Filsafat Umum
A. Pengertian Filsafat
Arti Etimologi
Kata filsafat berasal dari kata Yunani filosofia, yang berasal dari kata kerja filosofein yang
berarti mencintai kebijaksanaan. Kata tersebut juga berasal dari kata Yunani philosophis yang
berasal dari kata kerja philein yang berarti mencintai, atau philia yang berarti cinta, dan Sophia
yang berarti kearifan. Dari kata tersebut lahirlah kata Inggris philosophy yang biasanya
diterjemahkan sebagai “cinta kearifan”.1[1]
Arti kata tersebut diatas belum memperhatikan makna yang sebenarnya dari kata filsafat,
sebab pengertian “mencintai” belum memperlihatkan keaktifan seorang filosof untuk
memperoleh kearifan atau bijaksana itu. Menurut pengertian yang lazim berlaku di Timur
(Tiongkok atau di India), seseorang disebut filosof bila dia telah mendapatkan atau telah meraih
kebijaksanaan. Sedangkan menurut pengertian yang lazim berlaku di Barat, kata “mencintai”
tidak perlu meraih kebijaksanaan, karena ituu yang disebut filosof atau “orang bijaksana”
mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengertian di Timur.
Konsep Plato
Plato2[2] memberikan istilah dengan dialektika yang berarti seni berdiskusi. Dikatakan demikian
karena, filsafat harus berlangsung sebagai upaya memberikan kritik terhadap berbagai pendapat
yang berlaku. Kearifan atau pengertian intelektual yang diperoleh lewat proses pemeriksaan
secara kritis ataupun dengan berdiskusi. Juga diartikan sebagai suatu penyelidikan terhadap sifat
dasar yang penghabisan dari kenyataan. Karena seorang filosof akan selalu mencari sebab-sebab
dan asas-asas yang penghabisan (terakhir) dari benda-benda.
Konsep Cicero
Cicero3[3] menyebutnya sebagai “ibu dari semua seni” (the mother of all the arts). Juga sebagai
arts vitae yaitu filsafat sebagai seni kehidupan.
Konsep Rene Descartes
Menurut Rene Descartes,4[4] filsafat merupakan kumpulan segala pengetahuan, dimana Tuhan,
alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya.
Konsep John Deway
Sebagai tokoh pragmatism, John Deway5[5] berpendapat bahwa filsafat haruslah
dipandang sebagai suatu pengungkapan mengenai perjuangan manusia secara terus-menerus
dalam upaya melakukan penyesuaian berbagai tradisi yang membentuk budi manusia terhadap
kecenderungan-kecenderungan ilmiah dan cita-cita politik yang baru dan yang tidak sejalan
dengan wewenang yang diakui. Tegasnya, filsafat sebagai suatu alat untuk membuat
penyesuaian-penyesuaian di antara yang lama dan yang baru dalam suatu kebudayaan.6[6]
Filsafat Sebagai Ilmu
Dikatakan filsafat sebagai ilmu karena di dalam pengertian filsafat mengandung empat
pertanyaan ilmiah, yaitu bagaimanakah, mengapakah, ke manakah, dan apakah.
Pertanyaan bagaimana menanyakan sifat-sifat yang dapat ditangkap atau yang tampak
oleh indra. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya bersifat deskriptif (penggambaran).
Pertanyaan mengapa menanyakan tentang sebab (asal mula) suatu objek. Jawaban atau
pengetahuan yang diperolehnya bersifat kausalitas (sebab akibat). Pertanyaan ke mana
menanyakan apa yang terjadi di masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang.
Pertanyaan apakah yang menanyakan tentang hakikat atau inti mutlak dari suatu hal.7[7]
Filsafat Sebagai Cara Berfikir
Berfikir secara filsafat dapat diartikan sebagai berpikir yang sangat mendalam sampai
hakikat, atau berpikir secara global atau menyeluruh, atau berpikir yang dilihat dari berbagai
sudut pandang pemikiran atau sudut pandang ilmu pegetahuan. Berpikir yang demikian ini
sebagai upaya untuk dapat berpikir secara tepat dan benar serta dapat dipertanggungjawabkan,
persyaratanya yaitu:
a. Harus sitematis
b. Harus konsepsional
c. Harus koheren
d. Harus rasional
e. Harus sinoptik
f. Harus mengarah kepada pandangan dunia
1. Induk ilmu
2. Sinoptis, memandang dunia dan alam semesta sebagai keseluruhan untuk dapat
menerangkannya, menafsirkannya, dan memahaminya secara keseluruhan
3. Bukan saja menekankan keadaan sebenarnya dari obyek, melainkan juga bagaimana seharusnya
obyek itu. Manusia dan nilai merupakan factor penting
4. Memeriksa dan meragukan segala asumsi-asumsi
5. Menggunakan semua penemuan ilmu pengetahuan, menguji sesuatu berdasarkan pengalaman
dengan memakai pikiran
Ilmu bersifat analitis, ilmu pengetahuan hanya menggarap satu lapangan pengetahuan
sebagai obyek formalnya. Sedangkan filsafat belajar dari ilmu pengetahuan dengan menekankan
keseluruhan dari sesuatu (sinoptis), karena keseluruhan mempunyai sifat sendiri yang tidak ada
pada bagian-bagiannya.
Ilmu bersifat deskriptif tentang obyeknya agar dapat menemukan fakta-fakta, teknik-
teknik dan alat-alat. Filsafat tidak hanya melukiskan sesuatu, melainkan membantu manusia
untuk mengambil keputusan-keputusan tentang tujuan, nilai-nilai dan tentang apa-apa yang harus
diperbuat manusia. Filsafat tidak netral, karena factor-faktor subyektif memegang peranan yang
penting dalam berfilsafat.
Ilmu berhubungan dengan mempersoalkan fakta-fakta yang factual, yang diperoleh
dengan eksperimen, observasi dan verifikasi hanya berhubungan sebagian dari aspek kehidupan
atau kejadian yang ada di dunia ini, sedangkan keseluruhan yang bermakna mengemukakan
perbedaan antara filsafat dan ilmu sebagai berikut:
a. Ilmu berhubungan dengan lapangan yang terbatas, filsafat mencoba berhubungan dengan
keseluruhan pengalaman, untuk memperoleh suatu pandangan yang lebih komprehensif tentang
sesuatu
b. Ilmu menggunakan pendekatan analitis dan deskriptif, sedangkan filsafat sintetis atau sinopsis,
berhubungan dengan sifat-sifat sintesis atau synopsis berhubungan dengan sifat-sifat dan kualitas
alam dan hidup secara keseluruhan
c. Ilmu menganalisis keseluruhan menjadi bagian-bagian dari organize menjadi organ-organ,
filsafat mencoba membedakan sesuatu dalam bentuk sistesis yang menjelaskan dan mencari
makna sesuatu secara keseluruhan
d. Ilmu menghilangkan faktor-faktor pribadi yang subyektif, sedangkan filsafat tertarik kepada
personalitas, nilai-nilai dan semua pengalaman
e. Ilmu tertarik kepada hakikat sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan filsafat tidak hanya kepada
bagian-bagian yang nyata, melainkan juga kepada kemungkinan-kemugkinan yang ideal dari
suatu benda, dan nilai dan maknanya
2. Titik Temu Filsafat dan Ilmu
Ada beberapa titik temu antara filsafat dan ilmu yaitu:
a. Filsafat dan ilmu pengetahuan keduanya menggunakan metode-metode reflective thinking di
dalam menghadapi fakta-fakta dunia dan hidup ini
b. Filsafat dan ilmu keduanya menunjukkan sikap kritis dan terbuka, dan memberikan perhatian
yang tidak berat sebelah terhadap kebenaran
c. Ilmu memberi filsafat sejumlah bahan-bahan deskriptif dan factual serta esensial bagi pemikiran
filsafat
d. Ilmu mengoreksi filsafat dengan jalan menghilangkan sejumlah ide-ide yang bertentangan
dengan pengetahuan yang ilmiah
3. Perbandingan Filsafat Dengan Ilmu Pengetahuan
Persamaannya adalah sebagai berikut :
a. Kedua-duanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyeknya selengkap-
lengkapnya sampai habis-habisan
b. Kedua-duanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau pertalian yang ada antara
kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-sebabnya
c. Kedua-duanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat
manusia akan kebenaran (obyektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendalam yang mengasas
Perbedaannya adalah sebagai berikut :
a. Obyek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum) yaitu segala sesuatu yang ada
(realita) sedangkan obyek material ilmu pengetahuan itu bersifat khusus dalam arti khusus
masing-masing bidang pengolahannya saja. Inilah yang biasa disebut disiplin ilmiah dari setiap
ilmu pengetahuan itu.
Karena sifat khusus dari ilmu pengetahuan itu, maka ilmu pengetahuan itu adalah suatu
spesifikasi.10[10] Dari spesifikasi itu orang masih terus menerus mengadakan diferensiasi
sampai kepada spesialisasi. Oleh karena itu ilmu pengetahuan biasanya disebut ilmu special,
ilmu pengetahuan mengejar obyektivitas (kebenaran) dan menyatakan bahwa sesuatu itu benar
atau tidak benar, tetapi ilmu pengetahuan tidak dapat member jawaban apakah kebenaran itu
sendiri. Dilain pihak, filsafat itu bersifat universal, maka pendekatan (approach) filsafat
bermuara kepada reflection atau contemplation (perenungan pertimbangan).
b. Obyek formal (sudut pandangan) filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari
pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mengasas. Sedangkan
ilmu pengetahuan bersifat fragmentaris dan abstrak dengan peninjauan secara ekstensif dan
intensif.
Dengan ekstensif berarti ilmu pengetahuan itu dalam meninjau obyek materialnya hanyalah
sebagai daripada realita. Dengan intensif berarti selalu meninjau obyek materialnya dari sudut
pandangan tertentu yang menuju kepada spesialisasi atau pengkhususan masing-masing bidang
keilmuan itu.
c. Filsafat dilaksanakan dalam suatu suasana pengetahuan yang mementingkan control atau
pengawasan. Misalnya untuk mengetahui sesuatu dalam ilmu pengetahuan haruslah diadakan
riset. Oleh karena itu, nilai ilmu pengetahuan timbul dari kegunaannya, sedangkan filsafat timbul
dari nilainya.
4. Hubungan Filsafat Dengan Ilmu Pengetahuan
Hubungan filsafat dengan ilmu pengetahuan dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Filsafat mempunyai obyek yang luas, sifatnya universal, sedangkan ilmu-ilmu pengetahuan
obyeknya terbatas, khusus lapangannya saja
b. Filsafat hendak memberikan pengetahuan, insight atau pemahaman yang lebih mendalam
dengan menunjukkan sebab-sebab yang terakhir sedangkan ilmu pengetahuan juga menunjukkan
sebab-sebab tetapi yang tidak begitu mendalam.
c. Filsafat memberikan synthesis kepada ilmu-ilmu pengetahuan yang khusus, mempersatukan dan
mengkoordinasikannya
E. Timbulnya Filsafat
1. Manusia Adalah “Ens Metaphysicum”
Pengertian tentang filsafat, yaitu dengan menunjukkan bagaimana filsafat itu timbul dari
kodrat manusia, artinya asal ada manusia, ada filsafat karena sesuai dengan kodratnya manusia
itu.
Mengenai hal ini pokoknya telah diterangkan yaitu bagaimana dari keinginan akan
mengerti, kan kebenaran, timbullah ilmu-ilmu pengetahuan dan akhirnya muncullah filsafat.
Filsafat adalah bentuk pengetahuan tertentu, bahkan bentuk pengetahuan manusia yang
tersempurna, merupakan perkembangan yang terakhir daripada “pengetahuan biasa”. Selain
ilmu-ilmu pengetahuan yang semuannya mendorong manusia kearah filsafat, hingga menjadi
jelas bagi kita bahwa manusia memang betul-betul boleh disebut “ens metaphysicum”, menurut
Aristoteles artinya makhluk yang menurut kodratnya berfilsafat. Untuk menerangkan jika betul-
betul setiap orang kodratnya terdorong akan filsafat, maka harus membedakan antara :
- Filsafat sebagai ilmu pengetahuan
- Filsafat dalam arti yang lebih luas, yaitu dalam arti usaha mencari jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan hidup, menanyakan dan mempersoalkan segala sesuatu
Maka filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang tersendiri itu tidak niscaya adanya, itu
meminta tingkat kebudayaan yang agak tinggi. Sebaliknya filsafat dalam arti yang lebih luas,
dalam arti anasir-anasir filsafat dalam pikiran manusia itu dapatlah kita katakan tentu ada
biarpun hanya sedikit.
2. Filsafat Bersifat Eksistensial
Filsafat adalah “eksistensial” sifatnya erat hubungannya dengan hidup kita sehari-hari,
dengan adanya manusia sendiri. Hidup kita sendiri yang memberikan bahan-bahan untuk
direnungkan. Filsafat berdasarkan dan berpangkalan pada manusia yang konkrit, pada diri kita
yang hidup di dalam dunia dengan segala persoalan-persoalan yang kita hadapi.
Mengenai isi dari filsafat itu berbeda-beda menurut masa diperkembangkannya, berganti-
ganti yang dipersoalkan atau yang dititikberatkan ialah:
a. Dunia yang mengelilingi kita
b. Sikap hidup atau kesusilaan
c. Hubungan antara manusia dan Tuhan atau sikap religious
d. Struktur dan susunan pengetahuan
F. Filsafat Barat Abad Pertengahan
Filsafat Yunani mengalami kemegahan dan kejayaan dengan hasil yang sangat gemilang,
yaitu melahirkan peradaban Yunani. Menurut pandangan sejarah filsafat, dikemukakan bahwa
peradaban Yunani merupakan titik tolak peradaban manusia di dunia. Maka pandangan sejarah
filsafat dikemukakan manusia di dunia. Giliran selanjutnya adalah warisan peradaban Yunani
jatuh ketangan kekuasaan Romawi. Kekuasaan Romawi memperlihatkan kebesaran dan
kekuasaannya hingga daratan Eropa (Britania), tidak ketinggalan pula pemikiran filsafat Yunani
juga ikut terbawa.
Setelah filsafat Yunani sampai ke daratan Eropa, di sana mendapatkan lahan baru dalam
pertumbuhannya. Karena bersamaan dengan agama Kristen, filsafat Yunani berintegrasi dengan
agama Kristen, sehingga membentuk suatu formulasi baru. Maka muncullah filsafat Eropa yang
sesungguhnya sebagai penjelmaan filsafat Yunani setelah berintegrasi dengan agama Kristen.
Kekuatan pengaruh antara filsafat Yunani dengan agama Kristen dikatakan
seimbang.11[11][11] Apabila tidak seimbang pengaruhnya, maka tidak mungkin berintegrasi
membentuk suatu formula baru. Walupun agama Kristen relatif masih baru keberadaannya,
tetapi pada saat itu muncul anggapan yang sama terhadap filsafat Yunani ataupun agama Kristen.
Anggapan pertama, bahwa Tuhan turun ke bumi (dunia) dengan membawa kabar baik bagi umat
manusia. Kabar baik tersebut berupa firman Tuhan yang dianggap sebagai sumber kebijaksanaan
yang sempurna dan sejati. Anggapan kedua, bahwa walaupun orang-orang telah mengenal agama
baru, tetapi juga mengenal filsafat Yunani yang dianggap sebagai sumber kebijaksanaan yang
tidak diragukan lagi kebenarannya.
Ciri-ciri pemikiran filsafat barat abad Pertengahan adalah :
- Cara berfilsafatnya dipimpin oleh gereja
- Berfilsafat di dalam lingkungan ajaran Aristoteles
- Berfilsafat dengan pertolongan Augustinus
Masa abad pertengahan ini juga dapat dikatakan sebagai suatu masa yang penuh
dengan upaya menggiring manusia ke dalam kehidupan atau sistem kepercayaan yang picik dan
fanatic, dengan menerima ajaran gereja secara membabi buta. Karena itu perkembangan ilmu
pengetahuan terhambat.
Masa ini penuh dengan dominasi gereja, yang tujuannya untuk membimbing umat ke
arah hidup yang saleh. Namun, di sisi lain dominasi gereja ini tanpa memikirkan martabat dan
kebebasan manusia yang mempunyai perasaan, pikiran, keinginan, dan cita-cita untuk
menentukan masa depannya sendiri.12[12]
Masa abad pertengahan ini terbagi menjadi dua masa yaitu:
1. Masa Patristik
Istilah Patristik berasal dari kata Latin pater atau bapak yang artinya para pemimpin
gereja. Para pemimpin gereja ini dari golongan atas golongan ahli pikir. Dari golongan ahli pikir
inilah menimbulkan sikap yang beragam pemikirannya. Mereka ada yang menolak filsafat
Yunani dan ada yang menerimanya.
Bagi mereka yang menolak, alasannya karena beranggapan bahwa sudah mempunyai
sumber kebenaran yaitu firman Tuhan, dan tidak dibenarkan apabila mencari sumber kebenaran
yang lain seperti dari filsafat Yunani. Bagi mereka yang menerima sebagai alasannya
beranggapan bahwa walaupun telah ada sumber kebenaran yaitu firman Tuhan, tetapi tidak ada
jeleknya menggunakan filsafatYunani hanya diambil metodosnya saja (tata cara berpikir). Juga,
walupun filsafat Yunani sebagai kebenaran manusia, tetapi manusia juga sebagai ciptaan Tuhan.
Jadi, memakai atau menerima filsafat Yunani diperbolehkan selama dalam hal-hal tertentu tidak
bertentangan dengan agama.
Akibatnya muncul upaya untuk membela agama Kristen, yaitu para apologis (pembela
iman Kristen) dengan kesadarannya membela iman Kristen dari serangan filsafat Yunani. Para
pembela iman Kristen tersebut adalah:
a. Justinus Martir
Menurut pendapatnya, agama Kristen bukan agama baru karena Kristen lebih tua dari
filsafat Yunani, dan Nabi Musa dianggap sebagai awal kedatangan Kristen. Padahal, Musa hidup
sebelum Socrates dan Plato. Socrates dan Plato sendiri sebenarnya telah menurunkan hikmahnya
dengan memakai hikmah Musa. Selanjutnya dikatakan bahwa filsafat Yunani itu mengambil dari
kitab Yahudi.13[13] Pandangan ini didasarkan bahwa Kristus adalah Logos. Dalam
mengembangkan aspek logosnya ini orang-orang Yunani (Socrates, Plato dll) kurang memahami
apa yang terkandung dan memancar dari logosnya, yaitu pencerahan sehingga orang-orang
Yunani dapat dikatakan menyimpang dari ajaran murni. Mereka menyimpang karena orang-
orang Yunani terpengaruh oleh demon atau setan. Demon atau setan tersebut dapat mengubah
pegetahuan yang benar kemudian dipalsukan.
b. Klemens (150 – 215)
Ia juga termasuk pembela Kristen, tetapi ia tidak membenci filsafat Yunani. Pokok-pokok
pikirannya adalah sebagai berikut :
- Memberikan batasan-batasan terhadap ajaran Kristen untuk mempertahankan diri dari otoritas
filsafat Yunani
- Memerangi ajaran yang anti terhadap Kristen dengan menggunakan filsafat Yunani
- Bagi orang Kristen, filsafat dapat dipakai untuk membela iman Kristen, dan memikirkan secara
mendalam
c. Tertullianus (160 – 222)
Ia dilahirkan bukan dari keluarga Kristen, tetapi setelah melaksanakan pertobatan ia
menjadi gigih membela Kristen secara fanatic. Ia menolak kehadiran filsafat Yunani karena
Filsafat dianggap sesuatu yang tidak perlu. Baginya berpendapat, bahwa wahyu Tuhan sudahlah
cukup. Tidak ada hubungan antara teologi dengan fisafat, tidak ada hubungan antara Yerussalem
(pusat agama) dengan Yunani (pusat filsafat), tidak ada hubungan antara gereja dengan akademi,
tidak ada hubungan antara Kristen dengan penemuan baru.
d. Augustinus (354 – 430)
Sejak mudanya ia telah mempelajari bermacam-macam aliran filsafat, antara lain
Platonisme dan Skeptisisme. Ia telah diakui keberhasilannya dalam membentuk filsafat Kristen
yang berpengaruh besar dalam filsafat abad pertengahan sehingga ia dijuluki sebagai guru
skolastik yang sejati. Ia seorang tokoh besar di bidang teologi dan filsafat.
Menurut pendapatnya, daya pemikiran manusia ada batasnya, tetapi pikiran manusia
dapat mencapai kebenaran dan kepastian yang tidak ada batasnya, yang bersifat kekal abadi.
Artinya, akal pikir manusia dapat berhubungan dengan sesuatu kenyataan yang lebih tinggi.
2. Masa Skolastik
Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Jadi,
skolastik berarti aliran atau yang berkaitan dengan sekolah. Perkataan skolastik merupakan corak
khas dari sejarah filsafat abad pertengahan.
Terdapat beberapa pengertian dari corak khas skolastik, sebagai berikut:
a. Filsafat skolastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama. Skolastik ini
sebagai bagian dari kebudayaan abad pertengahan yang religius
b. Filsafat skolastik adalah filsafat yang mengabdi pada teologi atau filsafat yang rsional
memecahkan persoalan-persoalan mengenai berpikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian, baik
buruk. Dari rumusan tersebut kemudian muncul istilah skolastik Yahudi, skolastik Arab dan
lainnya14[14]
Filsafat skolastik ini dapat berkembang dan tumbuh karena beberapa faktor berikut :
Faktor Religius
Pada saat itu telah banyak didirikan lembaga pengajaran yang diupayakan oleh biara-
biara, gereja, ataupun dari keluarga istana. Kepustakaannya diambilkan dari para penulis latin,
Arab (islam), dan Yunani.
Masa Skolastik terbagi menjadi tiga periode, yaitu:
1. Skolastik awal, berlangsung dari tahun 800-1200
2. Skolastik puncak, berlangsung dari tahun 1200-1300
3. Skolastik akhir, berlangsung dari tahun 1300-1450
1. Skolastik Awal
Saat ini merupakan zaman baru bagi bangsa Eropa. Hal ini ditandai dengan skolastik
yang didalamnya banyak diupayakan pengembangan ilmu pengetahuan di sekolah-sekolah. Pada
mulanya skolastik ini timbul pertama kalinya di biara Italia Selatan dan akhirnya sampai
berpengaruh ke Jerman dan Belanda.
Kurikulum pengajarannya meliputi studi duniawi atau artes liberals, meliputi tata bahasa,
retorika, dialektika (seni berdiskusi), ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu perbintangan, dan musik.
Skolastik Puncak
Masa ini merupakan kejayaan skolastik yang berlangsung dari tahun 1200-1300 dan masa
ini juga disebut masa berbunga. Masa itu ditandai dengan munculnya universitas-universitas dan
ordo-ordo, yang secara bersama-sama ikut menyelenggarakan atau memajukan ilmu
pengetahuan, di samping juga peranan universitas sebagai sumber atau pusat ilmu pengetahuan
dan kebudayaan.
Thomas Aquinas (1225-1274)
Nama sebenarnya adalah Santo Thomas Aquinas, yang artinya Thomas yang suci dari
Aquinas. Disamping sebagai ahli pikir, ia juga seorang dokter gereja bangsa Italia. Ia lahir di
Rocca Secca, Napoli, Italia. Ia merupakan tokoh terbesar Skolastisisme, salah seorang suci gereja
Katolik Romawi dan pendiri aliran yang dinyatakan menjadi filsafat resmi gereja Katolik.
Menurut pendapatnya, semua kebenaran asalnya dari Tuhan. Kebenaran diungkapkan
dengan jalan yang berbeda-beda, sedangkan iman berjalan di luar jangkauan pemikiran. Ia
menghimbau agar orang-orang untuk mengetahui hukum alamiah (pengetahuan) yang terungkap
dalam kepercayaan. Tidak ada kontradiksi antara pemikiran dan iman. Semua kebenaran mulai
timbul secara ketuhanan walaupun iman diungkapkan lewat beberapa kebenaran yang berada di
luar kekuatan pikir.15[15]
2. Skolastik Akhir
Masa ini ditandai dengan adanya rasa jemu terhadap segala macam pemikiran filsafat
yang menjadi kiblatnya sehingga memperlihatkan stagnasi (kemandengan). Diantara tokoh-
tokohnya adalah William Ockham (1285-1349), Nicolas Cusasus (1401-1464).
3. Skolastik Arab (Islam)
Dalam bukunya, Hasbullah Bakry menerangkan bahwa istilah skolastik Islam jarang
dipakai di kalangan umat Islam. Istilah yang biasa dipakai adalah ilmu kalam atau filsafat islam.
Dalam permbahasan antara ilmu kalam dan ilmu filsafat islam biasanya dipisahkan. 16[16]
Tidak hanya dalam pemikiran filsafat saja, tetapi para ahli pikir Islam tersebut
memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi Eropa, yaitu dalam bidang ilmu pengetahuan. Para
ahli pikir Islam sebagian menganggap bahwa filsafat Aristoteles benar, Plato dan Alquran benar,
mereka mengadakan perpaduan dan sinkretisme antara agama dan filsafat. Pemikiran-pemikiran
tersebut kemudian masuk ke Eropa yang merupakan sumbangan Islam paling besar.
Dengan demikian dalam pembahasan skolastik Islam terbagi menjadi dua periode, yaitu :
- Periode Mutakallimin (700-900)
- Periode Filsafat Islam (850-1200)
3. Masa Peralihan
Setelah abad pertengahan berakhir sampailah pada masa peralihan yang diisi dengan
gerakan kerohanian yang bersifat pembaharuan. Zaman peralihan ini merupakan embrio masa
modern. Masa peralihan ini ditandai dengan munculnya renaissance, humanisme, dan reformasi
yang berlangsung antara abad ke-14 hingga ke-16.
Renaissance
Renaissance atau kelahiran kembali Eropa ini merupakan suatu gelombang kebudayaan
dan pemikiran yang dimulai di Italia, kemudian di Prancis, Spanyol, dan selnjutnya hingga
menyebar ke seluruh Eropa. Di antara tokoh-tokohnya adalah Leonardo da Vinci, Michelangeo,
Machiavelli, dan Giordano Bruno.
Humanisme
Humanisme pada mulanya dipakai sebagai suatu pendirian di kalangan ahli pikir
Renaissance yang mencurahkan perhatiannya terhadap pengajaran kesusastraan Yunani dan
Romawi, serta perikemanusian. Kemudian Humanisme berubah fungsinya menjadi gerakan
untuk kembali melepaskan ikatan dari gereja dan berusaha menemukan kembali ssastra Yunani
atau Romawi. Diantara para tokohnya adalah Boccaccio, Petrarcus, Lorenco Vallia, Erasmus,
dan Thomas Morre.
Reformasi
Reformasi merupakan revolusi keagamaan di Eropa Barat pada abad ke-16. Revolusi
tersebut dimulai dari gerakan terhadap perbaikan keadaan gereja Katolik. Kemudian berkembang
menjadi asas-asas Protestantisme. Para tokohnya antara lain Jean Calvin dan Martin Luther.
Akhirnya dalam filsafat Renaissance salah satu unsure pokoknya adalah manusia. Suatu
pemikiran yang sejajar dengan Renaissance. Pemikir yang ingin menempatkan manusia pada
tempat yang sentral dalam pandangan kehidupan.
G. Filsafat Modern
Tidak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai. Secara historis, zaman
modern dimulai sejak adanya krisis zaman pertengahan selama dua abad (abad ke-14 dan ke-15),
yang ditandai dengan munculnya gerakan Renaissance. Renaissance berarti kelahiran kembali,
yang mengacu kepada gerakan keagamaan dan kemasyarakatan yang bermula di Italia
(pertengahan abad ke-14). Tujuan utamannya adalah merealisasikan kesempurnaan pandangan
hidup Kristiani dengan mengaitkan filsafat Yunani17[17] dengan ajaran agama Kristen. Selain
itu, dimaksudkan untuk mempersatukan kembali gereja yang terpecah-pecah.
Disamping itu para humanis bermaksud meningkatkan suatu perkembangan yang
harmonis dari kehlian-keahlian dan sifat-sifat alamiah manusia dengan mengupayakan yang baik
dan mengikuti kultur klasik.
Renaissance akan banyak memberikan segala aspek realitas. Perhatian yang sungguh-
sungguh atas segala hal yang konkret dalam lingkup alam semesta, manusia, kehidupan
masyarakat, dan sejarah. Pada masa itu pula terdapat upaya manusia untuk member tempat
kepada akal yang mandiri. Akal diberi kepercayaan yang lebih besar karena adanya suatu
keyakinan bahwa akal pasti dapat menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan juga
pemecahannya. Hal ini dibuktikan adanya perang terbuka terhadap kepercayaan yang dokmatis
dan terhadap orang-orang yang enggan menggunakan akalnya.
a. Rasionalisme
Setelah pemikiran Renaissance sampai pada penyempurnaannya, yaitu telah tercapainya
kedewasaan pemikiran, maka terdapat keseragaman mengenai sumber pengetahuan yang secara
alamiah dapat dipakai manusia, yaitu akal (rasio) dan pengalaman (empiri). Karena orang
mempunyai kecenderungan untuk membentuk aliran berdasarkan salah satu di antara keduanya,
maka kedua-duanya sama-sama membentuk aliran tersendiri yang saling bertentangan.
Rene Descartes yang mendirikan aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber
pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akallah
yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan akal dapat
diperoleh kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu pasti.
Latar belakang munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri dari
segala pemikiran tradisioanal (skolastik), yang pernah diterima, tetapi ternyata tidak mampu
menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Apa yang ditanam Aristoteles dalam
pemikiran saat itu juga masih dipengaruhi oleh khayalan-khayalan.
b. Empirisme
Sebagai tokohnya adalah Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume. Karena adanya
kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya, pandangan orang terhadap filsafat
mulai merosot. Hal ini terjadi karena filsafat dianggap tidak berguna lagi bagi kehidupan. Pada
sisi lain, ilmu pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi kehidupan. Kemudian beranggapan
bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat indra (empiri), dan
emirilah satu-satunya sumber pengetahuan. Pemikiran tersebut lahir dengan nama empirisme.
c. Kritisisme
Aliran ini muncul abad ke-18. Suatu zaman baru di mana seorang ahli pikir yang cerdas
mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Zaman baru ini
disebut zaman Pencerahan. Zaman pencerahan ini muncul di mana manusia lahir dalam keadaan
belum dewasa (dalam pemikiran filsafat). Akan tetapi, setelah Kant mengadakan penyelidikan
(kritik) terhadap peran pengetahuan akal. Setelah itu, manusia terasa bebas dari otoritas yang
datangnya dari luar manusia, demi kemajuan atau peradaban manusia.
Jadi, metode berpikirnya disebut metode kritis. Walaupun ia mendasarkan diri pada nilai
yang tinggi dari akal, tetapi ia tidak mengingkari adanya persoalan-persoalan yang melampaui
akal. Sehingga akal mengenal batas-batasnya. Karena itu aspek irrasionalitas dari kehidupan
dapat diterima kenyataannya.
d. Idealisme
Setelah Kant mengetengahkan tentang kemampuan akal manusia, maka para murid Kant
tidak puas terhadap batas kemampuan akal, alasannya karena akal murni tidak akan dapat
mengenal hal yang berada di luar pengalaman. Untuk itu, dicarinya suatu dasar, yaitu suatu
sistem metafisika yang ditemukan lewat dasar tindakan: aku sebagai sumber yang sekonkret-
konkretnya. Titik tolak tersebut dipakai sebagai dasar untuk membuat suatu kesimpulan tentang
keseluruhan yang ada.
e. Positivisme
Filsafat positivism lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah
diketahui adalah yang factual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Maksud positif
adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-
pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebut kita atur dapat
memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
f. Materialisme
Munculnya Positivisme dan Evolusionisme menambah terbukanya pintu pengingkaran
terhadap aspek kerohanian. Julien de Lamattrie mengemukakan pemikirannya bahwa binatang
dan manusia tidak ada bedanya, karena semuanya dianggap sebagai mesin. Buktinya, badan
tanpa jiwa mungkin hidup (bergerak), sedangkan jiwa tanpa badan tidak mungkin ada. Jantung
katak yang dikeluarkan dari tubuh katak masih berdenyut (hidup) walau beberapa saat saja.
Menurut pendapatnya, tugas seorang filosof bukan untuk menerangkan dunia, tetapi
untuk mengubahnya. Hidup manusia itu ternyata ditentukan oleh keadaan ekonomi. Dari segala
hasil tindakannya: ilmu, seni, agama, kesusilaan, hokum, politik, semuanya itu hanya endapan
dari keadaan itu, sedangkan keadaan itu sendiri ditentukan benar-benar dalam sejarah.
g. Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari kata fenomen yang artinya gejala, yaitu suatu hal yang tidak
nyata dan semua. Kebalikannya kenyataan juga dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian yang
dapat diamati lewat indra. Misalnya, penyakit flu gejala batuk, pilek. Dalam filsafat
fenomenologi, arti di atas berbeda dengan yang dimaksud, yaitu bahwa suatu gejala tidak perlu
harus diamati oleh indra, karena gejala juga dapat dilihat secara batiniah, dan tidak harus berupa
kejadian-kejadian. Jadi, apa yang kelihatan dalam dirinya sendiri seperti apa adanya.
Pemikirannya, bahwa objek atau benda harus diberi kesempatan untuk bicara, yaitu
dengan cara deskriptif fenomenologis yang didukung oleh metode deduktif. Tujuannya adalah
untuk melihat hakikat gejala-gejala secara intuitif. Sedangkan metode deduktif artinya
menghayalkan gejala-gejala dalam berbagai macam yang berbeda. Sehingga akan terlihat batas
invariable dalam situasi yang berbeda-beda. Sehingga akan muncul unsur yang tidak berubah-
ubah yaitu hakikat. Inilah yang dicarinya dalam metode variasi eidetis.
h. Eksistensialisme
Kata eksistensialisme berasal dari eks= ke luar, dan sistensi atau sisto= berdiri,
menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada
dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh akunya. Karena manusia selalu terlihat di
sekelilingnya, sekaligus sebagai miliknya. Upaya untuk menjadi miliknya itu manusia harus
berbuat menjadikan merencanakan, yang berdasar pada pengalaman yang konkret.
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar
pada eksistensinya. Artinya, bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
18[1]Filsafat pada mulanya mempunyai makna yang sangat umum yaitu upaya untuk mencari
keutamaan mental. The Liang Gie Suatu Konsepsi, kearah Penerbitan Bidang Filsafat, Karya
Kencana, Yogyakarta, 1977, hal.6
19[2] Seorang Filosof Yunani Kuno sesudah Sokrates, sekaligus sebagai muridnya.
20[3]Ahli pikir Romawi yang konsep filsafatnya mempengaruhi zaman Renaissance
untuk kalangan orang-orang terpelajar.
21[4] Rene Descartes (1596-1650) seorang sarjana dan ahli ilmu pasti terkemuka dan
sebagai bapak filosof modern.
22[5]Endang Daruni, et.al. filosof-filosof Dunia dalam Gambar. Karya Kencana
Yogyakarta, 1982, hlm. 67
23[6] The Liang Gie, op. cit. hal. 7
24[7] Prof. Dr.H Suhar, Filsafat Umum, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), hlm: 31
25[8] Drs. Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008),
hlm. 74-81.
26[9] Harry Hamersa, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1981),
hlm. 14.
27[10] Nasroen, Falsafat dan Cara Berfalsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1967, hlm. 39.
28[11]Poedjawijatna, Pembimbing ke Alam Filsafat, PT Pembangunan, Jakarta, 1966,
hlm. 80.
29[12] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007).
Hlm, 65-83.
30[13] Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1975), hlm. 26
31[14] Op. cit, hlm. 128.
32[15]Samuel Smith, Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang Pendidikan,
Bumi Aksara, Jakarta, 1986, hlm. 86
33[16] Hasbullah Bakry, op. cit, hlm. 9
34[17] Brouwer, et. Al, Sejarah Filsafat Modern dan Sezamannya (Bandung: Alumni,
1986), hlm. 2.