dengan berbagai variasi prosedur ortopedi
dengan kerusakan jaringan berperan dapat meningkatkan proses penyembuhan
dengan indikator penurunan nyeri dan edema, serta peningkatan rentang gerak
sendi. Cold compression therapy dapat digunakan sebagai standar operasional
prosedur untuk memberikan asuhan keperawatan saat 24 – 48 jam pasca
ORIF”.
Saran dalam abstrak penelitian ini tidak menjelaskan secara rinci, jelas
dan tegas karena tidak ada kata-kata yang berupa mengajak atau menghimbau.
Dalam saran pada abstrak ini lebih seperti kesimpulan atau inti dari penelitian,
seperti :
“Berdasarkan hasil penelitian tersebut diharapkan bisa menggunakan
cold compression theraphy tehadap proses penyembuhan dengan indikator
proses penyembuhan nyeri, edema, dan rentang gerak sendi”

- Kata Kunci
“Kata kunci : cold compression therapy, proses penyembuhan, pasca
ORIF “.
Kata kunci dalam jurnal sudah memenuhi syarat penulisan abstrak, yaitu
terdiri dari 2-5 kata kunci yang mencerminkan konsep utama yang dibahas
dalam penelitian. Tetapi penulisan kata kunci pada abstrak ini
sebaiknya berurutan berdasarkan abjad, seperti :
“Kata kunci : cold compression therapy, pasca ORIF, proses
penyembuhan “.

- Daftar pustaka
Dalam abstrak jurnal tidak mencantumkan jumlah dan tahun daftar
bacaan yang digunakan, sebaiknya :
“ Referensi : 10 ( 2002 – 2010)

2. Pendahuluan

Pasca bedah ortopedi dapat menimbulkan berbagai masalah karena merupakan


suatu trauma pada berbagai jaringan muskuloskeletal. Permasalahan pasca pembedahan
ortopedi berkaitan dengan nyeri, perfusi jaringan, promosi kesehatan, mobilitas fisik, dan
konsep diri.
. Trauma akibat pembedahan pada tulang, otot, jaringan, atau sendi akan
mengakibatkan nyeri secara signifikan. Pembedahan menimbulkan trauma jaringan lunak
dan struktur yang sebelumnya tidak mengalami cedera. Nyeri pasca pembedahan
ekstremitas bawah memiliki intensitas nyeri hebat dengan kejadian sampai 70 % dengan
durasi 3 hari (Smeltzer & Bare, 2005). Nyeri pasca bedah ortopedi saat berada diruang
perawatan dalah 4,7 dengan menggunakan skala 0 sampai 10, dan nyeri berkontribusi
terhadap aktivitas paskaoperasi (Morris et al, 2010).
Trauma jaringan menyebabkan perdarahan dan menimbulkan reaksi inflamasi
sebagai mekanisme pertahanan tubuh yang berpotensi menimbulkan komplikasi.
Perfusi jaringan diakibatkan dengan adanya edema dan perdarahan yang menghasilkan
gangguan sirkulasi dan sindrom kompartemen. Inaktivitas berkontribusi terhadap stasis
vena dan berkembang menuju DVT (Bare & Smeltzer, 2006).
Keterbatasan rentang gerak sendi terjadi karena cedera pada otot, spasme otot, dan
reaksi pasien karena merasa nyeri saat digerakan. Keterbatasan rentang gerak sendi
berpengaruh terhadap kemampuan mobilisasi pasien yang pada akhirnya menimbulkan
ketidakberdayaan dan ketergantungan.
Homeostasis, bengkak, nyeri, rasa tidak nyaman, peningkatan mobilisasi dini dan
rencana pulang merupakan fokus utama pada periode akut pasca operasi (Smith, Stevens,
Taylor, & Tibbey; 2002). Pendekatan famakologis perlu dikombinasikan dengan pendekatan
non farmakologis untuk meningkatkan penyembuhan pasien sehingga mempersingkat lama
hari rawat.
Perawatan fase pasca operasi ortopedi merupakan upaya untuk menanggulangi
efek operasi dan meningkatkan penyembuhan. Manajemen trauma jaringan lunak meliputi
proteksi, istirahat, dingin, kompresi, dan elevasi. Cold compression therapy
merupakan
terapi modalitas yang digunakan pada berbagai manajemen operasi dengan berbagai
variasi prosedur ortopedi dimana pembedahan menghasilkan kerusakan jaringan yang
sama tetapi berat ringannya tergantung gejala (Block, 2010).
Cold compression therapy secara langsung ditujukan untuk bengkak, inflamasi, dan
nyeri berkaitan dengan cedera dengan berbagai mekanisme (Block, 2010). Cold
compression akan mengakibatkan efek secara lokal menurunkan tingkat metabolisme
jaringan lunak sehingga mereduksi aktivitas enzimatik mencegah kerusakan jaringan yang
diakibatkan hipoksia. Lokal hipotermia merangsang vasokontriksi dan penurunan
mikrosirkulasi lebih dari 60 % sehingga mereduksi ekstravasasi darah melingkupi jaringan,
inflamasi lokal, dan produksi edema. Penurunan formasi edema akan menurunkan konduksi
saraf sensorik dan motorik sehingga nyeri menurun. Reduksi aliran darah dan bengkak
akan tercapai dengan kompresi pada area yang cedera. Kompresi akan meningkatkan
tingkat, besaran, dan kedalaman reduksi temperatur yang akan mempercepat vakuasi limfe.
Dingin meningkatkan rentang gerak sendi dengan mengurangi nyeri, menghambat spasme
otot, dan mengurangi tegangan otot (Lin, 2002). Penelitian yang dilakukan Smith, Stevens,
Taylor, & Tibbey (2002) menunjukan bahwa kompres es dengan elastis bandage
mengurangi nyeri, edema, meningkatkan rentang gerak sendi, dan mempersingkat lama hari
rawat pada pasien total knee arthroplasty.
Penelitian berjudul “Cold and Compression in The Management of Musculosceletal
Injuries and Orthopaedic Operative Procedures : a Narrative Review”dilakukan pada
berbagai prosedur bedah ortopedi. Hasil penelitian menunjukan bahwa terapi
merupakan
cold compression therapy memberikan manfaat lebih sebagai intervensi pada
kerusakan
jaringan yang parah akibat pembedahan, edema dan nyeri pasca operasi, dan kehilangan
darah dalam jumlah cukup banyak (Block, 2010).
Cold compression merupakan intervensi keperawatan yang sudah dikenal
cukup lama sebagai terapi modalitas, bahkan menjadi standar asuhan keperawatan pada
pasca bedah ortopedi. Penelitian-penelitan sebelumnya sudah tidak membahas
mengenai efektivitas cold compression, tetapi lebih menekankan pada efektivitas berbagai
metode cold compression. Kenyataan yang ditemukan, ternyata cold compression therapy
belum dilaksanakan diruangan. Aplikasi cold compression yang paling sederhana, murah,
dan mungkin dilakukan diruangan adalah kompres dingin dengan ice cold pack serta
kompresi dengan elastis verban.
Penerapan cold compression therapy pada pasien pasca bedah orthopedi dilakukan
berdasarkan hasil penelitian Smith, Stevens, Taylor, & Tibbey (2002). Aplikasi pemberian
terapi dingin pada penelitian yang dilakukan Smith, Stevens, Taylor, & Tibbey (2002)
memiliki rentang waktu dan metode yang berbeda. Terapi dingin yang dilakukan dengan
kompres es dilakukan saat 24 – 48 jam pasca operasi sebanyak 3 kali perhari dalam
waktu
15 menit. Penggunaan cryo-pad dilakukan saat 6 - 48 jam pasca operasi dengan suhu
20-
50C selama 15 menit. Aplikasi dilakukan dengan melakukan kompres es saat 24 – 48 jam
pasca operasi dengan frekuensi 3 kali per hari dalam waktu 15 menit setiap terapi.
Penerapan EBN pada sistem muskuloskeletal yang dilakukan adalah cold
compression. Cold compression therapy merupakan terapi modalitas yang digunakan pada
berbagai manajemen operasi dengan berbagai variasi prosedur ortopedi dimana
pembedahan menghasilkan kerusakan jaringan yang sama tetapi berat ringanya tergantung
gejala. Cold compression therapy secara langsung ditujukan untuk bengkak, inflamasi, dan
nyeri berkaitan dengan cedera dengan berbagai mekanisme (Block, 2010).
Penelitian yang dilakukan Smith, Stevens, Taylor, & Tibbey (2002) menunjukan
bahwa kompres es dengan elastis bandage mengurangi nyeri, edema, meningkatkan rentang
gerak sendi, dan mempersingkat lama hari rawat pada pasien total knee
arthroplasty. Penelitian berjudul “Cold and Compression in The Management of
Musculosceletal Injuries and Orthopaedic Operative Procedures : a Narrative Review”
menunjukan bahwa terapi cold compression therapy memberikan manfaat lebih sebagai
intervensi pada kerusakan jaringan yang parah akibat pembedahan, edema dan nyeri pasca
operasi, dan kehilangan darah dalam jumlah cukup banyak (Block, 2010).
Aplikasi cold compression yang paling sederhana, murah, dan mungkin dilakukan
diruangan adalah kompres dingin dengan ice cold pack serta kompresi dengan
elastis verban dalam rentang waktu yang tepat untuk mendapatkan efek komplek yang tepat
dan mencegah terjadinya efek samping. Kompresi dengan verban elastis dapat dilakukan
langsung setelah pasien dilakukan tindakan pembedahan sebagai penutun balutan
luka. Cold therapy dilakukan dalam rentang 24 – 48 jam pasca operasi (Metules, 2007).
Penelitian yang dilakukan Smith, Stevens, Taylor, & Tibbey (2002) menunjukan
bahwa kompres es dengan elastis bandage mengurangi nyeri, edema, meningkatkan
rentang
gerak sendi, dan mempersingkat lama hari rawat pada pasien total knee arthroplasty.
Penelitian berjudul “Cold and Compression in The Management of Musculosceletal Injuries
and Orthopaedic Operative Procedures : a Narrative Review” menunjukan bahwa terapi
merupakan cold compression therapy memberikan manfaat lebih sebagai intervensi pada
kerusakan jaringan yang parah akibat pembedahan, edema dan nyeri pasca o perasi,
dan kehilangan darah dalam jumlah cukup banyak (Block, 2010).
EBN dilakukan setelah mengkaji intervensi yang dilakukan ruangan dengan
beberapa indikator yang berdasarkan analisa perbandingan fenomena di GPS Lt. 1
RSUP
Fatmawati dengan studi literatur jurnal penelitian. Intervensi yang dilakukan di ruangan
berupa tehnik relaksasi dan pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri, memposisikan
ekstremitas yang dilakukan pembedahan lebih tinggi dan melakukan verban elastis untuk
mengurangi edema, dan latihan rentang gerak sendi lutut tidak dilakukan pada 24 jam – 48
jam pasca pembedahan. Intervensi yang dilakukan di ruangan kurang memberikan
hasil yang optimal.
Tujuan dari penerapan evidence based practice adalah mengidentifikasi pengaruh
cold compression therapy terhadap proses penyembuhan dengan indikator
proses
penyembuhan nyeri, edema, dan rentang gerak sendi lutut. Penerapan EBN ini akan
membandingkan nyeri, edema, dan rentang gerak sendi sebelum dan setelah dilakukan cold
compression therapy.

Pembahasan dalam pendahuluan belum sesuai dengan kaidah penulisan jurnal


yang baik, hal ini didasarkan pada belum ditemukannya prevalensi dan fenomena
yang menyatakan kejadian bedah ortopedi baik di dunia maupun di Indonesia.
Pembahasan tentang cold compression therapy sudah dipaparkan dengan jelas,
bagaimana tentang tindakan, manfaat dan prosedurnya.

3. Pernyataan Masalah Penelitian


Pada Jurnal ini tidak dicantumkan pernyataan masalah penelitian, seharusnya
dalam sebuah jurnal dicantumkannya masalah penilitian untuk mengetahui fenomena
dan masalah yang diteliti sehingga dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca.
Seharusnya pernyataan masalah dimuatkan guna mempertegas dan memperjelas suatu
yang akan dicapai dalam penelitian sehingga memudahkan pemahaman untuk
melaksanakan suatu penelitian baik penelitian ekperimental maupun nonekperimental.
4. Studi Literatur / Tinjauan Pustaka
Kekurangan:
Dalam penulisan tinjauan pustaka jurnal ini masih terdapat kekurangan seperti:
 Pada literatur bacaan tidak ada menjelaskan tentang orif tetapi lebih banyak
menjelaskan tentang cold compression.
 Sumber literatur bacaan yang terdapat dalam jurnal ada dicantumkan dalam
daftar pustaka tetapi tahun literatur yang dtulis berbeda pada daftar pustaka .
 Sumber literatur yang digunakan dalam jurnal masih terdapat literatur yang
lama, seharusnya digunakan literature yang terbaru minimal 10 tahun terakhir.

Kelebihan:
 Pada tinjauan pustaka sudah menjelaskan secara rinci manfaat dari penggunaan
pengaruh cold compression therapy terhadap proses penembuhan pasien pasca
Open Reduction Intenal Fixation (ORIF) ekstremitas bawah.
 Tinjauan pustaka yang digunakan mendukung dan berhubungan dengan
penelitian yang dilakukan.

5. Kerangka Konsep dan Hipotesis


Pada jurnal “Pengaruh Cold Compression Therapy terhadap proses
penyembuhan pasien pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF) ektremitas
bawah”, kerangka konsep dan hipotesis tidak di cantumkan. Seharusnya hipotesis
ditampilkan agar lebih mudah di pahami yaitu: Ha: Ada Pengaruh Cold
Compression Therapy terhadap proses penyembuhan pasien pasca Open Reduction
Internal Fixation (ORIF) ektremitas bawah. Begitu juga dengan kerangka konsep,
seharusnya ditampilkan untuk memudahkan para pembaca jurnal memahami
bagaimana patofisiologi Cold Compression Therapy untuk mempercepat proses
penyembuhan pasien pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF) ektremitas
bawah
6. Metodologi

Proses penyembuhan diukur 24 jam (sebelum dilakukan cold compression therapy)


setelah pasca ORIF kemudian 48 jam pasca ORIF (setelah dilakukan cold compression
therapy) dengan indikator nyeri, edema, dan rentang gerak sendi. Nyeri yang diukur dengan
numeric rating scale, mengurangi edema yang diukur dengan lingkar kaki 2 cm diatas area
operasi, dan rentang gerak sendi lutut.
Proses penyembuhan diukur 24 jam (sebelum dilakukan cold compression therapy)
setelah pasca ORIF kemudian 48 jam pasca ORIF (setelah dilakukan cold compression
therapy) dengan indikator nyeri, edema, dan rentang gerak sendi. Nyeri yang diukur dengan
numeric rating scale, mengurangi edema yang diukur dengan lingkar kaki 2 cm diatas area
operasi, dan rentang gerak sendi lutut.
EBN diaplikasikan setelah dilakukan uji validitas untuk mengukur kemamputerapan
EBN berdasarkan studi sistematik review yang dilakukan oleh Block (2010). Hasil sistematik
review menunjukan bahwa cold compression therapy berupa penggunaan ice cold
pack
selama 24 jam dengan elastis verban pada area mampu mengurangi bengkak sebesar 17 %.
dan dengan menggunakan cryocuff sebesar 33 %. Nilai NNT digunakan untuk yang
mengukur hasil uji klinis.
Berdasarkan hasil tersebut maka nilai NNT pada penelitian ini adalah :
NNT = 100 / ARR (%)
= 100 / (33 – 17)
= 100 / 16
= 6,25
=6
ARR : Absolute Risk Reduction
Hasil perhitungan nilai NNT=6, berarti setiap 6 orang yang mendapatkan terapi ice
cold pack dengan balutan elastis dibandingkan menggunakan cryocuff, 1 orang
mampu
berkurang edemanya.
Subjek dalam penerapan cold compression therapy adalah pasien pasca bedah
ortopedi yang dirawat di Lantai 1 Gedung Prof Soelarto RSUP Fatmawati Jakarta yang
memenuhi kriteria inklusi selama EBN berlangsung. Kriteria sampel adalah pasien
pasca
bedah ortopedi ekstremitas bawah pada area femur, lutut, tibia, dan fibula, usia > 18 tahun,
dapat berkomunikasi dengan baik, serta bersedia dilakukan EBN. Kriteria eksklusi meliputi
pasien yang menjalani bedah ortopedi lebih pada satu area, pasien dengan alergi dingin,
suhu tubuh kurang dari 360C.
Jumlah subyek dalam penerapan EBN mempertimbangkan karakteristik pasien yang
menjadi responden dibandingkan dengan subyek uji klinis yang telah ditelaah. Metode
penghitungan adalah dengan menggunakan nilai f, yaitu faktor yang menunjukan seberapa
berat pasien kita (relatif terhadap prognosis) dibanding rerata pasien pada uji klinis. Rerata
pasien sama dengan rerata pasien uji klinis maka f=1, apabila rerata pasien lebih
berat maka f < 1, dan jika rerata pasien lebih ringan maka f > 1.
Berdasarkan hal tersebut, dengan nilai NNT=1, f=1, maka jumlah pasien yang
dibutuhkan adalah 6,25/1=6 orang. EBN dilakukan di GPS Lt. 1 RSUP Fatmawati
selama
empat minggu dengan jumlah pasien yang menjalani pasca bedah ortopedi sebanyak lima
orang.
Sebelum EBN dilakukan, penulis meminta ijin terlebih dahulu dengan pasien dan
mengkaji resiko kontraindikasi pasien. EBN cold compression dilakukan tiga kali dalam
rentang waktu 24 – 48 jam pasca operasi. Cara melakukan cold compression adalah :
1. Persiapan alat dengan membungkus ice cold pack dengan tissue.
2. Melakukan pengukuran awal tingkat nyeri, edema, dan rentang gerak sendi.
3. Kompres dilakukan pada area sekitar luka pasca operasi, tanpa membuka elastis v
erban selama 15 menit.
4. Saat dilakukan kompres respon pasien dan sensasi suhu ice cold pack dimonitor.
5. Setelah selesai ice cold pack dilakukan disinfektan dengan alkohol dan chlorhexidine 2 %.
6. Kompres diulangi sebanyak dua kali
7. Melakukan pengukuran akhir tingkat nyeri, edema, dan rentang gerak sendi.

Metode penelitian adalah cara yang digunakan dalam penelitian yang


akan dilakukan (Dahlan, 2011). Oleh sebab itu di dalam metode penelitian
seharusnya tercermin langkah-langkah teknis dan operasional yang akan
dilakukan. Di dalam metodologi penelitian mencakup beberapa hal yaitu jenis
penelitian, tempat dan waktu penelitian, populasi dan sampel, instrumen
penelitian, teknik pengolahan data dan analisa data.
Di dalam jurnal yang berjudul “Pengaruh Cold Compression Therapy
terhadap proses penyembuhan pasien pasca Open Reduction Internal Fixation
(ORIF) ektremitas bawah”. Menggunakan Jenis Penelitian Kuantitatif, tetapi
tidak menjelaskan bentuk rancangan penelitian, desain dan pendekatan dari
penelitian.

