Anda di halaman 1dari 7

15.

Baitul maal dan Baitul tanwil


Baitul maal adalah suatu lembaga atau pihak yang memiliki tugas khusus menangani
segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Baitul mal juga
diartikan secara fisik sebagai tempat untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta
yang menjadi pendapatan negara.
Berdasarkan literatur klasik ekonomi islam, baitul mal merupakan institusi sentral dari
negara. Ia menjadi institusi konkrit dari negara itu sendiri. Bersama khalifah baitul mal
menjalankan fungsi-fungsi negara bukan saja pada aspek ekonomi tapi pada semua aspek
kehidupan dalam negara. Ialah yang menjalankan kebijakan-kebijaka ekonomi melalui divisi-
divisi pembangunan, menciptakan mata uang, membangun prasarana dan infrastruktur
perekonomian, menerima, mengelola, dan menyalurkan dana-dana pembangunan, dna lain-
lain.
Baitul Tamwil berasal dari gabungan dua pengertian, yaitu Bait yang artinya
rumah dan Tamwil (pengembangan harta kekayaan) yang asal katanya adalah maal atau
harta. Pengertian dua suku kata itulah yang kemudia digunakan sebagai penanaman modal
untuk lembaga keuangan mikro, yaitu berfungsi sebagai lembaga pengembangan usaha.
Sebagai lembaga baitut tamwil, fungsi lembaga ini persis sama dengan perbankan
dengan orientasi meraih profit yang optimal. Konsekuensinya, sistem operasionalnya harus
menjalankan prinsip profesional. Dalam keadaan ini, karyawan akan dituntut kemampuan
entrepeneurship yang tinggi. Dalam melakukan pembiayaan juga harus memperhatikan
faktor-faktor peluang dan resiko bisnis, sehingga peningkatan pendapatan dapat dirasakan
kedua belah pihak baik lembaga baitut tamwil maupun nasabahnya. Tentunya dengan
menggunakan prinsip-prinsip syariah.
16. Peran BMT untuk masyarakat pertanian
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) pada dasarnya sangat diperlukan untuk
mendukung kegiatan pembangunan ekonomi pedesaan, utamanya sebagai lembaga untuk
memfasilitasi jasa pembiayaan dan pengembangan usahatani. Lembaga perbankan sering
tidak bisa diakses oleh petani karena berbagai faktor, diantaranya karena produk bank yang
rumit dan pengetahuan petani yang kurang terhadap bank, sehingga bank yang telah banyak
berdiri dirasakan kurang sesuai untuk petanii.
Salah satu lembaga keuangan mikro yang cukup berkembang pesat adalah BMT.
Jumlah BMT yang tersebar di seluruh Indonesia pada September 2014 sebanyak lebih dari
4000 unit BMT, dengan total aset mencapai lebih dari 15 triliun rupiah. BMT ini berada
ditengah-tengah masyarakat ekonomi menengah ke bawah sehingga sangat cocok untuk
masyarakat yang berprofesi petani. Pembiayaan pertanian lebih mudah dengan BMT
dibandingkan dengan perbankan. Selain itu, BMT juga tidak hanya berfungsi sebagai
lembaga untuk jasa pembiayaan tetapi dapat juga berfungsi sebagai lembaga untuk jasa
pengembangan usahatani, seperti pelatihan cara bertani yang efektif dan efisien, penyediaan
sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pertanian, pelaksanaan pengelolaan pasca
panen, penyalur dana dsb.
Peranan BMT (Baitul Maal Wa Tamwil) sebagai lembaga keuangan mikro syariah
sudah tidak diragukan oleh beberapa pakar dalam memenuhi kebutuhan akses pembiayaan
yang mudah bagi petani. Kemampuannya dalam menjangkau daerah pedesaan, khususnya
pertanian, mampu memberikan solusi pembiayaan yang sesuai dengan kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat desa. Dengan semua keunggulannya ini, sistem BMT dapat menjadi
solusi terbaik dalam menjangkau pembiayaan di daerah pedesaan.

