Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGUE FEVER

Oleh:

Erlina Ariesetyawati

Kelompok II

RUMAH SAKIT PRIMA HUSADA

MALANG

2018
DENGUE FEVER

1. Definisi

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus
dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik
dari infeksi virus dengue.

2. Patogenesis

a. Hipotesis Infeksi Sekunder

Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 (gambar 2), sebagai
akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan
terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG
antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka
replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya
mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan
peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.

Gambar Hipotesis infeksi sekunder


b. Hipotesis immune enhancement

Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa mereka
yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk
menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian
membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit
terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok.

3. Tanda dan Gejala

a. Dengue Fever

Adalah penyakit akut yang ditandai oleh panas 2-7 hari, disertai 2 atau lebih gejala klinik berikut :

 Sakit kepala

 Nyeri retro orbital

 Myalgia / arthralgia

 Ruam

 Manifestasi perdarahan, tourniquet test dan ptechiae

 Leukopenia
Pada penderita anak Dengue Fever biasanya tampil klinis ringan, sedang pada orang dewasa dapat
disertai nyeri berat pada tulang dan persendian serta otot, dan pada saat confalescence melalui
periode prolong fatique, bahkan kadang disertai depresi.

b. Dengue Hemorrhagic Fever

Adalah infeksi virus dengue yang dengan gejala seperti diatas, disertai :

 Manifestasi perdarahan yang lebih nyata, seperti :

Test Tourniquet positif, Ptechiae, echimosis atau purpura, Perdarahan mukosa epistaksis
atau perdarahan gusi

 Trombocytopenia ( < 100.00 / cu mm )

 Kebocoran plasma disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas kapiler, dengan ditandai


oleh :

Meningkatnya PCV > 20%

Effusi pleura dan atau ascites

c. Dengue Shock Syndrome (DSS)

Adalah penampilan klinis Dengue Hemorrhagic Fever yang diseertai tanda-tanda kegagalan sirkulasi
berupa :

 Penyempitan tekanan nadi ( < 20 mmHg )

 Nadi cepat dan kecil

 Hipotensi

 Akral dingin

Semua rincian tanda/gejala klinis dan laboratorium di atas sangat membantu para dokter untuk
membuat diagnosis secara klinik,kemudian melakukan terapi cairan yang harus segera
diberikan.sedangkan untuk kepentingan pelaporan di lapangan,tanda/gejala klinik dan laboraturium
diatas hanya dapat membuat diagnosis sebatas suspect undifferentiated fever/dengue fever/dengue
hemorrhagic fever/dengue shock syndrome,masih diperlukan pemeriksaan serologi/virologi,yang
akhirnya dibuat diagnosis”probable”dan”confirmed”.
4. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Darah Lengkap

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit, dan
hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru
(sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam.
Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.Pada DBD yang disertai manifestasi
perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis
(PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP).

b. Faal Hepar dan Ginjal

Pemeriksaan albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.

c. Pemeriksaan Laboratorium

Secara umum ada dua macam pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis penyakit DBD
secara laboratories, yaitu sebagai berikut.

1. Deteksi virus, yang dapat dilakukan melalui metode pembiakan (kultur) dan tes PCR (
Polymerase Chain Reaction)
2. Deteksi serologis, yaitu untuk mendeteksi adanya antibody terhadap infeksi virus dengue (
antibodi antidengue)

5. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan
untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan
perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat
pula dideteksi dengan USG.

6. Diagnosis

Diagnosis Demam dengue ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang,
dan tidak ditemukan adanya tanda-tanda perembesan plasma (hemokonsentrasi,
hipovolemia,dan(syok).

Sedangkan Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.

2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif; petekie, ekimosis, atau
purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena

3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml)

4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:

5. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin.

6. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,dibandingkan dengan nilai


hematokrit sebelumnya

7. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:

Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji
torniquet.

Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.

Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20
mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab,
tampak gelisah.

Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

7. Penatalaksanaan

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan
untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi
komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu
dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung.
Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial
ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan
untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan
terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu
diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang
berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat
atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik
berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin
ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada
saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum).

Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5
protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:

1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar4).

2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar 5).

3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar 6).

4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa

5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 7).

Gambar Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%


Gambar Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta
kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan
cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin)
maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada
terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis
cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat
bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi
tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal. Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana
DBD aman dan efektif.

Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema,
asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan
yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan
menyebabkan efek penambahan volume vascular hanya dalam waktu yang singkat sebelum
didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3,
sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya5 ml yang tetap berada dalam ruang
intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. 14 Namun demikian, dalam aplikasinya
terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga
terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang,
dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: pada
jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar
dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid
memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamikterjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan
yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya
yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi
yang rendah (contoh: hetastarch).

Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada
pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil
sebanding pada kedua jenis cairan. Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan
penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai
dilakukan, dan dalam proses publikasi.
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang terjadi
serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan
diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran
plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah
sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam, sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi sebanyak 2,5-
5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD
dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan
kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan
apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain
yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD
dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan
cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan
dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil. Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara
adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit
perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.
DAFTAR PUSTAKA

WHO.Dengue hemorrhagic Fever: diagnosis,treatment,prevention and control.Geneva,1997.

Sudoyo Aru W. Dkk. Buku Ajar Imu Penyakit Dalam Jilid III Eidisi V. 2009. Jakarta. Interna
Publishing.

Mansjoer Arif.dkk. Kapita Selekta Kedokteran Fakultas Kedokteran UI jilid I Edisi III. 2000. Jakarta.
Media Aesculapius.

Ginanjar Genis. Apa yang Dokter Anda Tidak Katakan Tentang Demam Berdarah. 2008. Jakarta : B
First

http://www.mitrakeluarga.com/gading/tatalaksana-demam-dengue-demam-berdarah-dengue/ diakses
tanggal 25 Januari 2012 pukul 11.54

http://medicastore.com/artikel/297/Bahaya_Demam_Dengue_DD_&_Demam_Berdarah_Dengue_DB
D.html diakses tanggal 25 Januari 2012 pukul 09.23

http://emedicine.medscape.com/article/215840-overview#a0156 diakses tanggal 25 Januari 2012 pukul


18.08

http://www.emedicine.com/ped/topic559.htm diakses tanggal 24 Januari 2012 pukul 20.54

http://www.cdc.gov/dengue/Symptoms/index.html diakses tanggal 27 Jan. 12 pukul 16.23

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/index.html diakses tanggal 27 Jan. 12 pukul


12.34

Anda mungkin juga menyukai