Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Belajar merupakan kunci pokok dalam pendidikan, sebab tanpa belajar tidak akan ada pendidikan.
Inti dari belajar adalah berubah dan berkembang. Dengan belajar, individu dapat berkembang dan
meningkatkan atau menaikkan derajat hidupnya. Sekelompok manusia yang belajar tentu dapat
mepertahankan hidupnya ditengah-tengah persaingan dibandingkan dengan kelompok manusia
lainnya yang tidak belajar.

Belajar adalah perubahan dalam diri individu sebagi akibat dari pengalaman. Di mana pengalaman
tersebut dapat berupa proses penyesuaian diri dengan lingkungannya maupun sebuah usaha untuk
menjadi bisa (perubahan tingkah laku dan pola fikir)dan menambah ilmu (seperti halnya seorang
anak belajar di sekolah untuk mendapatkan berbagai pengetahuan yang disusun dalam sebuah
kurikulum tertentu.)

Keberhasilan proses belajar dimana pengalaman yang ia dapat akan menjadi perubahan tingkah laku
dan perubahan pola fikir akan sukses dan berhasil bilamana faktor-faktor yang mempengaruhi
proses belajar itu mendukung dan sinergis secara positif, karena semua faktor-faktor tersebut
bilamana salah satunya dalam keadaan tidak sipa, tidak baik dan negatif, maka proses belajar pun
akan terganggu dengan hadirnya berbagai masalah belajar, atau kesulitan-kesulitan dan hambatan
dalam proses belajar. Adapun keberhasilan proses belajar selain ditentukan oleh faktor yang
mempengaruhinya adalah pengkondisian diri dalam menerima pelajaran atau mengikuti proses
belajar. Pengkondisian diri itu disebut sebagai proses belajar efektif, dimana terdapat sejumlah
metode untuk mengkondisikan diri siap belajar dan sanggup menjadikan memproses pengalaman
yang didapat menjadi perubahan tingkah laku senagai hasil belajar.

Peran dan fungsi konselor dalam sekolah, menuntut seorang konselor untuk memberikan suatu
pelayanan bagi siswa yang dapat membantu dan memfasilitasi siswa dalam proses pembelajarannya.
Salah satunya adalah mengadakan bimbingan belajar efektif. Untuk itu, sekiranya konselor pun
dituntut untuk memiliki pengetahuan mengenai belajar efektif. Tidak hanya itu, pengetahuan
tentang belajar dan faktor yang mempengaruhi belajar pun harus dikuasai, sebagai salah satu
langkah untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasalah belajar yang kemudian ditindak lanjuti
dengan sebuah upaya bantuan berupa bimbingan belajar dengan menerapkan salah satu teori atau
strategi belajar yang tepat untuk mengatasi atau mencegah kesulitan belajar yang dihadapi.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan umum penulisan makalah ini adalah membuka wawasan terhadap belajar efektif sebagai
acuan ilmu dalam memberikan bimbingan belajar, namun secara khusus penulisan makalah
bertujuan:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi belajar


2. Memperdalam pemahaman terhadap hakikat belajar

3. Membuka pengetahuan mengenai cara-cara belajar efektif

4. Memperluas pengetahuan, terutama bagi calon konselor dalam memberikan bimbingan

5. Menyiapkan calon konselor yang bisa mengatasi masalah-masalah dalam belajar

C. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam makalah ini, makapenulis membatasi lingkup


pembahasan dengan merumuskan masalah-masalah sebagai berikut :

1. Apa makna dari belajar?

2. Faktor apa yang mempengaruhi belajar individu, baik secara fisik dan psikis?

3. Apa itu belajar efektif?

4. Bagaimana cara belajar efektif?

5. Bagaimana peran konselor dalam menghadapi masalah belajar pada siswa?

D. Metode Penulisan

Penulisan makalah ini menggunakan metode studi literatur turut, dimana penulis berusaha
mengungkapkan konsep-konsep baru dengan cara membaca dan mencatat informasi-informasi yang
relevan dengan kebutuhan pembahasan. Bahan bacaan mencakup buku-buku teks, jurnal atau
majalah-majalah ilmiah dan hasil-hasil penelitian (Pidarta, 1999: 3-4). Selain itu data diperoleh
secara online dengan bantuan search engine.

E. Sistematika Penulisan Makalah

Penyusunan makalah ini disajikan dalam 3 (tiga) bab antara lain :

1. Bab I Pendahuluan. (Latar Belakang, Tujuan Penulisan, Rumusan Masalah, Metodologi penulisan,
Sistematika Penulisan Makalah)

2. Bab II Pembahasan

3. Bab IV Penutup (Kesimpulan)

4. Daftar pustaka

BAB II

PEMBAHASAN
A. MAKNA BELAJAR

Secara historis, penelitian mengneai belajar dipelopori oleh para psikolog. Dipelopori oleh ahli-ahli
seperti Ebbinghaus (1885), Bryan dan Harter (1897, 1899) dan Thorndike (1898). Banyak Psikolog
membuat pengakuan eksplisit bahwa belajar merupakan hal sentral dalam mempelajari tingkah laku
(Hilgard, 1956), didukung oleh Tollman, Guthrie dan Hull.

Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan
pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) menyebutkan bahwa sebagian
terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar.

Moh. Surya (1997) : “belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu
untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman
individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.

Witherington (1952) : “belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan


sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan
kecakapan”.

Crow & Crow dan (1958) : “ belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan
sikap baru”.

Hilgard (1962) : “belajar adalah proses dimana suatu perilaku muncul perilaku muncul atau berubah
karena adanya respons terhadap sesuatu situasi”

Di Vesta dan Thompson (1970) : “ belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai
hasil dari pengalaman”.

Gage & Berliner : “belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang yang muncul karena
pengalaman”

Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah perubahan perilaku.
Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :

1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).

Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang
bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa
dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau
keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar.
Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi pendidikan. Dia menyadari bahwa dia
sedang berusaha mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi
Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan
memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan Psikologi
Pendidikan.

2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).

Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan
dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan,
sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan
pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar
Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar
Mengajar”, maka pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan
dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”.

3. Perubahan yang fungsional.

Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang
bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh : seorang
mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan keterampilannya dalam
psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya
sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia
menjadi guru.

4. Perubahan yang bersifat positif.

Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya,
seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam
Prose Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau
perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran
Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip – prinsip
perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.

5. Perubahan yang bersifat aktif.

Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan.
Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka
mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-buku psikologi
pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan sebagainya.

6. Perubahan yang bersifat pemanen.

Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang
melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan
keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam diri mahasiswa
tersebut.

7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.

Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek,
jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi
pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin memperoleh
pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk
kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru
yang efektif dengan memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai
aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

8. Perubahan perilaku secara keseluruhan.

Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi
termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa
belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang
“Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang guru menguasai
“Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori
Belajar”.

Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil
belajar dapat berbentuk :

Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun
tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.

Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan


lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika.
Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan (discrimination),
memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan
dalam menghadapi pemecahan masalah.

Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan
aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan
ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual
menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada
proses pemikiran.

Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan
yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan
memberikan kecenderungan vertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya
terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.

Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot
dan fisik.

Sementara itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :

Kebiasaan; seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan


penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan
bahasa secara baik dan benar.

Keterampilan; seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-
keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.

Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk
melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang
benar.

Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan
menggunakan daya ingat.

Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam
menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).

Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk
terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.

Inhibisi (menghindari hal yang mubazir).

Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu.


Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira,
kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.

B. BELAJAR EFEKTIF

Setiap siswa di sekolah sudah tentu ingin mencapai prestasi belajar semaksimal mungkin. Prestasi
belajar yang maksimal merupakan jalan yang dapat memudahkan proses kelanjutan studi dan
pencapaian cita-cita. Akan tetapi, usaha untuk itu tidak selalu mudah. Tidak sedikit siswa mengalami
berbagai hambatan atau kesulitan dalam proses belajar mereka. Hambatan atau kesulitan belajar
tentu saja dapat mengakibatkan kegagalan dalam mencapai prestasi yang maksimal. Lebih dari itu,
kesulitan tersebut dapat mengakibatkan mereka gagal total dalam mencapai indeks prestasi minimal
yang merupakan persyaratan untuk menduduki kelas atau tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sama
halnya dengan usaha untuk mencapai prestasi belajar yang maksimal, usaha untuk mengatasi
kesulitan belajar pun tidak mudah dilakukan. Hal ini disebabkan proses belajar merupakan suatu
proses yang kompleks dan dipengaruhi banyak faktor. Jelaslah bahwa untuk mencapai prestasi
belajar maksimal dan juga untuk dapat mengatasi kesulitan belajar, Umumnya siswa sangat
memerlukan suatu metode yang sederhana, praktis, serta mudah diterapkan untuk dapat belajar
secara efektif dan mengatasi berbagai kesulitan belajar yang mereka alami. Siswa yang mengalami
kesulitan belajar, biasanya akan merasa semakin terbebani oleh kesulitan bila mereka diberi suatu
metode yang bersifat terlalu teoritis. Hal ini terutama dapat terjadi pada siswa yang mengalami
kesulitan belajar dalam bentuk gejala kejenuhan belajar, menurunnya semangat atau gairah belajar,
menurunnya motivasi atau motif belajar serta pengaruh lingkungan yang kurang mendukung.

Cara belajar adalah kegiatan-kegiatan belajar yang dilakukan dalam mempelajari sesuatu, artinya
kegiatan-kegiatan yang seharusnya dilakukan dalam situasi belajar tertentu. Umumnya dalam situasi
tertentu diperlukan cara belajar tertentu pula. Cara belajar merupakan suatu kemampuan dalam
melakukan kegiatan-kegiatan yang membawa kepada pengalaman tertentu melalui latihan, sehingga
terjadi perubahan-perubahan yang positif. Jadi untuk memperoleh hasil belajar yang baik maka
diperlukan cara belajar yang baik pula.

Sedangkan yang disebut belajar efektif adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan melalui metode
yang sederhana, praktis, serta mudah diterapkan untuk dapat mencapai hasil belajar yang optimal.

C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELAJAR EFEKTIF

Proses belajar merupakan suatu kegiatan yang berkesinambungan atau berangkaian yang
menyangkut berbagai faktor dan situasi disekitarnya. Keberhasilan belajar sangat tergantung
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil
belajar banyak sekali, bisa berupa alat pengajaran, guru, interaksi belajar, lingkungan atau dari diri
sendiri.

Dalam buku karangan Muhibbin syah, “Psikologi Pendidikan”, faktor-faktor yang mempengaruhi
belajar siswa secara global dapat dibedakan ke dalam tiga macam, yaitu:

Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yaitu keadaan atau kondisi jasmani dan rohani siswa.

faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yaitu kondisi lingkungan di sekitar siswa.
Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yaitu jenis upaya belajar siswa yang meliputi
strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi
pelajaran.

1. Faktor Internal.

Faktor internal terdiri dari dua aspek yaitu aspek pisiologis dan aspek psikologis.

A. Aspek Pisiologis

Aspek pisiologis sangat berpengaruh pada proses belajar, biasanya aspek ini dilihat dari kesehatan
jasmani, baik kondisi fisik dan kondisi panca indera. Misalnya kebugaran dapat berpengaruh
terhadap semangat dan intensitas anak dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ-organ khusus,
seperti mata dan telinga, juga sangat mempengaruhi kemampuan anak dalam menyerap informasi
pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas.

Burton (1952 : 633-640), juga mengungkapkan aspek pisiologis yang mempengaruhi proses dan hasil
belajar, antara lain;

a. Suatu pusat susunan syaraf tidak berkembang secara sempurna karena luka atau cacat, atau
sakit sehingga sering mambawa gangguan emosional.

b. Pancaindara (mata, telinga, alat bicara dan sebagainya) yang berkembang kurang sempurna
atau sakit sehingga menyulitkan proses interaksi secara efektif.

c. Ketidak seimbangan perkembangan dan reproduksi serta berfungsinya kelenjar-kelenjar


tubuh sering membawa kelainan-kelainan prilaku (kurang terkoordinasikan dan sebagainya).

d. Cacat tubuh atau pertumbuhan yang kurang sempurna, organ dan anggota-anggota badan
(tangan, kaki, dan sebagainya) sering pula membawa ketidak stabilan mental dan emosional.

e. Penyakit menahun, seperti asma, dapat menghambat usaha-usaha belajar secara optimal.

B. Aspek psikologis

Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan
pembelajaran anak. Namun diantara faktor-faktor psikologis anak yang pada umumnya dipandang
lebih esensial itu adalah sebagai berikut; 1) tingkat kecerdasan atau intelegensi , 2) sikap , 3) bakat ,
4) minat , 5) motivasi.

Begitu pula menurut Burton yang dikategorikan terhadap beberapa kelemahan, yaitu:

a. Kelemahan-kelemahan secara mental yang sukar diatasi oleh individu yang bersangkutan dan
juga oleh pendidikan, antara lain kelemahan mental, kurang minat, kebimbangan dan sebagainya.

b. Kelemahan-kelemahan emosional, seperti perasaan tidak aman, penyesuaian yang salah,


tertekan rasa phobia dan ketidak matangan.

c. Kelemahan-kelemahan yang disebabkan oleh kebiasaan dan sikap yang salah, antara lain :
sering bolos atau tidak mengikuti pelajaran, nervous, kurang kooperatif dan menghindari tanggung
jawab, dan sebagainya.

d. Tidak memiliki keterampilan-keterampilan dan pengetahuan dasar yang tidak diperlukan,


seperti : ketidak mampuan membaca, berhitung atau memiliki kebiasaan belajar dan cara bekerja
yang salah.
2. Faktor Eksternal.

Faktor eksternal anak merupakan faktor kedua yang mempengaruhi proses dan hasil belajar, faktor
eksternal anak terdiri atas dua macam, yakni: faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan non
sosial.

A. Lingkungan sosial

Lingkungan sosial terdiri dari berbagai lingkungan seperti lingkungan sekolah (para guru, staf
administrasi, dan teman-teman sekelas). Lingkungan sekolah ini sangat berpengaruh terhadap
semangat dan motivasi belajar anak. Lingkungan sosial kedua yaitu masyarakat dan juga teman-
teman sepermainan di lingkingan anak tersebut. Lingkungan sosial yang lebih besar pengaruhnya
terhadap belajar anak ialah orang tua dan keluarga, dimana lingkungan keluarga ini mencakup sifat-
sifat orang tua, praktik pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan demografi keluarga,
semuanya itu dapat memberikan dampak baik dan buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang
dicapai anak.

B. Lingkungan nonsosial

Faktor eksternal lain yaitu lingkungan nonsosial. Lingkungan nonsosial ini meliputi gedung sekolah
dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan
waktu belajar yang digunakan anak, dimana faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat
keberhasilan belajar.

Mengenai waktu yang digunakan untuk belajar, tidaklah begitu berpengaruh terhadap prestasi
belajar anak, karena berdasarkan hasil penelitian, mereka yang selalu belajar pagi hari dan dites
pada sore hari, ternyata hasilnya tetap baik. Sebaliknya, ada pula diantara mereka yang lebih suka
belajar pada sore hari dan dites pada saat yang sama, namun hasilnya tidak memuaskan (syah,1990).
Hal tersebut membuktikan bahwa waktu tidaklah berpengaruh dalam belajar artinya tidak
bergantung secara mutlak, tetapi bergantung pada pilihan waktu yang cocok dengan kesiapsiagaan
anak (Dumn et al, 1986). Berdasarkan hal diatas kesiapan sistem memori anak dalam menyerap,
mengelola, dan menyimpan item-item informasi dan pengetahuan yang dipelajari siswa tersebut
merupakan hal terpenting yang mempengaruhi prestasi belajar siswa (Muhibbin syah, Psikologi
Pendidikan. Hal : 139).

3. Faktor pendekatan belajar.

Ragam pendekatan dalam belajar sangat beragam dari yang paling klasik sampai yang paling
modern, tetapi diantara ragam pendekatan belajar yang lebih representatif (mewakili) yang klasik
dan modern yaitu :

1) Pendekatan hukum Jost, yaitu keefektifan belajar antara 5 X 3 lebih baik dari pada 3 X 5.

2) Pendekatan Ballard dan Clanchy dimana pendekatan belajar pada umumnya dipengaruhi oleh
sikap terhadap ilmu pengetahuan.
3) Pendekatan Biggi, pendekatan belajar dapat dikelompokkan kedalam tiga prototipe (bentuk
dasar), yaitu pendekatan surface (bersifat lahiriah), pendekatan deep (mendalam), dan pendekatan
achieving (pencapaian prestasi tinggi).

Faktor pendekatan belajar juga sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Sesorang
anak yang tebiasa mengaplikasikan pendekatan belajar reproduktif misalnya, mungkin tidak akan
mencapai prestasi yang lebih baik jika menggunakan pendekatan achieving atau analitis.

Menurut Klausmeir, faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar sebagai berikut, yaitu: 1).
Tujuan; 2). Materi pengajaran; 3). Cara penyampaian; 4). Karakteristik anak; 5). Karakteristik guru;
6). Interaksi dalam kelas; 7). Organisasi pengajaran; 8). Karakteristik fisik, dan 9). Hubungan sekolah
dengan masyarakat. (Uman Suherman. Memahami karakteristik individu. Hal: 50).

Selain ke tiga faktor itu ternyata pengetahuan akan gaya belajar diri ikut menentukan keberhasilan
belajar efektif anak. Pasalnya pengetahuan akan gaya belajar ini bisa memudahkan anak untuk
mencari dan menggunakan metode yang sesuai dengan gaya belajarnya, sehingga tingkat
keberhasilan pun akan semakin besar.

Tiap orang punya gaya belajar masing-masing. Secara umum gaya belajar seseorang dapat
dibedakan menjadi 3 kategori

Auditory : orang yang termasuk dalam tipe ini mengandalkan indera pendengarannya saat belajar. Di
sekolah misalnya, orang tipe auditory ini akan lebih mengerti pelajaran saat guru “memberi banyak
penjelasan” di depan kelas. Orang bertipe auditory umumnya akan mengeluarkan suara ketika
menghafal sesuatu. Dia butuh sesuatu yang didengarkan oleh indera pendengarannya bahkan ketika
dia sedang belajar sendirian.

Visual : orang dengan gaya belajar visual akan mengandalkan penglihatannya saat belajar. teorinya
seperti ini = “tunjukkan pada saya dan saya akan mengerti”. Biasanya orang tipe ini senang belajar
dengan membaca (diam), memperhatikan orang mengerjakan sesuatu (senang diberi contoh).

Kinesthetic : tipe belajar ini menggunakan indera peraba, dengan merasakan sesuatu menggunakan
indera peraba (tangan). Orang dengan tipe kinesthetic ini harus aktif mengerjakan sesuatu agar
dapat mengerti, daripada sekadar duduk diam membaca atau duduk diam mendengarkan guru
mengajar. Dengan tipe ini, orang butuh praktek ketika mempelajari sesuatu.

Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya, bahwa seseorang jika tidak menguasai keterampilan-
keterampilan khusus dalam belajar, maka setidaknya dia akan memiliki kesulitan dalam belajar.
Menguasai keterampilan-keterampilan belajar, berarti sudah selangkah maju ke depan untuk belajar
efektif untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal. Berikut merupakan keterampilan-
keterampilan khusus dalam belajar.

1. Mendengarkan.

Mendengarkan merupakan tugas pelajar. Tidak setiap orang dapat memanfaatkan situasi ini untuk
belajar. Bahkan pelajar yang diam mendengarkan ceramah itu mesti belajar. Apabila hal
mendengarkan mereka tidak didorong oleh kebutuhan, motivasi, dan tujuan tertentu, maka sia-
sialah pekerjaan mereka. Tujuan belajar mereka tidak tercapai karena tidak adanya set-set yang
tepat untuk belajar.

Apabila seseorang mendengarkan dengan sikap tertentu untuk mencapai tujuan belajar, maka orang
itu adalah belajar. Melalui pendengarannya, ia berinteraksi dengan lingkungan sehingga dirinya
berkembang.
2. Memandang.

Memandang merupakan aktivitas belajar jika memandang itu didasari oleh kebutuhan, motivasi,
serta siklap tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Apabila kita memandang segala sesuatu dengan
sikap tertentu untuk mencapai tujuan yang mengakibatkan perkembangan diri kita, maka dalam hal
yang demikian kita sudah belajar.

3. Meraba, membau, dan mencicipi/mencecap.

Meraba, membau, dan mencecap adalah aktivitas sensoris seperti halnya pada mendengarkan dan
memandang. Segenap stimulus yang dapat diraba, dicium, dan dicecap merupakan situasi yang
memberi seseorang untuk belajar. Hal aktivitas meraba, aktivitas membau, ataupun aktivitas
mencecap dapat dikatakan belajar, apabila aktivitas-aktivitas itu didorong oleh kebutuhan, motivasi
untuk mencapai tujuan dengan menggunakan sikap tertentu untuk memperoleh perubahan tingkah
laku.

4. Mencatat dan Menulis.

Mencatat merupakan aktivitas pengindraan kita yang bertujuan, dimana akan memberikan kesan-
kesan yang berguna bagi belajar kita selanjutnya. Tidak semua aktivitas mencatat adalah belajar.
Aktivitas mencatat yang bersifat menurun, menjiplak atau mengcopy, adalah tidak dapat dikatakan
sebagai aktivitas belajar. Mencatat yang termasuk sebagai belajar yaitu apabila dalam mencatat itu
orang menyadari kebutuhan dan tujuannya, serta menggunakan sikap tertentu agar catatan itu
nantinya berguna bagi pencapaian tujuan belajar.

Menulis adalah sebuah keterampilan berbahasa yang terpadu, yang ditujukan untuk menghasilkan
sesuatu yang disebut tulisan. Ada tiga komponen yang tergabung dalam menulis, yaitu: (1)
penguasaan bahasa tulis, yang akan berfungsi sebagai media tulisan, meliputi: kosakata, struktur
kalimat, paragraf, ejaan, pragmatik, dan sebagainya; (2) penguasaan isi karangan sesuai dengan
topik yang akan ditulis; dan (3) penguasaan tentang jenis-jenis tulisan, yaitu bagaimana merangkai isi
tulisan dengan menggunakan bahasa tulis sehingga membentuk sebuah komposisi yang diinginkan,
seperti esai, artikel, cerita pendek, makalah, dan sebagainya.

David Nunan (1991: 86—90) dalam bukunya Language Teaching Methodology, menawarkan suatu
konsep pengembangan keterampilan menulis yang meliputi: (1) perbedaan antara bahasa lisan dan
bahasa tulisan, (2) menulis sebagai suatu proses dan menulis sebagai suatu produk, (3) struktur
generik wacana tulis, (4) perbedaan antara penulis terampil dan penulis yang tidak terampil, dan (5)
penerapan keterampilan menulis dalam proses pembelajaran.

Empat tahap dalam mebuat tulisan , yaitu:

a) Tahap persiapan (prapenulisan) adalah ketika pembelajar menyiapkan diri, mengumpulkan


informasi, merumuskan masalah, menentukan fokus, mengolah informasi, menarik tafsiran dan
inferensi terhadap realitas yang dihadapinya, berdiskusi, membaca, mengamati, dan lain-lain yang
memperkaya masukan kognitifnya yang akan diproses selanjutnya.

b) Tahap inkubasi adalah ketika pembelajar memproses informasi yang dimilikinya sedemikian
rupa, sehingga mengantarkannya pada ditemukannya pemecahan masalah atau jalan keluar yang
dicarinya. Proses ini seringkali terjadi secara tidak disadari, dan memang berlangsung dalam
kawasan bawah sadar (subconscious) yang pada dasarnya melibatkan proses perluasan pikiran
(expanding of the mind). Proses ini dapat berlangsung beberapa detik sampai bertahun-tahun.
Biasanya, ketika seorang penulis melalui proses ini seakan-akan ia mengalami kebingungan dan tidak
tahu apa yang harus dilakukan. Oleh karena itu, tidak jarang seorang penulis yang tidak sabar
mengalami frustrasi karena tidak menemukan pemecahan atas masalah yang dipikirkannya. Seakan-
akan kita melupakan apa yang ada dalam benak kita.

c) Tahap iluminasi adalah ketika datangnya inspirasi atau insight, yaitu gagasan datang tiba-tiba
dan berloncatan dari pikiran kita. Pada saat ini, apa yang telah lama kita pikirkan menemukan
pemecahan masalah atau jalan keluar. Iluminasi tidak mengenal tempat atau waktu. Ia bisa datang
ketika kita duduk di kursi, sedang mengendarai mobil, sedang berbelanja di pasar atau di
supermarket, sedang makan, sedang mandi, dan lain-lain. Seringkali orang menganggap iluminasi ini
sebagai ilham. Padahal, sesungguhnya ia telah lama atau pernah memikirkannya. Secara kognitif,
apa yang dikatakan ilham tidak lebih dari proses berpikir kreatif. Ilham tidak datang dari kevakuman
tetapi dari usaha dan ada masukan sebelumnya terhadap referensi kognitif seseorang.

d) Tahap terakhir yaitu verifikasi / evaluasi, apa yang dituliskan sebagai hasil dari tahap iluminasi
itu diperiksa kembali, diseleksi, dan disusun sesuai dengan fokus tulisan. Mungkin ada bagian yang
tidak perlu dituliskan, atau ada hal-hal yang perlu ditambahkan, dan lain-lain. Mungkin juga ada
bagian yang mengandung hal-hal yang peka, sehingga perlu dipilih kata-kata atau kalimat yang lebih
sesuai, tanpa menghilangkan esensinya. Jadi, pada tahap ini kita menguji dan menghadapkan apa
yang kita tulis itu dengan realitas sosial, budaya, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

5. Membaca.

Belajar merupakan sikap, membaca untuk keperluan belajar harus pula menggunakan sikap.
Membaca dengan sikap yaitu dengan memperhatikan judul bab, topik utama dengan berorientasi
kepada kebutuhan dan tujuan. Dan membaca ini harus dapat menjawab semua pertanyaan yang
muncul dalam benak kita. Membaca adalah proses linguistik. Untuk dapat membaca dengan baik,
pembaca harus memahami sintaks dan semantik bahasa dan harus memiliki pengetahuan tentang
abjad dan memiliki kesadaran tentang aspek-aspek tertentu dari struktur linguistik bahasa. Oleh
karena itu, hubungan antara perkembangan bahasa, pengetahuan linguistik dan membaca sangat
erat. Bahasa adalah kode yang disepakati oleh masyarakat sosial yang mewakili ide-ide melalui
penggunaan simbol-simbol arbitrer dan kaidah-kaidah yang mengatur kombinasi simbol-simbol
tersebut (Bernstein dan Tigerman, 1993).

Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum membaca agar dapat membaca secara berkesan,
yaitu :

1. Pilih masa belajar yang sesuai. Waktu belajar yang paling sesuai ialah ketika kurangnya
gangguan terhadap tumpuan. Badan tidak letih dan perut tidak terlalu kenyang. Wastu subuh
adalah merupakan waktu yang paling ideal untuk belajar.

2. Pilih suasana yang sesuai. Iaitu suasana yang terang, kemas, bersih, nyaman, tenang dan
tersusun.

3. Pastikan kedudukan badan yang betul dengan buku dijarakkan lebih kurang satu kaki dari mata.

4. Dahulukan dengan bacaan Bismillah dan doa agar diterangkan hati.

Berbagai cara membaca, ada tiga cara tergantung pada tujuan pembacaan yang dilakukan, yaitu :

Membaca untuk hiburan. Membaca untuk tujuan berhibur tidak memerlukan daya tumpuan yang
tinggi. Bahan-bahan yang biasa dibaca ialah majalah, komik, novel, cerpen, dan sebagainya.
Membaca untuk mencari pengetahuan tertentu. Ada ketikanya anda membaca semata-mata untuk
mencari pengetahuan yang tertentu. Anda boleh membaca selintas dan harus mencari lokasi
sejarah yang dicari.

Membaca secara kritikal. Membaca cara ini perlu apabila anda membaca untuk konsep, istilah, logik
dan sebagainya. Membaca secara kritikal adalah kaedah yang betul ketika menelaah mata pelajaran
anda. Dengan menggunakan pendekatan ini, belajar nyata lebih seronok dan tidak membosankan.
Minat juga mula terbit apabila anda mula memahami isi kandungan yang dibaca.

Langkah-langkah membaca secara kritikal, yaitu :

1) Melihat selintas. Berikan perhatian kepada perkara-perkara yang berikut :

· Lihat tajuk-tajuk kecil dan dapatkan perkaitan (jika ada) diantara tajuk-tajuk tersebut.

· Amati peta. Jadwal, gambar dan sebagainya

· Lihat soalan-soalan yang ada termasuk soalan-soalan dibahagian belakang sesuatu bab / tajuk
utama.

· Catatkan sebarang persoalan (jika ada) yang timbul dalam fikiran pada sehelai kertas.

2) Baca pendahuluan dan kemudian baca bahagian kesimpulan / penutup.

3) Baca secara terperinci, ayat demi ayat, perenggan demi perenggan. Terjemahkan setiap
penjelasan dalam bentuk gambaran minda.

4) Ulang bacaan beberapa kali apabila ada kalimat atau kata yang kurang dimengerti.

5) Gariskan fakta-fakta penting. Buatkan ringkasan kedalam nota peperiksaan anda.

6) 'Highlight' setiap kata kunci.

7) Gunakan kode warna misalnya warna kuning untuk nama orang dan sebagainya.

8) Yakinkan diri anda mampu menguasai bahan yang dibaca.

9) Setelah membaca, tutup buku dan nota anda. Fikirkan atau gambarkan apa yang telah anda
baca. Setelah itu, ambil sehelai kertas dan tuliskan kembali apa yang telah anda baca dalam bentuk
peta minda atau peta konsep.

6. Membuat ikhtisar atau ringkasan, dan menggaris bawahi.

Ikhtisar atau ringkasan dapat membantu kita dalam hal mengingat atau mencari kembali materi
dalam buku untuk masa-masa yang akan datang. Untuk keperluan belajar yang intensif, bagai
manapun juga hanya membuat ikhtisar adalah belum cukup. Sementara membaca, pada hal-hal
yang penting kita beri garis bawah. Hal ini akan membantu kita untuk menemukan kembali material
itu di kemudian hari.

7. Menyusun paper atau kertas kerja.

Dalam membuat paper, rumusan topik paper merupakan hal yang paling utama. Paper yang baik
memerlukan perencanaan yang masak dengan terlebih dahulu mengumpulkan ide-ide yang
menunjang serta penyediaan sumber-sumber yang relevan.
8. Mengingat dan menghapal

Mengingat yang didasari oleh kebutuhan serta kesadaran untuk mencapai tujuan belajar lebih lanjut
adalah termasuk aktivitas belajar, apalagi jika mengingat tersebut berhubungan dengan aktivitas-
aktivitas belajar lainnya.

Menghafal adalah suatu aktivitas menanamkan suatu materi verbal didalam ingatan, sehingga
nantinya dapat diproduksikan (diingat) kembali secar harfiah, sesuai dengan materi yang asli.
Peristiwa menghafal merupakan proses mental untuk menyimapan kesan-kesan, yang nantinya
suatu waktu bila diperlukan dapat diingat kembali ke alam sadar.

Ciri khas dari hasil keterampilan menghafal adalah reproduksi secara harfiah dan adanya skema
kognitif (dalam ingatan akan tersimpan secara baik informasi yang telah diterima). Dalam menghafal,
ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan yaitu mengenai tujuan, pengertian, perhatian, dan
ingatan. Efektif tidaknya dalam menghafal dipengaruhi oleh syarat-syarta tersebut. Menghafal tanpa
tujuan menjadi tidak terarah, menghafal tanpa pengerian menjadi kabue, menghafal tanpa
perhatian adalah kacau dan menghafal tanpa ingatan adalah sia-sia.

9. Keterampilan Mengatasi Kejenuhan

Keterampilan mengatasi kejenuhan dapat berupa melakukan istirahat yang cukup, mengatur ulang
jadwal belajar, menata ulang lingkungan belajar, mengerjakan kesenangan/minat untuk mengisi
waktu luang untuk berapa saat, mencari simulasi baru agar lebih terdorong untuk belajar, dan
menguatkan tekad dalam diri.

10. Keterampilan Membangkitkan Motivasi Belajar

Keterampilan membangkitkan motivasi, dapat ditempuh melalui upaya merumuskan tujuan belajar
secara spesifik, menimbulkan minat, melibatkan seluruh aspek dan sumber belajar, mengaitkan
pengalaman belajar dengan realitas kehidupan sehari-hari, dan nikmatilah setiap kemajuan.

11. Keterampilan Mengerjakan Tes

Kadangkala siswa gagal dalam ujian bukan disebabkan oleh ketidaktahuan melainkan oleh kekeliruan
dalam strategi mengerjakan tes. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan siswa dalam
mengerjakan tes yaitu sebelum menjawab tulislah pokok-pokok/atau garis besar jawaban, jawablah
dengan tepat dan lengkap, mulailah mengerjakan soal yang mudah, hati-hati mengubah jawaban,
jangan tergesa-gesa, catat kesan pertama jawaban, dan periksa kembali jawaban.

12. Keterampilan Mempersiapkan Ujian

Ujian yang dihadapi siswa tidak hanya menuntut kemampuan akademis, tetapi sikap mental juga
sangat menentukan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan siswa dalam mempersiapkan diri
menghadapi ujian adalah persiapkan mental sedemikian rupa, menjaga kesehatan tubuh, dan
percaya terhadap kemampuan diri sendiri.
Edward Lee Thorndike (1874-1949)

Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika. Lulus S1
dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di
Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental
and social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921), Your City
(1939), dan Human Nature and The Social Order (1940).

Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-


peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah suatu perubahan dari
lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau
berbuat, sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya
perangsang. Asosiasi yang demikian itu disebut ”Bond” atau ”connection”. Dalam hal ini, akan akan
menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya kebiasaan-kebiasaan. Oleh
karena itu, teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar
koneksionisme atau teori asosiasi. Dengan adanya pandangan-pandangan Thorndike yang
memberikan sumbangan cukup besar di dunia pendidikan tersebut, maka ia dinobatkan sebagai
salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan. Selain itu, bentuk belajar yang paling khas baik
pada hewan maupun pada manusia menurutnya adalah “trial and error learning atau selecting and
connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.

Menurut Thorndike, ada tiga hukum belajar yang utama dan ini diturunkannya dari hasil-hasil
penelitiannya. Hukum tersebut antara lain:

1. The Law Of Readiness (Hukum Kesiapan)

Hukum kesiapan yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku,
maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi
cenderung diperkuat.

Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar merupakan suatu kegiatan membentuk asosiasi
(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak
merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya.
Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi
memuaskan.

Menurut Thorndike, ada beberapa kondisi yang akan muncul pada hukum kesiapan ini, diantaranya:

a. Jika ada kecenderungan untuk bertindak dan orang mau melakukannya, maka ia akan merasa
puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.

b. Jika ada kecenderungan untuk bertindak, tetapi ia tidak mau melakukannya, maka timbullah
rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan
ketidakpuasannya.

c. Jika belum ada kecenderungan bertindak, namun ia dipaksa melakukannya, maka hal inipun
akan menimbulkan . Akibatnya, ia juga akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau
meniadakan ketidakpuasannya.

2. The Law of Exercise (Hukum Latihan)


Hukum latihan yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut
akan semakin kuat. Dalam hal ini, hukum latihan mengandung dua hal:

a. The Law of Use

Hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat, kalau ada latihan yang
sifatnya lebih memperkuat hubungan itu.

b. The Law of Disue

Hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah atau terlupa kalau
latihan-latihan dihentikan, karena sifatnya yang melemahkan hubungan tersebut.

3. The Law of Effect (Hukum Akibat)

Hukum akibat yaitu hubungan stimulus respon yang cenderung diperkuat bila akibatnya
menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk
pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang
disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya,
suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan
diulangi.

Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah,
tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan
PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan
mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.

Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang
berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa
diperantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa yang diamati dan
terjadi secara mekanis. (Suryobroto, 1984).

Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:

a. Hukum Reaksi Bervariasi (law of multiple response).

Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh proses trial dan error yang menunjukkan
adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan
masalah yang dihadapi.

b. Hukum Sikap ( law of attitude).

Hukum ini menjelaskan bahwa perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan
stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan oleh keadaan yang ada dalam diri individu baik
kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.

c. Hukum Aktifitas Berat Sebelah (law of prepotency element).

Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada stimulus
tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi ( respon selektif).

d. Hukum Respon Melalui Analogi (law of response by analogy).


Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah
dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami
dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur
yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.

e. Hukum Perpindahan Asosiasi (law of associative shifting).

Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum
dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan
membuang sedikit demi sedikit unsur lama.

Anda mungkin juga menyukai