Anda di halaman 1dari 24

BOOK REVIEW

BAB 38 STRESS, HORMON NEUROENDOKRIN

DAN PENYEMBUHAN LUKA : MODEL MANUSIA

Phillip T. Marucha and Christopher G. Engeland

Diajukan oleh :
Mochammad Udji Priyatna

Pembimbing :
Prof. DR. Moch. Fanani, dr., SpKJ (K)

PPDS I PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2016

i
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi : Book Review BAB 38 STRESS, HORMON

NEUROENDOKRIN DAN PENYEMBUHAN LUKA :

MODEL MANUSIA

Nama : Mochammad Udji Priyatna

PPDS I Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret


RSUD Dr. Moewardi
Surakarta

Telah disetujui dan disahkan pada

Tanggal Bulan 2016

Supervisor

Prof. Dr. Moh. Fanani, dr., SpKJ (K)

ii
BAB 38

STRESS, HORMON NEUROENDOKRIN, DAN

PENYEMBUHAN LUKA : MODEL MANUSIA

Phillip T. Marucha and Christopher G. Engeland

I. TINJAUAN
II. STRES DAN AKTIVASI ENDOKRIN
III. PENGARUH GLUKOKORTIKOID PADA PENYEMBUHAN LUKA
IV. PENGARUH CATECHOLAMINE PADA PENYEMBUHAN LUKA
V. STRES DAN PENYEMBUHAN LUKA
VI. STRES, FUNGSI FAGOSIT, DAN INFEKSI MIKROBA
VII. PERAN HORMON SEX PADA PENYEMBUHAN LUKA
VIII. PERBEDAAN JENIS KELAMIN PADA PENYEMBUHAN LUKA
IX. PENYEMBUHAN LUKA DERMAL VS LUKA DI MUKOSA
X. PENYEMBUHAN LUKA PADA ORANG USIA LANJUT
XI. KESIMPULAN DAN ARAH MASA DEPAN

I. TINJAUAN

Penyembuhan luka adalah proses membangun kembali struktur dan fungsi


normal dari jaringan setelah terjadi perluka. Penyembuhan abnormal dapat
menyebakan peningkatan kecepatan terjadinya infeksi, jaringan parut, perubahan
integritas jaringan terluka, dan ganguan fungsi. Penyembuhan yang tidak sempurna
umum terjadi di Amerika Serikat, dan biaya pengobatan menghabiskan dana
pelayanan kesehatan lebih dari 9 miliar per tahun (Ashcroft and Mills, 2002). Banyak
dari biaya ini dikaitkan dengan keterlambatan penutupan luka, dimana pada

1
gilirannya dikaitkan dengan terjadinya infeksi dan komplikasi medis yang lebih
banyak. Dengan adanya usia populasi yang menua dan meningkatnya jumlah
pengobatan dan operasi elektif, maka sangat penting bahwa penyembuhan luka terjadi
secara sempurna. Di bab ini, dampak dari faktor neuroendokrin pada penyembuhan
luka akan ditinjau. Fokus utamanya akan peran stres dan faktor neuroendokrin yang
dilepaskan sebagai respon terhadap stres pada manusia. Efek penuaan dan jenis
kelamin juga akan ditunjukkan. Biologi dasar dari perbaikan luka disajikan di tempat
lain di dalam teks ini dan tidak akan ditinjau di sini secara detail. Sebaliknya, bab ini
akan berfokus pada jalur neuroendokrin dan bagaimana mereka dapat berdampak
pada hasil klinis seperti penutupan luka, infeksi, dan potensi intervensi.

Stres dapat mempengaruhi penyembuhan luka melalui beberapa jalan : (1)


hormon yang diinduksi oleh stress yang bersifat immunosuppressie, dimana dapat
menurunkan ekpresi dari cytokin pro-inflamantor dan faktor pertumbuhan yang
dibutuhkan untuk penyembuhan; (2) hormon stres dan aktivasi sistem saraf simpatik
dapat menurunkan aliran darah yang menuju ke tempat terjadinya luka, yang akan
menghalangi pengiriman oksigen, sel dan nutrisi yang dibutuhkan ke tempat luka; (3)
stres dapat merubah perilaku kesehatan termasuk kepatuhan perawatan setelah
operasi; (4) stres dapat meningkatkan tanggapan tentang nyeri dan, oleh karena itu
meningkatkan kebutuhan obat nyeri setelah operasi; dan (5) melewati kombinasi dari
mekanisme diatas, stres dapat meningkatkan kecepatan terjadinya infeksi, yang mana
akan memperlambat penyembuhan dirinya.

II. STRES DAN AKTIVASI NEUROENDOKRIN

Banyak efek somatik dari stres dimediasi oleh 2 sistem neuroendokrin utama:
poros/axis sistem saraf simpatis / sympathetik nervous system (SNS) dan
hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA). Aktivasi SNS menghasilkan diproduksinya
katekolamin. Aktivasi dari HPA axis menyebabkan produksi glukokortikoid (GCs)
dan epineprine. Stres mengacaukan irama sirkadian normal dari keseluruhan produksi

2
GC sepanjang hari. Ketika stres dirasakan oleh integratif kortex, itu menyebabkan
pelepasan corticotropin releasing faktor, yang menginduksi pituitari anterior untuk
mengeluarkan hormon adenocorticotropic (ACTH). ACTH kemudian akan beraksi
pada adrenal agar menghasilkan GCs. GCs bertindak sebagai hormon untuk
mengurangi inflamasi dan memberikan umpan balik untuk hypotalamus untuk
menghambat produksi CRF. Sel imun memiliki GC reseptors, dan dengan demikian,
GCs memiliki efek pada semua sel-sel imun. Dampaknya adalah, efek anti inflamasi
dan aksi imunosupresif dari GCs telah diteliti secara mendalam , dan lebih sedikit
diketahui tentang pengaruh katekolamin pada sel-sel imun.

III. EFEK GLUKOKORTIKOID PADA PENYEMBUHAN LUKA


Efek anti-inflammasi yang ampuh dari GCs yang paling berperan untuk
terjadinya efek penghambatan pada penyembuhan luka. Setelah pemberian GCs
secara eksogen, terjadi penurunan pengerahan neutrofil (Clark et al., 1979) dan
monosit (Norris et al., 1982), dan fagositosis makrofag serta pemusnahan bakteri
mengalami penekanan (Fauci et al., 1976). Ini merupakan akibat dari debridemen
luka yang tertunda, termasuk eliminasi benda asing dan bakteri. Dalam epidermis,
keratinocyte proliferasi mengalami penghambatan (Edwards dan Dunphy, 1958)
sehingga dihasilkan epidermis abnormal yang lebih tipis. Kekuatan luka tidak
sempurna , demikian juga epitelisasinya dan penutupan luka terbuka. Brauchle et al
(1995) menemukan adanya reepithelialisasi yang sangat tertunda secara dramatis
pada preparat histologis luka dari tikus yang diterapi dexameasone dan adanya
gangguan induksi mRNA epidermal faktor pertumbuhan keratinocyte (KGF) mRNA
setelah cedera. Chedid et al. (1996) menunjukkan bahwa penambahan deksametason
secara signifikan mengurangi tingkat produksi secara berturut turut dari KGF
mRNA, protein, dan bio-aktivitas meningkat sedang pada fibroblas kulit manusia.
Hasil ini menunjukkan bahwa down regulasi dari ekspresi KGF oleh GCs mungkin
karena efek langsung pada sel mesenkim. Namun, hal itu mungkin juga dapat
dijelaskan oleh penghambatan faktor yang menginduksi KGF di luka, seperti IL-1

3
dan TNF, yang diketahui dihambat oleh GCs. Memang, penambahan TNF-a atau IL-
lβ pada fibroblas yang sudah diberi dexameason mengubah efek penghambatan oleh
GCs pada ekspresi KGF. Lebih jauh lagi, Hubner et al. (1996) menunjukkan bahwa
tikus yang diterapi GC mengalami pengurang induksi IL-1a, IL-1b, dan TNF-α
mRNA dan protein setelah mengalimi perlukaan. Hal tersebut berhubungan dengan
berkurangnya infiltrasi sel- sel inflamasi, re epitelialisasi luka yang tertunda, dan
pembentukan jaringan granulasi yang tidak sempurna. Oleh karena itu peningkatan
kadar GCs eksogen bisa mengganggu disregulasi profil sitokin proinflamasi dan
factor pertumbuhan untuk pemulihan intergritas kulit secara cepat dan efektif .

IV. EFEK CATECHOLAMINE DALAM PENYEMBUHAN LUKA

Aktivasi sistem saraf simpatik yang diinduksi oleh stres menghasilkan


pelepasan hormon-hormon potensial seperti katekolamin, yang selanjutnya dapat
mengubah fungsi dari sel dan aliran darah. Katekolamin dikenal karena kontribusinya
terhadap edema jaringan lokal dan meningkatkan adhesi dinding sel endotelial
(Koopman, 1995). Katekolamin juga diketahui memiliki efek penghambat terhadap
migrasi sel epidermis (Donaldson dan Mahan, 1984). Ini mendukung pendapat
bahwa ada peningkatan level katekolamin pada sisi luka, yang bisa diakibatkan dari
peningkatan sirkulasi perifer ataupun pelepasasan dari akhiran saraf simpatik lokal,
mungkin berdampak pada proses penyembuhan luka dengan meningkatkan edema
dan mengganggu re-epitalisasi.

katekolamin yang diinduksi stres juga dapat memiliki efek yang ampuh pada
aliran darah perifer. Sebagai contoh, stres psikologi telah dikaitkan dengan fungsi
vaskular terganggu pada Raynaud’s phenomenon (O'Cornor, 2001). Reseptor
simpatik alpha-adrenergic mendominasi di kulit, dan aktivasinya membangkitkan
respon vasokonstriksi yang ampuh (Ahlquist, 1976). Vasokonstriksi perifer
membatasi pengiriman oksigen ke jaringan yang mengalami penyembuhan. Reseptor
adrenergic alpha 1A dan alpha 1D sebagian besar ditemukan di pembuluh darah

4
dengan terlebih dulu terlihat pada pembuluh darah kecil, sedangkan yang terakhir
terlihat pada pembuluh darah besar seperti aorta, iliac, dan arteri femoralis. Lebih
lanjut, norepinefrin yang terikat pada reseptor beta-adrenergi meningkatkan level
dari C-AMP. Peningkatan level C-AMP dikaitkan dengan penurunan sitokin pro-
inflamatorik (Sanders dan Straub, 2002). Sel memberi tanda melalui reseptor
Adrenergik alpha mengaktifkan PLC dan PLA2. Ini mengakibatkan peningkatan
kalsium intraseluler. Reseptor ini juga mengaktifkan masuknya kalsium melalui
kalsium channel yang tegantung voltage (Piascik dan Perez, 2001). Peningkatan
kalsium mengakibatkan kontraksi otot halus. Vasokontriksi yang diperantarai oleh
katekolamin mempengruhi peningkatan cystolic kalsium. Peningkatan pada kalsium
yang terikat pada calmodulin menyebabkan perubahan dalam struktur calmodulin.
Hal ini mengakibatkan dari rantai myosin kinase dan, karenanya, meningkatkan tonus
dalam sel otot polos (Salomonsson et al., 2001).

Vasokonstriksi, sebagai akibat dari aktivasi SNS, mungkin memiliki efek


mendalam pada penyembuhan luka dengan mengubah pengiriman oksigen. Oksigen
yang tersedia untuk sel-sel penyembuhan luka telah terbukti memainkan peran
penting dalam beberapa aspek dari proses perbaikan jaringan (Whitney, 1989).
Beberapa dekade yang lalu, itu sangat sulit bagi komunitas ilmiah untuk menerima
bahwa ada komponen dari proses penyembuhan dapat sangat bervariasi dengan hanya
dengan mengubah suplai oksigen ke daerah luka (Hunt dan Pai, 1972). Tetapi
penelitian yang berkelanjutan pada bidang ini menunjukkan bahwa tekanan oksigen
secara signifikan mempengaruhi revascularizatoin dan epithelialization luka-luka
dalam berbagai model hewan (Pai dan Hunt, 1972). Oksigen mempengaruhi sejumlah
proses penyembuhan termasuk sintesis kolagen, angiogenesis, epithelialization, dan
reaksi metabolisme untuk aksi leukosit dalam membunuh bakteri (Whitney, 1989).
Dalam sebuah studi oleh Knighton et al. (1981) selama neovaskularisasi pada
jaringan yang mengalami penyembuhan, diamati ada kepadatan kapiler lebih besar
dengan konsentrasi oksigen yang lebih besar. Pasien menunjukkan jaringan secara

5
signifikan lebih rendah rasio-pO2 pada luka bedah bila dibandingkan dengan jaringan
kontrol non operasi sepan jang 5 hari pertama setelah pembedahan. Secara
keseluruhan, gangguan pasokan darah dan akumulasi sejumlah besar sel-sel yang
mengkonsumsi oksigen di luka membuat ketersediaan oksigen merupakan syarat
penting untuk penyembuhan fisiologis (Chang et al., 1983). Penurunan oksigen dalam
luka terbukti mampu memprediksi terjadinya infeksi luka pada pasien bedah (Hopf et
al., 1997) dan juga pada model hewan (Jonsson et al., 1988). Infus epinefrin
menurunkan oksigen luka sekitar 45% (Jensen et al., 1985). Penghentian dari perfusi
epinefrin menghasilkan adanya efek rebound pada kadar oksigen dalam luka.
Selanjutnya, England et al. (1983) telah menunjukkan bahwa suntikan lokal epinefrin
selama histerektomi pervagina telah dikaitkan dengan peningkatan tingkat infeksi
pada pasien. Oleh karena itu, katekolamin yang dilepaskan selama stres memediasi
perubahan vaskular yang memainkan peran penting pada disregulasi oksigen dan
akhirnya mempengaruhi infeksi luka.

