Anda di halaman 1dari 16

Penyakit Kusta.

Sebuah Update: Definisi, Patogenesis,


Klasifikasi, dan Terapi
K. Eichelmann, S.E. González González, J.C. Salas-Alanis, J. Ocampo-Candiani
Servicio de Dermatología, Hospital Universitario José Eleuterio González, Monterrey Nuevo León, Mexico
Received 29 July 2011; accepted 11 March 2012
Available online 17 July 2013

Abstrak Penyakit kusta adalah penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh bacillus
Mycobacterium leprae. Penyakit ini terutama mempengaruhi kulit dan saraf perifer dan
masih endemik dalam berbagai wilayah di dunia. Presentasi klinis tergantung pada status
imunitas pasien pada waktu infeksi dan selama perjalanan penyakit. Penyakit kusta
dikaitkan dengan kecacatan dan marginalisasi.
Diagnosis ditegakkan secara klinis dan dilakukan bila pasien memiliki paling sedikit 1
dari tanda-tanda kardinal berikut yang ditentukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia: makula
hipopigmentasi atau eritematosa dengan kehilangan sensasi sensorik; saraf perifer yang
menebal; atau apusan kulit basil tahan asam positif atau biopsi kulit dengan hilangnya
adneksa pada lokasi yang terkena dampak.
Penyakit kusta diobati dengan kombinasi multidrug dari rifampisin, clofazimine, dan
dapson. Dua regimen utama digunakan tergantung dengan apakah pasien memiliki tipe
penyakit pausibasiler atau multibasiler.

Pendahuluan
Penyakit Morbus Hansen, atau kusta, adalah penyakit granulomatosa kronis yang
disebabkan infeksi bakterial yang terutama menyerang kulit dan saraf perifer. Penyakit ini
disebabkan oleh bacillus intraseluler obligat, Mycobacterium leprae, yang diidentifikasi pada
abad ke 19 oleh dokter Norwegia Gerhard Henrik Armauer Hansen.1 Presentasi klinis dan
perubahan histopatologis bergantung pada status imunitas pasien pada saat infeksi dan
melalui perjalanan alami penyakit. Diagnosis saat ini berdasarkan 3 tanda-tanda kardinal
yang ditentukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO): makula hipopigmentasi atau
eritematosa dengan kehilangan sensasi sensorik, saraf perifer yang menebal, dan apusan
kulit basil tahan asam positif atau biopsi kulit.2 Terapi multidrug modern dan antibiotik baru
yang terbukti efektif telah memungkinkan untuk memenuhi target WHO untuk mengurangi
insidensi infeksi M leprae menjadi satu kasus per 10.000 penduduk di negara dimana
penyakit ini endemik. Patogen baru, Mycobacterium lepromatosis, baru-baru ini ditemukan
menyebabkan penyakit endemik di Meksiko dan Karibia.3 Perkembangan ini memunculkan
perspektif medis baru tentang bagaimana mengatasi masalah yang masih jauh dari
terselesaikan.

Epidemiologi
Program kusta nasional dilaksanakan dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 berhasil
memenuhi target WHO untuk daerah dimana kusta bersifat endemik. Laporan situasi 141
negara dikirim ke WHO pada bulan-bulan terakhir tahun 2010. Sebanyak 244.776 kasus baru
didaftarkan pada tahun 2009, dengan Asia Tenggara memiliki jumlah terbesar (166 115
kasus baru); pada awal tahun 2010 prevalensi di seluruh dunia adalah 211 903 kasus.4 Saat
ini infeksi mikobakteri endemik di lebih dari 15 negara, namun 83% kasus ditemukan di 3
negara: India, Brasil, dan Birmania.2,4 India terdaftar 64% dari semua kasus. Prevalensi
penyakit kusta adalah 212 802 kasus di tahun 2008, dan 2007 terdapat 254 252 kasus baru
terdaftar. Jumlah kasus turun sebesar 11 100 (4%) dari tahun 2006 sampai 2007 (Gambar 1).

Gambar 1. Jumlah kasus dari tahun 2003 sampai 2009 pada 16 negara yang melaporkan lebih dari 1000 kasus
per tahun. Sumber: Global Leprosy Situation 2010.

Pada awal tahun 1990an, WHO mengajukan “Strategi dorongan final” untuk penyakit
kusta dengan target eliminasi, didefinisikan sebagai prevalensi di bawah satu kasus per 10
000 penduduk di daerah endemik.4 Negara-negara seperti Republik Demokratik Kongo dan
Mozambik melaporkan pencapaian target, namun penyakit ini tetap sangat lazim di bagian
dunia lain. Tingkat prevalensi yang lebih rendah tidak terkait dengan berkurangnya jumlah
kasus baru yang ditemukan. Perubahan prevalensi ini tidak mencerminkan penurunan
transmisi m leprae; Sebaliknya, ini berhubungan dengan periode pengobatan yang lebih
pendek yang direkomendasikan oleh WHO atau pengekslusian dari pendaftar pasien yang
telah sembuh atau yang telah meninggal.
Negara dimana kusta sebelumnya telah dieliminasi melaporkan kenaikan kasus yang
diimport; Salah satu contohnya adalah Spanyol, dimana sebagian besar kasus yang diimport
berasal dari Amerika Selatan atau sub-Afrika Sahara.5

Mikrobiologi dan Imunologi


M leprae adalah basil tahan asam, basil intraselular gram positif obligat yang menunjukkan
tropisme untuk sel-sel sistem retikuloendotelial dan sistem saraf perifer (terutama sel
Schwann); mycobacterium jenis ini adalah satu-satunya yang memiliki karakteristik ini.
Taksonomi bakteri ini adalah Actinomycetales, famili Mycobacteriaceae. M leprae sedikit
melengkung, berukuran dari 1 sampai 8 µm dalam panjang dan 0,3 µm dalam diameter;
seperti mikobakteri lainnya, mereka mereplikasi dengan pembelahan biner.
Bakteri kusta memiliki predileksi dalam makrofag, berkelompok dalam kelompok
intraselular yang disebut globi. Meskipun tidak pernah dilakukan kultur secara in vitro, M
leprae telah tumbuh di dalam bantalan kaki dari 9 armadillo. Replikasi membutuhkan waktu
11 sampai 13 hari, jauh lebih lama dari yang dibutuhkan Mycobacterium tuberculosis yaitu
20 jam. Presdiposisi untuk menginfeksi area tubuh yang dingin seperti kulit, mukosa hidung
dan saraf perifer (terutama yang superfisial), M leprae tumbuh paling baik pada suhu antara
27 ◦C dan 30 ◦C. Efikasi patogen ini dalam ekologi dijelaskan oleh sifat yang diberikan oleh 2
struktur: kapsul dan dinding sel.6
Kapsul terdiri dari sejumlah besar lipid, terutama phthiocerol dimycocerosate dan
phenolic glucolipid-1, yang merupakan target imunoglobulin yang intens yang dimediasi
respon imun humoral.2,6,7 Komponen sel yang penting laininya ialah dinding sel yang
tersusun dari lipoarabinomannan, yang merupakan antigen untuk makrofag. Banyak gen
fungsional yang ditemukan pada mikobakteri lain telah dimatikan atau berubah menjadi
pseudogen, sehingga menonaktifkan beberapa fungsi seperti reproduksi ekstraselular. Jadi,
satu set fungsi metabolik dan reproduksi membuat M leprae menjadikan bakteri bersifat
intraselular dengan siklus reproduksi yang panjang.
M leprae memiliki predileksi untuk sel Schwann, jelasnya dengan pengikatan khusus
pada domain G dari rantai laminin-α2, yang diekspresikan secara khusus di lamina basal dari
saraf perifer. Begitu patogen menembus sel, replikasi berlangsung perlahan sampai sel T
mengenali antigen mycobacterial dan reaksi inflamasi kronis dimulai.7
Perkembangan penyakit ini, dengan manifesta klinis, tergantung pada status
imunitas pasien. Peran genetika, terkait dengan lokus kerentanan pada kromoson 10p13 di
dekat gen reseptor mannose 1 sekarang telah terbukti; reseptor mannose di permukaan
makrofag penting dalam fagositosis.8 Sebagai tambahan, kompleks histokompatibilitas gen
utama kelas II HLA / pada kromosom 6 juga telah terlibat dalam jenis perkembangan kusta
pada seorang pasien. Gen HLA-DR2 dan HLA-DR3 telah dikaitkan dengan kusta tuberkuloid
sedangkan HLA-DQ1 paling sering ditemukan pada pasien dengan bentuk lepromatosa.
Banyak komponen sistem imunitas lainnya telah dikaitkan dengan fenotip klinis dan
jalannya penyakit. Sebuah respon seluler intens yang terorganisasi dan spesifik terlihat pada
kasus dalam kutub tuberkuloid, sedangkan tidak adanya respon imunitas spesifik terlihat
pada kutub yang berlawanan, pada kusta lepromatosa. Bentuk lepramatosa mempengaruhi
kulit dan saraf perifer, menyebabkan plak infiltrat berbentuk annular atau ovoid. Lesi ini
biasanya anestesi dan dapat mempengaruhi area tubuh manapun. Biopsi kulit dan daerah
saraf sekitarnya menunjukkan granuloma dengan melimpahnya histiosit epithelioid, sel
raksasa multinuklear, dan Sel T CD4 + yang mensekresi interferon-γ. Salah satu temuan
terpenting adalah kelangkaan atau ketiadaan bacilli tahan asam (Gambar 2 dan 3), meskipun
beberapa kadang-kadang dapat diamati. Situasi imunologis dan klinis berbeda pada kusta
lepromatosa karena tidak ada respon imun spesifik. Bacilli berkembang biak di jaringan dan
makrofag yang berbusa dapat dilihat; beberapa sel T CD4 + dan CD8 + hadir, dan granuloma
biasanya tidak terbentuk (Gambar 4 dan 5). Temuan imunohistokemikal pada biopsi kulit
menunjukkan terutama interleukin 4 dan 10.2

Gambar 2. Kusta tuberkuloid. Inflamasi granulomatosa pada dermis yang tersusun atas sel epitheloid yang
dikelilingi sel T. Hematoxylin-eosin, perbesaran ×100.
Gambar 3. Granuloma pada kusta tuberkuloid, menunjukkan histiosit berbusa yang tersusun dalam pola
konsentris. Hematoxylin-eosin, perbesaran ×400.

Gambar 4. Kusta lepromatosa. Atrofi epidermis dengan zona Grenz. Makrofag dan area berbusa disekitar
pembuluh darah dapat dilihat. Hematoxylin-eosin, perbesaran ×100.
Gambar 5. Limpahan basil tahan asam pada kusta lepromatosa. Fite-Faraco, perbesaran ×400.

Respon imun terhadap M leprae bervariasi dan dapat meningkat secara spontan
mengubah manifestasi klinis, yang dapat hadir sebagai reaksi lepra tipe 1 atau 2. Hubungan
ini terkait dengan perubahan sistem imunitas tubuh, seperti yang disebabkan oleh obat
antilepros, stres, atau kehamilan. Sebuah reaksi reversal tipe 1 melibatkan hipersensitivitas
tipe IV.9 Kadar sitokin darah ---- seperti interferon-γ dan tumor necrosis factor ----
meningkat dan sel T CD4 + diaktifkan. Sebuah reaksi tipe 2 (atau eritema nodosum
leprosum) sesuai dengan reaksi hipersensitivitas tipe III karena deposisi kompleks imun
terkait dengan toksisitas sistemik, peningkatan kadar tumor necrosis factor, dan
peningkatan infiltrasi neutrofil dan deposisi komplemen di kulit. Perkembangan tipe ini
terutama pada kasus kusta dimorfous (borderline) dan kusta lepromatosa.

Penularan
Meskipun mekanisme dimana penularan patogen kurang dipahami, kita mengetahui bahwa
penularan M leprae rendah. Kepadatan penduduk dan kontak berkepanjangan adalah faktor
risiko yang diketahui.10 Kemungkinan bahwa saluran pernafasan memainkan peran penting
dalam transmisi baru saja dipelajari. Bacterial load tinggi pada penderita kusta lepromatosa,
yang telah dilaporkan pada tempat yang tersembunyi sebanyak 7000 juta bacilli setiap satu
gram jaringan, sedangkan pada bentuk penyakit lainnya, bacterial load diketahui jauh lebih
rendah, hanya sekitar sejuta bacilli secara keseluruhan. M leprae telah banyak ditemukan
(100 juta bacilli per hari) pada mukosa hidung.11 Meski kulit sudah menunjukkan rute yang
mungkin menjadi transmisi, hipotesis ini tidak pernah terbukti. Kelangsungan hidup basil di
luar tubuh sekitar 36 jam sampai 9 hari, benda bisa berperan dalam transmisi. Saluran napas
bisa memberi titik masuk untuk basil, dan inokulasi aerosol telah terbukti mungkin dilakukan
pada tikus dengan imunodefisiensi.
Tidak ada hubungan antara basil dan vektor, tapi kemungkinan tidak bisa
dikesampingkan. Karena kusta bukanlah penyakit yang sangat menular, kondisi yang pasti
harus dipenuhi sebelum host bisa terinfeksi. Kasus kusta tuberkuloid ditularkan melalui tato
telah dilaporkan, terutama di India.12 Transmisi vertikal telah dilaporkan, calon ibu anak
harus ditindaklanjuti.13

Klasifikasi
Sistem klasifikasi klinis Ridley-Jopling (Gambar 6), berdasarkan status klinis pasien dan status
imunitas tubuh, adalah yang paling banyak digunakan.14 Penyakit ini diatur dalam 2 kutub
dan keadaan antara, mengacu pada kusta lepromatosa, tuberkuloid dan dimorfous
(borderline). Kasus dimorfous diklasifikasikan menurut kecenderungan kutub (lepromatosa
atau tuberkuloid), dijelaskan dengan kata borderline (dengan demikian, kasus adalah
borderline lepromatosa, borderline tuberkuloid, atau borderline borderline). Kasus tak tentu
dianggap mewakili tahap awal penyakit. Kasus-kasus yang tidak stabil ini akhirnya beranjak
ke arah salah satu kutub tapi kemajuannya bisa dihentikan dengan pengobatan dan
penyembuhannya. Sebenarnya, obatnya mudah dalam tahap ini, meski diagnosis klinisnya
sulit. Semua kasus dimorfous atau tak pasti berkembang menuju salah satu kutub, biasanya
menjadi lepromatosa. Pada tahun 1998, WHO’s Expert Committee on Leprosy menentukan
bahwa pengobatan bisa dimulai sebelum tes apusan selesai dilakukan; Dengan demikian,
sebuah klasifikasi praktis dan cepat dibuat untuk diaplikasikan di seluruh dunia tanpa perlu
perangkat diagnostik dan tanpa menempatkan petugas kesehatan dalam risiko.2,4,10 Kasus
pausibasiler adalah di mana jumlah lesi kulit tidak lebih dari 5; kasus dengan jumlah lesi kulit
6 atau lebih diklasifikasikan sebagai multibasiler.15 Sistem ini tidak sempurna,
bagaimanapun, sebagai sejumlah besar kasus multibasiler salah klasifikasi sebagai
pausibasiler, dengan dampaknya pada pengobatan.
Gambar 6. Sistem klasifikasi klinis dan imunologis untuk kusta. IFN- γ refers to interferón gamma; IL,
interleukin.

Temuan Klinis
Penyakit kusta mempengaruhi terutama kulit, saraf perifer yang superfisial, mata, dan organ
tertentu (mis., testis). Kondisi kulit yang meluas seringkali menjadi alasan pasien mencari
perawatan, meskipun mereka juga mungkin mengeluh mati rasa dan jenis parestesia lain
atau tanda sistemik lainnya seperti demam dan penurunan berat badan. Kusta lepromatosa
(Gambar 7) dianggap dinamis, progresif, sistemik, dan memiliki spektrum yang menular.
Bakteriologi akan menjadi positif dan reaksi Mitsuda (tes leptofin intradermal) akan negatif
karena tidak adanya sel tertentu yang dimediasi oleh sistem imun. Kusta tuberkuloid
(Gambar 8) stabil, jarang menular, dan bahkan mungkin self-limiting. Bacillus tidak
terdeteksi pada bakteriologi, tapi reaksi Mitsuda akan positif dan granuloma biasanya akan
ditemukan pada pemeriksaan biopsi.
Gambar 7. Facies leonina pada kusta lepromatosa

Gambar 8. Kusta tuberkuloid: sebuah lesi tunggal, plak tanpa rambut dengan batas tegas

Gambar 9. Kusta dimorfous yang memiliki karakteristik infiltrat, eritem, plak bersisik yang berbentuk annular
dan memiliki batas internal yang tegas serta sentral yang atrofi
Kusta Tuberkuloid
Pada kutub tuberkuloid (kasus tuberkuloid dan borderline tuberkuloid) penyakit ini
bermanifestasi yang didefinisikan dengan baik, makula anestesi hipopigmentasi. Perbatasan
lesi mengalami peninggian dan eritematosa dan pusatnya bersifat atrofi. Biasanya tidak ada
kehilangan sensasi pada wajah karena banyaknya saraf sensoris di daerah ini. Bentuk ini
berhubungan dengan anhydrosis dan hilangnya struktur adneksa. Karena penderita
imunokompeten, lesi biasanya tidak besar atau banyak, dan jenis kusta ini dapat sembuh
secara spontan jika sistem imunitas tubuh inang kuat.

Kusta Lepromatosa
Pada spektrum kutub lepromatous (kasus kusta lepromatosa dan borderline lepromatosa)
ditandai dengan papula dan nodul konfluen, yang mungkin ditandai, infiltrasi difus pada
kulit dan menyebabkan fasies leonine dan madarosis. Lesi biasanya simetris dan bilateral
Pada awal penyakit kulit tampak adanya infiltrat dan seperti lilin. Spektrum kutub ini
dicirikan dengan keterlibatan saraf yang lebih besar dan kecacatan yang lebih berat. Bentuk
nodul dan difus dari penyakit lepromatosa diamati.

Kasus Dimorfous
Presentasi klinis kusta dimorfous (Gambar 9) mungkin menjadi akut atau subakut dan kasus
awalnya tidak pasti. Dianggap sebagai keadaan klinis transient yang tidak stabil, kusta
dimorfous membutuhkan pengobatan yang tepat. Hampir semua kasus berkembang
menjadi penyakit lepromatosa. Pasien dengan kusta dimorfous hadir dengan sisik, plak
eritematosa yang mungkin berbentuk sirkular atau annular, dengan perbatasannya yang
difus secara eksternal dan didefinisikan dengan baik secara internal. Selain itu terdapat
atrofi lesi dan hilangnya adneksa. Sebagai tambahan, telah ditunjukkan bahwa ketika batas
eksternal lesi annular didefinisikan dengan baik, penyakit berkembang menjadi kusta
tuberkuloid, sedangkan batas internal yang didefinisikan dengan baik memprediksi
perkembangan ke penyakit lepromatous.

Reaksi Akut
Eritema nodosum leprosum (reaksi tipe 2) lesi yang disertai dengan gejala sistemik dengan
perubahan pada keadaan kesehatan umum pasien: kelelahan, kelemahan, demam, nyeri
sendi, dan penurunan berat badan. Reaksi kusta ini berkembang pada sekitar 60% pasien
kusta lepromatosa dan bisa kambuh lagi beberapa kali sepanjang perjalanan penyakit.15
Nodul yang nyeri muncul, terutama pada tungkai bawah tapi terkadang pada badan.
Timbulnyo nodul ini adalah subakut. Sebuah varian dari reaksi kusta tipe 2 menyebabkan
eritema nekrotik, atau fenomena Lucio, yang terdiri dari makula kongestif merah yang
berkembang menjadi lecet dan luka nekrotik, diikuti oleh jaringan parut atrofik. Deposisi
kompleks imun merupakan mekanisme aksi dari reaksi ini. Hubungan antara fenomena
Lucio dan M lepromatosis masih dipelajari.16
Reaksi reversal (tipe 1) dapat terjadi pada kasus interpolar dan dikaitkan dengan
perubahan hormonal seperti yang terjadi pada masa nifas,17 atau dengan perawatan obat,
terutama rejimen antilepra. Reaksi antigenik ini disebabkan oleh variasi status kekebalan
pasien dan karena mekanisme hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel yang berkembang
dalam beberapa bulan setelah memulai pengobatan atau setelah pengobatan berhenti.
Manifestasi tipikal adalah makula eritem dengan tampilan kongestif dan lecet, ulserasi, dan
/ atau nekrosis. Aspek penting untuk dilihat pada pasien ini adalah neuritis. Pengobatan
tepat waktu yang efektif, sebelum kerusakan ireversibel merupakan hal yang penting.

Tanda dan Gejala Klinis


Bakteri kusta menargetkan sistem saraf perifer, mengarah ke berbagai manifestasi klinis
yang menjadi ciri infeksi mikobakteri ini.18 Lesi mungkin mempengaruhi saraf perifer kulit,
terutama nervus tibial posterior, cubital, peroneal medial dan lateral.19 Sebuah reaksi
osteofibrotik perineural superfisial berkembang, membuat saraf teraba saat pemeriksaan
fisik. Keterlibatan saraf menyebabkan penebalan, nyeri, dan gangguan sensoris dan motoris.
Saat serat saraf kulit yang kecil ikut terlibat, hasilnya adalah gangguan sensorik berupa mati
rasa, anhydrosis, dan termal. Pada kusta neuritis murni, terdapat neuropathy asimetris.
Varietas ini paling sering terlihat di India dan Nepal. Diagnosis banding harus
mempertimbangkan bahwa penebalan saraf perifer juga terjadi pada penyakit lainnya, yaitu
amyloidosis primer dan penyakit turunan lainnya (mis., Charcot-Marie-Tooth, Dejerine-
Sottas, dan Penyakit Refsum).20
Sistem muskuloskeletal dipengaruhi pada 95% dari kasus.21,22 Tanda-tanda skeletal
yang paling umum tidak spesifik, sperti kehilangan sensasi sensorik sekunder akibat
kerusakan saraf menyebabkan ulserasi, deformitas, dan fraktur. Penting untuk diingat
bahwa osteoporosis adalah tanda kedua yang paling umum pada pasien kusta.23
Pasien dengan bentuk lepromatosa telah dilaporkan mempengaruji perkembangan
testis, terutama atrofi dan orkitis akut yang berhubungan dengan eritema nodosum. Mata
bisa jadi terlibat, karena infiltrasi langsung atau melalui saraf optik yang mengalami
kerusakan. Sebelas persen pasien dengan penyakit multibasiler telah dilaporkan hadir
dengan hilangnya penglihatan pada saat diagnosis.19 Varietas yang sering terjadi di Meksiko,
dijelaskan oleh Lucio dan Alvarado pada tahun 1851, adalah kusta lepromatosa difus, yang
ditandai dengan infiltrasi difus yang memberikan tampilan myxedematous dan atropi kulit,
dengan proyeksi tunggal di telinga.24 Manifestasi kusta adalah lagophthalmos, keratitis, dan
entropion.

Diagnosis
Kusta didiagnosis secara klinis berdasarkan 3 tanda kardinal yang ditetapkan oleh WHO’s
Expert Committee on Leprosy pada tahun 1997.2,15 Diagnosis dibuat saat individu yang
belum menyelesaikan pengobatan memiliki 1 atau lebih tanda berikut:
1. Kulit anestesi dengan lesi hipopigmentasi (atau eritematosa)
2. Saraf perifer yang menebal
3. Apusan basil tahan asam atau bacilli diamati dalam biopsi
Bila terdapat semua 3 tanda, sensitivitas diagnostik telah dilaporkan mencapai 97%
(Tabel 1).15 Meskipun 90% kasus pausibasiler didiagnosis berdasarkan jumlah lesi, hingga
30% pasien multibasiler tidak terdiagnosis.
Penebalan saraf perifer biasanya terjadi setelah makula anestetik telah muncul.
Keterlibatan saraf mengikuti pola karakteristik distribusi dan lebih ditandai pada kasus
multibasiler.

Uji apusan
Uji apusan memiliki spesifisitas 100% dan sensitivitas 50%. Apusan bisa didapat dari mukosa
hidung, lobus telinga, dan / atau lesi kulit.25 - 27 Pewarnaan Ziehl-Neelsen biasa digunakan
untuk visualisasikan mycobacteria. Skala logaritma Ridley, atau bacterial index, digunakan
untuk menginterpretasikan hasil uji apusan, yang dicatat sebagai angka diikuti tanda plus
untuk mengekspresikan tingkat bakteriper bidang. Standar baku tetap menggunakan
histopatologi.

Biopsi Kulit
Lesi kulit dibiopsi dan diwarnai dengan menggunakan teknik Fite-Faraco. Pada kutub
tuberkuloid, basil tidak diamati; Sebaliknya, temuan yang biasa ditemukan adalah
granuloma, biasanya dengan keterlibatan saraf. Kasus yang cenderung menuju kutub
lepromatosa menunjukkan infiltrasi inflamasi dengan sel Virchow dengan basil dan
hilangnya struktur adneksa. Pada kasus kutub tuberkuloid, granuloma mengandung sel
epithelioid, sel Langerhans raksasa, dan infiltrasi limfositik.

Reakasi terhadap Injeksi Lepromin Intradermal


Uji lepromin menggunakan M leprae yang tidak aktif yang diekstrak dari lepromas. Setelah
suntikan intradermal sebesar 0.1mL antigen (lepromin) pada permukaan fleksor lengan
bawah, reaksi diinterpretasikan pada 2 momen. Satu inspeksi terlihat untuk reaksi awal
(Fernandez) dan lainya untuk reaksi lambat (Mitsuda). Reaksi Fernández memiliki
sensitivitas namun reaktivitas silang dengan mikobakteri lain sudah diketahui dapat terjadi.
Reaksi ini dibaca pada 24 atau 48 jam. Reaksi Mitsuda dibaca pada 21 hari dan menunjukkan
resistensi terhadap basil. Sebuah nodul berukuran lebih dari 5mm menunjukkan hasil
positif. Penting untuk diingat bahwa uji ini bukan merupakan uji diagnostik; Sebaliknya, uji
ini digunakan untuk klasifikasi dan tujuan prognostik. Di bawah inisiatif global untuk
memberantas justa di negara-negara dimana penyakit ini endemik, diagnosis didasarkan
pada tanda-tanda klinis dan uji apusan, bahkan dengan alat yang lebih canggih, seperti
serologi, telah tersedia.

Serologi
Saat ini, diagnosis dapat didasarkan pada titer antibodi glikolipid fenolik 1 (PGL-1) dan
polymerase chain reaction (PCR). Deteksi antibodi PGL-1 bermanfaat pada kasus
multibasiler tetapi jarang digunakan pada pasien pausibasiler.28 - 30 PCR mendeteksi bacillus
sangat spesifik dan sensitif, tapi membutuhkan biaya, teknik serta infrastruktur yang
dibutuhkan untuk penggunaan rutin.

Pengobatan
Eliminasi kusta sebagai masalah kesehatan dunia perlu dilakukan, karena penyakit menular
ini adalah satu dari sedikit penyakit yang membutuhkan berbagai persyaratan dalam
pemberantasan. Di antara persyaratan tersebut adalah kusta ditularkan melalui satu sarana
transmisi (dari infeksi individu yang tidak diobati) dan kemungkinan didiagnosis dengan cara
yang sederhana, menggunakan alat praktis. Selanjutnya terapi yang efektif tersedia dan
sekali prevalensi jauh di bawah tingkat populasi yang sebenarnya, yang memungkinkan
timbulnya peningkatan. Akhirnya, tidak seperti situasi dengan tuberkulosis, infeksi kusta
sepertinya tidak dipengaruhi oleh infeksi human immunodeficiency virus. Sejak tahun 2003,
kusta telah dieliminasi dari 117 negara, namun penyakit ini terus menghadirkan masalah
kesehatan masyarakat di 17 negara.2 Pada tahun 1981 WHO memperkenalkan terapi
multidrug dengan rifampisin, clofazimine, dan dapson (diaminodipenil sulfon) untuk
pengobatan lini pertama.31 Semua pasien harus menerima kombinasi obat ini tiap bulan di
bawah supervisi (Tabel 2).
Minocycline, ofloxacin, dan clarithromycin termasuk di antara obat yang digunakan
sebagai pengobatan lini kedua. Kuatnya terapi multidrug untuk mencegah resistensi
terhadap dapson, mempercepat penurunan infektivitas individu yang terinfeksi, dan
menekan tingkat kekambuhan dan reaksi.32 Meskipun demikian, masa pengobatannya
panjang dan menimbulkan masalah logistik; ketaatan sulit dicapai.
Obat Lini Pertama
Aksi antibakteri dari rifampisin, yang diturunkan dari jamur Streptomyces, didasarkan pada
penghambatan sintesis RNA. Hepatotoksisitas, mual, muntah, ruam, dan demam merupakan
salah satu efek samping utama obat ini. Aktivitas antibakteri clofazimine rendah. Meski
begitu clofazimine dikenal dapat mengikat DNA, mekanisme kerjanya masih kurang
dipahami. Obat ini diduga menghasilkan radikal superoksida sitotoksik dan memiliki fungsi
anti-inflamasi. Penggunaannya dikaitkan dengan kejadian eritema nodosum yang lebih
rendah. Clofazimine dikontraindikasikan pada gagal ginjal dan terkait dengan perubahan
warna kulit. Dapson adalah sulfonamid yang mekanisme antibakterinya bergantung pada
antagonisme p-aminobenzoic acid (PABA) dan penghambatan sintesis folat. Hal ini terkait
dengan hemolisis (terutama pada pasien dengan defisiensi glucose-6-phosphate-
dehydrogenase), neuropati perifer, dan eritema nodosum.33 Resistensi terhadap rifampisin
dan dapson telah dijelaskan sehubungan dengan gen rpoB dan folP1.34 Obat lini kedua
sangat aktif, namun biaya mencegah penggunaannya sebagai pilihan pertama pengobatan.

Manajemen Reaksi Kusta


Reaksi lepra tipe 1, yang biasanya terjadi pada 2 bulan pertama pengobatan, timbul dengan
eritema, edema, dan neuritis. Neuritis dikelola dengan prednison pada dosis 40 sampai 60
mg / hari; Idealnya, terapi seharusnya dihentikan setelah beberapa minggu.2,35,36 Eritema
nodosum adalah lesi yang disertai demam, nodul, nyeri rangka, neuritis, dan daktilitis.
Kondisi ini biasanya terjadi antara tahun pertama dan kedua dan terdapat relaps yang
intermiten. Pengobatan pilihan adalah thalidomide, tapi prednisone atau clofazimine
terkadang bisa diresepkan. Thalidomide dimulai pada dosis 100 sampai 200 mg / hari,
meskipun dimulai dengan dosis setinggi 400 mg / hari seperti yang telah dijelaskan;
pengobatan idealnya dihentikan setelah 3 sampai 4 minggu.37,38 Pada kasus kambuh,
periode pengobatan bisa diperpanjang, tetapi memliki efek merugikan seperti neuropatik
dan teratogenik yang harus diperhatikan. Mekanisme aksi thalidomide masih kurang
dipahami, namun diketahui bisa menghambat tumor necrosis factor. Clofazimine adalah
pilihan tepat untuk efek anti-inflamasi, dan dapat diresepkan pada dosis 300 mg / hari pada
wanita usia subur atau pada pasien yang tidak dapat mentolerir thalidomide.
Tindak Lanjut
Pemeriksaan fisik dan uji apusan lengkap harus dilakukan dan dijadwalkan setiap 6 bulan
sementara kasus multibasiler sedang diobati. Histopatologi harus dilakukan pada akhir
setiap siklus pengobatan. Dalam kasus pausibasiler, histopatologi hanya dilakukan pada
akhir pengobatan.

Mencegah Kecacatan
Edukasi kepada pasien merupakan aspek penting dalam pengobatan. Ini penting untuk
menghindari stigmatisasi pasien dengan penyakit ini, menekankan bahwa kusta tidak terlalu
menular. Pasien yang diinformasikan akan mengambil tanggung jawab lebih besar untuk
menjalani pengobatan. Hal ini juga perlu untuk menegaskan bahwa deformitas bisa dicegah.
Sebuah studi epidemiologi pasien dengan kusta di Ethiopia menemukan kecacatan pada
61,5% pasien.39
Seperti diabetes mellitus, kusta menyebabkan neuropati, dan perawatan yang tepat
diperlukan untuk mencegah kecacatan. Dengan demikian, Pencegahan sekuel merupakan
bagian penting dari agenda terapetik untuk penderita kusta. Perhatian khusus harus
dilakukan dan diambil untuk mencegah trauma dan mikrotrauma pada ekstremitas
terutama kaki.15 Pasien harus diperiksa secara berkala dan berulang-ulang, dan diajarkan
tentang menggunakan alas kaki dan cara merawat kaki dengan tepat. Ulserasi yang
berkembang sekunder akibat kusta membaik saat tekanan dieliminasi. Kusta seharusnya
tidak menjadi penyakit yang mengancam jiwa saat ini. Saat kematian terjadi, ini adalah hasil
infeksi sekunder (pneumonia dan TBC), amyloidosis, dan / atau gagal ginjal.40

Vaksin
Beberapa vaksin telah terbukti efektif sampai satu derajat atau di negara-negara lain di
mana kusta bersifat endemik. Efek profilaksis dari vaksin kusta dicapai dengan pengaturan
ulang sistem imunitas tubuh melawan antigen mycobacterial. Beberapa vaksin yang saat ini
digunakan adalah Mycobacterium w yang diajukan oleh Talwar pada tahun 1978; vaksin
Convit diperkenalkan pada tahun 1992, yang merupakan Bacillus Calmette-Guérin (BCG)
dikombinasikan dengan M leprae; dan Mycobacterium ICRC (berdasarkan Mycobacterium
avium-intracellulare). Yang lainnya adalah yang berbasis pada Mycobacterium tufu (diajukan
oleh Iushin dan Kalianina pada tahun 1995) dan satu menggunakan Mycobacterium habana
(lihat Singh dkk, 1997).41 Vaksin BCG itu sendiri telah dilaporkan memberikan perlindungan
sampai 50% terhadap kusta.42 Sebuah studi di India menemukan bahwa kombinasi BCG
dengan M leprae yang tidak aktif memberikan perlindungan 64%. Di daerah dimana vaksin
Mycobacterium w telah digunakan bersama dengan pengobatan antileprositik pada kusta
multibasiler, telah dilaporkan adanya percepatan regresi klinis dan perbaikan indeks bakteri
pada pasien dengan respon parsial terhadap terapi saat ini. Di beberapa daerah, vaksin BCG
diberikan pada anak di bawah usia 12 tahun yang berhubungan dengan kerabat yang
menderita kusta.
Kesimpulan
Penyakit Morbus Hansen tetap menjadi perhatian hari ini. Semua dokter harus memiliki
pemahaman dasar tentang penyakit ini untuk mendiagnosa dan mencegah kecacatan dan /
atau penularan. Pengetahuan tentang mekanisme imunopatologis mengungkapkan
kompleksitas penyakit ini dan menjadi dasar untuk memahami dan mengobati pasien.
Tingkat Pengetahuan saat ini memungkinkan untuk menghilangkan kusta, sebuah tujuan
untuk upaya medis, sosial, politik, dan sumber ilmiah untuk mencegah penyebaran infeksi
yang seharusnya sudah tidak ada lagi.

