Anda di halaman 1dari 80

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENDERITA DENGAN GANGGUAN


PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR MANUSIA ELIMINASI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebutuhan Dasar Manusia Dosen
pembimbing : Ns. Dicky Endrian Kurniawan, S.kep., M.Kep,

Oleh: Kelompok VI / Kelas A

Dina Setia Indah Sari (172310101008)


Sinditya Faridatul N. (172310101015)
Imelda Hajar Desya (172310101017)
Yudha Ferdian Firmansyah (172310101018)
Rifka Sabrianti Fajrin (172310101021)
Linda Winarti (172310101040)
Dinda Angelina Hariyono (172310101043)

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER

2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat,
Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Penderita dengan Gangguan
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia”.
Dalam penulisan makalah ini, kami telah mendapat banyak bantuan dari
banyak pihak. Kami menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Ns. Dicky Endrian Kurniawan, S.kep., M.Kep, sebagai PJMK
Kebutuhan Dasar Manusia sekaligus Dosen Pembimbing
2. Seluruh rekan kelas A angkatan 2017

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa
masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya.
kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata
“sempurna” untuk itu kami sebagai penulis menerima saran dan kritik yang
bersifat membangun. Penyusun berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat
bagi pembaca pada umumnya dan bagi kami sebagai penulis pada khususnya.

Jember, 27 Mei 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1

1.1 Latar belakang .................................................................................................1

1.2 Tujuan...............................................................................................................2

BAB II TELAAH LITERATUR ..........................................................................3

2.1 Review Anatomi Fisiologi................................................................................3

2.2 Konsep Eliminasi ...........................................................................................15

2.3 Gangguan Eliminasi ......................................................................................25

2.4 Konsep Asuhan Keperawatan ......................................................................52

BAB III PENUTUP .............................................................................................71

4.1 Kesimpulan.....................................................................................................71

4.2 Saran ...............................................................................................................72

4.2.2Saran Bagi Mahasiswa.................................................................................72

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................73

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Eliminasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang esensial dan berperan


penting dalam menentukan kelangsungan hidup manusia. Eliminasi dibutuhkan
untuk mempertahankan homeostatis melalui pembuangan sisa-sisa metabolisme.
Secara garis besar, sisa metabolisme tersebut terbagi kedalam dua jenis, yaitu
sampah yang berasal dari saluran cerna yang dibuang sebagai feses (nondigestible
waste) serta sampah metabolisme yang dibuang baik bersama feses ataupun melalui
saluran lain seperti urine, CO2, nitrogen dan H2O. Eliminasi terbagi atas dua bagian
utama yaitu eliminasi fekal ( buang air besar) dan eliminasi urine (buang air kecil).
(Asmadi, 2008).
Eliminasi alvi (fekal) merupakan proses pengeluaran sisa-sisa metabolisme
yang berupa feses yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus (Rakhman
dkk, 2014). Sedangkan eliminasi Miksi (urine) merupakan eliminasi atau
pembuangan sisa-sisa metabolisme dalam bentuk urine yang dikeluarkan oleh
urogenitalia. Eliminasi produk sisa pencernaan yang teratur merupakan aspek yang
penting untuk fungsi normal tubuh. Jika terjadi perubahan eliminasi maka akan
menyebabkan masalah pada sistem gastrointestinal dan sistem tubuh lainnya.
Gangguan pada system eleminasi yang sering terjadi diantaranya seperti diare,
konstipasi, impaksi feses, hemoroid, inkontinensia usus, retensi urin, dan juga
inkontinensia urine. (Asmadi, 2008)
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut.
Kasus konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4% sampai 30%
pada kelompok usia 60 tahun ke atas. Pada suatu penelitian pada orang berusia
usia 65 tahun ke atas, terdapat penderita konstipasi sekitar 34% wanita dan pria
26%. Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita
konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding pria. Menurut National Health
Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh
menderita konstipasi terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas.
(Husnah, 2013).

1
Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urine secara tak terkendali dan
atau tidak pada tempatnya (mengompol) (Tjokronegoro dan Utama, 2001). Data
di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami
inkontinensia urine. Penduduk dunia sekitar 200 juta mengalami inkontinensia urin
(WHO, dalam Collein, 2012). Hasil survey yang dilakukan di rumah sakit – rumah
sakit menunjukkan penderita inkontinesia di seluruh Indonesia mencapai 4,7% atau
sekitar 5-7 juta penduduk dan 60% diantaranya adalah wanita (Jurnal Keperawatan
Soedirman, The Soedirman Journal of Nursing. 2007). Sedangkan angka kejadian
pada gangguan eliminasi yang merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang seperti di Indonesia yang masih tinggi yaitu diare. Survei morbiditas
yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010
terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR penyakit Diare 301/ 1000
penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi
423 /1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. (Depkes, 2011)
Kesulitan atau gangguan dalam proses eliminasi ini akan menimbulkan
penyakit yang mana jika kita tidak mengetahui gejala, cara pencegahan dan cara
pengobatannya akan menimbulkan gangguan yang lebih serius pada proses
eliminasi. Maka dari itu disinilah peran perawat dibutuhkan, disini perawat
berperan untuk memberikan asuhan keperawatan ketika seorang klien mendapatkan
gangguan eliminasi mulai dari menganalisis gejala yang terjadi sampai dengan
memberikan asuhan keperawatan yang tepat.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan diagnose


gangguan eliminasi

1.2.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui review anatomi fisiologi pada sistim eliminasi


2. Untuk mengetahui konsep eliminasi

3. Untuk mengetahui gangguan eliminasi

4. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan

2
BAB II
TELAAH LITERATUR

2.1 Review Anatomi Fisiologi

Sistem perkemihan adalah suatu sistem tempat berlangsungnya proses


penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat – zat yang sudah tidak diperlukan
lagi oleh tubuh dan menyerap kembali zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Zat – zat
yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin
atau air kemih. Sistem perkemihan pada tubuh memiliki fungsi utama yaitu
melakukan ekskresi dan eliminasi sisa – sisa metabolism tubuh.(Nian &
Dhina,2017).
Organ yang menyusun sistem perkemihan terdiri dari : ginjal, ureter, vesika
urinaria dan uretra.

(dikutip dari www.adamimages.com)

Gambar organ pada system perkemihan

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan

1. Ginjal
Ginjal berada dibagian belakang kavum abdominalis area
retroperitoneal bagian atas pada kedua sisi vertebra lumbalis III dan
melekat pada dinding abdomen. Berbentuk seperti biji buah kacang
merah terdapat dua buah yang terletak kiri dan kanan, ginjal sebelah kiri
lebih besar dari sebelah kanan. Berat ginjal pada orang dewasa (kurang
lebih) 200 gram (Nian & Dhina, 2017).

3
Ginjal memiliki fungsi sebagai pertahanan homeostatic dengan
mengatur volume cairan, keseimbangan osmotic, asam basa, ekskresi sisa
metabolism, sistem pengaturan hormonal dan metabolism (Syaifuddin,
2010).

a. Struktur makroskopis ginjal


Ginjal terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kulit (korteks),
bagian sumsum ginjal (medula) dan rongga ginjal (pelvis renalis).
(Nian & Dhina, 2017)

(dikutip dari www.adamimages.com)

Gambar Bagian – bagian Ginjal

1) Kulit Ginjal (korteks)


Pada korteks terdapat bagian nefron yang berfungsi
penyaringan darah. Pada bagian nefron banyak mengandung
kapiler darah yang tersusun gumpalan glomerulus.
Glomerulus dikelilingi oleh simpai bowman dan gabungan
antara simpai bowman dengan glomerulus disebut badan
malphigi tempat berlangsungnya penyaringan darah. Zat
yang terlarut dalam darah masuk ke dalam simpai bowman
dan dilanjutkan masuk ke pembuluh yang merupakan
lanjutan dari simpai bowman yang berada di sumsum ginjal
(Nian & Dhina, 2017).

4
2) Sumsum Ginjal (medula)
Sumsum ginjal berbentuk kerucut yang disebut piramida
renal. Dasarnya menghadap korteks dan puncaknya disebut
apeks atau papilla renis yang mengarah ke bagian dalam
ginjal. Satu piramida dengan jaringan korteks disebut lobus
ginjal dan diantara piramida terdapat jaringan korteks
(kolumna renal). Bagian ini tempat berkumpul ribuan
pembuluh halus lanjutan dari simpai bowman. Pada
pembuluh halus ini terangkut urine hasil dari penyaringan
darah dalam badan malphigi setelah mengalami berbagai
proses (Nian & Dhina, 2017).

3) Rongga Ginjal ( pelvis renalis )


Bagian ujung ureter yang berpangkal di ginjal,
berbentuk corong lebar. Pelvis renalis bercabang dua atau
tiga disebut kaliks mayor, yang bercabang membentuk
kaliks minor yang menutupi papilla renis dan piramida.
Kaliks minor menampung urine yang keluar dari papila.
Dari kaliks minor dilanjutkan ke kaliks mayor, ke pelvis
renis, ke ureter hingga di tampung dalam vesikula urinaria
(Nian & Dhina, 2017).

b. Struktur mikroskopis ginjal

Struktural dan fungsional terkecil ginjal disebut nefron yang


terdiri dari komponen vaskuler dan tubuler. Komponen vaskuler
terdiri dari pembuluh darah yaitu glomerulus dan kapiler
peritubuler yang mengitari tubuli. Pada komponen tubuler terdapat
kapsula boman, tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus
distal, tubulus pengumpul dan lengkung Henle yang yang terdapat
pada medula(Nian & Dhina, 2017).

5
Gambar Bagian Nefron

c. Vaskularisasi Ginjal

Ginjal menerima darah dari aorta abdominalis yang mempunyai


percabangan arteria renalis, yang berpasangan kanan dan kiri lalu
bercabang menjadi arteria interlobaris kemudian menjadi arteri
akuata. Arteria interlobaris yang berada di tepi ginjal bercabang
menjadi kapiler bergumpal disebut glomerulus dikelilingi oleh
simpai bowman dan di dalamnya terjadi penyadangan pertama.
Kapiler darah yang meninggalkan simpai bowman kemudian
menjadi vena renalis masuk ke vena kava inferior (Nian & Dhina,
2017).

dikutip dari (Muttaqin & Sari, 2012)

Gambar Vaskularisasi Ginjal

6
d. Persyarafan Ginjal

Syaraf pada ginjal yaitu fleksus renalis (vasomotor) yang


memiliki fungsi mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam
ginjal. Syaraf ini juga berjalan bersamaan dengan pembuluh darah
yang masuk ke ginjal. Anak ginjal (kelenjar suprarenal) terdapat di
atas ginjal merupakan sebuah kelenjar buntu yang menghasilkan
hormone adrenalin dan hormone kortison (Nian & Dhina, 2017).

(dikutip dari www.adamimages.com)

Gambar persyarafan pada ginjal

2. Ureter
Ureter memiliki dua saluran pipa yang bersambung dari ginjal ke
kandung kemih (vesika urinaria) panjangnya 25-30 cm dengan
penampang (kurang lebih) 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada dalam
rongga abdomen dan sebagian dalam rongga pelvis. Lapisan pada ureter
yaitu dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa), lapisan tengah otot
polos dan lapisan sebelah dalam lapisan mukosa. Lapisan pada ureter

7
bergerak peristaltic tiap 5 menit sekali yang mendorong urine ke dalam
kandung kemih (Nian & Dhina, 2017).

dikutip dari www.adamimages.com)


Gambar Lapisan Dinding Ureter

3. Vesika Urinaria (Kandung Kemih)


Terletak di belakang simfisis pubis dalam rongga panggul, berbentuk
kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat, berhubungan ligamentum
vesika umbikalis medius. Dinding kandung kemih terdiri dari peritoneum
(lapisan sebelah luar), tunika muskularis, tunika submukosa, dan lapisan
mukosa (lapisan bagian dalam). Bagian vesika urinaria, yaitu :(Nian &
Dhina, 2017)

a. Fundus, bagian yang menghadap kearah belakang dan bawah dan


terpisah dari rectum oleh spatium rectovisikale.
b. Korpus, bagian antara verteks dan fundus.

c. Verteks, bagian yang maju kearah muka dan berhubungan dengan


ligamentum vesika umbilikalis.

8
(dikutip dari www.adamimages.com)

Gambar Bagian Vesika Urinaria

4. Uretra

Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung kemih


berfungsi menyalurkan air kemih. Uretra pria berkelok melewati tengah –
tengah prostat kemudian menembus lapisan fibrosa yang menembus
lapisan pubis sampai ke penis yang panjangnya (kurang lebih) 20 cm.
Uretra pria terdiri dari uretra prostatica, uretra membranos, dan uretra
kavernosa. Lapisan uretra pria terbagi menjadi lapisan mukosan dan
lapisan submukosa (Nian & Dhina, 2017).

Uretra pada wanita terletak dibelakang simfisis pubis berjalan


sedikit miring ke atas panjangnya 3-4 cm. lapisan uretra wanita terdiri
dari lapisan tunika muskularis (sebelah luar), lapisan spongeosa yaitu
pleksus dari vena, dan lapisan mukosa. Muara uretra wanita di sebelah
atas vagina dan hanya berfungsi sebagai ekskresi (Nian & Dhina, 2017).

9
Gambar Uretra Wanita

Gambar Bagian Uretra Pria

Sistem organ pencernaan adalah sistem organ yang memproses


makanan yang diterima untuk dicerna menjadi energi dan nutrient, juga
mengeluarkan sisa proses pencernaan. Proses pencernaan terbagi menjadi
tiga bagian mulai dari mulut sampai ke anus, berikut :

1. Proses menghancurkan makanan yang terjadi di


dalam mulut sampai ke lambung.
2. Proses penyerapan sari makanan yang terjadi di dalam usus.

3. Proses pengeluaran sisa-sisa makanan melalui anus.

10
Makanan dapat dicerna secara optimal dalam saluran pencernaan
harus memiliki persediaan air, elektrolit, dan makanan secara terus menerus
yang membutuhkan :

1. Pergerakan makanan melalui saluran pencernaan.

2. Sekresi getah pencernaan.

3. Absorpsi hasil pencernaan air dan elektrolit.

4. Sirkulasi darah melalui organ-organ


gastroinstestinal yang membawa zat yang akan
diabsorpsi.
5. Pengaturan semua fungsi oleh sistem saraf dan hormon.

Susunan saluran pencernaan terdiri atas oris (mulut), faring (tekak),


esophagus (kerongkongan), ventrikulus (lambung), intestinum minor (usus
halus) yang tebagi menjadi duodenum (usus 12 jari), ileum (usus
penyerapan), jejunum, intestinum mayor (usus besar) yang tetbagi menjadi
kolon asendens (usus besar yang naik), kolon desendens (usus besar turun),
kolon sigmoid, rectum dan anus.

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan

5. Mulut

Menurut (Syaifuddin, 2011) Mulut yaitu organ pertama dari


saluran pencernaan yang meluas dari bibir sampai ke istimus yaitu
perbatasan antara mulut dengan faring. Mulut dibentuk oleh anterior
lidah dan lipatan balik membrane mukosa. Sisi lidah pada gusi di atas
mandibular. Garis tengah lipatan mmembran mukosa terdapat frenulum
lingua yang menghubungkan permukaan bawah lidah dengan dasar
mulut. Di kiri dan kanan frenulum lingua terdapat papila kecil bagian
puncaknya bermuara duktus glandula submandibularis.
Organ kelengkap mulut :

11
a. Gigi

Letak dari gigi dan geraham berada didalam alveolus


dentalis dari tulang maksila mandubula. Gigi memiliki fungsi untuk
mengunyah makanan, pemecah pariktel besar menjadi partikel kecil
yang dapat ditelan tanpa tersedak.

Sumber: Mikrajudin, 2007

Gambar Gigi

b. Lidah

Lidah berada dalam kavum oris, yang terbentuk dari susunan


otot serat lintang yang kasar dilengkapi dengan mukosa. Lidah
dibagi menjadi beberapa bagian yaitu pangkal lidah (radik lingua),
panggal lidah (dorsum lingua), dan ujung lidah (apeks lingua).

Gambar Lidah

12
6. Esofagus

Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang


dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung.
Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses
peristaltik. Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang
belakang. Menurut histologi, esofagus dibagi menjadi tiga bagian yaitu
bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka), bagian tengah
(campuran otot rangka dan otot halus), serta bagian inferior (terutama
terdiri dari otot halus).

Gambar Esofagus
7. Lambung

Lambung adalah sebuah kantung maskuler yang letaknya antara


esophagus dan usus halus, sebelah kiri abdomen, dibawah diafragma
bagian depan pancreas dan limpa. Lambung mempunyai fungsi untuk
menampung makanan yang masuk melalui esophagus, mengahancurkan
makanan dan menghaliskan makanan dengan gerakan peristaltic lambung
dan getah lambung.

Sumber: Raimundus, 2016

Gambar Lambung

13
8. Usus Halus

Organ sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada pilorius


dan berakhir pada sekum. Usus halus memiliki panjang kira-kira 6 meter
merupakan saluran pencernaan yang paling panjang. Usus halus memiliki
fungsi sebagai sekrsesi cairan usus, menerima cairan empedu dan
pancreas, mencerna makanan, absorpsi asam amino dan menggerakkan
kandungan usus.

Sumber: Raimundus, 2016

Gambar Usus Halus

9. Usus Besar

Saluran pencernaan berupa ususberpenampang luas atau


berdiameter besar dengan panjang kira-kira 1,5 – 1,7 meter dengan
penampang 5 – 5 cm. Usus besar mempunyai fungsi sebagai menyerap
air dan elektrolit, menyimpan bahan feses, dan tempat tinggal bakteri
koli.

14
Sumber: Raimundus, 2016

Gambar Usus Besar

2.2 Konsep Eliminasi

2.2.1 Definisi

Eliminasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang esensial,


bertujuan untuk mempertahankan homeostasis melalui pembuangan
sisa- sisa metabolismee yakni berasal dari salura pencernaan yang
dibuang sebagai feses dan saluran lainnya seperti urine, CO2, nitrogen,
dan H2O. Jenis sisa metabolismee yang dibuang oleh tubuh yakni air,
kardondioksida, urea, ureum, dan lain-lain. Dalam pembuangan ini
melalui koordinasi seluruh sistem tubuh yaitu sistem pernafasan
(paru- paru) , integument (kelenjar keringat), hepar dengan melalui
keringat serta urine, renal (Ginjal), dan endokrin dalam pengaturan
final urine (Asmadi, 2008).

Eliminasi adalah suatu proses pembuangan berupa sisa-sisa


metabolisme tubuh baik berupa fese ataupun urine. Sisa metabolisme
yang tidak berguna untuk tubuh harus dieliminasi dari dalam tubuh
karena akan menjadi racun bagi tubuh. (Rakhman dkk, 2014)

15
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi

10. Usia

Usia dapat mempengaruhi kontrol eliminasi seperti anak-


anak belum mampu untuk mengontrol buang air kecil atau buang
air besar karena sistem neuromuskuler belum berkembang dengan
baik dan pada orang yang berusia lanjut mengalami perubahan
dalam eliminasi menjadi lambat yang menyebabkan kesulitan
dalam mengontrol eliminasi feses sehingga beresiko mengalami
konstipasi. Sedangkan eliminasi urine terjadi penurunan control
otot sphincter sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008)..
11. Diet

Makanan berserat diperlukan untu pembentukan feses , jika


kekurangan serat menyebabkan pergerakan sisa digestif menjadi
lambat mencapai rectum sehingga meningkatkan penyerapan air
yang menjadikan konstipasi. Mengkonsumsi makanan yang teratur
berpengaruh pada keteraturan defekasi. Pemilihan makanan kurang
memerhatikan unsur manfaatnya. Malnutrisi menjadi dasar
penurunan tonus otot sehingga mengurangi kemampuan untuk
mengeluarkan fese atau urine. Malnutrisi juga berakibat
menurunkan daya tahan terhadap infeksi yang menyerang pada
organ pencernaan maupun organ perkemihan (Asmadi, 2008).
12. Cairan

Inteke cairan yang berlebihan atau tidak adekuat maka tubuh


mengabsorbsi cairan dari usus besar dalam jumlah besar, yang
menyebabkan feses menjadi kering, keras, dan sulit melewati
saluran percernaan. Kurangnya intake cairan menyebabkan volume
darah masuk ginjal untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine
menjadi berkurang dan lebih pekat (Asmadi, 2008).
13. Latihan Fisik

Latihan fisik biasa untuk mempertahankan tonus otot baik


dari otot- otot abdominal, otot pelvis, dan diafragma penting bagi

16
defekasi dan miksi. Latihan ini dapat juga merangsang terhadap
timpulnya peristaltic (Asmadi, 2008).
14. Stress Psikologis

Strees berlebihan juga mempengaruhi eliminasi, ketika


sesorang cemas atau ketakutan. Ia akan mengalami diare atau beser
dan biasa juga menyebabkan sulit buang air besar (Asmadi, 2008).
15. Temperature

Temperature suhu juga biasa mempengaruhi eliminasi yakni


saat seorang demam akan meningkat penguapan cairan tubuh
karena peningkatan aktifitas metabolik. Hal ini mengakibatkan
tubuh kekurangan cairan yang berpotensi terjadinya konstipasi dan
pengeluaran urine yang sedikit (Asmadi, 2008)..
16. Nyeri

Eliminasi dipengaruhi oleh rasa nyeri yang dialami oleh


seseorang (Asmadi, 2008)..

2.2.3 Macam-macam Eliminasi

17. Eliminasi Alvi (Defekasi)

a. Definisi
Eliminasi alvi merupakan proses pengeluaran sisa-sisa
metabolismee yang berupa feses yang berasal dari saluran
pencernaan melali anus. Sistem tubuh yang berperan dalam
eliminasi ini adalah sistem gastrointestinal bawah. (Rakhman
dkk, 2014)
Usus besar (kolon) adalah bagian bawah saluran
pencernaan dimulai dari katup ileum ke anus. Panjang kolon
pada orang yang sudah dewasa biasa mencapai ± 1,5 meter
(Andra dalam Asmadi, 2008). Dua lapisan otot polos tersusun
dalam dinding kolon. Sel-sel mukosa berfungsi melicinkan
jalannya chime. Pada akhir bagian dari kolon terdapat rektum

17
dengan panjangnya ± 13 cm pada orang dewasa serta bagian
distalnya terdapat anus. Kolon berfunsi untuk
mengonsentrasikan chime menjadi massa yang padat melalui
penyerapan air yang lebih banyak serta mengekskreikan
dalam bentuk feses. (Asmadi, 2008)

Sumber : Pearce 2004

Gambar : Struktur dan anatomi kolon

b. Proses Defekasi

Proses ini adalah proses pengosongan usus.


Pengosongan terjadi dimulai dari makanan masuk ke
lambung timbul pergerakan peristaltik didalam usus besar
yang disebut reflek gastrokolon. Gerakan reflek diusus besar
ke rectum akan terjadi peregangan rectum yang memicu
refleks defekasi (Rakhman dkk, 2014).
c. Refleks membantu defekasi dibedakan menjadi :

1) Refleks Defekasi intrinsik

Defekasi dimulai dari zat sisa makanan didalam


rectum yang menyebabkan distensi. Pleksusu
mesentrikus kemudian merangsang gerakan peristaltik
dan akhirnya feses sampai ke anus. Spincter internal
melemah tetapi spincter eksternal releksasi secara

18
volunteer. Tekanan dihasilkan oleh otot-otot abdomen,
saat ini terjadi defekasi (Rakhman dkk, 2014).
2) Refleksi Defekasi Parasimpatetis

Ketika feses masuk kedalam rectum yang


menimbulkan rangsangan pada saraf rectum yang
kemudian dihantarkan sepanjang saraf parasimpatetik
aferen ke pars sakrlis medula spinalis. Pesan aferen itu
dihantarkan ke saraf parasimpatetik aferen mencapai otot
yang menyebabkan spincter anus mengalami relaksasi.
Pada otot kolon, otot perut, dan diafragma verkontraksi
serta dasar pinggul naik sehingga mengalami defekasi
(Rakhman dkk, 2014).
3) Upaya Volunter

Pergerakan pada feses terjadi melalui kontraksi,


tekanan abdomen meningkat dan otot levator anus
berkontraksi. Kontraksi otot levator anus menyebabkan
feses bergerak melalui saluran anus dan terjadilah
defekasi (Rakhman dkk, 2014).
d. Proses Pembentukan Fases
Dikolon masuk 750 cc chyme mengalami proses
absorbsi air, natrium, dan kloride yang dibantu adanya
gerakan peristaltic usus. Proses reabsorbsi hanya sekitar 150-
200 cc, sedangkan chime yang tidak mengalami reabsorsi
menjadi bentuk semisolid yang disebut feses (Asmadi, 2008).

Dalam sistem pencernaan terdapat banyak bakteri yang


mengadakan fermentasi zat makanan yang tidak dapat
dicerna. Proses tersebut menghasilkan gas yang dikerluarkan
melalui anus dengan istilah flatus. Saat terjadi gangguan pada
sistem pencernaan karbohidrat maka banyak gas yang
terbetuk saat proses fermentasi dapat mengakibatkan
seseorang kembung. Sedangkan protein saat proses

19
fermentasi akan mengakibatkan asam amino, indole, stale dan
hidogen sulfide yang membuat fases akan mengajdi sangat
bau (Asmadi, 2008).

e. Karakteristik Feses Normal Menurut Asmadi,2008:

1) Warna feses

Warna feses yang menunjukan normal berwanah coklat .

2) Konsistensi

Konsistensi feses normal akan selalu lembab dan


berbentuk.

3) Frekuensi

Frekuensi normal sesorang melakukan feses bervariasi


dari dekesi 1-3 kali sehari sampai sekali setiap 3 hari
4) Bentuk

Bentuk feses yang normal akan berbentuk silindris

5) Permukaan fases

Permukaan feses yang normal sesuai dengan permukaan


rectum. Abnormalitas permukaan menunjukan adanya
kelainan pada rectum.
6) Bau

Karakteristik bau fases itu tidak menyenangkan


cenderung bervariasi tergantung dari makanan yang
dikonsumsi
7) Jumlah

Jumlah feses yang dikeluarkan sekitar 100-400 g setiap


hari (bervariasi setiap diet.
8) Lemak dan protein

Secara normal lemak dan protein dalam jumlah sedikit


dalam feses tergantung kandungan zat dalam makanan

20
yang dikonsumsi.
f. Karakteristik fases abnormal Menurut Asmadi, 2008:

1) Konsistensi

Fases yang abnormal bentuknya cair atau keras. Fases


yang cair mengandung air lebih dari ± 75% sebab sedikit
air dan zat makanan yang diabsorbsi sepanjang kolon
sehingga chime terlalu cepat bergerak di kolon. Fases
yang keras mengandung sedikit air dan suli untuk
dikeluarkan sehingga saat defekasi menimbulkan nyeri.
2) Warna

Fases abnormal mengidikasikan adanya gangguan pada


sistem pencernaan. Biasaanya warnanya pucat karena
adanya penyakit pada organ empedu, fases yang
berwarna merah pertanda adanya perdarahan pada
rectum dan anus, dan sedangakan fases berwarna
kehitaman menandakan adanya perdarahan pada saluran
percernaan. Perubahan warna feses biasa dipengaruhi ula
makanan atau obat-obatan tertentu.
3) Kandungan

Mucus dan lemak pada feses yang berlebihan, darah


feses, organisme pathogen, dan parast menunjukan feses
abnormal.

18. Eliminasi Urine (Miksi)

a. Definisi

Eliminasi Miksi merupakan eliminasi atau pembuangan sisa-


sisa metabolisme dalam bentuk urine yang dikeluarkan oleh
urogenitalia. Eliminasi metabolisme ini pada ginjal terletak
diretroperitonel terutama didaerah lumbul, disebelah kanan
kiri. Bentuk ginjal seperti kacang merah, diatas ginjal terdapat
kelenjar suprarenal (Asmadi, 2008).

21
Sumber : pearce 2004
Gambar. Organ ginjal

b. Proses Pembentukan Urine

1) Filtrasi

Tahap penyaringan atau filtrasi terjadi di badan


malpihi yang didalamnya ada glomerulus yang
dikelilingi kapsula bowman. Proses filtrasi yakni ketika
sarah yang mengandung air, garam, urea, dan zat-zat lain
serta sel-sel darah dan molekul protein masuk ke
glomerulus, tekanan darah menjadi tinggi sehingga
mendorong air dan komponen yang tidak dapat larut,
melewati pori-pori endothelium kapiler glomerulus
kecuali sel-sel darah dan molekul protein. Lalu ke
membrane dasar dan lempeng fitrasi dilewati, setelah itu
masuk ke ruang kapula bowman (Rakhman dkk, 2014).
Hasil filtrasi dari glomerulus dan kapsula bowman
disebut filtrasi glomerulus atau urine primer. Kandungan
urine primer adalah air, protein, glokosa, asam amino,
urea dan ion anorganik. Glukosa, ion anorganik dan
asam amino masih diperlukan oleh tubuh (Rakhman dkk,
2014).

22
2) Reabsorsi

Setelah menjadi urine primer selanjutnya akan


mengalami tahap didalam tubulus kontortus proksimal,
lengkung henle hingga masuk sebagian dari tubulus
kontortus distal (Rakhman dkk, 2014).
Dalam proses reabsorsi dilakukan oleh sel-sel
epitelum di seluruh tubulus pada ginjal. Jumlah zat yang
akan direabsorsi tergantung kebutuhan tubuh saat itu
(Rakhman dkk, 2014).
Proses ini dimulai dengan urine primer dari
glomerulus masuk ke tubulus kontortus prosimal, setalah
itu direabsorsi hingga mencapai lengkung henle. Zat
yang diabsorsi adalah air, glukosa, asam aino, Na=, K=,
Ca2-, Cl-, HCO3-, HbO42-, dan sebagian urea. Transport
aktif ditubulus kontortus proksimal hanya mengabsorpsi
glukosa dan asam amino. Sedangkan reabsorsi secara
pasif ditubulus kontortus distal yakni Na=, HCO3-, dan
H2O. Hasil dari tahapan ini dinamakan urine sekunder
atau fitrat tubulus, dengan kandungan urine sekunder
adalah air, garm urea, dan pigmen empedu yang
berfungsi memberikan warna dan bau pada urine
(Rakhman dkk, 2014).
3) Augmentasi (Pengumpulan)

Hasil dari reabsorbsi yakni urine sekunder dari


tubulus kontortus distal akan menuju saluran
pengumpulan yakni tubulus kolektivas. Pada tubulus
kolektivas terjadi penyerapa ion Na-, Cl-, dan urea
sehingga terbentuklah urine. Lalu dibawa ke pelvis
renalis, lalu ke ureter menuju kandung kemih (vesika
urinaria) (Rakhman dkk, 2014).
Dalam urine tidak terdapat protein dan glukosa

23
hanya saja berisi air, Na-, Cl-, K-, PO42-, asam urat, urea,
dan kreatinin (Rakhman dkk, 2014).
c. Proses Miksi

Berkemih merupakan proses pengosongan kandung


kemih yang dari urine. Urine terkumpul dalam kandung
kemih dapat menyebabkan peregangan pada otot dinding
kandung kemih. Hal tersebut merangsang saraf-saraf sensorik
dalam kandung kemih. Jumlah urine yang keluar sekitar 250-
450 ml untuk orang dewasa dan 200-250 ml untuk anak-anak
(Rakhman dkk, 2014).

Rangsangan dibawa ke pars lumbalis medulla spinalis


melalui serabut aferen. Rangsangan ditansmisikan ke pusat
pengendali berkemih dikorteks serebral. Otak akan
memberikan rangsangan ingin buang air kecil ke kandung
kemih. Rangsangan berjalan melalui saraf parasimpatis
sakralis yang menyebababkan otot kandung kemih
berkontraksi dan oot spincer kandung keih relaksasi. Hal ini
menyebabkan urine keluar dari dalam tubuh. Pengeluaran
urine dibantu oleh kontraksi otot dinding abdomen dan
diafragma (Rakhman dkk, 2014).

d. Karakteristik Urine Normal Menurut Rakhman dkk, 2014 :

1) Warna urine yang normal warnanya orange gelap atau


kekuningan dan bening.
2) Bau : sedikit aromatik atau berbau khas
3) Berat jenis : 1.010-1025
4) Ph : 4,4-7,5
5) Konsistensi : cair atau encer
6) Produksi Urine Normal per Jam : 0,5 ml/kgBB/jam
7) Jumlah Urine

24
Tabel 1. Jumlah urine pada manusia

Sumber : Rakhman 2014

2.3 Gangguan Eliminasi

2.3.1 Pengertian Gangguan Eliminasi

Gangguan eliminasi adalah suatu gangguan atau hambatan dalam


proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urine maupun
feses (Rakhman dan Khodijah, 2014). Eliminasi dibutuhkan untuk
mempertahankan homeostasis melalui pembuangan sisa-sisa
metabolisme. Secara garis besar, sisa metabolisme terbagi menjadi
dua jenis yaitu sampah yang berasal dari saluran cerna yang dibuang
sebagai feses serta sampah metabolisme yang dibuang baik bersama
feses ataupun melalui saluran lain seperti urine, CO2, nitrogen, dan
H2O. Eliminasi terbagi atas dua bagian utama yaitu eliminasi fekal
(buang air besar/bab) dan eliminasi urine (buang air kecil/bak)
(Asmadi, 2008).

2.3.2 Macam-Macam Gangguan Eliminasi

a. Defekasi :
1. Diare :

25
i. Pengertian

Diare merupakan keadaan yang sering mengalami


pengeluaran feses dalam bentuk cair (Alimul, 2006).
Kondisi ini disebabkan karena isi usus melewati usus halus
dan kolon secara cepat sehingga belum dapat diabsorbsi
dengan baik dan bisa pula disebabkan adanya iritasi didalam
kolon yang dapat menyebabkan peningkatan sekresi
mukosa, feses akan menjadi encer sehingga dalam kondisi
ini tidak dapat mengontrol dan menahan keinginan untuk
BAB (Surilah, 2017).
ii. Penyebab

Penyebab diare stress psikologis, dimana kondisi


kecemasan dapat meningkatkan motolitas usus dan
meningkatkan sekresi mucus. Penyebab lainnya obat-
obatan, alergi makanan dan minuman karena proses
pencernaan yang tidak sempurna dari makanan atau
minuman, intoleransi makanan dan minuman, kondisi
patologis pada kolon, dan adanya ketikseimbangan
keberadaan flora normal (Surilah, 2017).

iii. Patofisiologi
Menurut Dwiendra, 2014 diare dapat
disebabkan oleh satu atau lebih
patofisiologi :
1) Diare Sekretorik
Tipe diare ini disebabkan oleh meningkatnya sekresi
air dan elektrolit dari usus, menurunnya absorbs. Pada
diare ini secara klinis ditemukan diare dengan volume
tinja yang banyak sekali.
2) Diare Osmotik
Tipe diare ini disebabkan meningkatnya tekanan
osmotic intralumen dari usus halus yang disebabkan oleh

26
obat-obat atau zat kimia yang hiperosmotik antara lain
MgSO4, Mg(OH)2).
3) Malabsorbsi asam empedu dan lemak
Diare tipe ini didapatkan pada gangguan
pembentukan atau produksi micelle empedu dan
penyakit-penyakit saluran bilier dan hati.
4) Defek sistem pertukaran anion atau transport elektrolit
aktif di enterosit
Diare ini disebabkan adanya hambatan mekanisme
transport aktif.
5) Motilitas dan waktu transit usus yang abnormal
Diare ini disebabkan hipermotilitas dan iregularitas
motilitas usus sehingga menyebabkan absorbs yang
abnormal di ussus halus. Penyebabnya diabetes mellitus,
pasca vagotomi, hipertiroid.
6) Gangguan permeabilitas usus
Diare ini disebabkan permeabilitas usus yang
abnormal karena adanya kelainan morfologi membrane
epitel spesifik pada usus halus.
7) Diare inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon dapat
menyebabkan diare pada beberapa keadaan. Akibat
kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction,
tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah dan limfatik
menyebabkan air, elektrolit, mucus, protein dan
seringkali sel darah merah dan putih menumpuk dalam
lumen. Diare akibat inflamasi berhubungan dengan tipe
diare lain seperti diare osmotic dan diare sekretorik.
8) Diare infeksi
Infeksi karena bakteri merupakan penyebab
tersering dari diare. Dari sudut kelainan usus, diare karena
bakteri dibagi atas non-invasif dan invasif (merusak

27
mukosa). Bakteri non-invasif menyebabkan diare karena
toksin yang disekresikan oleh bakteri tersebut.
iv. Tanda dan Gejala
Menurut Alimul, 2006 tanda klinis diare :
1) Adanya pengeluaran feses cair.

2) Frekuensi lebih dari 3 kali sehari.

3) Nyeri/kram abdomen.

4) Bising usus meningkat.


v. Penatalaksanaan
1) Farmakologi
a. Zat penghambat peristaltik/Opiat dan
derivatnya
Berguna untuk memberikan lebih banyak waktu untuk
mukosa usus meresorpsi air dan elektrolit. Contoh :
Difenoksilat, Difenoksin
b. Cairan Elektrolit

Berguna untuk mengatasi pengeluaran cairan dan


elektrolit yang berlebihan. Contoh : Renalyte,
Pedialyte

c. Adsorben

Berguna menyerap zat beracun yang dihasilkan oleh


bakteri, makanan, zat lendir yang menutupi selaput
lendir usus.
a) Attapulgite, contoh: New Diatabs

b) Kaolin-Pectine, contoh: Kaopectate

c) Karbo Adsorben, contoh : Norit.

d. Antibiotik
a) Metronidazole,Contoh :Anmerob

b) Kloramfenikol,Contoh :Bufacetin

28
c) Amoksisilin dan Ampisilin, Contoh : Amoxsan
dan Sanpicillin

d) Kotrimoksazole, Contoh : Bactrim

e. Antisekresi, Mikroflora Usus, Enzim Pencernaan


a) Antisekresi

Guna membentuk lapisan pelindung untuk


menutupi luka di dinding usus akibat peradangan,
contoh: Scantoma
b) Mikroflora Usus
Guna menghambat pertumbuhan mikroorganisme
patogen serta mengembalikan fungsi dari usus,
contoh: Lacto-B
2) Non Farmakologi
a. Terapi cairan/ rehidrasi

a) Terapi parenteral

b) Terapi oral/ oralit


Anak < 1 thn : 50–100 ml Anak 1 –4 thn : 100–
200 ml Anak > 5 tahun : 200–300 ml Dewasa :
300–400 ml
b. Mengatur pola makan

a) Obat kontraindikasi pada bayi dan anak- anak

b) Antibiotik kloramfenikol menyebabkan grey


abby syndrome
c) Obat golongan antispasmodic dapat
menyebabkan illeus paralitik
d) Antibiotik tetrasiklin dapat menyebabkan
gangguan struktur kristal gigi dengan berwarna
titik kuning coklat yang memudahkan gigi
untuk berlubang.

29
2. Konstipasi

i. Pengertian

Konstipasi adalah menurunnya frekuensi BAB disertai


dengan pengeluaran feses yang keras dan kering atau tidak
adanya feses pada periode waktu tertentu. Konstipasi juga
diartikan dengan kesulitan untuk mengeluarkan feses. Hal ini
terjadi apabila feses melewati usus sangat lambat sehingga
memungkinkan terus terjadi reabsorbsi selama di usus besar
(Surilah, 2017).

Menurut Mc Shane & Mc Lane terdapat 3 tipe


konstipasi yaitu :
a) Konstipasi Rektal
Yaitu perubahan pola BAB yang ditandai dengan
adanya retensi feses tapi konsistensi feses dalam keadaan
normal dan akibat adanya perubahan kondisi
biopschososial (Surilah, 2017).

b) Konstipasi Kolonik
Yaitu konstipasi yang ditandai dengan feses yang
keras, feses kering akibat lambatnya pengeluaran feses
(Surilah, 2017).
c) Perceived constipation
Yaitu konstipasi yang diderita pada seseorang yang
menyatakan dirinya menderita konstipasi hingga orang
tersebut mengonsumsi laksatif untuk mengatasinya
(Surilah, 2017).
ii. Penyebab
a) Pola defekasi yang tidak teratur.

b) Nyeri saat defekasi karena hemoroid.

c) Kurangnya olahraga seperti berbaring terlalu lama.

d) Obat-obatan : beberapa obat seperti kodein, morphin,

30
antikolinergik dan zat besi dapat menurunkan motilitas
usus sehingga dapat menyebabkan konstipasi. Besi dapat
merusak mukosa usus sehinga dapat menyebabkan
konstipasi tetapi besi juga dapat mengiritasi mukosa usus
sehingga pada beberapa individu besi dapat menyebabkan
diare.
e) Usia : pada usia lanjut mengalami penurunan kualitas otot
perut, sekresi intestinal juga menurun sehingga
menyulitkan proses defekasi.
f) Proses penyakit : obstruksi usus, ileus paralitik, injury
spinal cord dan tumor.
g) Penggunaan laksatif yang berlebihan : dapat menghambat
reflek fisiologis untuk BAB.

h) Menurunnya peristaltik karena stress psikologis.


iii. Patofisiologi
Saluran cerna adalah organ panjang dan berbentuk
seperti tabung yang dimulai dari mulut sampai anus. Tubuh
mengolah makanan dengan menggunakan pergerakan dari
otot disepanjang saluran cerna bersamaan dengan pelepasan
hormon dan enzim. Usus besar berfungsi untuk menyerap air
dan sebagian nutrisi yang tersisa yang telah diolah sebagian
oleh usus halus. Usus besar kemudian mengolah sisa
makanan dari bentuk cair menjadi bentuk padat yang
dinamakan tinja. Konstipasi terjadi ketika tinja berada dalam
waktu yang lama di kolon sehingga kolon menyerap lebih
banyak air yang menyebabkan tinja menjadi keras dan kering
(Loka, dkk, 2014).
iv. Tanda dan Gejala
1) Menurunya frekuensi BAB

2) Feses keras dan kering

3) Nyeri saat BAB

31
4) Nyeri abdomen

5) Adanya keluhan pada rektum

6) Adanya perasaan masih ada sisa feses

7) Penurunan nafsu makan

8) Defekasi kurang dari 3 kali seminggu

9) Menurunnya bising usus

v. Penatalaksanaan

1) Farmakologi

a. Melunakkan feses dalam 1-3 hari

a) Mineral oil diberikan melalui oral atau perektal


dengan dosis 15-45 ml
b) Sorbitol

c) Lactulosa

d) Emolient guna meningkatkan sekresi air dan


elektrolit ke usus halus dan usus besar, contoh:
ducosate
b. Melunakkan feses dalam waktu 6-12 jam

a) Magnesium sulfat dengan dosis < 10 gram

b) Disacodyl melalui oral dengan dosis 5-15 mg,


contoh: dulcolax
c) Daun senna, contoh : laxing

d) Phenolphthalein dosis 30-270 mg melalui oral


dapat mengubah urin dan feses berwarna pink
2) Non farmakolgi

a. Diet tinggi serat

Berguna untuk menurunkan tekanan intraluminal


pada kolon dan rektum, meningkatkan frekuensi

32
defekasi.
b. Produk bulk forming agent

Berguna meningkatkan serat pada feses, contoh:


psyllium, polycarbophil, methylselulose

3. Impaction

i. Pengertian

Impaction adalah akibat lanjut dari konstipasi sehingga


tumpukan feses yang keras di rectum tidak bisa dikeluarkan
(Surilah, 2017).
ii. Penyebab

1) Kebiasaan defekasi yang sangat buruk.

2) Obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi.

3) Kondisi tubuh yang lemah, bingung dan tidak sadar.

4) Konstipasi yang berulang.

5) Pemeriksaan yang dapat menyebabkan konstipasi


seperti barium enema.
6) Usia lanjut yang ditunjang oleh intake
cairan yang kurang, kurangnya
aktifitas dan penurunan tonus otot.

iii. Patofisiologi
Impaction merupakn akibat lanjut dari dari konstipasi
sehingga tumpukan feses yang yang keras directum tidak
bisa dikeluarkan. Pada impaction yang berat tumpukan
feses yang keras dapat tarjadi sampai direktum dan tidak
bisa dikeluarkan (Surilah, 2017).

iv. Tanda dan Gejala


Tanda-tanda : Tidak BAB, anoreksia, mual, muntah,
kembung, dan nyeri. .rektum.

33
v. Penatalaksanaan
1) Farmakologi

a. Melunakkan feses dalam 1-3 hari

a) Mineral oil diberikan melalui oral atau perektal


dengan dosis 15-45 ml

b) Sorbitol

c) Lactulosa

d) Emolient guna meningkatkan sekresi air dan


elektrolit ke usus halus dan usus besar, contoh:
ducosate
b. Melunakkan feses dalam waktu 6-12 jam

a) Magnesium sulfat dengan dosis < 10 gram

b) Disacodyl melalui oral dengan


dosis 5-15 mg, contoh: dulcolax
c) Daun senna, contoh : laxing

d) Phenolphthalein dosis 30-270 mg melalui oral


dapat mengubah urin dan feses berwarna pink
2) Non farmakologi

a. Diet tinggi serat

Berguna untuk menurunkan tekanan


intraluminal pada kolon dan rektum, meningkatkan
frekuensi defekasi.
b. Produk bulk forming agent

Berguna meningkatkan serat pada feses,contoh :


psyllium, polycarbophil,methylselulose
4. Flatulen

i. Pengertian

Flatulen adalah keadaan penuh udara dalam perut

34
karena pengumpulan gas secara berlebihan dalam
lambung atau usus (Alimul, 2006).
ii. Penyebab

Hal-hal yang dapat menyebabkan flatulen atau


peningkatan gas didalam usus adalah pemecahan
makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan,
pembusukan di usus yang menghasilkan CO2, dan
makanan penghasil gas seperti kembang kol dan
bawang. Secara fisiologis gas dalam tubuh akan keluar
melalui mulut (sendawa) dan anus (flatus). Penyebab
umum dari flatulen dan distensi adalah konstipasi. Ada
3 sebab utama flatus yaitu kerja dari bakteri dalam
chyme (kimus) di usus besar, udara yang tertelan, gas
yang berdifusi dari pembuluh darah ke dalam intestinal
(Surilah, 2017).

iii. Patofisiologi
Pertama dari udara yang tertelan, hal ini terjadi
karena udara terjebak saat aktifitas menelan saat makan
atau minum yang terburu-buru, mengunyah permen
karet, merokok, minum minuman bersoda dan
beralkohol, atau saat kejadian nafas yang memburu.
Udara yang tertelan ini akan dikeluarkan kembali
dengan cara sendawa, namun sisanya akan ikut saluran
pencernaan sampai dengan menjadi gas
buang. Komposisi terdiri dari nitrogen, oksigen dan
karbon dioksida (Muhtadi, 2012).
Kedua adalah dari meningkatnya produksi gas dalam
pencernaan karena hasil kerja bakteri di usus besar yang
memproses makanan tidak tercerna sempurna pada usus
halus. Ada sebanyak 30-150 gram makanan yang belum
tercerna sempurna pada usus halus sudah masuk ke usus

35
besar setiap harinya yang sebagian besar adalah
karbohidrat. Sehingga makin tinggi konsumsi
karbohidrat, akan semakin besar kemungkinan tingginya
produksi gas dalam usus besar. Ini dapat terjadi karena
adanya kekurangan enzim-enzim pencernaan.
Komposisi gas karena penyebab kedua ini terdiri dari
carbon monoksida, hydrogen, methane, dan sulfur.
Makanan yang dapat membuat tingginya produksi gas
buang pada seseorang belum tentu menghasilkan
jumlah gas yang sama untuk orang lain. Ini
disebabkan karena ada dua jenis bakteri di mana bakteri
kedua dapat mengeliminasi hydrogen yang dihasilkan
oleh bakteri pertama. Perbedaan jumlah bakteri ini
dalam pencernaan menyebabkan produksi gas buang
tidak sama di setiap orang (Muhtadi, 2012).

iv. Tanda dan Gejala


Meskipun tidak bersifat toksik, flatulensi dapat
berakibat serius. Peningkatan tekanan gas dalam rectum
dapat menyebabkan tanda-tanda patologis seperti sakit
kepala, pusing, penurunan daya konsentrasi, sedikit
perubahan mental dan sedikit odema (Astawan, 2009).

v. Penatalaksanaan
1) Farmakologi
Obat antiflatulen
a) Cisapride adalah obat yang meningkatkan
konstraksi lambung dan usus.
b) Dimethicone dan derivatnya adalah obat yang
menurunkan tegangan permukaan gas di dalam
pencernaan.

c) Metoclopramide adalah obat yang merangsang


motilitas saluran pencernaan makanan tanpa

36
mempengaruhi sekresi lambung.
2) Non farmakologi

a. Istirahat yang cukup

b. Mengindari makanan yang


pedas, asam, alkohol, dan
kafein
c. Hindari obat yang dapat
mengiritasi lambung dan usus
5. Inkontinensia Feses

i. Pengertian

Inkontinensia feses yaitu hilangnya kemampuan


otot untuk mengontrol pengeluaran feses dan gas
melalui sfingter akibat kerusakan sfingter dengan
kondisi feses encer dan jum;ahnya banyak (Alimiul,
2006). Umumnya disertai dengan gangguan fungsi
spingter anal, penyakit neuromuskular, trauma spinal
cord dan tumor spingter anal eksternal (Surilah, 2017).
Seperti pada diare, inkontinensia dapat menyebabkan
kerusakan kulit. Inkontinensia fekal asam mengandung
enzim-enzim pencernaan yang sangat mengiritasi kulit,
sehingga daerah di sekitar anus harus dilindungi dengan
zinc oksida atau beberapa salap pelindung lainnya. Area
ini juga harus dijaga tetap bersih dan kering.
ii. Penyebab

Penyebab utama timbulnya inkontinensia feses


adalah masalah sembelit, penggunaan pencahar yang
berlebihan, gangguan saraf seperti dimensia dan stroke,
serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati
diabetik, dan kerusakan sfingter rektum. Penyebab
inkontinensia feses dapat dibagi menjadi empat
kelompok (Isselbacher, 2013).