7. Populasi dan Sampel

Subjek dalam penerapan cold compression therapy adalah pasien pasca bedah
ortopedi yang dirawat di Lantai 1 Gedung Prof Soelarto RSUP Fatmawati Jakarta yang
memenuhi kriteria inklusi selama EBN berlangsung. Kriteria sampel adalah pasien pasca
bedah ortopedi ekstremitas bawah pada area femur, lutut, tibia, dan fibula, usia > 18 tahun,
dapat berkomunikasi dengan baik, serta bersedia dilakukan EBN. Kriteria eksklusi meliputi
pasien yang menjalani bedah ortopedi lebih pada satu area, pasien dengan alergi
dingin, suhu tubuh kurang dari 360C.
Jumlah subyek dalam penerapan EBN mempertimbangkan karakteristik pasien yang
menjadi responden dibandingkan dengan subyek uji klinis yang telah ditelaah. Metode
penghitungan adalah dengan menggunakan nilai f, yaitu faktor yang menunjukan seberapa
berat pasien kita (relatif terhadap prognosis) dibanding rerata pasien pada uji klinis. Rerata
pasien sama dengan rerata pasien uji klinis maka f=1, apabila rerata pasien lebih berat
maka f < 1, dan jika rerata pasien lebih ringan maka f > 1.
Berdasarkan hal tersebut, dengan nilai NNT=1, f=1, maka jumlah pasien yang
dibutuhkan adalah 6,25/1=6 orang. EBN dilakukan di GPS Lt. 1 RSUP Fatmawati selama
empat minggu dengan jumlah pasien yang menjalani pasca bedah ortopedi sebanyak
lima
orang.
Populasi merupakan keseluruhan dari subjek yang menjadi sasaran penelitian
(Nursalam, 2013). Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau
sebagian jumlah atau karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Nursalam, 2013).
Teknik pengambilan sampel pada jurnal ini tidak dijelaskan, pada jurnal ini
pengambilan jumlah sampel menggunakan rumus, tetapi tidak menjelaskan
sumbernya. Apabila sudah ditentukan jumlah sampel maka pengambilan sampel
dilakukan dengan memberikan kriteria yaitu kriteria inklusi dan ekslusi yang akan
dijadikan sampel dan ini sudah memenuhi syarat dalam cara pengambilan sampel.

8. Instrumen Penelitian

Nyeri yang diukur dengan numeric rating scale, mengurangi edema yang diukur
dengan lingkar kaki 2 cm diatas area operasi, dan rentang gerak sendi lutut.

Instrumen penelitian merupakan sebuah alat yang digunakan untuk


mengumpulkan data atau informasi yang bermanfaat untuk menjawab permasalahan
penelitian (Nursalam, 2013). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa
lembar observasi numeric rating scale yang digunakan untuk mengukur nyeri,
centimeter untuk mengukur edema dan untuk mengukur rentang gerak sendi tidak
dijelaskan dalam jurnal ini sehingga pembaca tidak mengetahui cara penilaian dari
tindakannya.

9. Analisis Data
Analisis data merupakan upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga
karakteristik atau sifat-sifat data tersebut dapat dengan mudah dipahami dan
bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan
penelitian (Dahlan, 2011). Penelitan ini tidak menggunakan tekhnik pengolahan dan
analisa data yang jelas.
10. Hasil
Karakteristik subjek yang mengikuti cold compression antara lain rentang usia
antara 25 – 70 tahun, 60 % berjenis kelamin laki-aki, 60 %, dan berpendidikan SMA.
Berdasarkan kasus 80 % fraktur femur dan 20 % Osteoarthritis Genu, dengan tindakan
ORIF 80 % dan 20 % Total Knee Replacement, serta 60 % dengan anastesi regional dan
20 % anastesi general.
Hasil penerapan cold compression therapy diukur berdasarkan indikator proses
penyembuhan. Indikator proses penyembuhan meliputi : nyeri, edema, dan rentang gerak
sendi lutut. Hasil observasi berdasarkan respon pasien saat dilakukan cold compression
therapy, pasien merasa cukup nyaman dengan suhu ice cold pack serta menyatakan
bahwa nyeri berkurang, sirkulasi lebih lancar, dan otot-ototnya berkurang
ketegangannya.
Nyeri sebelum dilakukan cold compression therapy rata-rata 6,6 dan setelah
dilakukan cold compression turun menjadi 3,2. Semua subyek mengalami penurunan
tingkat nyeri, gambaran tingkat nyeri sebelum dan setelah terapi dapat dilihat pada tabel
1.

Tabel 1
Tingkat Nyeri Subyek Sebelum dan Setelah Dilakukan Cold Compression Therapy pada Pasien
Pasca Bedah Ortopedi di RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2013 (n=5)

Subyek Nyeri Pre Nyeri Post Selisih Rata-rata


CCT CCT selisih
Ny. T 7 5 2 3,4
Ny. SR 4 2 2
Tn.IS 6 2 4
Tn. MA 7 4 3
Tn. AP 9 3 6
Rata-rata 6,6 3,2

Edema saat sebelum dilakukan cold compression rata-rata 49,3 cm dan setelah
dilakukan cold compression turun menjadi 48 cm. Hampir semua subyek mengalami
penurunan edema kecuali 1 orang, gambaran tingkat edema sebelum dan setelah terapi lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2
Tingkat Edema Subyek Sebelum dan Setelah Dilakukan Cold Compression Therapy pada
Pasien Pasca Bedah Ortopedi di RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2013 (n=5)

Subyek Nyeri Pre Nyeri Post Selisih Rata-rata


CCT (cm) CCT(cm) (cm) Selisih (cm)
Ny. T 55 55 0 1,3
Ny. SR 56 54,5 1,5
Tn.IS 43,5 42,5 1
Tn. MA 52 49 3
Tn. AP 40 39 1
Rata-rata 49,3 48

