Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Sejarah Kebudayaan Islam


“Kerajaan Islam di Cirebon”
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
1. Velisya Nabila Amu
2. Yuliana M Rauf
3. fadhilah fauziah k paneo
4. mohammad R aneta
Kelas: XI.1

MTs. Negeri 1 Kota Gorontalo


Tahun ajaran 2018/2019
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................................. i

Daftar Isi ........................................................................................................................................... ii

Bab I Pendahuluan ............................................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1
C. Tujuan .................................................................................................................................. 1

Bab II Pembahasan ........................................................................................................................... 2

1. Awal Berdirinya Kerajaan Cirebon ...................................................................................... 2


2. Kondisi Sosial Masyarakat .................................................................................................. 3
3. Kondisi Budaya .................................................................................................................... 4
4. Kondisi Ekonomi ................................................................................................................. 5
5. Kondisi Politik ..................................................................................................................... 6

Bab III Penutup ................................................................................................................................. 8

Daftar Pustaka ................................................................................................................................... 9

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis penjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nyalah,
makalah yang berjudul “ Kerajaan Islam Di Cirebon” dapat terselesaikan sesuai waktu yang
disediakan. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Guru Pengajar

2. Orang tua penulis yang mendukung penulis secara moral maupun materiil.

3. Teman-teman yang telah mendukung terselesaikannya penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan
adanya masukan baik itu saran ataupun kritik yang bersifat membangun, serta bimbingan lebih lanjut
yang sifatnya membangun dari semua pihak demi sempurnanya makalah ini.

Akhir kata, penulis mohon maaf apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan baik itu
penulisan maupun penyusunan yang telah penulis lakukan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lahirnya agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pada abad ke-7 M,
menimbulkan suatu tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami oleh umat
manusia. Islam merupakan gerakan raksasa yang telah berjalan sepanjang zaman dalam
pertumbuhan dan perkembangannya. Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia
dipandang dari segi historis dan sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak masalah,
terutama tentang sejarah perkembangan awal Islam.
Ada perbedaan antara pendapat lama dan pendapat baru. Pendapat lama sepakat bahwa
Islam masuk ke Indonesia abad ke-13 M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam masuk
pertama kali ke Indonesia pada abad ke-7 M. (A.Mustofa, Abdullah,1999: 23). Namun yang
pasti, hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula
dimasuki Islam adalah daerah Aceh.
Datangnya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, dapat dilihat melalui jalur
perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan tarekat, serta jalur kesenian dan
pendidikan, yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam masuk dan berkembang di
Indonesia.
Ada banyak kerajaan bercorak Islam yang terdapat mulai dari Sumatra sampai Maluku.
Dalam konteks inilah, maka pemakalah akan membahas tentang Kerajaan-Kerajaan Islam
yang berkembang di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah membahas tentang perkembangan kerajan
Cirebon dan bagaimana pemerintahannya.

C. Tujuan
Tujuan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui tentang kerajaan Cirebon dan bagaimana
pemerintahannya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Awal Berdirinya Kerajaan Cirebon

Letak Kerajaan Cirebon Semula Cirebon termasuk dalam daerah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran,
bahkan menjadi salah satu kota pelabuhan kerajaan tersebut (Tim Penulis Nasional Sejarah Indonesia
, 2010 : 59 ). Pelabuhan ini sudah ramai dari perahu pedagang-pedagang luar negeri. Pedagang-
pedagang itu antara lain dari arab, persi, malaka, cina, dll. Letak Kerajaan Cirebon secara geografis di
pesisir pantai pulau Jawa, merupakan mata rantai dalam jalan perdagangan internasional pada waktu
itu yang antara lain membentang dari kepulauan Maluku hingga teluk Parsi (jagad pustaka : 2013).
Pedagang yang datang dari berbagai pulau bahkan berbagai Negara. Tidak heran heran jika pada
wilayah ini menjadi jalur perdagangan yang ramai. Melalui jalan perdagangan dapat mengalir pula
arus kebudayaan dan keagamaan, dan konon menurut cerita orang jalan perdagangan itupun
memegang peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam di pulau Jawa (jagad pustaka :
2013). Karena banyak pedagang yang datang, salah satunya dari Arab. Pedagang- pedagang dari Arab
itu selain datang untuk berdagang, mereka juga menyebarkan Agama Islam.

Awal Mula Berdirinya Kerajaan Cirebon Pada tahun 1302 cirebon mempunyai 3 daerah otonom di
bawah kekuasaan kerajaan Pajajaran yang masing-masing di kuasai oleh seorang Mangkubumi
(Sulendraningrat , 1978 : 16). Daerah otonom itu adalah Singapura atau Mertasinga yang dikepalai
oleh Mangkubumi Singapura. Daerah Pesambangan yang dikepalai oleh Ki Ageng Jumajan Jati. Dan
Daerah Japura yang dikepalai oleh Ki Ageng Japura. Ketiga daerah otonom tersebut masing-masing
mengirimkan upeti setiap tahunnya kepada kerajaan Pajajaran (Sulendraningrat , 1978 : 16). Semula
Cirebon termasuk dalam daerah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran, bahkan menjadi salah satu kota
pelabuhan kerajaan tersebut (Tim Penulis Nasional Sejarah Indonesia , 2010 : 59 ). Sekitar tahun 1513
cirebon ini tidak lagi dibawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, namun sudah di beritakan masuk ke
dalam daerah jawa di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Saat itu Cirebon di kuasai oleh Lebe Usa
Syarif Hidayatullah atau yang sering di kenal dengan Sunan Gunung Jati telah datang di Cirebon pada
tahun 1470. Syarif Hidayatullah datang untuk mengajarka agama Islam. Syarif Hidayatullah
mengajarkan agama Islam di Gunung Sembung. Syarif Hidayatullah adalah putra dari wanita asal
Galuh, Caruban. Wanita tersebut adalah NhayLara Santang yaitu adik dari Pangeran Cakrabuana
pemimpin Cirebon.

Syarih Hidayatullah Mengajarkan agama islam ditemanni dengan uaknya Haji Abdullah Iman dan
pangeran Cakrabumi atau pangeran Cakrabuana. Haji Abdullah Iman dan Pangeran Cakrabuana sudah
lebih dahulu berada atau tinggal di Cirebon. Syarif Hidayatullah menikah dengan Pakung Wati.
Pakung Wati adalah putri dari Uaknya. Syarif Hidayatullah menggantikan mertuanya sebagai
penguasa Cirebon pada tahun 1479. Setelah menikah dan menjadi penguasa Cirebon, Syarif
Hidayatullah membangun atau mendirikan sebuah kraton. Karaton itu diberi nama Kraton Pakung
Wati. Kraton Pakung Wati terletak disebalah timur Kraton Sultan Kesepuluhan sekarang ini. Syarif
Hidayatullah ini terkenak dengan Gelar Gusuhunan Jati atau sering dikenal dengan Sunan Gunungjati.
Syarif Hidayatullah menjadi saleh seorang dari Wali Sanga. Syarif Hidayatullah mendapat Julukan
Pandita Ratu sejak ia berfungsi sebagai penyebar Agama Islam di tanah Sunda dan Sebagai Kepala
Pemerintahan (Tim Penulis Nasional Sejarah Indonesia , 2010 : 59 ). Semenjak Syarif Hidayatullah

2
menjadi penguasa di Cirebon, Cirebon menghentikan upeti ke pusat Kerajaan Pajajaran di pangkuan.
Sejak saat itulah Cirebon menjadi Kerajaan yang dikepalai oleh Syarif Hidayatullah.

2. Kondisi Sosial Masyarakat

Kondisi Sosial Kerajaan Cirebon Perkembangan Cirebon tidak lepas dari pelabuhan, karena pada
mulanya Cirebon memang sebuah bandar pelabuhan. Maka dari sini tidak mengherankan juga kondisi
sosial di Kerajaan Cirebon juga terdiri dari beberapa golongan. Diantara golongan yang ada antara
lain, golongan raja beserta keluargana, golongan elite, golongan non elite, dan golongan budak
(Sartono Kartodirdjo, 1975:17).

a. Golongan Raja Para raja/ Sultan

Golongan Raja Para raja/Sultan yang tinggal di kraton melaksanakan ataupun mengatur pemerintahan
dan kekuasaannya. Pada mulanya gelar raja pada awal perkembangan Islam masih digunakan, tetapi
kemudian diganti dengan gelar Sultan akibat adanya pengaruh Islam. Kecuali gelar Sultan terdapat
juga gelar lain seperti Adipati, Senapati, Susuhunan, dan Panembahan (Kosoh dkk, 1979:96). Raja
atau Sultan sebaai penguasa terinnggi dalam pemerintahan memiliki hubungan erat dengan pejabat
tinggi kerajaan seperti senapati, menteri, mangkubumi, kadi, dan lain sebagainya. Pertemuan antara
raja dengan pejabat ataupun langsung dengan rakyat tidak dilakukan setiap hari. Kehadiran raja di
muka umum kecuali pada waktu audiensi/pertemuan juga pada waktu acara penobatan mahkota,
pernikahan raja, dan putra raja (Sartono Kartodirdjo, 1975:17).

b. Golongan Elite

Golongan Elite Golongan ini merupakan golongan yang mempunyai kedudukan di lapisan atas yang
terdiri dari golongan para bangsawan/priyayi, tentara, ulama, dan pedagang. Diantara para bangsawan
dan pengusa tersebut, patih dan syahbandar memiliki kedudukan kedudukan penting. Di Cirebon,
pernah ada orang-orang asing yang dijadikan syahbandar dan mereka memempati golongan elite. Hal
ini dipertimbangkan atas suatu dasar bahwa mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas
tentang perdagangan dan hubungan internasional. Golongan keagamaan yang terdiri dari ulama juga
memiliki memiliki kedudukan yang tinggi, mereka umumnya berperan sebagai penasehat raja (Kosoh
dkk, 1979:99).

c. Golongan Non Elite

Golongan Non Elite Golongan ini merupakan merupakan lapisan masyarakat yang besar jumlahnya
dan terdiri dari masyarakat kecil yang bermata pencaharian sebagai petani, pedagang, tukang,
nelayan, dan tentara bawahan dan lapisan masyarakat kecil lainnya. Petani dan pedagang merupakan
tulang punggung perekonomian, dan mereka mempunyai peranan sendiri-sendiri dalam kehidupan
perekonomian secara keseluruhan (Kosoh dkk, 1979:99).

d. Golongan Budak

Golongan Budak Golongan ini terdiri dari orang-orang yang bekerja keras, menjual tenagai sampai
melakukan pekerjaan yang kasar. Adanya golonga buak tersebut disebabkan karena seseorang yang
tidak bias membayar utang, akibat kalah perang. Golongan budak menempati status sosial paling
rendah, namun mereka juga diperlukan oleh golongan raja maupun bangsawan untuk melayani
keperluan mereka. Mereka dipekerjakan dalam membantu keperluannya dengan menggunakan fisik
yang kuat. Mereka harus taat pula dengan peraturan yang dibuat oleh majikannya. Namun bagi

3
mereka yang nasibnya baik dan bisa membuat majikan berkenan maka mereka bisa diangkat sebagai
tukang kayu, juru masak dan lain sebagainya (Kosoh dkk, 1979:100).

3. Kondisi Budaya

Kondisi Budaya Kerajaan Cirebon Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya agar melakukan
kegiatan-kegiatan ritualistik. Yang dimaksud kegiatan ritualistik adalah meliputi berbagai bentuk
ibadah seagaimana yang tersimpun dari rukun Islam. Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan
riyual/upacara. Secara luwes Islam memberikan warna baru dalam upacara yang biasanya disebut
kenduren atau selamatan (Darori, 1987:130-131).

Membahas masalah budaya, maka tak lepas pula dengan seni, Cirebon memiliki beberapa tradisi
ataupun budaya dan kesenian yang hingga sampai saat ini masih terus berjalan dan masih terus
dlakukan oleh masyarakatnya. Salah satunya adalah upacara tradisional Maulid Nabi Muhammad
SAW yang tela ada sejak pemerintahan Pangeran Cakrabuana, dan juga Upacara Pajang Jimat dan
lain sebagainya, antara lain :

a. Upacara Maulid Nabi

Upacara Maulid Nabi Upacara Maulid Nabi dilakukan setelah beliau wafat,± 700 tahun setelah beliau
wafat (P.S. Sulendraningrat, 1978:85) upacara ini dilakukan sebagai rasa hormat dan sebagai
peringatan hari kelahiran kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW. Secara istilah, kata maulud
berasal dari bahasa Arab “Maulid” yang memiliki sebuah arti kelahiran. Upacara Maulid Nabi di
Cirebon telah dilakkan sejak abad ke 15, sejak pemerintahan Sunan Gunung Jati upacara ini dilakukan
dengan besar-besaran. Berbeda dengan masa pemerintahan Pangeran Cakrabuana yang hanya
dilakukan dengan cara sederhana. Upacara Maulid Nabi di kraton Cirebon diadakan setiap tahun
hingga sekarang yang oleh masyarakat Cirebon bisebut sebagai upacara “IRING-IRINGAN
PANJANG JIMAT” (P.S. Sulendraningrat, 1978:86).

b. Upacara Pajang Jimat

Upacara Pajang Jimat Salah satu upacara yang dilakukan di Kerajaan Cirebon adalah Upacara Pajang
Jimat. Pajang Jimat memiliki beberapa pengertian, Pajang yang berarti terus menerus diadakan, yakni
setiap tahun, dan Jimat yang berarti, dipuja-puja (dipundi-pundi/dipusti-pusti) di dalam memperingati
hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (P.S. Sulendraningrat, 1978:87). Pajang Jimat merupakn
sebuah piring besar (berbentuk elips) yang terbuat dari kuningan. Bagi Cirebon Pajang Jimat memiliki
sejarah khusus, yakni benda pusaka Kraton Cirebon, yang merupakan pemberian Hyang Bango
kepada Pangeran Cakrabuana ketika mencari agama Nabi (Islam). Upacara Pajang Jimat pada Kraton
Cirebon dilakukan pada tanggal 12 Rabiul Awal, setelah Isya’, upacara penurunan Pajang Jimat
dilakukan oleh petugas dan ahli agama di lingkungan kraton. Turunnya Pajang Jimat dimulai dari
ruang Kaputren naik ke Prabayaksa dam selanjutnya diterima oleh petugas khusus yang telah diatur.

c. Seni Bangunan dan Seni Ukir

Seni Bangunan dan Seni Ukir Seni bangunan dan seni ukir yang berkembang di kerajaan Cirebon tak
lepas dari perkembngan seni pada zaman sebelumnya. Ukiran-ukiran yang ada pada kraton banyak
menunjukkan pola zaman sebelumnya. Ukiran yang menunjukkan sifat khas pada Cirebon adalah
ukiran pola awan yang digambarkan pada batu karang. Penggunaan seni bangunan masjid tampak asli
pada penggunaan lengkungan pada ambang-ambang pintu masjid. Demikian pula dengan makam-

4
makam yang strukturnya mengikuti zaman sebelumnya. Yakni berbentuk bertingkat dan ditempatkan
di atas bukit-bukit menyerupai meru (Kosoh dkk, 1979:100).

d. Kasusasteraan

Seni Kasusasteraan Diantara seni bangunan dan seni tari, terdapat juga seni kasusasteraan yang
berkembang. Diantarnya adalah seni tari, seni suara, dan drama yang mengandung unsur-unsur Islam.
Seni kasusasteran yang berkembang ini juga tak lepas dari zaman sebelumnya. Misalnya saja seni tari,
yang diantaranya yang berkembang adalah seni ogel namun mengandung unsur-unsur Islam (Kosoh
dkk, 1979:100).

4. Kondisi Ekonomi

Sebagai sebuah kesultanan yang terletak diwilayah pesisir pulau Jawa, Cirebon mengandalkan
perekonomiannya pada perdangangan jalur laut. Dimana terletak Bandar-bandar dagang yang
berfungsi sebagai tempat singgah para pedagang dari luar Cirebon. Juga memiliki fungsi sebagai
tempat jual beli barang dagangan. Dari artikel yang ditulis oleh Uka Tjandrasasmita, yang dibukukan
dalam sebuah buku kumpulan artikel oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta.
Dituliskan sebuah artikel yang berjudul “Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia”, dalam
artikelnya terbagi menjadi 3 periode, yaitu: Bandar Cirebon masa pra-islam, Bandar Cirebon masa
pertumbuhan dan perkembangan kerajaan islam, dan masa pengaruh kolonial.

Pada masa pra-islam Cirebon masih dalam kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Pada masa ini pula
terdapat Bandar dagang yang berada di Dukuh Pasambangan dengan bandar Muhara Jati. Kapal-kapal
yang berlabuh di bandar Muhara Jati antara lain berasal dari Cina, Arab, Tumasik, Paseh, Jawa Timur,
Madura, dan Palembang (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:56).

Dikatakan bahwa sebelum Tome Pires (1513) Cirebon masih berkeyakinan Hindu-Buddha. Pada saat
ini Ciebon masih dibawah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Menurut cerita tradisi Cirebon mulai
memeluk agama islam sekitar tahun 1337 M yang dibawa oleh Haji Purba. Pada abad 14 M
perdagangan dan pelayaran sudah banyak dilakukan oleh orang muslim.

Dari cerita Purwaka Caruban Nagari diperoleh informasi bahwa terjadi perpindahan Bandar
perdagangan. Bandar dagang yang dahulunya terlertak pada Bandar Muhara Jati di dukuh
Pasambangan dipindah kearah selatan yaitu ke Caruban. Alasan mengapa Bandar dagang
dipindahkan, menurut cerita Bandar dagang di Muhara jati mulai berkurang keramaiaannya. Caruban
sendiri dibangun o0leh Walangsungsangatau Ki Samadullah atau Cakrabumi sebagai kuwu dan
seterusnya. Sejak Syarif Hidayatullah, Bandar-bandar di Cirebon makin ramai dan makin baik untuk
berhubungan dengan Parsi-Mesir, Arab, Cina, Campa, dan lainnya (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1997:56).

Dengan kedatangan Belanda keadaan ekonomi di Cirebon dikuasai penuh oleh VOC. Dengan
diadakannya perjanjian antara Belanda dengan Cirebon 30 April 1981, Cirebon selalu akan
memelihara kepercayaan terhadap Belanda. Akan tetapi, seluruh komoditi perdagangan di Cirebon,
dikuasai Belanda, hal ini hanya akan menguntungkan pihak Belanda dan merugikan Cirebon. Belanda
menerapkan monopoli perdagangan dan pertanian, salah satu contohnya yaitu kebijakan menanam 10
pohon kopi tiap kepala keluarga di Priangan Timur.

Dari gambaran diatas kita kenali bahwa pihak kesultanan sendiri dalam menjalankan perekonomian
terutama terhadap komoditi-komoditi ekspor kurang, peranannya lebih banyak ditangan Belanda. Hal

5
itu semuanya jelas dampak negative pengaruh kolonialisme Belanda sejak perjanjian tahun 1981 dan
seterusnya. Dengan perjanjian-perjanjian tersebut Belanda sejak Kompeni menginginkan penguasaan
atas daerah subur produksi kopi dan lainnya dapat terlaksana, disamping rasa ketakutannya terhadap
penguasaan daerah Priangan Timur itu dikuasai oleh Banten dan juga Mataram (Departemen
Pendiidikan dan Kebudayaan, 1997:67).

Dapat dilihat pula keadaan perekonomian dari sumber lainnya. Selain perdagangan dan pelayaran.
Perekonomian Cirebon juga ditunjang oleh kegiatan masyarakatnya yang menjadi nelayan. Cirebon
juga dikenal sebagai kota udang, artinya Cirebon juga memiliki satu komoditi dagang utama yaitu
terasi, petis dan juga garam.

Dalam kehidupan ekonomi juga masih ada peran dari orang asing. Orang asing tersebut menjadi
syahbandar atau yang mengantur tentang ekspor impor perdagangan. Cirebon yang menjadi
syahbandarnya yaitu orang-orang Belanda. Alasan mengapa syahbandar diambil dari orang-orang
asing, karena orang-orang asing dianggap lebih mengetahui tentang cara-cara perdagangan. Di kota
Cirebon juga terdapat pasa tertua yaitu pasar yang terletak di timur laut alun-alun kraton Kasepuhan
dan lainnya di sebelah utara alun-alun kanoman.

5. Kondisi Politik

Perkembangan politik yang terjadi pada Cirebon berawal dari hubungan politiknya dengan Demak.
Hal inilah yang menyebabkan perkembangan Cirebon. Dikatakan oleh Tome Pires yang menjadi
Dipati Cirebon adalah seorang yang berasal dari Gresik. Kosoh, dkk (1979:94) Babad Cirebon
menceritakan tentang adanya kekuasaan kekuasaan Cakrabuana atau Haji Abdullah yang
menyebarkan agama islam di kota tersebut sehingga upeti berupa terasi ke pusat Pajajaran lambat
laun dihentikan. Selain hubungannya dengan Demak, kehidupan politik pada kala itu juga dipengaruhi
oleh beberapa konflik. Konflik yang terjadi ada konflik internal dan menjadi vassal VOC. Pertama
yang terjadi, dimulai dari keputusan Syarif Hidayatullah yang resmi melepaskan diri dari kerajaan
Sunda tahun 1482. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1570, dan kepemimpinannya digantikan oleh
anaknya yaitu Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Pada masa kepemerintahannya, Panembahan
Ratu menyaksikan berdirinya karajaan Mataram dan datangnya VOC di Batavia.

Panembahan Ratu cenderung berperan sebagai ulama dari pada sebagai raja. Sementara di bidang
politik, Panembahan Ratu menjaga hubungan baik dengan Banten dan Mataram .Setelah wafat pada
tahun 1650, dalam usia 102 tahun, Panembahan Ratu digantikan oleh cucunya, yaitu Pangeran Karim
yang dikenal dengan nama Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II karena anaknya Pangeran
Seda Ing Gayam telah wafat terlebih dahulu.

Ketika terjadi pemberontakan Trunojoyo, Panembahan Senapati dijemput oleh utusan dari kesultanan
Banten ke Kediri. Dalam perjalanan kondisi Senapati yang sakit-sakitan menyebabkan dia meninggal
dunia dan akhirnya dimakamkan di bukit Giriliya. Sedangkan kedua anaknya dibawa ke Banten,
yaitu: Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya. Namun, kemudian mereka dikembalikan ke
Cirebon, disana mereka membagi tiga kekuasaan.

Ketiga penguasa Cirebon ini berusaha untuk menjadikan diri sebagai penguasa tunggal. Sultan Sepuh
merasa bahwa ia yang berhak atas kekuasaan tunggal karena ia anak tertua. Sementara Sultan Anom,
juga berkeinginan yang sama sehingga ia mencoba mencari dukungan kepada Sultan Banten. Di lain
pihak, Pangeran Wangsakerta , yang menjadi pengurus kerajaan saat kedua kakaknya dibawa ke
Mataram, merasa berhak juga menjadi penguasa tunggal. Sultan Sepuh mencoba mendapat dukungan

6
VOC dengan menawarkan diri menjadi vassal VOC. VOC sendiri tidak pernah mengakui gelar sultan
pemberian Sultan Banten dan selalu menyebut mereka panembahan.

Dengan surat perjanjian tanggal 7 Januari 1681, Cirebon resmi menjadi vassal VOC. Jadilah, urusan
perdagangan diserahkan kepada VOC, berbagai keputusan terkait Cirebon (termasuk pergantian
sultan, penentuan jumlah prajurit) harus sepersetujuan VOC di Batavia, ketika para Sultan akan
bepergian harus atas ijin VOC dan naik kapal mereka, dalam berbagai yupacara, pejabat VOC harus
duduk sejajar dengan para Sultan (Nina: online). Setelah kedatangan Belanda ke Cirebon membuat
banyak perubahan, khususnya di bidang politik. Pada tahun 1696, Sultan Anom II atas kehendak
VOC menjadi Sultan. Pada Tahun 1768 kesultanan Cirebon dibuang ke Maluku.

Situasi politik Cirebon yang sudah terkotak-kotak itu, memang tidak bisa dihindarkan. Namun ada hal
yang menarik, bahwa seorang keturunan Sunan Gunung Jati, yaitu Pangeran Aria Cirebon, tampak
berusaha langsung atau tidak langsung untuk menunjukkan soliditas Cirebon, sebagai suatu dinasti
yang lahir dari seorang Pandita Ratu. Pertama, ketika ia diangkat sebagai opzigther dan Bupati VOC
untuk Wilayah Priangan dan kedua , ia menulis naskah Carita Purwaka Caruban Nagari

7
BAB III

PENUTUP

Makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan maupun referensi pengetahuan mengenai
Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Namun, kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan, karena melihat masih banyak hal-hal yang belum bisa dikaji lebih mendalam
dalam makalah ini.

8
DAFTAR PUSTAKA

http://ipinpale.blogspot.co.id/2014/08/makalah-kerajaan-cirebon.html

Anda mungkin juga menyukai