37
1) Inkontinensia feses akibat konstipasi

a) Obstipasi yang berlangsung lama dapat


mengakibatkan sumbatan atau impaksi dari massa
feses yang keras (skibala). Massa feses yang tidak
dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah
dari anus dan menyebabkan perubahan dari
besarnya sudut ano-rektal.
b) Skibala (massa feses yang keras) yang terjadi
juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa
rektum dan terjadi produksi cairan dan mukus,
yang selanjutnya melalui sela – sela dari feses
yang impaksi akan keluar dan terjadi
inkontinensia alvi.
2) Inkontinensia feses simtomatik

Inkontinensia feses simtomatik dapat


merupakan kelainan klinis dari macam – macam
kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare.
Keadaan ini mungkin dipermudah dengan adanya
perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari
proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter
terhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran
anus bagian atas dalam membedakan flatus dan feses
yang cair.
3) Inkontinensia feses neurogenik

Terjadi akibat gangguann fungsi menghambat


dari korteks serebri saat terjadi regangan atau
distensi rektum. Proses normal dari defekasi melalui
reflek gastro-kolon. Beberapa menit setelah
makanan sampai di lambung, akan menyebabkan
pergerakan feses dari kolon desenden ke arah
rekum. Distensi rectum akan diikuti relaksasi

38
sfingter interna dan seperti halnya kandung kemih,
tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada
orang dewasa normal, karena ada inbisi atau
hambatan dari pusat di korteks serebri (broklehurst
dkk, 1987).
4) Inkontinensia feses karena hilangnya reflek anal
Inkontinensia alvi ini terjadi akibat karena hilangnya
refleks anal, disertai kelemahan otot- otot seran
lintang atau otot rangka. Parks, Henry dan Swash
dalam penelitiannya dkk, 1987 menunjukkan
berkurangnya unit – unit yang berfungsi motorik
pada otot – otot daerah sfingter dan pubo-rektal,
keadaan ini menyebabkan hilangnya reflek anal,
berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya
tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia
feses pada peningkatan tekanan intra abdomen
iii. Patofisiologi
Reflek defekasi parasimpatis

Feses masuk rectum

Saraf rectum

Dibawa ke spinal cord

Kembali ke colon desenden, sigmoid dan rectum

Intensifkan peristaltic

Kelemahan spingter interna anus

Inkontinensia alvi atau fekal


(Bagan Patofisiologi Inkontinensia Feses)

39
Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap
adekuat. Namun beberapa orang lansia mengalami
ketidaknyamanan akibat motilitas yang melambat.
Peristaltik di esophagus kurang efisien pada lansia.
Selain itu, sfingter gastroesofagus gagal berelaksasi,
mengakibatkan pengosongan esophagus terlambat.
Keluhan utama biasanya berpusat pada perasaan penuh,
nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motalitas
gaster juga menurun, akibatnya terjadi keterlambatan
pengosongan isi lambung.
Berkurangnya sekresi asam dan pepsin akan
menurunkan absorsi besi, kalsium dan vitamin B12.
Absorsi nutrien di usus halus juga berkurang dengan
bertambahnya usia namun masih tetap adekuat. Fungsi
hepar, kantung empedu dan pankreas tetap dapat di
pertahankan, meski terdapat insufisiensi dalam absorsi
dan toleransi terhadap lemak. Impaksi feses secara akut
dan hilangnya kontraksi otot polos pada sfingter
mengakibatkan inkontinensia feses.
iv. Tanda dan Gejala
Tanda inkontinensia fekal adalah kebocoran atau
sedikit kehilangan kontrol usus. Tanda dari
inkontinesia fekal dapat beragam, mulai dari
merembesnya tinja cair (inkontinensia sebagian)
hingga keluarnya tinja padat secara tak terduga setiap
harinya (inkontinensia total). Tanda awal dari
inkontinensia berupa:
1) Keluarnya gas atau buang angin secara tidak
terduga dan tanda tersebut bisa terus memburuk.
2) Individu mengalami mencret atau keluar cairan dari
daerah anus. Apabila terus menerus terkena cairan
tersebut, maka kulit di sekitar daerah perineum

40
dapat mengalami peradangan atau iritasi.
3) Penderita biasanya akan mengalami sakit atau
ketidaknyamanan, kulit tergores atau gatal- gatal
pada daerah perianal.
v. Penatalaksanaan
1) Farmakologi

a. Obat anti diare, contoh: diphenoxylate

b. Zat pengumpul yang disuntik ke saluran dubur,


contoh: larutan hyaluronate sodium
2) Non farmakolgi

Terapi fisik

a. Stimuli saraf sakral yaitu penanaman alat


pengirim implus listrik yang berkelanjutan pada
saraf sakral (sepanjang saraf tulang belakang
hingga otot di tulang panggul ) dan memperkuat
otot rektum
b. Balon vaginal

c. Alat yang dimasukkan ke vagina guna memberi


tekanan pada area rektum ketika mengembang
sehingga mengurangi frekuensi buang air besar
akibat inkontinensia.
d. Biofeedback

Gerakan latihan untuk meningkatkan kekuatan


otot dubur, otot dasar panggul, kontraksi otot saat
BAB, sensasi ketika feses siap dikeluarkan.
6. Hemoroid

i. Pengertian

Hemorroid, sering juga disebut wasir yaitu keadaan


terjadinya pelebaran vena di daerah anus sebagai akibat

41
peningkatan tekanan di daerah anus yang dapat
disebabkan karena konstipasi, peregangan saat defekasi,
dan lain-lain (Alimul, 2006). Hal ini terjadi pada
defekasi yang keras, pada kehamilan, gagal jantung dan
penyakit hati menahun. Perdarahan dapat mudah terjadi
dengan mudah jika dinding pembuluh merenggang. Jika
terjadi inflamasi dan pengerasan, maka individu merasa
panas dan terasa gatal. Karena adanya rasa nyeri saat
BAB maka kadang-kadang individu mengabaikan
keinginannya untuk BAB sehingga dapat terjadi
konstipasi sebagai akibat lanjut dari hemorrhoid
(Surilah, 2017).
ii. Penyebab

a. Mengejan saat BAB.

b. Duduk terlalu lama di toilet.

c. Diare kronis atau sembelit berulang.

d. Kegemukan.

e. Kehamilan

f. Mengonsumsi makanan rendah serat.


iii. Patofisiologi

Hemoroid timbul akibat kongesti vena yang


disebabkan oleh gangguan aliran balik dari vena
hemoroidalis. Telah diajukan beberapa faktor etiologi
yaitu konstipasi, diare, sering mengejan, kongesti pelvis
pada kehamilan, pembesaran prostat, fibroid uteri, dan
tumor rektum. Penyakit hati kronis yang disertai
hipertensi portal sering mengakibatkan hemoroid,
karena vena hemoroidalis superior mengalirkan darah ke
sistem portal. Selain itu sistem portal tidak mempunyai
katup, sehingga mudah terjadi aliran balik. Hemoroid

42
dapat dibedakan atas hemoroid eksterna dan interna.

Hemoroid eksterna di bedakan sebagai bentuk akut


dan kronis. Bentuk akut berupa pembengkakan bulat
kebiruan pada pinggir anus dan sebenarnya merupakan
suatu hematoma, walaupun disebut sebagai hemoroid
trombosis eksternal akut. Bentuk ini sering terasa sangat
nyeri dan gatal karena ujung-ujung saraf pada kulit
merupakan reseptor nyeri. Hemoroid eksterna kronis
biasanya merupakan sekuele dari hematom akut.
Hemoroid ini berupa satu atau lebih lipatan kulit anus
yang terdiri dari jaringan ikat dan sedikit pembuluh
darah (Price, 2005).

Hemoroid interna dibagi berdasarkan gambaran


klinis atas : derajat 1, bila terjadi pembesaran hemoroid
yang tidak prolaps keluar kanal anus, hanya dapat dilihat
dengan anorektoskop. Derajat 2, pembesaran hemoroid
yang prolaps dan menghilang atau masuk sendiri ke
dalam anus secara spontan. Derajat 3, pembesaran
hemoroid yang prolaps dapat masuk lagi ke dalam anus
dengan bantuan dorongan jari. Derajat 4, prolaps
hemoroid yang permanen.

Rentan dan cenderung untuk mengalami thrombosis


dan infark. (Sudoyo,2006)

iv. Tanda dan Gejala

1) Pendarahan setelah buang air besar. Warna darah


berwarna merah terang.

2) Terdapat lendir setelah buang air besar.

3) Benjolan tergantung di luar anus yang terasa nyeri


dan sensitif. Benjolan ini biasanya didorong kembali

43
ke dalam setelah buang air besar.

4) Pembengkakan, rasa nyeri, dan kemerahan di sekitar


anus.

5) Mengalami gatal-gatal di sekitar anus.

6) Kotoran keluar dengan sendirinya melalui anus.

7) Mengalami gatal-gatal atau iritasi, sakit, merah dan


bengkak di sekitar anus.
v. Penatalaksanaan
1) Farmakologi

a. Obat laksatif dalam bentuk serat dapat


mengurangi gejala hemoroid terutama
pendarahan.
b. Obat Polidocanol mengandung
95%
hydroxypolyethoxydodecane
dan 5% ethyl alcohol
c. Asam Tranexamik
Dengan cara menghambat konversi
plasminogen menjadi plasmin yang mencegah
lisis klot darah.

a) Obat pereda rasa nyeri dengan menghindari


obat jenis kodein karena memperburuk
konstipasi, contoh: paracetamol
b) Suntikan skleroterapi

Larutan kimia disuntikkan ke dalam


pembuluh darah pada anus, akan
menyebabkan jaringan hemoroid mengeras
dan terbentuk luka dan akan mengecil sekitar
satu setengah bulan.
2) Non farmakologi

44
a. Koagulasi dengan inframerah

Dengan cara sebuah alat yang memancarkan sinar


inframerah untuk membakar jaringan hemoroid.
b. Anastesi lokal

Dapat mengurangi nyeri, rasa terbakar, gatau, dan


kebas di ujung syaraf.
c. Vasokontriksi

Merupakan senyawa kimia yang digunakan di


anus yang membuat pembuluh darah menjadi
lebih kecil sehingga dapat mengurangi
pembengkakan. Dan dapat mengurangi rasa sakit
akibat anestesi ringan.
d. Keratolitik

Merupakan senyawa kimia yang dapat


menyebabkan jaringak terluar kulit mengelupas
digunakan agar obat yang digunakan di anus
dapat masuk ke dalam jaringan yang lebih dalam.

b. Miksi
1. Retensi

i. Pengertian

Petensi adalah penumpukan urin dalam kandung kemih


akibat ketidakmampuan kandung kemih untuk
mengosongkan isinya, sehingga menyebabkan distensi
dari vesika urinaria (Alimul, 2006).
ii. Penyebab

a. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelvis vesika


urinaria.
b. Trauma sumsum tulang belakang.

c. Tekanan uretra yang tinggi disebabkan oleh otot

45
detrusor yang lemah.
d. Sfringter yang kuat
iii. Patofisiologi
Retensi urine dapat terjadi menurut lokasi, factor
obat dan factor lainnya seperti ansietas, kelainan
patologi urethra, trauma dan lain sebagainya.
Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal
berupa kerusakan pusat miksi di medulla spinalis
menyebabkan kerusaan simpatis dan parasimpatis
sebagian atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi
dengan otot detrusor yang mengakibatkan tidak adanya
atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal, vesikal
berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang,
intravesikal berupa hipertrofi prostate, tumor atau
kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil menyebabkan
obstruksi urethra sehingga urine sisa meningkat dan
terjadi dilatasi bladder kemudian distensi abdomen.
Faktor obat dapat mempengaruhi proses BAK,
menurunkan tekanan darah, menurunkan filtrasi
glumerolus sehingga menyebabkan produksi urine
menurun. Faktor lain berupa kecemasan, kelainan
patologi urethra, trauma dan lain sebagainya yang dapat
meningkatkan tensi otot perut, peri anal, spinkter anal
eksterna tidak dapat relaksasi dengan baik. Dari semua
factor di atas menyebabkan urine mengalir lambat
kemudian terjadi poliuria karena pengosongan kandung
kemih tidak efisien. Selanjutnya terjadi distensi bladder
dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan,
salah satunya berupa kateterisasi urethra.
iv. Tanda dan Gejala
1) Diawali dengan urine mengalir lambat.

2) Kemudian terjadi poliuria yang makin lama

46
menjadi parah karena pengosongan kandung kemih
tidak efisien.
3) Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung
kemih.
4) Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan
merasa ingin BAK.
5) Pada retensi berat bisa mencapai 2000 -3000 cc.
v. Penatalaksanaan
1) Farmakologi
Terapi Alfa-blokerz yaitu akan
merelaksasikan otot pada hiperplasia prostat yang
jinak sehingga mengakibatkan peningkatan aliran
kemih dan perbaikan gejala obstruksi.

2) Non farmakologi
Pemasangan Kateter
2. Enuresis

i. Pengertian

Enuresis adalah ketidaksanggupan menahan kemih


(mengompol) yang diakibatkan tidak mampu
mengontrol sfingter eksterna. Enuresis biasanya terjadi
pada anak atau lansia, umumnya pada malam hari
(Alimul, 2006).
ii. Penyebab

Penyebab enuresis bisa karena kapasitas kandung


kemih lebih kecil dari normal, kandung kemih yang
irritable, suasana emosional yang tidak menyenangkan,
infeksi saluran kemih (Ruffy, 2013). Penyebab enuresis
ada dua yaitu primer dan sekunder.
Penyebab enuresis primer keterlambatan matangnya
fungsi susunan saraf pusat (SSP), factor genetic,
gangguan tidur, kadar ADH dalam tubuh yang kurang,

47
kelainan anatomi yaitu ukuran kandung kemih yang
kecil. Enuresis primer disebabkan oleh fungsi kandung
kemih dan sistem pengendalian kencing yang belum
matang, biasanya dengan bertambahnya usia fungsi
tersebut akan semakin sempurna. Kebiasaan enuresis
pun akan hilang dengan sendirinya (Prasadja, 2009).
Sedangkan penyebab enuresis sekunder stress
kejiwaan, kondisi fisik yang terganggu, dan alergi.
Enuresis sekunder merupakan tanda dari adanya suatu
penyakit atau masalah psikologis. Apabila enuresis di
siang hari disertai sakit perut dan rasa sakit ketika
kencing kemungkinan besar disebabkan oleh infeksi
pada saluran kemih (Prasadja, 2009).
iii. Patofisiologi

Enuresis atau mengompol merupakan kondisi yang


biasanya terjadi karena saraf dalam menyuplai kantong
kemih lambat matangnya, sehingga anak tidak berhasil
terbangun ketika kantong kemih penuh dan butuh
dikosongkan (Siregar dan Minatun 2011). Penyebab
mengompol primer disebabkan adanya keterlambatan
proses pematangan system saraf pada anak, dimana
adanya ketidakmampuan otak untuk menangkap sinyal
yang dikirimkan kandung kemih, gangguan hormonal,
dan kelainan anatomi.
iv. Tanda dan Gejala
1) Gejala umum dari mengompol adalah kehilangan
kendali urinasi dengan sendirinya saat tidur.
2) Merasa ingin buang air kecil lebih sering dari
biasanya
3) Lebih haus dari biasanya
4) Memiliki perasaan terbakar saat buang air kecil
5) Mengalami pembengkakan pada kaki atau

48
pergelangan kaki
6) Mulai mengompol kembali setelah sudah berhenti
selama beberapa minggu atau bulan.
v. Penatalaksanaan

1) Farmakologi

a. Desmopresin asetat nasal spray (DDAVP)


diberikan melalui intra nasal saat akan tidur.

b. Imipramin/tofranil dengan dosis maksimum 2,5


mg/kg/BB/24 jam diberikan sebelum tidur.
2) Non farmakologi

a. Akupuntur

b. Enuresis Alarm

c. Hipnoterapi

Pasien dihipnotis dan diberi sugesti apabila


ingin berkemih akan terbangun.
3. Inkontinensia urin

i. Pengertian

Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan otot


sfingter eksternal sementara atau menetap untuk
mengontrol ekskresi urine (Alimul, 2006). Jenis
inkontinensia :
a. Inkontinensia Fungsional adalah keadaan individu
yang mengalami pengeluaran urine secara tanpa
disadari dan tidak dapat diperkirakan.
b. Inkontinensia Stress adalah keadaan individu yang
mengalami kehilangan urine kurang dari 50ml,
terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen.

c. Inkontinensia Total adalah keadaan individu yang


mengalami pengeluaran urin secara terus menerus

49
yang tidak dapat diperkirakan.

ii. Penyebab

Inkontinensia urin pada pria biasanya disebabkan


oleh pembesaran prostat, dan pada wanita penyebab
tersering adalah kelemahan dasar panggul setelah
melahirkan, diikuti ketidak stabilan otot detrusor.
Penyebab lainnya adalah imobiltas, demensia, stroke
dan dalam konteks penyakit serius (Gleadle, 2007).
iii. Patofisiologi

Dalam proses berkemih yang normal dikendalikan


oleh mekanisme volunter danin volunter. Sfingter uretra
eksternal dan otot dasar panggul yang berada dibawah
kontrol mekanisme volunter. Sedangkan pada otot
detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal
berada pada bawah kontrol sistem saraf otonom. Ketika
otot detrusor berelaksasi maka terjadinya proses
pengisian kandung kemih dan sebaliknya jika otot ini
berkontraksi maka proses berkemih (pengosongan
kandung kemih) akan berlangsung. Dengan kontraksi
otot detrusor kandung kemih disebabkan dengan
aktivitas saraf parasimpatis, dimana aktivitas itu dapat
terjadi karena dipicu oleh asetil koline.

Ketika terjadi perubahan-perubahan pada


mekanisme normal ini maka dapat menyebabkan proses
berkemih terganggu. Pada usia lanjut baik wanita atau
pria terjadinya perubahan anatomis dan fisiologis dari
sistem urogenital bagian bawah. Perubahan tersebut
akan berkaitan dengan menurunnya kadar hormon
estrogen pada wanita dan hormon androgen pada pria.
Perubahan yang terjadi ini berupa peningkatan fibrosis
dan kandungan kolagen pada dinding kandung kemih

50
yang dapat mengakibatkan fungsi kontraktil dari
kandung kemih tidak efektif lagi. Pada otot uretra dapat
terjadi perubahan vaskularisasi pada lapisan submukosa,
atrofi mukosa dan penipisan otot uretra. Dengan keadaan
ini menyebabkan tekanan penutupan uretra berkurang.
Otot dasar panggul juga dapat mengalami perubahan
berupa melemahnya fungsi dan kekuatan otot. Secara
keseluruhan perubahan yang terjadi pada sistem
urogenital bagian bawah akibat dari proses menua
sebagai faktor kontributor terjadinya Inkontinensia urin
(Setiati dan Pramantara, 2007).
iv. Tanda dan Gejala

Tanda inkontinensia ketegangan meskipun hanya


sedikit, dapat menyebabkan kebocoran. Keinginan
untuk tiba-tiba buang air kecil juga dapat terjadi,
aliran kemih yang lemah. Individu juga dapat
mengalami seringnya buang air kecil dan nokturia,
atau terbangun pada malam hari karena keinginan
untuk buang air kecil, serta sensasi retensi, atau
perasaan bahwa kandung kemih tidak dapat kosong
sepenuhnya.
v. Penatalaksanaan

1) Farmakologi

a. Obat Antispasmodik bekerja untuk


merelaksasikan kandung kemih
b. Antibiotik untuk mengobati infeksi

c. Obat desmopressin jenis antidiuretik yang akan


memberhentikan urin saat tertidur.
2) Non farmakologi

a. Perubahan pola hidup

51
a) Menghindari minum berlebih

b) Mengurangi konsumsi kafein

c) Manajemen cairan dan diet

d) Penjadwalan waktu saat buang air kecil

b. Pemasangan alat medis, seperti: urethral insert,


pessary,penile compression device,kateter

2.4 Konsep Asuhan Keperawatan

2.4.1 Pengkajian

1. Eliminasi Urin/ Miksi Pengkajian pada kebutuhan eliminasi urin


meliputi :

a. Kebiasaan berkemih Pengkajian eliminasi urin meliputi


kebiasaan berkemih serta hambatannya. Frekuensi berkemih
tergantung pada kebiasaan.

1) Pola berkemih

a) Frekuensi berkemih Frekuensi berkemih dapat


menentukan berapa kali individu tersebut berkemih
dalam jangka waktu 24 jam.

b) Urgensi Perasaan seseorang untuk berkemih seperti


seseorang ke toilet karena takut mengalami
inkotinensia jika tidak berkemih.

c) Disuria Keadaan rasa sakit saat berkemih. Keadaan ini


ditemukan pada penyakit striktur uretra, ISK, trauma
vasika urinaria

52
d) Polyuria Keadaan produksi urin yang abnormal yang
jumlahnyalebih besar tanpa adanya peningkatan
asupan cairan.

e) Urinaria supresi Keadaan memproduksi urin yang


berhenti secara mendada. Jika produksi urin kurang
dari 100ml/hari maka kejadian tersebut di katakana
anuria, namun apabila produksi lebih dari 100ml/hari
dikatakan sebagai oliguria.

b. Volume urin
Volume urin ini dapat menentukan jumlah urin yang
dikeluarkan/output dalam 24 jam.

2. Eliminasi Defekasi/ alvi


a. Pola defekasi dan keluhan selama defekasi.
b. Keadaan feses Keadaan feses meliputi : bau, warna,
konsistensi, konstituen, dan bentuk
c. Faktor yang mempengaruhi eliminasi alvi, antara lain :
1) Diet
2) Kegiatan yang spesifik
3) Penggunaan obat
4) Kegiatan yang spesifik
5) Stress
d. Tanda klinis gangguan eliminasi alvi, seperti : konstipasi,
diare, dan inkonteinensia usus

2.4.2 Diagnosa

1. Perubahan pola eliminasi urin

A. Definisi
Keadaan dimana seorang individu mengalami atau
berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine

53
B. Batasan karakteristik

a) Dorongan Berkemih

b) Inkontinensia

c) Nokturia

d) Sering Berkemih

C. Faktor yang berhubungan

a) Ketidak mampuan saluran kemih akibat anomaly saluran


urinaria

b) Penurunan kapasitas

c) Kerusakan pada saluran kemih

d) Efek pembedahan pada saluran kemih

2. Inkontinensia urin fungsional

A. Definisi
Ketidakmampuan individu yang biasanya kontinen, untuk
mencapai toilet tepat waktu untuk berkemih yang mengalami
pengeluaran urin yang tidak sengaja

B. Batasan karateristik

a) Berkemih sebelum mencapai toilet

b) Mengosongkan kandung kemih dengan tuntas

c) Sensasi ingin berkemih

C. Faktor yang berhubungan

a) Gangguan fungsi kognisi

b) Faktor perubahan lingkungan

c) Gangguan psikologis

54
3. Inkontinensia Refleks

A. Definisi
Pengeluaran urine involunter pada interval yang dapat
diperiksa ketika mencapai volume kandung kemih tertentu

B. Batasa Karateristik

a) Ketidakmampuan memulai berkemih secara volunteer

b) Sensasi dorongan berkemih tanpa hambatan volunter

C. Faktor yang berhubungan

a) Gangguan neurologis di atas lokasi pusat mikturisi sacral

b) Kerusakan jaringan

4. Inkontinensia Urin Stress

A. Definisi
Rembesan urin tiba tiba karena aktivitas yang
meningkatkan tekanan intra abdomen

B. Batasan Karateristik

a. Rembersan involunter sedikit urin pada tidak adanya


kontraksi detrusor

b. Rembesan involunter sedikit urin pada


tidak adanya overdistensi kandung kemih
C. Faktor yang berhubungan

a. Kelemahan Otot Pelvik karena kehamilan atau bias juga


karena cedera

b. Perubahan degenerative pada otot-otot pelvik


5. Inkontinensia Urin dorongan
A. Definisi
Pengeluaran urin involunter yang terjadi segera setelah
suatu rasa dorongan kuat untuk berkemih

55
B. Batasan karateristik
a. Pengeluaran urin involunter pada konraksi kandung kemih

b. Tidak mampumencapai toilet pada waktunyya untuk


berkemih

c. Pengeluaran urin involunter pada spasme kandung kemih

C. Faktor yang berhubungan


a. Penurunan kapasitas kandung kemih

b. Infeksi kandung kemih


6. Retensi Urin
A. Definisi
Pengosongan kandung kemih tidak tuntas
B. Batasan karateristik
a. Distensi kandung kemih

b. Tidak adanya keluaran urin

c. Menetes
C. Faktor yangberhubungan
a. Sfingter kuat

b. Sumbatan saluran perkemihan


7. Konstipasi
A. Definisi
Penurunan frekuensi normal defekasi yang disertai
kesulitan atau pengeluaran feses tidak tuntas dan/atau feses
yang keras, kering dan banyak

B. Batasan karateristik
a. Nyeri tekan pada abdomen dengan atau
tanpa disertai dengan resistensi otot yang
dapat di palpasi
b. Perubahan pola defekasi

c. Massa abdomen yang dapat dipalpasi

56
d. Nyeri saat defekasi

C. Factor yang berhubungan


a. Kebiasaan defekasi tidak teratur

b. Kelemahan otot abdomen dan pelvis

c. Penurunan motilitas traktus gastrointestinal

d. Efek samping tindakan obat


8. Diare

A. Definisi
Pasase feses yang lunak dan tidak berbentuk
B. Batasan karateristik
a. Ada dorongan untuk defekasi

b. Bising usus hiperaktif

c. Defekasi feses cair >3 dalam 24 jam

d. Nyeri abdomen

C. Faktor yag berhubungan


a. inflamasi akibat suatu penyakit atau gastritis

b. Proses infeksi dikarenakan adanya suatu parasite

c. Efek samping penggunaan laksatif


9. Inkontinensia Defekasi
A. Definisi
Perubahan pada kebersihan defekasi normal yang di tandai
pesase feses involunter

B. Batasan Karateristik
a. Dorongan defekasi

b. Ketidakmampuan mengenali dorongan defekasi

c. Ketidakmampuan menunda defekasi

d. Warna fekal pada tempat tidur dan pakaian

57
C. Faktor yang berhubungan
a. Faktor lingkungan (mis, tidak mengakses kamar mandi)

b. Kesulitan perawatan diri toileting

c. Disfungsi sfingter rektal

58
59
2.4.3 Intervensi

Setelah dilakukan pengkajian didapati intervensi sebagai berikut :

Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan

Perubahan pola Tujuan perawatan : pola 1. Kaji pola berkemih, dan catat 1. Mengetahui fungsi ginjal.
eliminasi kembali normal produksi urine tiap jam. 2. Untuk mengetahui apakah ada
eliminasi urine
selama perawatan 2. Palpasi kemungkinan adanya tanda – tanda distensi pada
berhubungan dengan
distensi kandung kemih. kandung kemih yang dapat
kelumpuhan syarat
Kriteria hasil : produksi urine 3. Anjurkan pasien untuk menyebabkan gangguan pada
perkemihan
1. 50 cc/jam, keluhan minum 2000 cc/hari. pola eliminasi urine.
.
eliminasi uirine tidak ada 4. Pasang dower kateter. 3. Membantu mempertahankan
fungsi ginjal.
4. Membantu proses pengeluaran
urine.

60
Gangguan eliminasi Tujuan pasien tidak 1. Auskultasi bising usus, 1. Bising usus mungkin tidak ada
alvi / konstipasi menunjukkan adanya catat lokasi dan selama syok spinal.
berhubungan dengan gangguan eliminasi karakteristiknya. Untuk mengetahui adanya
gangguan persarafan alvi/konstipasi 2. Observasi adanya distensi pada perut sebagai
pada usus dan rektum. distensi perut. tanda bahwa pasien memiliki
3. Catat adanya keluhan gangguan konstipasi.
Kriteria hasil :
mual dan ingin 3. Pendarahan gantrointentinal
Pasien bisa b.a.b secara teratur
2. muntah, pasang ngt. dan lambung mungkin terjadi
sehari 1 kali
4. Berikan diet seimbang akibat trauma dan stress.
tktp cair : meningkatkan 4. Diberikan diet
konsistensi feces
seimbang yang sesuai
5. Berikan obat
kebutuhan pasien agar feces
pencahar sesuai
tidak keras.
pesanan.
5. Merangsang kerja
usus.
Diare b/d inflamasi Tujuan : diharapkan 1. Auskultasi bising usus 1. Hal ini bertujuan untuk memonitor

3. akibat suatu penyakit pasien tidak lagi seberapa naik atau turunnya berat
2. Timbang bb pasien setiap
atau gastritis, ulkus, menunjukan gejala diare badan pasien
hari dan monitor status

61
proses infeksi serta Kriteria hasil : pasien 2. Dalam 24 jam pada penderita diare
penyalagunaan obat 3. Distribusikan supan cairan kronik, mereka akan membuuhkan
1. Frekuensii bab di
selama 24 jam banyak cairan agar didalam tubuhnya
tingkatkan dari skala 1 ke
tidak kekurangan cairan karena setelah
skala 5
pasien mengeluarkan fesesyang tidak
2. Bising usus ditingkatkan
bebentuk atau biasanya berupa cairan,
dari skala 2 ke skala 5
sehingga cairan dalam tubuhnya
berkurang dan pasien akan lemas.
Inkontinensia defekasi Tujuan : 1. Kaji kejadian dan tipe 1. Mengkaji perubahan yang
b/d Factor lingkungan, inkontinensia, frekuensi, dan terjadi pada feses.
Diharapkan pasien mampu
ketidakmampuan berbagai perubahan dalam 2. Mencari tahu apa penyebab
mengeluarkan feses dengan
mengeluarkan feses fungsi bowl dan konsistensi pasien mengalami
lancar.
pada serta fekal. inkontinensia, dan mencari

4. ketidakmampuan 2. Hilangkan penyebab tahu bagaimana cara


menund defekasi Kriteria hasil : inkontinensia, jika menghilangkan penyebab
1. Malaise ditingkatkan memungkinkan tersebut.
dari skala 2 ke skala 5 3. Ambil tinja untuk 3. Mengambil sampel tinja untuk
2. Hilangnya nafsu pemeriksaan kultur mengetahui seberapa parah
4. Bantu pasien ke toilet atau gangguan pada elimisasi feses

62
makan tempat lain untuk eliminsi pasien.
3. Kolonisasi kultur feses 5. Fasilitasi kebersihan 4. Jika pasien tidak dapat
4. Praktik gizi sehat melakukan apapun secara
5. Manfaat olahraga mandiri, kita membantu pasien
mengantar ke toilet selama
pasien menginginkan untuk
eliminasi, hal ini dilakukan
untuk keselamatan pasien dan
kenyamanan pasien. Jika
pasien hanya dapat berbaring
maka kita harus menyiapkan
tempat khusus untuk pasien
melakukan eliminasi.

5. Membersihkan linen,
membersihkan area genital
pasien ketika selesai
melakukan eliminasi dengan
bersih dan harum, merapikan

63
baju pasien dan
mengkondisikan agar
lingkungan disekitar pasien itu
bersih dan tidak kotor agar
pasien sendiri nyaman berada
pada tempatnya.
Inkontinensia urin Tujuan : 1. Ajarkan pasien untuk 1. Mengajarkan pasien menahan
fungsional b/d secara sengaja menahan urin pada saat berkemih agar
Diharapkan pasien
sensasi ingin urin diantara sesi pasien terbiasa menahan dan
berkemih tepat pada
berkemih serta eliminasi, jika secara membuang urin ke toilet.
waktunya dan pengeluaran
berkemih sebelum kondisi kognitif pasien 2. Membantu pasien
urin pada toilet.
mencapai toilet. tidak terganggu. mengosongkan kandung kemih
Kriteria hasil :
2. Bantu pasien untuk ke agar tidak terjadi pengeluaran
5. 1. Masuk dan keluar dari
toilet dan dorong untuk urin secara tiba - tiba.
kamar mandi dengan mengosongkan kandung
tepat dari skala 1 kemih pada interval
ditingkatkan menjadi waktu yang ditentukan.
skala 5.
2. Sampai ke toilet

64
antara dorongan atau
hampir keluarnya urin
dari skala 2
dtingkatkan menjadi
skala 5.
Inkontinensia urin Tujuan : 1. Instruksikan pasien untuk 1. Agar melatih ototo levator
stress d.d rembesan menahan otot- otot pasien untuk mengurangi stress
Untuk mengurangi
involunter sedikit sekitar uretra dan anus, urgensi sehingga terjadi
rembesan urin yang
urin pada tidak kemudian relaksasi, pengosongan pada kandung
dikarenakan tekanan
adanya overdistensi seolah-olah ingin kemih setelah mengeluarkan
pada abdomen.
kandung kemih. menahan buang air kecil. urin.
2. Batasi makanan yang 2. Membatasi pasien untuk
Kriteria Hasil : beresiko mengiritasi mengonsumsi air mineral dan
6. kandung kemih seperti minuman selain yg disebutkan
1. Terkait ketidaknyamanan
dari skala 2 ditingkatlan minuman bersoda, guna mencegah kandung
menjadi skala 5 sehingga kopi,teh, dan coklat. kemih Terkintaminasi sehingga
pasien akan berangsur 3. Instruksikan pada proses berkemih normal.
nyaman. pasien dan keluarga 3. Hal tersebut dilakukan agar
untuk mencatat pola dan pasien mengetahui seberapa

65
2. Mengosongkan kandung jumlah urin output. seringnya pola berkemihnya dan
kemih sepenuhnya dari jumlah urin yang pasien
skala 3 menjadi skala 5. keluarkan.
3. Mengenali keinginan
untuk berkemih
ditingkatkan dari banyak
terganggu terganggu
menjadi tidak terganggu
Inkontinensia urin Tujuan : 1. Jaga eliminasi yang 1. Paien akan terbiasa dengan
dorongan b/d infeksi dijadwalkan sehingga dijadwalkannya eliminasi
Untuk mengurangi risiko
kandung kemih dapat membantu dalam dan kebiasaan berkemih akan
infeksi pada kandung kemih
7. membangun dan terjaga.
dan pengosongan kandung
mempertahankan 2. Pasien diinstruksikan agar tidak
kemih ketika urin
kebiasaan berkemih. menahan otot sekitar uretra agar
dikeluarkan.
2. Instruksikan pasien agar dapat melatih otot levator ani
Kriteria Hasil :
tidak menahan otot-otot dan otot urogenital secara sadar.
1. Mengurangi gejala
sekitar uretra dan anus,
gastrointestinal dari
kemudian relaksasi.
skala yang berat

66
menjadi ringan.
2. Penggunaan

obat yang benar sesuai


yang diresepkan.

67
2.4.4 Implementasi

1. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan

Pemberian asuhan keperawatan pada pasien yakni


memperhatikan kebutuhan dasar manusia yang diberikan melalui
layanan keperawatan seperti halnya menumbuhkan hubungan
saling percaya kepada pasien jika tindakan apa saja yang
dilakukan adalah benar dan sesuai pertimbangan sehingga
pasien tidah khawatir pada saat perawat melakukan tindakan
keperawatan. Perawat memberikan pelayanan kepada pasien
sesuai dengan kebutuhan dasar manusia seperti halnya
memandikan pasien, membersihkan linen, memperhatikan
kebutuhan eliminasi pasien baik BAK maupun BAB.
2. Perawat sebagai advokat

Perawat melakukan peran untuk membantu klien dan


keluarga dalam pengambilan persetujuan atas tindakan
keperawatan yang diberikan kepada pasien, perawat juga
berperan dalam mempertahankan hak dan melindungi pasien
yaitu hak atas informasi tentang penyakit yang diderita pasien,
privasi pasien yang harus dijaga, dan hak menerima ganti rugi
atas kelalaian pelayanan kesehatan.
3. Perawat sebagai edukator

Dalam peran ini perawat memberikan edukasi guna


meningkatkan pengetahuan tentang berbagai macam penyakit
dari gejala yang timbul seperti halnya perawat memberikan
pengetahuan tentang gangguan pada eliminasi urin maupun
eliminasi feses. Hal ini ditujukan agar pasien paham tentang
penyebab mengapa bisa terserang penyakit tersebut sehingga
pasien akan merubah perilaku / pola hidupnya agar terhidar dari
penyakit tersebut.

68
4. Perawat sebagai koordinator

Peran perawat menjadi koordinator dalam tim kesehatan


untuk pemberian pelayanan yang terarah sesuai dengan
kebutuhan pasien dan tidak membahayakan pasien. selain
mengarahkan, perawat juga mengontrol apakah pasien tersebut
berkurang sakitnya atau tidak dan apakah pelayanan pada pasien
sudah benar.
5. Perawat sebagai kolaborator

Perawat bekerjasama dengan dokter dan tim kesehatan


lainnya yang terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi, dan lain –
lain. Pada peran ini perawat dapat bertukar pendapat dengan tim
kesehatan lain guna menyampaikan informasi dan menemukan
solusi untuk pelayanan selanjutnya.
6. Perawat sebagai konsultan

Peran perawat disini sebagai tempat konsultasi atas


masalah tindakan keperawatan yang diberikan sesuai dengan
permintaan pasien atas informasi tentang apa tujuan dari
pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat sehingga
pasien merasa mengetahui untuk apa pelayanan tersebut. Seperti
halnya pasien menanyakan untuk apa melakukan latihan pada
otot urogenital pasien dan untuk apa harus melakukan latihan
proses kebiasaan berkemih secaran teratur. Perawat akan
menjelaskan apa maksud dari tindakan tersebut yang memang
bertujuan untuk pemulihan dan kesehatan pasien.
7. Perawat sebagai pembaharu

Peran tersebut dilakukan oleh perawat untuk melakukan


perencanaan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode
pemberian pelayanan keperawatan. Perawat melakukan
perencanaan tindakan selanjutnya kepada pasien dan pada
pelayanan kesehatan guna menciptakan lingkungan yang
nyaman dan meningkatkan petugas pelayanan kesehatan yang

69
kompeten agar pelayanan kesehatan lebih membaik.

2.4.5 Evaluasi

Pada tahap ini yang perlu dievaluasi pada klien dengan


Gangguan Eliminasi adalah mengacu pada tujuan yang hendak
dicapai yakni apakah terdapat :
a. Nyeri yang menetap berkurang atau bertambah

b. Perubahan warna urine dan feses

c. Pola berkemih berubah, berkemih sering dan


sedikit-sedikit, perasaan ingin kencing menetes
setelah berkemih.
d. Asupan makanan dan cairan.

e. Massa abdomen.

f. Apakah feses masih lunak seperti pasta dalam rektum.

70
BAB III
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai gangguan eliminasi di atas dapat


disimpulkan bahwa :
1. Sistem perkemihan adalah suatu sistem tempat berlangsungnya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat – zat yang sudah
tidak diperlukan lagi oleh tubuh dan menyerap kembali zat yang
dibutuhkan oleh tubuh. Organ yang menyusun sistem perkemihan
terdiri dari : ginjal, ureter, vesika urinaria dan uretra.
2. Sistem organ pencernaan adalah sistem organ yang memproses
makanan yang diterima untuk dicerna menjadi energi dan nutrient,
juga mengeluarkan sisa proses pencernaan. Susunan saluran
pencernaan terdiri atas oris (mulut), faring (tekak), esophagus
(kerongkongan), ventrikulus (lambung), intestinum minor (usus halus)
yang tebagi menjadi duodenum (usus 12 jari), ileum (usus
penyerapan), jejunum, intestinum mayor (usus besar) yang tetbagi
menjadi kolon asendens (usus besar yang naik), kolon desendens (usus
besar turun), kolon sigmoid, rectum dan anus.
3. Eliminasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang esensial,
bertujuan untuk mempertahankan homeostasis melalui pembuangan
sisa-sisa metabolismee yakni berasal dari salura pencernaan yang
dibuang sebagai feses dan saluran lainnya seperti urine, CO2, nitrogen,
dan H2O. Jenis sisa metabolismee yang dibuang oleh tubuh yakni air,
kardondioksida, urea, ureum, dan lain-lain.

4. Eliminasi adalah suatu proses pembuangan berupa sisa-sisa


metabolisme tubuh baik berupa fese ataupun urine. Sisa metabolisme
yang tidak berguna untuk tubuh harus dieliminasi dari dalam tubuh
karena akan menjadi racun bagi tubuh.
5. Gangguan eliminasi adalah suatu gangguan atau hambatan dalam

71
proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urine maupun
fese.

4.2 Saran

4.2.1 Saran Bagi Pembaca

Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca


mendapatkan wawasan baru lagi mengenai gangguan eleiminasi.

4.2.2 Saran Bagi Mahasiswa

Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa bisa


mendapat ilmu baru lagi dan diiharapakan mahasiswa dapat
melakukan peneliti tentang asuham keperawatan pada pasien dengan
gangguan eliminasi.

4.3.3 Saran Bagi Pemerintah

Diharapkan pemerintah dapat membantu dan mendukung


mahasiswa dalam melakukan penelitian lebih lanjut mengenai
asuham keperawatan pada pasien dengan gangguan eliminasi.

72
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi.2008. Teknik Procedural Keperawatan Kosep Dan Aplikasi Kebutuhan


Dasar Klien.Jakarta :Salemba Medika
https://books.google.co.id/books?id=IJ3P1qiHKMYC&pg=PA88&dq=pro
se+eliminasi+fekal&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjxir2OmYDbAhUBNY
8KHdZ4AtEQ6AEILDAA (Diakses pada tanggal 4 Mei 2018 pukul
19.00)

Collen. 2012 . Pengalaman Lansia dalam penanganan Inkontinensia Urine di


Wilayah Kerja Puskesmas Komanji. Pali : The Soedirman Journal of
Nursing, vol 7 no 3

Departemen Kesehatan RI. 2011. Panduan Sosialisasi Tatalaksana Diare Pada


Balita, Jakarta, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat
Jenderal pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Dochterman, J. M., &Bulechek, G. M. (2004).Nursing Interventions


Classification(NIC) (6th ed.). America: Mosby Elseiver

Gleadle, J. 2003. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit


Erlangga.
https://books.google.co.id/books?id=DesM50iZsucC&pg=PA151&dq=tan
da+dan+penyebab+retensi+urine&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiCk6ajzY
LbAhWLto8KHao9AD0Q6AEILDAB#v=onepage&q=tanda%20dan%20
penyebab%20retensi%20urine&f=false (Diakses pada tanggal 4 Mei 2018
pukul 15.00)

Husnah, Muflahul,. 2013. Asuhan Keperawatan pada Ny. S dengan Prioritas


Masalah Kebutuhan Dasar Eliminasi di Lingkungan III Harjosari Kec.
Medan Amplas. Universitas Sumatra Utara : Progam Studi DIII
Keperawatan Fakultas Keperawatan.

73
Liyani, R. 2011. Konsep Dasar Kebutuhan Eliminasi.
http://www.academia.edu/4799238/KONSEP_DASAR_KEBUTUHAN_E
LIMINASI. ( Diakses pada tanggal 12 Mei 2018 pukul 15.00).

Moorhead, S., Jhonson.M., Maas, M., & Swanson, L. (2008.).


Nursing Outcomes Classification (NOC) (5thed.). United states of America:
Mosby Elsevier.
Nanda International. (2015.). DiagnosaKeperawatan :definisidanklasifikasi 2015-
2017 (10thed.). Jakarta: EGC
National Health Interview Survey. 1991. Family Structure and Children's Health
and Well-Being: Data from the 1988 National Health Interview Survey on
Child Health
Nuari, Nian Afarian. 2017. Ganngguan pada Sistem Perkemihan dan
Penatalaksanaan Keperawatan. 1 ed. Yogyakarta: Grup Penerbitan CV
BUDIUTAMA.https://books.google.co.id/books?id=EbDWDgAAQBAJ&
pg=PA220&dq=patofisiologi+infeksi+saluran+kemih&hl=id&sa=X&ved
=0ahUKEwiLxIX35P3ZAhXJLo8KHTyXCu4Q6AEILD
AB#v=onepage&q=patofisiologi%20infeksi%20saluran
20kemih&f=false (diakses pada tanggal 22 Maret 2018
pukul 13.45 WIB)
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan
Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan Edisi 2.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
https://books.google.co.id/books?id=62jmbdySq2cC&pg=PA57&dq=peny
ebab+enuresis&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiEm9HlzoLbAhUHq48KHb
NeCmEQ6AEIKDAA#v=onepage&q=penyebab%20enuresis&f=false
(Diakses pada tanggal 4 Mei 2018 pukul 20.10)
Prasadja, A. 2009. Ayo Bangun! Dengan Bugar karena Tidur yang Benar. Jakarta
Selatan: Penerbit Hikmah.
https://books.google.co.id/books?id=M7pio7UsIosC&pg=PA35&dq=tanda

+enuresis&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj1jf2o0ILbAhVJuo8KHZFABAg

74
Q6AEILTAB#v=onepage&q=tanda%20enuresis&f=false (Diakses pada
tanggal 4 Mei 2018 pukul 18.10)

Rakhman, Arif dan Khodijah.2014. Buku Panduan Praktek Laboraturium


Ketrampilan Dasar Dalam Keperawatan 2. Yogyakarta : Deepublish
https://books.google.co.id/books?id=qGE6DAAAQBAJ&pg=PA29&dq=p
roses+eliminasi+miksi&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjI9uvA-
IHbAhUMvY8KHXSBCSoQ6AEIMDAB(Diakses pada tanggal 4 Mei
2018 pukul 20.00)

Suarilah, I. 2017. Eliminasi Fekal. http://irasuarilah-


fkp.web.unair.ac.id/artikel_detail-178163-
KEPERAWATAN%20DASAR-ELIMINASI%20FEKAL.html.
(Diakses pada tanggal 12 Mei 2018 pukul 19.20).

Siregar, Cholina Trisa.2004.KEBUTUHAN DASAR MANUSIA ELIMINASI


B.A.B.Sumatera Utara: Digitized by USU digital library
http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-cholina.pdf. (Diakses
pada tanggal 12 Mei 2018 pukul 20.00).

Syaifuddin. 2010. ANATOMI FISIOLOGI. Jakarta. Buku Kedokteran EGC


Tjokronegoro Arjatmo, Hendra Utama, 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Edisi ke-3. FKUI: Jakarta.

Pamungkas, M.R., Nurhayari., dan Musiana. 2013. Pengaruh Latihan Kandung


Kemih (Bladder Training) Terhadap Interval Berkemih Wanita Lanjut
Usia (Lansia) Dengan Inkontinensia Urin.Jurnal KeperawataN 9(2):214-
219. http://ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id/index.php/JKEP/article/view/360
(diakses pada tanggal 10 mei 2018)

Charles de Gaulle. 2009. ESPU Symposium on Incontinence & Elimination


Disorders in Children. 251-252.
https://doi.org/10.1016/j.jpurol.2009.03.007 (diakses pada tanggal 10 mei
2018).

75
Moa, H. M., Milwati, S. dan Sulasmini. 2017. Pengaruh Bladder Training
Terhadap Inkontinensia Urin pada Lanjut Usia di Posyandu Lansia Desa
Sumberdem Kecamatan Wonosari Malang. Nursing News 2(2):514-523.
https://publikasi.unitri.ac.id/index.php/fikes/article/view/497. [Diakses
pada tanggal 10 Mei 2018].

76
77

Anda mungkin juga menyukai