V. STRESS DAN PENYEMBUHAN LUKA

Stres secara psikologis telah terbukti mengganggu penyembuhan luka pada


manusia dalam sejumlah studi kontrol. Kiecolt-Glaser, Marucha et al. (1995)
menempatkan luka eksperimental biopsi pukulan 3. 5 mm pada lengan 13 pengasuh
Alzheimer yang mengalami stres kronis dan pada 13 kontrol yang sudah pas pada
studi penyembuhan luka di kulit. Pengasuh Alzheimer yang mengalami stres kronis
membutuhkan rata-rata 9 hari lebih banyak dibanding kontrolnya (dalam periode
lebih dari 4-7 minggu), atau 24% lebih lama untuk menyembuhkan luka secara
standar. Perbedaan kelompok pada ukuran luka yang muncul dalam minggu pertama
penyembuhan, dan mencapai statistik yang bermakna pada minggu kedua. Lebih
lanjut, kemampuan untuk menjaga respons peradangan diuji menggunakan
pengukuran ekspresi gen IL-IL β yang distimulasi endotoksin secara ex vivo dalam
preparat darah lengkap. Caregivers Alzheimer menghasilkan IL-1𝛽 lebih sedkit yang
secara signifikan bermaka dibanding kontrolnya. Hasil ini mendukung pendapat

6
bahwa stres mulai berdampak pada awal fase perbaikan luka, khusus fase inflamasi,
mengakibatkan tertundanya penutupan luka. Pada model luka di mulut, dengan luka
ditempatkan 3 hari sebelum pemeriksaan, mahasiswa kedokteran gigi sembuh rata-
rata 40% lebih lambat dari luka yang dibuat pada mahasiswa sama selama liburan
musim panas, dan perbedaan yang cukup nyata. Tidak ada mahasiswa yang
mengalami penyembuhan yang cepat selama ujian dibandingkan pada saat liburan
(Marucha et al. 1998). Data ini menunjukkan bahwa sesuatu yang nyata, diprediksi,
dan relatif ringan seperti stres saat ujian dapat memiliki konsekuensi signifikan untuk
penyembuhan luka, bahkan dalam dewasa muda. Studi eksperimental ketiga dengan
menggunakan pendekatan cross sectional untuk lebih mengetahui efek stres lebih
lanjut pada penyembuhan. Ebrecht et Al. (2003) menunjukkan bahwa dugaan adanya
stres dan kortisol bisa memprediksi kecepatan penyembuhan pada Studi cross
sectional pada laki-laki muda yang sehat. Subyek mendapat biopsi luka pukulan 4
mm dan penyembuhan dinilai menggunakan metode pemindaian novel USG. kortisol
kelenjar ludah diukur 2 minggu sebelum, langsung setelah, dan 2 minggu setelah
terjadinya luka. Korelasi negatif yang kuat (r = 59) ditemukan antara skor stres yang
dirasakan (Cohen, 1988) dan penutupan luka. Selanjutnya, pembagian rata-rata
dilakukan diantara orang yang sembuh dengan lambat dan yang cepat, maka yang
sembuh lebih lambat mempunyai tingkat stres lebih tinggi secara signifikan,
optimisme lebih rendah dan tinggi kortisol selama pada saat sadar. Penelitian ini lebih
jauh menegaskan hubungan antara stres, hormon stres yang diketahui mampu
menekan respons peradangan, dan menyembuhkan yang tidak sempurna. Ketiga studi
ini menggunakan luka eksperimental, dan harus diperhatikan hal-hal yang bisa
menjadi potensi efek yang bisa menggangu, misalnya, perubahan dalam perilaku
kesehatan atau kepatuhan perawatan luka pasca operasi. Selain itu, luka biasanya
kecil, dan rasa sakit itu tidak mengganggu. Pada kenyataannya, dalam dua studi yang
lebih dulu, tidak rasa sakit yang signifikan yang dilaporkan oleh subyek. Oleh karena
itu, studi ini menunjukkan efek stessor yang kuat yang mengaktifkan jalur
neuroendokrin yang berdampak pada hasil fisiologis.

7
Beberapa studi telah menyelidiki peranan stres yang mampu mengubah
sitokin di cairan luka. Glaser et al(1999) menggunakan model blister eksperimental
untuk menyelidiki peranan stres pada terbentuknya satu eksudat peradangan di kulit
yang terluka. Mereka menemukan bahwa wanita dengan nilai stres yang lebih tinggi
memiliki tingkat IL-1α dan IL-8 lebih rendah pada bister eksperimental 5 jam setelah
dilakukan induksi blister atau panas. Setelah 24 Jam, subyek dengan kedua level
sitokin yang lebih rendah dilaporkan memiliki lebih banyak stres dan pengaruh
negatif pada sisi luka. Mereka juga mempunyai tingkat kortisol kelenjar ludah yang
lebih tinggi dibandingkan dengan subyek yang memiliki tingkat sitokin yang tinggi.
Broad bent et al. (2003b) menyelidiki peran stres preopratif pada IL-1 dan MMP-9
pada cairan luka dari 36 pasien bedah inguinalis. Baik IL-1 dan MMP-9 secara
negatif berhubungan dengan stres; yaitu, stres sekali lagi dikaitkan dengan penurunan
sitokin dan produksi protease inflamasi pada luka-luka dini, yang mendukung adanya
imunosupresi. Ini konsisten dengan studi percobaan pada manusia dan hewan yang
mendukung adanya hubungan antara stres, hormon imunosupresif, respon sitokin
proinflamasi, dan gangguan penyembuhan.
Karena stres mengganggu penyembuhan luka, masalah yang penting adalah
apakah intervensi untuk mengurangi stres juga dapat memperbaiki penyembuhan
luka. Devine (1992) menggunakan metaanalisis untuk menunjukkan sejumlah
intervensi, termasuk memberikan pendidikan kepada pasien, ternyata dapat
mengurangi kecemasan dan stres terhadap pasien, pada akhirnya mengarah kepada
mengurangi rasa sakit dan masa tinggal di rumah sakit. Dalam studi yang lebih baru,
Holden-Lund (1998) menunjukkan bahwa pasien yang menjalani Kolesistektomi dan
memanfaatkan relaksasi dengan pencitraan yang terpimpin telah menurunkan tingkat
kecemasan, kortisol kemih yang rendah, dan eritema luka yang sedikit dibandingkan
dengan kontrol yang dipilih secara acak. Field et al. (1998) juga menunjukkan bahwa
pasien luka bakar yang menjalani debridemen dan menerima terapi pijat mempunyai
kecemasan, sakit, depresi, dan kortisol yang lebih rendah. Dua intervensi biologis
telah digunakan pada model tikus pada gangguan penyembuhan akibat stres. Blokade