Anda mungkin juga menyukai

  • MenghadapiHidup
    MenghadapiHidup
    Dokumen3 halaman
    MenghadapiHidup
    Dewi Alwi
    Belum ada peringkat
  • SDQ
    SDQ
    Dokumen14 halaman
    SDQ
    Devy Yahya
    Belum ada peringkat
  • Refkas Heg
    Refkas Heg
    Dokumen17 halaman
    Refkas Heg
    AdhiSwasono
    Belum ada peringkat
  • LBM 2 SGD 13
    LBM 2 SGD 13
    Dokumen4 halaman
    LBM 2 SGD 13
    Nisrina Imtiyaza
    Belum ada peringkat
  • Analisa
    Analisa
    Dokumen2 halaman
    Analisa
    AdhiSwasono
    Belum ada peringkat
  • MenghadapiHidup
    MenghadapiHidup
    Dokumen3 halaman
    MenghadapiHidup
    Dewi Alwi
    Belum ada peringkat
  • Analisa Sistem Pneumonia
    Analisa Sistem Pneumonia
    Dokumen2 halaman
    Analisa Sistem Pneumonia
    AdhiSwasono
    Belum ada peringkat
  • CA Rufaida
    CA Rufaida
    Dokumen44 halaman
    CA Rufaida
    AdhiSwasono
    Belum ada peringkat
  • Skill
    Skill
    Dokumen1 halaman
    Skill
    AdhiSwasono
    Belum ada peringkat
  • Joko LI LBM 5 SKN
    Joko LI LBM 5 SKN
    Dokumen12 halaman
    Joko LI LBM 5 SKN
    nanda
    Belum ada peringkat
  • Ayo Kita Ciptakan Kawasan Bebas Rokok
    Ayo Kita Ciptakan Kawasan Bebas Rokok
    Dokumen6 halaman
    Ayo Kita Ciptakan Kawasan Bebas Rokok
    hanif
    Belum ada peringkat
  • Acne
    Acne
    Dokumen6 halaman
    Acne
    AdhiSwasono
    Belum ada peringkat
  • Ca Chusna
    Ca Chusna
    Dokumen29 halaman
    Ca Chusna
    AdhiSwasono
    Belum ada peringkat
  • Bab I Askep Turp Presentasi
    Bab I Askep Turp Presentasi
    Dokumen10 halaman
    Bab I Askep Turp Presentasi
    Sandy Vj Taneo
    Belum ada peringkat
  • CA Azif
    CA Azif
    Dokumen1 halaman
    CA Azif
    AdhiSwasono
    Belum ada peringkat
  • SGD 3 SKN
    SGD 3 SKN
    Dokumen5 halaman
    SGD 3 SKN
    tralalili
    Belum ada peringkat
  • Jamu
    Jamu
    Dokumen31 halaman
    Jamu
    L Aulia Risma
    Belum ada peringkat
  • Carl
    Carl
    Dokumen1 halaman
    Carl
    AdhiSwasono
    Belum ada peringkat
  • Bab 5 SGD 16
    Bab 5 SGD 16
    Dokumen2 halaman
    Bab 5 SGD 16
    AdhiSwasono
    Belum ada peringkat
  • Jurnal
    Jurnal
    Dokumen17 halaman
    Jurnal
    AdhiSwasono
    Belum ada peringkat
  • Chole
    Chole
    Dokumen33 halaman
    Chole
    AdhiSwasono
    Belum ada peringkat
  • Fadhila LBM 3 Herbal
    Fadhila LBM 3 Herbal
    Dokumen13 halaman
    Fadhila LBM 3 Herbal
    Yunitia Anjani
    Belum ada peringkat
  • LBM 2 SGD 13
    LBM 2 SGD 13
    Dokumen4 halaman
    LBM 2 SGD 13
    Nisrina Imtiyaza
    Belum ada peringkat
  • LBM 6 SKN
    LBM 6 SKN
    Dokumen10 halaman
    LBM 6 SKN
    AdhiSwasono
    Belum ada peringkat
  • LBM 2 SGD 13
    LBM 2 SGD 13
    Dokumen4 halaman
    LBM 2 SGD 13
    Nisrina Imtiyaza
    Belum ada peringkat
  • LBM 2 SGD 13
    LBM 2 SGD 13
    Dokumen4 halaman
    LBM 2 SGD 13
    Nisrina Imtiyaza
    Belum ada peringkat
  • Ayo Kita Ciptakan Kawasan Bebas Rokok
    Ayo Kita Ciptakan Kawasan Bebas Rokok
    Dokumen6 halaman
    Ayo Kita Ciptakan Kawasan Bebas Rokok
    hanif
    Belum ada peringkat
  • Niken Parain
    Niken Parain
    Dokumen13 halaman
    Niken Parain
    AdhiSwasono
    Belum ada peringkat
  • LBM HERBAL
    LBM HERBAL
    Dokumen12 halaman
    LBM HERBAL
    AdhiSwasono
    Belum ada peringkat