Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebutuhan Dasar Manusia Dosen
pembimbing : Ns. Dicky Endrian Kurniawan, S.kep., M.Kep,
2018
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat,
Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Penderita dengan Gangguan
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia”.
Dalam penulisan makalah ini, kami telah mendapat banyak bantuan dari
banyak pihak. Kami menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Ns. Dicky Endrian Kurniawan, S.kep., M.Kep, sebagai PJMK
Kebutuhan Dasar Manusia sekaligus Dosen Pembimbing
2. Seluruh rekan kelas A angkatan 2017
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa
masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya.
kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata
“sempurna” untuk itu kami sebagai penulis menerima saran dan kritik yang
bersifat membangun. Penyusun berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat
bagi pembaca pada umumnya dan bagi kami sebagai penulis pada khususnya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
1.2 Tujuan...............................................................................................................2
4.1 Kesimpulan.....................................................................................................71
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urine secara tak terkendali dan
atau tidak pada tempatnya (mengompol) (Tjokronegoro dan Utama, 2001). Data
di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami
inkontinensia urine. Penduduk dunia sekitar 200 juta mengalami inkontinensia urin
(WHO, dalam Collein, 2012). Hasil survey yang dilakukan di rumah sakit – rumah
sakit menunjukkan penderita inkontinesia di seluruh Indonesia mencapai 4,7% atau
sekitar 5-7 juta penduduk dan 60% diantaranya adalah wanita (Jurnal Keperawatan
Soedirman, The Soedirman Journal of Nursing. 2007). Sedangkan angka kejadian
pada gangguan eliminasi yang merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang seperti di Indonesia yang masih tinggi yaitu diare. Survei morbiditas
yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010
terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR penyakit Diare 301/ 1000
penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi
423 /1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. (Depkes, 2011)
Kesulitan atau gangguan dalam proses eliminasi ini akan menimbulkan
penyakit yang mana jika kita tidak mengetahui gejala, cara pencegahan dan cara
pengobatannya akan menimbulkan gangguan yang lebih serius pada proses
eliminasi. Maka dari itu disinilah peran perawat dibutuhkan, disini perawat
berperan untuk memberikan asuhan keperawatan ketika seorang klien mendapatkan
gangguan eliminasi mulai dari menganalisis gejala yang terjadi sampai dengan
memberikan asuhan keperawatan yang tepat.
1.2 Tujuan
2
BAB II
TELAAH LITERATUR
1. Ginjal
Ginjal berada dibagian belakang kavum abdominalis area
retroperitoneal bagian atas pada kedua sisi vertebra lumbalis III dan
melekat pada dinding abdomen. Berbentuk seperti biji buah kacang
merah terdapat dua buah yang terletak kiri dan kanan, ginjal sebelah kiri
lebih besar dari sebelah kanan. Berat ginjal pada orang dewasa (kurang
lebih) 200 gram (Nian & Dhina, 2017).
3
Ginjal memiliki fungsi sebagai pertahanan homeostatic dengan
mengatur volume cairan, keseimbangan osmotic, asam basa, ekskresi sisa
metabolism, sistem pengaturan hormonal dan metabolism (Syaifuddin,
2010).
4
2) Sumsum Ginjal (medula)
Sumsum ginjal berbentuk kerucut yang disebut piramida
renal. Dasarnya menghadap korteks dan puncaknya disebut
apeks atau papilla renis yang mengarah ke bagian dalam
ginjal. Satu piramida dengan jaringan korteks disebut lobus
ginjal dan diantara piramida terdapat jaringan korteks
(kolumna renal). Bagian ini tempat berkumpul ribuan
pembuluh halus lanjutan dari simpai bowman. Pada
pembuluh halus ini terangkut urine hasil dari penyaringan
darah dalam badan malphigi setelah mengalami berbagai
proses (Nian & Dhina, 2017).
5
Gambar Bagian Nefron
c. Vaskularisasi Ginjal
6
d. Persyarafan Ginjal
2. Ureter
Ureter memiliki dua saluran pipa yang bersambung dari ginjal ke
kandung kemih (vesika urinaria) panjangnya 25-30 cm dengan
penampang (kurang lebih) 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada dalam
rongga abdomen dan sebagian dalam rongga pelvis. Lapisan pada ureter
yaitu dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa), lapisan tengah otot
polos dan lapisan sebelah dalam lapisan mukosa. Lapisan pada ureter
7
bergerak peristaltic tiap 5 menit sekali yang mendorong urine ke dalam
kandung kemih (Nian & Dhina, 2017).
8
(dikutip dari www.adamimages.com)
4. Uretra
9
Gambar Uretra Wanita
10
Makanan dapat dicerna secara optimal dalam saluran pencernaan
harus memiliki persediaan air, elektrolit, dan makanan secara terus menerus
yang membutuhkan :
5. Mulut
11
a. Gigi
Gambar Gigi
b. Lidah
Gambar Lidah
12
6. Esofagus
Gambar Esofagus
7. Lambung
Gambar Lambung
13
8. Usus Halus
9. Usus Besar
14
Sumber: Raimundus, 2016
2.2.1 Definisi
15
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi
10. Usia
16
defekasi dan miksi. Latihan ini dapat juga merangsang terhadap
timpulnya peristaltic (Asmadi, 2008).
14. Stress Psikologis
a. Definisi
Eliminasi alvi merupakan proses pengeluaran sisa-sisa
metabolismee yang berupa feses yang berasal dari saluran
pencernaan melali anus. Sistem tubuh yang berperan dalam
eliminasi ini adalah sistem gastrointestinal bawah. (Rakhman
dkk, 2014)
Usus besar (kolon) adalah bagian bawah saluran
pencernaan dimulai dari katup ileum ke anus. Panjang kolon
pada orang yang sudah dewasa biasa mencapai ± 1,5 meter
(Andra dalam Asmadi, 2008). Dua lapisan otot polos tersusun
dalam dinding kolon. Sel-sel mukosa berfungsi melicinkan
jalannya chime. Pada akhir bagian dari kolon terdapat rektum
17
dengan panjangnya ± 13 cm pada orang dewasa serta bagian
distalnya terdapat anus. Kolon berfunsi untuk
mengonsentrasikan chime menjadi massa yang padat melalui
penyerapan air yang lebih banyak serta mengekskreikan
dalam bentuk feses. (Asmadi, 2008)
b. Proses Defekasi
18
volunteer. Tekanan dihasilkan oleh otot-otot abdomen,
saat ini terjadi defekasi (Rakhman dkk, 2014).
2) Refleksi Defekasi Parasimpatetis
19
fermentasi akan mengakibatkan asam amino, indole, stale dan
hidogen sulfide yang membuat fases akan mengajdi sangat
bau (Asmadi, 2008).
1) Warna feses
2) Konsistensi
3) Frekuensi
5) Permukaan fases
20
yang dikonsumsi.
f. Karakteristik fases abnormal Menurut Asmadi, 2008:
1) Konsistensi
a. Definisi
21
Sumber : pearce 2004
Gambar. Organ ginjal
1) Filtrasi
22
2) Reabsorsi
23
hanya saja berisi air, Na-, Cl-, K-, PO42-, asam urat, urea,
dan kreatinin (Rakhman dkk, 2014).
c. Proses Miksi
24
Tabel 1. Jumlah urine pada manusia
a. Defekasi :
1. Diare :
25
i. Pengertian
iii. Patofisiologi
Menurut Dwiendra, 2014 diare dapat
disebabkan oleh satu atau lebih
patofisiologi :
1) Diare Sekretorik
Tipe diare ini disebabkan oleh meningkatnya sekresi
air dan elektrolit dari usus, menurunnya absorbs. Pada
diare ini secara klinis ditemukan diare dengan volume
tinja yang banyak sekali.
2) Diare Osmotik
Tipe diare ini disebabkan meningkatnya tekanan
osmotic intralumen dari usus halus yang disebabkan oleh
26
obat-obat atau zat kimia yang hiperosmotik antara lain
MgSO4, Mg(OH)2).
3) Malabsorbsi asam empedu dan lemak
Diare tipe ini didapatkan pada gangguan
pembentukan atau produksi micelle empedu dan
penyakit-penyakit saluran bilier dan hati.
4) Defek sistem pertukaran anion atau transport elektrolit
aktif di enterosit
Diare ini disebabkan adanya hambatan mekanisme
transport aktif.
5) Motilitas dan waktu transit usus yang abnormal
Diare ini disebabkan hipermotilitas dan iregularitas
motilitas usus sehingga menyebabkan absorbs yang
abnormal di ussus halus. Penyebabnya diabetes mellitus,
pasca vagotomi, hipertiroid.
6) Gangguan permeabilitas usus
Diare ini disebabkan permeabilitas usus yang
abnormal karena adanya kelainan morfologi membrane
epitel spesifik pada usus halus.
7) Diare inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon dapat
menyebabkan diare pada beberapa keadaan. Akibat
kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction,
tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah dan limfatik
menyebabkan air, elektrolit, mucus, protein dan
seringkali sel darah merah dan putih menumpuk dalam
lumen. Diare akibat inflamasi berhubungan dengan tipe
diare lain seperti diare osmotic dan diare sekretorik.
8) Diare infeksi
Infeksi karena bakteri merupakan penyebab
tersering dari diare. Dari sudut kelainan usus, diare karena
bakteri dibagi atas non-invasif dan invasif (merusak
27
mukosa). Bakteri non-invasif menyebabkan diare karena
toksin yang disekresikan oleh bakteri tersebut.
iv. Tanda dan Gejala
Menurut Alimul, 2006 tanda klinis diare :
1) Adanya pengeluaran feses cair.
3) Nyeri/kram abdomen.
c. Adsorben
d. Antibiotik
a) Metronidazole,Contoh :Anmerob
b) Kloramfenikol,Contoh :Bufacetin
28
c) Amoksisilin dan Ampisilin, Contoh : Amoxsan
dan Sanpicillin
a) Terapi parenteral
29
2. Konstipasi
i. Pengertian
b) Konstipasi Kolonik
Yaitu konstipasi yang ditandai dengan feses yang
keras, feses kering akibat lambatnya pengeluaran feses
(Surilah, 2017).
c) Perceived constipation
Yaitu konstipasi yang diderita pada seseorang yang
menyatakan dirinya menderita konstipasi hingga orang
tersebut mengonsumsi laksatif untuk mengatasinya
(Surilah, 2017).
ii. Penyebab
a) Pola defekasi yang tidak teratur.
30
antikolinergik dan zat besi dapat menurunkan motilitas
usus sehingga dapat menyebabkan konstipasi. Besi dapat
merusak mukosa usus sehinga dapat menyebabkan
konstipasi tetapi besi juga dapat mengiritasi mukosa usus
sehingga pada beberapa individu besi dapat menyebabkan
diare.
e) Usia : pada usia lanjut mengalami penurunan kualitas otot
perut, sekresi intestinal juga menurun sehingga
menyulitkan proses defekasi.
f) Proses penyakit : obstruksi usus, ileus paralitik, injury
spinal cord dan tumor.
g) Penggunaan laksatif yang berlebihan : dapat menghambat
reflek fisiologis untuk BAB.
31
4) Nyeri abdomen
v. Penatalaksanaan
1) Farmakologi
c) Lactulosa
32
defekasi.
b. Produk bulk forming agent
3. Impaction
i. Pengertian
iii. Patofisiologi
Impaction merupakn akibat lanjut dari dari konstipasi
sehingga tumpukan feses yang yang keras directum tidak
bisa dikeluarkan. Pada impaction yang berat tumpukan
feses yang keras dapat tarjadi sampai direktum dan tidak
bisa dikeluarkan (Surilah, 2017).
33
v. Penatalaksanaan
1) Farmakologi
b) Sorbitol
c) Lactulosa
i. Pengertian
34
karena pengumpulan gas secara berlebihan dalam
lambung atau usus (Alimul, 2006).
ii. Penyebab
iii. Patofisiologi
Pertama dari udara yang tertelan, hal ini terjadi
karena udara terjebak saat aktifitas menelan saat makan
atau minum yang terburu-buru, mengunyah permen
karet, merokok, minum minuman bersoda dan
beralkohol, atau saat kejadian nafas yang memburu.