8
dari jalur GC dengan RU486 (Padgett et al. 1998) mengembalikan penutupan luka
mendekati level kontrolnya, tapi hanya sebagian mengembalikan pemnersihan
mikrobanya. Terapi Oksigen Hiperbarik (Gajendrareddy et al, 2005) juga
memperbaiki penutupan luka, mendukung pendapat bahwa oksigen sebagai mediator
penting pada penyembuhan luka yang terganggu akubat stres. Intervensi memiliki
potensi untuk memberikan dampak besar pada hasil pembedahan, dan penelitian
tambahan pada intervensi yang efektif masih perlu dilakukan.

VI. STRES, FUNGSI FAGOSIT, DAN INFEKSI MIKROBA

Luka-luka, apapun asal mereka, didiami oleh bakteri (Bikowsky, 1999;


Robson, 1997). Penyembuhan luka yang terinfeksi lebih lambat dan memiliki
peningkatan insiden terjadinya bekas luka (Robson, 1997). Luka yang terinfeksi dapat
menyebabkan infeksi sistemik dan kematian. Oleh karena itu, jika mekanisme
perlindungan antibakteri terganggu, infeksi dan kerusakan jaringan meningkat dan
mengurangi kecepatan tingkat penyembuhan. Neutrofil dan makrofag memberikan
perlindungan utama terhadap infeksi mikroba. Proses perekrutan fagosit dapat diubah
di beberapa tingkat, dan gangguan homeostasis neuroendokrin akibat stres psikologis
dapat menyebabkan perubahan penting pada interaksi leukosit endotel pada tingkat
molekuler. Glukokortikoid menghambat produksi sitokin pro-inflamasi dan kemokin
yang penting untuk aktivasi kedua leukosit dan sel-sel endotel (Almawi et al., 1996),
menyebabkan perubahan ekspresi permukaan dari adhesi molekul dan ion-ionnya.
Stres telah terbukti memodulasi keefektivan respon imun. Stres dapat mempengaruhi
sistem kekebalan tubuh dengan mengganggu aktivitas makrofag dan neutrofil.
Gangguan pada aktivitas fagositik makrofag akan mengganggu efisiensi pembersihan
bakteri dan debris selular (Okimura, 1986; Palermo-Neto, 2003). Tikus yang menjadi
subjek penelitian yang mengalami stres penekanan berulang menunjukkan kenaikan
bakteri oportunistik dari 2 - 5-log (misalnya, Staphylococcus aureus) pada biopsi luka
pukulan meskipun perekrutan neutrofil yang berlebihan, mendukung pendapat bahwa

9
aktivitas antimikroba dari neutrofil ini mengalami gangguan (Rojas et al., 2002).
Ketika tikus diterapi dengan penghambat glukokortikoid, RU486, hanya didapati
pemulihan sebagian dari clearance mikroba. Temuan ini mendukung adanya pendapat
bahwa ada jalur mekanistik kedua yang mungkin terlibat dalam penyembuhan luka
yang terganggu akibat stres. Karena oksigen dan metabolitnya memainkan peranan
penting dalam clearance mikroba, maka jalur alternatif itu kmungkinan berasal dari
sistem saraf simpatik.

VII. PERAN HORMON SEKS PADA PENYEMBUHAN LUKA

Ada dimorfisme seksual dalam fungsi kekebalan tubuh. Dibandingkan pada


laki-laki, perempuan biasanya menunjukkan peningkatan fungsi pada kedua lengan
kekebalan (Giglio et al., 1994; Miller dan Hunt, 1996; Schuurs dan Verheul, 1990;
Zuk dan McKean, 1996), juga memiliki level peredaran antibodi yang lebih tinggi
(Giglio et al, 1994; Miller et al., 1996), dan memiliki kemampuan yang lebih besar
untuk mengatasi infeksi bakteri (Engeland et al., 2003; Krzych et al., 1981; Miller et
al, 1996). Dimorfisme ini utamanya disebabkan karena perbedaan pada level
hormon seks pada peredaran (Gaillard dan Spinedi, 1998; Lahita, 2000).
Baik reseptor estrogen dan androgen dapat ditemukan di sejumlah besar sel
penting kekebalan pada proses penyembuhan (Ashcroft and Ashworth, 2003; Gilliver
et al., 2003). Reseptor estrogen ditemukan di makrofag, fibroblas, dan sel-sel endotel
dan epidermis (Ashcroft and Ashworth, 2003). Selain itu, estrogen ditunjukkan
mampu memodulasi sintesis IL-1 yang dikerjakan oleh makrofag, kemudian ekspresi
platelate derived growth factor (PDGF) yang dilakukan oleh monosit dan makrofag,
dan neutrofil chemotaxis pada sisi luka (Ashcroft dan Abu layak, 2003).
Estrogen tampaknya bermanfaat untuk penyembuhan luka, dan pada
penelitian pada penyakit penyakit mulut spesifik, seperti radang gusi, telah
menemukan bahwa tingkat inflamasi berkorelasi secara terbalik dengan tingkat
estrogen yang beredar (Ashcroft et al., 1999). Pada luka-luka dermal, estrogen

10
menurunkan peradangan, meningkatkan deposisi matriks, meningkatkan tingkat
epithelialization (melalui efek mitogenic dari keratinocytes), merangsang
angiogenesis, mengatur menghambat proteolitik, dan meningkatkan metabolisme
oksidatif dari neutrofil, sehingga meningkatkan terjadinya fagositosis (Ashcroft et al.,
2003b; Ashcroft dan Ashworth, 2003; Mascarenhas et al., 2003). Semua peristiwa ini
mempromosikan reepitelisasi luka dan penyembuhan lebih cepat.
Sebagian besar penelitian yang menitikberatkan pada hormon seks dan
penyembuhan luka telah berfokus pada efek estrogen dalam kaitannya dengan
menopause. Selama menopause, kulit menjadi berkurang dalam ketebalannya,
utamanya dikaitkan dengan kehilangan kolagen, dan pengurangan aliran darah kapiler
(Ashcroft et al., 1997a; Ashcroft et al., 2003b; Ashcroft dan Ashworth, 2003; Raine-
Fenning et al., 2003). Ini mengurangi baik elastisitas dan kekuatan kulit. Luka-luka
dermal pada wanita pasca-menopause ditandai dengan berlebihannya peradangan,
meningkatkan masuknya neutrofil dan produksi protease, menurunnya fagositosis
(Ashcroft and Ashworth, 2003), dan melambatnya penyembuhan (Ashcroft et al,
1997a), dengan berkurangnya kandungan kolagen dan melambatnya reepithelialisasi
(Ashcroft et al., 1997a). Lamanya defisiensi estrogen ini juga penting. Deposit
matriks dan kontraksi luka keduanya berkurang setelah terjadi defisiensi estrogen
tetapi hanya setelah 1 dan 4 bulan, berturut-turut (Ashcroft et al., 1997a; Calvin et al.
1998). Terapi penggantian hormon yang diberikan paling sedikit 3 bulan
membalikkan semua perubahan di atas (Ashcroft dan Ashworth, 2003), menunjukkan
bahwa hormon seks perempuan memainkan peran penting dalam penyembuhan luka
dermal.
Dalam penelitian hewan percobaan, tikus yang mengalami ovariectomi
mengalami penyembuhan luka dermal lebih lambat daripada kontrol, dan kekurangan
penyembuhan lukanya secara kualitatif serupa dengan yang dijumpai pada wanita
pasca-menopause di atas (Ashcroft and Ashworth, 2003). Melambatnya
penyembuhan ini dihubungkan dengan lebih banyaknya peradangan, yaitu saat

