Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosa dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-
mediated hypersensitivity). Penyakit ini biasanya terletak di paru tetapi dapat juga
mengenai organ lain.
Insiden tuberculosis dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade
terakhir ini diseluruh dunia termasuk juga di Indonesia. Penyakit ini biasanya
banyak terjadi pada negara berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial
ekonomi menengah ke bawah. Tuberculosis merupakan penyakit infeksi penyebab
kematian dengan urutan atas atau angka kematian (mortalitas) tinggi, angka
kejadian penyakit (morbiditas), diagnosis dan terapi yang cukup lama.
Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesai menurun ke
posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 492.000 orang. Lima negara
dengan jumlah terbesar ksusu insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika
Selatan, Nigeria dan Indonesia. Indonesia sekarang berada pada peringkat kelima
negara dengan beban TB tertinggi didunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus
adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per
tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit
tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Penyebabnya antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya
pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan
kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok
usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan
di tempat kerja.

1
World Health Organization (WHO) dalam Global Status of Non-
communicable Diseases tahun 2010 mengkategorikan PPOK ke dalam empat
besar penyakit tidak menular yang memiliki angka kematian yang tinggi setelah
penyakit kardiovaskular, keganasan dan diabetes. GOLD Report 2014
menjelaskan bahwa biaya untuk kesehatan yang diakibatkan PPOK adalah 56%
dari total biaya yang harus dibayar untuk penyakit respirasi. Biaya yang paling
tinggi adalah diakibatkan kejadian eksaserbasi dari penyakit ini. Kematian
menjadi beban sosial yang paling buruk yang diakibatkan oleh PPOK, namun
diperlukan parameter yang bersifat konsisten untuk mengukur beban sosial.
Parameter yang dapat digunakan adalah Disability-Adjusted Life Year (DALY),
yaitu hasil dari penjumlahan antara Years of Life Lost (YLL) dan Years Lived with
Disability (YLD). Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, diperkirakan pada
tahun 2030, PPOK akan menempati peringkat ketujuh, dimana sebelumnya pada
tahun 1990 penyakit ini menempati urutan kedua belas.
Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar
penderita yang sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara
klinik timbul gejala sesak terutama pada aktivitas, radiologik menunjukkan
gambaran bekas TB (fibrotik, kalsifikasi) yang minimal, dan uji faal paru
menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Kelompok
penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis (SOPT). Fasiliti Pelayanan kesehatan di Indonesia yang bertumpu di
Puskesmas sampai di rumah sakit pusat rujukan masih jauh dari fasilitas
pelayanan untuk penyakit PPOK. Disamping itu kompetensi sumber daya
manusianya, peralatan standar untuk mendiagnosis PPOK seperti sprirometri
hanya terdapat di rumah sakit besar saja, sering kali jauh dari jangkauan
Puskesmas. Pencatatan Departemen Kesehatan tidak mencantumkan PPOK
sebagai penyakit yang dicatat. Karena itu perlu sebuah Pedoman Penatalaksanaan
PPOK untuk segera disosialisasikan baik untuk kalangan medis maupun
masyarakat luas dalam upaya pencegahan, diagnosis dini, penatalaksanaan yang
rasional dan rehabilitasi.

2
1.2 Tujuan
Bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan
penulis khususnya mengenai TB Paru dan PPOK mulai dari definisi sampai
penatalaksanaan.

1.3 Manfaat
a. Bagi Penulis
Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dalam mempelajari,
mengidentifikasi dan mengembangkan teori yang telah disampaikan
mengenai TB Paru dan PPOK.
b. Bagi Institut Pendidikan
Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi kegiatan
yang adakaitannya dengan pelayanan kesehatanm khususnya yang
berkaitan dengan kasus TB Paru dan PPOK.

3
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru


2.1.1 Definisi

TB paru adalah suatu penyakit infeksi kronik jaringan paru yang


disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis.

2.1.2 Etiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular kronis yang disebabkan


oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang (panjang
1-4 mikron, diameter 0,3-0,6 mikron), mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan (Basil Tahan Asam). Kuman TB cepat mati
dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di
tempat yang gelap dan lembek. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dorman
selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan dari penderita TB BTA positif
kepada orang yang berada disekitarnya, terutama yang kontak erat. Masa tunas
(masa inkubasi) penyakit tuborkulosis paru adalah mulai dari terinfeksi sampai
pada lesi primer muncul, sedangkan waktunya berkisar antara 4 – 12 minggu
untuk tuberkulosis paru.

2.1.3 Klasifikasi

Tuberkulosis Paru yaitu tuberkulosis yang menyerang jaringan paru tidak


termasuk pleura. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dapat
dibagi menjadi:

1. Tuberkulosis paru BTA positif adalah:

Minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan dahak


menunjukkan hasil positif pada laboratorium yang memenuhi syarat quality

4
external assurance (EQA). Sebaiknya satu kali pemeriksaan dahak tersebut
berasal dari dahak pagi hari. Pada Negara yang belum memiliki labor
dengan EQA, maka TB paru BTA (+) adalah :

 Dua atau lebih hasil pemeriksaan dahak BTA positif, atau


 Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan didukung hasil
pemeriksaan foto rontgen sesuai gambaran TB yang telah ditetapkan
oleh klinisi
 Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan didukung hasil kultur
M. Tuberkulosis postif.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif adalah:

 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran


klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M. tuberculosis positif.

Klasifikasi berdasarkan tipe penderita ini ditentukan berdasarkan riwayat


pengobatan sebelumnya.

1. Kasus baru: pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat
Anti-tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1
bulan.
2. Kasus kambuh (Relaps): pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan
negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif/perburukan dan
terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan:

 Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan, dll)

5
 TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang
berkompeten menangani tuberkulosis.

3. Kasus putus obat (default atau drop out): pasien yang telah menjalani
pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau
lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
4. Kasus gagal: pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau akhir pengobatan.
5. Kasus kronik: pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah
pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang
baik.
6. Kasus bekas TB :

 Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau
foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan
OAT adekuat akan lebih mendukung.
 Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologi

2.1.4 Patogenesis

a. Tuberkulosis Primer
Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi doplet nuclei dalam udara sekitar kita. Bila partikel infeksi ini
terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan
paru . partikel dapat masuk kedalam alveoli bila ukuran partikel <5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru
oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh
makrofag keluar dar percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia
dengan sekretnya.

6
Bila kuman menetap dijaringan paru, berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.
Kuman yang bersarang dijaringan paru ini akan berbentuk sarang
tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau
sarang (fokus) ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan
paru. Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini
selanjutnya dapat menjadi:

a. Sembuh sama sekali tanpa menimbulkan cacat.


b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi dihilus,keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang
luasnya > 5 mm dan ±10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi
karena kuman yang dormant.
c. Berkomplikasi dan menyebar secara
 Per kontinuitatum yakni menyebar kesekitarnya
 Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang
disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus
 Secara limfogen, keorgan tubuh lain-lainnya
 Secara hematogen, keorgan tubuh lainnya

b. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)


Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa. TB sekunder ini
terjadi karena imunitas yang menuruun seperti malnutrisi, alkohol, maligna,
DM, AIDS dan gagal ginjal. TB ini dimulai dari sarang dini yang berlokasi
diregio atas paru (bagian apikal posterior lobus superior atau inferior).
Invasinya adalah kedaerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodul hiler paru.
Sarang ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari
sel-sel histiosit dan sel datia langhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit
dan berbagai jaringan ikat. TB ini juga dapat berasal dari infeksi endogen dari

7
usia muda menjadi TB usia tua. Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya
dan imunitas pasien.

2.1.5 Gejala Klinis

Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala


respiratorik dan gejala sistemik.

a. Gejala respiratorik, meliputi:

1. Batuk. Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang
paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian
berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
2. Batuk darah. Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi,
mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan
darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak
terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah
tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
3. Sesak napas. Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru
sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura,
pneumothorax, anemia dan lain-lain.
4. Nyeri dada. Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang
ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.

b. Gejala sistemik, meliputi:

1. Demam merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada


sore dan malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin
lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin
pendek.
2. Gejala sistemik lain

Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat


badan serta malaise. Timbulnya gejala biasanya gradual dalam

8
beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk,
panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai
gejala pneumonia.

2.1.6 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Kelainan paru pada umumnya mengenai daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior.
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan antara lain :


Suara nafas bronkial, amrofik, suara nafas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, mediastinum dan diafragma.

Pada perkusi ditemukan redup atau pekak.

Pada Pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknnya
cairan dirongga pleura. Pada perkusi ditemukan redua atau pekak, pada
auskultasi suara nafas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.

Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjer getah bening, tersering
di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang
didaerah ketiak.

Pembesaran kelenjer tersebut dapat menjadi cold abscess.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks
(puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrate yang agak luas, maka didapatkan
perkusi yang redup dan pada auskultasi didapatkan juga suara nafas tambahan
berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrate ini diliputi oleh
penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesicular lemah. Bila terdapat kavitas
yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani, dan
auskultasi memberikan suara amporik.

9
Pada tuberculosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot intercostals. Bagian paru yang sakit jadi
menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi
lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotic amat luas yakni lebih dari setengah jumlah
jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan
selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti
terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Disini akan didapatkan tanda-
tanda kor polmunal dengan gagal jantung kanan seperti takipneu, takikardi,
sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, mur-mur Graham Steel, bunyi P2
mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites dan
edema. Bila tuberculosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru
yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernafasan. Perkusi memberikan suara
pekak. Auskultasi memberikan suara nafas yang lemah sampai tidak terdengar
sama sekali.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Bakteriologi
1. Bahan Pemeriksaan
Untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat
penting dalam menegakkan diagnosa. Bahannya dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar, urin, feses dan jaringan biopsi.
2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi
hari. Bahan pemeriksaan hasil Biopsi Jarum Halus (BJH), dapat dibuat
sediaan apus kering di gelas objek atau untuk kepentingan kultur dan uji
kepekaan dapat ditambahkan NaCl 0.9% 3-5 ml sebelum dikirim ke
laboratprium mikrobiologi dan patologi anatomi.
3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasana bronkus, bilasan lambung, BAL, urin,
feses dan jaringan biopsi, dapat dilakukan dengan cara :

10
 Pemeriksaan Mikroskopis
Mikroskopis biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopis fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin
Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis
dibaca dengan skala Internasional Union Against Tuberculosis and
Lung Disease (IUDTLD). Skala IUDTLD :
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut
negatif.
 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan.
 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +
(1+)
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ (2+)
 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang disebutkan +++
(3+)

 Pemeriksaan Biakan Kuman


Pemeriksaan identifikasi M.tuberculosis dengan cara :
 Biakan
Lowenstein-Jensen
Pada identifikasi M. Tuberculosis, pemeriksaan dengan media
biakan lebih sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan
mikroskopis. Pemeriksaan biakan dpat mendeteksi 10-1000
mirobakterium/ml. Media biakan terdiri dari mesia padat dan
media cair. Media Lowenstein-Jensen adalah media padat yang
menggunakan media basa telur.
 Uji lainnya :
Uji tuberkulin, uji ini dipakai untuk mengetahui seseorang telah
terinfeksi kuman TB atau menentukan TB laten. Di Indonesia
dengan prevelensi TB yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat
bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji

11
ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau
apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada
malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan
hasil negatif.

b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialan foto thoraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT Scan. Pada pemeriksaan
foto thoraks, TB dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform). Tiga macam proyeksi pemotretan pada foto toraks pasien
dicurigai TB:
1. Proyeksi Postero-Anterior (PA)
Pada posisi PA, pengambilan foto dilakukan pada saat pasien
dalam posisi berdiri, tahan nafas pada akhir inspirasi dalam. Bila
terlihat suatu kelainan pada proyeksi PA, perlu ditambah proyeksi
lateral.
2. Proyeksi Lateral
Pada proyeksi lateral, posisi berdiri dengan tangan disilangkan
di belakang kepala. Pengambilan foto dilakukan pada saat pasien
tahan napas dan akhir inspirasi dalam.
3. Proyeksi Top Lordotik
Dibuat bila foto PA menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
pada daerah apeks kedua paru. Proyeksi tambahan ini hendaknya
dibuat setelah foto rutin diperiksa dan bila terdapat kesulitan dalam
menginterpretasikan suatu lesi di apeks. Pengambilan foto dilakukan
pada posisi berdiri dengan arah sinar menyudut 35-45 derajat arah
caudocranial, agar gambaran apeks paru tidak berhimpitan dengan
klavikula.
Gambaran radiologi yang dicurigai TB aktif adalah :

 Bayangan berawan/nodular di segmen Apikal dan posterior lobus atas


paru dan segmen labus bawah.

12
 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh opak berawan atau
nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif :

 Fibrotik
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura

Luluh Paru (destroyed lung) :

 Gambaran radiologi yang menunjukan kerusakan jaringan paru yang


berat, biasanya secara klinis disebut luluh baru. Gambaran radiologi
luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/multikavitas dan fibrosis
parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktivitas
proses penyakit.

c. Pemeriksaan BACTEC
Merupakan pemeriksaan teknik yang lebih terbaru yang dapat
mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat. Metode yang
digunakan adalah metode radiometrik. M. Tuberkulosis metabolisme asam
lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth
indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan
melakukan uji kepekaan.

d. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)


Pemeriksaan ini adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,
termasuk DNA M. Tuberkulosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan

13
teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Hasil pemeriksaan PCR dapat
membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut
dikerjakan dengan cara benar dan sesuai dengan standar internasional.
Pada tuberkulosis pasca primer, penyebaran kuman terjadi secara
bronkogen, sehingga penggunaan sampel darah untuk uji PCR tidak
disarankan. Sebaliknya bila sampel yang diperiksa merupakan dahak dari
penderita yang dicurigai menderita tuberkulosis paru, masih ada beberapa
faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum menggunakan PCR sebagai
sarana diagnosis tuberkulosis paru.

e. Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi dilakukan dengan beberapa metode seperti:

o Enzym Linked Immunsorbent Assay (ELISA)


Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat
mendeteksi respons humoral berupa proses antigen antibodi yang
terjadi.3 Kelemahan utama dari teknik ELISA ini adalah pengenceran
serum yang tinggi dan perlu dilakukan untuk mencegah ikatan
nonspesifik dari imunoglobulin manusia pada plastik.

o ICT (Immun Chromatografic Tuberculosis)


Uji ICT adalah uji serologi untuk mendeteksi antibodi M.
Tuberkulosis dalam serum. Uji ini merupakan uji diagnostik tuberkulosis
yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M. Tuberculosis.

o Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomanan yang ditempel
dengan alat yang berbentuk sisir plastik.

14
o Uji peroksidase anti peroksidase
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi
serologi yang terjadi.

o Uji serologi yang baru/ IgG TB Uji ini adalah salah satu pemeriksaan
serologi dengan cara mendeteksi antibodi IgG dengan antigen spesifik
untuk mikobakterium tuberkulosis.

f. Pemeriksaan Penunjang Lain

1. Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura


2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
3. Pemeriksaan darah: Laju Endap Darah (LED) jam pertama dan kedua
dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering
meningkat pada proses aktif, tetapi LED yang normal tidak
menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit juga kurang spesifik.
4. Uji tuberkulin: positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis.

2.1.8 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan TB adalah :

 Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan


produktivitas
 Mencegah kematian karena penyakit TB aktif atau efek lanjutannya
 Mencegah kekambuhan
 Mengurangi trasnmisi atau penularan kepada yang lain
 Mencegah tejadinya resistensi obat serta penularannya

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase
lanjutan. Pada umumnya lama pengobatan adalah 6-8 bulan.

15
Tabel 1. Obat Anti Tuberkulosis

Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

 Rifampisin
 INH
 Pirazinamid
 Etambutol
 Streptomisin

 Kategori pertama :
o 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

 Pasien TB paru kasus baru


 Pasien dengan BTA (-) tetapi rontgen thoraks gambaran TB
 Pasien TB ekstra paru

16
Tabel 2. Dosis panduan OAT KDT kategori 1 : 2RHZE / 4R3H3

 Kategori Kedua
o 2(RHZE)S/RHZE/5(RH)E atau 2(RHZE)S/RHZE/5(RH)3E3

Diberikan untuk :
 Pasien kambuh
 Pasien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT kategori 1
sebelumnya
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat

Tabel 3. Dosis panduan OAT KDT kategori 2


2(RHZE)S / RHZE / 5(RH)3E3

17
Tabel 4. Efek Samping OAT

Pengobatan Suportif / Simptomatik

 Penderita Rawat Jalan

Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan


keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat,
dapat rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau
suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi
gejala/keluhan.

18
Beberapa rekomendasi pemebrian nutrisi pada penderita TB adalah :
 Pemberiaan makanan dalam prosi kecil diberikan 6 kali perhari lebih
diindikasikan menggantikan porsi biasa tiga kali perhari.
 Bahan-bahan makanan rumah tangga seperti gula, minyak nabati,
mentega, kacang, telur dan bubuk susu kering nonlemak dan lain-lain
dapat menambah kalori dan protein tanpa menambah besar ukuran
makanan.
 Minimal 500-750 ml per hari susu atau yogurt yang dikonsumsi
untuk mencukupi asupan vitamin D dan kalsium secara adekuat.
 Minimal 5-6 pordi buah dan sayuran dikonsumsi setiap hari.
 Sumber terbaik vitamin B6 adalah jamur,terigu, liver sereal, plolng,
kentang, pisang dan tepung haver.
 Alkohol harus dihindari karena hanya mengandung kalori tinggi,
tidak memiliki vitamin juga dapat memperberat fungsi hepar.
 Menajga asupan cairan adekuat (minum minimal 6-8 gelas/hari)
 Prinsipnya pada pasien TB tidak ada pantangan.

Bila pasien demam dapat diberikan obat penurun panas/demam, bila


perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak nafas dan
keluhan lainnya.

 Penderita Rawat Inap


 Indikasi rawat inap :

TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :

- Batuk darah (profus)


- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

19
TB di luar paru yang mengancam jiwa :

- TB paru milier
- Meningitis TB
 Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan
klinis dan indikasi rawat

Terapi Pembedahan
lndikasi operasi :

1. Indikasi Mutlak

a. Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif
b. Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif
2. Indikasi Relative
a. Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap.

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)

 Bronkoskopi
 Punksi pleura
 Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)

2.1.9 Kriteria Sembuh


 BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
 Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
 Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negative

20
2.1.10 Evaluasi Pengobatan

Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan


efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi Klinik
 Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
 Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
 Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.

Evaluasi Bakteriologi (0 - 2 - 6 /8 bulan pengobatan)

 Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak


 Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik

- Sebelum pengobatan dimulai


- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan

 Bila ada fasiliti biakan dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.

Evaluasi Radiologi (0 - 2 – 6/8 bulan pengobatan)


Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

 Sebelum pengobatan
 Setelah 2 bulan pengobatan
 Pada akhir pengobatan

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya teteap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak
dan foto thorak sesuai indiksi bila ada gejala.

21
2.2 PPOK
2.2.1 Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracung atau berbahaya, disertai efek ekstra paru
yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. Karakteristik hambatan aliran
udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil
(obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada
setiap individu.
PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan akibat merokok dalam waktu
yang lama. PPOK sendiri juga mempunyai efek sistemik yang bermakna sebagai
petanda sudah terdapat kondisi komorbid lainnya.
Dampak PPOK pada setiap individu tergantung derajat keluhan (khususnya
sesak dan penurunan kapasitas latihan), efek sistemik dan gejala komorbid
lainnya. Hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh derajat keterbatasan aliran
udara.
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena:
- Emfisema merupakan diagnosis patologik
- Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis
Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam
saluran napas.
.
2.2.2 Faktor Resiko

Identifikasi faktor resiko merupakan langkah penting dalam penecegahan


dan penatalaksanaan PPOK. Meskipun saat ini pemahaman faktor resiko PPOK
dalam banyak hal masih belum lengkap, diperlukan pemahaman interaksi dan
hubungan antara faktor-faktor resiko sehingga memerlukan investigasi lebih
lanjut.
Pada dasarnya semua resiko PPOK merupakan hasil dari interaksi
lingkungan dan gen. misalnya, dua orang dengan riwayat merokok yang sama,

22
hanya satu yang berkembang menjadi PPOK, karena perbedaan dalam
predisposisi genetik untuk penyakit ini, atau dalam beberapa lama mereka hidup.
Stasus sosial ekonomi dapat dihubungkan dengan berat badan lahir anak yang
dapat berdampak pada pertumbuhan dan pengembangan paru. Beberapa hal yang
berkaitan dengan resiko timbulnya PPOK saat ini.
1. Asap Rokok
Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainya. Asap rokok
mempunyai prevalens yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan
gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat
rerata penurunan VEP1. Angka kematian pada perokok pada perokok
mempunyai nilai yang bermakna dibandingkan bukan perokok. Resiko
PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang di hisap, usia mulai
merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (indeks
Brinkman). Perokok pasif dapat memberikan konstribusi terjadinya gejala
respirasi dan PPOK, karena terjadi peningkatan jumlah inhalasi partikel dan
gas. Merokok selama kehamilan dapat beresiko terhadap janin,
mempengaruhi tumbuh kembang paru di uterus dan dapat menurunkan
sistem imun awal.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu di perhatikan :
a) Riwayat Perokok
- Perokok Aktif
- Perokok Pasif
- Bekas Perokok
b) Derajat berat merokok dengan indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun:
- Ringan : 0-199
- Sedang : 200-599
- Berat : >600

23
2. Polusi Udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar, dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan
memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya
PPOK.Agar lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara
terbagimenjadi :
a) Polusi dalam ruangan
- Asap rokok
- Asap kompor
b) Polusi di luar ruangan
- Gas buang kendaraan bermotor
- Debu jalanan
c) Polusi di tempat kerja
- Bahan kimia
- Zat iritasi
- Gas beracun

Polusi di dalam ruangan.


Kayu, serbuk gergaji, batu bara dan minyak tanah yang merupakan
bahan bakar kompor menjadi penyebab tertinggi polusi di dalam ruangan.
Kejadian polusi di dalam ruangan dari asap kompor dan pemanas ruangan
dengan ventilasi kurang baik merupakan faktor risiko terpenting timbulnya
PPOK, terutama pada perempuan di negara berkembang (Case control
studies).
Hampir 3 milyar penduduk dunia memakai biomass dan batubara
sebagai sumber utama energi untuk memasak, pemanas ruangan, dan
keperluan rumah tangga lainnya, sehingga populasi yang berisiko menjadi
sangat banyak.
Polusi di dalam ruangan memberikan risiko lebih besar terjadinya
PPOK dibandingkan dengan polusi sulfat atau gas buang kendaraan.
Bahan bakar biomass yang digunakan oleh perempuan untuk
memasak sehingga meningkatkan prevalensi PPOK pada perempuan bukan

24
perokok di Asia dan Afrika. Polusi di dalam ruangan diperkirakan akan
membunuh 2 juta perempuan dan anak-anak setiap tahunnya (GOLD, 2010)

Polusi di luar ruangan


Tingginya polusi udara dapat menyebabkan gangguan jantung dan
paru. Mekanisme polusi di luar ruangan seperti polutan di atmosfer dalam
waktu lama sebagai penyebab PPOK belum jelas, tetapi lebih kecil
prevalensinya jika dibandingkan dengan pajanan asap rokok. Efek relatif
jangka pendek, puncak pajanan tertinggi dalam waktu lama dan pajanan
tingkat rendah adalah pertanyaan yang harus dicari solusinya.

3. Stres Oksidatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan
endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainya, sedangkan oksidan
eksogen dari polutan dan asap rokok. Oksidan intraseluler (endogen) seperti
derivate electron mitokondria transpor termasuk dalam mekanisme seluler
signaling pathway. Sel paru dilindungi oleh oxidative chalange yang
berkembang secara sistem enzimatik atau non enzimatik. Ketika
keseimbangan antara oksidan dan antioksidan berubah bentuk, misalnya
ekses oksidan dan atau deplesi antioksidan akan menimbulkan stress
oksidatif. Stress oksidatif tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada
paru tetapi juga menimbulkan aktifitas molekuler sebagai awal inflamasi
paru. Jadi, ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan memegang
peranan penting pada PPOK.

4. Infeksi saluran nafas bawah berulang


Infeksi virus dan bakteri berperan dalam pathogenesis dan
progresifitas PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan nafas,
berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran berat
pada anak, akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatka
gejala respirasi pada saat dewasa. Terdapat beberapa kemungkinan yang
dapat menjelaskan penyebab keadaan ini, karena seringnya kejadian infeksi

25
berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan nafas
yang merupakan faktor resiko pada PPOK. Pengaruh berat badan lahir
rendah akan meningkatkan infeksi viral yang juga merupakan faktor resiko
PPOK. Kebiasaan merokok berhubunngan dengan kejadian emfisema.
Riwayat infeksi tuberculosis berhubungan dengan obstruksi jalan nafas pada
usia lebih dari 40 tahun.
5. Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor resiko terjadinya PPOK belum dapat di
jelaskan dengan pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan,
pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek dan faktor lain yang berhubungan
dengan status sosial ekonomi kemungkinan dapat menjeaskan hal ini.
Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menurunkan kekuatan dan
ketahanan otot respirasi, karena penurunan masa otot dan kekuatan serabut
otot.
6. Tumbuh Kembang Paru
Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses selama kehamilan,
kelahiran dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi
paru seseorang adalah resiko untuk terjadinya PPOK. Studi menyatakan
bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak.
7. Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor resiko terjadinya PPOK walaupun
belum dapat disimpulkan. Pada laporan the Tucson epidemiological styudy
didapatkan bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi resiko terkena
PPOK daripada bukan asma meskipun telah berhenti merokok. Penelitian
lain 20% dari asma akan berkembang menjadi PPOK dengan ditemukanya
obstruksi jalan nafas irreversible.
8. Gen
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-
lingkungan. Faktor resiko genetic yang paling sering terjadi adalah
kekurangan alfa-1 antitripsin sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat
resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada individu yang berasal dari
eropa utara. Di temukan pada usia muda dengan kelainan emfisema

26
panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok
atau bukan perokok dengan kekurangan alfa-antitrypsin yang berat.

2.2.3 Klasifikasi

Tabel 5. Klasifikasi PPOK

Derajat Klinis Faal Paru

Derajat I : Gejala batuk kronik dan produksi VEP1/KVP < 70%


PPOK sputum ada tetapi tidak sering. Pada VEP1≥ 80% prediksi
Ringan derajat ini pasien sering tidak
menyadari bahwa faal paru mulai
menurun.

Derajat II : Gejala sesak mulai dirasakan saat VEP1/KVP < 70%


PPOK aktivitas dan kadang ditemukan gejala 50% ≤ VEP1< 80%
Sedang batuk dan produksi sputum. Biasanya prediksi
pasien mulai memeriksa kan
kesehatannya.

Derajat III : Gejala sesak lebih berat, penurunan VEP1/KVP < 70%
PPOK Berat aktivitas, rasa lelah dan serangan 30% ≤ VEP1< 50%
eksaserbasi semakin sering dan prediksi
berdampak pada kualitas hidup pasien.

Derajat IV : Gejala diatas dimbah dengan tanda- VEP1/KVP <70%


PPOK tanda gagal napas atau gagal jantung VEP1< 30% prediksi
Sangat Berat kanan dan ketergantungan oksigen. atau
Kualitas hidup pasien memburuk dan VEP1< 50% prediksi
jika eksaserbasi dapat mengancam disertai gagal napas
jiwa. kronik

27
2.2.4 Gejala Klinis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan
kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Gejala klinis yang biasa ditemukan
pada penderita PPOK adalah sebagai berikut:
a) Sesak napas
Sesak napas bersifat progresif (bertambah berat seiring berjalannya
waktu), bertambah berat dengan aktivitas, persisten (menetap sepanjang
hari), pasien mengeluh berupa perlu usaha untuk bernapas.
b) Batuk kronik
Batuk kronik hilang timbul dan mungkin tidak berdahak.
c) Batuk kronik berdahak
Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan PPOK.
Pertimbangkan PPOK dan lakukan uji spirometri jika salah satu indikator
ini ada pada individu di atas usia 40 tahun. Indikator ini bukan merupakan
diagnosis pasti, tetapi keberadaan beberapa indikator kunci meningkatkan
kemungkinan diagnosis PPOK. Spirometri diperlukan untuk memastikan
diagnosis PPOK.

2.2.5 Diagnosis
Anamnesa - Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa
gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
Pemeriksaan Inspeksi
Fisik - Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal

28
sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil,
letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa
atau pada ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Pemeriksaan 1. Faal paru
penunjang Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % )
- Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %.
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai
sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%

29
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
VEP1/APE, perubahan VEP1/APE < 20% dan < 200 ml dari
nilai awal.
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.

2. Laboratorium darah
Hemoglobin (Hb), Leukosit, Trombosit.
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum)
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

30
2.2.6 Diagnosis Banding
Diagnosis Gejala
PPOK - Onset pada usia pertengahan.
- Gejala progresif lambat.
- Lamanya riwayat merokok.
- Sesak saat aktivitas.
- Sebagian besar hambatan aliran udara.
- Ireversibel
Asma - Onset awal sering pada anak.
- Gejala bervariasi dari hari ke hari.
- Gejala pada malam / menjelang pagi.
- Disertai atopi, rhinitis, atau eksim.
- Riwayat keluarga dengan asma.
- Sebagian besar keterbatasan aliran udara.
- Reversible
Gagal jantung - Auskultasi terdengar ronki halus di bagian basal.
kongestif - Foto thorak tampak jantung membesar, edema paru.
- Uji faal paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi.

SOPT - penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada


(sindrom obstruksi pasien pascatuberkulosis dengan lesi paru yang
pasca tuberculosis) minimal

2.2.7 Penatalaksanaan
a) Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah progresifitas penyakit
- Meningkatkan toleransi latihan
- Meningkatkan status kesehatan
- Mencegah dan menangani komplikasi

31
- Mencegah dan menangani eksaserbasi
- Menurunkan kematian

Tabel 6. Penatalaksanaan Secara Umum

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :


1. Edukasi
2. Berhenti merokok
3. Obat – obatan
4. Rehabilitasi
5. Terapi oksigen
6. Ventilasi mekanis
7. Nutrisi

32
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil.Inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut
secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun
bagi keluarganya.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan
ditentukan skala prioritas bahan edukasi sebagai berikut :
2. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu
diagnosis PPOK ditegakkan.
3. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu
atau kalau perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
 Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
 Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
 Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya

33
Tanda eksaserbasi :
- Batuk bertambah
- Sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
 Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
 Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,


langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian
edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu
banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam
pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan
penyakit kronik progresif yang ireversibel.

2. Berhenti Merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif
dalam mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat
progresifitas penyakit.

3. Obat-obatan
 Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit.Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebulizer tidak
dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang
(longacting).

34
Macam - macam bronkodilator :
a. Golongan Antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi mucus (maksimal 4 kali
perhari).
b. Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang
berefek panjang.Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka
panjang.Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat.
c. Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana
dan mudah digunakan.
d. Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet
biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk
suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin
darah.

 Anti Inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih
golongan metilprednisolon atau prednison.Bentuk inhalasi sebagai terapi
jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu

35
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal
250 mg.

 Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi.

 Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi
yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin

 Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan
sputum yang kental. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik,
tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

 Antitusif
Diberikan dengan hati-hati

4. Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualiti hidup pasien PPOK.Pasien yang dimasukkan ke dalam
program rehabilitasi adalah mereka yang telahmendapatkan pengobatan
optimal yang disertai :
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualiti hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu
tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan
psikolog. Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis,
psikososial dan latihan pernapasan.

36
5. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler
dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.
Indikasi :
- PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan Ppullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan,
sleep apnea, penyakit paru lain

6. Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan
gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien
PPOK derajat berat dengan napas kronik.Ventilasi mekanik dapat digunakan
dirumah sakit di ruang ICU atau di rumah.Ventilasi mekanik dapat dilakukan
dengan cara :
- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi

7. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi
hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK
karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan
analisis gas darah.

b) Penatalaksanaan Pada Eksaserbasi Akut


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor
lainnya seperti polusi udara, kelelahan, atau timbulnya komplikasi.

37
Tanda eksaserbasi :
- Sesak bertambah
- Batuk bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum (menjadi purulent)

Eksaserbasi akut dibagi atas:


- Tipe I (eksaserbasi berat) : memiliki 3 gejala diatas
- Tipe II (eksaserbasi sedang) : memiliki 2 gejala diatas
- Tipe III (eksaserbasi ringan) : memiliki 1 gejala diatas ditambah
infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi
pernapasan > 20% nilai dasar, atau frekuensi nadi > 20% nilai dasar.

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi


segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas.Bila
telah terjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada eksaserbasi akut adalah :
 Diagnosis berat nya eksaserbasi :
- Frekuensi napas
- Kesadaran
- Tanda vital
- Analisa gas darah
- Pneumonia
 Terapi oksigen adekuat
 Pemberian obat-obatan yang optimal, obat yang diperlukan pada
eksaserbasi akut adalah :
- Bronkodilator
- Kortikosteroid
- Antibiotik

38
Antibiotik diberikan pada :
- Pasien PPOK eksaserbasi dengan semua gejala cardinal (sesak napas
yg bertambah, meningkatnya jumlah sputum, dan bertambahnya
purulensi sputum).
- Pasien PPOK eksaserbasi dengan dua dari gejala kardinal, apabila
salah satunya adalah bertambahnya purulensi sputum.
- Pasien PPOK eksaserbasi berat yang membutuhkan ventilasi mekanis.

Keputusan untuk memilih penggunaan antibiotic oral atau intravena


berdasarkan kemampuan pasien untuk makan dan farmakokinetik antibiotik
tersebut. Disarankan adalah pemakaian oral. Apabila digunakan antibiotic
intravena maka segera dilakukan terapi sulih ( switch therapy) apabila kondisi
pasien membaik. Lama pemberian antibiotik pasien PPOK eksaserbasi adalah
3-7 hari.

c) Terapi Pembedahan
Bertujuan untuk :
- Memperbaiki fungsi paru
- Memperbaiki mekanik paru
- Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi
- Memperbaiki kualiti hidup
Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :
1. Bulektomi
2. Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgey
(LVRS)
3. Transplantasi paru

39
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. A

Umur : 63 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Tiga Lurah

Tanggal Masuk : 5 Agustuts 2018

No. RM : 173036

3.2 Anamnesa
- Keluhan Utama
Sesak nafas meningkat sejak 1 hari SMRS.

- Riwayat Penyakit Sekarang


o Sesak nafas meningkat sejak 1 hari SMRS, sesak tidak menciut.
Sesak dipengaruhi oleh emosi dan cuaca. Sesak tidak dipengaruhi
oleh aktivitas dan makanan. Sesak juga dirasakan saat batuk dan
berkurang saat istirahat. Sesak sudah dirasakan sejak 3 bulan yang
lalu, hilang timbul. Dalam seminggu sesak dirasakan lebih 1 kali
dan terbangun malam lebih 2 kali sebulan.
o Batuk meningkat sejak 1 minggu SMRS. Batuk berdahak, dahak
berwarna putih kekuningan, kental dan susah dikeluarkan. Batuk
sudah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, hilang timbul.
o Demam 10 hari SMRS. Demam tidak menggigil, hilang timbul.

40
o Keringat malam ada sejak 2 minggu SMRS.
o Nafsu makan menurun 15 hari SMRS, BB terasa berkurang 4 kg
dari BB 62 kg menjadi 58 kg.
o Nyeri dada tidak ada.
o BAB dan BAK normal.

- Riwayat Penyakit Dahulu


o Riwayat minum OAT disangkal.
o Riwayat diabetes melitus disangkal
o Riwayat hipertensi disangkal
o Riwayat jantung disangkal
o Riwayat asma disangkal

- Riwayat Penyakit Keluarga


o Riwayat minum OAT disangkal
o Riwayat diabetes melitus disangkal
o Riwayat hipertensi disangkal
o Riwayat jantung disangkal
o Riwayat asma disangkal

- Riwayat Pekerjaan dan Kebiasaan:


o Pekerjaan: Petani sawah
o Kebiasaan:
 Merokok
Usia : 20 tahun
Berhenti merokok : 68 tahun
Jumlah batang/hari : 32 batang
Indeks brinkman : 1536 (perokok berat)
 Narkoba disangkal
 Alkohol disangkal

41
3.3 Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Fisik Umum
- Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : CMC
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Nadi : 104 x/menit
- Nafas : 26 x/menit
- Suhu : 36,8°C
- BB : 58 Kg
- TB : 172 cm

b. Kepala dan Leher


- Konjungtiva anemis (-/-)
- Sklera ikterik (-/-)
- JVP : 5-2 cmH2O
- KGB : tidak ada pembesaran KGB

c. Paru
- Inspeksi :
- Statis : Dinding dada simetris kiri dan kanan
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kiri sama dengan dinding
dada kanan
- Palpasi : Fremitus taktil sama kiri dan kanan
- Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
- Auskultasi : Rhonki (+/+) diapeks paru kiri dan kanan,
wheezing (-/-), ekspirasi memanjang (+/+)

d. Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari medial LMCS RIC 5
- Perkusi : Dalam batas normal
- Auskultasi : Irama reguler, murmur (-), gallop (-)

42
e. Abdomen
Inspeksi : Perut tidak membuncit, asites (-), sikatrik (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Tympani
Auskultasi: Bising usus (+) normal

f. Ekstremitas
- Akral hangat (+/+)
- Edema (-/-), sianosis (-/-)

3.4 Pemeriksaan Laboratorium


- Darah Rutin:
o Hemoglobin : 12,1 g/dL
o Hematokrit : 36,6%
o Leukosit : 21.680/uL
o Trombosit : 443.000/uL

3.5 Diagnosis Kerja


Susp. TB paru kasus baru + Susp. PPOK eksaserbasi akut

3.6 Diagnosis Banding


- Susp. Bronkopneumonia + Susp. Asma persisten ringan dalam serangan
akut sedang
- Susp. Bronkiektasis terinfeksi + Susp. Bronkitis kronik

3.7 Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi :
- O2 kanul nasal 3 liter/menit
- Drip aminophilin 14,5 cc dalam RL 500 cc 12 jam/kolf
- Nebulisasi ipratropium bromide + salbutamol 3 x1
- Amoksisilin tab 3 x 500 mg
- Ambroxol tab 3 x 30 mg

43
- Curcuma tab 2 x 200 mg
- Paracetamol tab 3 x 500 mg

b. Non Farmakologi :
- Istirahat
- Kurangi aktivitas dan berbicara

3.8 Pemeriksaan Anjuran


- Rontgen toraks PA
- Pemeriksaan sputum BTA
- Spirometri

44
FOLLOW UP
Selasa, 7 Agustus 2018
Anamnesis
Sesak nafas : Masih ada, belum berkurang
Demam : Ada
Batuk/batuk berdarah : Batuk berdahak berwarna putih kekuningan, sulit
dikeluarkan, berdarah (-)
Nyeri dada : Tidak ada
Nafsu makan : Menurun

Pemeriksaan Fisis
- KU : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : CMC
- TD/nadi : 120/80 mmHg, 101x/menit
- Nafas : 24 x/menit

Paru

- Inspeksi :
- Statis : Dinding dada simetris kiri dan kanan
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kiri sama dengan dinding
dada kanan
- Palpasi : Fremitus taktil sama kiri dan kanan
- Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
- Auskultasi : Rhonki (+/+) diapeks paru kiri dan kanan,
wheezing (-/-), ekspirasi memanjang (+/+)

Kesan
Susp. TB paru kasus baru + Susp. PPOK eksaserbasi akut STQ

Terapi
Farmakoterapi :
- O2 kanul nasal 3 liter/menit

45
- Drip aminophilin 14,5 cc dalam RL 500 cc 12 jam/kolf
- Nebulisasi ipratropium bromide + salbutamol 3 x1
- Amoksisilin tab 3 x 500 mg
- Ambroxol tab 3 x 30 mg
- Curcuma tab 2 x 200 mg
- Paracetamol 3x500 mg

Anjuran
- Istirahat
- Kurangi aktivitas dan berbicara

46
FOLLOW UP
Rabu, 8 Agustus 2018
Anamnesis
Sesak nafas : Sudah berkurang
Demam : Ada
Batuk/batuk berdarah : Batuk berdahak berwarna putih, sulit
dikeluarkan, berdarah (-)
Nyeri dada : Tidak ada
Nafsu makan : Menurun

Pemeriksaan Fisis
- KU : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : CMC
- TD/nadi : 110/70 mmHg, 89x/menit
- Nafas : 22 x/menit

Paru

- Inspeksi :
- Statis : Dinding dada simetris kiri dan kanan
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kiri sama dengan dinding
dada kanan
- Palpasi : Fremitus taktil sama kiri dan kanan
- Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
- Auskultasi : Rhonki (+/+) diapeks paru kiri dan kanan,
wheezing (-/-), ekspirasi memanjang (-/-)

Terapi
Farmakoterapi :
- O2 kanul nasal 2 liter/menit
- IVFD RL 12 jam/kolf
- Aminophiline tab 2 x 200mg
- Nebulisasi ipratropium bromide + salbutamol 3 x1

47
- Amoksisilin tab 3 x 500 mg
- Ambroxol tab 3 x 30 mg
- Curcuma tab 2 x 200 mg
- Paracetamol tab 3 x 500 mg
- Rifampisin tab 1 x 580 mg
- Isoniazid tab 1 x 290 mg
- Pirazinamid tab 1 x 1450 mg
- Etambutol tab 1 x 1160 mg
Kesan
TB paru kasus baru + Susp. PPOK eksaserbasi akut dalam perbaikan

Anjuran
- Istirahat
- Kurangi aktivitas dan berbicara

48
FOLLOW UP
Kamis, 9 Agustus 2018
Anamnesis
Sesak nafas : tidak ada
Demam : Ada
Batuk/batuk berdarah : Batuk berdahak berwarna putih, sulit dikeluarkan,
berdarah (-)
Nyeri dada : Tidak ada
Nafsu makan : Menurun

Pemeriksaan Fisis
- KU : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : CMC
- TD/nadi : 120/70 mmHg, 78x/menit
- Nafas : 20 x/menit

Paru

- Inspeksi :
- Statis : Dinding dada simetris kiri dan kanan
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kiri sama dengan dinding
dada kanan
- Palpasi : Fremitus taktil sama kiri dan kanan
- Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
- Auskultasi : Rhonki (+/+) diapeks paru kiri dan kanan,
wheezing (-/-), ekspirasi memanjang (-/-)

Terapi
Farmakoterapi :
- O2 kanul nasal 2 liter/menit
- IVFD RL 12 jam/kolf
- Aminophiline tab 2 x 200mg
- Nebulisasi ipratropium bromide + salbutamol 3 x1

49
- Amoksisilin tab 3 x 500 mg
- Ambroxol tab 3 x 30 mg
- Curcuma tab 2 x 200 mg
- Paracetamol tab 3x500 mg
- Rifampisin tab 1 x 580 mg
- Isoniazid tab 1 x 290 mg
- Pirazinamid tab 1 x 1450 mg
- Etambutol tab 1 x 1160 mg

Kesan
TB paru kasus baru + Susp. PPOK eksaserbasi akut dalam perbaikan

Anjuran
- Istirahat
- Kurangi aktivitas dan berbicara

50
BAB IV
ANALISA KASUS

Seorang laki-laki, berumur 63 tahun bekerja sebagai petani sawah datang


ke Bangsal Paru kiriman dari IGD RSUD Solok dengan keluhan sesak nafas pada
Minggu, 5 Agustus 2018. Diagnosa: Susp. TB paru kasus baru + Susp. PPOK
eksaserbasi akut. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan
fisik.
Pada anamnesa ditemukan keluhan Sesak nafas meningkat sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit, sesak tidak menciut, dipengaruhi oleh emosi dan
cuaca, dan tidak dipengaruhi aktivitas dan makanan. Sesak juga dirasakan saat
batuk dan berkurang saat istirahat. Sesak sudah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu,
hilang timbul. Dalam seminggu sesak dirasakan lebih 1 kali dan terbangun malam
lebih 2 kali sebulan. Batuk berdahak meningkat sejak 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit. dahak berwarna putih kekuningan, kental, susah dikeluarkan dan
tidak berdarah. Batuk sudah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu hilang timbul.
Demam 10 hari yang lalu. Demam hilang timbul, tidak menggigil. Nafsu makan
menurun 15 hari yang lalu, BB terasa berkurang 4 kg dari BB 62 kg menjadi 58
kg. BAB dan BAK normal.

Pada riwayat penyakit dahulu didapatkan riwayat minum OAT disangkal.


riwayat diabetes melitus disangkal, riwayat hipertensi disangkal, riwayat jantung
disangkal, riwayat asma disangkal. Pasien bekerja sebagai petani sawah,
kebiasaan merokok sejak usia 20 tahun, berhenti merokok 68 tahun, 32
batang/hari, indeks brinkman 1536 (perokok berat), narkoba disangkal, alkohol
disangkal.

Pemeriksaan fisik yang didapatkan keadaan Umum tampak sakit sedang


kesadaran: Compos Mentis, tekanan darah : 130/80 mmHg, nadi : 104 x/menit
nafas: 26 x/menit, suhu: 36,8°C, BB : 58 Kg, TB: 172 cm. Pada pemeriksaan paru
didapatkan inspeksi : statis : dinding dada simetris kiri dan kanan, dinamis:
pergerakan dinding dada sama kiri dan kanan. Palpasi : fremitus taktil sama kiri
dan kanan. Perkusi : sonor dikedua lapang paru. Auskultasi: Rhonki (+/+) diapeks

51
paru kiri dan kanan, wheezing (-/-), ekspirasi memanjang (+/+). Ekstremitas:
akral hangat, edema (-), sianosis (-). Pemeriksaan Laboratorium, darah rutin
haemoglobin :12,1 g/dL, hematokrit: 36,6%, leukosit: 21.680/uL, trombosit:
443.000/uL.
Farmakoterapi yang diberikan adalah : O2 kanul nasal 2 liter/menit, drip
aminophilin 14,5 cc dalam RL 500 cc 12 jam/kolf, nebulisasi ipratropium bromide
+ salbutamol 3 x1, metil prednisolon tab 2 x 4 mg, amoksisilin tab 3 x 500 mg,
ambroxol tab 3 x 30 mg, curcuma tab 2 x 200 mg dan paracetamol 3x500 mg.
Pada pasien dianjurkan untuk dilakukan rontgen toraks PA, pemeriksaan
BTA sputum.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia. 2011.


Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
2. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit.Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.
3. Halim, Hadi. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. 3. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK (Penyakit paru Obstruktif
Kronik), pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia; 2011.

53

Anda mungkin juga menyukai