17. Prinsip BMT


Baitut Tamwil tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip yang digunakan Bank Islam.
Ada 3 (tiga) prinsip yang dapat dilaksanakan oleh BMT (dalam fungsinya sebagai Baitut
Tamwil), yaitu: prinsip bagi hasil, prinsip jual beli, dengan mark-up (keuntungan), dan prinsip
non profit.
 Prinsip Bagi Hasil
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha
antara pemodal (penyedia dana) dengan pengelola dana. Pembagian bagi hasil ini
dilakukan antara BMT dengan pengelola dana dan antara BMT dengan penyedia dana
(pemyimpan/penabung). Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini
adalah Mudharabah dan Musyarakah.
 Prinsip Jual Beli dengan Mark-up (keuntungan)
Prinsip ini merupakan suatu tata cara jual beli yang dalam pelaksanaannya BMT
mengangkat nasabah sebagai agen (yang diberi kuasa) melakukan pembelian barang atas
nama BMT, kemudian BMT bertindak sebagai penjual, menjual barang tersebut kepada
nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan bagi BMT atau sering
disebut margin mark-up. Keuntungan yang diperoleh BMT akan dibagi juga kepada
penyedia/penyimpan dana. Bentuk produk prinsip ini adalah Murabahah dan Bai’
BitsamanAjil.
 Prinsip non Profit
Prinsip ini disebut juga dengan pembiayaan kebajikan, prinsip ini lebih bersifat
sosial dan tidak profit oriented. Sumber dana untuk pembiayaan ini tidak membutuhkan
biaya (non cost of money) tidak seperti bentuk-bentuk pembiayaan tersebut di atas.
Bentuk produk prinsip ini adalah pembiayaan Qardhul Hasan.
18. Produk yang disediakan oleh BMT
Adapun mengenai produk inti dari BMT (sebagai fungsi BaitutTamwil) adalah
sebagai penghimpun dana dan penyaluran dana.
1. Produk Penghimpunan Dana
Yang dimaksud dengan produk penghimpunan dana disini, berupa jenis simpanan
yang dihimpun oleh BMT sebagai sumber dana yang kelak akan disalurkan kepada
usaha-usaha produktif. Jenis simpanan tersebut antara lain:
a) Al-Wadi’ah.
Penabung memiliki motivasi hanya untuk keamanan uangnya tanpa
mengharapkan keuntungan dari uang yang ditabung. Dengan sistem ini BMT tetap
memberikan bagi hasil, namun nisbah bagi penabung sangat kecil.
b) Al-Mudharabah
Penabung memiliki motivasi untuk memperoleh keuntungan dari tabungannya,
karena itu daya tarik dari jenis tabungan ini adalah besarnya nisbah dan sejarah
keuntungan bulan lalu.
c) Amanah
Penabung memiliki keinginan tertentu yang diaqadkan atau diamanahkan kepada
BMT. Misalnya, tabungan ini dimintakan kepadaBMT untuk pinjaman khusus kepada
kaum dhu’afa atau orang tertentu. Dengan demikian tabungan ini sama sekali tidak
diberikan bagi hasil.
2. Produk Penyaluran Dana
Produk penyaluran dana dalam hal ini merupakan bentuk pola pembiayaan yang
merupakan kegiatan BMT dengan harapan dapat memberikan penghasilan. Pola
pembiayaan tersebut adalah:
a) Pembiayaan Mudharabah
Pembiayaan modal kerja yang diberikan oleh BMT kepada anggota, dimana
pengelolaan usaha sepenuhnya diserahkan kepada anggota sebagai nasabah debitur.
Dalam hal ini anggota (nasabah) menyediakan usaha dan sistem pengelolaannya
(manajemennya). Hasil keuntungsanakan dibagi dua sesuai dengan kesepakatan bersama
(misalnya 70%:30% atau 65%:35%).
b) Pembiayaan Musyarakah
Pembiayaan berupa sebagian modal yang diberikan kepada anggota dari modal
keseluruhan. Pihak BMT dapat dilibatkan dalamproses pengelolaannya. Pembagian
keuntungan yang proposional dilakukan sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak.
c) Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan yang diberikan kepada anggota untuk pembelian barang-barang yang
akan dijadikan modal kerja. Pembiayaan ini diberikan untuk jangka pendek tidak lebih
dari 6 (enam) sampai 9 (sembilan) bulan atau lebih dari itu. Keuntungan bagi BMT
diperoleh dari harga yang dinaikkan.
d) Pembiayaan Bai’ Bitsaman Ajil
Pembiayaan ini hampir sama dengan pembiayaan Murabahah, yang berbeda
adalah pola pembayarannya yang dilakukan dengan cicilan dalam waktu yang agak
panjang. Pembiayaan ini lebih cocok untuk pembiayaan investasi. BMT akan
mendapatkan keuntungan dari harga barang yang dinaikkan.
e) Pembiayaan Al-Qardhul Hasan
Merupakan pinjaman lunak yang diberikan kepada anggota yang benar-benar
kekurangan modal/kepada mereka yang sangat membutuhkan untuk keperluan-keperluan
yang sifatnya darurat. Nasabah (anggota) cukup mengembalikan pinjamannya sesuai
dengan nilai yang diberikan oleh BMT
19. Konsep Asuransi

Konsep dari asuransi adalah kegiatan sosial karena ada unsur tolong menolong. Proses
asuransi terjadi ketika sekelompok masyarakat bersepakat mengumpulkan sejumlah uang
derma (tabarru) pada seseorang yang dianggap amanah, yang dalam perkembangannya
disebut perusahaan asuransi. Jika dalam kelompok tersebut ada yang mengalami musibah,
seperti rumah terbakar, atau salah satu anggota keluarganya sebagai pencari nafkah
meninggal, si korban berhak ditolong dengan mendapatkan sejumlah uang yang telah
dikumpulkam kelompok tersebut sesuai dengan kesepakatan yang dijalankan.
Bagi peserta yang kebetulan tidak pernah mengalami risiko atau musibah selama
berasuransi, tentunya akan bertanya-tanya apa keuntungan bagi dirinya atau apakah uang
premi yang dibayarkan bisa kembali karena tidak pernah melakukan klaim sama sekali. Bagi
yang bersangkutan tentu saja telah mendapat ketenangan hidup selama berasuransi dan juga
ikhlas uang preminya telah dipakai untuk menolong orang lain. Karena fungsi dari asuransi
memang untuk pengalihan risiko, namun pemegang polis yang tidak pernah mengajukan
klaim sebenarnya tetap mendapatkan imbal hasil finansial jika ternyata pengelolaan
dan tabarru terjadi surplus. Surplus tersebut bisa dibagi-hasilkan (mudharabah) antara
perusahaan asuransi dan pemegang polis. Dalam konsep asuransi mutual, surplus pengelolaan
dana asuransi biasanya dibagikan dalam dividen setiap tahun. Jadi sebagai kegiatan
muamalah, asuransi sejatinya sudah bersifat syariah. Bisnis ini hanya didasari upaya
mengantisipasi risiko dan tolong menolong guna mencari ketenangan dan kedamaian hidup.
20. Asuransi Pertanian di Indonesia
Program asuransi pertanian di Indonesia dikaji oleh Kementan sejak tahun 1982
(Nurmanaf et al, 2007:2; Sumaryanto dan Nurmanaf, 2007:90; PASEKP, 2009:17; Boer,
2012:3; Supartoyo dan Kasmiati, t.t.:3).Kelompok Kerja Departemen Pertanian (Deptan)
dalam rangka penerapan asuransi pertanian yang dibentuk pertama kali tahun 1982 telah
gagal melaksanakan tugasnya. Selanjutnya, Deptan membentuk Pokja baru tahun 1985 dan
juga tahun 1999 dengan mengikutsertakan Balitbang Pertanian.
Dalam perkembangannya, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. UU tersebut mengatur bahwa
(1) asuransi pertanian merupakan bagian dari strategi untuk melindungi petani; (2)yang
dimaksud petani meliputi a) petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan
usaha tani dan menggarap paling luas dua hektar, b) petani yang memiliki lahan dan
melakukan usaha budidaya tanaman pangan pada lahan paling luas dua hektar, serta c) petani
hortikultura, pekebun atau peternak skala usaha kecil;(3) asuransi tersebut diharapkan dapat
melindungi petani dari kerugian gagal panen akibat dari bencana alam, serangan Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT), wabah penyakit hewan menular, dampak perubahan iklim dan
risiko lainnya; (4) sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah
memfasilitasi setiap petani menjadi peseta asuransi diantaranya adalah pemberian bantuan
pembayaran premi; (5) bantuan premi tersebut berasal dari APBN dan/atau APBD, yang
dibayarkan sampai dinyatakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah bahwa petani mampu
membayar preminya sendiri; dan (6) terkait dengan pengembangan asuransi pertanian,
pemerintah pusat/pemda dapat melakukan penugasan kepada BUMN/BUMD asuransi.
Sedangkan dalam pengembangan program asuransi, terdapat beberapa tantangan yang
di temui Tantangan institusional meliputi pertama, bagaimana memperkuat kerangka
institusi. Pilihan model untuk mengembangkan asuransi pertanian (fully intervened system,
public-private partnership atau market based) akan berdampak pada institusi mana saja yang
terlibat dalam pengembangan asuransi pertanian, termasuk institusi yang bertindak sebagai
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Kemudian, apakah BUMN asuransi akan memperoleh
penugasan sebagai penyedia dan penyalur asuransi pertanian, bagaimana mendorong
perusahaan asuransi swasta berperan dalam pengembangan asuransi pertanian, bagaimana
mekanisme koordinasi pembagian porsi terkait bantuan pembayaran premi antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Kedua, bagaimana memperkuat kerangka hukum secara
memadai, misalnya jenis asuransi pertanian apa dan jenis tanaman atau ternak apa yang
diprioritaskan memperoleh bantuan premi, berapa lama pemberian subsidi premi, bagaimana
sifat kepesertaan pada petani (wajib atau sukarela), apakah petani penerima kredit tanaman
diwajibkan membeli asuransi tanaman sebagai syarat akses kredit sekaligus sebagai jaminan
pelunasan kredit, dan lain sebagainya. Ketiga, perlukah pemerintah
mengintegrasikanprogram asuransi pertanian dengan produk dan layanan lain yang diterima
petani (subsidi pupuk, subsidi benih, dan bantuan sosial).
Selanjutnya, tantangan keuangan meliputi bagaimana pemerintah pusat (secara
terpisah maupun bersama-sama dengan pemda) menyediakan berbagai dukungan finansial
untuk mengembangkan asuransi pertanian. Dukungan finansial ini bisa berupa dukungan
yang minimal (hanya berupa penyediaan subsidi premi) sampai pada dukungan maksimal
(berupa dukungan kerangka hukum yang spesifik, subsidi premi, subsidi biaya administrasi
dan operasional, subsidi penilaian kerugian (loss adjustment), dukungan reasuransi, subsidi
biaya R&D2 dan biaya pendidikan dan pelatihan, serta dana bencana). Apabila pemerintah
memberikan dukungan yang maksimal, sebagaimana dilakukan pemerintah Jepang,
pertanyaannya adalah seberapa besar dana yang dialokasikan oleh APBN/APBD dan
bagaimana dengan keberlanjutan program asuransi pertanian tersebut di masa mendatang.
Ketiga, tantangan teknis yang dihadapi terkait dengan penilaian atas eksposur risiko pada
sektor pertanian dan bagaimana mendesain model risikonya guna menentukan kerugian
maksimum. Kedua hal kunci ini memungkinkan pemerintah mengembangkan kebijakan
pengelolaan risiko pertaniansecara memadai. Berbagai upaya pengendalian atas akumulasi
risiko pertanian yang sesuai seharusnya bisadiatasi jika tujuannya adalah memperluas
asuransi pertanian bagi aktivitas pertanian dengan eksposur risiko yang tinggi seperti
tanaman yang bernilai tinggi, budidaya ikan dan perkebunan. Penilaian atas risiko produksi
pertanian yang sesuai dan desain produk asuransi pertanian yang wajar secara aktuaria
tergantung pada ketersediaan data produksi pertanian, pemetaan daerah risiko dan data cuaca.
Terkait dengan hal itu, apakah pemerintah harus berinvestasi pada infrastruktur dan layanan
informasi cuaca dan pertanian yang lebih baik, misalnya dengan menyusun database nasional
dan menyediakan database ini untuk semua perusahaan asuransi komersial swasta yang
tertarik, baik bebas biaya maupun dengan tarif tertentu. Selain itu, apakah pemerintah perlu
memainkan peran penting untuk meningkatkan kesadaran petani, mengadakan lokakarya
pengembangan kapasitas dan program pelatihan teknis untuk staf perusahaan-perusahaan
asuransi. Selanjutnya, tantangan yang bersifat operasional meliputi pengembangan prosedur
operasionalasuransipertanian yang kompleks dan perlu keahlian khusus. Fokusnya adalah
bagaimana membuat produk asuransi pertanian yang standar internasional (terkait dengan
pertanggungan, syarat dan ketentuan polis serta prosedur penilaian kerugian), tapi mudah
diterapkan dan berbiaya relatif murah. Produk inilah yang diperlukan bila tujuannya untuk
petani kecil.

Anda mungkin juga menyukai