11
machrophage migration inhibitory factor (MIF) dan tumor necrosis factor (TNF-a)
dimana keduanya meningkat pada sisi luka (Ashcroft and Ashworth, 2003).
Estrogen juga ditunjukkan memiliki efek bermanfaat pada penyembuhan luka
pada laki-laki. Di tikus jantan yang dikebiri, estradiol yang diberikan melalui butiran
di subkutan (3. 2 jxg/kg/hari), mengalami peningkatkan reepithelialisasi pada luka
dermal. Hal ini tergantung pada vascular endothelial growth factor (VEGF), yaitu saat
antibodi-antibodi yang melawan VEGF menghapuskan efek ini (Concina et al.,
2000). Pada manusia, pengobatan topikal atau sistemik estrogen mempercepat
penyembuhan dermal pada wanita dan pria (Ashcroft et al., 1999). Efek ini dikaitkan
dengan penurunan tingkat elastase, sebagai hasil dari berkurangnya jumlah neutrofil
pada tempat luka, yang mengakibatkan peningkatan deposisi kolagen dan kekuatan
luka (Ashcroft et al, 1999).
Peran progestin pada penyembuhan luka jarang dilaporkan. Progesteron
meningkatkan level dari prostaglandin (Leslie dan Dubey, 1994) serta IL-1, dan pada
konsentrasi tertentu mungkin meningkatkan konsentrasi sekresi TNF (meriam, 1998;
Meriam dan St Pierre, 1997). Progesteron juga mendownregulasi reseptor GC (Viau
dan Meaney, 1991) dan kemudian mengurangi efek anti-inflamasi dari GCs
(Mascarenhas et al., 2003). Temuan ini mendukung pendapat bahwa progesteron
yang memodulasi peradangan dan bersifat proinflamasi di alam bebas.
Mirip dengan reseptor estrogen, reseptor androgen terletak di banyak jenis sel
yang penting untuk penyembuhan luka termasuk keratinocytes, fibroblas, sel-sel
endotel vaskular, makrofag, neutrofil, trombosit, dan B-sel (Gilliver et al., 2003). Ini
mendukung pendapat bahwa, seperti estrogen, androgen seharusnya juga berdampak
pada parameter penyembuhan luka. Tentu saja, androgen telah ditunjukkan untuk
mempengaruhi semua tahap penyembuhan luka, dari pembentukan bekuan awal
sampai remodeling luka (Gilliver et al., 2003).
Testosteron androgen telah banyak dikaji. Studi telah menemukan bahwa
testosteron mengurangi level IL- 6. IL-6 bersifat mitogenic terhadap keratinocytes
dan munculnya diperlukan untuk penyembuhan normal. Misalnya, IL-6 menekan

12
penyembuhan luka dermal tiga kali lebih lambat dibanding kontrol pada tikus karena
terlambatnya reepithelialisasi di situs luka. Testosteron juga meningkatkan level
TNF-α dalam jaringan yang luka, yang sebaliknya akan meningkatkan peradangan
dan dapat menghalangi proses penyembuhan (Ashcroft dan pabrik-pabrik, 2002).
Penelitian lebih lanjut pada luka dermal pada hewan percobaan lebih lanjut
menunjukkan bahwa androgen merugikan penyembuhan luka dermal. Pengebirian
laki-laki dikaitkan dengan berkurangnya peradangan, berkurangnya jumlah makrofag
yang direkrut ke dalam sisi luka, dan peningkatan kandungan kolagen pada matriks
ekstraseluler (Gilliver et al., 2003).
Sebagai tambahan, tikus jantan yang dikebiri sembuh lebih cepat daripada
tikus yang tidak dikebiri, dan terapi androgen membalikan efek ini (Ashcroft et al.,
2003a).
Temuan ini menunjukkan bahwa hormon seks berpengaruh pada banyak sisi
penyembuhan luka yg cenderung mendasari perbedaan gender, yang telah dilaporkan
dalam rata-rata kecepatan penyembuhan (lihat bawah). Secara keseluruhan, estrogen
nampaknya meningkatkan (Ashcroft et al., 1997a; Ashcroft et al., 1999; Ashcroft et
al., 2003b; Ashcroft dan Ashworth, 2003; Concina et al., 2000; Mascarenhas et al.,
2003) dan androgen menghalangi (Ashcroft dan Pabrik-pabrik, 2002; Giliiver et al.,
2003; Mascarenhas et al., 2003) proses penyembuhan luka di kulit. Efek memperbaiki
dari estrogen pada penyembuhan dermal ini sebagian dihubungkan dengan
berkurangnya peradangan pada Jaringan luka (Ashcroft et al., 1999; Ashcroft dan
Ashworth, 2003; Mascarenhas et al., 2003), sedangkan androgen telah dikaitkan
dengan peningkatan respon inflamasi (Ashcroft dan pabrik-pabrik, 2002; Gilliver et
al., 2003).

