Anda di halaman 1dari 10

OTITIS EKSTERNA MALIGNAN: PERKEMBANGAN PATOGEN DAN

MANFAATNYA UNTUK DIAGNOSIS DAN TERAPI

Abstrak

Objektif: Otitis eksterna malignan merupakan infeksi luas dari tulang temporal yang biasanya
disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa. Namun saat ini banyak dilaporkan kasus yang
disebabkan non-pseudomonas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dan
membandingkan presentasi kilnis dan hasil dari kasus-kasus otitis eksterna malignan yang
disebabkan karena Pseudomonas dan organisme non Pseudomonas.

Bentuk Penelitian: retrospective case series dengan chart review

Lokasi: Institusi perawatan tersier

Subjek dan Metode: Pasien dewasa dengan diagnosa otitis eksterna malignan antara tahun 1995
sampai 2012. Pengumpulan data mengulas mengenai riwayat penyakit dahulu, presentasi klinis,
hasil lab, pengobatan, dan hasil.

Hasil: 20 pasien yang didiagnosis dan diobati untuk otitis eksterna malignan di pusat pengobatan
Universitas Pittsburg anatara tahun 1995 dan 2012 digunakan sebagai subjek penelitian. 9 pasien
(45%) memilki hasil kultur dengan P.aeruginosa (+). 3 pasien (15%) memiliki hasil kultur
dengan methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Tanda dan gejala pada presentasi
klinik hampir sama pada kedua kelompok. Tetapi semua pasien dengan infeksi Pseudomonas
menderita diabetes, dibandingkan dengan 33% dari pasien terinfeksi MRSA (P= 0.046) dan 55%
dari pasien terinfeksi non-pseudomonas (P= 0.04). Pasien dengan infeksi MRSA diterapi
antibiotik dengan rerata total 4.7 minggu lebih lama dibandingkan dengan pasien Pseudomonas
(P= 0.10). Secara keseluruhan, pasien dengan infeksi non-Pseudomonas diterapi dengan rerata
total 24 minggu lebih lama dibandingkan dengan Pseudomonas (P=0.25).

Simpulan: Tingkat kecurigaan yang tinggi akan infeksi organisme non-Pseudomonas harus tetap
dipertahankan pada pasien dengan tanda dan gejala OEM, terutama pasien tanpa diabetes.
MRSA merupakan organisme yang sangat terlibat dalam OEM.
Kata Kunci

Otitis eksterna malignana, otitis eksterna nekrotis, methicillin-resistant Staphylococcus aureus,


MRSA, Pseudomonas aeruginosa, otitis eksterna.

Pendahuluan

Otitis eksterna malignan merupakan osteomyelitis dari tulang temporal yang berpotensi
mengancam jiwa dan dapat meluas mempengarui jaringan lunak sekitarnya, saraf kranial, serta
dasar tengkorang yang berdekatan. Pasien geriatri, diabetes, atau immunocompromised biasanya
paling sering terkena OEM. Pada tahun 1959, Meltzer dan Kelemen pertama kali menjelaskan
infeksi ini dalam case report dari pasien diabetes dengan osteomyelitis tulang temporal yang
berasal dari otitis eksterna. Hasil kultur dari pasien ditemukan Bacillus pyocyanae, dimana
dikenal dengan Pseudomonas aeuruginosa. Pada tahun 1968, Chandler pertama kali
mengemukakan istilah “otitis eksterna malignan” untuk menjelaskan infeksi Pseudomonas ini.
Semenjak saat itu, kehadiran Pseudomonas pada telinga yang terinfeksi menjadi penanda utama
untuk penyakit tersebut.

Kasus non-Pseudomonas otitis eksterna malignan tidak ditemukan hingga tahun 1982. Pada
pemaparan tersebut, Bayardelle-et al menjelaskan kasus otitis eksterna malignan yang
disebabkan oxacillin-sensitive Staphylococcus aureus, sejak saat itu, banyak sekali pemaparan
kasus mengenai S. auereus merupakan organisme utama penyebab otitis eksterna malignan.
Serta terdapat beberpaa penelitian mengenai methicillin-resistant S aureus (MRSA) sebagai
pathogen penyebab pada otitis eksterna malignan, tetapi insidensi secara keseluruhan infeksi
MRSA pada kulit dan jaringan halus meningkat secara teratur. Sedangkan, walaupun beberapa
penelitian terdahulu mengungkapkan P. aeruginosa menjadi organisme penyebab pada
kebanyakan kasus otitis eksterna malignan, tetapi pada penelitian terbaru menjelaskan infeksi
Pseudomonas sudah jarang terjadi, dengan hasil kultur Pseudomonas sekitar 27% hingga 54%
dari total kasus.

Meningkatknya frekuensi penyebab non-Pseudomonas pada otitis eksterna malignan, kami


memutuskan untuk melakukan retrospective review pada pengalaman klinis dengan otitis
eksterna malignan dan secara spesifik membandingkan presentasi klinis, manajemen, dan hasil
dari infeksi Pseudomonas dan MRSA. Kami mempunyai hipotesis bahwa presentasi klinis akan
sama pada organisme penyebab yang berbeda, dan terapi yang diberikan akan lebih lama pada
pasien dengan infeksi MRSA atau non-Pseudomonas lainnya.

Metode

Perijinan secara institusional diperoleh untuk studi retrospektif ini (University of Pittsburgh
Institutional Review Board Approval #PRO12010268, Principal Investigator Andrew A.
McCall). Data rekam medis pasien yang didiagnosa OEM antara tahun 1995 dan 2012 diambil
dari Departemen Otolaringologi University of Pittsburgh Medical Center.

Diagnosis dipastikan dari terdapatnya semua kriteria obligat Cohen, dengan 2 modifikasi.
Pertama, menggunakan CT Scan sebagai pengganti studi molekuler untuk memastikan adanya
otitis eksterna malignan. Oleh karena hal tersebut, peneliti memasukkan pasien yang pada CT
Scan terdapat erosi tulang, sebagai pengganti salah satu kriteria obligat Cohen (hasil positif
terhadap pemindaian technetium-99 atau kegagalan pemberian terapi lokal). Kedua, karena sifat
dari studi retrospektif, pada beberapa kasus tidak semua kriteria obligat terdokumentasi pada
setiap pasien. Oleh karena itu, peneliti mentoleransi hanya 1 dari kriteria klinis obligat Cohen
yang tidak terdokumentasi. Resolusi infeksi berdasarkan dari tidak adanya tanda klinis atau
gejala, dan tidak adanya progresi penyakit ditinjau dari segi radiologis setelah di follow-up
selama minimal periode 1 bulan setelah pengobatan antibiotik lengka.

Manajemen data dan analisis statistik menggunakan Microsoft Excel 2011 (Microsoft
Corporation, Redmond, Washington) dan GraphPad Prism 6 (GraphPad Software, San Diego,
California). Perbandingan secara statistik antar kelompok menggunakan Fisher’s exact test dan
Student’s t test, dengan nilai signifikan di angka P < 0.5

Hasil Penelitian

Demografi

20 pasien diidentifikasi dari database yang ditunjang dokumentasi yang mendukung diagnosis
otitis eksterna malignan. Terdapat 12 pria dan 8 wanita. Rata-rata usia saat didiagnosis adalah 65
tahun pada semua pasien, 62 tahun pada pasien dengan infeksi Pseudomonas, dan 63 tahun pada
pasien dengan infeksi MRSA. (Tabel 1)

Tabel 1. Patogen dan Manifestasi Klinis


Semua Pasien Pseudomonas MRSA Lainnya Negatif
Manifestasi Klinis
(n=20) (n=9) (n=3) (n=5) (n=3)
Persentase pasien 100 45 15 25 15
Usia rata-rata 64.9 62.3 63.0 65.0 74.3
Rentang usia 42-100 42-77 44-100 52-79 61-84
Diabetes melitus 75% 100.0% 33.3% 80.0% 33.3%
Facial nerve palsy 25% 33.3% 0% 20% 33.3%
Erosi tulang (pada CT
95% 100% 100% 100% 66.7%
Scan)
Pengobatan lokal
80% 66.7% 100% 80% 100%
yang gagal
Terapi definitif 7.8 N=5)6.1 8.5 11.8 6.7
Terapi total 9.2 7.9 12.6 12.0 6.7