Rentang gerak sendi lutut sebelum dilakukan cold compression rata-rata 250 dan
setelah dilakukan cold compression meningkat menjadi 440. Semua subyek mengalami
peningkatan rentang gerak sendi lutut, gambaran rentang gerak sendi lutut sebelum dan
setelah terapi dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3
Rentang Gerak Sendi Lutut Subyek Sebelum dan Setelah Dilakukan Cold Compression Therapy pada
Pasien Pasca Bedah Ortopedi di RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2013 (n=5)

Subyek Nyeri Pre Nyeri Post Selisih Rata-rata


CCT (0) CCT(0) (0) Selisih (0)
Ny. T 30 35 5 19
Ny. SR 10 25 15
Tn.IS 15 50 35
Tn. MA 30 60 30
Tn. AP 40 50 10
Rata-rata 25 44

Pada bagian pembahasan hasil, pada tabel berdasarkan karakteristik responden


tidak dijelaskan distribusi frekuensinya. Pada bagian analisa bivariat sudah dijelaskan
secara rinci tentang hasil yang diperoleh selama penelitian.

11. Simpulan / Diskusi


KESIMPULAN
Cold compression therapy merupakan salah satu terapi modalitas dalam intervensi
keperawatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan proses penyembuhan pada pasien
pasca bedah ortopedi dengan cara mengurangi nyeri dan edema, serta
meningkatkan
rentang gerak sendi.
SARAN
EBN Cold compression therapy dapat dijadikan dasar untuk pengembangan
pemberian asuhan keperawatan pada pasien saat 24-48 jam pasca ORIF sehingga mampu
meningkatkan peran perawat dalam memberikan pelayanan yang berkualitas.

Kesimpulan tentang hasil penelitian diuraikan dalam bentuk narasi bukan dalam
bentuk penjelasan per poin. Dalam kesimpulan juga tidak mencantumkan hasil dari
penelitian. Saran penelitian untuk peneliti selanjutnya sebaiknya dikelompokkan
sehingga jelas saran ini ditujukan kepada siapa.

12. Implikasi Dan Penggunaan Hasil


Berdasarkan telaah jurnal “Pengaruh Cold Compression Therapy terhadap
proses penyembuhan pasien pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF) ektremitas
bawah” didapatkan adanya perbedaan rata rata skor nyeri, edema, dan rentang gerak
sendi lutut yang signifikan antara pre dan post., sehingga dapat di simpulkan bahwa
cold compression therapy untuk diterapkan sebagai salah satu terapi penyembuhan
pasien pasca ORIF.
13. Daftar Pustaka
Block, J.E. (2010). Cold and Compression in The Management of Musculoskeletal Injuries
and The Orthopaedic Operative Procedures : A Narrative Review. Open
Access Journal of Sport Medicine : Juli 2010; Dove Medical Press.
Halstead J.A. (2004). Orthopaedic Nursing : Caring for patients with
musculoskeletal disorders. Brockton : Westren Schools.
Koc, M., Tez, M., Yoldas, O., Dizen, H., & Gocmen, E. (2006). Cooling for The Reduction
of Postoperative Pain : Prospective Randomized Study. Hernia : October 2006;
Springer-Verlag.
Lane, E., & Latham, T. (2009). Managing Pain using Heat and Cold Therapy. Pediatric
Nursing : July 2009; Vol. 21, 6; RCN Publishing Company, London.
Lin, Y.H. (2003). Effects of Thermal Therapy in Improving The Passive Range of Knee
Motion : Comparasion of cold and superficial heat applications. Clinical
Rehabilitation: Vol. 71 2003; EBSCO.
Metules, T.J. (2007). Hot and Cold Pack. Healtcare Traveler : Mart 2007; Proquest Nursing
& Allied Health Source.
Morris, B.A., Benetti, M., Marro, H., & Rosenthal, C.K. (2010). Clinical practice guidline
for early mobilization hours after surgery. Ortopaedic Nursing : September/October
2010; 29, 5; Proquest Healt and Medical Complete.
Saeki, Y. (2002). Effect of Local Application of Cold or Heat for Relief of Pricking Pain.
Nursing and Health Science : April 2002.
Smith, J., Stevens, J., Taylor, M., & Tibbey, J. (2010). A Randomized, Controlled Trial
Comparing Compression Bandaging and Cold Therapy in Postoperative Total Knee
Replacement Surgery. Ortopaedic Nursing : Mart/April 2002; 21, 2; Proquest Healt
and Medical Complete.
Smeltzer, S., & Bare, B. (2009). Brunner and Suddarth’s : Text book medical surgical
nursing. St. Louis Missouri : Elsevier Saunders.

Penulisan daftar pustaka yang digunakan dalam jurnal ini adalah Gaya penulisan
daftar pustaka menurut APA Style (American Psychological Association) adalah gaya
yang mengikuti format Harvard. Beberapa ciri penulisan daftar pustaka dengan APA
style yaitu :

1. Tahun publikasi dituliskan setelah nama pengarang.


2. Referensi di dalam isi tulisan mengacu pada item di dalam daftar pustaka
dengan cara menuliskan nama belakang (surname) pengarang diikuti tanggal
penerbitan yang dituliskan di antara kurung.
3. Urutan daftar pustaka adalah berdasarkan nama belakang pengarang. Jika suatu
referensi tidak memiliki nama pengarang maka judul referensi digunakan untuk
mengurutkan referensi tersebut di antara referensi lain yang tetap diurutkan
berdasarkan nama belakang pengarang.
4. Daftar pustaka tidak dibagi-bagi menjadi bagian-bagian berdasarkan jenis
pustaka,misalnya buku, jurnal dan sebagainya.
5. Judul referensi dituliskan secara italic. Jika daftar pustaka ditulis tangan maka
judul digaris bawahi.

B. Telaah Konten Jurnal

Pasca bedah ortopedi merupakan suatu trauma pada berbagai jaringan


muskuloskeletal. Permasalahan pasca pembedahan ortopedi berkaitan dengan nyeri,
perfusi jaringan, promosi kesehatan, mobilitas fisik, dan konsep diri.
Trauma akibat pembedahan pada tulang, otot, jaringan, atau sendi akan
mengakibatkan nyeri secara signifikan. Pembedahan menimbulkan trauma jaringan
lunak dan struktur yang sebelumnya tidak mengalami cedera. Nyeri pasca pembedahan
ekstremitas bawah memiliki intensitas nyeri hebat dengan kejadian sampai 70 % dengan
durasi 3 hari (Smeltzer & Bare, 2005). Nyeri pasca bedah ortopedi saat berada diruang
perawatan dalah 4,7 dengan menggunakan skala 0 sampai 10, dan nyeri berkontribusi
terhadap aktivitas paskaoperasi (Morris et al, 2010).
Trauma jaringan menyebabkan perdarahan dan menimbulkan reaksi inflamasi
sebagai mekanisme pertahanan tubuh yang berpotensi menimbulkan komplikasi. Perfusi
jaringan diakibatkan dengan adanya edema dan perdarahan yang menghasilkan
gangguan sirkulasi dan sindrom kompartemen. Inaktivitas berkontribusi terhadap stasis
vena dan berkembang menuju DVT (Bare & Smeltzer, 2006).
Homeostasis, bengkak, nyeri, rasa tidak nyaman, peningkatan mobilisasi dini
dan rencana pulang merupakan fokus utama pada periode akut pasca operasi (Smith,
Stevens, Taylor, & Tibbey; 2002). Pendekatan famakologis perlu dikombinasikan
dengan pendekatan non farmakologis untuk meningkatkan penyembuhan pasien
sehingga mempersingkat lama hari rawat.
Perawatan fase pasca operasi ortopedi merupakan upaya untuk menanggulangi
efek operasi dan meningkatkan penyembuhan. Cold Compression Therapy merupakan
terapi modalitas yang digunakan pada berbagai manajemen operasi dengan berbagai
variasi prosedur ortopedi dimana pembedahan menghasilkan kerusakan jaringan yang
sama tetapi berat ringannya tergantung gejala (Block, 2010).
Cold compression therapy merupakan kombinasi antara terapi dingin dan kompresi
balutan pada area pembedahan. Cold compression therapy merupakan penggunaan es
atau cold gel pack secara aman pada sisi anatomis dengan balutan elastis (Block, 2010).
Cold compression therapy memiliki variasi metode, yang paling modern adalah
penggunaan cryo-pad dan yang paling sederhana adalah kompres dingin dengan es atau
cold pack dikombinasikan dengan elastis verban.
Cold compression therapy secara langsung ditujukan untuk bengkak, inflamasi, dan
nyeri berkaitan dengan cedera dengan berbagai mekanisme (Block, 2010). Cold
compression akan mengakibatkan efek secara lokal menurunkan tingkat metabolisme
jaringan lunak sehingga mereduksi aktivitas enzimatik mencegah kerusakan jaringan
yang diakibatkan hipoksia. Lokal hipotermia merangsang vasokontriksi dan penurunan
mikrosirkulasi lebih dari 60 % sehingga mereduksi ekstravasasi darah melingkupi
jaringan, inflamasi lokal, dan produksi edema. Penurunan formasi edema akan
menurunkan konduksi saraf sensorik dan motorik sehingga nyeri menurun. Reduksi
aliran darah dan bengkak akan tercapai dengan kompresi pada area yang cedera.
Kompresi akan meningkatkan tingkat, besaran, dan kedalaman reduksi temperatur yang
akan mempercepat vakuasi limfe. Dingin meningkatkan rentang gerak sendi dengan
mengurangi nyeri, menghambat spasme otot, dan mengurangi tegangan otot (Lin,
2002). Penelitian yang dilakukan Smith, Stevens, Taylor, & Tibbey (2002) menunjukan
bahwa kompres es dengan elastis bandage mengurangi nyeri, edema, meningkatkan
rentang gerak sendi, dan mempersingkat lama hari rawat pada pasien total knee
arthroplasty.
Aplikasi pemberian terapi dingin pada penelitian yang dilakukan Smith, Stevens,
Taylor, & Tibbey (2002) memiliki rentang waktu dan metode yang berbeda. Terapi
dingin yang dilakukan dengan kompres es dilakukan saat 24 – 48 jam pasca operasi
sebanyak 3 kali perhari dalam waktu 15 menit. Penggunaan cryo-pad dilakukan saat 6 -
48 jam pasca operasi dengan suhu 20-50C selama 15 menit. Aplikasi dilakukan dengan
melakukan kompres es saat 24 – 48 jam pasca operasi dengan frekuensi 3 kali per hari
dalam waktu 15 menit setiap terapi.
Indikasi di lakukan pada pasien pasca bedah ortopedi penggunaan cold
compression therapy mengacu pada indikasi terapi dingin. Terapi dingin pada kasus
muskuloskeletal digunakan pada kondisi arttritis, fraktur, sprain dan strain, spasme otot,
serta cedera sendi (Halstead, 2004). Yang melakukan tindakan ini adalah para perawat
yang telah menguasai teknik kompres dingin dan telah berpengalaman dalam merawat
pasien setelah operasi seperti operasi pembedahan ORIF.
Cold compression therapy sudah dilakukan di amerika, autralia, jepang dan
yang dirawat di Lantai 1 Gedung Prof Soelarto RSUP Fatmawati Jakarta yang
memenuhi kriteria inklusi selama EBN berlangsung. Hasil penelitian saat dilakukan
cold compression karena berdasarkan penelitian yang dilakukan di luar negeri seperti di
amerika, autralia, jepang dan di indonesia sudah diterapkan di RS Famawati Jakarta,
menunjukan bahwa terapi merupakan cold compression therapy memberikan manfaat
lebih sebagai intervensi pada kerusakan jaringan yang parah akibat pembedahan, edema
dan nyeri pasca operasi, dan kehilangan darah dalam jumlah cukup banyak (Block,
2010).
Cara melakukan cold compression pada saat di RS Fatmawati adalah :
1. Persiapan alat dengan membungkus ice cold pack dengan tissue.
2. Melakukan pengukuran awal tingkat nyeri, edema, dan rentang gerak sendi.
3. Kompres dilakukan pada area sekitar luka pasca operasi, tanpa membuka elastis
verban selama 15 menit.
4. Saat dilakukan kompres respon pasien dan sensasi suhu ice cold pack dimonitor.
5. Setelah selesai ice cold pack dilakukan disinfektan dengan alkohol dan
chlorhexidine 2 %.
6. Kompres diulangi sebanyak dua kali.
7. Melakukan pengukuran akhir tingkat nyeri, edema, dan rentang gerak sendi.

