Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KEBUDAYAAN LOKAL

MITONI/TINGKEBAN DI TENGAH KELUARGA KERATON YOGYAKARTA

Disusun oleh : Muhammad Hafiz F. H. S.

Kelas : 12 MIPA 7
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah Kebudayaan
Lokal ini tepat pada waktunya yang berjudul “Mitoni/Tingkeban”.
Makalah ini berisikan informasi tentang kebudayaan mitoni. Dengan harapan pelestarian
kebudayaan mitoni di daerah Jawa Tengah dan oleh para keturunan suku jawa tetap lestari.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami selaku
penyusun makalah memohon maaf yang sebesar – besarnya.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Semarang, 29 Januari 2017

Muhammad Hafiz Futura H. S.

Page 1
DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG……………………………………………………….. (3)
B.TUJUAN PENELITIAN…………………………………………………….. (4)
C. MANFAAT PENELITIAN………………………………………………….. (4)
BAB II: PEMBAHASAN
A. SEJARAH MUNCULNYA MITONI/TINGKEBAN………………………. (5)
B. PERLENGKAPAN MITONI/TINGKEBAN………………………………. (6)
C. RANGKAIAN ACARA MITONI/TINGKEBAN…………………………... (10)
BAB III: KESIMPULAN
A. KESIMPULAN………………………………………………………………. (12)
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… (14)
LAMPIRAN……………………………………………………………………….. (15)

Page 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mitoni/tingkeban sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia,
sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Jawa Tengah, Yogyakarta dan sekitarnya.
Menurut ilmu sosial dan budaya, mitoni dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu
bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini,
keinginan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa
mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti. Maka dari
itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum mengenal agama, menciptakan suatu
ritual yang syarat akan makna tersebut, dan hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian
masyarakat.
Sedemikian rumitnya ritual mitoni ini, hingga memerlukan tenaga, pikiran, bahkan
materi baik dalam persiapan maupun ketika pelaksanaannya. Semua tahap-tahap tersebut
diyakini oleh masyarakat sebagai tahap-tahap yang harus dilalui. Mulai dari pemilihan hari
dan tanggal pelaksanaan saja harus memenuhi syarat dan ketentuan yang ada. Apabila
mereka melanggar, maka masyarakat sekitar akan segera merespon negatif terhadap hal
tersebut. Piranti-piranti yang tidak sedikit jumlahnya tentu membutuhkan dana yang tidak
sedikit pula. Dalam persiapannya, khususnya piranti yang berupa makanan ada yang
memerlukan waktu hingga tiga hari sebelum pelaksanaan acara, seperti jenang dodol. Bahkan
ada beberapa piranti yang harus terbuang sia-sia. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang
belum sadar akan hal itu, bahkan mengaggapnya wajar.
Awalnya semua adat istiadat dan budaya tersebut berkiblat pada Keraton Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat. Akan tetapi ketika runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun
1400, terjadi akulturasi budaya dengan Kerajaan Majapahit. Hal ini terjadi karena Raja
Majapahit Prabu Brawijaya V memilih arah barat sebagai tempat pelariannya ketika
penyerangan oleh pasukan Islam. Dan pelarian itu menunjukkan jalan kepada Prabu
Brawijaya V sampai di Gunung Lawu sebagai tempat pelariannya hingga akhir hayatnya.
Karena beberapa hal di atas dan karena sisilah keturunan sang penulis, penulis
memilih topic upacara mitoni/tingkeban untuk dituangkan dalam makalahnya.

Page 3
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui sejarah munculnya upacara Mitoni/Tingkeban.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang disiapkan serta jalannya upacara Mitoni/Tingkeban.

C. Manfaat Penelitian.
Penelitian ini kami laksanakan dengan harapan agar masyarakat setempat khususnya
dan masyarakat luas pada umumnya dapat memahami tradisi tersebut secara benar. Selain itu
tulisan ini juga didedekasikan untuk perluasan pengetahuan akan sejarah kebudayaan local
bagi para pelajar. Dan sebagai media pewarisan ilmu oleh sesepuh kepada generasi
penerus. Dengan adanya karya tulis ini penulis berharap dapat memberi sedikit sumbangan
kepada masyarakat. Dan tentu untuk melestarikan kebudayaan local yang ada di Indonesia
sebagai ragam keudayaannya.

Page 4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Tingkeban
Mitoni sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia. Menurut ilmu
sosial dan budaya, Mitoni dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu
sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini, kecemasan calon
orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa mengandung, ketika
melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti yang hingga saat ini masih diyakini
oleh sebagian masyarakat Jawa.
Mitoni/Tingkeban menurut cerita yang dikembangkan turun-temurun secara lisan,
memang sudah ada sejak zaman dahulu.Menurut cerita asal nama “Tingkeban” adalah berasal
dari nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb, yaitu istri dari Ki Sedya. Mereka
berdua memiliki sembilan orang anak akan tetapi kesembilan anaknya tersebut selalu mati
pada usia dini. Berbagai usaha telah mereka jalani, tetapi tidak pula membuahkan hasil.
Hingga suatu saat mereka memberanikan diri untuk menghadap kepada Kanjeng Sinuwun
Jayabaya.
Jayabaya akhirnya menasehati mereka agar menjalani beberapa ritual. Namun sebagai
syarat pokok, mereka harus rajin manembah mring Hyang Widhi laku becik,welas asih mring
sapada, menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan khusyu’, dan senantiaasa berbuat
baik welas asih kepada sesama. Selain itu, mereka harus mensucikan diri, mandi dengan
menggunakan air suci yang berasal dari tujuh sumber air. Kemudian berpasrah diri lahir batin
dengan dibarengi permohonan kepada Gusti Allah,apa yang menjadi kehendak mereka,
Terutama untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Supaya mendapat berkah dari Gusti
Allah, dengan menyertakan sesaji yang diantaranya adalah takir plontang, kembang setaman,
serta kelapa gading yang masih muda.
Setelah serangkaian ritual yang dianjurkan oleh Raja Jayabaya, ternyata Gusti Kang
Murbeng Dumadi yaitu Gusti Allah mengabulkan permohonan mereka. Ki Sedya dan Niken
Satingkeb mendapat momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat nama
Niken Satingkeb, serangkaian ritual tersebut ditiru oleh para generasi selanjutnya hingga
sekarang dan diberi nama Tingkeban Dengan harapan mendapat kemudahan dan tidak ada
halangan selama hamil, melahirkan, hingga si anak tumbuh dewasa. Atas dasar inilah
akhirnya hingga kini ritual tingkeban tetap dilaksanakan bahkan menjadi suatu keharusan
bagi masyarakat Jawa.

Page 5
B. Perlengkapan Tingkeban.
Dahulu masyarakat Jawa yang harus dilaksanakan selama masa mengandung. Ketiga
teradisi tersebut adalah tradisi Neloni, Tingkeban atau Rujakan dan Procotan. Akan tetapi
seiring perkembangan zaman, ketiga tradisi tersebut diringkas secara pelaksanaannya menjadi
satu, yaitu ketika waktu Tingkeban atau tujuh bulan. Walaupun diringkas secara waktu
tetapi ubo rampe atau piranti yang harus disiapkan dari tiap-tiap ritual tetap disediakan.
Jauh-jauh hari sebelum usia kandungan memasuki tujuh bulan, calon orang tua bayi
harus mementukan hari yang baik sesuai petungan Jawa. Menurut petungan Jawa hari-hari
yang baik itu yang memiliki neptu genap dan jumlahnya 12 atau 16.

Tabel 1. Neptune Dino lan Pasaran Petungan Jawa


No Nama Hari Neptune No Nama Pasaran Neptune
1 Akhad 5 1 Pon 7
2 Senin 4 2 Wage 4
3 Selasa 3 3 Kliwon 8
4 Rabu 7 4 Legi 5
5 Kamis 8 5 Pahing 9
6 Jum’at 6
7 Sabtu 9

Hari-hari yang baik adalah yang neptunya 12 atau 16 misal Kamis Kliwon, Senin
Kliwon, Akhad Pon dan sebagainya. Kamis memiliki neptu 8 dan Kliwon memiliki neptu 8
jadi Kamis Kliwon memiliki neptu 16, begitu juga Senin Kliwon memiliki neptu 12 dan
Akhad Pon memiliki neptu 12.

Selain penentuan hari yang ada aturannya, segala ubo rampe atau piranti juga sangat
rumit pula. Masing-masing ritual ada piranti sendiri-sendiri yang beraneka ragam. Semua
piranti tersebut disediakan bukan tanpa maksud. Dari sumuanya memiliki werdi atau makna
sendiri-sendiri.

Page 6
Tabel 2. Piranti Ritual Tingkeban
No NamaRitual Waktu Seharusnya Piranti
1 Neloni Tiga bulan dari Takir plontang 4 buah
masa mengandung Golong 7 buah
Jajan pasar
Jenang abang
Jenang putih
Jenangkuning
Jenang ireng
Jenang sengkolo
2 Tingkeban Enam bulan dari Woh-wohan
masa kehamilan Punar 2 buah
Kembang setaman
Sesaji dakripin(Suro ganep)
Daun dadap srep
Daun beringin
Daun andong
Janur
Mayang
Jenang abang
Jenang putih
Jenang kuning
Jenang ireng
Jenang waras
Jenang sengkolo
3 Procotan Delapan bulan dari Jenang abang
masa kehamilan Jenang putih
Jenang kuning
Jenang ireng
Jenang waras

Page 7
Jenang sengkolo
Jenang inthil-inthil
Jenang sewu (dawet)
Jenang sempuro
Jenang kembo
Jenang procot
Jenang arang-arang kambang
Ketupat lepet

Upacara tersebut dimulai dengan acara kenduri telon-telon yang dihadiri oleh
tetangga, kerabat, sanak saudara dan lain-lain. Semua piranti telon-telon dibawa ke hadapan
undangan. Setelah semua piranti dihidangkan berjonggo atau sesepuh
desangujubne yaitu menjelaskan maksud dan tujuan diadakannya upacara tersebut dan
menjelaskan makna satu per satu dari makanan yang telah terhidang. Satu per satu makanan
yang dihidangkan dijelaskan hingga usai dan dilanjutkan dengan do’a, dan yang terakhir dari
rangkaian acara pertama ini adalah memakan hidangan yang telah tersedia.
Selesai upacara yang pertama yaitu upacara telon-telon, dengan menunggu waktu
yang tepat untuk melaksanakan upacara tingkeban. Prosesi tingkeban inilah yang penulis
anggap sakral karena mulai dari hari sampai jam pelaksanaanya ditentukan dan tidak boleh
dilanggar. Sebelum acara dimulai sesepuh desa menata beberapa lembar kain jarik batik di
tengah rumah shohibul hajat. Secangkir air putih dan kelapa muda serta sebuah sebutir telur
besar diletakkan di depan pintu. Sedangkan di sisi pintu luar tepatnya di teras rumah telah
menunngu orang tua shohibul hajat dengan membawa lemper dan bumbu rujak.Setelah
semua siap dan waktu pelaksanaannya tiba, kedua shohibul hajat masuk ke rumah dan duduk
bersanding di atas kain jari yang telah tertata.
Sesepuh desa membaca beberapa mantra dan mengajari beberapa kalimat untuk
ducapkan oleh shohibul hajat.Salah satu penggalan kalimat tersebut adalah ”Niat ingsun
nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing sambikala, saka kersaning Gusti
Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur mendhem jero wong tuwa, migunani mring
sesama,ambeg utama, yen lanang kadya Raden Kamajaya, yen wadon kadya Dewi
Kamaratih kabeh saka kersaning Gusti.”
Usai prosesi tersebut keduanya berjalan keluar rumah dengan larangan tidak boleh
menengok ke belakang. Sesampainya di depan pintu, calon bapak memecah kelapa muda

Page 8
dengan sabit yang dibarengi dengan calon ibu menyampar cangkir. Upacara ini disebut juga
upacara brojolan, yaitu memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari
Kamajaya dan Kamaratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon
ibu. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa
kesulitan.
Di sisi lain nenek dari jabang bayi tersebut menumbuk bumbu rujak yang telah
disiapkan hingga halus. Usai menyampar cangkir dan memecah kelapa muda, keduanya
mandi dan kembali ke dalam rumah melalui pintu utama. Sesampainya di dalam rumah akan
dilanjut dengan prosesi ganti busana. Prosesi ini dilakukan oleh calon ibu dengan tujuh jenis
kain batik dengan motif yang berbeda. Ibu akan memakai model kain yang terbaik dengan
harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang
kain.
Tabel 3. Jenis Kain dan Maknanya.

No Jenis Kain Batik Maknanya


1 Sidomukti Kebahagiaan
2 Sidoluhur Kemuliaan
3 Truntun Nilai-nilai yang selalu dipegang teguh
4 Parang Kusuma Perjuangan untuk hidup
5 Semen Rama Akan lahir anak yang cinta kasih kepada orang tua
yang sebentar lagi akan menjadi bapak dan ibu
tetap bertahan selama-lamanya.
6 Udan Riris Anak yang akan lahir akan menyenagkan dalam
kehadirannya di masyarakat
7 Cakar Ayam Anak yang lahir dapat mandiri dan memenuhi
kebutuhannya sendiri.

Page 9
Cakar Ayam

Bumbu rujak yang telah dihaluskan oleh calon nenek jabang bayi tersebut selanjutnya
dibawa ke dapur untuk segera dicampur dengan beberapa buah-buahan dan dihidangkan
kepada para undangan.
Tak lama berselang dari prosesi inti yaitu tingkeban maka langsung melanjutkan
prosesi terakhir yaitu procotan. Dalam prosesi ini tidak jauh berbeda dengan prosesi telon-
telon, yaitu semua piranti dihidangkan di hadapan undangan, setelah tersaji sesepuh
desa ngujubne dan di saksikan oleh undangan dengan menjawab kalimat- kalimat sesepuh.
Seusai prosesi tersebut di akhiri dengan do’a dan memakan hidangan yang ada.

C. Rangkaian Acara Tingkeban


1. Pembacaan Ayat Suci Al Qur’an
2. Sungkeman
Sungkeman ini dilakukan oleh istri kepada suami dan dilanjutkan oleh suami – istri pada
orangtuanya.
3. Siraman
Siraman ini dilakukan kepada calon orang tua jabang bayi dengan air dari 7 sumber
dan dilakukan oleh tujuh orang sesepuh keluarga. Gayung yang dipakai untuk siraman ini
terbuat dari kelapa yang masih ada dagingnya dan bagian dasarnya diberi lubang. Setelah
siraman si calon ibu dipakaikan kain 7 warna, yang melambangkan sifat-sifat baik yang akan
dibawa oleh jabang bayi dalam kandungan.
4. Pantes-pantes (Ganti Busana 7 kali)
Dalam acara pantes-pantes ini calon ibu dipakaikan kain dan kebaya 7 macam. Kain
dan kebaya yang pertama sampai yang ke enam merupakan busana yang menunjukkan
kemewahan dan kebesaran. Ibu-ibu yang hadir saat ditanya apakah si calon ibu pantas
menggunakan busana-busana tersebut menberikan jawaban : “dereng Pantes” (belum pantas).
Setelah dipakaikan busana ke tujuh yang berupa kain lurik dengan motif sederhana baru ibu-
ibu yang hadir menjawab : “pantes” (pantas). Di sini merupakan perlambang bahwa ibu yang
sedang mengandung sebaiknya tidak memikirkan hal yang sifatnya keduniawian dan
berpenampilan bersahaja.
5. Tigas Kendit
Calon ibu kemudian diikat perutnya (dikenditi) dengan janur kuning. Ikatan janur ini
harus dipotong (ditigas) oleh calon ayah si bayi untuk membuka ikatan yang menghalangi

Page 10
lahirnya si jabang bayi. Ikatan tersebut dipotong dengan keris yang ujungnya diberi kunyit
sebagai tolak bala.
6. Brojolan
Dalam acara brojolan ini, dua buah Cengkir gading (kelapa gading muda) yang telah
diberi gambar wayang (biasanya gambar Betara Kamajaya-Dewi Ratih atau Harjuna –
Sembadra) dimasukkan oleh calon ayah melalui perut calon ibu dan diterima oleh nenek
jabang bayi. Harapan dari acara ini adalah supaya si jabang bayi yang lahir memiliki fisik dan
sifat seperti tokoh ayang tersebut.
7. Angrem
Di sini Calon Ibu duduk di tumpukan kain yang tadi digunakan dalam acara Pantes-
pantes seperti ayam betina yang sedang mengerami telurnya. Harapannya adalah agar si
jabang bayi dapat lahir cukup bulan.
Pada saat pelaksanaan acara ini dikumandangkannya bacaan-bacaan “Shalawat Nabi”
yang diiringi alunan musik rebana.
8. Dhahar Ajang Cowek
Di sini calon ayah duduk mendamping calon ibu di tumpukan kain dan berdua
mengambil makanan yang disediakan dengan alas makan cowek (cobek)dan mereka berdua
memakannya sampai habis. Harapannya adalah supaya plasenta bayi menjadi sehat sehingga
si jabang bayi dapat bertumbuh dengan sehat.
Calon ayah si bayi kemudian menjatuhkan tropong (alat tenun tradisional ) di sela
kain 7 warna yang melambangkan proses kelahiran si bayi kelak yang berjalan lancar dan
sempurna.

Page 11
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian panjang di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tingkeban adalah
suatu bentuk inisiasi masyarakat pada jamandahulu, yang mengharapkan dikaruniai anak
yang seperti diharapkan serta memperoleh kelancaran baik ketika mengandung maupun saat
melahirkan. Tradisi ini dipercaya berawal pada masa Jayabaya yang di wariskan turun
temurun hingga sekarang dan ditaati oleh sebagian besar masyarakat Jawa.
Adapun kaitannya dengan ajaran Islam adalah sebagai penghormatan ketika
masuknya ruh ke dalam jasad jabang bayi dengan harapan agar ruh yang diberikan adalah ruh
yang baik sehingga anak yang lahir nantinya juga berakhlak baik pula.
Mitoni atau tingkeban merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat ini
masih dilakukan oleh sebagian masyarakat jawa. Kata mitoni berasal dari kata “am” (awalan
am menunjukkan kata kerja) dan “7” yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan pada bulan
ke-7. Upacara mitoni merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan
pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio
dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan. Pada
hakekatnya upacara ini dipercaya sebagai sarana menghilangkan petaka.
Upacara adat 7 bulanan yang disebut mitoni ataupun tingkeban ini mengajarkan
kepada masyarakat untuk saling kerjasama menghargai terhadap sesama. Tidak hanya itu,
mitoni ini mengangkat berbagai macam kain-kain yang dipakai oleh calon ibu yang
mempunyai makna masing-masing. Dari makna-makna tersebut kita dapat mengambil
pelajaran, yaitu kita sebagai manusia makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa hendaknya
harus cermat serta harus merencanakan bagaimana kita hidup di dunia ini yang penuh dengan
kesenangan ataupun sendau gurau dan lainnya. Jika kita sebagai manusia hidup di dunia ini
tidak mempunyai tujuan hidup yaitu akhirat, alangkah menyesalnya kita sebagai manusia.
Oleh sebab itu kita harus mempunyai rencana- rencana maupun target-target hidup di
masa mendatang kelak, sehingga kita menjadi manusia yang sukses tidak hanya di dunia
namun di akhirat pun juga. Dalam prosesi mitoni juga dijelaskan bahwa yang memimpin
upacara adalah ibu yang sudah berpengalaman, disini bisa dilihat bahwa dalam suatu acara
maupun kepanitiaan maupun kepemerintahan, sudah tentu kita hendaknya memilih seseorang
yang lebih mengerti maupun lebih berpengalaman untuk memimpin suatu kelompok.

Page 12
Upacara “Tingkeban” merupakan adat, tradisi dan budaya bangsa Indonesia,
khususnya masyarakat yang ada di pulau Jawa dan terlebih lagi bagi masyarakat di Jawa
Timur, Jawa Tengah maupun di Daerah Istimewa Yogjakarta.
Pada dasarnya “Tingkeban” merupakan ritual yang bernilai sakral dan bertujuan
sangat mulia. Karena di dalam ritual Tingkeban terdapat permohonan doa kepada Gusti
Allah. Dan dikumandangkan kalimat-kalimat Shalawat Nabi merupakan bukti pelaksanaan
tingkeban secara Islami. Dikumandangkannya Shalawat Nabi dalam tradisi umat Islam Jawa
dikenal dengan “Berjanjen”.

Page 13
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunasasmita. Kitab Pribmon Jawa Serbaguna. Yogyakarta: Soemodidjaja
Mahadewa, 2009
2. http://www.jelajahbudaya.com/ (Jum’at 27 Januari 2017: 09.00)
3. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/ (Jum’at 27 Januari 2017: 09.00)
4. Tjakraningrat, K.P. Harya Atassadhur Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja
Mahadewa, 1880.
5. Bektijamal Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 1880.
6. Betaljemur Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 1880.

Page 14
LAMPIRAN

Kelapa Gading Sungkeman

Kain batik sido mukti Tigas kendit

Kain batik sido luhur Brojolan

Kain batik parang kusuma Dhahar ajang cowek

Kue kamajaya & kamaratih Kain batik cakar ayam

Kain batik semen rama Kamajaya & kamaratih

Page 15
Kain batik udan riris Pantes-Pantes

Page 16

Anda mungkin juga menyukai