Udara yang tertelan ini akan dikeluarkan kembali
dengan cara sendawa, namun sisanya akan ikut saluran
pencernaan sampai dengan menjadi gas
buang. Komposisi terdiri dari nitrogen, oksigen dan
karbon dioksida (Muhtadi, 2012).
Kedua adalah dari meningkatnya produksi gas dalam
pencernaan karena hasil kerja bakteri di usus besar yang
memproses makanan tidak tercerna sempurna pada usus
halus. Ada sebanyak 30-150 gram makanan yang belum
tercerna sempurna pada usus halus sudah masuk ke usus
35
besar setiap harinya yang sebagian besar adalah
karbohidrat. Sehingga makin tinggi konsumsi
karbohidrat, akan semakin besar kemungkinan tingginya
produksi gas dalam usus besar. Ini dapat terjadi karena
adanya kekurangan enzim-enzim pencernaan.
Komposisi gas karena penyebab kedua ini terdiri dari
carbon monoksida, hydrogen, methane, dan sulfur.
Makanan yang dapat membuat tingginya produksi gas
buang pada seseorang belum tentu menghasilkan
jumlah gas yang sama untuk orang lain. Ini
disebabkan karena ada dua jenis bakteri di mana bakteri
kedua dapat mengeliminasi hydrogen yang dihasilkan
oleh bakteri pertama. Perbedaan jumlah bakteri ini
dalam pencernaan menyebabkan produksi gas buang
tidak sama di setiap orang (Muhtadi, 2012).
v. Penatalaksanaan
1) Farmakologi
Obat antiflatulen
a) Cisapride adalah obat yang meningkatkan
konstraksi lambung dan usus.
b) Dimethicone dan derivatnya adalah obat yang
menurunkan tegangan permukaan gas di dalam
pencernaan.
36
mempengaruhi sekresi lambung.
2) Non farmakologi
i. Pengertian
37
1) Inkontinensia feses akibat konstipasi
38
sfingter interna dan seperti halnya kandung kemih,
tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada
orang dewasa normal, karena ada inbisi atau
hambatan dari pusat di korteks serebri (broklehurst
dkk, 1987).
4) Inkontinensia feses karena hilangnya reflek anal
Inkontinensia alvi ini terjadi akibat karena hilangnya
refleks anal, disertai kelemahan otot- otot seran
lintang atau otot rangka. Parks, Henry dan Swash
dalam penelitiannya dkk, 1987 menunjukkan
berkurangnya unit – unit yang berfungsi motorik
pada otot – otot daerah sfingter dan pubo-rektal,
keadaan ini menyebabkan hilangnya reflek anal,
berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya
tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia
feses pada peningkatan tekanan intra abdomen
iii. Patofisiologi
Reflek defekasi parasimpatis
Saraf rectum
Intensifkan peristaltic
39
Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap
adekuat. Namun beberapa orang lansia mengalami
ketidaknyamanan akibat motilitas yang melambat.
Peristaltik di esophagus kurang efisien pada lansia.
Selain itu, sfingter gastroesofagus gagal berelaksasi,
mengakibatkan pengosongan esophagus terlambat.
Keluhan utama biasanya berpusat pada perasaan penuh,
nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motalitas
gaster juga menurun, akibatnya terjadi keterlambatan
pengosongan isi lambung.
Berkurangnya sekresi asam dan pepsin akan
menurunkan absorsi besi, kalsium dan vitamin B12.
Absorsi nutrien di usus halus juga berkurang dengan
bertambahnya usia namun masih tetap adekuat. Fungsi
hepar, kantung empedu dan pankreas tetap dapat di
pertahankan, meski terdapat insufisiensi dalam absorsi
dan toleransi terhadap lemak. Impaksi feses secara akut
dan hilangnya kontraksi otot polos pada sfingter
mengakibatkan inkontinensia feses.
iv. Tanda dan Gejala
Tanda inkontinensia fekal adalah kebocoran atau
sedikit kehilangan kontrol usus. Tanda dari
inkontinesia fekal dapat beragam, mulai dari
merembesnya tinja cair (inkontinensia sebagian)
hingga keluarnya tinja padat secara tak terduga setiap
harinya (inkontinensia total). Tanda awal dari
inkontinensia berupa:
1) Keluarnya gas atau buang angin secara tidak
terduga dan tanda tersebut bisa terus memburuk.
2) Individu mengalami mencret atau keluar cairan dari
daerah anus. Apabila terus menerus terkena cairan
tersebut, maka kulit di sekitar daerah perineum
40
dapat mengalami peradangan atau iritasi.
3) Penderita biasanya akan mengalami sakit atau
ketidaknyamanan, kulit tergores atau gatal- gatal
pada daerah perianal.
v. Penatalaksanaan
1) Farmakologi
Terapi fisik
i. Pengertian
41
peningkatan tekanan di daerah anus yang dapat
disebabkan karena konstipasi, peregangan saat defekasi,
dan lain-lain (Alimul, 2006). Hal ini terjadi pada
defekasi yang keras, pada kehamilan, gagal jantung dan
penyakit hati menahun. Perdarahan dapat mudah terjadi
dengan mudah jika dinding pembuluh merenggang. Jika
terjadi inflamasi dan pengerasan, maka individu merasa
panas dan terasa gatal. Karena adanya rasa nyeri saat
BAB maka kadang-kadang individu mengabaikan
keinginannya untuk BAB sehingga dapat terjadi
konstipasi sebagai akibat lanjut dari hemorrhoid
(Surilah, 2017).
ii. Penyebab
d. Kegemukan.
e. Kehamilan
42
dapat dibedakan atas hemoroid eksterna dan interna.
43
ke dalam setelah buang air besar.
44
a. Koagulasi dengan inframerah
b. Miksi
1. Retensi
i. Pengertian
45
detrusor yang lemah.
d. Sfringter yang kuat
iii. Patofisiologi
Retensi urine dapat terjadi menurut lokasi, factor
obat dan factor lainnya seperti ansietas, kelainan
patologi urethra, trauma dan lain sebagainya.
Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal
berupa kerusakan pusat miksi di medulla spinalis
menyebabkan kerusaan simpatis dan parasimpatis
sebagian atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi
dengan otot detrusor yang mengakibatkan tidak adanya
atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal, vesikal
berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang,
intravesikal berupa hipertrofi prostate, tumor atau
kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil menyebabkan
obstruksi urethra sehingga urine sisa meningkat dan
terjadi dilatasi bladder kemudian distensi abdomen.
Faktor obat dapat mempengaruhi proses BAK,
menurunkan tekanan darah, menurunkan filtrasi
glumerolus sehingga menyebabkan produksi urine
menurun. Faktor lain berupa kecemasan, kelainan
patologi urethra, trauma dan lain sebagainya yang dapat
meningkatkan tensi otot perut, peri anal, spinkter anal
eksterna tidak dapat relaksasi dengan baik. Dari semua
factor di atas menyebabkan urine mengalir lambat
kemudian terjadi poliuria karena pengosongan kandung
kemih tidak efisien. Selanjutnya terjadi distensi bladder
dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan,
salah satunya berupa kateterisasi urethra.
iv. Tanda dan Gejala
1) Diawali dengan urine mengalir lambat.
46
menjadi parah karena pengosongan kandung kemih
tidak efisien.
3) Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung
kemih.
4) Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan
merasa ingin BAK.
5) Pada retensi berat bisa mencapai 2000 -3000 cc.
v. Penatalaksanaan
1) Farmakologi
Terapi Alfa-blokerz yaitu akan
merelaksasikan otot pada hiperplasia prostat yang
jinak sehingga mengakibatkan peningkatan aliran
kemih dan perbaikan gejala obstruksi.
2) Non farmakologi
Pemasangan Kateter
2. Enuresis
i. Pengertian
47
kelainan anatomi yaitu ukuran kandung kemih yang
kecil. Enuresis primer disebabkan oleh fungsi kandung
kemih dan sistem pengendalian kencing yang belum
matang, biasanya dengan bertambahnya usia fungsi
tersebut akan semakin sempurna. Kebiasaan enuresis
pun akan hilang dengan sendirinya (Prasadja, 2009).
Sedangkan penyebab enuresis sekunder stress
kejiwaan, kondisi fisik yang terganggu, dan alergi.
Enuresis sekunder merupakan tanda dari adanya suatu
penyakit atau masalah psikologis. Apabila enuresis di
siang hari disertai sakit perut dan rasa sakit ketika
kencing kemungkinan besar disebabkan oleh infeksi
pada saluran kemih (Prasadja, 2009).
iii. Patofisiologi
48
pergelangan kaki
6) Mulai mengompol kembali setelah sudah berhenti
selama beberapa minggu atau bulan.
v. Penatalaksanaan
1) Farmakologi
a. Akupuntur
b. Enuresis Alarm
c. Hipnoterapi
i. Pengertian
49
yang tidak dapat diperkirakan.
ii. Penyebab
50
yang dapat mengakibatkan fungsi kontraktil dari
kandung kemih tidak efektif lagi. Pada otot uretra dapat
terjadi perubahan vaskularisasi pada lapisan submukosa,
atrofi mukosa dan penipisan otot uretra. Dengan keadaan
ini menyebabkan tekanan penutupan uretra berkurang.
Otot dasar panggul juga dapat mengalami perubahan
berupa melemahnya fungsi dan kekuatan otot. Secara
keseluruhan perubahan yang terjadi pada sistem
urogenital bagian bawah akibat dari proses menua
sebagai faktor kontributor terjadinya Inkontinensia urin
(Setiati dan Pramantara, 2007).
iv. Tanda dan Gejala
1) Farmakologi
51
a) Menghindari minum berlebih
2.4.1 Pengkajian
1) Pola berkemih
52
d) Polyuria Keadaan produksi urin yang abnormal yang
jumlahnyalebih besar tanpa adanya peningkatan
asupan cairan.
b. Volume urin
Volume urin ini dapat menentukan jumlah urin yang
dikeluarkan/output dalam 24 jam.
2.4.2 Diagnosa
A. Definisi
Keadaan dimana seorang individu mengalami atau
berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine
53
B. Batasan karakteristik
a) Dorongan Berkemih
b) Inkontinensia
c) Nokturia
d) Sering Berkemih
b) Penurunan kapasitas
A. Definisi
Ketidakmampuan individu yang biasanya kontinen, untuk
mencapai toilet tepat waktu untuk berkemih yang mengalami
pengeluaran urin yang tidak sengaja
B. Batasan karateristik
c) Gangguan psikologis
54
3. Inkontinensia Refleks
A. Definisi
Pengeluaran urine involunter pada interval yang dapat
diperiksa ketika mencapai volume kandung kemih tertentu
B. Batasa Karateristik
b) Kerusakan jaringan
A. Definisi
Rembesan urin tiba tiba karena aktivitas yang
meningkatkan tekanan intra abdomen
B. Batasan Karateristik
55
B. Batasan karateristik
a. Pengeluaran urin involunter pada konraksi kandung kemih
c. Menetes
C. Faktor yangberhubungan
a. Sfingter kuat
B. Batasan karateristik
a. Nyeri tekan pada abdomen dengan atau
tanpa disertai dengan resistensi otot yang
dapat di palpasi
b. Perubahan pola defekasi
56
d. Nyeri saat defekasi
A. Definisi
Pasase feses yang lunak dan tidak berbentuk
B. Batasan karateristik
a. Ada dorongan untuk defekasi
d. Nyeri abdomen
B. Batasan Karateristik
a. Dorongan defekasi
57
C. Faktor yang berhubungan
a. Faktor lingkungan (mis, tidak mengakses kamar mandi)
58
59
2.4.3 Intervensi
Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
Perubahan pola Tujuan perawatan : pola 1. Kaji pola berkemih, dan catat 1. Mengetahui fungsi ginjal.
eliminasi kembali normal produksi urine tiap jam. 2. Untuk mengetahui apakah ada
eliminasi urine
selama perawatan 2. Palpasi kemungkinan adanya tanda – tanda distensi pada
berhubungan dengan
distensi kandung kemih. kandung kemih yang dapat
kelumpuhan syarat
Kriteria hasil : produksi urine 3. Anjurkan pasien untuk menyebabkan gangguan pada
perkemihan
1. 50 cc/jam, keluhan minum 2000 cc/hari. pola eliminasi urine.
.
eliminasi uirine tidak ada 4. Pasang dower kateter. 3. Membantu mempertahankan
fungsi ginjal.
4. Membantu proses pengeluaran
urine.
60
Gangguan eliminasi Tujuan pasien tidak 1. Auskultasi bising usus, 1. Bising usus mungkin tidak ada
alvi / konstipasi menunjukkan adanya catat lokasi dan selama syok spinal.
berhubungan dengan gangguan eliminasi karakteristiknya. Untuk mengetahui adanya
gangguan persarafan alvi/konstipasi 2. Observasi adanya distensi pada perut sebagai
pada usus dan rektum. distensi perut. tanda bahwa pasien memiliki
3. Catat adanya keluhan gangguan konstipasi.
Kriteria hasil :
mual dan ingin 3. Pendarahan gantrointentinal
Pasien bisa b.a.b secara teratur
2. muntah, pasang ngt. dan lambung mungkin terjadi
sehari 1 kali
4. Berikan diet seimbang akibat trauma dan stress.
tktp cair : meningkatkan 4. Diberikan diet
konsistensi feces
seimbang yang sesuai
5. Berikan obat
kebutuhan pasien agar feces
pencahar sesuai
tidak keras.
pesanan.
5. Merangsang kerja
usus.
Diare b/d inflamasi Tujuan : diharapkan 1. Auskultasi bising usus 1. Hal ini bertujuan untuk memonitor
3. akibat suatu penyakit pasien tidak lagi seberapa naik atau turunnya berat
2. Timbang bb pasien setiap
atau gastritis, ulkus, menunjukan gejala diare badan pasien
hari dan monitor status
61
proses infeksi serta Kriteria hasil : pasien 2. Dalam 24 jam pada penderita diare
penyalagunaan obat 3. Distribusikan supan cairan kronik, mereka akan membuuhkan
1. Frekuensii bab di
selama 24 jam banyak cairan agar didalam tubuhnya
tingkatkan dari skala 1 ke
tidak kekurangan cairan karena setelah
skala 5
pasien mengeluarkan fesesyang tidak
2. Bising usus ditingkatkan
bebentuk atau biasanya berupa cairan,
dari skala 2 ke skala 5
sehingga cairan dalam tubuhnya
berkurang dan pasien akan lemas.
Inkontinensia defekasi Tujuan : 1. Kaji kejadian dan tipe 1. Mengkaji perubahan yang
b/d Factor lingkungan, inkontinensia, frekuensi, dan terjadi pada feses.
Diharapkan pasien mampu
ketidakmampuan berbagai perubahan dalam 2. Mencari tahu apa penyebab
mengeluarkan feses dengan
mengeluarkan feses fungsi bowl dan konsistensi pasien mengalami
lancar.
pada serta fekal. inkontinensia, dan mencari
62
makan tempat lain untuk eliminsi pasien.
3. Kolonisasi kultur feses 5. Fasilitasi kebersihan 4. Jika pasien tidak dapat
4. Praktik gizi sehat melakukan apapun secara
5. Manfaat olahraga mandiri, kita membantu pasien
mengantar ke toilet selama
pasien menginginkan untuk
eliminasi, hal ini dilakukan
untuk keselamatan pasien dan
kenyamanan pasien. Jika
pasien hanya dapat berbaring
maka kita harus menyiapkan
tempat khusus untuk pasien
melakukan eliminasi.
5. Membersihkan linen,
membersihkan area genital
pasien ketika selesai
melakukan eliminasi dengan
bersih dan harum, merapikan
63
baju pasien dan
mengkondisikan agar
lingkungan disekitar pasien itu
bersih dan tidak kotor agar
pasien sendiri nyaman berada
pada tempatnya.
Inkontinensia urin Tujuan : 1. Ajarkan pasien untuk 1. Mengajarkan pasien menahan
fungsional b/d secara sengaja menahan urin pada saat berkemih agar
Diharapkan pasien
sensasi ingin urin diantara sesi pasien terbiasa menahan dan
berkemih tepat pada
berkemih serta eliminasi, jika secara membuang urin ke toilet.
waktunya dan pengeluaran
berkemih sebelum kondisi kognitif pasien 2. Membantu pasien
urin pada toilet.
mencapai toilet. tidak terganggu. mengosongkan kandung kemih
Kriteria hasil :
2. Bantu pasien untuk ke agar tidak terjadi pengeluaran
5. 1. Masuk dan keluar dari
toilet dan dorong untuk urin secara tiba - tiba.
kamar mandi dengan mengosongkan kandung
tepat dari skala 1 kemih pada interval
ditingkatkan menjadi waktu yang ditentukan.
skala 5.
2. Sampai ke toilet
64
antara dorongan atau
hampir keluarnya urin
dari skala 2
dtingkatkan menjadi
skala 5.
Inkontinensia urin Tujuan : 1. Instruksikan pasien untuk 1. Agar melatih ototo levator
stress d.d rembesan menahan otot- otot pasien untuk mengurangi stress
Untuk mengurangi
involunter sedikit sekitar uretra dan anus, urgensi sehingga terjadi
rembesan urin yang
urin pada tidak kemudian relaksasi, pengosongan pada kandung
dikarenakan tekanan
adanya overdistensi seolah-olah ingin kemih setelah mengeluarkan
pada abdomen.
kandung kemih. menahan buang air kecil. urin.
2. Batasi makanan yang 2. Membatasi pasien untuk
Kriteria Hasil : beresiko mengiritasi mengonsumsi air mineral dan
6. kandung kemih seperti minuman selain yg disebutkan
1. Terkait ketidaknyamanan
dari skala 2 ditingkatlan minuman bersoda, guna mencegah kandung
menjadi skala 5 sehingga kopi,teh, dan coklat. kemih Terkintaminasi sehingga
pasien akan berangsur 3. Instruksikan pada proses berkemih normal.
nyaman. pasien dan keluarga 3. Hal tersebut dilakukan agar
untuk mencatat pola dan pasien mengetahui seberapa
65
2. Mengosongkan kandung jumlah urin output. seringnya pola berkemihnya dan
kemih sepenuhnya dari jumlah urin yang pasien
skala 3 menjadi skala 5. keluarkan.
3. Mengenali keinginan
untuk berkemih
ditingkatkan dari banyak
terganggu terganggu
menjadi tidak terganggu
Inkontinensia urin Tujuan : 1. Jaga eliminasi yang 1. Paien akan terbiasa dengan
dorongan b/d infeksi dijadwalkan sehingga dijadwalkannya eliminasi
Untuk mengurangi risiko
kandung kemih dapat membantu dalam dan kebiasaan berkemih akan
infeksi pada kandung kemih
7. membangun dan terjaga.
dan pengosongan kandung
mempertahankan 2. Pasien diinstruksikan agar tidak
kemih ketika urin
kebiasaan berkemih. menahan otot sekitar uretra agar
dikeluarkan.
2. Instruksikan pasien agar dapat melatih otot levator ani
Kriteria Hasil :
tidak menahan otot-otot dan otot urogenital secara sadar.
1. Mengurangi gejala
sekitar uretra dan anus,
gastrointestinal dari
kemudian relaksasi.
skala yang berat
66
menjadi ringan.
2. Penggunaan
67
2.4.4 Implementasi
68
4. Perawat sebagai koordinator
69
kompeten agar pelayanan kesehatan lebih membaik.
2.4.5 Evaluasi
e. Massa abdomen.
70
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
71
proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urine maupun
fese.
4.2 Saran
72
DAFTAR PUSTAKA
73
Liyani, R. 2011. Konsep Dasar Kebutuhan Eliminasi.
http://www.academia.edu/4799238/KONSEP_DASAR_KEBUTUHAN_E
LIMINASI. ( Diakses pada tanggal 12 Mei 2018 pukul 15.00).
+enuresis&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj1jf2o0ILbAhVJuo8KHZFABAg
74
Q6AEILTAB#v=onepage&q=tanda%20enuresis&f=false (Diakses pada
tanggal 4 Mei 2018 pukul 18.10)
75
Moa, H. M., Milwati, S. dan Sulasmini. 2017. Pengaruh Bladder Training
Terhadap Inkontinensia Urin pada Lanjut Usia di Posyandu Lansia Desa
Sumberdem Kecamatan Wonosari Malang. Nursing News 2(2):514-523.
https://publikasi.unitri.ac.id/index.php/fikes/article/view/497. [Diakses
pada tanggal 10 Mei 2018].
76
77