Anda di halaman 1dari 4

Etika Rimbawan

Apri Heri Iswanto

Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN

FAO (2001) dalam Suhendang (2002) menyebutkan bahwa pada tahun 2000 luas hutan
dunia sekitar 3,87 milyar hektar. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki hutan seluas
3,1% dari luas hutan dunia, sehingga tidak mengherankan kalau pada era orde baru sektor
kehutanan di Indonesia merupakan sektor idola dimana sektor ini menyumbang devisa terbesar ke
dua setelah sektor migas. Namun kebanggaan ini tidak berlangsung lama. Hamparan permadani
hijau yang dahulu dibanggakan kini tinggal kenangan, nafsu dan keserakahan telah mengubah
segalanya.
Forest Watch Indonesia / Global Forest watch (2001) mengemukakan beberapa pokok
temuan mengenai kerusakan hutan tropis di Indonesia antara lain pada tahun 1980-an laju
kehilangan hutan rata-rata sekitar 1 juta ha per tahun, kemudian meningkat menjadi 1,7 juta ha
per tahun pada awal tahun 1990-an. Sejak tahun 1996, laju deforestasi meningkat legi menjadi
rata-rata 2 juta ha per tahun. Untuk wilayah Sumatera, pada tahun 1985 tutupan hutan di
Sumatera meliputi 49% (23.323.500 ha) dari luas daratannya (47.530.143 ha), dalam kurun waktu
12 tahun jumlah tersebut telah menurun menjadi 35% (16.632.143 ha) atau kehilangan sebesar
6.691.357 ha sampai dengan tahun 1997.
Berikut dikemukakan beberapa kasus terkait dengan degradasi moral yang
mengakibatkan deforestasi di wilayah Sumatera Utara antara lain:
1. FFI-SECP (2003) bahwa di Provinsi Sumatera Utara sampai dengan pertengahan 1990-
an, hutan yang telah terdegradasi mencapai 386.006 ha sementara yang sudah dalam
keadaan gundul mencapai 365.000 ha.
2. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dalam Malley (2003)
dikemukakan bahwa lebih dari 1 juta ha lahan kritis di Sumatera Utara, sekitar 894.186
ha diantaranya merupakan bagian dari 3.68 juta kawasan hutan yang ada. Ini berarti
hampir 25% kawasan hutan di Sumatera Utara sudah dalam keadaan rusak total.
3. Malley (2003) mengemukakan bahwa salah satu kawasan konservasi di Sumatera yang
gencar dilakukan perambahan adalah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan
ekosistemnya yang sebagian berada di Provinsi Sumatera Utara. Bupati Langkat
mengakui bahwa sudah 42.000 ha hutan TNGL di wilayahnya telah habis dirambah.
4. Kapoldasu (2003) mengemukakan bahwa dalam kurun waktu 2000-2003, Polda Sumatera
Utara berhasil menindak kasus illegal logging di kawasan TNGL. Jumlah kasus yang di
tanganinya sekitar 43 kasus dengan melibatkan 132 tersangka dan barang bukti 415,16 m3
kayu.
5. Malley (2003) mengemukakan bahwa sumber dari Kepolisian Republik Indonesia pernah
menyebutkan bahwa selama kurun waktu 1999 sampai dengan maret 2001, Polda
Sumatera Utara telah mengajukan lebih dari 70 berkas perkara yang melibatkan lebih dari
200 pelaku perambahan/pencurian kayu di TNGL berikut barang bukti seperti parang,
chain saw, buldozer, truk tronton dan kayu gelondongan.
6. Malley (2003) mengemukakan bahwa dari hasil pengamatan di lapangan ditemukan
kilang-kilang kayu (sawmill) yang beroperasi dengan ijin resmi namun tidak memiliki

1
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
hutan kelola untuk menyediakan kayu-kayu yang diolah sehingga mereka mengolah kayu
tebangan yang tidak sah.