Data Kultur

Data kultur dan sensitivitas terdokumentasikan pada semua pasien. Tujuan dari pengambilan data
kultur dan terapi sesuai kultur didokumentasikan dalam tabel 2. Terdapat 9 pasien (45%) yang
kulturnya tumbuh P aeruginosa. Tidak terdapat satupun resistensi ciprofloxacin pada spesimen
Pseudomonas. 1 Pseudomonas yang diisolasi resisten terhadap levofloxacin. 2 pasien pada
kulturnya terdapat MRSA selain adanya Pseudomonas. Pada 3 pasien terdapat kultur yang
terdapat MRSA, dan tidak didapatkan Pseudomonas. Pada 1 pasien yang terinfeksi MRSA juga
tumbuh Klebsiella dan pan-resistant Acinetobacter spp. 1 MRSA yang diisolasi terdapat resisten
Clindamycin. Tidak tercatat adanya resistensi doxycycline, trimethoprim-sulfametoxazol,
maupun vancomycin.
Sekitar 5 pasien lagi yang positif hasil kulturnya, organismenya adalah sebagai berikut:
Enterococcus spp (n = 2), methicillin sensitive S aureus (n = 1), Candida spp (n = 1), Aspergillus
(n = 1), Staphylococcus lugdunensis (n = 1), Lactobacillus (n = 1), Peptostreptococcus (n = 1),
dan Alcaligenes faecalis (n = 1). Terdapat 3 pasien yang hasil kulturnya negatif

Neuropati Kranialis

33% pasien yang terinfeksi Pseudomonas terdapat facial nerve palsy, dan dibandingkan dengan
pasien yang tidak terinfeksi MRSA dan 18% dari pasien yang terinfeksi bakteri non-
Pseudomonas. 3 perbedaan tersebut hasilnya tidak signifikan (P = .51 and P = .62). Tidak ada
neuropati kranialis yang tercatat-terdokumentasi (Tabel 1).

Tabel 2. Metode Klutur dan Terapi Utama


Pasien Terapi utama sesuai kultur Metode Kultur
Pseudomonas
1 Tidak Ada Canal swab
2 Amoksisilin- asam klavulanat oral dan ciprofloxacin- Canal swab
dexametason topikal
3 Tidak diketahui Canal swab
4 Tidak diketahui Canal swab
5 Ciprofloxacin oral dan ciprofloxacin-dexametason topikal Tidak diketahui
6 Ciprofloxacin oral dan ciprofloxacin-dexametason topikal Canal swab
7 Antibiotik oral Tidak diketahui
8 Antibiotil topikal Canal swab (jaringan
negatif)
9 Ciprofloxacin oral dan ciprofloxacin-dexametason topikal Canal swab
MRSA
10 Trimethoprim-sulfametoxazole oral Canal swab
11 Ciprofloxacin-dexametason topikal Canal swab
12 Ciprofloxacin-dexametason topikal Canal tissue
Lainnya
13 Amoksisilin- asam klavulanat oral dan ciprofloxacin- Canal swab
dexametason topikal
14 Moxifloxacin oral dan ciprofloxacin-dexametason topikal Canal swab
15 Ciprofloxacin-dexametason topikal Canal swab dan
jaringan
16 Tidak diketahui Canal swab
17 Ciprofloxacin oral dan ciprofloxacin-dexametason topikal Canal swab dan
jaringan
Negatif
18 Antibiotik oral dan topikal Canal tissue
19 Ciprofloxacin oral/IV dan ciprofloxacin-dexametason Canal swab
topikal
20 Antibiotik topikal Canal swab

Komorbiditas
Lima belas pasien (75%) memiliki diabetes mellitus. 9 pasien terinfeksi Pseudomonas memiliki
diabetes mellitus, dibandingkan dengan 33% dari pasien MRSA yang terinfeksi dan 55% dari
semua non pasien yang terinfeksi Pseudomonas. Perbedaan ini secara statistik signifikan (P =
0,046 dan P = 0,04, masing-masing). Satu pasien (non-Pseudomonas, non-MRSA) memiliki
leukemia myeloid akut dan menerima kemoterapi pada sekitar waktu infeksi; pasien ini juga
memiliki diabetes. Satu pasien (non Pseudomonas, non-MRSA) memiliki rheumatoid arthritis
dan telah mengkonsumsi obat imunosupresif pada awal infeksi. Pasien lain (non-Pseudomonas,
non-MRSA) memiliki sistemik lupus eritematosa tetapi tidak menerima imunosupresif terapi.
pasien secara keseluruhan, 63% dari non-Pseudomonas terinfeksi baik memiliki diabetes atau
yang imunosupresi, dibandingkan dengan 100% dari pasien Pseudomonas terinfeksi (P = 0,09).

Ringkasan pengobatan

Pada saat penelitian ini, 1 pasien mengalami infeksi yang sedang berlangsung, 3 pasien dibiarkan
tidak di follow-up, dan 1 pasien (MRSA, panresistant Acinetobacter) meninggal karena kateter
sentral infeksi sementara menjalani terapi berkelanjutan untuk otitis eksterna malignan. Sisanya
15 pasien (75%) telah memperlihatkan penyembuhan infeksi. Dua pasien memiliki kekambuhan
infeksi dan diperlakukan dengan khusus kedua antibiotik. Dari 15 pasien dengan keberhasilan
penyembuhan infeksi, rata rata penggunaan definitif antibiotik adalah 7,8 ±3,9 minggu, dan
rata-rata total penggunaan definitif antibiotik adalah 9,2 ± 4,2 minggu. Durasi perawatan yang
paling sering mengalami kekambuhan, adalah 6 minggu. Tiga pasien menjalani mastoidektomi
selama pengobatan mereka untuk otitis eksterna maligna: 2 mastoidektomi dilakukan untuk
pasien yang, menerima terapi antibiotik intravena, dimana tulang mastoid terlihat pada CT scan;
1 pasien menjalani mastoidektomi untuk mengevaluasi keganasan, dengan hasil radiografi yang
menunjukan erosi tulang yang progresif serta lesi jaringan lunak meskipun telah menjalani
pengobatan.

Salah satu pasien yang terinfeksi Pseudomonas tidak perlu dilakukan follow up. Sisanya 8
pasien telah mengalami fase resolusi infeksi dimana rata-rata memerlukan 6,1 ± 2,1 minggu
untuk terapi definitif antibiotik dan dengan total 7,9 ± 3,4 minggu terapi antibiotik . Lima dari 8
pasien yang diobati dengan antibiotik kuinolon oral, 3 diantaranya dikombinasi dengan intravena
antipseudomonal yaitu Cephalosporin. Satu pasien dirawat dengan moksifloksasin intravena. 2
pasien yang tidak diobati dengan antibiotik kuinolon diobati dengan dengan intravena
antipseudomonal, penisilin. Satu pasien, yang tidak di follow up, menjalani pembuatan dinding
saluran mastoidektomi.

Dua dari 3 pasien MRSA yang terinfeksi telah mengalami resolusi infeksi, rata-rata dibutuhkan
waktu 8,5 ± 0,7 minggu untuk terapi terapi antibiotik definitif dan total waktu pengobatan 12,6
± 0,9 minggu untuk terapi antibiotik. Satu pasien terinfeksi MRSA dan Acinetobacter meninggal
disebabkan infeksi yang bersumber dari pemasangan kateter saat menjalani perawatan untuk
otitis eskterna malignan. Meskipun durasi pengobatan lebih lama untuk yang terinfeksi MRSA
daripada pasien yang terinfeksi Pseudomonas, perbedaan durasi secara statistik tidak signifikan
(P = 0,18 untuk total dan P = 0,10 untuk terapi definitif). Tidak ada satupun pasien yang
berstatus MRSA menjalani intervensi bedah debridement saluran telinga. Pasien MRSA diobati
dengan intravena vankomisin.

Secara keseluruhan, 7 pasien mengalami kesembuhan dari infeksi non-Pseudomonas dengan


pengobatan antibiotik selama rata-rata 9,3 ± 4,5 minggu terapi antibiotik definitif dan 10,4 ±
4,6 minggu total terapi antibiotik. Durasi pengobatan ini lebih panjang (3,2 dan 2,5 minggu,
masing-masing) daripada untuk pasien yang terinfeksi Pseudomonas tetapi tidak mencapai
signifikansi (P = 0,09 dan P = 0,25). Enam dari 7 pasien (86%) menerima terapi intravena
dengan antibiotik nonquinolone.

Pembahasan

Dahulu, otits eksterna malignan diduga disebabkan oleh infeksi Pseudomonas. Cohen dan
Friedman menyampaikan adanya Pseudomonas pada kultur sebagai kriteria diagnostik secara
obligat sebagai langkah yang dibutuhkan untuk penyelidikan lebih lanjut. Pada 1988, Rubin dan
Yu menunjukkan review literatur 260 kasus otitis eksterna malignan dan ditemukan hampir
semua kasus (99.2%) disebabkan oleh Pseudomonas. Seiring meningkatnya frekuensi kasus,
otitis eksterna malignan yang diakibatkan oleh non-pseudomonas juga ditemukan. Sedikitnya
hampir separuh (50%) dari pasien pada penelitian kami sudah dikultur dan tumbuh
Pseudomonas. Hal yang sama pada tahun 2010, Chen dkk dan Jacobsen dan Antonelli
melaporkan proporsi yang rendah secara relatif dari otitis eksterna malignan pseudomonal ,
dengan 26.9% dan 34% pasien yang respektif mempunyai pseudomonas pada isolasi kultur.
Sepadan dengan turunnya isolasi Pseudomonas, organisme lain yang memicu otitis eksterna
malignan telah bermunculan. Isolasi kedua utama pada seri kami adalah S.aureus, dengan 3
isolasi termasuk MRSA (15%). Walau begitu hanya ada sedikit laporan tentang organisme
penyebab MRSA pada kasus otitis eksterna malignan yang kami ketahui.

Dengan mikrobiologi yang berkembang pada otitis eksterna malignan, pengobatan yang
disesuaikan dengan organisme penyebab dinilai penting. Sejak diperkenalkan pada akhir 1980-
an, ciprofloxacin oral telah banyak digunakan sebagai pengobatan empiris lini pertama untuk
otitis eksterna malignan. Hal ini memungkinkan pasien dengan penyakit stadium awal untuk
diperlakukan secara empiris dalam pengaturan rawat jalan. Sekarang, bagaimanapun, dengan
meningkatnya frekuensi antipseudomonal otitis eksterna malignan, ciprofloxacin mungkin tidak
selalu menjadi pengobatan yang efektif, karena hanya membunuh sedikit gram positif dan tidak
efektif melawan MRSA.

Selain itu, kejadian Pseudomonas yang resisten terhadap ciprofloxacin telah meningkat.
Meskipun ada 1 contoh resisten terhadap levofloxacin dan tidak ada laporan resistensi
ciprofloxacin pada isolat Pseudomonas kami, peneliti lain telah melaporkan peningkatan insiden
Pseudomonas ciprofloxacin-resistent sebagai penyebab otitis eksterna malignan. Pada tahun
2002, Berenholz et al adalah yang pertama melaporkan otitis eksterna malignan disebabkan oleh
Pseudomonas ciprofloxacin-resistent, dengan 33% dari isolat Pseudomonas mereka yang
resisten terhadap ciprofloxacin.

Gambaran klinis otitis eksterna malignan disebabkan oleh Pseudomonas dan MRSA adalah sama
dalam banyak hal (rata-rata usia onset, tanda dan gejala, dll), tetapi beberapa perbedaan penting
dicatat. Diabetes adalah komorbiditas yang biasa ada dalam pasien dengan otitis eksterna
malignan dan, bersama dengan keadaan immunocompromised, diduga menjadi faktor risiko
untuk pengembangan penyakit. Dalam seri kami, semua pasien yang terinfeksi pseudomonas
menderita diabetes, sedangkan hanya 1 dari 3 pasien yang terinfeksi MRSA juga memiliki
diabetes (P = 0,046). Selain itu, hanya 55% dari pasien dengan infeksi non-Pseudomonas
memiliki diabetes, yang juga signifikan lebih rendah pada pasien yang terinfeksi pseudomonas
(P = 0,04). Temuan ini menggambarkan bahwa diagnosis otitis eksterna malignan harus
dipertimbangkan dalam setiap pasien dengan otitis eksterna yang refrakter, bahkan pada mereka
yang tidak diabetes. Selain itu, menunjukkan bahwa organisme atipikal, seperti MRSA, harus
dicurigai pada pasien tanpa diabetes yang hadir dengan otitis eksterna malignan.

Ada keterbatasan penting dari penelitian ini yang layak disampaikan. Pertama, penelitian ini
adalah retrospektif, dan data terbatas pada catatan yang tersedia. Selain itu, populasi pasien
adalah heterogen dalam hal terapi sebelumnya dan cara kultur diperoleh. Hal ini dimungkinkan
bahwa terapi sebelumnya akan membasmi organisme yang akan dideteksi pada kultur. Ini
dimaksudkan bahwa organisme patogen potensial (dalam isolasi atau sebagai bagian dari infeksi
polimikroba) mungkin telah dibasmi atau tidak terdeteksi oleh kultur sebelum presentasi untuk
kantor kami pada beberapa kasus. Selanjutnya, kultur swab telinga tidak selalu mencerminkan
organisme patogen yang menginfeksi tulang temporal pada otitis eksterna malignan. Meskipun
peran spesifik dari metode kultur belum diteliti pada otitis eksterna malignan, kejanggalan antara
swab dan kultur tulang telah ditunjukkan pada osteomielitis kaki diabetes. Untuk alasan ini, kami
merekomendasikan biopsi jaringan dalam kasus-kasus di mana ada respon yang buruk atau tidak
ada respon terhadap terapi berdasarkan kultur swab telinga. Selain itu, pilihan antibiotik
didasarkan pada preferensi pengobatan neurotologis dalam hubungannya dengan spesialis
penyakit menular. Banyak pasien diobati dengan antibiotik intravena, sedangkan sensitivitas
menunjukkan bahwa antibiotik oral bisa digunakan. Karena MRSA adalah organisme langka
yang menyebabkan otitis eksterna malignan, ada beberapa data yang menunjukkan pengobatan
terkait organisme ini. Perlu dicatat bahwa 1 dari pasien yang terinfeksi MRSA sedang kami
rawat diobati dengan trimethoprim-sulfamethoxazole oral pada saat presentasi dan kultur.
Meskipun sensitivitas menunjukkan bahwa organisme tesebut rentan terhadap antibiotik ini,
infeksi pasien tidak responsif terhadap pengobatan ini. Infeksi itu diatasi dengan pengobatan
vankomisin intravena.

Secara umum, durasi pengobatan yang direncanakan selama 6 minggu dan diperpanjang sesuai
kebutuhan atas dasar bukti klinis atau radiografi penyakit yang persisten atau progresif. Perlu
disebutkan bahwa baik scan atau gallium secara rutin digunakan untuk diagnosis atau
pemantauan penyakit; dengan demikian, ada kemungkinan bahwa beberapa pasien dengan bukti
klinis dan radiografi resolusi mungkin sebenarnya memiliki infeksi yang sedang berlangsung.
Akhirnya, karena banyak dari pasien kami melakukan perjalanan jarak jauh untuk perawatan di
pusat kami, mereka sering memilih untuk menindaklanjuti dengan otolaryngologists lokal
mereka setelah selesainya pengobatan dan resolusi jelas infeksi mereka. Ini menghalangi kita
dari hasil berikutnya pada sebagian besar pasien dalam penelitian kami, melampaui 1 bulan
setelah selesai terapi antibiotik.

Anda mungkin juga menyukai