VIII. PERBEDAAN JENIS KELAMIN PADA PENYEMBUHAN LUKA

Jenis kelamin sebagai salah satu faktor yang terlibat dalam luka
penyembuhan, dan sejumlah penelitian telah menunjukkan jenis kelamin perempuan

13
memiliki kelebian dalam penyembuhan (Ashcroft et al., 1997a; Ashcroft et al.,
2003b; Ashcroft dan Ashworth, 2003; Jorgensen et al., 2002). Lebih lanjut, genotipe
laki-laki dianggap sebagai faktor risiko yang positif yang kuat untuk terganggunya
penyembuhan pada orang tua (Ashcroft dan Mills, 2002). Misalnya, pada orang tua,
laki-laki menunjukkan kadar TNF-α lebih tinggi dan tingkat kolagen lebih rendah
daripada perempuan, keduanya dihubungkan dengan adanya terlihatnya penundaan
penyembuhan pada luka dermal pada laki-laki yang berusia lanjut (Ashcroft et al.,
1999; Ashcroft dan pabrik-pabrik, 2002). Demikian pula, laki-laki muda
menunjukkan tingkat kolagen yang lebih rendah dan mengalami penyembuhkan
luka-luka kulit lebih lambat daripada wanita muda (Jorgensen et al., 2002).
Hormon seks memainkan peran dalam penyakit periodontal (Mascarenhas et
al., 2003), mendukung pendapat bahwa mereka secara serupa terlibat dalam
penyembuhan di mukosa oral. Namun, literatur tidak menunjukkan bukti kelebihan
perempuan pada penyembuhan mukosa oral, beberapa studi telah melaporkan tidak
ada perbedaan seks dalam kecepatan penyembuhan di bagian ini (Heard et al., 2000;
Lopez et al., 2002; Yumiba et al., 2003). Studi lain yang meneliti penyembuhan
setelah bedah molar ketiga menemukan bahwa perempuan sembuh lebih lambat
secara beramakna (Conrad et al., 1999; Phillips et al, 2003), dan membutuhkan
perawatan pasca bedah tambahan (Benediktsdottir et al., 2004; Phillips et al., 2003)
dibandingkan laki-laki.
Yang lebih baru, kita menggunakan penelitian luka eksperimental pada langit-
langit mulut pada 212 relawan dewasa dan menilai ukuran luka selama 7 hari pasca
perlukaan. Luka-luka ini (3, 5 mm diameter) distandarkan untuk ukuran, kedalaman,
lokasi dan waktu penempatan. Kita mengamati adanya perbedaan nyata pada gender
dimana lebih mendukung pada laki-laki (Engeland et al. ; in press). Meskipun luka
pada awalnya sama ukurannya, tetapi 24 jam pasca perlukaan laki-laki telah secara
bermakna mempunyai ukuran luka lebih kecil daripada wanita, dan ini terus
berlangsung secara nyata hingga 6 hari pasca perlukaan. Sebagai hasilnya, secara
bermakna ternyata dijumpai laki-laki mengalami penembuhan pada hari ke 5 dan

14
perempuan setelah hari ke 6 pasca perlukaan. Pada hari ke 5, luka pada perempuan
adalah 27% lebih besar daripada laki-laki, dan laki-laki 2, 5 kali dianggap lebih cepat
sembuh daripada wanita. Perbedaan jenis kelamin ini nampak pada seluruh kelompok
usia (18-35 tahun atau 50-88 tahun), dan hasil ini terlepas dari faktor demografi
secara umum, seperti etnisitas, pendidikan, penggunaan alkohol nikotin, olah raga,
atau indeks massa tubu h (Engeland et al., in press).
Kita baru-baru ini sudah mengulang penemuan ini pada laki-laki yang
mendapat keuntungan dalam penyembuhan luka mukosa dalam penelitian klinis
kedua dengan menggunakan mahasiswa S1 (n = 193; umur 18-31 tahun). Hasil ini
bertentangan dengan sejumlah besar data yang menunjukkan perempuan lebih
memiliki keunggulan dalam penyembuhan luka dermal (Ashcroft et al., 2003b;
Ashcroft dan Ashworth, 2003; Jogerson et al., tahun 2002; Shimizu et al., 2004).
Luka kulit dan mukosa sering disamakan, dan perbandingan langsung sering dibuat
antara proses penyembuhan yang mendasari. Namun, temuan ini menunjukkan bahwa
penyembuhan dimodulasi oleh mekanisme yang berbeda tergantung pada jenis
jaringan (dermal vs mukosa), dan berbanding langsung antara jaringan kulit dan
mukosa tentu saja tidak tepat. Kita berhipotesa bahwa hormon seks memodulasi
penyembuhan baik pada luka mukosa dan dermal, tapi terjadi secara, mungkin
penyembuhan berlawanan arah.

IX. PENYEMBUHAN LUKA DERMAL VERSUS LUKA DI MUKOSA

Luka mukosa sering terjadi, dan penyembuhan mukosa sangat penting pada
hasil luka pembedahan. Beberapa studi telah membandingkan penyembuhan luka
dermal versus mukosa. Secara keseluruhan, telah dapat diterima bahwa luka mukosa
menyambuh lebih cepat secara signifikan daripada luka dermal (Lee dan Eun, 1999;
Szpaderska et al., 2003). Ini Logis karena dibandingkan dengan kulit, mukosa oral
lebih rentan karena insiden kerusakan lebih banyak dan memiliki kandungan bakteri

15
yang lebih tinggi. Faktor-faktor ini meningkatan kemungkinan terjadinya infeksi
ketika terluka, sehigga dibutuhkan penyembuhan luka lebih cepat.
Kandungan bakteri yang lebih tinggi di luka mukosa tampaknya mengubah
proses penyembuhan luka. Tikus dengan target penghapusan reseptor tipe 1
interleukin-1 (IL - 1R1-/-) mengalami penembuhan luka kulit kepala pada kecepatan
normal tetapi menunjukkan penyembuhan luka mukosa oral yang melambat
dibandingkan dengan kontrolnya dari tikus tipe liar. Penatalaksanaan antibiotik pada
tikus ini sebagian besar mengubah perlambatan penyembuhan luka mukosa (Graves
et al., 2001). Temuan ini menunjukkan bahwa kegiatan IL-1 normal lebih penting
pada luka mukosa oral dibanding pada luka dermal disebabkan karena kandungan
bakteri yang lebih tinggi yang ditemukan dalam mulut (Graves et al., 2001).
Perbedaan lain membantu menjelaskan mengapa jaringan mukosa sembuh
lebih cepat daripada kulit. Dibandingkan dengan kulit, penggantian epitel mukosa
lebih cepat dan jaringan itu lebih bervaskularisasi. Karena peningkatan pembuluhnya,
maka butuh sedikit waktu untuk merekrut sel-sel inflamasi ke arah sisi luka mukosa.
Lebih lanjut, di mukosa oral, senyawa imunomodulator, seperti faktor pertumbuhan,
lebih siap untuk menyuplai ke sisi luka tersebut melalui air liur. Mukosa oral dan sel-
sel jaringan kulit juga memiliki karakteristik yang berbeda (Szpaderska et al., 2003;
Yamada et al, 2004). Studi sebelumnya telah menemukan bahwa, dibandingkan
dengan fibroblas dermal, fibroblas mukosa oral mengalami proliferasi lebih banyak,
mengalami kontraksi lebih awal, dan dengan kehadiran TGF-β1, mensintesis lebih
banyak kolagen (Lee et al., 1999). Mungkin, perbedaan pada perilaku selular ini
menyebabkan perbedaan kecepatan penyembuhan yang terlihat di jaringan. Studi
pada tikus telah dilaporkan adanya tingkat neutrofil, makrofag dan infiltrasi sel T
yang lebih rendah pada luka-luka mukosa oral dibanding luka dermal. Terkait dengan
ini, level IL-6, KC (tikus homolog dengan IL-8manusia), dan TGF-β1 semua lebih
rendah di mukosa oral daripada di luka dermal (Szpaderska et al., 2003).
Secara bersama-sama, jaringan mukosa oral mengungkapkan tingkat
peradangan lebih rendah ketika dalam keadaan perbaikan daripada jaringan dermal

