Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

THALASEMIA

BAB I

PEMBAHASAN

A. Definisi
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang diakibatkan oleh faktor genetika
dan menyebabkan protein yang ada di dalam sel darah merah (hemoglobin) tidak berfungsi
secara normal.Zat besi yang diperoleh tubuh dari makanan digunakan oleh sumsum tulang
untuk menghasilkan hemoglobin. Hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah
berfungsi mengantarkan oksigen dari paru-paru ke seluruh anggota tubuh. Penderita
thalasemia memiliki kadar hemoglobin yang rendah, oleh karena itu tingkat oksigen dalam
tubuh penderita thalasemia juga lebih rendah.
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah
merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari).Akibatnya
penderita thalasemia akan mengalami gejala anemia diantaranya pusing, muka pucat,
badan sering lemas, sukar tidur, nafsu makan hilang, dan infeksi berulang
Thalasemia adalah gangguan pembuatan hemoglobin yang diturunkan. Pertama
kali ditemukan secara bersamaan di Amerika Serikat dan Itali antara 1925-1927. Kata
Talasemia dimaksudkan untuk mengaitkan penyakit tersebut dengan penduduk
Mediterania, dalam bahasa Yunani Thalasa berarti laut. (Permono, & Ugrasena, 2006)

B. Klasifikasi
Secara klinik talasemia di bagi menjadi 2 golongan sebagai berikut:
1. Talasemia mayor, memberikan gejala klinik yang jelas
2. Talasemia minor, biasanya memberikan gejala klinik yang tidak jelas.
Pada talasemia terjadi kelainan pada gen-gen yang mengatur pembentukan dari rantai

globin sehingga produksinya terganggu. Gangguan dari pembentukan rantai globin ini

akan mengakibatkan kerusakan pada sel darah merah yang pada akhirnya akan

menimbulkan pecahnya sel darah tersebut. Berdasarkan dasar klasifikasi tersebut,

maka terdapat beberapa jenis talasemia, yaitu talasemia alfa, beta, dan delta.
1. Talasemia alfa
Pada talasemia alfa, terjadi penurunan sintesis dari rantai alfa globulin. Dan

kelainan ini berkaitan dengan delesi pada kromosom 16. Akibat dari kurangnya

sintesis rantai alfa, maka akan banyak terdapat rantai beta dan gamma yang tidak

berpasangan dengan rantai alfa. Maka dapat terbentuk tetramer dari rantai beta

yang disebut HbH dan tetramer dari rantai gamma yang disebut Hb Barts.

Talasemia alfa sendiri memiliki beberapa jenis


a. Delesi pada empat rantai alfa
b. Delesi pada tiga rantai alfa
c. Delesi pada dua rantai alfa
d. Delesi pada satu rantai alfa
2. Talasemia beta
Disebabkan karena penurunan sintesis rantai beta. Dapat dibagi berdasarkan

tingkat keparahannya, yaitu talasemia mayor, intermedia, dan karier. Pada kasus

talasemia mayor Hb sama sekali tidak diproduksi. Mungkin saja pada awal

kelahirannya,anak-anak talasemia mayor tampak normal tetapi penderita akan

mengalami anemia berat mulai usia 3-18 bulan. Jika tidak diobati, bentuk tulang

wajah berubah dan warna kulit menjadi hitam. Selama hidupnya penderita akan

tergantung pada transfusi darah. Ini dapat berakibat fatal, karena efek sampingan

transfusi darah terus menerus yang berupa kelebihan zat besi (Fe) Salah satu ciri

fisik dari penderita talasemia adalah kelainan tulang yang berupa tulang pipi masuk

ke dalam dan batang hidung menonjol (disebut gacies cooley), penonjolan dahi dan

jarak kedua mata menjadi lebih jauh, serta tulang menjadi lemah dan keropos.

C. Etiologi
1. Gangguan genetik
Orangtua memiliki sifat carier (heterozygote) penyakit thalasemia sehingga klien

memiliki gen resesif homozygote.


2. Kelainan struktur hemoglobin
Kelainan struktur globin di dalam fraksi hemoglobin. Sebagai contoh, Hb A (adult,
yang normal), berbeda dengan Hb S (Hb dengan gangguan thalasemia) dimana,
valin di Hb A digantikan oeh asam glutamate di Hb S.
Menurut kelainan pada rantai Hb juga, thalasemia dapat dibagi menjadi 2 macam,
yaitu : thalasemia alfa (penurunan sintesis rantai alfa) dan beta (penurunan sintesis
rantai beta).
3. Produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu
Defesiensi produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai a dan b.
4. Terjadi kerusakan sel darah merah (eritrosit) sehingga umur eritrosit pendek
(kurang dari 100 hari) Struktur morfologi sel sabit (thalasemia) jauh lebih rentan
untuk rapuh bila dibandingkan sel darah merah biasa. Hal ini dikarenakan
berulangnya pembentukan sel sabit yang kemudian kembali ke bentuk normal
sehingga menyebabkan sel menjadi rapuh dan lisis.
5. Deoksigenasi (penurunan tekanan O2)
Eritrosit yang mengandung Hb S melewati sirkulasi lebih lambat apabila
dibandingkan dengan eritrosit normal. Hal ini menyebabkan deoksigenasi
(penurunan tekanan O2) lebih lambat yang akhirnya menyebabkan peningkatan
produksi sel sabit.

D. Anatomi Thalasemia

E. Fisiologi
a. Sel darah merah
Sel darah merah (eritrosit) membawa hemoglobin ke dalam sirkulasi. Sel ini
berbentuk lempengan bikonkaf dan dibentuk di sum-sum tulang. Leukosit berada di
dalam sirkulasi selama kurang lebih 120 hari. Hitung rata-rata normal sel darah
merah adalah 5,4 juta /ml pada pria dan 4,8 juta/ml pada wanita. Setiap sel darah
merah manusia memiliki diameter sekitar 7,5 m dan tebal 2 m.
Pembentukan sel darah merah (eritro poresis) mengalami kendali umpan balik.
Pembentukan ini dihambat oleh meningkatnya kadar sel darah merah dalam
sirkulasi yang berada di atas nilai normal dan dirangsang oleh keadaan anemia.
Pembentukan sel darah merah juga dirangsang oleh hipoksia.
b. Haemoglobin
Haemoglobin adalah pigmen merah yang membawa oksigen dalam sel darah
merah, suatu protein yang mempunyai berat molekul 64.450.
Sintesis haemoglobin dimulai dalam pro eritroblas dan kemudian dilanjutkan
sedikit dalam stadium retikulosit, karena ketika retikulosit meninggalkan sumsum
tulang dan masuk ke dalam aliran darah, maka retikulosit tetap membentuk sedikit
mungkin haemoglobin selama beberapa hari berikutnya.
Tahap dasar kimiawi pembentukan haemoglobin. Pertama, suksinil KoA, yang
dibentuk dalam siklus krebs berikatan dengan glisin untuk membentuk molekul
pirol. Kemudian, empat pirol bergabung untuk membentuk protopor firin IX yang
kemudian bergabung dengan besi untuk membentuk molekul heme. Akhirnya,
setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang yang disebut
globin, yang disintetis oleh ribosom, membentuk suatu sub unit hemoglobulin
yang disebut rantai hemoglobin.
Terdapat beberapa variasi kecil pada rantai sub unit hemoglobin yang berbeda,
bergantung pada susunan asam amino di bagian polipeptida. Tipe-tipe rantai itu
disebut rantai alfa, rantai beta, rantai gamma, dan rantai delta. Bentuk hemoglobin
yang paling umum pada orang dewasam, yaitu hemoglobin A, merupakan
kombinasi dari dua rantai alfa dan dua rantai beta.
I.2 Suksinil-KoA + 2 glisin
II.4 pirol  protoporfirin Ix
III.protoporfirin IX + Fe++  Heme
IV.Heme + Polipeptida  Rantai hemoglobin ( atau )
V.2 rantai  + 2 rantai   hemoglobin A
c. KatabolismeHemoglobin
Hemoglobin yang dilepaskan dari sel sewaktu sel darah merah pecah, akan segera
difagosit oleh sel-sel makrofag di hampir seluruh tubuh, terutama di hati (sel-sel
kupffer), limpa dan sumsum tulang. Selama beberapa jam atau beberapa hari
sesudahnya, makrofag akan melepaskan besi yang didapat dari hemoglobin, yang
masuk kembali ke dalam darah dan diangkut oleh transferin menuju sumsum
tulang untuk membentu sel darah merah baru, atau menuju hati dari jaringan lain
untuk disimpan dalam bentuk faritin. Bagian porfirin dari molekul hemoglobin
diubah oleh sel-sel makrofag menjadi bilirubin yang disekresikan hati ke dalam
empedu. (Guyton & Hall, 1997).

E. Patofisiologi
Ada beberapa jenis hemoglobin yang disesuaikan dengan kebutuhan oksigen selama
masa pertumbuhan, mulai embrio, fetus sampai dewasa. Hemoglobin memiliki bentuk
tetrametrik yang sama, terdiri dari dua pasang rantai globin yang terikat dengan heme.
Hem terdiri dari zat besi (Fe) sedangkan globin suatu protein yang terdiri dari rantai
polipeptida. Sintesa globin dimulai pada awal kehidupan masa embrio di dalam kandungan
sampai 8 minggu usia kehamilan dan hingga akhir kehamilan. Organ yang bertanggung
jawab pada periode ini adalah hati, limpa, dan sumsum tulang.1,9
Hemoglobin fetus dan dewasa memiliki rantai alfa (α) dan beta (β) yang terdiri atas
HbA dan α2β2; rantai δ yang terdiri atas HbA2 dan α2δ2; dan rantai γ yang terdiri dari
HbF dan α2γ2. Pada embrio rantai mirip α disebut z bersama rantai γ menjadi Hb Portland
(ζ2γ2) atau dengan rantai e menjadi Hb Gower (ζ2ε2), sedangkan rantai a dan ε
membentuk Hb Gower 2 (α2ε2).1
Pada Talasemia Beta, kelebihan rantai alfa mengendap pada membran sel eritrosit dan
merupakan prekursor yang menyebabkan penghancuran eritrosit yang hebat. Eritrosit yang
mencapai darah tepi memiliki inclusion bodies yang menyebabkan penghancuran di limpa
dan oksidasi membran sel akibat pelepasan heme dari denaturasi hemoglobin dan
penumpukan besi pada eritrosit. Anemia pada Talasemia Beta terjadi akibat hancurnya
eritrosit dan umur eritrosit yang pendek. Penimbunan eritrosit yang hancur di limpa
mengakibatkan terjadinya pembesaran limpa yang diikuti dengan terperangkapnya leukosit
dan trombosit sehingga menimbulkan gambaran hipersplenisme. Beberapa gejala ini bisa
hilang dengan transfusi yang dapat menekan eritropoesis tetapi akan meningkatkan
penimbunan besi. Dalam tubuh besi terikat oleh transferin dan dalam perjalanan ke
jaringan besi segera diikat molekul dengan berat rendah. Bila berjumlah banyak dapat
menyebabkan kerusakan sel. Pada penderita dengan kelebihan zat besi, penimbunan besi
dapat ditemukan pada semua jaringan dan sebagian besar di sel retikuloendotelial yang
relatif tidak merusak, miosit dan hepatosit yang bisa merusak. Kerusakan tersebut
disebabkan karena terbentuknya hidroksil radikal bebas.1,9 Normalnya ikatan besi pada
transferin mencegah terbentuknya radikal bebas. Pada penderita dengan kelebihan besi,
transferin menjadi tersaturasi penuh dan fraksi besi yang tidak terikat transferin bisa
terdeteksi di dalam plasma. Hal ini menyebabkan terbentuknya radikal bebas dan
meningkatnya jumlah besi di jantung, hati, dan kelenjar endokrin yang menyebabkan
kerusakan dan gangguan fungsi di organ-organ tersebut
Pada Talasemia Alfa, tetramer HbH cenderung mengendap seiring dengan penuaan sel dan
menghasilkan inclusion bodies. Proses hemolitik merupakan gambaran utama kelainan ini.
Hal ini semakin berat karena HbH dan Bart’s adalah homotetramer yang tidak mengalami
perubahan allosterik yang diperlukan untuk transport oksigen.

Pada bentuk homozigot (--/--), tidak ada rantai alfa yang diproduksi. Penderitanya
memiliki Hb Bart’s yang tinggi dengan Hb embrionik. Sebagian besar penderita lahir
meninggal dengan tanda-tanda hipoksia intrauterin. Pada bentuk heterozigot terjadi
ketidakseimbangan jumlah rantai tetapi penderita mampu bertahan. Kelainan ini ditandai
dengan adanya anemia hemolitik dengan adaptasi terhadap anemia yang tidak baik karena
HbH tidak bisa berfungsi sebagai pembawa oksigen.

F. Tanda dan Gejala


1. Thalasemia Mayor:
a. Pucat
b. Lemah
c. Anoreksia
d. Sesak napas
e. Peka rangsang
f. Tebalnya tulang kranial
g. Pembesaran hati dan limpa / hepatosplenomegali
h. Menipisnya tulang kartilago, nyeri tulang
i. Disritmia
j. Epistaksis
k. Sel darah merah mikrositik dan hipokromik
l. Kadar Hb kurang dari 5gram/100 ml
m. Kadar besi serum tinggi
n. Ikterik
o. Peningkatan pertumbuhan fasial mandibular; mata sipit, dasar hidung lebar dan

datar.
2. Thalasemia Minor
a. Pucat
b. Hitung sel darah merah normal
c. Kadar konsentrasi hemoglobin menurun 2 sampai 3 gram/ 100ml di bawah

kadar normal Sel darah merah mikrositik dan hipokromik sedang

G. Manifestasi Klinis
1. Letargi
2. Pucat
3. Kelemahan
4. Anorexia
5. Diare
6. Sesak nafas
7. Pembesaran limfa dan hepar
8. Ikterik ringan
9. Penipisan kortex tulang panjang, tangan dan kaki.
10. Penebalan tulang kranial

H. Komplikasi

a. Penyakit jantung dan hati. Transfusi darah secara teratur sebenarnya sangat
dibutuhkan bagi penderita Thalasemia. Namun, terkadang dapat terjadi
“overloading” besi akibat transfusi berlebihan. Besi semakin banyak dibentuk
dalam darah. Hal ini dapat mengakibatkan penyakit jantung yang menjadi salah
satu penyebab kematian penderita thalasemia. Penyakit jantung yang dimaksudkan
disini meliputi gagal jantung, aritmia, dan serangan jantung.
b. Infeksi. Penderita Thalasemia yang sudah mendapat terapi Splenektomi umumnya
mudah terkena infeksi. Sebab mereka tidak lagi memiliki organ “infection-
fighting”.
c. Osteoporosis. Kebanyakan pasien Thalasemia memiliki masalah cacat tulang,
termasuk osteoporosis.
d. Overload zat besi. Komplikasi Thalassemia selanjutnya adalah orang dengan
Thalassemia bisa memiliki terlalu banyak zat besi dalam tubuh, baik dari penyakit
itu sendiri atau dari transfusi darah yang sering dilakukan. Terlalu banyak zat besi
dapat menyebabkan kerusakan pada jantung, hati dan sistem endokrin yang
mencakup kelenjar yang memproduksi hormon dan mengatur proses di seluruh
tubuh Anda.
e. Deformitas tulang. Pada kasus berat komplikasi Thalassemia yang dapat terjadi
ialah Thalassemia bisa membuat sumsum tulang berkembang yang menyebabkan
tulang melebar. Hal ini dapat mengakibatkan struktur tulang yang abnormal,
terutama di wajah dan tengkorak. Tulang ekspansi sumsum juga membuat tulang
tipis dan rapuh menyeb abkan resiko patah tulang.
f. Pembesaran limpa (Splenomegali). Limpa membantu tubuh melawan infeksi dan
menyaring bahan yang tidak diperlukan seperti sel darah tua atau rusak.
Thalassemia sering disertai dengan penghancuran sejumlah besar sel darah merah,
membuat Limpa bekerja lebih keras dari biasanya, menyebabkan Limpa
memperbesar. Splenomegali dapat menyebabkan anemia parah dan dapat
mengurangi umur sel darah merah. Jika Limpa tumbuh terlalu besar, mungkin perlu
dioperasi.
g. Tingkat pertumbuhan melambat. Anemia bisa menyebabkan pertumbuhan anak
menjadi terlambat. Masa pubertas juga mungkin tertunda pada anak-anak yang
terkena thalassemia.

I. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium darah
- Hb :
Kadar Hb 3 – 9 g%
- Pewarnaan SDM :
Anisositosis, poikilositosis, hipokromia berat,target cell, tear drop cell.
2. Elektroforesis Hb :
- Thalasemia alfa : ditemukan Hb Bart’s dan Hb H
- Thalasemia beta : kadar Hb F bervariasi antara 10 – 90 % ( N : <= 1 % )
J. Penatalaksanaan
Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain:
1. Medikamentosa
 Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar
feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%,
atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg
berat badan/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam
dengan minimal selama 5 hari berturut setiap selesai transfusi darah.
 Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk
meningkatkan efek kelasi besi.
 Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat
 Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah
2. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi:
 limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita,
menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya
ruptur
 hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau
kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam
satu tahun.
 Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita
thalasemia dengan lebih dari seribu penderita thalasemia mayor berhasil
tersembuhkan dengan tanpa ditemukannya akumulasi besi dan
hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih berarti pada anak usia dibawah
15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-spesifik dan cocok
dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk melakukan transplantasi ini.
3. Suportif
 Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan

ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan

tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan

perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red

cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.

Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Keperawatan Thalasemia antara lain :


1. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari

pemberian transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya

penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat

dicegah dengan pemberian deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk

mengeluarkan besi dari dalam tubuh (iron chelating agent). Deferoxamine


diberikan secar intravena, namun untuk mencegah hospitalisasi yang lama

dapat juga diberikan secara subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
2. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan

meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen

(transfusi). Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan

pemberian tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus

menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif

(misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan

keracunan. Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan

pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam tahap penelitian


DAFTAR PUSTAKA
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnosis:
Tambayong, Jan, dr. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai