Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN KASUS

Anemia Aplastik dengan DM Hiperglikemia

Oleh:
Latifatu Choirunisa
132011101013

Pembimbing:
dr. Arief Suseno, Sp.PD

LAB/ KSM ILMU PENYAKIT DALAM RSD dr. SOEBANDI


FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JEMBER
2018
LAPORAN KASUS

Anemia Aplastik dengan DM Hiperglikemia

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Madya


KSM Ilmu Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember

Oleh:
Latifatu Choirunisa
132011101013

Pembimbing:
dr. Arief Suseno, Sp.PD

LAB/ KSM ILMU PENYAKIT DALAM RSD dr. SOEBANDI


FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JEMBER
2018
BAB 1. PENDAHULUAN

Anemia aplastik didefinisikan sebagai pansitopenia akibat kegagalan sumsum


tulang dalam menghasilkan ketiga tipe sel darah yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah
putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Kegagalan sumsum tulang ditandai dengan
hipoplasia sumsum tulang. Aplasia yang hanya mengenaisistem eritropoetik disebut
eritroblastopenia (anemia hipoplastik); yang hanyamengenai sistem granulopoetik saja
disebut agranulositosis (penyakit Schultz)sedangkan yang hanya mengenai sistem
trombopoetik disebut amegakariositiktrombositopenik purpura (ATP), anemia aplastik
mengenai ketiga sistemini.
Angka insiden anemia aplastik ini berkisar antara antara 2 sampai 6 kasusper 1
juta penduduk per tahun dengan variasi geografis. Penelitian di Perancismenemukan angka
insiden sebesar 1,5 kasus per 1 juta penduduk per tahun. DiCina, insiden dilaporkan 0,74
kasus per 100.000 penduduk per tahun dan diBangkok 3,7 kasus per 1 juta penduduk per
tahun. Ternyata penyakit ini lebihbanyak ditemukan di belahan Timur daripada di belahan
Barat. Pemeriksaan penunjang pada anemia aplastik berupa pemeriksaan darah
rutin,pemeriksaan hapusan darah tepi (HDT) dan pemeriksaan Bone Marrow Aspiration
(BMA).
Terapi anemia aplastik dapat dibagi menjadi terapi definitif dan terapi suportif.
Terapi suportif berupa transfusi sesuai dengan sel hemopoetik yang dibutuhkan dan
pencegahan infeksi. Terapi definitif secara umum terdiri dari transplantasi sumsum tulang
dan terapi imunosupresif. Selain itu, perlu terapi kausal bila penyebabnya diketahui.
Transplantasi sumsum tulang diindikasikan pada usia kurang dari 40 tahun dan
medikamentosa imunosupresan diberikan pada usia lebih dari 40 tahun. Steroid merupakan
obat anti inflamasi dan imunosupresan yang sering diberikan. Steroid juga memiliki
berbagai efek samping metabolik umum termasuk hipertensi, osteoporosis, dan diabetes.
Steroid menginduksi diabetes mellitus telah diakui sebagai komplikasi penggunaan steroid
selama lebih dari 60 tahun.
BAB 2. LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


 Nama : Tn. W
 Umur : 54 tahun
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Alamat : Krajan C Wonorejo 002/007, Kencong, Jember
 Status : Menikah
 Pendidikan : SMK
 Pekerjaan : Wiraswasta
 Suku : Jawa
 Agama : Islam
 Pembayaran : BPJS Non PBI
 No. RM : 213115
 Tanggal MRS : 28Juni 2018
 Pemeriksaan : 3 Juli2018 (H6MRS)
 Tanggal KRS : 5 Juli 2018

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien pada tanggal 3
Juli2018 di Ruang Rawat Inap Anthurium RSUD dr. Soebandi

2.2.1 Keluhan Utama


Demam

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh demam sejak 2 hari sebelum MRS. Demam
dirasakan secara mendadak dan sepanjang hari. Sejak bulan Maret 2018,
pasien sering merasakan demam sepanjang hari, hilang timbul, dan demam
terjadi tidak lebih dari 3 hari. Saat demam, pasien sempat minum obat
penurun demam yang dibeli di apotek terdekat. Pasien juga mengeluh 4 bulan
terakhir sering merasa lemah dan mudah lelah, meskipun sudah istirahat
dengan cukup dan tidak melakukan aktivitas berat. Pasien juga mengeluh
pusing, namun tidak disertai mual, muntah, maupun nyeri perut. Pasien juga
sempat mengalami keluar darah merah segar dari hidung dan sering pada
bulan April-Mei 2018, namun sekarang sudah tidak ada keluhan tersebut.
Pasien menyangkal memiliki riwayat tekanan darah tinggi ataupun mengalami
trauma pada hidung sebelumnya. Selain itu, pasien juga sempat tiba-tiba
mengalami lebam-lebam pada keempat anggota geraknya, tanpa adanya
trauma sebelumnya. Satu minggu terakhir, pasien BAB kadang disertai bercak
darah warna merah segar ataupun kehitaman. Dalam sehari pasien BAB tidak
lebih dari 3x dan tidak encer. Pasien menyangkal saat BAB mengejan dan
terdapat benjolan pada anus. Pasien menyangkal sering minum jamu-jamuan
maupun obat anti nyeri. Pada H1SMRS pasien sempat BAK kemerahan 1 kali.
Pasien menyangkal sedang mengonsumsi obat, nyeri pinggang, maupun
riwayat penyakit saluran kencing sebelumnya. Istri pasien juga mengatakan
jika sejak awal sakit, pasien tampak pucat.Pasien juga mengeluh dadanya
sering berdebar tanpa sebab. Keluhan nyeri dada, batuk, maupun sesak
sebelumnya disangkal. Nafsu makan pasien normal seperti sebelum
munculnya keluhan-keluhan dan penurunan berat badan disangkal.
Dikarenakan adanya keluhan tersebut, pasien memeriksakan diri di RS
Lumajang pada bulan April 2018 dan didapatkan kekurangan sel darah atau
pansitopenia, sehingga pasien dilakukan transfusi darah sebanyak 3 kali,
masing-masing masuk 4 kantong. Kemudian pasien dirujuk ke RSD dr.
Soebandi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Pada awal bulan Juni 2018, pasien sempat MRS di RSD dr. Soebandi
karena keluhan yang sama dan dilakukan transfusi darah sebanyak 4 kantong.
Saat itu pasien diperiksakan hapusan darah tepi (HDT) dan didapatkan kesan
pansitopenia dd supresi sutul ec infeksi virus akut atau infeksi berat, anemia
aplastik, leukemia, MDS, penyakit autoimun, serta disarankan untuk
dilakukan BMA (bone marrow aspiration).
Pasien menyangkal memiliki riwayat tekanan darah, kencing manis,
asma maupun penyakit kelainan darah sebelumnya. Pasien menyangkal jika
sebelumnya, pasien sering merasa lapar, sering kencing terutama malam hari,
maupun rasa haus yang berlebihan.Sebelum MRS, pasien pernah
memeriksakan gula darah dan tidak dinyatakan gula darah tinggi dikarenakan
gula darah <200. Pasien tidak memiliki keluhan kesemutan maupun
penglihatan kabur. Sebelum sakit, pasien dapat menghabiskan 1 pack rokok
dalam sehari. Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak remaja, namun
menyangkal memiliki kebiasaan minum minuman keras.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, diabetes melitus, asma,
maupun kelainan darah sebelumnya.

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga dengan penyakit yang sama.

2.2.5 Riwayat Pengobatan


Obat penurun demam
MRS di RS Lumajang untuk transfusi darah

2.2.6 Riwayat Sosial Lingkungan Ekonomi


Pasien tinggal di Dusun Krajan C, Desa Wonorejo, Kecamatan
Kencong, Jember. Pasien tinggal pada sebuah rumah yang luasnya 30 meter
persegi, berdinding tembok dan berlantai keramik yang terdiri dari 2 kamar
tidur dengan ventilasi, 1 kamar mandi, dapur, dan ruang tamu. Pasien tinggal
bersama istri dan seorang anaknya. Pasien bekerja sebagai wiraswasta bengkel
dengan penghasilan± Rp. 3.000.000/bulan. Kesan sosio lingkungan ekonomi:
menengah

2.2.7 Riwayat Gizi


Sehari pasien makan 3 kali. Rata-rata menu setiap harinya adalah nasi,
kadang-kadang sayur, ikan, tempe, tahu, telur, dan buah-buahan.

BB: 55 kg
TB: 165 cm
BMI = Berat Badan (Kg) = 55
Tinggi Badan(m)2 (1,65)2
BMI = 20,20kg/m2 (Berat badan normal)
Kebutuhan kalori/hari DM: 55 (kg) x 30 kalori = 1650 kalori/hari
Kesan : Riwayat gizi cukup baik dengan berat badan normal.

2.2.8 Anamnesis Sistem


 Sistem serebrospinal
Pusing (+),penurunan kesadaran (-),kejang (-), demam (+)
 Sistem kardiovaskular
Berdebar-debar (+)
 Sistem pernapasan
Sesak (-), batuk (-)
 Sistem gastrointestinal
Mual (-), muntah (-), diare (-), nafsu makan menurun (-), nyeri perut ulu hati
(-), BAB disertai bercak darah merah segar maupun kehitaman(+)
 Sistem urogenital
BAK lancar kemerahanmerah (+) 1x danspontan.
 Sistem integumentum
Pucat (+), lebam (+)
 Sistem muskuloskeletal
(-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : cukup
Kesadaran : compos mentis, GCS 4-5-6
Vital sign : TD : 110/70 mmHg
Nadi : 119 x/menit, regular, kuat angkat
RR : 20 x/menit
Suhu Aksila : 38,6o C
2.3.2 Pemeriksaan Khusus
a. Kepala
- Bentuk : normal
- Rambut : hitam, lurus, pendek
- Mata : konjungtiva anemis : + / +
sklera ikterus : -/-
edema palpebra : -/-
refleks cahaya : +/+
- Hidung : sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (-)
- Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
- Mulut : sianosis (-), bau (-)
b. Leher
- KGB : tidak ada pembesaran
- Tiroid : tidak membesar
- JVP : tidak terjadi peningkatan

c. Dada
1. Jantung:
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCL Sinistra
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, ekstrasistole (-), gallop (-), murmur
(-)
2. Paru-paru
Ventral Dorsal
Inspeksi: Inspeksi:
 Simetris  Simetris
 Retraksi -/-  Retraksi -/-
 Ketertinggalan gerak -/-  Ketertinggalan gerak -/-

Palpasi: P: Palpasi:
 Fremitus raba  Fremitus raba
N N N N
N N N N
N N N N
Perkusi : Perkusi :
S S S S
S S S S
S S S S
S S S S S S S S
S S S S
Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
DS DS
V V V V
V V V V
V V V V
V V V V V V V V
V V V V

Rhonki Rhonki
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -

Wheezing Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -

d. Perut
- Inspeksi : Flat
- Auskultasi: Bising usus (+) normal
- Palpasi :Soepel, nyeri tekan (-)
- Perkusi : Timpani

e. Ekstremitas
- Superior : akral hangat +/+, edema-/-, ptekiae -/-, purpura +/+, ekimosis +/+
- Inferior : akral hangat +/+, edema -/-, ptekiae -/-, purpura -/-, ekimosis -/-
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium
HLT, RFT, LFT, GDA pada tanggal 28-6-2018

Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal

HEMATOLOGI
Hematologi Lengkap (HLT)
Hemoglobin 7.6 (menurun) 13.5-17.5
Lekosit 0.5 (menurun) 4.5.0-11.0
Hematokrit 22.1 (menurun) 41-53
Trombosit 8 (menurun) 150-450
FAAL HATI
SGOT 22 10-35
SGPT 31 9-43

FAAL GINJAL
Kreatinin Serum 1.0 0.6-1.3
BUN 17 6-20

GULA DARAH
Glukosa sewaktu 265 (meningkat) <200

Kesan dari pemeriksaan Laboratorium :


Anemia, Leukopenia, Trombositopenia, Glukosa darah sewaktu meningkat.

2.5 Planning
2.5.1 Planning Diagnostik
 Laboratorium (Hematologi Lengkap, GDA, ferritin, SI, TIBC)
 BMA

2.5.2 Planning Monitoring


 Keadaan umum
 Vital Sign

2.5.3 Planning Terapi


- Konsul Sp.PK untuk rencana BMA
- Inf. PZ 14 tpm
- Inf. Ceftriaxone 2x1g
- Inj. Antrain 3x1amp
- Inj. Radin 2x1amp
- Inj. Metilprednisolon 1x62,5mg
- Act 3x8 unit
- Deferoxamine 1000mg/hari
- Transfusi TC 3 kolf/hari
- Transfusi PRC 1 kolf/hari

2.5.4 Planning Edukasi


 Hindari sumber infeksi, seperti menghindari kontak dengan orang sakit dan
menjaga kebersihan diri maupun lingkungan
 Mengatur pola hidup sehat dengan pantang gula; batasi makanan yang
tinggi asam urat seperti jerohan, sarden, tape, kacang; batasi makanan yang
tinggi lemak seperti telur, keju, susu;berhenti merokok; latihan fisik
minimal 3x/minggu minimal 30 menit; tidur cukup 6-7 jam/hari untuk
meredakan stres; rutin memeriksa gula darah setiap 3, 6, atau 12 bulan dan
minum obat anti diabetes.

2.6 Prognosis

Ad Vitam : Dubia ad malam


Ad Functionam : Dubia ad malam
Ad Sanationam : Dubia ad malam
Follow Up

3Juli2018
H6MRS
S)
Pasien mengeluh lemah dan pusing. Pasien masih BAK kecoklatan. BAB disertai
darah merah segar (-)
O)
KU :lemah TD : 100/60 RR : 20x/menit
Kes :CM HR : 88x/menit Tax : 36.7°C
K/L : a/i/c/d +/-/-/-
Tho : Cor/ SIS2 tunggal e/g/m -/-/-
Pulmo/ Sim +/+ Ves +/+ Rh -/- Wh -/-
Abd : flat, BU + normal, soepel, timpani
Ext : akral hangat di keempat ekstremitas (+), oedemakeempat ekstermitas(-), ptekiae
(-), purpura (-), ekimosis (+) ekstremitas atas

Hasil Lab:
Hb 8.7 (menurun)
Leu 0.3 (menurun)
Hct 25.4 (menurun)
Tro 11 (menurun)
GDA 160

A) Pansitopenia + DM hiperglikemia
P)Konsul Sp.PK untuk rencana BMA
- Inf. PZ 14 tpm
- Inf. Ceftriaxone 2x1g (H6)
- Inj. Antrain 3x1amp
- Inj. Radin 2x1amp
- Inj. Metilprednisolon 1x62,5mg
- P/O colistin 2x1
- P/O cotrimoksazole 2x1
- P/O ketokonazole 1x200mg
- P/O mecobalamin 3x1
- P/O Glimepirid 4 mg 1-0-0
- P/O Acarbose 2x50mg
- Transfusi TC 3 kolf/hari jika trombosit ≤20
- Transfusi PRC 1 kolf/hari

4 Juli 2018
H7MRS
S)
Pasien mengeluh dada berdebar. BAK dan BAB normal.
O)
KU : lemah TD : 120/70 RR : 20x/menit
Kes :CM HR : 96x/menit Tax : 36.6°C
K/L : a/i/c/d +/-/-/-
Tho : Cor/ SIS2 tunggal e/g/m -/-/-
Pulmo/ Sim +/+ Ves +/+ Rh -/- Wh -/-
Abd : flat, BU + normal, soepel, timpani
Ext : akral hangat di keempat ekstremitas (+), oedemakeempat ekstermitas (-),
ptekiae (-), purpura (-), ekimosis (+) ekstremitas atas

Hasil Lab:
Hb 8.6 (menurun)
Leu 0.3 (menurun)
Hct 25.7 (menurun)
Tro 6 (menurun)
GDA 164

A) Pansitopenia + DM hiperglikemia
P) Menunggu hasil BMA
- Inf. PZ 14 tpm
- Inf. Ceftriaxone 2x1g (H7)
- Inj. Antrain 3x1amp
- Inj. Radin 2x1amp
- Inj. Metilprednisolon 1x62,5mg
- P/O colistin 2x1
- P/O cotrimoksazole 2x1
- P/O ketokonazole 1x200mg
- P/O mecobalamin 3x1
- P/O Glimepirid 4 mg 1-0-0
- P/O Acarbose 2x50mg
- Transfusi TC 3 kolf/hari jika trombosit ≤20
- Transfusi PRC 1 kolf/hari

5Juli 2018
H8MRS
S)
Pasien mengeluh pusing berputar
O)
KU : lemah TD : 120/60 RR : 20x/menit
Kes :CM HR : 80x/menit Tax : 36.9°C
K/L : a/i/c/d +/-/-/-
Tho : Cor/ SIS2 tunggal e/g/m -/-/-
Pulmo/ Sim +/+ Ves +/+ Rh -/- Wh -/-
Abd : flat, BU + normal, soepel, timpani
Ext : akral hangat di keempat ekstremitas (+), oedemakeempat ekstermitas (-),
ptekiae (-), purpura (-), ekimosis (+) ekstremitas atas

Hasil Lab:
Hb 8.2 (menurun)
Leu 0.6 (menurun)
Hct 24.7 (menurun)
Tro 7 (menurun)
GDA 119

A) Pansitopenia + DM hiperglikemia
P)
- Inf. PZ 14 tpm
- Inf. Ceftriaxone 2x1g (H8)
- Inj. Antrain 3x1amp
- Inj. Radin 2x1amp
- Inj. Metilprednisolon 1x62,5mg
- P/O colistin 2x1
- P/O cotrimoksazole 2x1
- P/O ketokonazole 1x200mg
- P/O mecobalamin 3x1
- P/O Glimepirid 4 mg 1-0-0
- P/O Acarbose 2x50mg
- Transfusi TC 3 kolf/hari jika trombosit ≤20
- Transfusi PRC 1 kolf/hari
- Pasien KRS dengan terapi cefixime 2x200mg, MP 3x8mg, sucralfat syr 3x C
I, glimepirid 4 mg 1-0-0, acarbose 2x50mg dan kontrol satu minggu lagi (11
Juli 2018) dengan mengambil hasil BMA

Hasil HDT (6-6-2018)


Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal

HEMATOLOGI
Hematologi Lengkap (HLT)
Hemoglobin 5.6 (menurun) 13.5-17.5
Lekosit 0.7 (menurun) 4.5.0-11.0
Hitung jenis -/-/-/23/52/25 Eos/bas/stab/seg/lim/mono
0-4/0-1/3-5/54-62/25-33/2-6
Hematokrit 17.0 (menurun) 41-53
Trombosit 20 (menurun) 150-450
Eritrosit 2.14 (menurun) 4.5-5.9
MCV 79.4 (menurun) 80-100
MCH 26.2 26-34
MCHC 32.9 31-37
Retikulosit 0.71 corected 0.8-1.5
Evaluasi HDT: E: normokromik normositik dengan retikulositopenia,
polikromatofilik sel +, normoblast –
L: kesan jumlah sangat menurun, dominasi limfosit matur,
atypical limfosit +, sel muda -, blast -
T: kesan jumlah menurun, giant platelet –
Kesan: pansitopenia
DD: - Supresi sutul ec infeksi virus akut/ infeksi berat
- Anemia aplastik
- Alekemic leukemia
- Myelodisplastic sindrom
- Autoimmun disease
- Sindrom splenomegali
Saran: BMA

BMA (4-7-2018)
Kesan: anemia aplastikditandai dengan hipoplasia sumsum tulang dengan
penggantian oleh jaringan lemak

Textbook Pasien
Anemia Aplastik
Anamnesis
 Demam kronik atau berulang +
 Pucat +
+
 Pusing atau nyeri kepala
+
 Dada berdebar +
 Mudah lelah +
 Sesak nafas -
 Epistaksis +
+
 Hematemesis/ melena
-
 Perdarahan subkonjungtiva
 Ptekiae, purpura, ekimosis +

Pemeriksaan fisik
+
 Konjungtiva anemis
+
 Hepatomegali (-) +
 Splenomegali (-)

Pemeriksaan penunjang
 Hb < 10 g/dL +
+
 Leukosit <3,5x103/mm3
+
 Neutrofil <1,5x103/mm3
+
 Retikulosit <1%
+
 Sumsum tulang dengan gambaran sel
sangat kuran, banyak jaringan
penyokong dan jaringan lemak

Diabetes Melitus
Anamnesis
 Poliuria -
 Polidipsia -
 Polifagia -
 BB turun -
+
 Lemah
-
 Kesemutan -
 Penglihatan kabur

Pemeriksaan penunjang
+
 GDS >200mg/dL
-
 GDP 126 mg/dL
-
 TTGO 200 mg/dL
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anemia Aplastik


3.1.1 Definisi
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan
pansitopenia pada darah tepi yang diakibatkan oleh kelainan primer pada sumsum
tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi, atau
pendesakan sumsum tulang. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan
dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih dan keping darah.
Sistem yang mengalami aplasia meliputi sistem eritropoetik, granulopoetik
dantrombopoetik. Sebenarnya sistem limfopoetik dan RES juga mengalami aplasia,
tetapirelatif lebih ringan dibandingkan dengan ketiga sistem hemopoetik lainnya.8

3.1.2 Epidemiologi
Anemia aplastik termasuk penyakit yang jarang ditemukan. Prevalensi
DiAmerika Serikat memiliki angka kejadian 2:1.000.000 penduduk. Anemia
aplastiklebih sering terjadi di Asia, angka kejadian di Bangkok adalah
4:1.000.000penduduk, angka kejadian di Thailand adalah 6:1.000.000 penduduk dan
angkakejadian di Jepang 14:1.000.000 penduduk. Angka yang lebih tinggi di
Asiaberkaitan dengan lebih banyaknya paparan terhadap bahan kimia yang terjadi.
Jenis kelamin laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan wanita.1,6

3.1.3 Anatomi dan Fisiologi


Gambar 3.1 Hematopoiesis

Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian. Bahan interseluler
adalah cairan yang disebut plasma dan di dalamnya terdapat unsur-unsur padat, yaitu
sel darah. Volume darah secara keseluruhan kira-kira merupakan 1/12 berat badan
atau kira-kira 5 liter. Sekitar 55 persennya adalah cairan, sedangkan 45% sisanya
terdiri atas sel darah. Angka ini dinyatakan dalam nilai hematokrit atau volume sel
darah yang dipadatkan yang berkisar anatara 40-47. Diwaktu sehat volume darah
adalah konstan dan sampai batas tertentu diatur oleh tekanan osmotik dalam
pembuluh darah dan dalam jaringan.3
Kandungan yang ada di dalam darah: 3
 Air : 91%
 Protein : 3% (albumin, globulin, protombin, dan fibrinigen)
 Mineral : 0,9% (natrium klorida, natrium bikarbonat, garam fosfat,
magnesium, kalsium dan zat besi.
 Bahan Organik : 0.1% (glukosa, lemakasam urat, keratinin, kolesterol, dan
asam amino)
Fungsi Darah: 3
a. Sebagai alat pengangkut, yaitu :
 Mengambil oksigen / zat pembakaran dari paru-paru untuk diedarkan
keseluruh jaringan tubuh.
 Mengangkut karbon dioksida dari jaringan untuk dikeluarkan melalui
paru-paru.
 Mengambil zat-zat makanan dari usus halus untuk diedarkan dan
dibagikan keseluruh jaringan / alat tubuh.
 Mengangkat / mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh untuk
dikeluarkan melalui ginjal dan kulit.
 Mengedarkan hormon yaitu hormon untuk membantu proses fisiologis.
b. Sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan penyakit dan racun dalam tubuh
dengan perantaraan leukosit dan antibodi / zat-zat anti racun.
c. Menyebarkan panas keseluruh tubuh.
d. Menjaga kesetimbangan asam basa jaringan tubuh untuk menghindari
kerusakan.
Karakteristik Darah: 3
 Volume darah : 7% - 10% BB (5 Lt pada dewasa normal)
 Komponen darah : Eritrosit, Leukosit, trombosit →40% - 45% volume darah;
tersuspensi dalam plasma darah
 PH darah : 7,37 – 7,45
 Temp : 38°C
 Viskositas lebih kental dari air dengan BJ 1,041 – 1,067
Bagian-Bagian Darah:3
1. Sel-Sel Darah
a. Eritrosit (Sel darah merah)
Anatomi : Merupakan cakram bikonkaf yang tidak berinti, ukurannya 0.007
mm, tidak bergerak, banyaknya kira-kira 4,5-5 juta/mm³, warnanya kuning kemerah-
merahan karena didalamnya mengandung hemoglobin (hemoglobin adalah protein
pigmen yang meberi warnamerah pada darah. Hemoglobin terdiri atas protein yang di
sebut globin dan pigmen non-protein yang disebut heme.), setiap eritrosit
mengandung sekitar 300 juta molekul hemoglobin, sifatnya kenyal sehingga dapat
berubah bentuk sesuai dengan pembuluh darah yang dilalui.
Sel darah merah memerlukan protein karena strukturnya terbentuk dari asam
amino. Mereka juga memerlukan zat besi wanita memerlukan lebih banyak zat besi
karena beberapa diantaranya dibuang sewaktu menstruasi. Sewaktu hsmil diperlukan
zat besi dalam jumlah yang lebih banyak lagi untuk perkembangan janin dan
pembuatan susu.
Sel darah merah dibentuk didalam sumsum tulang, terutama dari tulang
pendek, pipih, dan tak beraturan dari jaringan konselus pada ujung tulang pipa dan
dari sumsum dalam batang iga-iga dan dari sternum.
Perkembangan sel darah dalam sumsum tulang melalui berbagai tahap mula-
mula besar dan berisi nukleus tetapi tidak ada hemoglobin; kemudian dimuati
hemoglobin dan akhirnya kehilangan nukleusnya dan baru diedarkan ke dalam
sirkulasi darah.
Rata-rata panjang hidup sel darah merah kira-kira 115 hari. Sel menjadi usang
dan dihancurkan dalam sistema retikulo-endotelial, terutama dalam limpa dan hati.
Globin dan hemoglobin dipecah menjadi asam amino untuk digunakan sebagai
protein dalam jaringan-jaringan dan zat besi dalam hem dari hemoglobin dikeluarkan
untuk digunakan dalam pembentukan sel darah merah lagi. Sisa hem dari hemoglobin
diubah lagi menjadi bilirubin (pigmen kuning) dan biliverdin yaitu yang berwarna
kehijau-hijauan yang dapat dilihat pada perubahan warna hemoglobin yang rusak
pada luka memar.
Bila terjadi perdarahan maka sel merah dengan hemoglobinnya sebagai
pembawa oksigen, hilang. Pada perdarahan sedang, sel-sel itu diganti dalam waktu
beberapa minggu berikutnya. Tetapi bila kadar hemoglobin turun sampai 40% atau
dibawahnya, maka diperlukan tranfusi darah.
Fungsi : Mengikat oksigen dari paru-paru untuk diedarkan keseluruh
jaringan tubuh dan mengikat karbon dioksida dari jaringan tubuh untuk dikeluarkan
melalui paru-paru / melalui jalan pernafasan.
Produksi Eritrosit (Eritropoesis):
 Terjadi di sumsum tulang dan memerlukan besi, Vit B12, asam folat,
piridoksin (B6)
 Di pengaruhi oleh O₂ dalam jaringan
 Masa hidup : 120 hari
 Eritrosit tua dihancurkan di sistem retikuloendotelial (hati dan limpa)
 Pemecahan Hb menghasilkan bilirubin dan besi. Besi berkaitan dengan
protein (transferin) dan diolah kembali menjadi Hb baru.

a. Leukosit (Sel darah putih)


Anatomi : Berbentuk bening, tidak bewarna, memiliki inti, lebih besar dari
sel drah merah (eritrosit), dapat berubah dan bergerak dengan perantaraan kaki palsu
(psedoupodia),dalam keadaan normalnya terkandung 4x109 hingga 11x109 sel darah
putih di dalam seliter darah manusia dewasa yang sehat, sekitar 7000-25000 sel per
tetes. Dalam setiap milimeter kubil darah terdapat 6000 sampai 10000 (rata-rata
8000) sel darah putih.
Leukosit selain berada di dalam pembuluh darah juga terdapat di seluruh
jaringan tubuh manusia. Pada kebanyakan penyakit di sebabkan oleh masuknya
kuman / infeksi maka jumlah leukosit yang ada di dalam darah akan lebih banyak dari
biasanya. Hal ini disebabkan sel leukosit yang biasanya tinggal di dalam kelenjar
limfe, sekarang beredar dalam darah untuk mempertahankan tubuh dari serangan
penyakit tersebut.
Rentang kehidupan leukosit setelah di produksi di sumsum tulang, leukosit
bertahan kurang lebih satu hari di dalam sirkulasi sebelum masuk ke jaringan. Sel ini
tetap dalam jaringan selama beberapa hari, beberapa minggu, atau beberapa bulan,
tergantung jenis leukositnya.
Fungsi : sebagai pertahan tubuh yaitu membunuh dan memakan bibit
penyakit / bakteri yang masuk kedalam jaringan RES (sistem retikuloendotel), tempat
pembikannya didalam limpa dan kelenjar limfe, sebagai pengangkut yaitu
mengangkut membawa zat lemak dari dinding usus melalui limpa terus ke pembuluh
darah.
Macam-Macam Sel Darah Putih (Leukosit), meliputi :

Gambar 3.2 Macam-macam Leukosit

b. Trombosit (keping darah)


Anatomi : trombosit merupakan benda-benda kecil yang mati yang bentuk
dan ukurannya bermacam-macam, ada yang bulat dan lonjong, warnanya putih,
normal pada orang dewasa 200.000-300.000/mm³. Bagian inti yang merupakan
fragmen sel tanpa nukleus yang berasal dari sumsum tukang. Ukuran trombosit
mencapai setengah ukuran sel darah merah. Sitoplasmanya terbungkus suatu
membran plasma dan mengandung berbagai jenis granula yang berhubungan dengan
proses koagulasi darah.
Trombosit lebih dari 300.000 disebut trombositosis. Trombosit yang kurang
dari 200.000 disebut trombositopenia. Trombosit memiliki masa hidup dalam drah
antara 5-9 hari. Trombosit yang tua atau mati di ambil dari sistem perdaran darah,
terutama oleh makrofag jaringan. Lebih dari separuh trombosit diambil oleh
makrofag dalam limpa, pada waktu darah melewati organ tersebut.
Di dalam plasma darah terdapat suatu zat yang turut membantu terjadinya
peristiwa pembekuan darah yaitu Ca2+ dan fibrinogen. Fibrinogen mulai bekerja
apabila tubuh mendapat luka. Ketika kita luka maka darah akan keluar, trombosit
pecah dan akan mengeluarkan zat yang di namakan trombokinase. Trombokinase ini
akan bertemu dengan protrombin dengan pertolongan Ca2+ akan menjadi trombin.
Trombin akan bertemu dengan fibrin yang merupakan benang-benang halus, bentuk
jaringan yang tidak teratur letaknya, yang akan menahan sel darah, dengan demikian
terjadilah pembekuan. Protrombin ini dibuat di dalam hati dan untuk membuatnya
diperlukan vitamin K, dengan demikian vitamin K penting untuk pembekuan darah.
Fungsi : memegang peranan penting dalam pembekuan darah (hemostatis).
Jika banyaknya kurang dari normal, maka kalau ada luka darah tidak lekas membeku
sehingga timbul perdarahan yang terus-menerus.

2. Plasma Darah
Anatomi : merupakan komponen terbesar dalam darah dan merupakan bagian
darah yang cair, tersusun dari air 91%, protein plasma darah 7%, asam amino, lemak,
glukosa, urea, garam sebanyak 0,9%, dan hormon, antibodi sebanyak 0,1% .
Protein Plasma : mencapai 7% dari plasma dan merupakan satu-satunya unsur
pokok plasma yang tidak dapat menembus membran kapiler untuk mencapai sel. Ada
3 jenis protein plasma yang utama :
a. Albumin adalah protein yang terbanyak, sekitar 55%-60% tetapi ukurannya
paling kecil. Albumin di sintesis di dalam hati dan bertanggung jawab untuk
tekanan osmotik koloid darah. Mempertahankan tekanan osmotik agar normal
(25 mmHg).
b. Globulin membentuk sekitar 30% protein plasma. Alfa dan beta globulin
disintesis di hati, dengan fungsi utama sebagai molekul pembawa lipid,
beberapa hormone, berbagai subtrat, dan zat penting lainnya. Gamma globulin
(immunoglobulin) fungsi utama berperan sebagai antibody.
c. Fibrinogen membentuk sekitar 4% protein plasma. Disintesis di hati dan
merupakan komponen esensial dalam mekanisme pembekuan darah.
Fungsi : mengangkut sari makanan ke sel-sel serta membawa sisa
pembakaran dari sel ke tempat pembuangan selain itu plasma darah juga
menghasilkan zat kekebalan tubuh terhadap penyakit atau zat antibodi.3

3.1.4 Etiologi
Sekitar 50-75% etiologi anemia aplastik merupakan idiopatik. Sekitar
5%etiologi berhubungan dengan infeksi virus terutama hepatitis. Sekitar 10-
15%berhubungan dengan obat-obatan.Etiologi dari anemia aplastik dapat dibagi
menjadi:
a. Faktor kongenital
Sindrom Fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti
mikrosefali,strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya.
b. Faktor didapat
o Bahan kimia : benzene, insektisida, senyawa As, Au, Pb
o Obat : kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsan), piribenzamin
(antihistamin),santonin-kalomel, obat sitostatika (myleran,
methotrexate, TEM, vincristine).
o Radiasi : sinar rontgen, radioaktif
o Faktor individu : alergi terhadap obat, bahan kimia dan lain-lain
o Infeksi : tuberkulosis milier, hepatitis dan sebagainya
o Idiopatik merupakan penyebab yang paling sering5

3.1.5 Patofisiologi
Ada 3 hal yang menjadi patofisiologi pada anemia aplastik:
1. Kerusakan pada sel induk pluripoten
Gangguan pada sel induk pluripoten merupakan penyebab utama terjadinya
anemia aplastik. Sel induk pluripoten yang mengalami gangguan, gagal
membentuk atau berkembang menjadi sel darah yang baru. Umumnya hal ini
disebabkan kurangnya jumlah atau menurunnya fungsi sel induk pluripoten.
Penanganan yang tepat untuk individu anemia aplastik yang disebabkan oleh
gangguan pada sel induk adalah transplantasi sumsum tulang.
2. Kerusakan pada microenvironment
Gangguan pada mikrovaskuler, faktor humoral (misal eritropoetin) atau
bahanpenghambat pertumbuhan sel mengakibatkan gagalnya jaringan
sumsum tulangberkembang. Gangguan pada microenvironment
menyebabkan hilangnya kemampuansel tersebut menjadi sel-sel darah.
Selain itu, pada beberapa penderita anemia aplastikditemukan hambatan
pertumbuhan sel. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanyalimfosit T yang
menghambat pertumbuhan sel-sel sumsum tulang.
3. Proses autoimun
Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik dibuktikan oleh
percobaanin vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat
pembentukan kolonihemopoetik alogenik dan autologous. Setelah itu,
diketahui bahwa limfosit Tsitotoksik memerantarai destruksi sel-sel asal
hemopoetik pada kelainan ini. Sel-sel Tefektor tampak lebih jelas di sumsum
tulang dibandingkan dengan darah tepi pasienanemia aplastik. Sel-sel
tersebut menghasilkan IFN-γ dan TNF-α yang merupakaninhibitor langsung
hemopoesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel-sel CD34+.Klon sel-sel
T immortal yang positif CD4 dan CD8 dari pasien anemia aplastik
jugamensekresi sitokin Th1 yang bersifat toksik langsung ke sel CD34
positif autologous.4

3.1.6 Gambaran Klinis


Manifestasi klinis anemia aplastik timbul akibat adanya anemia, leukopenia
dan trombositopenia. Gejala ini dapat berupa.
a. Sindrom anemia : gejala anemia bervariasi mulai dari ringan sampai berat.
Gejala anemia ringan dapat berupa pucat, sakit kepala, palpitasi dan mudah
lelah. Pada anemia yang sangat berat dapat terjadi dispneu, edema pretibial
dan gejala lain yang disebabkan kegagalan jantung.
b. Trombositopenia mengakibatkan gejala perdarahan pada mukosa dan gusi,
epistaksis, perdarahan subkonjungtiva, hematemesis/melena atau timbulnya
petekie, ekimosis dan purpura pada kulit.
c. Granulositopenia sangat memudahkan timbulnya infeksi sekunder dan
berulang, hal ini biasanya ditandai dengan demam yang kronik atau tanda
infeksi yang lain sesuai agen penyebabnya.
d. Tidak terjadi pembesaran organ (hepatosplenomegali, limfadenopati)2,5

3.1.7 Diagnosis

Kriteria diagnosis anemia aplastik menurut International Agranulocytosis


and Aplastic Anemia Study Group (IAASG) adalah:
1. Satu dari tiga sebagai berikut
o Hemoglobin kurang dari 10 g/dL atau hematokrit kurang dari 30%
o Trombosit kurang dari 50x103/mm3
o Leukosit kurang dari 3,5x103/mm3 atau netrofil kurang dari
1,5x10103/mm3
2. Retikulosit < 30x109/L (<1%)
3. Dengan gambaran sumsum tulang dari spesimen adekuat menunjukkan
gambaran sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan jaringan
lemak; aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik. Diantara
sel sumsum tulang yang sedikit ini banyak ditemukan limfosit, sel RES (sel
plasma,fibrosit, osteoklas, sel endotel).3

(a) (b)
Gambar 3.3 (a) BMA normal (b) BMA anemia aplastik, tampak hiposelular dan dipenuhi sel
lemak

3.1.8 Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan anemia aplastik adalah terapi primer dan
terapisuportif. Terapi primer dapat berupa transplantasi sumsum tulang terutama
padapasien yang berusia muda (<40 th). Transplantasi sumsum tulang ini memiliki
angkakesembuhan yang tinggi yaitu sekitar 70% dengan efek jangka panjang yang
baikyaitu 67%. Jika transplantasi tidak dapat dilakukan karena adanya reaksi
penolakanmaka dapat diberikan terapi imunosupresif dengan antilimfosit globulin
(ALG) dansiklosporin dengan angka keberhasilan jangka panjang 36,6%. Terapi
suportif adalahpemberian transfusi seperti PRC, TC, maupun granulosit sesuai
dengan kebutuhan penderita.
Penatalaksanaan pada anemia aplastik adalah sebagai berikut:
1. Prednison
Prednison diberikan dengan dosis 2-5 mg/kgBB/hari peroral. Pengobatan
biasanyaberlangsung berbulan-bulan, bahkan sampai dapat bertahun-tahun.
Bila telahterdapat remisi, dosis obat diberikan separuhnya dan jumlah sel
darah diawasisetiap minggu. Bila kemudian terjadi relaps, dosis obat harus
diberikan penuhkembali. Remisi biasanya terjadi beberapa bulan setelah
pengobatan (denganoksimetolon 2-3 bulan), mula-mula terlihat perbaikan
pada sistem eritropoetik,kemudian sistem granulopoetik dan terakhir sistem
trombopoetik. Kadang-kadangremisi terlihat pada sistem granulopoetik
terlebih dahulu, disusul oleh sistemeritropoetik dan trombopoetik.
Pemeriksaan BMA sebulan sekali merupakanindikator terbaik untuk
menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial telahtercapai bahaya
perdarahan yang fatal masih ada, sehingga anak sebaiknyadipulangkan dari
rumah sakit setelah jumlah trombosit mencapai 50.000-100.000/mm3.
2. Transfusi darah
Hendaknya harus diketahui bahwa tidak ada manfaatnya mempertahankan
kadarhemoglobin yang tinggi, karena dengan transfusi darah yang
terlampau sering,akan timbul depresi terhadap sumsum tulang atau dapat
menyebabkan timbulnyareaksi hemolitik (reaksi transfusi), sehingga dalam
hal ini transfusi darah gagalkarena eritropoesit, leukosit dan trombosit akan
dihancurkan sebagai akibattimbulnya antibodi terhadap sel darah tersebut.
Dengan demikian transfusi darahhanya diberikan bila diperlukan.
Transfusi granulosit konsentrat diberikan pada sepsis berat kuman gram
negatif dengan netropenia berat yang tidak memberikan respon adekuat
terhadap antibiotik. PRC diberikan jika Hb <7 g/dL dengan target 9-10
g/dL dikarenakan ditakutkan ada penekanan eritropoiesis internal. Begitu
pula pada TC, diberikan pada trombosit <20k. Pemberian berulang dapat
menyebabkan efektivitas trombosit karena timbul antibodi antitrombosit.
3. Pengobatan terhadap infeksi sekunder
Untuk menghindarkan anak dari infeksi, sebaiknya anak diisolasi dalam
ruanganyang suci hama. Pemberian obat antibiotik hendaknya dipilih yang
tidakmenyebabkan depresi sumsum tulang. Kloramfenikol tidak boleh
diberikan.
Penanganan yang terbaik adalah dilakukan transplantasisumsum tulang
karena umur penderita masih muda dengan efek jangka panjang yangbaik, akan tetapi
hal ini tidak memungkinkan dilakukan karena kurangnya sarana danprasarana yang
ada. Pilihan terapi yang lain yaitu terapi imunosupresif. Terapiimunosupresif yang
memungkinkan untuk dilaksanakan adalah dengan pemberiankortikosteroid yang
dalam hal ini adalah prednison. Program terapi dengan prednisonini hanya dapat kita
lakukan apabila didapatkan kepastian diagnosa dari BMA. Terapiimunosupresif
dilakukan pada anak ini dengan alasan agar terjadi perbaikan padasumsum tulangnya.
Pemeriksaan ulang sumsum tulang dilakukan 1 bulan setelahterapi dilakukan utuk
mengetahui respon sumsum tulang terhadap obat. Selain itu,pemeriksaan ini juga
dapat menentukan prognosis dari penyakit anak.Terapi suportifyang diberikan adalah
transfusi sesuai kebutuhan, akan tetapi hal ini tidak akanbermanfaat bila tidak
dilakukan terapi primer. Pada pasien ini diberikan terapisuportif berupa transfusi
darah karena keadaan umum penderita baik dan dilanjutkandengan program
pemberian imunosupresif.1,7

3.1.9 Prognosis
Prognosis penyakit ini sukar diramalkan namun padaumumnya buruk,
karena seperti telah dikemukakanbaik etiologi maupun patofisiologinya sampai
sekarangbelum jelas. Sekitar dua pertiga pasien meninggalsekitar 6 bulan setelah
diagnosis ditegakkan, kurangdari 10-20 % sembuh tanpa transplantasi sumsumtulang
dan sepertiga pasien meninggal akibatperdarahan dan infeksi yang tidak teratasi.
Penyebabkematian pada umumnya adalah sepsis akibat infeksiPseudomonas dan
Stafilokokus. Oleh karena itu,menentukan prognosis pasien anemia aplastik penting
karena akan menentukan terapi yang sesuai.5
Beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman dalammenentukan prognosis
pasien anemia aplastik adalahusia pasien, gambaran sumsum tulang hiposeluler
atauaseluler, gambaran darah tepi, dan ada tidaknya infeksisekunder. Prognosis
pasien anemia aplastik disebutburuk jika ditemukan pada usia muda,
gambaransumsum tulang aseluler dengan pengurangan proporsikomponen mieloid
dari sumsum tulang lebih dari 30%limfosit, gambaran darah tepi dengan
jumlahretikulosit<1%, leukosit<500/uL, dan trombosit <20.000/uL, disertai infeksi
sekunder. Di antara halhaldi atas yang paling baik dijadikan sebagai pegangandalam
menentukan prognosis adalah gambaransumsum tulang.5

3.1.10 Differential Diagnosis

Gambar 3.4 Diagnosis Banding Anemia


Diagnosisleukemia dapat disingkirkan karena biasanya terjadi organomegali dan pada
HDT akan ditemukan sel-sel muda. Pada MDS (myelodisplastic syndrome) pada
HDT ditemukan hiposelular, namun pada BMA ditemukan hiperselular karena terjadi
diseritropoiesis.3

3.2 Diabetes Melitus


3.2.1 Definisi9,10
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristikhiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya. Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2015)
adalah sebagai berikut :
a. Diabetes melitus (DM) tipe 1
DM yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel beta di pankreas.
kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang terjadi secara absolut.
Penyebab dari kerusakan sel beta antara lain autoimun dan idiopatik.
b. Diabetes melitus (DM) tipe 2
Penyebab DM tipe 2 seperti yang diketahui adalah resistensi insulin. Insulin
dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara optimal sehingga
menyebabkan kadar gula darah tinggi di dalam tubuh. Defisiensi insulin juga dapat
terjadi secara relatif pada penderita DM tipe 2 dan sangat mungkin untuk menjadi
defisiensi insulin absolut.
c. Diabetes melitus (DM ) tipe lain
Penyebab DM tipe lain sangat bervariasi. DM tipe ini dapat disebabkan oleh
defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
endokrinopati pankreas, obat, zat kimia, infeksi, kelainan imunologi dan sindrom
genetik lain yang berkaitan dengan DM.
d. Diabetes melitus Gestasional
3.2.2 Epidemiologi9
Prevalensi penderita DM di seluruh dunia sangat tinggi dan cenderung
meningkat setiap tahun. Jumlah penderita DM di seluruh dunia mencapai 422 juta
penderita pada tahun 2014. Jumlah penderita tersebut jauh meningkat dari tahun 1980
yang hanya 180 juta penderita. Jumlah penderita DM yang tinggi terdapat di wilayah
South-East Asia dan Western Pacific yang jumlahnya mencapai setengahdari jumlah
seluruh penderita DM di seluruh dunia. Satu dari sebelas penduduk adalah penderita
DM dan 3,7 juta kematian disebabkan oleh DM maupun komplikasi dari DM.
Penderita DM di Indonesia berdasarkan data dari IDF pada tahun 2014
berjumlah 9,1 juta atau 5,7 % dari total penduduk. Jumlah tersebut hanya untuk
penderita DM yang telah terdiagnosis dan masih banyak penderita DM yang belum
terdiagnosis. Indonesia merupakan negara peringkat ke-5 dengan jumlah penderita
DM terbanyak pada tahun 2014. Indonesia pada tahun 2013 berada diperingkat ke-7
penderita DM terbanyak di dunia dengan jumlah penderita 7,6 juta.

3.2.3 Etiologi9
penyakit DM dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
a. Pola Makan
Pola makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang
dibutuhkan oleh tubuh dapat memacu timbulnya DM. Hal ini disebabkan
jumlah atau kadar insulin oleh sel β pankreas mempunyai kapasitas
maksimum untuk disekresikan.
b. Obesitas
Orang yang gemuk dengan berat badan melebihi 90 kg mempunyai
kecenderungan lebih besar untuk terserang DM dibandingkan dengan orang
yang tidak gemuk.
c. Faktor genetik
Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM dari orang tua. Biasanya,
seseorang yang menderita DM mempunyai anggota keluarga yang terkena
juga.
d. Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Bahan kimiawi tertentu dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan radang
pankreas. Peradangan pada pankreas dapat menyebabkan pankreas tidak
berfungsi secara optimal dalam mensekresikan hormon yang diperlukan untuk
metabolisme dalam tubuh, termasuk hormon insulin.
e. Penyakit dan infeksi pada pankreas
Mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas
sehingga menimbulkan radang pankreas. Hal itu menyebabkan sel β pada
pankreas tidak bekerja secara optimal dalam mensekresi insulin.

3.2.4 Patogenesis9,10
Pada DMT 1 kelainan terletak pada sel beta yang bisa idiopatik atau
imunologik. DMT 1, biasanya terdiagnosa sejak usia kanak-kanak.Pankreas tidak
mampu mensintesis dan mensekresi insulin dalam kuantitas dan atau kualitas yang
cukup, bahkan kadang-kadang tidak ada sekresi insulin sama sekali. Jadi pada kasus
ini terdapat kekurangan insulin secara absolut. Pada DMT 1 biasanya reseptor insulin
di jaringan perifer kuantitas dan kualitasnya cukup atau normal ( jumlah reseptor
insulin DMT 1 antara 30.000-35.000 ) jumlah reseptor insulin pada orang normal ±
35.000. sedang pada DM dengan obesitas ± 20.000 reseptor insulin.
DMT 2 adalah DM tidak tergantung insulin. DM tipe 2 ini Biasanya terjadi
di usia dewasa. Pada tipe ini, pada awalnya kelainan terletak pada resistensi insulin
pada otot dan liver serta kegagalan selbeta pankreas. Belakangan diketahui bahwa
kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan
sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi
insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan
toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi
glukosa ini (ominous octet) adalah berikut:

Gambar 3.5 Ominous octet DMT 2

Kadar glukosa darah yang tinggi selanjutnya berakibat pada proses filtrasi
yang melebihi transpor maksimum. Keadaan ini mengakibatkan glukosa dalam darah
masuk ke dalam urin (glukosuria) sehingga terjadi diuresis osmotik yang ditandai
dengan pengeluaran urin yang berlebihan (poliuria). Banyaknya cairan yang keluar
menimbulkan sensasi rasa haus (polidipsia). Glukosa yang hilang melalui urin dan
resistensi insulin menyebabkan kurangnya glukosa yang akan diubah menjadi energi
sehingga menimbulkan rasa lapar yang meningkat (polifagia) sebagai kompensasi
terhadap kebutuhan energi. Penderita akan merasa mudah lelah dan mengantuk jika
tidak ada kompensasi terhadap kebutuhan energi tersebut.

2.3.5 Gejala9
DMT1 menunjukkan gejala mendadak berupa polidipsi, poliuria, berat badan
menurun drastis, terjadi pada anak di bawah umur 20 tahun, dan cenderung mengidap
KAD dengan gejala pernafasan kussmaul dengan laboratorium hiperglikemia ≥ 200
mg/dl, ketonemia, ketonuria, atau keduanya. Pencetus DMT1 dapat berupa infeksi
dengan gejala panas badan, leukosit darah 12.000 atau lebih, CRP meningkat lebih
dari 50 dan C-peptide yang kurang. Penderita DMT1 merupakan insulin dependent.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
(> 10% dalam kurun waktu 3 bulan) yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

2.3.6 Diagnosis9
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Kriteria diagnosis DM menurut Perkeni (2015) adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam.
b. Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 mg.
c. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan keluhan klasik.
d. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5 % dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP).
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Perbedaan antara
prediabetes dan diabetes adalah bagaimana tinggi kadar gula darah. Pradiabetes
adalah ketika kadar gula darah (glukosa) lebih tinggi dari normal tetapi tidak cukup
tinggi untuk didiagnosis sebagai diabetes.

Tabel 3.1 Kriteria Laboratorium DM dan Pre-DM


Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas
pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini
harus diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena
dan glukosa darah kapiler seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.2 Kada GDS dan GDP sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM

2.3.7 Tatalaksana9,10
Tatalaksana DMT2 dapat berupa:
 Pelaksanaan Pola hidup sehat GULOH SISAR
G Pantang gula bagi DM
U Batasi asam urat (jerohan, alkohol, sarden, burung dara, unggas, kacang,
kaldu, kerang, emping, tape
L Batasi lemak (telur, keju, kepiting, udang, kerang, cumi, susu, santen)
O Target lingkar pinggang untuk pasien obesitas (perempuan < 80 cm dan
laki-laki <90 cm)
H Pasien hipertensi batasi garam, ikan asin
S Batasi sigaret
I Hindari inaktivitas, rutinkanlah latihan fisik
S Usahakan tidur 6-7 jam/hari untuk menghindarkan stress
A Stop alkohol
R Regular check up untuk usia >40 tahun, setiap 3, 6, 12 bulan
 Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Penentuan gizi penderita dilaksanakan dengan menghitung Percentage of
Relative Body Weight (RBW) atau BBR (Berat Badan Relatif) dengan rumus:

Penentuan status gizi selain dengan menghitung BBR dapat juga dihitung
dengan rumus Indek Massa Tubuh (IMT).
Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT menurut Himpunan Studi Obesitas
Indonesia (HISOBI) 15 Mei 2004 & PERKENI-2006 adalah :

Dalam praktek, pedoman jumlah kalori yang diperlukan sehari untuk Diabetisi
yang bekerja biasa adalah:
Kurus : Berat Badan X 40 – 60 kalori
Normal: Berat Badan X 30 kalori sehari
Gemuk: Berat Badan X 20 kalori sehari
Obesitas: Berat Badan X 10 – 15 kalori sehari
Pada dasarnya, pembagian kalori diet diabetes adalah 6x/hari yaitu 3 kali
makanan utama dan 3 kali makanan kecil dengan interval 3 jam. Pembagian
kalori 3 makanan utama yaitu 20% kalori makanan utama pagi, 25% kalori
makanan utama siang, dan 25% kalori makanan utama malam, serta 10%
kalori untuk masing-masing makanan kecil.
 Latihan Fisik
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara
teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total
150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan
jasmani. Apabila kadar glukosa darah 250 mg/dL dianjurkan untuk menunda
latihan jasmani.Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa
latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50- 70%
denyut jantung maksimal) seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan
berenang.
 Obat Oral Anti Diabetes
Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu
jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat.
a. Golongan Sulfonilurea
Golongan Sulfonilurea (Pemacu sekresi insulin/insulin secretagogue) Obat
golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat
badan.Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal). Sulfonilurea merupakan obat
hipoglikemik oral yang paling dahulu ditemukan.Sampai beberapa tahun yang lalu,
dapat dikatakan hampir semua obat hipoglikemik oral merupakan golongan
sulfonilurea.Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan
untuk penderita diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta
tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya.Senyawa-senyawa
sulfonilureasebaiknya tidak diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid.
Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin di
kelenjarpankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans
pankreasmasih dapat berproduksi. Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi
setelahpemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan
sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Sifat perangsangan ini berbeda dengan
perangsangan oleh glukosa, karena ternyata pada saat glukosa (atau kondisi
hiperglikemia) gagal merangsang sekresi insulin, senyawa-senyawa obat ini masih
mampu meningkatkan sekresi insulin.Oleh sebab itu, obat-obatgolongan sulfonilurea
sangat bermanfaat untuk penderita diabetes yang kelenjar pankreasnya masih mampu
memproduksi insulin, tetapi karena sesuatu hal terhambat sekresinya.Pada penderita
dengan kerusakan sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas, pemberian obat-obat
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea tidak bermanfaat.Pada dosis tinggi,
sulfonilurea menghambat degradasi insulin oleh hati.
Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus cukup baik,sehingga
dapat diberikan per oral. Setelah diabsorpsi, obat ini tersebar keseluruh cairan
ekstrasel, di dalam plasma sebagian terikat pada protein plasmaterutama albumin (70-
90%).
Efek Samping obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea umumnyaringan
dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan
syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, hipersekresi
asam lambung dan sakit kepala.Gangguan susunansaraf pusat berupa vertigo,
bingung, ataksia dan lain sebagainya.Gejala hematologik termasuk leukopenia,
trombositopenia, agranulosistosis dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang
sekali.Klorpropamida dapat meningkatkan ADH (Antidiuretik
Hormon).Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat,
juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia.Hipogikemia sering
diakibatkan oleh obat-obat hipoglikemik oral dengan masa kerja panjang.
Interaksi Obat: banyak obat yang dapat berinteraksi dengan obat-obat
sulfonilurea, sehingga risiko terjadinya hipoglikemia harus diwaspadai. Obat atau
senyawa yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat-obat
hipoglikemik sulfonilurea antara lain: alkohol, insulin, fenformin, sulfonamida,
salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon, probenezida, dikumarol,
kloramfenikol, penghambat MAO (Mono Amin Oksigenase), guanetidin, steroida
anabolik, fenfluramin, dan klofibrat.
Peringatan dan Kontraindikasi:
• Penggunaan obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea harus hati-
hati pada pasien usia lanjut, wanita hamil, pasien dengan gangguan fungsi
hati, dan atau gangguan fungsi ginjal. Klorpropamida dan glibenklamid tidak
disarankan untuk pasien usia lanjut dan pasien insufisiensi ginjal.Untuk
pasien dengan gangguan fungsi ginjal masih dapat digunakan glikuidon,
gliklazida, atau tolbutamida yang kerjanya singkat.
• Wanita hamil dan menyusui, porfiria, dan ketoasidosis merupakan kontra
indikasi bagi sulfonilurea.
• Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada penderita diabetes
yuvenil,penderita yang kebutuhan insulinnya tidak stabil, dan
diabetesmelitus berat.
• Obat-obat golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan.
Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea generasi pertama yang
dipasarkan sebelum 1984 dan sekarang sudah hampir tidak dipergunakan lagi antara
lain asetoheksamida, klorpropamida, tolazamida dan tolbutamida. Yang saat ini
beredar adalah obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea generasi kedua yang
dipasarkan setelah 1984, antara lain gliburida (glibenklamida), glipizida, glikazida,
glimepirida, dan glikuidon. Senyawa-senyawa ini umumnya tidak terlalu berbeda
efektivitasnya, namun berbeda dalam farmakokinetikanya, yang harus
dipertimbangkan dengan cermat dalam pemilihan obat yang cocok untuk masing-
masing pasien dikaitkan dengan kondisi kesehatan dan terapi lain yang tengah
dijalani pasien.
b. Golongan Biguanida (Peningkatan Sensitivitas terhadap insulin)
Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan
glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan
menurunkan produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga berat
badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang overweight.
Metformin mempunyai efek utamamengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin
diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30- 60 ml/menit/1,73
m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan seprti: GFR<30
mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, PPOK,gagal
jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran
pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
c. Golongan Tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan
berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan
bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa
ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan dapat lebih
tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan
hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel β pankreas. Contoh:
Pioglitazone, Troglitazon.
Tiazolidindion merupakan agonis dariPeroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel
otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di jaringan perifer.Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh
sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV
karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati,
dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secaraberkala. Obat yang masuk dalam
golongan ini adalah Pioglitazone.
d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase di saluran pencernaan
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa
di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia postprandrial. Obat
ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak
berpengaruh pada kadar insulin. Contoh: Acarbose.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan: GFR≤30ml/min/1,73
m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga sering
menimbulkan flatus.Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan
dosis kecil.Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.
e. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam
bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan
sekresi glucagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat
golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.
f. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis
baruyang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan
caramenghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2.
Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat approvable letter dari
Badan POM RI pada bulan Mei 2015.
Tabel 3.3 Obat Oral Anti Diabetes

Obat Suntik Anti Diabetes


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan
kombinasi insulin dan agonis GLP-1.
a. Insulin
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan),
dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit. Pada
keadaan khusus diberikan intramuskular atau drip.
Insulin diperlukan pada keadaan :
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Jenis dan Lama Kerja Insulin Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi
5 jenis, yakni : Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin), Insulin kerja pendek
(Short-acting insulin), Insulin kerja menengah (Intermediate-acting insulin),
Insulin kerja panjang (Long-acting insulin), Insulin kerja ultra panjang (Ultra
long-acting insulin), Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah
dan kerja cepat dengan menengah (Premixed insulin).10
b. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga
terjadi peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat
badan, menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek
penurunan berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi
menurunkan berat badan pada pasien DM dengan obesitas. Pada percobaan
binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek
samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan
muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah: Liraglutide, Exenatide,
Albiglutide, dan Lixisenatide. Salah satu obat golongan agonis GLP-1
(Liraglutide) telah beredar di Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18
mg dalam 3 ml. Dosis awal 0.6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg
setelah satu minggu untuk mendapatkan efek glikemik yang diharapkan.
Dosis bisa dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosis harian lebih dari 1.8 mg
tidak direkomendasikan. Masa kerja Liraglutide selama 24 jam dan diberikan
sekali sehari secara subkutan.10

Gambar 3.6 Algoritma Tatalaksan DMT2


3.3 Hubungan Anemia Aplastik dan Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan kumpulan sindrom kelainan metabolik yang
ditandai dengan peningkatan kadar gula darah akibat kelainan sekresi dan jumlah
insulin, maupun adanya resistensi insulin. Peningkatan kadar gula darah pada anemia
aplastik dapat didasarkan atas riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga,
maupun efek terapi definitif anemia aplastik yaitu transfusi darah. Pada hal ini dapat
terjadi hemokromatomosi yang merupakan gangguan yang diwariskan atau didapat
yang disebabkan oleh penyimpanan besi yang berlebihan. 11
Hemokromatosis primer adalah penyakit resesif autosomal yang disebabkan
oleh mutasi gen yang berkaitan dengan penyerapan zat besi, dan hadir sebagai sirosis
hati, disfungsi jantung, hipotiroidisme, diabetes, dan hipogonadisme.
Hemokromatosis sekunder biasanya berkembang pada pasien yang telah menerima
transfusi sel darah merah ganda. Transfusi berulang adalah pengobatan yang cepat
dan efektif untuk anemia refrakter, termasuk anemia aplastik berat, sindrom
myelodysplastic, dan thalassemia. Namun, kelebihan zat besi terkait transfusi dapat
berkembang sebagai komplikasi. Besi yang berlebihan disimpan dalam sel
retikuloendotelial dan jaringan parenkim, dan akumulasinya dapat menyebabkan
kerusakan progresif pada beberapa organ.Endokrinopati seperti hipogonadotropik
hipogonad dan osteoporosis umumnya terkait dengan hemokromatosis terkait
transfusi, dan diabetes adalah masalah yang paling sering ditemui. Diabetes mellitus
karena hemokromatosis mungkin terutama berkembang karena gangguan sekresi
insulin yang disebabkan oleh disfungsi sel-β, dan dipercepat oleh faktor variabel yang
mempengaruhi resistensi insulin, misalnya, sirosis atau obesitas. 11
Hemokromatosis berkembang dari penyerapan zat besi yang berlebihan atau
gangguan daur ulang besi. Normalnya, tubuh menyerap besi dari diet sebanyak 1,5
mg/hari untuk wanita dan 1 mg/hari untuk pria. Namun, pasien dengan
hemokromatosis menyerap lebih dari 4 mg zat besi per hari, yang meningkatkan
kadar besi darah, sehingga meningkatkan kadar feritin dalam darah dan penumpukan
besi di beberapa organ. Untuk memenuhi kebutuhan eritropoiesis, diperlukan zat besi
isebanyak 20-30mg/hari. Transfusi berulang adalah salah satu penyebab sekunder
dari hemokromatosis. Satu kantong sel darah mengandung 200–250 mg zat besi. Oleh
karena itu, kelebihan zat besi dapat terjadi setelah transfusi 10-50 kantong sel darah
merah karena kapasitas tubuh yang terbatas untuk mengeluarkan kelebihan zat besi.
Besi yang berlebihan disimpan dalam sel retikuloendotel ketika kemampuan
menangkap besi makrofag mencapai batasnya, dan itu diresapi menjadi beberapa
organ seperti jantung, hati, limpa, sumsum tulang, dan sistem endokrin, yang
mengakibatkan kegagalan organ. Ini juga dapat mengurangi fungsi sel progenitor
eritroid dengan mempengaruhi proliferasi mereka.11
Selain transfusi darah, terapi definitif anemia aplastik berupa pemberian
imunosupresan seperti steroid telah diyakini lebih dari 60 tahun menyebabkan
diabetes melitus. Steroid menyebabkan diabetes melitus tergantung pada jangka
waktu pemberian dan dosis yang diberikan. Beberapa penelitian menyebutkan
pemberian satu minggu dan dosis lebih dari 40mg/hari dapat menyebabkan kerusakan
sel beta pankreas dalam menghasilkan insulin dan menurunkan 50% sensitivitas
insulin organ perifer. Beberapa faktor risiko yang menyebabkan steroid menginduksi
diabetes melitus adalah:
o Diabetes tipe 1 atau tipe 2 yang sudah ada sebelumnya
o Orang yang berisiko tinggi terkena diabetes (misalnya obesitas, riwayat
keluarga diabetes, diabetes gestasional sebelumnya, etnis minoritas, sindrom
ovarium polikistik)
o Gangguan glukosa puasa atau gangguan toleransi glukosa, HbA1c 42-47mmol /
mol
o Orang-orang sebelumnya hiperglikemik dengan terapi steroid.12
Pada pasien yang rentan, ini akan sering menyebabkan peningkatan glukosa
darah pada pagi hari yang berlanjut hingga malam hari. Semalam glukosa darah
umumnya jatuh kembali, sering ke tingkat awal keesokan paginya. Jadi pengobatan
harus disesuaikan untuk mengobati hiperglikemia, sementara menghindari
hipoglikemia pada malam hari dan pagi hari. Kadar glukosa pada sebagian besar
individu dapat diprediksi meningkat sekitar 4 hingga 8 jam setelah pemberian steroid
oral dan segera setelah pemberian steroid intravena.12
Terdapat berbagai macam mekanisme terjadinya steroid dalam menginduksi
diabetes melitus. Efek negatif yang diyakini disebabkan oleh berbagai faktor,
termasuk peningkatan resistensi insulin, peningkatan intoleransi glukosa, penurunan
massa sel-β dari disfungsi sel-β, dan peningkatan resistensi insulin hati yang
mengarah ke gangguan penekanan produksi glukosa hepatik. Efek steroid pada
metabolisme glukosa kemungkinan hasil dari gangguan dari beberapa jalur, termasuk
disfungsi sel-β (sensitivitas terhadap glukosa dan kemampuan untuk melepaskan
insulin) dan resistensi insulin pada jaringan lain.
a. Steroid mengurangi serapan glukosa perifer pada tingkat otot dan jaringan
adiposa. Otot skeletal terutama bertanggung jawab untuk pengambilan
glukosa postprandial yang dimediasi insulin dan kortikosteroid dapat
menginduksi resistensi insulin dengan mengganggu secara langsung dengan
berbagai komponen kaskade pensinyalan insulin. Steroid kronis yang
berlebihan mengubah komposisi tubuh, termasuk perluasan depot jaringan
adiposa di dalam batang tubuh, dan merusak metabolisme dan aksi insulin,
menghasilkan hiperglikemia dan dislipidemia. Kemampuan steroid untuk
menginduksi lipolisis jaringan adiposa tergantung pada konsentrasi, durasi
paparan, dan depot jaringan adipose spesifik.
b. Kortikosteroid meningkatkan produksi glukosa endogen secara langsung
dengan mengaktifkan banyak gen yang terlibat dalam metabolisme
karbohidrat hati, yang mengarah ke peningkatan glukoneogenesis. Pengaturan
proses ini pada hati dan adiposa melalui enzim phosphoenylpyruvate
carboxykinase (PEPCK). Di hadapan steroid, ekspresi gen PEPCK di jaringan
adiposa ditekan, menghambat gliserologenesis. Sebaliknya, PEPCK dalam
hati menstimulasi produksi gliserol dan konsentrasi asam lemak dalam darah
meningkat oleh aksi lipoprotein lipase. Hasil bersih dari steroid, oleh karena
itu, adalah untuk meningkatkan jumlah asam lemak yang dilepaskan ke dalam
darah.
c. Steroid juga menghambat produksi dan sekresi insulin dari sel β pankreas.
Mekanisme hiperglikemia yang diinduksi steroid dirangkum dalam Gambar
3.7.

Gambar 3.7 Steroid menginduksi DM12

Untuk gejala, diagnosis, dan terapi steroid induksi DM sama halnya dengan
DMT2. Saat ini, tidak ada pedoman konsensus untuk manajemen optimal
hiperglikemia sekunder untuk steroid, meskipun berbagai pendapat telah
dipublikasikan oleh organisasi internasional. Tidak ada bukti untuk mengkonfirmasi
obat hipoglikemik dan rejimen pengobatan yang lebih efektif dalam mencapai kontrol
glikemik yang memadai dan menurunkan tingkat komplikasi pada pasien dengan
hiperglikemia yang diinduksi oleh steroid.12
DAFTAR PUSTAKA

1. American Cancer Society. Aplastic Anemia. Dalam : ACS Information


andGuide, 2005. Dari URL: http://www.cancer.org/
2. Anonim. Blood Disease Aplastic Anemia. Dalam : Universitas of
Maryland,2004. Dari URL: http://www.UMMC.com/
3. Bakta I.M., 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta. EGC.
4. Fauci.Braunwald. Kasper. Hauser. Longo. Jameson. Loscalzo.Aplastic Anemia,
Myelodysplasia and Related Bone Marrow Failure Syndromes. 663 -670, 17th
Edition Harrison’s: Principles Of Internal Medicine. Volume II.
5. IDAI. Masalah pada Tatalaksana Anemia Aplastik Didapat. Sari Pediatri.
Diunduh darihttp://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/7-1-5.pdf.
6. Lee D. Bone Marrow Failure. Dari URL: http://www.medsqueensu.ca/
7. Small BM. Bone Marrow Failure. Dalam : SMBS Education Fact Sheet,
2004.Dari URL: http://www.smbs.buffallo.edu/
8. Young NS. Acquired Aplastic Anemia. Dalam : Annals of Internal
Medicine,2002. Vol 136 No 7 Dari URL: http://www.annals.org/
9. Askandar Tjokroprawiro. (20015). Buku Ajar Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga RS Pendidikan dr. Soetomo Surabaya.
10. PERKENI. 2011. Konsensus pengelolaan diabetes melitus tipe 2 di indonesia
2011. Semarang: PB PERKENI.
11. Kim HJ, Kim YM, Kang E, Lee BH, Choir JH, Yoo HW. Diabetes Mellitus
Caused by Secondary Hemochromatosis After Multiple Blood Transfusions
with 2 Patients with Severe Anemia Aplastic. 2015. Ann Pediatr Endocrinol
Metab; 22:60-64.
12. Suh S dan Park MK. 2017. Glucocorticoid induced Diabetes Mellitus: An
Important but Overlooked Problem. Endocrinology Metabolism Review Article,
32: 180-189.

Anda mungkin juga menyukai