Kelebihan dan Kekurangan Cold compression Therapy :


1. Kelebihan
a. Cold compression akan mengakibatkan efek secara lokal menurunkan tingkat
metabolisme jaringan lunak sehingga mereduksi aktivitas enzimatik mencegah
kerusakan jaringan yang diakibatkan hipoksia
b. Cold compression therapy memberikan manfaat lebih sebagai intervensi pada
kerusakan jaringan yang parah akibat pembedahan, edema dan nyeri pasca
operasi, dan kehilangan darah dalam jumlah cukup banyak.
c. Aplikasi cold compression yang paling sederhana, murah, dan mungkin
dilakukan diruangan adalah kompres dingin dengan ice cold pack serta
kompresi dengan elastis verban dalam rentang waktu yang tepat untuk
mendapatkan efek komplek yang tepat dan mencegah terjadinya efek samping.

2. Kekurangan
Terapi Cold compression therapy ini belum ada dilaksanakan diruangan
dan di setiap Rumah Sakit.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Cold compression therapy merupakan terapi modalitas yang digunakan pada
berbagai manajemen operasi dengan berbagai variasi prosedur ortopedi dimana
pembedahan menghasilkan kerusakan jaringan yang sama tetapi berat ringannya
tergantung gejala (Block, 2010). Cold compression akan mengakibatkan efek secara
lokal menurunkan tingkat metabolisme jaringan lunak sehingga mereduksi aktivitas
enzimatik mencegah kerusakan jaringan yang diakibatkan hipoksia.
Cold compression therapy memberikan manfaat lebih sebagai intervensi pada
kerusakan jaringan yang parah akibat pembedahan, edema dan nyeri pasca operasi, dan
kehilangan darah dalam jumlah cukup banyak. Aplikasi cold compression yang paling
sederhana, murah, dan mungkin dilakukan diruangan adalah kompres dingin dengan ice
cold pack serta kompresi dengan elastis verban dalam rentang waktu yang tepat untuk
mendapatkan efek komplek yang tepat dan mencegah terjadinya efek samping.

B. Saran

Penelitian ini telah menunjukkan bahwa teknik Cold Compression Therapy dapat
diajarkan kepada perawat ruangan dengan SOP yang baku sehingga akan meningkatnya
asuhan keperawatan dengan tujuan membantu mempercepat proses penyembuha seperti
mengurangi rasa nyeri, odema dan peningkatan rentang gerak sendi. Perlu peneltian
lebih lanjut tentang pengaruh Cold Compression Therapy terhadap proses penyembuhan
pasien pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF) ektremitas bawah
DAFTAR PUSTAKA

Budiyono, Setiadi, (2011). Anatomi Tubuh Manusia. Bekasi : Laskar Aksara.


Setiadi, (2007). Anatomi & Fisiologi Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Lukman, Ningsih Nurna. 2009. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
sistem muskuloskeletal . Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
Taylor, Cynthia. 2010. Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan Keperawatan.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai