Kasus
Kasus
Kepala Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Tapung Raya, Masril (40) ditahan polisi. Ia terbukti
melakukan transfer uang Rp1,6 miliar dan merekayasa dokumen laporan keuangan. Perbuatan tersangka
diketahui oleh tim penilik/pemeriksa dan pengawas dari BRI Cabang Bangkinang pada hari Rabu 23 Februari
2011 Tommy saat melakukan pemeriksaan di BRI Unit Tapung. Tim ini menemukan kejanggalan dari hasil
pemeriksaan antara jumlah saldo neraca dengan kas tidak seimbang. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
dan cermat, diketahu iadanya transaksi gantung yaitu adanya pembukuan setoran kas Rp 1,6 miliar yang berasal
BRIUnit Pasir Pengaraian II ke BRI Unit Tapung pada tanggal 14 Februari 2011 yang dilakukanMasril, namun
tidak disertai dengan pengiriman fisik uangnya.Kapolres Kampar AKBP MZ Muttaqien yang dikonfirmasi
mengatakan, Kepala BRI Tapung Raya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di sel Mapolres Kampar
karenamentransfer uang Rp1,6 miliar dan merekayasa laporan pembukuan.Kasus ini dilaporkan oleh Sudarman
(Kepala BRI Cabang Bangkinang dan Rustian
Martha pegawai BRI Cabang Bangkinang. “Masril telah melakukan tindak pidana
membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan maupun dalam
dokumen laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening Bank (TP Perbankan). Tersangka dijeratpasal
yang disangkakan yakni pasal 49 ayat (1) UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atasUU No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan dangan ancaman hukuman 10 tahun,” kata Kapolres.
Polres Kampar telah melakukan penyitaan sejumlah barang bukti dokumen BRI serta melakukan koordinasi
dengan instansi terkait, memeriksa dan menahan tersangka dan 6 orang saksi telah diperiksa dan meminta
keterangan ahli.
PENYELESAIAN MASALAH
yaitu :
Skills Kemampuan yang diberikan harus sesuai dengan bidang kerja yang ia lakukan.Kemudian
kemampuan tersebut dikembangkan lebih lanjut untuk meningkatkankontribusi karyawan pada
perusahaan. Perusahaan melakukan pelatihan pendidikan secara periodik kepada karyawan sesuaidengan
perkembangan teknologi yang berkembang.
Pembinaan ini sangatlah penting karena setiap karyawan memiliki kepribadian yangberbeda jadi attitude ini harus
ditekankan kepada karyawan. Dalam hal ini karyawandiharapkan dapat memiliki kepribadian yang baik sehingga
dapat memperkecil resikoterjadinya penyimpangan dari karyawan itu sendiri.
2 Prosedur Otoritas Yang Wajar
a) Harus ada batas transaksi untuk masing-masing teller dan head teller.
b) Penyimpanan uang dalam khasanah harus menggunakan pengawasan ganda.
c) Teller secara pribadi tidak diperkenankan menerima kuasa dalam bentuk apapundari nasabah untuk
melaksanakan transaksi atas nasabah tersebut.
d) Teller secara pribadi dilarang menerima titipan barang atau dokumen pentingmilik nasabah.
3.Dokumen dan catatan yang cukup
a) Setiap setoran/penarikan tunai harus dihitung dan dicocokan dengan buktisetoran/ penarikan. Setiap bukti setoran/
penarikan harus diberi cap identifikasiteller yang memproses.
b) Setiap transaksi harus dibukukan secara baik dan dilengkapi dengan buktipendukung seperti Daftar Mutasi Kas,
Cash Register (daftar persediaan uangtunai berdasarkan kopurs/masing-masing pecahan)
4.Kontrol fisik atas uang tunai dan catatan
a)Head teller harus memeriksa saldo kas, apakah sesuai dengan yang dilaporkanoleh teller.
b)Head teller harus menghitung saldo uang tunai pada box teller sebelum teller yangbersangkutan cuti atau seteleh
teller tersebut absen tanpa pemberitahuan.
c)Setiap selisih harus diindentifikasi, dilaporkan kepada head teller dan pemimpincabang, diinvestigasi dan
dikoreksi.
d) Selisih uang tunai yang ada pada teller ataupun dalam khasanah harus dibuatkanberita acara selisih kas.
e) Area teller/ counter/khasanah adalah area terbatas dalam arti selain petugas ataupejabat yang berwenang, tidak
diperbolehkan masuk.
f) Teller dilarang membawa tas, makanan, ataupun perlengkapan pribadi ke counterarea.
5. Pemeriksaan yang dilakukan oleh unit yang independen
a) Setiap hari Unit Kontrol Intern harus memeriksa transaksi-transaksi yang berasaldari unit kas.
b) Secara periodik saldo fisik harus diperiksa oleh SKAI.
c) Pemimpin Cabang melakukan pemeriksaan kas dadakan.
Solusi :
pada kasus di atas, kita dapat menggunakan pendekatan enam langkah untuk
menyelesaikan dilema etis tersebut, antara lain :
Terdapat fakta-fakta yang relevan. Dalam kasus ini, fakta-fakta tersebut adalah :
Metode pengenalan pendapatan yang digunakan Machine International merupakan metode yang
dipertanyakan oleh pihak SEC.
Setelah melakukan riset, Frank menemukan bahwa metode tersebut tidak sesuai bagi
Machine Internatioal. Frank mengetahui bahwa metode tersebut memang tepat pada tahun
sebelumnya tetapi peraturan SEC membuatnya tidak tepat tahun ini.
Frank merencanakan untuk mengikuti persyaratan SAS 22 (AU 311) dan menyertakan sebuah
pernyataan dalam kertas kerja bahwa ia tidak setuju dengan keputusan rekannya.
Rekannya meminta Frank agar sependapat dengan dirinya untuk menyetujui penggunaan metode
tersebut karena metode tersebut telah digunakan selama bertahun-tahun dan diyakini
ketepatannya.
Rekannya menawarkan surat pernyataan bahwa bila terjadi suatu permasalahan hukum, maka ia
mengambil tanggung jawab penuh akan hal tersebut.
Mengidentifikasi isu-isu etika berdasarkan fakta-fakta tersebut.
Isu etika dari dilema tersebut adalah apakah merupakan hal yang etis bagi Frank untuk
mengeluarkan pernyataan bahwa ia tidak setuju dengan keputusan rekannya mengingat rekan
merupakan orang yang membuat keputusan akhir serta berada di atas kedudukannya saat ini
sebagai manajer senior.
Pada Desember 2006 Indonesia Corruptin Watch (ICW) melaporkan kasus dugaan korupsi ke
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam ruislaag (tukar guling) antara asset PT. Industri
Sandang Nusantara (ISN), sebuah BUMN yang bergerak di bidang tekstil, dengan asset PT.
GDC, sebuah perusahaan swasta.
Dalam ruislaag tersebut PT. ISN menukarkan tanah seluas 178.497 meter persegi di kawasan
Senayan dengan Tanah seluas 47 hektar beserta Pabrik dan mesin di karawang.
Berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) semester II Tahun Anggaran
1998/1999, menyatakan ruislaag itu berpotensi merugikan keuangan Negara sebesar Rp. 121,628
miliar.
Kerugian itu terdiri dari kekurangan luas bangunan pabrik dan mesin milik PT. GDC senilai Rp.
63,954 miliar, berdasarkan penilaian aktiva tetap oleh PT. Sucofindo pada 1999; penyusutan
nilai asset pabrik milik PT. GDC senilai Rp. 31,546 miliar; dan kelebihan perhitungan harga
tanah senilai Rp. 0,127 miliar. Selain itu juga ditemukan bahwa terdapat nilai saham yang belum
dibayarkan oleh PT. GDC sebesar Rp. 26 miliar.
Telaah Kasus
Dalam kasus Ruislaag di atas, karena ketidakjelasan prosedur dan syarat-syarat tukar guling
asset, sehingga sangat rawan untuk diselewengkan.
Seharusnya keputusan Tukar Guling tidak hanya menjadi wewenang salah satu pejabat saja,
melainkan melibatkan beberapa pejabat sebagai pengendali dan control yang baik. Selain itu juga
diperlukan sebuah aturan baku oleh perusahaan mengenai tukar guling, sehingga kemungkinan
penyelewengan menjadi berkurang.
Diperlukan juga control dari lembaga bersangkutan terhadap penelitian tim penilik yang meneliti
kelengkapan mengenai status asset, dokumen kelengkapan asset, sehingga tidak ada manipulasi
dari nilai asset tersebut serta proses tukar menukar.
Walaupun menggunakan jasa Appraisal, penilaian asset tetap juga tetap harus diawasi untuk
mencegah kecurangan-kecurangan.
Dari kasus diatas dapat dibuktikan bahwa PT. ISN memiliki pengendalian intern yang sangat
buruk. Sehingga PT. ISN rawan dicurangi oleh rekanan-rekanan bisnisnya maupun oleh oknum-
oknum pejabat perusahaan yang ingin mengambil keuntungan. Oleh karena itu hal pertama yang
harus dibenahi oleh PT. ISN adalah soal Pengendalian Internnya.
Sumber:http://sutrisno-amsir.blogspot.com/2013/01/beberapa-contoh-kasus-audit.html
Skandal Manipulasi Laporan Keuangan PT. Kimia
Farma Tbk.
Permasalahan
PT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Pada
audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih
sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM).
Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar
dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan
keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan
yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya
sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal
yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan
berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral
berupa overstatedpersediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi
berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7
miliar.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam
daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur produksinya,
menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices) pada tanggal 1 dan 3 Februari
2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar
penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan
kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda
atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh
akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan
bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit
yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak
terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.
Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan di harian Kontan yang menyatakan bahwa Kementerian
BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik Pemerintah di PT KAEF setelah
melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan (overstated) dalam laporan keuangan
pada semester I tahun 2002. Dimana tindakan ini terbukti melanggar Peraturan
Bapepam No.VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan poin 2 – Khusus huruf m –
Perubahan Akuntansi dan Kesalahan Mendasar poin 3) Kesalahan Mendasar, sebagai berikut:
“Kesalahan mendasar mungkin timbul dari kesalahan perhitungan matematis, kesalahan dalam
penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan interpretasi fakta dan kecurangan atau kelalaian.
Dampak perubahan kebijakan akuntansi atau koreksi atas kesalahan mendasar harus
diperlakukan secara retrospektif dengan melakukan penyajian kembali (restatement) untuk
periode yang telah disajikan sebelumnya dan melaporkan dampaknya terhadap masa sebelum
periode sajian sebagai suatu penyesuaian pada saldo laba awal periode. Pengecualian dilakukan
apabila dianggap tidak praktis atau secara khusus diatur lain dalam ketentuan masa transisi
penerapan standar akuntansi keuangan baru”.
Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan Pasal 102 Undang-undang Nomor 8
tahun 1995 tentang Pasar Modal jo Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 jo
Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di
Bidang Pasar Modal maka PT Kimia Farma (Persero) Tbk. dikenakan sanksi administratif berupa
denda yaitu sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Sesuai Pasal 5 huruf n Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, maka:
1. Direksi Lama PT Kimia Farma (Persero) Tbk. periode 1998 – Juni 2002 diwajibkan membayar
sejumlah Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena melakukan
kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan per 31 Desember 2001.
2. Sdr. Ludovicus Sensi W, Rekan KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa selaku auditor PT Kimia Farma
(Persero) Tbk. diwajibkan membayar sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk disetor
ke Kas Negara, karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan
laba yang dilakukan oleh PT Kimia Farma (Persero) Tbk. tersebut, meskipun telah melakukan
prosedur audit sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), dan tidak diketemukan
adanya unsur kesengajaan. Tetapi, KAP HTM tetap diwajibkan membayar denda karena dianggap
telah gagal menerapkan Persyaratan Profesional yang disyaratkan di SPAP SA Seksi 110 – Tanggung
Jawab & Fungsi Auditor Independen, paragraf 04 Persyaratan Profesional, dimana disebutkan bahwa
persyaratan profesional yang dituntut dari auditor independen adalah orang yang memiliki
pendidikan dan pengalaman berpraktik sebagai auditor independen.
Pada saat audit 31 Desember 2001 akuntan belum menemukan kesalahan pencatatan atas
laporan keuangan. Tapi setelah audit interim 2002 akuntan publik Hans Tuanakotta Mustofa
(HTM) menemukan kesalahan pencatatan alas laporan keuangan. Sehingga Bapepam sebagai
lembaga pengawas pasar modal bekerjasama dengan Direktorat Akuntansi dan Jasa Penilai
Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi para
akuntan publik untuk mencari bukti-bukti atas keterlibatan akuntan publik dalam kesalahan
pencatatan laporan keuangan pada PT. Kimia Farma Tbk. untuk tahun buku 2001.
Namun dalam hal ini seharusnya akuntan publik bertindak secara independen karena mereka
adalah pihak yang bertugas memeriksa dan melaporkan adanya ketidakwajaran dalam
pencatatan laporan keuangan. Dalam UU Pasar Modal 1995 disebutkan apabila di temukan
adanya kesalahan, selambat-lambamya dalam tiga hari kerja, akuntan publik harus sudah
melaporkannya ke Bapepam. Dan apabila temuannya tersebut tidak dilaporkan maka auditor
tersebut dapat dikenai pidana, karena ada ketentuan yang mengatur bahwa setiap profesi
akuntan itu wajib melaporkan temuan kalau ada emiten yang melakukan pelanggaran peraturan
pasar modal. Sehingga perlu dilakukan penyajian kembali laporan keuangan PT. Kimia Farma
Tbk. dikarenakan adanya kesalahan pencatatan yang mendasar, akan tetapi kebanyakan auditor
mengatakan bahwa mereka telah mengaudit sesuai dengan standar profesional akuntan publik.
Akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa ikut bersalah dalam manipulasi laporan keuangan,
karena sebagai auditor independen akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM)
seharusnya mengetahui laporan-laporan yang diauditnya itu apakah berdasarkan laporan fiktif
atau tidak.
Mantan direksi PT Kimia Farma Tbk. Telah terbukti melakukan pelanggaran dalam kasus dugaan
penggelembungan (mark up) laba bersih di laporan keuangan perusahaan milik negara untuk
tahun buku 2001. Kantor Menteri BUMN meminta agar kantor akuntan itu menyatakan kembali
(restated) hasil sesungguhnya dari laporan keuangan Kimia Farma tahun buku 2001. Sementara
itu, direksi lama yang terlibat akan diminta pertanggungjawabannya. Seperti diketahui,
perusahaan farmasi terbesar di Indonesia itu telah mencatatkan laba bersih 2001 sebesar Rp
132,3 miliar. Namun kemudian Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai, pencatatan
tersebut mengandung unsur rekayasa dan telah terjadi penggelembungan. Terbukti setelah
dilakukan audit ulang, laba bersih 2001 seharusnya hanya sekitar Rp 100 miliar. Sehingga
diperlukan lagi audit ulang laporan keuangan per 31 Desember 2001 dan laporan keuangan per
30 Juni 2002 yang nantinya akan dipublikasikan kepada publik.
Setelah hasil audit selesai dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Hans Tuanakotta & Mustafa,
akan segera dilaporkan ke Bapepam. Dan Kimia Farma juga siap melakukan revisi dan
menyajikan kembali laporan keuangan 2001, jika nanti ternyata ditemukan kesalahan dalam
pencatatan. Untuk itu, perlu dilaksanakan rapat umum pemegang saham luar biasa sebagai
bentuk pertanggungjawaban manajemen kepada publik. Meskipun nantinya laba bersih Kimia
Farma hanya tercantum sebesar Rp 100 miliar, investor akan tetap menilai bagus laporan
keuangan. Dalam persoalan Kimia Farma, sudah jelas yang bertanggung jawab atas terjadinya
kesalahan pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan laba terlihat di-mark up ini,
merupakan kesalahan manajemen lama.
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai kesalahan pencatatan dalam laporan keuangan
PT Kimia Farma Tbk. tahun buku 2001 dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di pasar
modal. Kesalahan pencatatan itu terkait dengan adanya rekayasa keuangan dan menimbulkan
pernyataan yang menyesatkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Bukti-bukti tersebut
antara lain adalah kesalahan pencatatan apakah dilakukan secara tidak sengaja atau memang
sengaja diniatkan. Tapi bagaimana pun, pelanggarannya tetap ada karena laporan keuangan itu
telah dipakai investor untuk bertransaksi. Seperti diketahui, perusahaan farmasi itu sempat
melansir laba bersih sebesar Rp 132 miliar dalam laporan keuangan tahun buku 2001. Namun,
kementerian Badan Usaha Milik Negara selaku pemegang saham mayoritas mengetahui adanya
ketidakberesan laporan keuangan tersebut. Sehingga meminta akuntan publik Kimia Farma,
yaitu Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) menyajikan kembali (restated) laporan keuangan Kimia
Farma 2001. HTM sendiri telah mengoreksi laba bersih Kimia Farma tahun buku 2001 menjadi
Rp 99 milliar. Koreksi ini dalam bentuk penyajian kembali laporan keuangan itu telah disepakati
para pemegang saham Kimia Farma dalam rapat umum pemegang saham luar biasa. Dalam
rapat tersebut, akhirnya pemegang saham Kimia Farma secara aklamasi menyetujui tidak
memakai lagi jasa HTM sebagai akuntan publik.
Aktivitas manipulasi pencatatan laporan keungan yang dilakukan manajemen tidak terlepas dari
bantuan akuntan. Akuntan yang melakukan hal tersebut memberikan informasi yang
menyebabkan pemakai laporan keuangan tidak menerima informasi yang fair. Akuntan sudah
melanggar etika profesinya. Kejadian manipulasi pencatatan laporan keuangan yang
menyebabkan dampak yang luas terhadap aktivitas bisnis yang tidak fair membuat pemerintah
campur tangan untuk membuat aturan yang baru yang mengatur profesi akuntan dengan
maksud mencegah adanya praktik-praktik yang akan melanggar etika oleh para akuntan publik.
PEMBAHASAN
Keterkaitan Manajemen Risiko Etika disini adalah pada pelaksanaan audit oleh KAP HTM selaku
badan independen, kesepakatan dan kerjasama dengan klien (PT Kimia Farma Tbk.) dan
pemberian opini atas laporan keuangan klien.
Dalam kasus ini, jika dipandang dari sisi KAP HTM, maka urutan stakeholder mana ditinjau dari
segi kepentingan stakeholder adalah:
2. Pemegang saham
3. Masyarakat luas
Dalam kasus ini, KAP HTM menghadapi sanksi yang cukup berat dengan dihentikannya jasa audit
mereka. Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP HTM semata yang tidak mampu
melakukan reviewmenyeluruh atas semua elemen laporan keuangan, tetapi lebih karena
kesalahan manajemen Kimia Farma yang melakukan aksi manipulasi dengan penggelembungan
nilai persediaan.
Kasus yang menimpa KAP HTM ini adalah risiko inheren dari dijalankannya suatu tugas audit.
Sedari awal, KAP HTM seharusnya menyadari bahwa kemungkinan besar akan ada risiko
manipulasi seperti yang dilakukan PT. Kimia Farma, mengingat KAP HTM adalah KAP yang telah
berdiri cukup lama. Risiko ini berdampak pada reputasi HTM dimata pemerintah ataupun publik,
dan pada akhirnya HTM harus menghadapi konsekuensi risiko seperti hilangnya kepercayaan
publik dan pemerintah akan kemampuan HTM, penurunan pendapatan jasa audit, hingga yang
terburuk adalah kemungkinan di tutupnya Kantor Akuntan Publik tersebut.
Diluar risiko bisnis, risiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada kemungkinan
dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam manipulasi laporan keuangan.
Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak terlibat dalam kasus manipulasi tersebut, namun
hal ini bisa saja terjadi.
Sesuai dengan teori yang telah di paparkan diatas, manajemen risiko yang dapat diterapkan oleh
KAP HTM antara lain adalah dengan mengidentifikasi dan menilai risiko etika, serta menerapkan
strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stakeholder.
Dalam kasus antara KAP HTM dan Kimia Farma ini, pengidentifikasian dan penilaian risiko etika
dapat diaplikasikan pada tindakan sebagai berikut:
HTM selayaknya membuat daftar mengenai siapa dan apa saja para stakeholder yang
berkepentingan beserta harapan mereka. Dengan mengetahui siapa saja para stakeholder dan
apa kepentingannya serta harapan mereka, maka KAP HTM dapat melakukan penilaian dalam
pemenuhan harapan stakeholder melalui pembekalan kepada para auditor senior dan junior
sebelum melakukan audit pada Kimia Farma.
B) Mempertimbangkan kemampuan SDM HTM dengan ekspektasi para stakeholder, dan menilai
risiko ketidak sanggupan SDM HTM dalam menjalankan tugas audit.
Yaitu dengan berpegang pada nilai-nilai hypernorm, seperti kejujuran, kredibilitas, reliabilitas,
dan tanggung jawab. Faktor-faktor tersebut bisa menjadi kerangka kerja dalam melakukan
perbandingan.
Tiga tahapan ini akan menghasilkan data yang memungkinkan pimpinan KAP HTM dapat
mengawasi adanya peluang dan risiko etika, sehingga dapat ditemukan cara untuk menghindari
dan mengatasi risiko tersebut, serta agar dapat secara strategis mengambil keuntungan dari
kesempatan tersebut.
KAP HTM dapat melakukan pengelompokan stakeholder dan meratingnya dari segi kepentingan,
dan kemudian menyusun rencana untuk berkolaborasi dengan stakeholder yang dapat
memberikan dukungan dalam penciptaan strategi, yang dapat memenuhi harapan
para stakeholder HTM.
Sumber: https://davidparsaoran.wordpress.com/2009/11/04/skandal-manipulasi-laporan-keuangan-pt-
kimia-farma-tbk/