Beberapa kasus yang tersebut diatas hanyalah pengungkapan sebagian kecil dari kasus-
kasus yang ada, masih banyak kasus-kasus yang belum terungkap atau bahkan mungkin sengaja
tidak diungkap. Seperti yang kita ketahui bahwa pemberantasan illegal logging tidak akan
terlepas dari dukungan berbagai jajaran instansi (Presiden, para Anggota Dewan yang terhormat,
Departemen Kehutanan, Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman, Petugas Bea dan Cukai atau
pihak pabean yang bertindak mengawasi keluar masuknya suatu barang atau produk beserta
lapisan masyarakat mulai dari golongan cendikiawan sampai tokoh agama).
Pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada upaya
penyelamatan hutan, bukannya bertindak sebaliknya. Dengan berdalih meningkatkan devisa
negara melalui pihak-pihak asing yang akan menanamkan investasinya maka keluarlah kebijakan
pemerintah yang menghalalkan pembukaan lahan konservasi dan kawasan lindung menjadi areal
pertambangan. Hal ini secara tidak langsung akan memberikan suatu teladan yang buruk bagi
pihak-pihak lain yang berkompeten dengan dunia bisnis kehutanan. Rapihnya kerjasama antara
oknum dinas/instansi terkait dengan para cukong sehingga menyebabkan para cukong dengan
leluasanya menyelundupkan kayu ilegal ke negara-negara lain terutama negara yang berbatasan
langsung dengan Indonesia. Pola pikir yang sempit dan kapitalis telah mengorbankan segalanya.
Negeri kita sekarang sedang menuai bencana. Banjir, tsunami, tanah longsor dan
kekeringan, ini semua sebagai dampak akumulatif dari dosa-dosa masa lalu yang harus
ditanggung oleh generasi masa kini bahkan bisa jadi sampai generasi yang akan datang selama
aktivitas-aktivitas ilegal tersebut tidak dihentikan. Sudah berapa banyak jiwa-jiwa tak berdosa
yang melayang?, berapa banyak orang yang kehilangan harta benda dan keluarga yang mereka
sayangi?. Tuhan sang pencipta alam semesta telah memberikan teguran pada umatnya, yang
seharusnya manusia diciptakan di muka bumi ini untuk menjadi seorang pemimpin yang bisa
berlaku adil terhadap sesama dan alam semesta beserta isinya namun manusia malah berbuat
sebaliknya. Semua ini seharusnya tidak akan terjadi kalau manusia dapat berlaku arif terhadap
lingkungannya dalam artian keberadaan hutan sebagai penyangga ekosistem tidak dirusak.
Sekarang sudah saatnya semua pihak menyadari arti penting hutan dari sisi intangible (berfungsi
sebagai kawasan penyangga dan perlindungan, mempertahankan sumber mata air, dll) tidak
hanya dari sisi pemanfaatan (eksploitasi) kayunya saja. Sehingga keberadaan hutan yang dapat
memberikan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupan akan terwujud.

KODE ETIK RIMBAWAN INDONESIA

Suhendang (2002) mengemukakan bahwa seperti yang tertuang didalam Deklarasi


Cangkuang 4 November 1999, Rimbawan adalah seseorang yang mempunyai pendidikan
kehutanan atau pengalaman di bidang kehutanan dan terikat oleh norma-norma sebagai berikut:
1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Menempatkan hutan alam sebagai bagian dari upaya mewujudkan martabat dan
integritas bangsa ditengah bangsa-bangsa lain sepanjang jaman.
3. Menghargai dan melindungi nilai-nilai kemajemukan sumberdaya hutan dan sosial
budaya setempat
4. Bersikap obyektif dalam melaksanakan segenap aspek kelestarian fungsi ekonomi,
ekologi dan sosial hutan secara seimbang dimanapun dan kapanpun bekerja dan
berdarma bakti.
5. Menguasai, meningkatkan, mengembangkan, dan mengamalkan ilmu dan teknologi
berwawasan lingkungan dan kemasyarakatan yang berkaitan dengan hutan dan
kehutanan.

2
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
6. Menjadi pelopor dalam setiap upaya pendidikan dan penyelamatan lingkungan
dimanapun dan kapanpun rimbawan berada.
7. Berperilaku jujur, bersahaja, terbuka, komunikatif, bertanggunggugat, demokratis, adil,
ikhlas dan mampu bekerjasama dengan semua pihak sebagai upaya dalam mengemban
profesinya.
8. Bersikap tegar, teguh dan konsisten dalam melaksanakan segenap bidang gerak yang
diembannya, serta memiliki kepekaan , proaktif, tanggap, dinamis dan adaptif terhadap
perubahan lingkungan strategis yang mempengaruhinya baik di tingkat lokal, nasional,
regional dan global.
9. Mendahulukan kepentingan tugas rimbawan dan kepentingan umum (public interest)
saat ini dan generasi yang akan datang, diatas kepentingan-kepentingan lain.
10. Menjunjung tinggi dan memelihara jiwa korsa rimbawan.

ETIKA RIMBAWAN di LAPANGAN

Thoha (2003) mengemukakan bahwa untuk dapat mengoptimalkan pemehaman dan terjadinya
interaksi yang harmonis antara peserta praktik dan hutan, setidaknya perlu memperhatikan hal-
hal berikut:

1. Selalu memohon perlindungan dan pertolongan pencipta hutan yaitu Tuhan Pencipta
Semesta Alam setiap kali berinteraksi dengan hutan.
2. Menghilangkan sifat-sifat yang bisa menghalangi kedekatan hubungan kita dengan hutan
seperti sombong, egois, tinggi hati, malas dan merendahkan sesuatu.
3. Menghargai dan mematuhi kebiasaan atau budaya yang berlaku di kawasan dan
masyarakat sekitar hutan, seperti tidak membuat gaduh, tidak berkata jorok, tidak
sesumbar, tidak membuang sampah sembarangan, tidak memotong ranting tertentu dan
lain-lain.
4. Mengikuti dengan antusias berbagai informasi dan kegiatan yang diberikan dan atau
ditawarkan masyarakat kepada kita.
5. Tidak hanyut pada aktivitas yang tidak sesuai atau membawa citra buruk bagi mahasiswa
dan institusi seperti berjudi, mabuk, pelacuran, dll.
6. Menyelesaikan masalah yang terjadi pada kelompok secara musyawarah dan
berkonsultasi pada pembimbing lapangan.
7. Tidak menawarkan atau menyebarkan sesuatu yang dapat mengakibatkan kekacauan
suasana hutan dan masyarakat sekitar hutan.
8. Berupaya dengan kemampuan yang ada untuk ikut peduli, menawarkan solusi atau
bahkan ikut berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah yang terjadi pada kawasan
hutan dan masyarakat sekitar hutan.
9. Menampilkan sosok mahasiswa yang dapat menjadi teladan masyarakat bukan sebagai
sosok yang berperilaku bebas dan banyak menuntut.

3
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA

FFI-SECP. 2003. Merusak Hutan Menuai Krisis dan Melestarikan Utang. Makalah Pada
Seminar “Hutan sumatera: Penyebab dan Dampak Kerusakan serta Solusi
Pengelolaan Secara Berkelanjutan” 22-23 Desember 2003. Medan

FWI/GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest watch
Indonesia dan washington D.C. : Global Forest Watch.

Kapoldasu. 2003. Upaya Penegakan hukum, salah Satu Peluang Solusi di Bidang
Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan. Makalah Pada Seminar “Hutan sumatera:
Penyebab dan Dampak Kerusakan serta Solusi Pengelolaan Secara Berkelanjutan” 22-23
Desember 2003. Medan

Malley, Fachrurrazi Radjidt Ch. 2003. Isu Penting Hutan Sumatera Utara dan Solusi
Alternatif untuk Menyelamatkannya. Makalah Pada Seminar “Hutan sumatera:
Penyebab dan Dampak Kerusakan serta Solusi Pengelolaan Secara Berkelanjutan” 22-23
Desember 2003. Medan

Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan penerbit Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor

Thoha, A.Siddik. 2003. Penerapan Etika Kerimbawanan di Lapangan. Panduan Praktik


Umum Kehutanan (PUK) Program Ilmu Kehutanan USU. Medan

4
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai