Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Medis

1. Persalinan Fisiologi

a. Pengertian Persalinan

Menurut Asri (2010:1), persalinan adalah proses membuka dan

menipisnya serviks dan janin turun ke dalam jalan lahir. Persalinan dan

kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan

cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala,

tanpa komplikasi baik ibu maupun janin.

Menurut Varney (2007:672), persalinan adalah rangkaian proses yang

berakhir dengan pengeluaran hasil konsepsi oleh ibu. Proses ini dimulai dengan

kontraksi persalinan sejati, yang ditandai oleh perubahan progresif pada

serviks, dan diakhiri dengan pelahiran plasenta.

Menurut Oxorn ( 2010:103), persalinan adalah fungsi seorang wanita,

dengan fungsi ini produk konsepsi ( janin, air ketuban, plasenta dan selaput

ketuba) dilepas kemudian dikeluarkan dari uterus melalui vagina ke dunia luar.

Berdasarkan dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa persalinan

adalah proses dimulainya kontraksi secara teratur dan sering sampai hasil

konsepsi keluar dari uterus atau rahim.

11
12

b. Etiologi Persalinan

Menurut Asri (2010:1-3), persalinan dimulai dari penurunan kadar

progesterone, teori oxytosin, peregangan otot-otot uterus yang berlebihan

(destendeduterus), pengaruh janin, teori prostaglandin. Seperti diketahui

progesteron merupakan penenang bagi otot-ototuterus. Menurunnya kadar

kedua hormon ini terjadi kira-kira 1-2 minggu sebelum partus dimulai. Kadar

prostaglandin dalam kehamilan dari minggu ke 15 hingga aterm meningkat.

Keadaan uterus yang terus membesar dan menjadi tegang mengakibatkan

iskemia otot-otot uterus. Hal ini mungkin merupakan faktor yang dapat

mengganggu sirkulasi uteroplasenter sehingga plasenta mengalami degenerasi.

Tekanan pada ganglion servikale dari pleksus frankenhauser yang terletak

dibelakang servikale. Bila ganglion ini tertekan, kontraksi uterus dapat

dibangkitkan sehingga his dapat dibangkitkan dan hasil konsepsi akan segera

dikeluarkan.

c. Faktor – faktor yang mempengaruhi persalinan

Menurut Yanti (2010:21-39), faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan ada

5 yaitu :

1) Power

Power adalah kekuatan yang mendorong janin keluar. Kekuatan

yang mendorong janin keluar dalam persalinan ialah his, kontraksi otot-

otot perut, kontraksi diafragma dan aksi dari ligament, dengan kerjasama

yang baik dan sempurna.


13

2) Passanger

Janin berpengaruh terhadap persalinan yang meliputi sikap janin,

letak janin, presentasi janin, bagian terbawah, dan posisi janin.

3) Passage

Jalan lahir dibagi atas : bagian keras meliputi tulang-tulang

panggul (rangka panggul), bagian lunak meliputi otot – otot, jaringan –

jaringan dan ligamen – ligamen.

4) Psikis ibu

Ternyata dalam fase persalinan juga terjadi peningkatan

kecemasan, dengan makin meningkatnya kecemasan akan semakin

meningkatkan intesitas nyeri. Dengan makin majunya proses persalinan,

menyebabkan perasaan ibu hamil semakin cemas dan rasa cemas tersebut

menyebabkan rasa nyeri semakin intens, demikian pula sebaliknya.

5) Penolong persalinan

Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya kematian

ibu adalah kemampuan dan ketrampilan penolong persalinan. Persalinan

dan kelahiran bayi dapat terjadi di rumah, puskesmas atau rumah sakit,

disesuaikan dengan kondisi dan tempat persalinan sepanjang dapat

memenuhi kebutuhan spesifik ibu dan bayi baru lahir.

d. Tanda dan gejala persalinan

Menurut Varney (2007:672-674), tanda dan gejala menjelang persalinan

antara lain :
14

1) Lightening

Mulai dirasa kira-kira dua minggu sebelum persalinan, adalah penurunan

bagian presentasi bayi ke dalam pelvis minor. Ibu jadi sering berkemih

karena kandung kemih ditekan sehingga ruang yang tersisa untuk

ekspansi berkurang, perasaan tidak nyaman akibat tekanan panggul yang

menyeluruh, yang membuat ibu merasa tidak enak dan timbul sensasi

terus-menerus bahwa sesuatu perlu dikeluarkan atau ia perlu defekasi,

kram pada tungkai yang disebabkan oleh tekanan bagian presentasi pada

saraf yang menjalar melalui foramen iskidikum mayor dan menuju ke

tungkai,dll.

2) Perubahan Serviks

Perubahan serviks diduga terjadi akibat peningkatan intensitas

kontraksi braxton hicks. Serviks menjadi matang selama periode yang

berbeda-beda sebelum persalinan. Kematangan serviks mengindikasikan

kesiapannya untuk persalinan.

3) Persalinan Palsu

Persalinan palsu terdiri dari kontraksi uterus yang sangat nyeri,

yang memberi pengaruh signifikan terhadap serviks. Kontraksi pada

persalinan palsu sebenarnya timbul akibat kontraksi braxton hicks yang

tidak nyeri, yang telah terjadi sejak sekitar enam minggu kehamilan.

Persalinan palsu dapat terjadi selama berhari-hari atau secara intermiten

bahkan tiga atau empat minggu sebelum persalinan sejati.


15

4) Pecahnya Ketuban

Pada kondisi normal, ketuban pecah pada akhir kala satu

persalinan. Apabila terjadi sebelum awitan persalinan, kondisi tersebut

disebut ketuban pecah dini (KPD)

5) Bloody show

Plak lendir disekresi sebagai hasil proferasi kelenjar lendir serviks

pada awal kehamilan. Plak ini menjadi sawar pelindung dan menutup jalan

lahit selama kehamilan. Pengeluaran plak lendir inilah yang dimaksud

sebagai blood show. Bloody show paling sering terlihat sebagai rabas

lendir bercampur darah yang lengket dan harus dibedakan dengan cermat

dari perdarahan murni, biasanya akan terjadi dalam 24 hingga 48 jam.

6) Lonjakan energi

Banyak wanita mengalami lonjakan energi kurang kurang lebih 24

sampai 48 jam sebelum awitan persalinan. Setelah beberapa hari dan

minggu merasa letih secara fisik dan lelah karena hamil, mereka terjaga

pada suatu hari dan menemukan diri mereka bertenaga penuh. Namun saat

memasuki masa persalinan dalam keadaan letih dan sering kali

persalinan menjadi sulit dan lama. Wanita harus diinformasikan tentang

kemungkinan lonjakan anergi ini dan diarahkan untuk menahan diri

menggunakannya dan justru menghematnya untuk persalinan.

7) Gangguan saluran cerna

Ketika tidak ada penjelasan yang tepat untuk diare, kesulitan

mencerna, mual, dan muntah, diduga hal-hal tersebut merupakan gejala


16

menjelang persalinan walaupun belum ada penjelasan untuk hal ini.

Beberapa wanita mengalami satu atau beberapa gejala tersebut.

e. Tahapan Persalinan

Menurut Yanti (2009:6-7), tahapan persalinan dibagi atas 4 kala dalam

persalinan yaitu :

1) Kala I

Periode persalinan yang dimulai dari his persalinan yang pertama sampai

pembukaan cervik menjadi lengkap. Berdasarkan kemajuan pembukaan

maka kala I dibagi menjadi:

a) Fase laten

Fase pembukaan yang sangat lambat ialah dari 0 sampai 3 cm yang

membutuhkan waktu 8 jam.

b) Fase aktif

Fase pembukaanyang lebih cepat yang terbagi lagi menjadi :

(1) Fase accelerasi (fase percepatan)

Dari pembukaan 3 cm sampai 4 cm yang dicapai dalam 2 jam.

(2) Fase dilatasi maksimal

Dari pembukaan 4 cm sampai 9 cm yang dicapai dalam 2 jam

(3) Fase decelerasi ( kecepatan kurangnya)

Dari pembukaan 9 cm sampai 10 cm selama 2 jam.

2) Kala II

Kala II atau kala pengeluaran adalah periode persalinan yang dimulai dari

pembukaan lengkap sampai lahirnya bayi.


17

3) Kala III

Kala III atau pengeluaran ari adalah periode persalinan yang dimulai dari

lahirnya bayi sampai dengan lahirnya bayi.

4) Kala IV

Kala IV merupakan masa 1 – 2 jam setelah plasenta lahir. Dalam klinik,

atas pertimbangan praktis masih diakui adanya kala IV persalinan

meskipun masa setelah plasenta lahir adalah masa dimulainya masa nifas

( puerperium), mengingat pada masa ini sering timbul perdarahan.

f. Mekanisme Persalinan

Menurut Asri (2010:23-31), sebelum janin keluar harus melalui beberapa

proses persalinan diantaranya adalah

1) Engagement

Kepala masuk pintu atas panggul dengan sumbu kepala janin dapat

tegak lurus dengan pintu atas panggul (sinklitismus) atau miring /

membentuk sudut dengan pintu atas panggul (asinklitismus anterior /

posterior). Masuknya kepala ke dalam PAP dengan fleksi ringan, sutura

sagitalis / SS melintang.

2) Desent

Kepala turun ke dalam rongga panggul, akibat : tekanan langsung

dari his dari daerah fundus ke arah daerah bokong, tekanan dari cairan

amnion, kontraksi otot dinding perut dan diafragma (mengejan), dan

badan janin terjadi ekstensi dan menegang.


18

3) Flexion

Pada umumnya terjadi flexi penuh / sempurna sehingga sumbu

panjang kepala sejajar sumbu panggul membantu penurunan kepala

selanjutnya. Kepala janin fleksi, dagu menempel ke toraks, posisi kepala

berubah dari diameter oksipito-frontalis (puncak kepala) menjadi diameter

suboksipitalis – bregmatikus (belakang kepala) dengan majunya kepala

yang melalui jalan lahir lebih kecil (diameter suboksipitalis bregmatika

menggantikan suboksipito frontalis).

4) Internal rotation

Rotasi interna (putaran paksi dalam) : selalu disertai turunnya

kepala, putaran ubun-ubun kecil ke arah depan ( ke bawah simfisis pubis),

membawa kepala melewati distansia interspinarum dengan diameter

biparietalis. Perputaran kepala (penunjuk) dari samping ke depan atau ke

arah posterior (jarang) disebabkan his selaku tenaga / gaya pemutar ada

dasar panggul beserta otot-otot dasar panggul selaku tahanan. Bila tidak

terjadi putaran paksi dalam umumnya kepala tidak turun lagi dan

persalinan diakhiri dengan tindakan vakum ekstraksi.

5) Extension

Dengan kontraksi perut yang benar dan adekuat kepala makin

turun dan menyebabkan perineum distensi. Pada saat ini puncak kepala

berada di simfisis dan dalam keadaan begini kontraksi perut ibu yang kuat

mendorong kepala ekspulsi dan melewati introitus naginae.


19

6) External rotation

Setelah seluruh kepala lahir terjadi putaran kepala ke posisi pada saat

engagement. Dengan demikian bahu depan dab belakang dilahirkan lebih

dahulu dan diikuti dada,perut,bokong dan seluruh tungkai.

7) Explusi

Setelah putaran paksi luar, bahu depan di bawah simfisis menjadi

hipomoklion kelahiran bahu depan menyusul lahir, diikuti seluruh badan

anak, badan(toraks,abdomen) dan lengan, pinggul/tronkanter depan dan

belakang, tungkai dan kaki.

2. Penyulit Persalinan Kala III dan IV

Dalam persalinan kala III dan IV tidak selalu berjalan secara baik karena ada

beberapa penyulit yang terjadi diantaranya adalah :

a. Atonia uteri

Menurut Prawirohardjo (2009:524), keadaan lemahnya tonus /

kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan

terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.

b. Retensio plasenta

Menurut Taufan (2012:233), tertahannya atau belum lahirnya plasenta

hingga atau lebih dari 30 menit setelah bayi baru lahir. Hampir sebagian besar

gangguan pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus.

Retensio plasenta terdiri dari beberapa jenis antara lain plasenta adhesiva,

akreta, inkreta dan perkreta.


20

c. Inversio Uteri

Menurut Prawirohardjo (2009:527), keadaan dimana lapisan dalam

uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang

dapat bersifat inkomplit sampai komplit. Faktor-faktor yang memungkinkan

hal itu terjadi adalah adanya atonia uteri, serviks yang masih terbuka lebar,

dan adanya kekuatan yang menarik fundus ke bawah atau ada tekanan pada

fundus uteri diatas atau tekanan intra abdominal yang keras dan tiba-tiba.

d. Perdarahan kala IV

Menurut Marmi (2011:184), perdarahan yang normal setelah kelahiran

mungkin hanya akan sebanyak satu pembalut wanita perjam selama enam jam

pertama atau seperti darah haid yang banyak. Jika perdarahan lebih banyak

dari ini, maka ibu tersebut hendaknya diperiksa. Tanda – tanda perdarahan

pasca partum yang terlihat jelas adalah perdarahan yang terlihat jelas, kolaps

maternal dan ibu kelihatan pucat, frekuensi nadi meningkat, tekanan darah

menurun, perubahan tingkat kesadaran dan pembesaran uterus karena terisi

darah atau bekuan darah, teraba lembek pada palpasi.

e. Laserasi Jalan Lahir

1) Pengertian Laserasi Perineum

Menurut Taufan (2009:98), laserasi jalan lahir merupakan robekan

yang terjadi pada perineum, vagina, serviks atau uterus, dapat terjadi

secara spontan maupun akibat tindakan manipulatif pada pertolongan

persalinan. Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari

perdarahan pasca persalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan


21

antonia uteri. Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang

berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan servik atau vagina.

Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama

dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum

umumnya terjadi di garis tengah dan menjadi luas apabila kepala janin

lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala

janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar

dari sir kumferensia suboksipitobregmatika atau anak dilahirkan dengan

pembedahan vaginal.

2) Penyebab Laserasi Perineum

Menurut Harry (2010:451), penyebab dalam laserasi perineum

adalah partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak

ditolong(sebab paling sering), pasien tidak mampu berhenti mengejan,

partus diselesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan fundus yang

berlebihan, edema dan kerapuhan pada perineum, varikositas vulva yang

melemahkan jaringan perineum, arcus pubis sempit dengan pintu bawah

panggul yang sempit pula sehingga menekan bayi ke arah posterior dan

perluasan episiotomi.

3) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laserasi Perineum

Menurut Harry (2010:452), faktor-faktor yang mempengaruhi

laserasi perineum meliputi bayi yang besar, posisi kepala yang abnormal,

misalnya presentasi muka dan occipitoposterior, kelahiran bokong,


22

ekstraksi forceps yang sukar, dystocia bahu, anomali kongenital, seperti

hidrocephalus.

4) Diagnosis Laserasi Perineum

Menurut Taufan (2012:98), bila perdarahan masih berlangsung

meski kontraksi uterus baik dan tidak didapatkan adanya retensi plasenta

maupun adanya sisa plasenta, kemungkinan telah terjadi perlukaan jalan

lahir.

5) Pemeriksaan Fisik Laserasi Perineum

Menurut Diane (2009:490), trauma spontan dapat terjadi pada labia

anterior dan atau perineum posterior. Pemeriksaan secara perlahan dan

menyeluruh harus dilakukan untuk mengkaji luasnya trauma secara akurat

dan untuk menentukan apakah spesialis obstetrik yang berpengalaman

yang harus melakukan perbaikan jika traumanya luas. Trauma perineal

posteriol, robekan spontan biasanya diklasifikasikan dalam derajat yang

berkaiatan dengan struktur anatomi yang mengalami trauma. Klasifikasi

ini hanya bertindakan sebagai panduan karena sering kali sulit untuk

mengidentifikasi struktur tersebut secara tepat

Gambar 2.1 Klasifikasi Laserasi Perineum (Harry:2010:1)


23

a) Robekan derajat pertama ( Gambar A )

Robekan ini hanya melibatkan mukosa vagina, fourchette posterior dan

kulit perineum.

b) Robekan derajat kedua ( Gambar B )

Robekan ini hanya melibatkan mukosa vagina, fourchette posterior,

kulit perineum dan otot-otot perineum.

c) Robekan derajat ketiga ( Gambar C )

Robekan ini hanya melibatkan mukosa vagina, fourchette posterior,

kulit perineum, otot-otot perineum dan sfingter ani eksterna.

d) Robekan derajat keempat ( Gambar D )

Robekan ini hanya melibatkan mukosa vagina , fourchette posterior,

kulit perineum otot-otot perineum, sfingter ani eksterna dan dinding

rektum anterior.

6) Penatalaksanaan Laserasi Perineum

Menurut Varney (2007:1191-1192), penatalaksanaan yang dilakukan jika

terjadi laserasi perineum setelah proses kelahiran sebagai berikut :

a) Penjahitan Laserasi Derajat Satu Dan Dua Serta Robekan Sulkus

(1) Penjahitan laserasi derajat satu bergantung pada luasnya. Beberapa

torehan vagina atau skid marks tidak menyebabkan laserasi mukosa

vagina dan akan sembuh dengan sendirinya tanpa dijahit karena tepinya

saling mendekat dan menyatu begitu kaki wanita kembali berdekatan.

laserasi derajat satu yang lebih luas dapat diperbaiki dengan


24

menggunakan jahitan benang kontinu untuk fasia perineum dan jahitan

benang matras kontinu untuk penutupan tepi kulit.

(2) Perbaikan laserasi derajat dua menggunakan urutan jahitan benang yang

sama dan langkah sebagai perbaikan episiotomi. Akan tetapi, laserasi

sering kali merupakan luka yang sama yang bergerigi dengan tepi yang

tidak rata sehingga penyatuan jaringan lebih sulit. Upaya harus

dilakukan untuk menempatkan jahitan mengikuti sudut luka dengan

pertimbangan bahwa sudut tersebut dapat berubah pada robekan yang

bergerigi.

(3) Perbaikan robekan sulkus berbeda dengan penjahitan mukosa vagina

hanya jika laserasi tersebut merupakan robekan sulkus. pada keadaan

seperti ini, dua apeks dan dua garis benang jahitan selubung diperlukan

untuk menutup robekan yang terpisah pada mukosa vagina. Pada bagian

dasarnya, satu garis jahitan sutura diikat mati dengan jahitan terakhir

dan suatu simpul persegi, sementara dasar yang lebih besar. Robekan

sulkus biasanya merupakan laserasi yang dalam dan sering kali

memerlukan dua lapis jahitan putus-putus, dalam jahitan dalam putus-

putus. Untuk memudahkan akses guna menempatkan jahitan ini, Anda

mungkin ingin memperbaiki mukosa vagina dengan satu atau dua

jahitan ke dalam bagian dasar robekan bilateral untuk penyatuan

jaringan, kemudian diletakkan di dalam jahitan- putus-putus- dalam

Anda, dan kemudian kembali untuk menyelesaikan perbaikan mukosa

vagina.
25

a) Penjahitan Laserasi Derajat Tiga

Langkah pertama dalam memperbaiki laserasi derajat tiga adalah dengan

mengidentifikasinya. hal ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :

(1) Pengamatan untuk melihat ujung-ujung robekan sfingter ani eksterna

pada luka terbuka. ketika ujung-ujung yang robek mengalami retraksi,

ujung-ujungnya terlihat dengan, atau ditemukan dalam bentuk cekungan

kecil ke dalam, dinding lateral pada bagian bawah aspek perineum luka

dekat permukaan. serabut-serabut otot sfingter jelas berbeda dari fasia

yang mengelilingi, terlihat kasar dan berserabut.

(2) Menilai keutuhan sfingter ani dengan melakukan palpasi di dalam luka

tersebut dengan cara kenakan sarung tangan yang lain melapisi sarung

tangan yang telah anda pasang pada tangan anda yang melakukan

pemeriksaan dan masukkan satu jari ke dalam rektum wanita tersebut,

kemudian melakukan palpasi sfingter antara jari anda didalam rektum

dan ibu jari anda diluar rektum atau meraba ketiadaannya di sisi anterior

area laserasi perineum tersebut.

(3) Minta wanita untuk mengecangkan sfingter rektumnya jika ia mampu.

Anda dapat mengamati konstriksi sfingter dan juga merasakannya dekat

sekitar jari Anda yang melakukan palpasi rektum bahwa sfingter utuh.

Untuk wanita yang sebelumnya mendapat anestesi spinal atau berada di

bawah pengaruh blok pubendus, tidak memungkinkan untuk

mengencangkan sfingter.
26

(4) langkah terakhir adalah ketika anda memegang setiap ujung robekan

dengan klem allis dan menarik robekan-robekan tersebut ke arah

mendekat satu sama lain, robekan-robekan tersebut saling menyentuh

dengan menyeberangi klem allis sehingga terlihat jaringan perineum

tertarik di kedua sisi.

(5) Sfingter ani eksterna yang mengalami laserasi diperbaiki oleh jahitan-

jahitan dalam terpurus-putus dengan mendekatkan ujung-ujung robekan

yang ditangkap oleh klem allis. Pelibatan lapisan fasial anterior dan

posterior akan menguatkan perbaikan tersebut. Menjahit dengan

benang catgut kromik 3-0 didalam apeks inferior ekstensi kulit yang

mengalami laserasi dan melakukan beberapa jahitan subkutikular,

kemudian meletakkan benang ini disamping sampai ujung.

b) Penjahitan Laserasi Derajat Empat

Setelah mengidentifikasi robekan pada dinding rektum anterior. langkah

ini menjahit dua lapisan dengan benang catgut kromik 4-0, yang terpasang

pada jarum atraumatik.

(1) lapisan pertama dimulai pada apeks dan terdidri dari satu baris jahitan

putus-putus (interrupted stitches) yang ditempatkan pada submukosa

rektum untuk menyatujan mukosa rektum tanpa menempatkan jahitan

didalam lumen usus. penjahitan ini memerlukan perawatan yang sama.

(2) lapisan kedua menutupi lapisan pertama dan terdiri dari satu barisan

jahitan putus-putus atau garis jahitan kontinu yang menyatakan

lapisan-lapisan diatas fasia. lapisan ini menguatkan garis


27

jahitan.Setelah memeriksa adanya benang pada lumen rektum,

perbaiki sfingter ani eksterna seperti yang dijelaskan di bagian

sebelumnya, sisa jahitan sama dengan yang dijelaskan untuk

penjahitan episiotomi atau laserasi derajat dua. perhatian khusus harus

diberikan dalam membentuk kembali lapisan-lapisan otot badan

perineum, yang secara keseluruhan telah robek.

7) Perawatan Pasca Penjahitan Laserasi Perineum

Menurut Yulianti (2005:324), perawatan setelah dilakukan penjahitan

adalah sebagai berikut :

a) Perawatan sesudah perbaikan robekan derajat ketiga mencangkup

antara lain sepsis perineum secara umum, diet rendah-residu,

mengusahakan BAB yang lunak dengan pencahar ringan, pada hari

kelima atau keenam diberikan suppositoria atau enema dengan hati-hati.

b) Jika terdapat robekan derajat empat, berikan dosis tunggal antibiotik

profilaksis yaitu ampisilin 500 mg per oral ditambah metronidazol

400mg per oral. Tindak lanjuti tanda – tanda infeksi luka dengan tepat.

Hindari memberikan enema atau melakukan pemeriksaan rektum

selama dua minggu. Berikan pelunak feses per oral selama satu minggu

jika mungkin.

8) Komplikasi Laserasi Perineum

Menurut Yulianti (2005:325), komplikasi yang terjadi setelah dilakukan

penjahitan pada jalan lahir beserta cara penanganannya sebagai berikut :


28

a) Jika hematoma terjadi, buka dan buat drain hematoma. Jika tidak

terdapat tanda-tanda infeksi dan perdarahan berhenti, luka dapat ditutp

kembali.

b) Jika terdapat tanda-tanda infeksi, buka dan buat drain luka. Angkat

jahitan yang terinfeksi dan lakukan debridement luka.

c) Jika infeksi ringan, antibiotik tidak diperlukan

d) Jika infeksi berat tetapi tidak mencapai jaringan dalam, berikan

kombinasi antibiotik ampisislin 500 mg per oral empat kali sehari

selama lima hari ditambah metronidazo 400 mg per oral tiga kali

sehari selama lima hari.