16
(Lee et al., 1999; Szpaderska et al, 2003). Karena berkurangnya peradangan jaringan
pada perlukaan dermal dikaitkan dengan waktu penyembuhan yang lebih cepat (Dovi
et al, 2003; Dovi et aL, 2004), maka hal ini dapat membantu untuk menjelaskan
mengapa luka mukosa oral sembuh lebih cepat dibanding luka dermal. Ini juga
mendukung pendapat bahwa jumlah peradangan yang diperlukan untuk penyembuhan
optimal lebih rendah pada jaringan mukosa daripada dalam jaringan dermis.
Mengingat bahwa testosteron berlimpah di air liur dibanding cairan lain mukosa, dan
memiliki properti antiinflamasi yang kuat, kadar testosteron lebih tinggi di laki-laki
mungkin dapat menjelaskan penyembuhan mukosa lebih cepat yang telah ita amati
pada pria dibandingkan wanita (Engeland et al., in press).
Banyak perubahan yang terjadi pada kulit orang tua itu karena faktor-faktor
ekstrinsik, seperti paparan sinar matahari (Gosain dan DiPietro, 2004; Thomas,
2001). Karena jaringan mukosa tidak terpapar sinar matahari, maka ia menyediakan
perangkat penilaian yang baik pada efek penuaan intrinsik pada penyembuhan luka.
Mengingat bahwa jaringan mukosa menyembuhkan lebih cepat dengan sedikit
peradangan, jarang berbekas, dan muncul mirip dengan penyembuhan ideal seperti
pada jaringan janin, maka satu model mukosa dari penyembuhan luka juga
memberikan wawasan yang unik ke dalam penyempurnaan proses penyembuhan
dalam berbagai jenis jaringan.

X. PENYEMBUHAN LUKA PADA USIA LANJUT

Telah dapat diterima bahwa penuaan mengubah morfologi kulit (Ashcroft et


al., 2002). Kulit pada dewasa tua telah menunjukkan adanya pengurangan dalam
pembuluhnya (van de Kerkhof et al, 1994), isi kolagen (Cook dan Dzubow, 1997;
Gosain et al., 2004; Van de Kerkhof et al, 1994), granulasi jaringan (van de Kerkhof
et di, 1994), dan elastin (Ashcroft et al., 1997c; Thomas, 2001). Tapi apakah defisit
ini penting dalam menghasilkan kecepatan dalam perubahan tingkat penyembuhan?

17
Kembali ke Perang Dunia I, ada laporan penundaan penyembuhan luka
dikaitkan dengan usia. DuNuoy (1916) mengamati bahwa prajurit yang lebih tua
yang mengalami luka dalam pertempuran menunjukkan penutupan luka lebih lambat
dibandingkan luka pada tentara muda. Temuan ini sulit untuk ditafsirkan, karena
tentara itu relatif lebih muda (20-40 tahun), dan faktor-faktor seperti jenis luka,
kedalaman, dan jumlah insiden infeksi tidak diperhitungkan. Sejumlah studi yang
melibatkan usia tua (65+ tahun) telah melaporkan perlambatan penyembuhan luka
terkait usia (Fenske dan Leber, 1986; Gerstein et Al., 1993; Goodson III dan Hunt,
1979). Kritik utama terhadap temuan tersebut, bagaimanapun, adalah bahwa faktor
membingungkan lebih sering dijumpai pada usia tua, seperti komorbiditas dan
penggunaan obat, yang belum dikontrol secara adekuat (Ashcroft et al., 1995;
Ashcroft et al., 1997b; Ashcroft et al., 2002; Thomas, 2001). Sebagai tambahan,
karena penelitian itu sebagian besar laporan klinis, luka belum distandarisasi diantara
individu. Dengan demikian, meskipun secara umum diterima bahwa usia tua
memperlambat penyembuhan luka dalam model hewan percobaan (Ashcroft et alv
1997b; Quirinia dan Viidik, 1991; Swift et al., 1999), namun masih tetap tidak jelas
apakah penuaan saja memperlambat penyembuhan luka pada manusia.
Dengan menggunakan model yang sudah distandarisasi pada penyembuhan
luka mukosa, di mana luka dengan diameter 3,5 mm diletakkan di atas langit-langit
keras mulut, maka laboratorium kami menilai efek penuaan pada penyembuhan luka.
Ukuran luka dinilai setiap hari selama 7 hari pasca perlukaan. Individu yang lebih tua
(50-88 tahun; n = 93) mengalami penyembuhan luka ini secara signifikan lebih
lambat dari orang dewasa muda (18- 35 tahun; n = 119), terlepas dari jenis kelamin.
Dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih tua, lukanya lebih kecil secara
bermakna dibanding pada orang dewasa yang lebih muda dari hari 2-7 setelah
perlukaan, mengakibatkan ada sejumlah subyekusia muda yang lebih banyak yang
mengalami penyembuhan pada hari ke 5 sampai 7. Pada hari 5, luka menjadi 56%
lebih lebr pada subjek yang lebih tua dari yang lebih muda, dan usia tua 3, 7 kali
lebih sulit sembuh daripada individu muda.