e) Jika infeksi dalam, mencapai otot, dan menyebabkan nekrosis (fasitis

nekrotik), berikan kombinasi antibiotik sampai jaringan nekrotik

dibuang dan ibu tidak demam selama 48 jam dengan diberikan

penisilin G 2 juta unit melalui IV setiap enam jam ditambah

gentamisin 5 mg / kg berat badan melalui IV setiap 24 jam, ditambah

metronidazol 500 mg melalui IV setiap delapan jam. Setelah ibu tidak

demam selama 48 jam diberikan ampisilin 500mg per oral empat kali

sehari selama lima hari ditambah metronidazol 400 mg per oral tiga

kali sehari selama lima hari.Catatan : fasitis nekrotik memerlukan

debridement bedah yang luas. Lakukan penutupan primer lambat

dalam dua sampai empat minggu bergantung pada penyembuhan

infeksi
29

f) Inkontinensia fekal dapat terjadi akibat transeksi sfingter lengkap.

Banyak ibu mampu mempertahankan kontrol defekasi dengan

menggunakan otot perinium yang lain. Jika inkotinensia tetap terjadi,

pembedahan rekonstruksi harus dilakukan pada tiga bulan atau lebih

setelah pelahiran

g) Fistula rektovagina memerlukan pembedahan rekonstruksi pada tiga

bulan atau lebih setelah lahir.


30

3. PENATALAKSANAAN LASERASI PERINEUM

TRAUMA JALAN LAHIR

Penyebab
Akibatnya
1. Partus
1. Disfungsi organ
presipitatus
2. Menjadi sumber
2. Perineum yang
perdarahan dan
rapuh
infeksi
3. Arcus pubis
3. Kematian karena
sempit
sepsis dan
4. Dorongan fundus
perdarahan
yang berlebihan,
dll.

Sedang
Ringan Robekan derajat Berat
1. Lecet Perinal Robekan
III
2. Robekan perinal derajat IV
derajat I
3. Robekan perinal
derajat II
Penatalaksanaa Sikap Bidan Penatalaksaan
n 1. Melakukan pengkajian Robekan
Robekan luka yang tepat untuk perineum
Penatalaksanaan perineum menentukan siapa derajat IV :
Robekan perineum derajat III : yang harus melakukan 1. Perbaikan
derajat I : 1. Perbaikan penjahitan. keadaan
1. Perbaikan keadaan keadaan 2. Penyuluhan dan umum
umum umum dukungan pada ibu 2. pemberia
2. pemberian 2. Pemberian 3. Pencatatan tgl dan jam n
antibiotik / antibiotik / dilakukannya antibiotik
antipiretik antipiretik prosedur. /
3. Penjahitan tidak 3. Tindakan 4. posisi ibu,tampon antipiretik
dilakukan karena penjahitan dipasang dan dilepas, 3. Tindakan
akan sembuh dilakukan pemeriksaan penjahita
dengan sendirinya dokter pervaginam dan per n
atau bergantung spesialis rektum setelah dilakukan
pada luas lukanya kandungan tindakan, dokter
Robekan 4. Evaluasi 5. Tanda tangan bidan spesialis
perineum derajat hasil yang melakukan kandunga
II : tindakan prosedur,sifat dan n
1. Perbaikan keadaan 5. Komplikasi besarnya luka,obat, 4. Evaluasi
umum benang yang hasil
2. Pemberian digunakan,teknik yang tindakan
antibiotik / digunakan untuk 5. Komplika
antipiretik setiap area, hal yang si
3. Anestesi lokal / menunjukkan bahwa
umum semua balutan, jarum
4. Dilakukan dan instrumen sudah
penjahitan benar.
dilakukan oleh
seorang bidan

Bagan 2.1 Penatalaksanaan


( Sumber : Johnson, 2004 ; Manuaba, 2008 ; Harry, 2010 )
31

4. PATHWAYS LASERASI PERINEUM

PERSALINAN

POWER PASSAGER PASSAGE PENOLONG


PERSALINAN

Partus Makrosomia, Kerapuhan Partus Diselesaikan


presipitatus Malpresentasi, perineum, dan secara tergesa-gesa
Distosia bahu varikositas vulva dengan dorongan
yang melemahkan fundus yang
jaringan vagina berlebihan

Jalan lahir

Ruptur Jaringan

Hematoma / laserasi
Perineum

Identifikasi Area Trauma

Derajat 1 Derajat II Derajat III Derajat IV

Hemostasis reparasi

Pemantuan Ketat Paska Persalinan

Bagan 2.2 Pathways Laserasi Perineum


( Sumber : Nugroho, 2012; Yanti, 2010; Harry, 2010)
32

B. Teori Manajemen Kebidanan

1. Teori Manajemen Kebidanan Menurut Hellen Varney

Menurut Mufdlilah (2010:110), manajemen kebidanan dan

prosesnya perlu dijelaskan untuk memberikan kesamaan pandangan.

Varney mengatakan seorang bidan dalam menerapkan manajemen perlu

lebih kritis dalam melakukan analisis untuk mengantisipasi diagnosa dan

masalah potensial. Kadang kala bidan juga harus segera bertindak untuk

menyelesaikan masalah tertentu dan mungkin juga melakukan kalaborasi,

konsultasi bahkan segera merujuk klien.

Manajemen kebidanan adalah pendekatan yang digunakan oleh

bidan dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis,

mulai dari pengkajian, analisis data, diagnosa kebidanan, perencanaan,

pelaksanaan dan evaluasi, selanjutnya langkah – langkah proses

manajemen kebidanan akan di jabarkan sebagai berikut :

Langkah I : Pengumpulan data dasar

Menurut Sari ( 2012 : 91), pada langkah pertama ini dilakukan

pengkajian semua data yang diperlukan untuk mengevaluasi keadaan

klien secara lengkap. Teknik pengumpulan data ada tiga yaitu observasi,

wawancara, pemeriksaan. Data secara garis besar, diklasifikasikan

menjadi data subyektif dan data obyektif. Data subyektif adalah informasi

ysng dicatat mencakup identitas, keluhan, riwayat kesehatan, riwayat

perkawinan, riwayat obstetri, riwayat kehamilan, persalinan dan nifas

yang lalu, riwayat kehamilan sekarang, riwayat kontrasepsi, pola


33

kebutuhan sehari-hari dan psikososial spiritual yang diperoleh dari hasil

wawancara langsung kepada pasien/klien (anamnesis) atau dari keluarga

dan tenaga kesehatan (allo anamnesisi). Data obyektif adalah pencatatan

dilakukan dari hasil pemeriksaan fisik, pemeriksan khusus kebidanan, dan

data penunjang yang diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium (

USG) yang dilakukan sesuai dengan beratnya masalah.

Data yang telah terkumpul diolah, disesuaikan dengan kebutuhan

pasien kemudian dilakukan pengelolahan data, yaitu menggabungkan dan

menghubungkan data satu dengan yang lainnya sehingga menunnjukkan

fakta.

Langkah II : Interpretasi data dasar

Menurut Sari (2009 : 94-95), pada langkah ini dilakukan dengan

mengindentifikasi data secara benar terhadap diagnosa atau masalah

kebutuhan pasien. Data dasar yang sudah dikumpulkan diinterpretasikan

sehingga ditemukan masalah atau diagnosa yang spesifik. Kata masalah

dan diagnosa keduanya digunakan karena beberapa masalah tidak dapat

diselesaikan seperti diagnosa, namun membutuhkan penanganan yang

dituangkan ke dalam sebuah rencana asuhan terhadap klien. Masalah

adalah kesenjangan yang diharapkan dengan fakta / kenyataan. Selain itu,

sudah terpikirkan perencanaan yang dibutuhkan terhadap masalah.

Langkah III : Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial

Menurut Asrinah (2010:116), Pada langkah ini kita

mengidentifikasikan masalah atau diagnosa potensial lain berdasarkan


34

rangkaian masalah dan diagnosa potensial lain berdasarkan rangkaian

masalah dan diagnosa yang sudah diidentifikasi. Langkah ini

membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dilakukan pencegahan,

sambil dikumpulkan mengamati klien bidan diharapkan dapat bersiap-siap

bila diagnosa / masalah potensial ini benar – benar terjadi.

Langkah IV : Mengidentifikasi kebutuhan yang memerlukan

penanganan segera

Menurut Muslihatun ( 2009:117 ), Mengidentifikasi perlunya

tindakan segera oleh bidan atau dokter dan / atau untuk dikonsultasikan

atau ditangani bersama dengan anggota tim kesehatan yang lain sesuai

dengan kondisi klien. Langkah keempat mencerminkan kesinambungan

dari proses manajemen kebidanan. Beberapa data mungkin

mengindikasikan situasi yang gawat dimana bidan harus bertindak segera

untuk kepentingan keselamatan jiwa ibu dan anak ( misalnya perdarahan

kala III atau perdarahan segera setelah lahir, distosia bahu ).

Langkah V : Merencanakan asuhan yang komprehensif / menyeluruh

Menurut Asrinah ( 2010:118 ), langkah ini merupakan kelanjutan

manajemen terhadap diagnosis atau masalah yang telah diidentifikasi atau

diantisipasi. Pada langkah ini, informasi atau data dasar yang tidak

lengkap bisa dilengkapi. Rencana asuhan yang menyeluruh tidak hanya

meliputi apa yang sudah teridentifikasi dari kondisi klien, atau dari setiap

masalah yang berkaitan, tetapi juga dari kerangka pedoman antisipasi

terhadap perempuan tersebut seperti apa yang diperkirakan akan terjadi


35

berikutnya; apakah dibutuhkan penyuluhan, konseling, dan apakah perlu

merujuk klien bila ada masalah-masalah yang berkaitan dengan sosial-

ekonomi, kultural atau masalah psikologis.

Dengan kata lain, asuhan terhadap perempuan tersebut sudah

mencakup setiap hal yang berkaitan dengan semua aspek asuhan. Setiap

rencana asuhan haruslah disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu oleh

bidan dan klien, agar dapat dilaksanakan secara efektif karena klien

merupakan bagian dari pelaksanaan rencana tersebut. Oleh karena itu,

dalam langkah ini, tugas bidan adalah merumuskan rencana asuhan sesuai

dengan hasil pembahasan rencana bersama klien, kemudian membuat

kesepakatan bersama sebelum melaksanakannya.

Langkah VI : Melaksanakan perencanaan dan pelaksanaan

Menurut Asrinah ( 2010:119), pada langkah keenam ini rencana

asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan seperti yang telah

diuraikan pada langkah ke 5 dilaksanakan secara efisien dan aman.

Perencanaan ini bisa dilakukan seluruhnya oleh bidan atau sebagian

dilakukan oleh bidan dan sebagian lagi oleh klien, atau anggota tim

keseharan yang lain. Jika bidan tidak melakukannya sendiri, ia tetap

memikul tanggung jawab untuk mengarahkan pelaksanaannya.

Dalam situasi dimana bidan berkolaborasi dengan dokter dan

keterlibatannya dalam manajemen asuhan bagi pasien yang mengalami

komplikasi, bidan juga bertanggung jawab terhadap terlaksananya rencana


36

asuhan bersama yang menyeluruh tersebut. Manajemen yang efisien akan

menyingkat waktu, biaya dan meningkatkan mutu asuhan.

Langkah VII : Evaluasi

Menurut Mufdlilah ( 2010:118-119), pada langkah ke 7 ini

dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang sudah diberikan meliputi

pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar telah terpenuhi

sesuai dengan kebutuhan sebagaimana telah diidentifikasi didalam maslah

dan diagnosa. Rencana tersebut dapat dianggap efektif jika memang benar

efektif dalam pelaksanaannya. Ada kemungkinan bahwa sebagian rencana

tersebut telah efektif sedang sebagian belum efektif.

Manajemen kebidanan ini merupakan suatu kontinum, maka perlu

mengulang kembali dari awal setiap asuhan yang tidak efektif melalui

proses manajemen untuk mengidentifikasi mengapa proses manajemen

tidak efektif serta melakukan pada rencana asuhan berikutnya.

2. Pendokumentasian Manajemen Kebidanan Dengan Metode SOAP

Menurut Mufdlilah (2012:120), model dokumentasi yang

digunakan dalam asuhan kebidanan adalah dalam bentuk catatan

perkembangan, karena bentuk asuhan yang diberikan berkesinambungan

dan menggunakan proses yang terus menerus (progess notes)

S : (data subyektif)

Data informasi yang subyektif ( mencatat hasil anamnesa )

Misalnya : nama, umur, riwayat menstruasi, riwayat kehamilan

sekarang, keluhan yang dirasakan, dll.


37

O : ( data obyektif )

Data informasi obyektif ( hasil pemeriksaan, observasi )

Misalnya : keadaan umum, tanda - tanda vital, pengeluaran

pervaginam, DJJ, letak janin, pembukaan, dll.

A : ( assessment )

Mencatat hasil analisa (diagnosa dan masalah kebidanan), yang

dimaksud meliputi diagnosa atau masalah, diagnosa / masalah

potensial dan antisipasinya, dan perlunya tindakan segera.

Misalnya :

Ny. A, umur 20 tahun, P1A0 dengan Laserasi Perineum Derajat III

P : ( Planning )

Mencatat seluruh penatalaksanaan ( tindakan antisipasi, tindakan

segera, tindakan rutin, penyuluhan, support, kalaborasi, rujukan

dan evaluasi / follow up ).

Misalnya :

Pada kasus Laserasi perineum derajat III tindakan segera yang

dilakukan penjahitan pada perineum, memberikan penyuluhan

tentang perawatan perineum, melakukan kalaborasi untuk menjahit

perineum derajat III, dll.

C. Teori Hukum Kewenangan Bidan

Menurut Yanti (2010:93), dalam menjalankan Asuhan Kebidanan

pada pasien dengan persalinan patologi dengan laserasi perineum derajat

III, bidan mempunyai landasan hukum dan kewenangan dalam


38

memberikan asuhan kebidanan pada pasien persalinan patologi dengan

laserasi perineum derajat III, meliputi :

1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464 /

Menkes / Per / X / 2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik

bidan pada Bab III :

Pasal 10, yang berbunyi :

a. Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9

huruf a diberikan pada masa prahamil, kehamilan, masa nifas, masa

menyusui dan masa antara dua kehamilan.

b. Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi :

1) Pelayanan konseling pada masa pra hamil

2) Pelayanan antenatal pada kehamilan normal

3) Pelayanan persalinan normal

4) Pelayanan ibu nifas normal, dll.

c. Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) berwenang untuk :

1) Episiotomi

2) Penjahitan luka jalan lahir derajat I dan II

3) Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan

perujukan, dll.

Anda mungkin juga menyukai