18
Analisis tambahan dilakukan dengan mengeluarkan individu yang menjalani
pengobatan tipe apa saja (mengesampingkan pengobatan alergi, pengendalian
kelahiran atau suplemen gizi), dan/atau yang mempunyai kondisi medis yang serius
(misalnya, diabetes, kanker, stroke, jantung penyakit, hipertensi, hipotiroidisme,
radang sendi, penyakit radang lainnya, psikopatologi). Meskipun individu-individu
ini telah dikeluarkan dari analisa, individu yang lebih tua ditemukan menyembuh
lebih lambat dari subjek yang muda. Anehnya, dikeluarkanya individu dari
pemberian pengobatan menguatkan temuan-temuan di atas bahwa ada defisit dalam
penyembuhan luka karena usia. Dengan demikian, kelambatan penyembuhan yang
terkait usia tidak diperberat oleh penggunaan obat. Hal ini menunjukkan penemuan
bahwa efek yang merugikan dari penuaan pada penyembuhan luka mungkin bahkan
lebih kuat daripada yang diduga sebelumnya (Engeland et al., pers).
Mekanisme dimana proses penuaan mengganggu penyembuhan luka belum
sepenuhnya dipahami. Jelasnya, ada perbedaan intrinsik pada kulit dari dewasa yang
usianya lebih tua dikaitkan dengan paparan matahari, pergantian sel, ketersediaan
stems sel, dll. Penuaan juga diketahui mempengaruhi HPA axis. Secara umum
diterima bahwa tingkat puncak GCs secara substansial tidak berbeda pada dewasa
usia tua dibandingkan dengan dewasa yang lebih muda, tetapi penghentian respon
stres mengalami gangguan (McEwen et al., 1993; Sapolsky et alv 1986). Dengan
demikian, GCs dikeluarkan pada jangka waktu yang lebih lama. Selama
penyembuhan, perpanjangan periode sekresi GC akan mengakibatkan rekrutmen sel
yang lebih sedikit dan penghambatan faktor pertumbuhan untuk fibroblast dan sel-sel
endotel. Ini mungkin bertanggung jawab, sebagiannya atas perbedaan jaringan yang
ditemukan pada dewasa usia lebih tua atau dapat meningkatkan variabilitas
penyembuhan diantara lain dewasa yang berusia lebih tua.

19
XI. KESIMPULAN DAN ARAH MASA DEPAN

Mekanisme dimana stres memodulasi penyembuhan luka tetap sepenuhnya


perlu dipahami. Dua jalur utama nampaknya terlibat, HPA axis dan sistem saraf
simpatik (SNS). Aktivasi HPA axis menghasilkan produksi glukokortikoid dan
norepinefrin dari adrenal. Glukokortikoid dapat mengatur produksi sitokin pro-
inflamasi, chemokines, dan faktor-faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk
rekrutmen/aktivasi fagosit dan perbaikan jaringan. Masih sangat sedikit tersedia data
pada model penelitian manusia yang disajikan dalam tinjauan ini memberi kesan
bahwa kortisol dan sitokin terlibat dalam penyembuhan yang terganggu akibat stres.
Studi pada hewan percobaan lebih lanjut menunjukkan adanya peran dari
glukokortikoid. Tikus yang menjadi subjek dari stres penekanan memiliki level
sitokin pro-inflamasi dan faktor pertumbuhan yang lebih rendah, termasuk IL-1β,
pada luka-luka mereka (Padgett et al. 1998; Mercado et al., 2002). Penting,
pengobatan tikus yang mengalami stres dengan RU486, yang merupakan suatu
antagonis glukokortikoid, mengembalikan ekspresi IL-1β menjadi normal, tapi hanya
sebagian saja memperbaiki penyembuhan mejadi normal dan pada tigkat yang lebih
rendah memperbaiki pembersihan mikroba (Rojas et al., 2002).
Meskipun sitokin memainkan peran kunci dalam aktivasi dan perekrutan fagosit,
temuan ini mengindikasikan adanya jalur kedua yang penting dalam penyembuhan
luka yang terganggu karena stres. Jalur penting lainnya ini yang diaktifkan oleh stres
adalah SNS. SNS dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer, mengganggu aliran
darah ke luka dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Hal ini membatasi ketersediaan
oksigen baik untuk perbaikan jaringan dan pembersihan mikroba. Reactive oxygen
species (ROS, misalnya, superoksida anion, H2O2, dan NO) dikenal sebagai sinyal
komponen yang penting selama penyembuhan dan sistem pertahanan antimikroba
pada sel-sel fagosit. Penelitian pada manusia telah menunjukkan pentingnya oksigen
jaringan selama penyembuhan (Hunt dan Pai, 1972). Sebagai tambahan, gen-gen
yang memodulasi oxygen itu mengalami disregulasi akibat stres dalam perlukaan.

20
Sebagai contoh, ekspresi gen iNOS mengalami upregulasi tiga kali lipat di jaringan
luka yang terjadi pada tikus yang mengalami stres. Pengobatan tikus yang mengalami
stres dengan Oksigen Hiperbarik (HBO) mengembalikan penyembuhan normal dan
ekspresi gen iNOS normal (Gajendrareddy et al, 2005). Oleh karena itu, dua jalur ini
dan mediator ini memberikan target potensi untuk "menyempurnakan" penyembuhan
luka pada manusia yang mengalami stres.
Kebutuhan penyembuhan luka yang sempurna selalu sangat besar. Semakin
meningkat, intervensi bedah tidak hanya dimendapatkan gunakan untuk hasil terapi,
tetapi juga untuk alasan estetika. Hasil estetika membutuhkan penyembuhan yang
ideal. Dalam populasi yang berusia tua, permintaan dan kebutuhan akan meningkat.
Ini akan menjadi tantangan yang lebih besar karena kita mulai memaniplasi jaringan
untuk mengganti bagian-bagian tubuh dan jaringan. Pemahaman yang mendalam
bagaimana penyembuhan luka bisa terjadi secara sempurna adalah penting untuk
hasil yang optimal. Telah ditunjukkan bahwa hormon neuroendokrin yang
dimodifikasi oleh stres, jenis kelamin, atau penuaan dapat mengubah terjadinya
penyembuhan luka. Efek stres sama kuatnya seperti faktor risiko lain yang diketahui
dalam penyembuhan luka yang tidak sempurna, misalnya, diabetes atau merokok.
Studi ini umumnya telah dilakukan pada populasi yang relatif sehat. Nampaknya ada
kecenderungan ada dampak yang lebih besar akan terlihat pada pasien yang
mengalami gangguan kesehatan. Ada banyak pertanyaan yang tak terjawab yang akan
memerlukan studi tambahan baik menggunakan model manusia maupun hewan
percobaan. Apakah efek dari stres berdampak sama pada laki-laki dan perempuan?
Apakah sumber atau ukuran cedera itu penting? Dapatkah kita mengidentifikasi
populasi yang beresiko lebih tinggi? Apa peran genetika? Apakah peran relatif HPA
axis dan sistem saraf simpatik? Apa target pentingyang bisa dilakukan untuk
intervensi biologis? Apa dasar perbedaan penyembuhan spesifik untuk jaringan
tertentu? Bagaimana dapat kita mengeksploitasi perbedaan dalam penyembuhan
antara jaringan mukosa dan jaringan dermal? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini
akan membantu untk mengindividualisasikan penyembuhan luka yang sempurna,

21
mempertimbangkan jenis cedera, jaringan yang terlibat, jenis kelamin dan usia
pasien, serta tingkat psikologis dan karakteristik dari masing-masing individu. Sudah
jelas, bahwa intervensi biologis akan sangat ideal, karena perubahan perilaku
merupakan tugas yang sulit dalam masyarakat kita.

22

Anda mungkin juga menyukai