Anda di halaman 1dari 89

REFERENSI ARTIKEL

TELAAH MARAH DITINJAU DARI SEGI


PSIKONEUROIMUNOLOGI

DISUSUN OLEH :

Ida Bagus Ananta W G99142090 Andyka Prima P G99151039


Egtheastraqita C G99141091 Safitri Dwi M G99151040
Mugi Tri Sutikno G99141092 Norma Mukti B G99151041
Wahyu Pamungkas G99141093 Desvian Adi N G99151042
Bima Kusuma Jati G99151038

PEMBIMBING
Istar Yuliadi, dr., M.Si., FIAS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan refrat yang berjudul : “Telaah Marah dari Segi
Psikoneuroimunologi”. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan
penyusunan refrat ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik berupa
bimbingan maupun nasihat, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr., Sp.KJ (K)
2. Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K)
3. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K)
4. Prof. Dr. Moh. Fanani, dr., Sp.KJ (K)
5. Mardiatmi Susilohati, dr., Sp.KJ (K)
6. Yusvick M. Hadim, dr., Sp.KJ
7. Djoko Suwito, dr., Sp.KJ
8. I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ
9. Gst. Ayu Maharatih, dr., Sp.KJ (K)
10. Machmuroch, Dra., MS
11. Debree Septiawan, dr., Sp.KJ, M.Kes
12. Istar Yuliadi, dr., M.Si., FIAS
13. Rochmaningtyas HS, dr., Sp.KJ, M.Kes

Penulis menyadari bahwa referat ini masih belum sempurna, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk perbaikan
referat ini. Semoga referat ini bermanfaat bagi kita semua.
November 2015

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 4
A. Definisi Marah ......................................................................................................... 4
B. Emosi ........................................................................................................................ 7
C. Pendekatan Emosi Dilihat Dari Sisi Budaya ........................................................ 8
D. Teori Dasar Marah ................................................................................................ 11
1. Teori Perkembangan Freud ................................................................................. 11
2. Teori Erik Erikson ............................................................................................... 21
3. Teori Kepribadian Jean Piaget ............................................................................ 27
4. Teori Hubungan Kepribadian Dengan Marah ..................................................... 31
5. Teori Hubungan Kognisi Dengan Marah ............................................................ 37
6. Teori Hubungan Pengalaman Seksual Dengan Marah ....................................... 41
E. Mekanisme Marah ................................................................................................. 43
1. Teori Psikoneuroimunologi ................................................................................. 43
2. Teori Neurologis ................................................................................................. 54
F. Manifestasi Marah .................................................................................................. 57
1. Waktu yang Tepat untuk Marah .......................................................................... 60
2. Manfaat Marah .................................................................................................... 61
G. Anger Management ................................................................................................. 62
1. Teori Coping ...................................................................................................... 64
2. Manajemen Marah ............................................................................................... 71
BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 76
A. SIMPULAN ............................................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 77

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Jalur HPA Axis


Gambar 2. Hubungan Antara Psikis dan Sistem Neuroendokrin
Gambar 3. Konektivitas Analisis Fungsional Selama Reappraisal,
Analytical Rumination, dan Angry Rumination
Gambar 4. Model Mediasi

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk yang unik. Segala kemampuan diberikan Tuhan


kepada manusia, baik kemampuan positif maupun kemampuan negatif, salah satu
kemampuan yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah emosi. Ada tiga emosi
dasar yang dimiliki manusia sejak bayi hingga wafat yaitu emosi marah, senang
dan takut. Manifestasi masing-masing emosi tersebut berbeda-beda tergantung
dengan usianya, tahap perkembangan dan situasi serta kondisi saat emosi tersebut
muncul (Yadi, 2006: 13).
Setiap orang pernah merasakan marah. Menurut Harry Mills (2005),
kemarahan bukan emosi yang dilahirkan dan bukan sesuatu yang dipelajari pada
sebagian besar perilaku. Fenomena marah menjadi bagian penting yang
membentuk respon emosional perilaku tindakan yang kurang baik. Apalagi di
tengah masa serba krisis seperti ini, dimana semakin banyaknya pengangguran,
kenaikan harga barang yang meresahkan dan tuntutan pemenuhan kebutuhan
hidup yang semakin tinggi.
Adakalanya pula seseorang menjadi marah di dalam situasi yang
membuatnya merasa terancam atau dapat merugikan dirinya sendiri, ditambah lagi
saat ini banyak moralitas yang tidak baik, orang-orang yang sering melakukan
perbuatan buruk, atau sering berbuat kejahatan biasanya akan membuat orang
tersebut mudah marah. Hal itupun merupakan reaksi yang wajar. Akan tetapi
marah akan menjadi negatif dan tidak sehat, apabila seseorang itu menjadi tidak
sabar sehingga bersikap impulsif dan melakukan agresivitas (Bhave & Saini,
2009; Reilly & Shopshire, 2002).
Mengekspresikan marah, bukan berarti seseorang harus menjadi
agresivitas. Justru faktanya, dengan mengekspresikan marah dapat mencegah
terjadinya agresivitas dan membuat orang lain menjadi meminta maaf (Izard
dalam Thomas, 2001). Maksudnya dengan mengekspresikan marah secara positif,
dapat membuat orang lain menjadi tersadar akan kesalahannya dan dapat
membantu seseorang pula agar bisa bertahan dalam mengatasi permasalahannya

1
di berbagai situasi (Averil & Novaco dalam Bhave & Saini, 2009). Sebagai
contoh dalam hal kepemimpinan yang dimiliki seorang Ahok, Gubernur DKI
Jakarta, pemimpin dalam meyakinkan masyarakat untuk mengikuti aturan-aturan
yang telah ditetapkan dengan cara marah yang tegas, dan cara yang dilakukan
Ahok ini terbukti berhasil dalam mengatur warga Jakarta. Salah satu kejadian
marah yang dimuat dalam portal berita nasional pada tanggal 4 September
2014. Saat itu Ahok meluapkan kemarahan karena kecewa dengan kartu virtual
account produksi Bank DKI, Direktur Utama Bank DKI Eko Budiwiyono yang
duduk di hadapannya terlihat pucat. Ia tertunduk, mengangguk, dan akan
memperbaiki menjadi lebih baik (Wijayanti, 2014).
Dalam hal ini antara marah dan agresivitas, jelas berbeda. Dimana marah
merupakan emosi, sedangkan agresivitas adalah perilaku yang dapat
menyebabkan kerugian bagi orang lain atau merusak barang dan kekerasan lisan
(Reilly & Shopshire, 2002).
Semua orang pernah mengalami marah, namun setiap orang akan menjadi
penentu bagi dirinya sendiri dalam mengekspresikan marahnya. Cara seseorang
dalam mengekspresikan marahnya bisa digolongkan menjadi tiga: (1) agresivitas
ke orang lain (directed toward others) yaitu ekspresi marah yang merusak dengan
cara negatif sehingga mengakibatkan timbulnya agresivitas secara fisik dan lisan,
seperti berteriak, menjerit, memukul, menghancurkan barang, melempar buku
atau kursi; (2) mengarah ke dalam diri (directed inward) atau ditekan (supressed),
akibatnya juga dapat merusak pada diri seseorang, karena dapat meningkatkan
risiko tekanan darah tinggi, depresi, bunuh diri, penyakit pernapasan, membuat
seseorang menjadi lebih banyak merokok, minum alkohol, gagal di sekolah dan
sebagainya; (3) mengontrol dengan baik (well controlled) yaitu dengan
mengekspresikan marah secara positif (Bhave & Saini, 2009).
Mengekspresikan marah secara positif atau terkontrol merupakan emosi
yang menyehatkan dan menjadi tujuan setiap orang. Sebenarnya marah
merupakan tanda atau alarm yang akan mengalir ke otak, bahwa ada sesuatu yang
salah, sehingga akan memberikan energi pada tubuh berupa adrenalin untuk
memperbaiki situasi yang terjadi. Saat keadaan marah terjadi, seseorang dapat

2
memilih tiga cara primitif yang mendasar sekali untuk dilakukan yaitu: (1) dengan
mempersiapkan segala sesuatu yang nantinya dapat mengancam; (2) langsung
berjuang menghadapinya; dan (3) mencoba lari untuk menghindarinya (Bhave &
Saini, 2009; Provenzana, 2004).
Ketika kita mengelola kemarahan dengan baik, ia meminta kita untuk
membuat perubahan positif dalam hidup dan situasi kita. Pengendalian emosi
marah (Anger management) dengan tindakan yang mengatur pikiran, perasaan,
nafsu marah dengan cara yang tepat dan positif serta dapat diterima secara sosial,
sehingga dapat mencegah sesuatu yang buruk terjadi baik pada diri sendiri
maupun orang lain. Seseorang tidak bisa melepaskan atau menghindari sesuatu
atau orang lain yang membuat mereka marah, juga tidak bisa mengubahnya, tapi
seseorang tersebut dapat belajar untuk mengontrol reaksi yang akan diberikan
terhadap hal-hal tersebut (Holloway, 2003).
Penelitian tentang marah sudah banyak dilakukan dan para ahli sepakat
bahwa marah akan menjadi masalah bila frekuensi, kekuatan dan lamanya marah
begitu tinggi atau dikelola tidak efektif. Intervensi psikoedukasi seperti anger
management training (AMT) bukanlah terapi, melainkan dapat menghasilkan
potensi untuk perubahan perilaku dengan meningkatkan pengetahuan,
menyediakan perspektif baru, memberikan klien kesempatan untuk belajar, serta
berlatih dengan cara khusus dan strategis (Anderson, et al. dalam Thomas, 2001).
Oleh karena itu, menarik diulas kembali melalui berbagai referensi artikel
terkhusus tentang marah dan pengendalian marah.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Marah
Menurut American Psychological Association (2015), marah adalah
emosi yang ditandai dengan antagonisme terhadap seseorang atau sesuatu
yang dirasakan telah sengaja melakukan kesalahan. Kemarahan adalah respon
alami dan sebagian besar otomatis untuk rasa sakit suatu bentuk atau yang
lainnya (fisik atau emosional). Kemarahan bisa terjadi ketika orang tidak
merasa baik, merasa ditolak, merasa terancam, atau mengalami beberapa
kerugian.
Kemarahan adalah emosi yang normal dengan berbagai intensitas, dari
iritasi ringan dan frustrasi mengamuk. Ini adalah reaksi terhadap ancaman
untuk diri kita sendiri, orang yang kita cintai, property kita, citra diri kita,
atau beberapa bagian dari identitas kita. Kemarahan adalah lonceng
peringatan yang memberitahu kita bahwa ada sesuatu yang salah. Berikut
adalah istilah tentang marah, yaitu:
1. Sering dikenal sebagai "flight or fight" respon.
2. Pengalaman kognitif kemarahan, atau bagaimana kita memandang dan
berpikir tentang apa yang membuat kita marah. Sebagai contoh, kita
mungkin berpikir sesuatu yang terjadi pada kita adalah salah, tidak
adil, dan tidak layak.
3. Perilaku, atau cara kita mengekspresikan kemarahan kita. Ada
berbagai macam perilaku untuk memberikan sinyal kemarahan. Kita
mungkin terlihat dan terdengar marah, berubah menjadi merah,
meningkatkan volume suara kita, bungkam, membanting pintu, atau
memberi sinyal kepada orang lain bahwa kita marah. Kita juga
mungkin menyatakan bahwa kita marah dan mengapa, meminta waktu
menyendiri, meminta maaf, atau meminta sesuatu untuk berubah.

4
Setiap orang pernah mengalami kemarahan, dan itu bisa menjadi
sehat. Hal ini dapat memotivasi kita untuk berdiri untuk diri kita sendiri dan
ketidakadilan yang benar. Ketika kita mengelola kemarahan dengan baik, ia
meminta kita untuk membuat perubahan positif dalam hidup dan situasi kita.
Kemarahan yang tidak terarah dengan baik adalah kontraproduktif dan
bisa tidak sehat. Ketika kemarahan terlalu kuat, di luar kendali, salah arah,
dan terlalu agresif, dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang buruk
dan pemecahan masalah, menciptakan masalah dengan hubungan dan kerja,
dan bahkan dapat mempengaruhi kesehatan kita. (American Psychological
Association, 2015)

B. Emosi
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu tidak lepas dari
hubungan sosial dengan orang lain. Berbagai kejadian (event) yang terjadi
memunculkan emosi dalam setiap individu, dari emosi tersebut kemudian
individu dapat menentukan sikap dan pikiran sehingga mampu bertindak
sesuai dengan dirinya (Lewis & Jones, 2000). Seperti putus dengan pacar
pada remaja memunculkan emosi sedih sehingga berperilaku menarik diri
atau murung.
Menurut Goleman (dalam Sundari, 2005) pada prinsipnya emosi dasar
meliputi takut, marah, sedih dan senang. Perkembangan emosi yang lain
merupakan hasil campuran diantara emosi-emosi dasar tersebut. Sedangkan
marah sendiri merupakan reaksi terhadap sesuatu hambatan yang
menyebabkan gagalnya suatu usaha atau perbuatan. Marah yang timbul
seringkali diiringi oleh berbagai ekspresi perilaku.
Banyak dari anak, remaja bahkan orang dewasa sulit mengungkapkan
secara lisan tentang marah yang dirasakan. Mereka mungkin sadar setiap kali
mereka mengekspresikan marah dengan perilaku yang kurang bisa diterima
secara sosial, namun mereka tidak mampu mencegahnya untuk terjadi. Hal ini
disebut sebagai emotionally illiterate atau kebutaan emosi yang diiringi
dengan kurangnya kemampuan untuk memahami perasaan dan kurang

5
mampu memahami bagaimana mengekspresikan marah yang dapat diterima
secara norma sosial (Duffy, 2012)
Lebih lanjut Duffy (2012) menambahkan bahwa marah adalah sesuatu
yang sangat normal dan merupakan perasaan yang sehat. Namun sangatlah
penting untuk membedakan antara marah, agresif dan kekerasan yang sering
kali disama artikan. Marah merupakan perasaan atau emosi sedangkan agresif
dan kekerasan adalah perilaku yang dalam hal ini sering kali tidak diijinkan
oleh norma dan muncul sesuai dengan kemampuan mengontrol marah.
Dalam penelitian Cautin dkk (2001) terhadap 92 remaja menunjukkan
bahwa marah mempunyai peran yang sangat penting bagi timbulnya depresi
dan menjadi salah satu faktor yang menyumbangkan resiko bunuh diri bagi
remaja. Mereka menggolongkan ekspresi marah yaitu diinternalisasi atau
dipendam sendiri dan dieksternalisasi atau diekspresikan pada lingkungannya.
Hasilnya menunjukkan bahwa remaja yang menginternalisasi marahnya
mempunyai kecenderungan terhadap depresi dan terlebih lagi mengarah pada
kemungkinan bunuh diri. Sedangkan remaja yang mengekspresikan marahnya
secara eksternal mempunyai kecenderungan terhadap penyalahgunaan obat
dan alkohol.
Meskipun meningkatnya kemampuan kognitif dan kesadaran dari
remaja dapat mempersiapkan mereka untuk dapat mengatasi stres dan
fluktuasi emosional secara lebih efektif, banyak remaja yang tidak dapat
mengelola emosinya secara lebih efektif. Sebagai akibatnya, mereka rentan
untuk mengalami depresi, kemarahan (anger), kurang mampu meregulasi
emosinya, yang selanjutnya dapat memicu munculnya berbagai masalah
seperti kesulitan akademis, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja, atau
gangguan makan (Santrock, 2007).
Perilaku yang dapat merugikan seperti melakukan tindakan agresif
hingga bunuh diri pada remaja menunjukkan adanya ketidakmampuan dalam
mengelola marah atau anger management yang rendah. Hal ini terlihat saat
emosi, terutama emosi marah yang dirasakan oleh remaja tidak mampu
terwujud sebagai perilaku yang diterima oleh lingkungan atau masyarakat.

6
Remaja akhir mempunyai tugas perkembangan yang tidak mudah,
yakni ingin menemukan kenyamanan dalam berperilaku yang ditandai dengan
keinginan untuk didengarkan dan dimengerti sebagai individu yang mandiri
(Ericson dalam Crain tahun 1992). Ketika keinginannya sering berbenturan
dengan norma sosial dan keinginan lingkungannya maka sering
memunculkan emosi yang kurang nyaman seperti marah dan sedih. Namun
hal itu sesungguhnya bisa diarahkan pada kegiatan yang positif seperti
olahraga atau musik. Tentu saja hal itu tidak mudah jika seorang remaja tidak
mempunyai manajemen marah yang baik. Sehingga dapat
mengekspresikannya secara wajar dan positif seperti mengungkapkan pada
objek marah dengan komunikasi yang efektif.
Uraian diatas menunjukkan bahwa banyak sekali masalah yang dapat
ditimbulkan karena kurangnya kemampuan seseorang terutama remaja untuk
mengatur ekspresi marahnya, sehingga untuk membantu remaja mengontrol
ekspresi marah yang dirasakan, seorang peneliti pernah menggunakan satu
teknik terapi yaitu terapi kelompok. Terapi kelompok dipilih karena terapi ini
memberikan wadah bagi remaja untuk mengekspresikan perasaan, menggali
keraguan yang ada dalam diri serta menyedari masalah mereka dengan
berbagi dengan sesama peserta.
Dalam masyarakat luas, banyak berkembang pemikiran yang salah
mengenai marah, salah satunya adalah bahwa cara seseorang
mengekspresikan marah merupakan hasil dari keturunan (heredity) yang
diturunkan oleh orang tua dan hal itu tidak bisa diubah. Salah satu jenis terapi
yang bisa digunakan adalah pendekatan cognitive-behavior yang
mengedepankan bahwa proses berpikir dan emosi berpengaruh pada perilaku
yang muncul (apakah sesuai harapan sosial atau tidak). Ketika ada suatu
peristiwa maka pikiran dan emosi akan merespon dan menentukan perilaku
apa yang akan ia munculkan (Beck dalam Duffy, 2012). Ekspresi marah
merupakan perilaku yang dipelajari, sehingga ekspresi marah yang baik juga
bisa dipelajari (Reilly & Shopshire, 2002).

7
Kebanyakan perilaku seseorang merupakan hasil dari pembelajaran,
yakni dengan memperhatikan orang lain, terutama orang-orang yang
berpengaruh. Orang-orang tersebut adalah orang tua, anggota keluarga yang
lain dan teman. Jika seorang anak memperhatikan orang tuanya
mengekspresikan marah dengan perilaku agresif, seperti mencaci-maki dan
tindak kekerasan, sangat mungkin bahwa anak tersebut akan melakukan hal
yang sama ketika mengekspresikan marah karena ia telah belajar perilaku
yang demikian. Untungnya, perilaku ini dapat diubah dengan cara
mempelajari perilaku baru dalam mengekspresikan marah, sehingga tidak
perlu lagi mengekspresikan marah dengan cara-cara agresif dan juga keras
(Reilly & Shopshire, 2002).

C. Pendekatan Emosi Dilihat Dari Sisi Budaya


Manusia secara universal lahir dengan emosi sama, namun budaya
mempengaruhi sejumlah aspek emosi. Cara budaya mempengaruhi persepsi
dan interpretasi emosi merupakan suatu aturan cultural, sesuatu yang
dipelajari, yang membentuk bagaimana orang di suatu budaya memandang
dan menginterpretasi ekspresi-ekspresi emosi orang lain. Seperti aturan
pengungkapan,aturan dekode di pelajari pada masa-masa awal kehidupan,
dan di pelajari sedemikian baik sehingga kita tidak benar-benar menyadari
pengaruhnya. Dengan demikian, aturan dekode adalah seperti saringan
budaya yang mempengaruhi bagaimana kita menangkap ekspresi orang lain.
Menurut psikologi Amerika, emosi mengandung makna personal
yang amat kental, barangkali karena psikologi Amerika memandang perasaan
batin (inner feeling) yang subjektif sebagai karakteristik utama yang
mendefisinikan emosi. Ekspresi wajah dari emosi merupakan aspek ekspresi
emosi yang paling banyak dikaji, dan penelitian lintas-budaya mengenai
ekspresi wajah inilah yang menjadi pendorong utama kajian-kajian emosi di
psikologi Amerika. Dengan demikian, meskipun ekspresi wajah universal itu
secara biologis bersifat bawaan sebagai prototype raut wajah pada semua
orang, budaya punya pengaruh besar pada ekspresi emosi lewat aturan-aturan

8
pengungkapan yang di pelajari secara kultural. Karena kebanyakan interaksi
antar-manusia pada hakekatnya bersifat sosial, Kita harus memahami bahwa
perbedaan kultural dalam aturan pengungkapan ini berlaku dalam
kebanyakan, atau bahkan setiap kesempatan. Orang-orang dari latar belakang
budaya yang berbeda dapat, dan memang, mengekspresikan emosi secara
berbeda. Budaya juga mempengaruhi pelabelan emosi.
Ada yang dinamakan cultural differences in emotion antecedents
yakni jenis-jenis antecedent yang sama secara umum membawa jenis emosi
yang sama secara lintas budaya. Namun, perbedaan budaya tetap ada pada
berbagai kejadian antecedent yang membawa emosi. Contohnya adalah
kematian pada satu budaya diartikan sebagai kesedihan karena kehilangan
orang yang dicintai, tetapi pada budaya lain diartikan sebagai kebahagiaan
karena dipandang merupakan tujuan spiritual tertinggi. Ada juga yang disebut
cultural differences in emotion appraisal seperti di Amerika, atribut
kesedihan dimunculkan pada orang lain, sedangkan di Jepang ditampilkan
pada diri sendiri. Selain itu di Amerika juga lebih mengatribusi penyebab
kegembiraan, ketakutan, dan malu pada orang lain, sedangkan orang Jepang
memandangnya sebagai kesempatan atau takdir.
Cara satu budaya memahami dan mendefinisikan emosi tidak selalu
sama dengan budaya lain. Juga tidak semua budaya mempunyai kata emosi
misalnya suku Tahiti tidak mempunyai kata emosi. Jadi emosi dipahami
secara berbeda. Di negara AS emosi dipandang sebagai suatu yang unik,
yang tidak dapat dilihat tetapi dapat dibagi. Budaya lain yang menganggap
emosi di luar tubuh (seperti dalam hubungan sosial dengan orang lain),
adalah berbeda dengan budaya individualisme Amerika yang sangat personal.
Pada dasarnya sebagian kelompok yang terdiri dari berbagai kalangan
masyarakat mempunyai kebudayaannya masing-masing serta berbeda antara
satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sebagian dari kelompok
masyarakat tersebut memiliki sebuah kepercayaan luhur yang meyakini
bahwa kebudayaan yang mereka miliki merupakan kebudayaan yang
adiluhung. Kebudayaan adiluhung diartikan sebagai kebudayaan yang

9
bernilai tinggi, luhur, menjadi pedoman hidup, dan tidak boleh diabaikan
apalagi ditentang (Rahyono, 2009).
Di Indonesia sendiri terdapat begitu banyak kebudayaan dan etnis
yang tentunya banyak pula perbedaan stereotip emosinya. Budaya yang
berbeda menghasilkan konsep diri yang berbeda pada anggota – anggotanya
yang kemudian mempengaruhi semua aspek-aspek lain dari perilaku
individu. Juga menambahkan bahwa kekhasan suatu budaya dapat dilihat dari
proses marah yang terjadi pada masyarakatnya karena setiap budaya
memiliki nilai-nilai budaya dan aturan yang khas tentang cara individu dalam
budaya tersebut menghayati suatu stimulus yang memicu munculnya
kemarahan, dan cara mengekspresikan kemarahannya (Matsumoto dan
Juang, 2004 dalam David, Stephen F, 2008 21st Century Psychology: A
Reference Handbook. United States of America:Sage Publication Ltd).
Pemahaman melalui unsur kebudayaan sebagaimana yang telah kita
ketahui, kebudayaan selain memiliki tujuh unsur kebudayaan juga
mempunyai tiga aspek kebudayaan, yakni: (1) kebudayaan sebagai tata
kelakukan manusia; (2) kebudayaan sebagai kelakukan manusia; dan (3)
kebudayaan sebagai hasil kelakukan manusia. Berdasarkan pemahaman ilmu
tersebut, pembahasan mengenai sikap atau cara orang Jawa dalam
menyampaikan kemarahannya menempatkan diri pada aspek pertama dari
aspek kebudayaan tersebut. Selanjutnya, secara kongkrit aspek tata
kelakukan kebudayaan tersebut berupa cita-cita, norma, pandangan, hukum,
aturan, kepercayaan, sikap dan sebagainya, yang akan mendorong,
mengarahkan, dan mengendalikan kelakukan pendukungnya.
Secara teoritis, pandangan hidup masyarakat khususnya masyarakat
Jawa, dalam menyampaikan suatu tindakan kekecewaan seperti
mengungkapkan rasa “marah” cenderung lebih terkonsep rapi dibandingkan
dengan masyarakat lainnya, proses penyampaian yang dilakukan secara halus
dan bersifat tidak langsung dalam mengungkapkan kemarahan. (Franz
Magnis Suseno, 1988 : 46). Sehingga dalam kalangan tertentu bisa saja
menganggap bahwa sikap yang disampaikan tersebut bukan bentuk rasa

10
“marah”. Proses penyampain yang dilakukan secara halus dan bersifat tidak
langsung, ternyata membuka satu pemahaman baru mengenai sikap orang
Jawa dalam mengungkapkan kemarahan. Disebutkan juga bahwa sistem
emosi yang dimiliki manusia pada dasarnya terbentuk berdasarkan pengaruh
lingkungan di sekitarnya. Masyarakat atau kelomopok-kelompok tersebut
dalam hal ini masyarakat Jawa, memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa
kebudayaan yang mereka anut merupakan kebudayaan adiluhung yang
direpresentasikan kedalam berbagai macam bentuk hasil kebudayaan.
Dapat disimpulkan emosi memberi warna pada hidup. Pengalaman
emosional juga dapat menjadi motivator bagi perilaku. Ekspresi emosi juga
penting dalam komunikasi dan memainkan peran dalam interaksi sosial.
Tidak semua budaya di dunia memiliki kata yang merepresentasikan konsep
emosi dan konsep emosi yang ditunjukkannya pun tidak setara. Orang dari
budaya yang berbeda, juga berbeda dalam mengkategorikan atau melabeli
emosi. Budaya memiliki pengaruh yang besar pada bagaimana orang
mengalami emosi. Kebudayaan memiliki peran yang sangat penting dalam
membentuk emosi manusia begitu pula pendekatan yang harus dilakukan
juga sangat bergantung pada budaya masing – masing.

D. Teori Dasar marah


1. Teori Perkembangan Freud
a. Pandangan Teori Perkembangan Psikoanalisis menurut Freuds
Sigmund Freud mengemukakan bahwa kehidupan jiwa memiliki
tiga tingkat kesadaran, yakni sadar (conscious), prasadar
(preconscious), dan taksadar (unconscious). Topografi atau peta
kesadaran ini dipakai untuk mendiskripsi unsur kewaspadaan
(awareness) dalan setiap mental event seperti berfikir dan berfantasi.
Sampai dengan tahun 1920an, teori tentang konflik kejiwaan hanya
melibatkan ketiga unsur kesadaran itu. Baru pada tahun 1923 Freud
mengenalkan tiga model struktural yang lain, yakni id, ego, dan
superego. Struktur baru ini tidak mengganti struktur lama, tetapi

11
melengkapi/menyempurnakan gambaran mental terutama dalam fungsi
atau tujuannya. Tiga elemen pendukung struktur kepribadian itu adalah
sebagai berikut (Salkind, 2004):
1) Sadar (Conscious)
Tingkat kesadaran yang berisi semua hal yang kita cermati
pada saat tertentu. Menurut Freud, hanya sebagian kecil saja dari
kehidupan mental (fikiran, persepsi, perasaan dan ingatan) yang
masuk ke kesadaran (consciousness). Isi daerah sadar itu
merupakan basil proses penyaringan yang diatur oleh stimulus atau
cue-external. Isi-isi kesadaran itu hanya bertahan dalam waktu
yang singkat di daerah conscious, dan segera tertekan ke daerah
perconscious atau unconscious, begitu orang memindah
perhatiannya ke yang lain.
2) Prasadar (Preconscious)
Disebut juga ingatan siap (available memory), yakni tingkat
kesadaran yang menjadi jembatan antara sadar dan taksadar. Isi
preconscious berasal dari conscious dan clan unconscious.
Pengalaman yang ditinggal oleh perhatian, semula disadari tetapi
kemudian tidak lagi dicermati, akan ditekan pindah ke daerah
prasadar. Di sisi lain, isi materi daerah taksadar dapat muncul ke
daerah prasadar. Kalau sensor sadar menangkap bahaya yang bisa
timbul akibat kemunculan materi taksadar, materi itu akan ditekan
kembali ke ketidaksadaran. Materi taksadar yang sudah berada di
daerah prasadar itu bisa muncul kesadaran dalam bentuk simbolik,
seperti mimpi, lamunan, salah ucap, dan mekanisme pertahanan
diri.
3) Taksadar (Unconscious)
Taksadar adalah bagian yang paling dalam dari struktur
kesadaran dan menurut Freud merupakan bagian terpenting dari
jiwa manusia. Secara khusus Freud membuktikan bahwa
ketidaksadaran bukanlah abstraksi hipotetik tetapi itu adalah

12
kenyataan empirik. Ketidaksadaran itu berisi insting, impuls dan
drives yang dibawa dari lahir, dan pengalaman-pengalaman
traumatik (biasanya pada masa anak-anak) yang ditekan oleh
kesadaran dipindah ke daerah taksadar. Isi atau materi
ketidaksadaran itu memiliki kecenderungan kuat untuk bertahan
terus dalam ketidaksadaran, pengaruhnya dalam mengatur
tingkahlaku sangat kuat namun tetap tidak disadari. (Salkind, 2004)

Model perkembangan psikoanalisis dasar, yang terus-menerus


dimodifikasi oleh Freud selama 50 tahun terakhir hidupnya, terdiri atas
tiga komponen pokok: (1) satu komponen dinamik atau ekonomik yang
menggambarkan pikiran manusia sebagai sistem energi yang cair; (2)
satu komponen struktural atau topografik berupa sebuah sistem yang
memiliki tiga struktur psikologis berbeda tetapi saling berhubungan
dalam menghasilkan perilaku; dan (3) satu komponen sekuensial
(urutan) atau tahapan yang memastikan langkah maju dari satu tahap
perkembangan menuju tahap lainnya, yang terpusat pada daerah-daerah
tubuh yang sensitif, tugas-tugas perkembangan, dan konflik-konflik
psikologis tertentu. (Salkind,2004)

b. Komponen Struktural
1) Id (Das Es)
Id adalah sistem kepribadian yang asli, dibawa sejak lahir. Dari
id ini kemudian akan muncul ego dan superego. Saat dilahirkan, id
berisi semua aspek psikologik yang diturunkan, seperti insting,
impuls dan drives. Id berada dan beroperasi dalam daerah
unconscious, mewakili subjektivitas yang tidak pemah disadari
sepanjang usia. Id berhubungan erat dengan proses fisik untuk
mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk mengoperasikan
sistem dari struktur kepribadian lainnya.

13
Id beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure
principle), yaitu: berusaha memperoleh kenikmatan dan
menghindari rasa sakit. Bagi Id, kenikmatan adalah keadaan yang
relatif inaktif atau tingkat energi yang rendah, dan rasa sakit adalah
tegangan atau peningkatan energi yang mendambakan kepuasan.
Jadi ketika ada stimuli yang memicu energi untuk bekerja – timbul
tegangan energi – id beroperasi dengan prinsip kenikmatan;
berusaha mengurangi atau menghilangkan tegangan itu;
mengembalikan din ke tingkat energi yang rendah. Pleasure
principle diproses dengan dua cara, tindakan refleks (reflex
actions) dan proses primer (primary process). Tindakan refleks
adalah reaksi otomatis yang dibawa sejak lahir seperti
mengejapkan mata dipakai untuk menangani pemuasan rangsang
sederhana dan biasanya segera dapat dilakukan. Proses primer
adalah reaksi membayangkan/mengkhayal sesuatu yang dapat
mengurangi atau menghilangkan tegangan dipakai untuk
menangani stimulus kompleks, seperti bayi yang lapar
membayangkan makanan atau puting ibunya. Proses membentuk
gambaran objek yang dapat mengurangi tegangan, disebut
pemenuhan hasrat (nosh fullment), misalnya mimpi, lamunan, dan
halusinasi psikotik.
Id hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa mampu
membedakan khayalan itu dengan kenyataan yang benar-benar
memuaskan kebutuhan. Id tidak mampu menilai atau membedakan
benar-salah, tidak tabu moral. Jadi harus dikembangkan jalan
memperoleh khayalan itu secara nyata, yang memberi kepuasan
tanpa menimbulkan ketegangan baru khususnya masalah moral.
Alasan inilah yang kemudian membuat Id memunculkan ego
(Salkind, 2004).
2) Ego (Das Ich)

14
Ego berkembang dari id agar orang mampu menangani realita
sehingga ego beroperasi mengikuti prinsip realita (reality
principle), yaitu usaha memperoleh kepuasan yang dituntut Id
dengan mencegah terjadinya tegangan baru atau menunda
kenikmatan sampai ditemukan objek yang nyata-nyata dapat
memuaskan kebutuhan. Prinsip realita itu dikerjakan melalui
proses sekunder (secondary process), yakni berfikir realistik
menyusun rencana dan menguji apakah rencana itu menghasilkan
objek yang dimaksud. Proses pengujian itu disebut uji realita
(reality testing ; melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana
yang telah dipikirkan secara realistik). Dari cara kerjanya dapat
dipahami sebagian besar daerah operasi ego berada di daerah
kesadaran, namun ada sebagian kecil ego beroperasi di daerah
prasadar dan daerah taksadar.
Ego adalah eksekutif (pelaksana) dari kepribadian, yang
memiliki dua tugas utama; pertama, memilih stimuli mana yang
akan direspon dan atau insting mana yang akan dipuaskan sesuai
dengan prioritas kebutuhan. Kedua, menentukan kapan dan
bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan tersedianya
peluang yang resikonya minimal. Dengan kata lain, ego sebagai
eksekutif kepribadian berusaha memenuhi kebutuhan Id sekaligus
juga memenuhi kebutuhan moral dan kebutuhan berkembang-
mencapai kesempurnaan dan superego. Ego sesungguhnya bekerja
untuk memuaskan Id, karena itu ego yang tidak memiliki energi
sendiri akan memperoleh enegi dari Id (Salkind, 2004).
3) Superego (Das Ueber Ich)
Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian,
yang beroperasi memakai prinsip idealistik (idealistic principle),
sebagai lawan dari prinsip kepuasan Id dan prinsip realistik dari
Ego. Superego berkembang dari ego, dan seperti ego dia tidak
mempunyai energi sendiri. Sama dengan ego, superego beroperasi

15
di tiga daerah kesadaran. Namun berbeda dengan ego, dia tidak
mempunyai kontak dengan dunia luar (sama dengan Id) sehingga
kebutuhan kesempurnaan yang diperjuangkannya tidak realistik (Id
tidak realistik dalam memperjuangkan kenikmatan).
Prinsip idealistik mempunyai dua subprinsip, yakni conscience
dan ego-ideal. Superego pada hakekatnya merupakan elemen yang
mewakili nilai-nilai orang tua atau interpretasi orang tua mengenai
standar sosial, yang diajarkan kepada anak melalui berbagai
larangan dan perintah. Apapun tingkahlaku yang dilarang,
dianggap salah, dan dihukum oleh orang tua, akan diterima anak
menjadi suara hati (conscience), yang berisi apa saja yang tidak
boleh dilakukan. Apapun yang disetujui, dihadiahi dan dipuji orang
tua akan diterima menjadi standar kesempurnaan atau ego ideal,
yang berisi apa saja yang seharusnya dilakukan. Proses
mengembangkan konsensia dan ego ideal, yang berarti menerima
standar salah dan benar itu disebut introyeksi (introjection).
Sesudah terjadi introyeksi, kontrol pribadi akan mengganti kontrol
orang tua.
Superego bersifat nonrasional dalam menuntut kesempurnaan,
menghukum dengan keras kesalahan ego, baik yang telah
dilakukan maupun baru dalam fikiran. Super-ego juga seperti ego
dalam hal mengontrol id, bukan hanya menunda pemuasan tetapi
merintangi pemenuhannya. Paling tidak, ada 3 fungsi superego; (1)
mendorong ego menggantikan tujuan-tujuan realistik dengan
tujuan-tujuan moralistik, (2) merintangi impuls id, terutama impuls
seksual dan agresif yang bertentangan dengan standar nilai
masyarakat, dan (3) mengejar kesempurnaan.
Struktur kepribadian id-ego-superego itu bukan bagian-bagian
yang menjalankan kepribadian, tetapi itu adalah nama dalam
sistem struktur dan proses psikologik yang mengikuti prinsip-
prinsip tertentu. Biasanya sistem-sistem itu bekerja bersama

16
sebagai tim di bawah arahan ego. Baru kalau timbul konflik
diantara ketiga struktur itu, mungkin sekali muncul tingkah laku
abnormal. (Salkind, 2004)

c. Komponen Sekuensial
Bagian ketiga dan terakhir dari model Freud adalah komponen
tahapan atau komponen sekuensial (sequential or stage component).
Bagian ini menekankan pola atau gerak maju organisme melalui
tahapan-tahapan perkembangan yang berbeda dan semakin lama
semakin adaptif. Menurut Freud, pintu pertama menuju kematangan
adalah tahapan perkembangan genital, dimana terbentuk hubungan
yang berarti berlangsung terus menerus (Salkind, 2004).

d. Komponen Dinamik
Semangat (atau arah) perkembangan ilmiah dan intelektual pada
akhir abad ke-19 terpusat di sekitar kajian tentang energi dan Freud
menerapkan konsep energi tersebut terhadap perilaku manusia. Ia
menyebut energi ini sebagai energi psikis (psychic energy) atau energi
yang mengoperasikan berbagai komponen sistem psikologis. (Salkind,
2004)
Freud berpendapat bahwa insting (instincts) atau dorongan-
dorongan psikologis yang muncul tanpa dipelajari adalah sumber utama
energi psikis. Insting memiliki dua ciri khas yang sangat penting,
yakni: ciri konservatif (pelestarian) dan ciri repetitif (perulangan).
Maksudnya, insting selalu menggunakan sesedikit mungkin jumlah
energi yang di perlukan untuk melaksanakan aktivitas tertentu dan
kemudian mengembalikan organisme kepada keadaannya yang semula,
dan hal itu terjadi secara berulang-ulang. Dalam sistem Freud, insting
bertindak sebagai perangsang pikiran mendorong individu untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Insting juga bisa dipandang

17
sebagai gambaran psikologis dari proses biologis yang berlangsung.
(Salkind, 2004)

e. Teori Freud Sebagai Teori Psikoseksual


Menurut Freud, para bayi terlahir dengan kemampuan untuk
merasakan kenikmatan apabila terjadi kontak kulit, dan para bayi itu
memiliki semacam ketegangan di permukaan kulit mereka yang perlu
diredakan melalui kontak kulit secara langsung dengan orang lain.
Freud menyerupakan kenikmatan ini dengan rangsangan seksual tetapi
ia memberi catatan bahwa hal ini berbeda secara kualitatif dari tipe
rangsangan seksual yang dialami oleh orang dewasa karena kejadian
yang dialami bayi ini lebih bersifat umum dan belum terdiferensiasi.
Freud menyebut kemampuan untuk mengalami kenikmatan ini dan
kebutuhan untuk meredakannya dengan nama seksualitas bayi, yang
berbeda dari seksualitas orang dewasa.
Pandangan mengenai seksualitas bayi dan anak-anak ini memicu
protes luas orang-orang menentang Freud pada masa-masa akhir era
Victorian dan awal abad ke-20. Tetapi Freud dan para pengikutnya,
yang mendasarkan pendirian mereka pada pengalaman-pengalaman
klinis, bersikukuh pada teori tersebut. Mereka tetap berpegang pada
pandangan bahwa kornponen-komponen psikologis-eksperiensial saling
terkait dengan disertai pergantian zona-zona erogen secara biologis
melalui urutan (sekuen) tertentu. Dengan demikian tahapan-tahapan
perkembangan ini disebut sebagai tahapan-tahapan psikoseksual
(psychosexual stages). Teori Freud. memandang bahwa tahapan-
tahapan ini bersifat urniversal, berlaku pada sernua anak-anak dimana
saja.
Menurut Freud, kemunculan setiap tahapan psikoseksual dan
sebagian bentuk perilaku yang terjadi di setiap tahapan dikendalikan
oleh faktor-faktor genetik atau kematangan sedangkan isi tahapan-

18
tahapan tersebut berbeda-beda bergantung pada kultur tempat terjadinya
perkembangan. Sekali lagi ini memperlihatkan contoh mengenai
pentingnya interaksi antara kekuatan keturunan dan kekuatan
lingkungan bagi proses perkembangan.
Freud berpendapat bahwa dalam perkembangan manusia terdapat
dua hal pokok yaitu: (1) bahwa tahun-tahun awal kehidupan memegang
peranan penting bagi pembentukan kepribadian; dan (2) bahwa
perkembangan manusia meliputi tahap-tahap psikoseksual seperti
berikut ini, yaitu:
1) Tahap oral ( sejak lahir hingga 1 tahun )
Sumber kenikmatan pokok yang berasal dari mulut adalah
makan. Dua macam aktivitas oral ini, yaitu menelan makanan dan
mengigit, merupakan prototipe bagi banyak ciri karakter yang
berkembang di kemudian hari. Karena tahap oral ini berlangsung
pada saat bayi sama sekali tergantung pada ibunya untuk
memdapatkan makanan, pada saat dibuai, dirawat dan dilindungi
dari perasaan yang tidak menyenangkan, maka timbul perasaan-
perasaan tergantung pada masa ini. Frued berpendapat bahwa
simtom ketergantungan yang paling ekstrem adalah keinginan
kembali ke dalam rahim.
2) Tahap anal ( usia 1-3 tahun )
Setelah makanan dicernakan, maka sisa makanan menumpuk
di ujung bawah dari usus dan secara refleks akan dilepaskan keluar
apabila tekanan pada otot lingkar dubur mencapai taraf tertentu.
Pada umur dua tahun anak mendapatkan pengalaman pertama yang
menentukan tentang pengaturan atas suatu impuls instingtual oleh
pihak luar. Pembiasaan akan kebersihan ini dapat mempunyai
pengaruh yang sangat luas terhadap pembentukan sifat-sifat dan
nilai-nilai khusus. Sifat-sifat kepribadian lain yang tak terbilang
jumlahnya konon sumber akarnya terbentuk dalam tahap anal.
3) Tahap phalik ( usia 3-5 tahun)

19
Selama tahap perkembangan kepribadian ini yang menjadi
pusat dinamika adalah perasaan-perasaan seksual dan agresif
berkaitan dengan mulai berfungsinya organ-organ genetikal.
Kenikmatan masturbasi serta kehidupan fantasi anak yang
menyertai aktivitas auto-erotik membuka jalan bagi timbulnya
kompleks Oedipus. Freud memandang keberhasilan
mengidentifikasikan kompleks Oedipus sebagai salah satu temuan
besarnya.
Freud mengasumsikan bahwa setiap orang secara inheren
adalah biseksual, setiap jenis tertarik pada anggota sejenis maupun
pada anggota lawan jenis. Asumsi tentang biseksualitas ini
disokong oleh penelitian terhadap kelenjar-kelenjar endokrin yang
secara agak konklusif menunjukkan bahwa baik hormon seks
perempuan terdapat pada masing-masing jenis. Timbul dan
berkembangnya kompleks Oedipus dan kompleks kastrasi
merupakan peristiwa-peristiwa pokok selama masa phalik dan
meninggalkan serangkaian bekas dalam kepribadian.
4) Tahap laten ( usia 5 – awal pubertas)
Masa ini adlah periode tertahannya dorongan-dorongan seks
agresif. Selama masa ini anak mengembangkan kemampuannya
bersublimasi ( seperti mengerjakan tugas-tugas sekolah, bermain
olah raga, dan kegiatan lainya). Tahapan latensi ini antara usia 6-12
tahun (masa sekolah dasar)
5) Tahap genital/kelamin ( masa remaja)
Kateksis-kateksis dari masa-masa pragenital bersifat
narsisistik. Hal ini berarti bahwa individu mendapatkan kepuasan
dari stimulasi dan manipulasi tubuhnya sendiri sedangkan orang-
orang lain dikateksis hanya karena membantu memberikan bentuk-
bentuk tambahan kenikmatan tubuh bagi anak. Selama masa
adolesen, sebagian dari cinta diri atau narsisisme ini disalurkan ke
pilihan-pilihan objek yang sebenarnya.

20
Kateksis-kateksis pada tahap-tahap oral, anal, dan phalik lebur
dan di sistensiskan dengan impuls-impuls genital. Fungsi biologis
pokok dari tahap genital tujuan ini dengan memberikan stabilitas
dan keamanan sampai batas tertentu.
2. Teori Erik Erikson
a. Struktur Kepribadian
Erikson (Alwisol, 2009:85-88) menyatakan bahwa struktur
kepribadian manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Ego Kreatif
Ego kreatif adalah ego yang dapat menemukan pemecahan
kreativitas atas masalah baru pada setiap tahap kehidupan. Apabila
menemukan hambatan atau konflik pada suatu fase, ego tidak
menyerah tetapi bereaksi dengan menggunakan kombinasi antara
kesiapan batin dan kesempatan yang disediakan lingkungan. Ego
yg sempurna memiliki 3 dimensi, yaitu faktualisasi, universalitas
dan aktualitas.
a) Faktualisasi adalah kumpulan sumber data dan fakta serta
metode yang dapat dicocokkan atau diverifikasi dengan metode
yang sedang digunakan pada suatu peristiwa. Dalam hal ini,
ego berisikan kumpulan hasil interaksi individu dengan
lingkungannya yang dikemas dalam bentuk data dan fakta.
b) Universalitas adalah dimensi yang mirip dengan prinsip realita
yang dikemukakan oleh Freud. Dimensi ini berkaitan dengan
sens of reality yang menggabungkan pandangan semesta/alam
dengan sesuatu yang dianggap konkrit dan praktis.
c) Aktualitas adalah metode baru yang digunakan oleh individu
untuk berhubungan dengan orang lain demi mencapai tujuan
bersama. Dalam hal ini, ego merupakan realitas masa kini yang
berusaha mengembangankan cara baru untuk dapat
memecahkan masalah yang dihadapi, menjadi lebih efektif,
progresif, dan prospektif.

21
Erikson (Alwisol, 2009:86) berpendapat bahwa sebagian ego
yang ada pada individu bersifat tak sadar, mengorganisir
pengalaman yang terjadi pada masa lalu dan pengalaman yang
akan terjadi pada masa mendatang. Dalam hal ini, Erikson
menemukan tiga aspek yang saling berhubungan, yaitu body ego,
ego ideal dan ego identity, yang umumnya akan mengalami
perkembangan pesat pada masa dewasa meskipun ketiga aspek
tersebut terjadi pada setiap fase kehidupan.
a) Body ego merupakan suatu pengalam individu terkait dengan
tubuh atau fisiknya sendiri. Individu cenderung akan melihat
fisiknya berbeda dengan fisik tubuh orang lain.
b) Ego ideal merupakan suatu gambaran terkait dengan konsep
diri yang sempurna. Individu cenderung akan berimajinasi
untuk memiliki konsep ego yang lebih ideal dibanding dengan
orang lain.
c) Ego identity merupakan gambaran yang dimiliki individu
terkait dengan diri yang melakukan peran sosial pada
lingkungan tertentu.

2) Ego Otonomi Fungsional


Ego otonomi fungsional adalah ego yang berfokus pada
penyesuaian ego terhadap realita. Contohnya yaitu hubungan ibu
dan anak. Meskipun Erikson sependapat dengan Freud mengenai
hubungan ibu dan anak mampu memengaruhi serta menjadi hal
terpenting dari perkembangan kepribadian anak, tetapi Erikson
tidak membatasi teori teori hubungan id-ego dalam bentuk usaha
memuaskan kebutuhan id oleh ego. Erikson (Alwisol, 2009:86)
menganggap bahwa proses pemberian makanan pada bayi
merupakan model interaksi sosial antara bayi dengan lingkungan
sosialnya.

22
Lapar adalah menifestasi biologis, dan konsekuensinya akan
menimbulkan kesan terhadap dunia luar bayi ketika mendapat
pemuasan id yang dilakukan oleh ibu. Bayi belajar untuk
mengantisipasi interaksi dalam bentuk basic trust pada saat diberi
makan oleh ibunya. Basic trust yang dimaksud yaitu suatu
kepercayaan dasar anak yang memandang kontak dengan manusia
dan dunia luar adalah hal yang sangat menyenangkan karena pada
masa lalu (bayi) hubungan tersebut menimbulkan rasa aman dan
menyenangkan terhadap dirinya.

3) Pengaruh Masyarakat
Pengaruh masyarakat adalah pembentuk bagian tersebesar ego,
mesikipun kapasitas yang dibawa sejak lahir oleh individu juga
penting dalam perkembangan kepribadian. Erikson mengemukakan
faktor yang memengaruhi kepribadian yang berbeda dengan Freud.
Meskipun Freud menyatakan bahwa kepribadian dipengaruhi oleh
biologikal, Erikson memandang kepribadian dipengaruhi oleh
faktor sosial dan historikal. Erikson (Alwisol, 2009:88)
menyatakan bahwa potensi yang dimiliki individu adalah ego yang
muncul bersama kelahiran dan harus ditegakkan dalam lingkungan
budaya. Anak yang diasuh dalam budaya masyakarat berbeda,
cenderung akan membentuk kepribadian yang sesuai dengan nilai-
nilai dan kebutuhan budaya sendiri.

b. Dinamika Kepribadian
Feist dan Feist (2008, 215-217) menyatakan bahwa perwujudan
dinamika kepribadian adalah hasil interaksi antara kebutuhan biologis
yang mendasar dan pengungkapannya melalui tindakan-tindakan
sosial. Hal ini berarti bahwa perkembangan kehidupan individu dari
bayi hingga dewasa umumnya dipengaruhi oleh hasil interaksi sosial
dengan individu lainnya sehingga membuat individu menjadi matang

23
baik secara fisik maupun secara psikologis. Erikson (Alwisol, 2009:87)
menyatakan bahwa ego adalah sumber kesadaran diri indvidu. Ego
mengembangkan perasaan yang berkelanjutan diri antara masa lalu
dengan masa yang akan datang selama proses penyesuaian diri dengan
realita.
Friedman dan Schustack (2006, 156) mengemukakan bahwa ego
berkembang mengikuti tahap epigenik, artinya tiap bagian dari ego
berkembang pada tahap perkembangan tertentu dalam rentang waktu
tertentu. Menurutnya, semua yg berkembang mempunyai rencana
dasar, dan dari perencanaan ini muncul bagian-bagian, masing-masing
bagian mempunya waktu khusus utk menjadi pusat perkembangan,
sampai semua bagian muncul untuk membentuk keseluruhan fungsi.

c. Tahap Perkembangan
Teori psikososial dari Erik Erikson meliputi delapan tahap yang
saling berurutan sepanjang hidup. Hasil dari tiap tahap bergantung
pada hasil tahapan sebelumnya, dan resolusi yang sukses dari tiap
krisis ego adalah pentingnya bagi individu untuk dapat tumbuh secara
optimal. Ego harus mengembangkan kesanggupan yang berbeda untuk
mengatasi tiap tuntutan penyesuaian dari masyarakat (Berk,
2003).Berikut adalah delapan tahapan perkembangan psikososial
menurut Erik Erikson (Berk, 2003):
1) Tahap I : Trust versus Mistrust (0-1 tahun)
Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan
pengasuhan dan kehangatan, jika ibu berhasil memenuhi kebutuhan
anaknya, sang anak akan mengembangkan kemampuan untuk
dapat mempercayai dan mengembangkan asa (hope). Jika krisis
ego ini tidak pernah terselesaikan, individu tersebut akan
mengalami kesulitan dalam membentuk rasa percaya dengan orang
lain sepanjang hidupnya, selalu meyakinkan dirinya bahwa orang
lain berusaha mengambil keuntungan dari dirinya.

24
2) Tahap II: Autonomy versus Shame and Doubt (l-3 tahun)
Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki
kontrol atas tubuhnya. Orang tua seharusnya menuntun anaknya,
mengajarkannya untuk mengontrol keinginan atau impuls-
impulsnya, namun tidak dengan perlakuan yang kasar. Mereka
melatih kehendak, tepatnya otonomi. Harapan idealnya, anak bisa
belajar menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial tanpa
banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi,
inilah resolusi yang diharapkan. Alwisol (2009:93) melanjutkan
bahwa apabila anak tidak berhasil melewati fase ini, maka anak
tidak akan memiliki inisiatif yang dibutuhkan pada tahap
berikutnya dan akan mengalami hambatan terus-menerus pada
tahap selanjutnya.
3) Tahap III : Initiative versus Guilt (3-6 tahun)
Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan
dan melaksanakan tindakannya. Resolusi yang tidak berhasil dari
tahapan ini akan membuat sang anak takut mengambil inisiatif atau
membuat keputusan karena takut berbuat salah. Anak memiliki
rasa percaya diri yang rendah dan tidak mau mengembangkan
harapan-harapan ketika ia dewasa. Bila anak berhasil melewati
masa ini dengan baik, maka keterampilan ego yang diperoleh
adalah memiliki tujuan dalam hidupnya.
4) Tahap IV: Industry versus Inferiority (6-12 tahun)
Pada saat ini, anak-anak belajar untuk memperoleh
kesenangan dan kepuasan dari menyelesaikan tugas khususnya
tugas-tugas akademik. Penyelesaian yang sukses pada tahapan ini
akan menciptakan anak yang dapat memecahkan masalah dan
bangga akan prestasi yang diperoleh. Keterampilan ego yang
diperoleh adalah kompetensi. Di sisi lain, anak yang tidak mampu
untuk menemukan solusi positif dan tidak mampu mencapai apa
yang diraih teman-teman sebaya akan merasa inferior.

25
5) Tahap V : Identity versus Identity Confusion (12-20 tahun)
Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa
biologis seperti orang dewasa sehingga tampak adanya
kontraindikasi bahwa di lain pihak anak dianggap dewasa tetapi di
sisi lain dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa
stansarisasi diri yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual,
umur dan kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber perlindungan
dan nilai utama mulai menurun. Adapun peran kelompok atau
teman sebaya tinggi. Apabila anak tidak sukses pada fase ini, maka
akan membuat anak mengalami krisis identitas, begitupun
sebaliknya.
6) Tahap VI: Intimacy versus Isolation (masa dewasa muda, 20-30
tahun)
Dalam tahap ini, orang dewasa muda mempelajari cara
berinteraksi dengan orang lain secara lebih mendalam.
Ketidakmampuan untuk membentuk ikatan sosial yang kuat akan
menciptakan rasa kesepian. Bila individu berhasil mengatasi krisis
ini, maka keterampilan ego yang diperoleh adalah cinta.
7) Tahap VII: Generativity versus Stagnation (masa dewasa
menengah, 30-65 tahun)
Pada tahap ini, individu memberikan sesuatu kepada dunia
sebagai balasan dari apa yang telah dunia berikan untuk dirinya,
juga melakukan sesuatu yang dapat memastikan kelangsungan
generasi penerus di masa depan. Ketidakmampuan untuk memiliki
pandangan generatif akan menciptakan perasaan bahwa hidup ini
tidak berharga dan membosankan. Bila individu berhasil mengatasi
krisis pada masa ini maka ketrampilan ego yang dimiliki adalah
perhatian, sedangkan bila individu tidak sukses melewatinya maka
akan merasa bahwa hidupnya tidak berarti.
8) Tahap VIII: Ego Integrity versus Despair (masa dewasa akhir, 65
tahun ke atas)

26
Pada tahap usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat
kembali masa lalu dan melihat makna, ketentraman dan integritas.
Refleksi ke masa lalu itu terasa menyenangkan dan pencarian saat
ini adalah untuk mengintegrasikan tujuan hidup yang telah dikejar
selama bertahun-tahun. Apabila individu sukses melewati faase ini
maka akan timbul perasaan puas akan diri, sedangkan apabila
mengalami kegagalan dalam melewati tahapan ini akan
menyebabkan munculnya rasa putus asa.
3. Teori Kepribadian Piaget
Piaget menyatakan bahwa interaksi dari kematangan organisme dan
pengaruh lingkungan, keduanya berpengaruh terhadap perkembangan
kognitif seseorang. Perkembangan kognitif sendiri mempunyai empat
aspek, yaitu: 1) kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf;
2) pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan
dunianya; 3) interaksi sosial, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh
dalam hubungannya dengan lingkungan social, dan 4) ekullibrasi, yaitu
adanya kemampuan atau system mengatur dalam diri organisme agar
mampu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap
lingkungannya (Santrock, 2002).
Empat periode perkembangan kepribadian dan kognitif menurut Jean
Piaget (1896-1980), yaitu :
a. Periode sensorik-motorik ( 0 – 2 tahun )
b. Periode pra-operasional ( 2 – 7 tahun )
c. Periode operasional konkret ( 7 – 11 tahun )
d. Periode opersional formal ( 11 – dewasa )
Perlu diingat, sebelum tuntasnya suatu tahap, seseorang tidak dapat
berlanjut (melompat) ke tahap berikutnya, atau mengalami gangguan
dalam tahap berikutnya. Proses dalam setiap tahap melibatkan pengaruh
lingkungan yang cukup besar, hal itu dapat mempengaruhi lamanya
seseorang berada dalam tahap tersebut. Bisa saja seorang anak akan

27
mengalami tahap praoperasional lebih lama dari pada anak yang lainnya
sehingga umur bukanlah patokan utama (Boeree, 2008).
a. Tahap Sensorik-Motorik ( 0-2 tahun )
Bayi beranjak dari tindakan refleks naruliah sejak kelahiran
hingga permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun suatu
pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-
pengalaman sensor dan tindakan fisik. Di usia antara 1 sampai 4
bulan, seorang bayi mengandalkan reaksi sirkular primer, tindakan
atau gerakan yang ia buat sebagai respon dari tindakan sebelumnya
dengan bentuk yang sama (Santrock, 2002).
Di usia 4 sampai 12 bulan, bayi beralih pada rekasi sirkular
sekunder, yang berisi tindakan-tindakan yang berusaha terlibat
dengan lingkungan sekitar. Dia akan berusaha meniup-niup boneka
bebeknya. Kejadian ini sangat menyenangkannya, lalu dia akan
mengulanginya lagi dan lagi.
Selanjutnya, di usia 12 sampai 24 bulan, anak-anak
mempergunakan sirkular tersier. Reksi ini masih berisi lingkaran
“mempertahankan hal-hal yang menarik”, akan tetapi dengan variasi
yang relative lebih tetap (Boeree, 2008).
Ketika seorang bayi berusia satu setengah tahun, maka dia
sedang mengalami perkembangan representasi mental, yaitu
kemampuan mempertahankan citraan dalam pikirannya untuk jangka
waktu yang lebih lama daripada sekedar periode pengalaman
langsung ketika mencerap sesuatu yang ada di depannya.
b. Tahap Pra-Operasional ( 2 - 7 tahun )
Pada tahap pra-operasional, anak mulai melukiskan dunia
dengan kata-kata dan gambar-gambar; kata-kata dan gambar-gambar
ini mencerminkan meningkatnya pemikiran simbolis dan melampaui
hubungan informasi sensor dan tindakan fisik. Di tahap ini, dia telah
memilki representasi-representasi mental dan memiliki pertimbangan
yang lebih baik (Santrock, 2002).

28
Simbol adalah sesuatu yang mempresentasikan sesuatu yang
lain. Sebuah gambar, sebuah kata yang tertulis atau kata yang
diucapkan akan dipahami sebagai representasi dari sesuatu yang lain.
Seiring dengan kemampuan mempergunakan simbol ini, pemahaman
tentang masa lalu dan masa yang akan datang pun semakin jelas.
Perlu diingat bahwa pada tahap ini, anak-anak bersifat sangat
egosentris, artinya dia cenderung hanya melihat sesuatu dari satu
sudut pandang, yaitu sudut pandangnya sendiri (Boeree, 2008).
c. Tahap Oprasional Konkret ( 7 – 11 tahun )
Kata oprasi merujuk pada cara kerja atau prinsip-prinsip
logika yang kita gunakan dalam memecahkan sebuah persoalan.
Pada tahap ini anak dapat berfikir seara logis tentang peristiwa yang
konkrit dan mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-
bentuk yang berbeda (Santrock, 2002).
Saat berusia 6 atau 7 tahun, sebagian besar anak telah
memiliki kemampuan untuk mempertahankan ingatan tentang
ukuran, panjang atau jumlah benda cair. Maksud ingatan yang
dipertahankan disini adalah gagasan bahwa satu kuantitas akan tetap
sama walaupun penampakan luarnya terlihat berubah (Boeree, 2008).
Diusia 7 atau 8 tahun, seorang anak akan mengembangkan
kemampuan mempertahankan ingatan tentang substansi. Diusia 9
atau 10 tahun, kemampuan terkahir dalam mempertahankan
kemampuan mulai diasah yaitu ingatan tentang ruang. Dalam tahap
ini seorang anak juga belajar melakukan pemilahan (classification)
dan pengurutan (seriation) (Boeree, 2008). Proses-proses penting
selama tahapan operasional konkrit yang terjadi adalah :
1) Pengurutan
Pengurutan merupakan kemampuan untuk mengurutan
objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila
diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya
dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.

29
2) Klasifikasi
Klasifikasi merupakan kemampuan untuk memberi nama
dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya,
ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa
serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke
dalam rangkaian tersebut.
3) Decentering
Anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu
permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak
tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih
sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
4) Reversibility
Anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda
dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu,
anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan
8, dan 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
5) Konservasi
Anak memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah
benda-benda tidak berhubungan dengan pengaturan atau
tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh,
bila anak diberi cangkir berisi air, mereka akan tahu bila air
dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas
itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir sebelumnya.
6) Penghilangan sifat Egosentrisme
Kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang
orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang
salah). Sebagai contoh, Siti menyimpan boneka di dalam kotak,
lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan
boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke
ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan
bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam

30
kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan
ke dalam laci oleh Ujang.

d. Tahap Oprasional Formal ( 11 tahun - dewasa )


Anak telah memasuki masa remaja dan berfikir dengan cara
yang lebih abstrak, logis, dan lebih idealis. Pada tahap sebelumnya,
anak-anak yang berada dalam tahap oprasi konkret masih mengalami
kesulitan menerapkan kemampuan logika yang baru dikuasainya
terhadap peristiwa-peristiwa yang abstrak atau tidak konkret. Di
tahap operasional formal, seorang anak semakin memiliki
kemampuan untuk berpikir seperti orang dewasa. Tahap ini
mencakup kematangan prinsip-prinsip logika dan menggunakannya
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan abstrak. Kita sering
menyebutnya dengan pemikiran hipotetik (Boeree, 2008).

4. Teori Hubungan Kepribadian Dengan Marah


Kepribadian adalah ciri, karakteristik, gaya atau sifat-sifat yang
memang khas dikaitkan dengan diri kita. Dapat dikatakan bahwa
kepribadian itu bersumber dari bentukan-bentukan yang kita terima dari
lingkungan, misalnya bentukan dari keluarga pada masa kecil kita dan
juga bawaan-bawaan yang dibawa sejak lahir. Jadi yang disebut
kepribadian itu sebetulnya adalah campuran dari hal-hal yang bersifat
psikologis, kejiwaan dan juga yang bersifat fisik.
a. Tipe Kepribadian
Dalam ilmu psikologi, dikenal teori 4 tipe kepribadian. Teori ini
dikenalkan pertama kali oleh Galen, seorang ahli fisiologi yang hidup
pada abad ke-2 Masehi. Walaupun tipe ini dianggap kuno, tetapi masih
digunakan oleh psikolog-psikolog di jaman modern ini. Tipe-tipe
tersebut adalah Kholeris, Sanguinis, Melankolis dan Plegmatis. Dari 4
tipe kepribadin ini, tiap orang mempunyai kombinasi dari dua
kepribadian. Umumnya salah satunya lebih dominan, kadang juga

31
keduanya seimbang. Bila hanya 1 dari tipe kepribadian, maka dapat
dikatakan tipe kepribadian sejati. Misalnya Sanguinis sejati. Sanguin
dan koleris bisa berkombinasi secara alami karena keduanya
ekstrovert, optimis dan terus terang. Kombinasi ini menghasilkan
individu.
1) Kholeris
Kekuatan: Tipe ini berbakat menjadi pemimpin. Suka berprestasi
dan mengorganisasikan. Hidupnya berorientasi pada tujuan, aktif
dan dinamis.. Berkemauan keras dan tidak mudah putus asa. Tidak
menyukai air mata dan emosi. Bebas dan mandiri. Dalam bekerja,
suka yang serba teratur dan mencari pemecahan praktis. Mau
melakukan tugas yang sulit dan suka ditantang. Bisa
mendelagasikan pekerjaan dan mau bekerja untuk kegiatan
kelompok . Bergerak cepat untuk bertindak sehingga unggul
dalam keadaan darurat.
Kelemahan: Orang bertipe koleris terlalu bersemangat, suka
memerintah dan tidak sabaran, keras kepala dan kaku. Menyukai
kontroversi dan pertengkaran, tidak mau menyerah kalau kalah.
Tidak simpatik/kurang peka terhadap perasaan orang lain. Suka
merasa benar sendiri. Mendominasi orang lain Dalam bekerja,
termasuk pecandu kerja, menuntut loyalitas dan penghargaan
bawahan. Bisa kasar atau taktis. Mngharapkan pengakuan atas
prestasinya.
2) Sanguinis
Kekuatan: Kepribadian yang menyenangkan, ceria, supel, suka
bicara dan bercerita. Punya selera humor yang baik. Emosional dan
demonstratif. Antusias dan ekspresif. Optimis, Penuh rasa ingin
tahu. Berhati tulus, tidak menyimpan dendam dan cepat meminta
maaf. Menyukai kegiatan spontan. Dalam bekerja, mengajukan diri
secara sukarela untuk bekerja, mengilhami orang lain untuk
bergabung dan dapat mempesona orang lain untuk bekerja.

32
Kelemahan: Mendominasi percakapan dan suka membesar-
besarkan, egoistis, suka mengeluh, kekanak-kanakan, tidak pernah
dewasa. Mudah marah/emosional. Sensitif terhadap yang dikatakan
orang tentang dirinya. Melupakan kewajiban. Keyakinan cepat
luntur, tidak disiplin, mudah teralihkan perhatiannya. Benci
sendirian. Tidak tetap/mudah berubah dan pelupa. Pandai berdalih.
Suka mencari perhatian, sorotan dan kasih sayang, dukungan dan
penerimaan orang di sekelilingnya. Memutuskan dengan perasaan.

3) Melankolis (Perfeksionis)
Kekuatan: Perfeksionis, standar tinggi. Cenderung diam dan
pemikir sehingga membutuhkan ruang dan ketenangan supaya bisa
berpikir dan melakukan sesuatu. Serius dan bertujuan. Analitis.
Berbakat dan kreatif. Berfilsafat dan puitis. Bijaksana, Idealis.
Menghargai keindahan. Sensitif kepada orang lain. Berteman
dengan hati-hati. Puas ada di belakang layar. Menghindari
perhatian. Setia dan mengabdi. Mau mendengarkan keluhan dan
mudah terharu. Dalam bekerja: suka keteraturan. Serba tertib dan
hati-hati. Rapi dalam perencanaan, hemat.
Kelemahan: Mengingat yang negatif dan menikmati sakit hati.
Citra diri rendah dan merendahkan diri sendiri. Standar suka terlalu
tinggi. Sangat memerlukan persetujuan. Mementingkan diri
sendiri. Terlalu instropektif. Tertekan karena ketidaksempurnaan.
Tidak aman secara sosial. Menarik diri dan menjauh. Suka
mengkritik orang lain. Tidak menyukai yang menentang.
Mencurigai orang lain, pendendam. Tidak mudah memaafkan dan
penuh kontradiksi. Dalam kerjaan : suka memilih pekerjaan sulit.
suka ragu-ragu dan melewatkan banyak waktu.

4) Phlegmatis

33
Kekuatan: Kadang tipe ini dipandang sebagai orang yang lamban.
Sebenarnya bukan karena ia kurang cerdas, tapi justru karena ia
lebih cerdas dari yang lain. Mudah bergaul dan santai. Mudah
diajak rukun dan menyenangkan. Tenang, teguh, sabar dan
seimbang. Hidup konsisten. Tidak banyak cakap tetapi bijaksana.
Simpatik dan baik hati. Menyembunyikan emosi. Hidupnya penuh
tujuan. Tidak suka mempersoalkan hal sepele. Punya banyak akal
dan bisa mengucapkan kata-kata yang tepat di saat yang tepat.
Pendengar yang baik, memiliki rasa humor yang tajam. Suka
mengawasi orang lain. Berbelas kasihan dan peduli. Dalam
bekerja: cakap dan mantap, dapat menengahi masalah.
Menghindari pertikaian. Menemukan cara yang mudah. Baik
dibawah tekanan.
Kelemahan: Terlalu pemalu dan tidak banyak bicara. Tidak suka
keramaian. Suka takut dan kawatir. Mementingkan diri sendiri dan
suka merasa benar sendiri. Tidak antusias. Suka menilai orang lain.
Suka menunda-nunda sesuatu. Kurang disiplin dan motivasi diri.
Malas dan tidak peduli. Membuat orang lain merosot semangatnya.
Lebih suka menonton. Tidak suka tantangan/resiko. Terlalu suka
kompromi. Perlu waktu untuk menerima perubahan. Tidak suka
didesak-desak.

Kemudian Ernst Kretschmer (1888-1964) dalam bukunya


"Physique and Character" membagi kepribadian atau tempramen atas 4
tipe:
1) Tipe astenik.
Tipe ini mempunyai ciri kurus, lurus, tubuh lemah, sulit
bertumbuh, dan cenderung kepada schizophrenia.
2) Tipe atletis.

34
Ciri-ciri tipe ini, orangnya tinggi, besar, dadanya bidang, kekar,
dan postur tubuh yang meruncing ke bawah. Secara kejiwaan,
orang ini mempunyai potensi schizothymic.
3) Tipe piknik.
Tubuhnya cenderung melebar, lembut, gemuk bulat dan berlemak.
Kretschmer mengidentifikasikan tipe dengan cycloid atau manic-
depressive, suatu temperamen yang berubah-ubah, kadang senang,
kadang murung.
4) Tipe displastik. Tipe yang lain dari ketiga tipe di atas.
William Sheldon yang menulis buku "The Varieties of
Temperament" (1942), juga memberi perhatian kepada bentuk
tubuh. Ia memusatkan perhatian pada penelitiannya tentang
meticulous yang disebutnya sebagai somatotyping. Sikap dan
tingkah lakunya diduga menyesuaikan diri dengan bentuk
tubuhnya. Ia membagi tipe kepribadian menjadi tiga bagian:
a) Endomorphy.
Dari segi fisik, pencernaannya baik, namun otot-ototnya lemah.
Karena itu tubuhnya cenderung gemuk. Tipe ini lamban, senang
memanjakan tubuhnya, suka makan (apalagi kalau bersama kawan-
kawan), orangnya mudah dan sangat bersahabat, dan merasa puas
selalu.
b) Mesontorphy.
Orang tipe ini memiliki tubuh yang kekar, langkahnya tegap,
senang menguasai karena memang dia punya kekuatan, suka
terhadap hal-hal yang beresiko berbahaya. Ia mempunyai arah
yang tegas dan jelas, punya keberanian untuk bertempur. Sifat
ekstrovertnya sangat menonjol.
c) Ectomorphy.
Tipe ini ditandai dengan ketenangan. Postur tubuh dan gerak yang
kaku. Perasaannya sangat peka. Sifatnya sangat tertutup.

35
Pada tahun 1971, C.G. Jung menulis sebuah buku yang berjudul
"Psychological Types". Ia membagi kepribadian itu atas introvert dan
extrovert. Kedua tipe itu ditandai dengan sikap seseorang terhadap
obyek. Seorang yang introvert pada dasarnya selalu ingin melarikan
diri dari obyek, seakan-akan obyek itu harus dicegah agar tidak
menguasainya. Sebaliknya, orang yang ekstrovert mempunyai sikap
yang positif terhadap obyek. Dialah yang menguasai obyek itu.
Kelihatannya pembagian Jung itu terlalu sederhana. Tetapi sebetulnya
Jung mengklasifikasikan kedua tipe itu ke dalam delapan subtipe,
sehingga terkesan rumit. Tipe tersebut adalah :
1) Tipe pemikir ekstrovert.
Setiap aktivitas orang tipe ini tidak lepas dari kesimpulan-
kesimpulan yang bersifat intelektual yang didasarkan pada data
obyektif.
2) Tipe perasa ekstrovert.
Orang ini sebelum bertindak, perasaannya itu harus pas dulu. Jung
memasukkan kaum wanita ke dalam tipe ini.
3) Tipe sensasi ekstrovert.
Bagi dia, segala sesuatu harus benar dan berorientasi pada
kesenangan yang konkrit, tidak berlebihan, hukum itu harus
dipatuhi. Orang tipe ini tidak mementingkan diri sendiri, dan rela
berkorban demi kepentingan orang lain.
4) Tipe intuitif ekstrovert.
Orang ini tidak akan ditemukan dalam dunia yang memiliki nilai
realitas yang dapat diterima. Ia tidak puas dengan apa yang ada. Ia
selalu menyelidiki sesuatu dan berbuat sesuatu yang baru.
5) Tipe pemikir introvert.
Orang ini terlalu membatasi diri dengan pikiran dan pendapatnya
sendiri. Ia bisa berpikir kritis, tetapi sering subyektif.
6) Tipe perasa introvert.

36
Orangnya tenang, sulit didekati, sukar mengerti dan kurang
tanggap terhadap perasaan orang lain.
7) Tipe sensasi introvert.
Dia selalu berorientasi pada peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan
bukan pada penilaian yang masuk akal.
8) Tipe intuitif introvert.
Tipe ini sangat senang dengan hal-hal yang berbau mistik, bahkan
ia bisa menjadi peramal atau seniman yang aneh.

Pembagian Jung ini disempurnakan lebih lanjut oleh Isabel Briggs


Myers dalam bukunya "Gifts Differing". Dia membagi ke delapan tipe
Jung menjadi dua sub tipe yang menyangkut penilaian dan
pemahaman. Dialah yang menemukan tipe Myers.

5. Teori Hubungan Kognitif dan Marah


a. Proses Kognitif
Kognitif/kognisi adalah proses yang meliputi memori, perhatian,
bahasa, problem solving, dan perencanaan. Hubungan antara emosi
dengan kognisi telah menjadi hal yang menarik para psikolog untuk
diselidiki lebih lanjut. Selama lebih dari dua dekade, para psikolog
mempercayai adanya hubungan antara emosi dengan kognisi (Artini
dkk, 2013).
Intelegensi emosional adalah suatu kemampuan seseorang untuk
mengidentifikasi emosi yang dialami oleh diri sendiri dan orang lain
dengan akurat, atau kemampuan mengekspresikan emosi dengan tepat,
dan kemampuan mengatur emosi pada diri sendiri dan orang lain
(Chaplin, 1981).
Orang yang memiliki intelegensi emosional (EQ) yang tinggi
mampu menggunakan emosi mereka untuk meningkatkan motivasi
mereka, menstimulasi pemikiran yang kreatif, dan mengembangkan
empati terhadap orang lain. Orang-orang yang memiliki intelegensi

37
emosi yang kurang baik akan mengalami kesulitan dalam
mengidentifikasi emosi pada diri mereka sendiri (Goleman, 2009).
b. Kognitif dan Emosi
Hal yang dapat didiskusikan adalah mengeai studi-studi tentang
penelitian interaksi antara kognisi dan emosi yang dikenal dengan
cognitive emotion regulation (Ochsner dan Gross, 2008). Strategi
pengaturan informasi yang disebut “cognitive reappraisal”, yang
meliputi proses memikirkan kembali, muncul berdasarkan pada
interaksi antara prefrontal dan daerah cingulate yang sering terlibat
pada pengontrolan kognitif dan sistem seperti amygdala dan insula
yang terlibat pada peresponan stimuli. Cognitive reappraisal yang
mengatur dan mengurangi emosi dapat menekan aktivitas amygdala
sehingga emosi menjadi berkurang. Lebih jauh lagi, perubahan
pengalaman emosi dan respon autonomic mungkin berkorelasi dengan
seiring naik atau turunnya prefrontal dan/atau aktivitas amygdala
(Yingxu Wang, 2007).
Beberapa contoh pengaruh emosi dan proses kognitif adalah:
1) Pengaruh emosi terhadap pemilihan dan penggalian informasi
2) Pengaruh emosi terhadap memori
3) Pengaruh emosi terhadap proses transformasi informasi
4) Pengaruh emosi terhadap kinerja
5) Pengaruh emosi terhadap kreativitas pemecahan masalah
6) Pengaruh emosi terhadap pembuatan keputusan
c. Emosi dan Persepsi
Meningkatnya aktivasi penglihatan ketika melihat stimuli emosi
berbanding lurus dengan meningkatnya perilaku pada beberapa tugas
visual. Contoh, wajah marah, senang dan stimuli emosi lainnya
terdeteksi dengan cepat dibandingkan dengan stimuli yang netral
(Eastwood et al., 2001).
d. Emosi dan Memori

38
Emosi dapat mempengaruhi dalam pembentukan dan mengingat
kejadian masa lampau, yang ditemukan pada manusia dan hewan.
Dibandingkan hal-hal yang bersifat netral, manusia lebih baik dalam
hal mengingat informasi dengan melibatkan emosinya. Contohnya hal-
hal yang bisa membantu ingatan adalah cerita, film, gambar, dan
untaian kata-kata yang melibatkan emosi (Luiz, 2009).
Sebagai contoh, penelitian dengan subyek penelitian yang
diperlihatkan dua video, yang satu berisi konten netral dan yang
lainnya berisi konten emosional. Meskipun kedua tipe video tersebut
diambil dari sumber dan level pemahaman yang sama, subjek
mengingat lebih baik dari video yang berisi konten emosional
dibandingkan dengan yang netral setelah dilakukan tes kurang lebih 3
minggu setelah subjek melihat video tersebut (Cahill et al., 1996).
Hal-hal yang emosional, termasuk marah akan menyebabkan daya
simpan memori semakin kuat terhadap hal tersebut (Luiz, 2009).
e. Behavioral Inhibition
Salah satu dimensi yang penting dalam kognisi meliputi behavioral
inhibition (hambatan perilaku), yaitu proses yang diperlukan untuk
membatalkan tindakan yang ingin dilakukan. Respon ini dipercaya
dikontrol pada daerah di prefrontal cortex (e.g., dorsolateral
prefrontal cortex, anterior cingulate cortex, dan inferior frontal cortex)
(Aron et al., 2004). Respon ini sering diistilahkan sebagai go/no-go
stimulus. Jika subjek diminta untuk mengesekusi respon motorik maka
menunjukkan stimulus go. Dan ketika menahan respon maka
menunjukkan stimulus no-go (Goldstein et al., 2007).
Respon emosi dapat saling terpengaruh dengan fungsi kognisi
bagian ini. Hal inilah yang menimbulkan reaksi dari rangsangan emosi
yang didapatkan. Salah satunya adalah respon marah terhadap
rangsangan, apakah seseorang akan meneruskan berbuat sesuatu atau
tidak (Luiz, 2009).
f. Emosi Marah dalam Mengambil keputusan

39
Suasana hati sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan.
Dalam sebuah penelitian tentang suasana hati dalam proses berusaha,
ditemukan bahwa seseorang yang mengalami kecemasan, stress,
depresi, dan marah akan cenderung lemah dalam berusaha karena
tindakan yang dilakukan dapat bersifat irasional (Goleman, 2009).
Pada aspek pemilihan informasi, orang yang dalam keadaan
bahagia cenderung mengingat informasi yang berisikan hal-hal yang
menenangkan, begitu pula ketika seseorang yang dalam keadaan sedih
lebih cenderung mengingat informasi yang mengandung kesedihan
daripada kesenangan. Bila dikaitkan dengan emosi marah dalam
mengambil keputusan, seseorang yang sedang marah bila dihadapkan
dengan suatu masalah maka emosinya akan mempengaruhi
tindakannya (Sternberg, 2008).
Ada beberapa teori mengenai emosi dalam proses kognisi yang
terkait dengan emosi marah dengan pengambilan keputuisan
(Suharman, 2005):
1) Teori Skema
Teori ini berpandangan bahwa orang yang mengalami
emosi/suasana hati tertentu memiliki suatu pola kerja yang
digenerelasikan yang disebut skema yang serupa dengan suasana
hati tersebut. Contoh, orang-orang yang sedih biasanya menerima
dan mengingat pengalaman yang negatif, episode duka, dan
cenderung mengintrepretasi dunia dari prespektif yang negative.
Skema sedih membuat individu lebih siap mengingat kembali
pengetahuan dan pengalaman yang menyedihkan.
2) Teori Arousal
Arousal adalah keadaan emosi seseorang yang berkitan dengan
semangat, termotivasi, gairah dll. Emosi-emosi seperti ini sangat
mempengaruhi kinerja seseorang menyelesaikan tugas-tugas
kognitif misalnya mengingat, belajar, membuat keputuasn dan
memecahkan masalah (Chaplin, 1981).

40
Yerkes dan Dodson menghasilkan sebuah prinsip umum
(Yerkes Dodson), isinya adalah:
a) Hubungan antara tingkat tekanan, semangat atau keadaan
termotivasi dalam bentuk kurva “U” terbalik. Kinerja yang
optimal dapat terjadi apabila semangat (arousal) berada pada
tingkat yang sedang atau moderat.
b) Tingkat optimal dari semangat atau gairah berhubungan secara
terbalik dengan tingkat kesulitan tugas.
3) Tingkat Arousal
Apabila seseorang berada pada tingkat arousal atau semangat
yang sangat tinggi, atau sebaliknya sangat rendah, ia cendeerung
menunjukkan kinerja yang kurang efektif. Kognisi manusia tidak
selalu bersifat rasional karena melibatkan banyak bias dalam
persepsi dan dalam ingatan manusia (Sternberg, 2008). Sebaliknya,
emosi juga tidak selalu bersifat rasional, emosi dapat menyatukan
manusia, mengatur jalannya sebuah hubungan dan memotivasi
orang dalam mencapai suatu sasaran. Tanpa kemampuan
merasakan emosi, manusia akan mengalami kesulitan dalam
mengambil keputusan atau dalam merencanakan masa depannya
(Suharnan, 2005).
6. Teori Hubungan Pengalaman Seksual Dengan Marah
Pengalaman stress yang negatif atau tidak disukai dihubungkan dengan
kerusakan terhadap otak dan perilaku. Stress yang tidak disukai dan
trauma ini merupakan faktor predisposisi mayor terhadap perkembangan
psikopatologi. Hippokampus secara khusus, sensitif terhadap stress yang
tidak disukai, merespon dengan mengurangi adult neurogenesis,
kempleksitas dendrit dan kekenyalan sinap. Stress negatif meningkatkan
kecemasan, yang mekanismenya dihubungkan dengan hippokampus.
Peningkatan kadar glukokortikoid telah dikaitkan dengan dampak-dampak
di atas (Leuner et al, 2010).

41
Blocking stress memicu peningkatan kadar kortikosteron yang dapat
mecegah dampak kerusakan pada adult neurogenesis, kompleksitas
dendrit dan kecemasan. Hal tersebut bisa terjadi pada pengalaman stress
yang menguntungkan seperti proses learning, berlari, latihan fisik, dan
pengalaman seksual. Meskipun bukti tentang peningkatan hormon stress
dengan struktur kekenyalan yang terganggu, fungsi hippokampus, latihan
fisik meningkatkan kadar glukokortikoid, tetapi secara umum bermanfaat
terhadap kesehatan. Berlari meningkatkan kadar glukokortikoid pada tikus
dan manusia, yang secara berlawanan ternyata menguatkan kekenyalan
struktur, termasuk adult neurogenesis, densitas dendrit dan kompleksitas
dendrit pada hippokampus. Lebih jauh latihan fisik mengurangi
kecemasan dan memperbaiki fungsi learning dan memori pada
hippokampus. Berlari juga meningkatkan aliran darah ke otak,
memperbaiki kekuatan kardiovaskuler dan memicu angiogenesis, semua
faktor-faktor tersebut yang dapat memicu perbaikan perkembangan saraf
dan akhirnya meningkatkan fungsi otak. Pengalaman seksusal juga
meningkatkan kadar glukokortikoid dalam darah. Pengalaman seksual
yang akut meningkatkan proliferasi sel pada gyrus dentate pada tikus
dewasa. Pengalaman seksual yang kronik meningkatkan proliferasi sel di
gyrus dentate dan adult neurogenesis di gyrus dentate. Pembelajaran juga
menunjukan dapat meningkatkan kadar glukokortikoid dan beberapa
penelitian menunjukan latihan pada hal pembelajaran meningkatkan adult
neurogenesis.
Banyak penelitian telah mengkaitkan neurogenesis dengan regulasi
kecemasan dan umpan balik respon stress. Manipulasi penelitian
dihubungkan dengan berkurangnya jumlah neuron baru pada gyrus dentate
yang berhubungan dengan meningkatnya perilaku cemas. Demikian juga,
adult neurogenesis yang berkurang dikaitkan dengan modulasi yang
terganggu dari HPA axis-kadar kortikosteron , menunjukkan
pengembalian yang terlambat ke awal mula setelah stress pada tikus
dengan sedikit saraf yang baru. Lebih jauh lagi ternyata neurogenesis yang

42
berkurang dikaitkan dengan respon terganggu dari HPA axis pada
dexamethasone suppresion test. Dengan demikian, penelitian-penelitian
tersebut menunjukkan bahwa neuron baru berperan penting tidak hanya
pada fungsi kognitif pada hippokampus, tetapi juga pada kecemasan dan
fungsi regulasi stress (Timothy Schoenfeld dan Elizabeth Gould, 2011).
Sehingga bisa disimpulkan bahwa, pengalaman seksual yang kurang
secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku seperti kecemasan dan
juga mempengaruhi fungsi regulasi stress pada HPA axis, dimana HPA
axis ini berperan terhadap anger management.

E. Mekanisme marah
1. Teori Psikoneuroimunologi
Psikoneuroimunologi (PNI) merupakan pembelajaran tentang
interaksi antara proses psikologis, sistem saraf, dan kekebalan tubuh. PNI
mengambil pendekatan anterdisiplin menggabungkan antara psikologi,
neuroscience, imunologi, fisiologi, anatomi, farmakologi, biologi
molekuler, psikiatri, dan endokrinologi (Michael, 2005). Penelitian oleh
Candace (1985) seorang neurofarmakologis mengungkapkan bahwa
terdapat reseptor neuropeptida spesifik pada permukaan sel enchepalon
dan sel-sel terkait imun (Pert, 2005). Penemuan tersebut menunjukkan
bahwa neuropeptida dan neurotransmitter selain bertindak pada psikis
juga bertindak langsung pada sistem kekebalan tubuh. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kondisi psikis seperti stres, emosi, dan kondisi psikis
lain memiliki efek langsung pada sistem imun tubuh (Price, 2006).
Terdapat peningkatan dalam hubungan antara stress psikologi dan
berbagai macam kondisi kesehatan. Suatu bukti mengesankan adanya
hubungan antara sistem imun, sistem limbik, sistem saraf pusat (central
nervous system) dan sistem endokrin, di mana sistem ini dapat dipengaruhi
oleh faktor sosial dan psikologi. Pada 1964, Solomon dkk
mempublikasikan sebuah artikel berjudul “Emotion, Immunity and

43
Disease: A Speculative Theoretical Integration” yang menjadi dasar
perkembangan penelitian tentang psikoneuroimunologi (Ho, et al., 2010).
a. Proses Kerja Psikoneuroimunologi

Gambar1. Jalur HPA Axis (Arder, 2000).

Menurut Cohen (2001), hubungan otak dengan psikis dan endokrin


terjadi melalui (1) sel di aksis hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA),
yang melibatkan hormon sitokin, dan (2) sel yang terdapat di jalur
automic nerve system (ANS). Sistem saraf pusat (otak) mempengaruhi
sistem endokrin melalui kelenjar pituitari, yang nantinya akan
mengontrol sekresi hormon dan akan berpengaruh pada modulasi
sistem imun. Sekresi hormon tersebut akibat adanya reseptor sel imun
yang berikatan dengan molekul HPA dan menyebabkan perubahan
jumlah, fungsi, dan distribusi sel imun. Sedangkan, pengaruh langsung
dari sistem saraf otonom (ANS) diperankan oleh kelenjar timus, limpa,
dan sumsum tulang (Arder, 2000).

44
Gambar2. Hubungan antara Psikis dan Sistem Neuroendokrin

HPA axis terdiri atas rangkaian aktivitas hormon yang terlibat


dalam respon stres, yang terdiri dari corticotropin releasing hormone
(CRH), hormon yang diproduksi oleh hipotalamus; adenocorticotropic
hormon (ACTH), hormon yang dihasilkan oleh lobus anterior hipofisis
dan kortisol, hormon perifer yang dikeluarkan oleh cortex adrenal
(Arder, 2000; Cohen, 2001; Wingenfeld dan Wolf, 2011).
Pelepasan CRH dipicu oleh berbagai stresor baik psikologis
maupun fisiologis (lapar, inflamasi). Stresor juga menstimulir pelepasan
arginine vasopressine (AVP) oleh neuron paraventricular nucleus
(PVN) hipotalamus. Nucleus paraventrikular hipotalamus adalah
penggerak utama dari respon glukokortikoid terhadap stres. Stimulasi
saraf neurosekretori hipofisiotropik di medial parvoselular PVN
menginisiasi aktivasi HPA axis. Selanjutnya corticotropin releasing
hormone (CRH) dan arginine vasopressine (AVP) dilepaskan dari

45
terminal saraf neurosekretori di eminentia median dan diangkut ke
hipofisis anterior melalui sistem pembuluh darah portal dari tangkai
hipofiseal. CRH dan vasopressin bertindak sinergis untuk merangsang
sekresi ACTH yang tersimpan dari sel corticotrope. ACTH diangkut
oleh darah ke korteks adrenal kelenjar adrenal, di mana ia cepat
merangsang biosintesis kortikosteroid dari kolesterol untuk
memproduksi kortisol (Arder, 2000; Cohen, 2001; Wingenfeld dan
Wolf, 2011).
Pelepasan kortisol secara simultan memiliki efek, termasuk
diantaranya peningkatan glukosa darah untuk mempertahankan regulasi
metabolisme. Pelepasan kortisol yang terus menerus akan menimbulkan
umpan balik negative pada hipotalamus maupun glandula hipofisis
anterior untuk menghentikan produksi CRH dan ACTH. Fungsi
kortisol secara umum adalah sebagai pengatur metabolisme glukosa,
regulasi tekanan darah, respon inflamasi, dan berperan dalam sistem
imun. Peningkatan kortisol dalam jumlah sedikit memiliki beberapa
efek positif seperti pemaksimalan fungsi memori, peningkatan sistem
imun, menurunkan sensitivitas terhadap sakit, membantu
menyeimbangkan dan mempertahankan homeostasis dalam tubuh.
Akan tetapi, paparan kortisol yang terlalu lama dan konsentrasi yang
terlalu tinggi akan menimbulkan efek negatif seperti penurunan fungsi
kognitif, penekanan fungsi glandula tiroid, ketidakseimbangan gula
darah, penurunan kepadatan tulang dan massa otot, serta penurunan
respon inflamasi dan sistem imun (Arder, 2000; Cohen, 2001;
Wingenfeld dan Wolf, 2011).

b. Hubungan Psikoneuroimmunologi dengan Kondisi Afektif


Otak, sistem imunitas, dan sistem endokrin adalah sistem adaptif
utama tubuh. Dua jalur utama yang terlibat dalam interaksi tersebut
adalah hipotalamus-hipofisis-adrenal axis (HPA axis) dan sistem saraf
simpatik (SAM axis). HPA axis merespon tekanan fisik dan mental

46
untuk mempertahankan homeostasis sebagai salah satu cara untuk
mengontrol tingkat kortisol tubuh. Disregulasi HPA axis akan berakibat
ke berbagai penyakit akibat stres. Aktivitas HPA axis berhubungan
secara intrinsik dengan sitokin. Telah diketahui bahwa sitokin inflamasi
mampu merangsang hormon adrenokortikotropik (ACTH) dan sekresi
kortisol. Sebaliknya glukokortikoid akan menghambat sintesis sitokin
proinflamasi (Price, 2006).
Dalam sebuah studi epidemiologis, semua penyebab morbiditas
akan bertambah berat ketika diikuti dengan stresor berat. Teori
menyatakan bahwa peristiwa stres memicu respon afektif yang akan
menstimulus sistem saraf simpatik dan perubahan endokrin. Hal
tersebut berpotensi untuk menggangu fungsi sistem imun. Stres diduga
mempengaruhi fungsi afektif tubuh akibat manifestasi emosional dan
tingkah laku seperti gelisah, takut, marah ketegangan, kesedihan, serta
perubahan fisiologis seperti denyut jantung, tekanan darah, dan
berkeringat. Para peneliti juga menyatakan bahwa perubahan-perubahan
tersebut memiliki efek positif ketika dalam batas-batas tertentu.
Sebaliknya, ketika kondisi tersebut tidak stabil dan berlangsung secara
kontinyu akan berakibat negatif (Chrousos, 2005).
Stres psikologi mengaktivasi SAM aksis yang mengatur denyut
jantung dan pelepasan katekolamin serta HPA aksis yang mengatur
pelepasan kortikosteroid dari kelenjar adrenal. Pada stres psikologi
akut, katekolamin secara dominan mempengaruhi sirkulasi sel NK (Ho,
et al., 2010).
Pada stress psikologi ringan, CD62L sel NK dengan L-selectin
(CD62 ligand) menempel lemah ke sel endotel yang mengekspresikan
reseptor molekul adhesi. Pada stres psikologi berat, L-selectin dari sel
NK tidak berperan menggerakkan dan CD62 sel NK akan ditahan di
tepi pembuluh darah atau jaringan di luar pembuluh darah. CD62 sel
NK tanpa L-selectin akan dimobilisasi. Konsentrasi molekul adhesi
seperti ICAM 1 dan CD11a akan meningkat pada stres psikologi berat.

47
Peningkatan konsentrasi molekul adhesi menyebabkan CD62 sel NK
menghentikan gerakannya dan menempel pada tempat berkumpulnya
molekul adhesi. Disfungsi endotel juga menyebabkan perekrutan dan
penempelan limfosit T dan platelet. Aktivasi sel T pada gilirannya
menghasilkan sitokin proinflamasi, seperti faktor nekrosis tumor-alfa
(TNF alfa), interleukin (IL)-1 dan IL-6 yang menstimulasi makrofag
dan sel endotel pembuluh darah untuk meningkatkan proses inflamasi.
Pada akhirnya hal ini akan merangsang kondisi atherosclerosis dini di
mana makrofag dan sel imunokompeten lainnya menyebabkan
inflamasi lokal dan pembentukan plak. Pembentukan trombus lokal
menrunkan neurotransmiter serotonin. Disregulasi kadar serotonin
dalam tubuh mengakibatkan perubahan afek.
Selain itu, sebuah stresor psikologi akut meningkatkan sitokin
proinflamasi, termasuk sel mononuklear ekspresi gen IL-1B dan plasma
interleukin 6 (IL-6). Sitokin tersebut mempengaruhi otak dan
menimbulkan perasaan malas, sakit dan lemah. Ketika terjadi inflamasi,
sirkulasi sel-sel imunokompeten mengalami peningkatan. Makrofag dan
sel glial (mikroglia dan astrosit) akan memicu sekresi sitokin
proinflamasi. Molekul sitokin proinflamasi termasuk IL-1, IL-2, IL-6,
IL-12, IFN-Gamma dan TNF-alfa selain meningkatkan sekresi hormon
stres juga dapat mempengaruhi pertumbuhan sel otak dan fungsi sel
saraf (Covelli, 2005). Selain penyakit autoimun, hipersensitivitas dan
infeksi, penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel-sel imunokompeten
mengalami penurunan selama stres dan depresi (Elenkov, 2005).
Terdapat bukti yang nyata bahwa depresi dan kecemasan
meningkatkan produksi sitokin proinflamasi termasuk IL-6. Di samping
itu, gejala depresi dapat menyebabkan disregulasi imunitas dan
menimbulkan konsekuensi kesehatan. Misalnya, gejala depresi
berkaitan dengan rendahnya jumlah limfosit T CD8 dan tingginya
rekurensi HSV-2 genital dalam 6 bulan. Gejala depresi pada pasien HIV
positif berhubungan dengan rendahnya CD4, tingginya jumlah sel B

48
dan meningkatnya marker aktivasi imun (HLA-DR) bahkan bila
perilaku kesehatan dan stadium penyakit terkontrol (Kiecolt-Glaser, et
al., 2002). Hormon kortisol merupakan tolak ukur untuk mengetahui
kondisi seseorang apakah jiwanya stres, depresi atau tidak.
Pada keadaan stres, terdapat substansi yang menyerupai beta
carboline yaitu antagonis GABA yang menyebabkan penurunan jumlah
reseptor GABA. Berkurangnya reseptor GABA menyebabkan
berkurangnya hambatan terhadap kecemasan dan memudahkan reaksi
stres. Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam kondisi tenang,
senang, optimistis, penuh mengakibatkan sintesis GABA dan
pengaturan sekresi antagonis GABA serta kortisol dalam batas normal
(Fawzy IF, 2005).
Telah diketahui bahwa susunan syaraf pusat mentransmisikan
informasi neurologi menjadi respon biologi dan fisiologis melalui
berbagai hormon, neuropeptida, dan neurotransmitter. Susunan tersebut
terbukti merupakan alur yang sangat berperan dalam reaksi emosional,
depresi, manik, dan stres (Carr DB and Gaudas LC, 2009).
Berbagai kondisi emosional baik possitif maupun stres dapat
menyebakan terjadinya aktivitas HPA. Aktivitas HPA tersebut dapat
berasal dari jalur persyarafan biasa yang diperantai oleh
neurotransmiter yang berbeda. Aktivitas tersebut juga bisa
mengakibatkan terjadinya perubahan suasana emosional menjadi positif
maupun negatif, yaitu tenang, manik, optimis, cemas, susah, depresi,
dan stres. Hal serupa juga terjadi dalam dinamika rangsangan psikis
yang ditransmisikan melalui sistem limbik dan korteks frontal,
sedangkan respon stres biologis terjadi lewat RAS. Rangsangan stres
yang tiba di hipotalamus akan menyebabkan sekresi CRF yang berperan
sentral dalam reaksi stres.
Sekresi CRF oleh neuron hipotalamus bergantung pada
keseimbangan antara kondisi yang merangsang dan kondisi yang
menghambat sintesis dan sekresi. Neurotransmiter yang diketahui

49
meningkatkan sekresi CRF adalah asetilkolin dan serotonin. Sebaliknya
GABA bersifat menghambat sekresi CRF (Dunn AJ, 2005).
Berikut adalah penjelasan masing-masing neurotransmitter yang
berpengaruh terhadap kondisi afektif seseorang. (1) Serotonin (5-
hidroxytryptamine) adalah suatu neurotransmitter inhibitor yang
disintesis di neuron serotonergic di sistem saraf pusat dan sel
enterochromaffin di sistem gastrointestinal. Di sistem saraf pusat,
serotonin dinyatakan mempunyai fungsi penting sebagai
neurotransmitter dalam regulasi marah, nafsu makan, suhu tubuh,
mood, seksualitas dan tidur. Level yang rendah dari serotonin
berhubungan dengan terjadinya agresifitas, ansietas, depresi, gangguan
makan, impulsifitas, iritabilitas dan gangguan tidur. (Nutripath.com.au ,
Extensive Neurotransmitter Profile). (2) Dopamine adalah
neurotransmitter excitator dan inhibitor yang disintesis di banyak area
otak. Dopamine adalah precursor untuk adrenaline dan noradrenaline.
Dopamine juga berfungsi sebagai hormon ketika ia dikeluarkan dari
hypothalamus, menghambat produksi prolactin dari kelenjar pituitary.
Di sistem saraf pusat, dopamine terlibat dalam regulasi rasa senang,
memory, kontrol motorik, tidur, mood, atensi dan kemampuan belajar.
Kadar Dopamine yang rendah berhubungan dengan hilangnya
kepuasan, penarikan diri dari kehidupan sosial, apatis, berkurangnya
motivasi dan atensi. Dalam bentuk yang lain, kadar dopamine yang
rendah juga berhubungan dengan gangguan kontrol motorik, seperti
pada penyakit Parkinson. Sedangkan dopamine dalam kadar yang tinggi
berhubungan dengan agresifitas, schizophrenia, hiperaktivitas dan
sindrom Tourette. (Nutripath.com.au , Extensive Neurotransmitter
Profile). (3) Noradrenaline (norepinephineprine) dan adrenaline
(epinephrine) adalah neurotransmitter excitator dan juga sebagai
hormon. Neurotransmitter ini berperan penting pada respon fight &
flight, yang mana dalam respon ini akan terjadi peningkatan denyut
jantung, memicu pelepasan glukosa ke seluruh tubuh untuk energi dan

50
meningkatan aliran darah ke otot. Kondisi adrenaline dan noradrenaline
yang rendah menyebabkan penurunan mood, energi, fokus, motivasi
dan memory. Sedangkan dalam kadar yang tinggi, neurotransmitter ini
berhubungan dengan agresifitas, ansietas, kelabilan emosi,
hiperaktivitas, mania, stress dan supresi sistem imun. .
(Nutripath.com.au , Extensive Neurotransmitter Profile)

c. Hubungan Marah dengan Psikoneuroimunologi


Dalam beberapa teori, marah adalah hasil adaptasi yang salah
dalam proses coping terhadap stressor, sehingga menimbulkan
konflik/masalah yang lebih besar dan ketidaknyamanan
personal/pribadi. Konsep yang dipakai pada masa sekarang, konsep
marah lebih difokuskan pada mekanisme adaptif dalam menghadapi
tujuan yang terhambat dan perasaan terancam. Marah yang sehat dan
marah yang tidak sehat dibedakan dari sisi sejauh mana keberhasilan
emosi dalam memenuhi kebutuhan dasar dari seorang pribadi. Sebagai
contoh, jika seseorang memberikan perkataan yang bijak sebagai
ekspresi marah untuk merespon rekan kerjanya yang berkata tidak
sopan sehingga bisa mengatasi masalah yang ada, maka hal ini adalah
marah yang sehat. Sedangkan jika seseorang itu memukul rekan
kerjanya yang berkata tidak sopan itu sehingga membahayakan rekan
tersebut, maka ini adalah marah yang tidak sehat. (Lench, 2004)
Banyak penelitian yang telah mengungkapkan bahwa kemarahan
bisa mempengaruhi kondisi tubuh kita baik secara fisiologis maupun
psikologis. Penelitian mengungkapkan bahwa sebelum marah itu
mempengaruhi banyak bagian lain dari tubuh kita, maka otak adalah
yang terpengaruh pertama kali. Otak berfungsi sebagai internal alarm
system. Otak memberikan sinyal ke bagian lain tubuh ketika kita
merasakan senang, sedih, marah, nyeri dan lain sebagainya. Sistem ini
juga memacu pelepasan adrenalin yang menyebabkan peningkatan
kewaspadaan dan responsibilitas tubuh. Hal ini menyebabkan

51
penyebaran glukosa ke dalam aliran darah dan otot sehingga
memberikan kemampuan untuk merespon lebih cepat, berlari lebih
cepat dan pengambilan keputusan yang lebih cepat. (Hendrick et al,
2013)
Otak memproses semua stress emosional. Ketika otak menerima
rangsang/stresstor berupa hal-hal yang mengancam/membahayakan,
jutaaan serabut syaraf otak merangsang pelepasan hormon stress,
adrenalin dan noradrenalin. Hormon ini membantu tubuh untuk
mengontrol denyut jantung dan tekanan darah. Pelepasan hormon ini
juga membantu pankreas untuk mengatur keseimbangan gula darah.
(Hendrick et al, 2013)
Penelitian yang diadakan oleh Hotchkiss Brain Institute di Calgary
menemukan bahwa kemarahan mempengaruhi otak melalui jalur
mekanisme neuron di hypothalamus sebagai pusat respon stress.
Kemarahan menyebabkan pelepasan neurotransmitter otak, yaitu
katekolamin ke tubuh sehingga menimbulkan efek “ledakan” energi
dalam beberapa menit. Mekanisme ini juga menimbulkan efek lain
dalam tubuh, seperti peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan
darah dan juga pernafasan. (Hendrick et al, 2013)
Menurut Addotta (2006) kemarahan berasal dari amygdala. Kita
memiliki sepasang amygdala yang terletah di atas hypothalamus.
Amygdala tersusun dari beberapa persyarafan yang menghubungkan
dengan berbagai bagian dari otak, seperti neocortex dan visual cortex.
Ketika amygdala menginisiasi kemarahan, prefrontal cortex bisa
menghasilkan perilaku kekerasan. Studi dari Society for Neuroscience
University of California (2007) memberikan pandangan baru tentang
apa yang terjadi pada otak para remaja dewasa yang sedang dalam
kemarahan dan agresifitas ketika mereka merasa terancam. Studi ini
menunjukkan bahwa perilaku agresif berhubungan dengan respon
hiperaktif dalam amygdala dan penurunan aktivitas di prefrontal cortex
otak. (Hendrick et al, 2013)

52
Science News (2007) memberikan gambaran yang terjadi pada
seorang wanita yang mengalami operasi pengangkatan amygdala untuk
mengontrol kejang epilepsi. Dalam masa penyembuhan, ditemukan
bahwa memang pengangkatan amygdala bisa mengatasi masalah
kejang. Akan tetapi, di sisi lain ditemukan bahwa dengan pengangkatan
amygdala menimbulkan kehilangan kemampuan untuk menerima sinyal
rasa marah dan ketakutan. Beberapa studi yang dilakukan pada wanita
yang mengalami pengangkatan amygdala menunjukkan bahwa pasien
mengalami kesulitan untuk mengerti perubahan intonasi seperti yang
diekspresikan oleh orang yang sedang marah dan takut. Sedangkan
pasien masih mampu mengenali dan mengerti ekspresi dari sedih,
senang, jijik dan terkejut. (Hendrick et al, 2013)
Amygdala adalah perespon yang sempurna terhadap ancaman
(stressor). Amygdala menjadi pemeran utama dalam proses emosional
dan sosial. Amygdala membuat kita mampu bereaksi terhadap ancaman
sebelum reaksi dari prefrontal cortex, yang bertanggung jawab dalam
hal berpikir dan pertimbangan. Dengan kata lain, amygdala membuat
otak berekasi lebih cepat terhadap ancaman atau ketakutan sebelum
prefrontal cortex menyadari segala konsekuensinya. Orang-orang
tabah, yang mampu dengan cepat melakukan recovery dari stress,
berarti prefrontal cortex mereka mampu “menenangkan” amygdala
(merupakan bagian otak pusat emosi, yang akan merangsang pelepasan
cortisol/hormon stress ketika terjadi peristiwa emosional). (Hendrick et
al, 2013)
Pada beberapa orang, bisa timbul marah dengan cepat dan
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menurunkan tensi
marahnya. Di sisi lain, iritasi (emosional) yang kecil bisa membuat
beberapa orang tertentu meledak kemarahannya. Fakta sains dan medis
menunjukkan bahwa neurotransmitter otak, yaitu serotonin berperan
dalam regulasi marah dan agresi. Ditemukan bahwa pada orang-orang
yang sedang berperilaku agresif, kadar serotonin yang lebih rendah

53
dibanding dengan orang yang berperilaku non-agresif. Defisiensi
serotonin berhubungan dengan perilaku agresif yang patologis dalam
bentuk kekerasan, tetapi bukan pada perilaku agresif normal yang
digunakan hewan dan manusia untuk beradaptasi dalam bertahan hidup.
(Hendrick et al, 2013)

2. Teori Neurologis
Perilaku marah dapat disebabkan faktor lingkungan/eksternal yang
kuat. Meskipun dipengaruhi oleh lingkungan, beberapa bukti penelitian
menyatakan adanya faktor genetik yang berkaitan dengan kecenderungan
agresivitas, yaitu adanya varian alel monoamin oxidase A (MAOA), yang
mengkode monoamine oxidase A, suatu enzim yang memecah
neurotransmitter, seperti serotonin, menjadi senyawa molekul dirinya
(Buckholtz dan Meyer-Lindenberg, 2008). Produk gen Monoamine
Oxidase A (MAOA) dipercaya berperan dalam mengatur metabolisme
enzimatik neurotransmitter serotonin, dopamine, dan norepinephrine,
sehingga memodulasi regulasi emosi dan fungsi otak secara umum.
Kepercayaan sekarang ini, individu dengan genotipe MAOA fungsional
rendah menunjukkan aktivitas pada amigdala, hipokampus, dan insula
dalam menanggapi paradigma emosi negatif.
Penelitian neuroimaging Murphy, Nimmo-Smith, & Lawrence
(2003) menunjukkan bahwa rangsangan terkait kemarahan melibatkan
corticolimbic dengan emosi negatif (yaitu daerah korteks prefrontal,
amygdala, hipokampus, insula, dan thalamus). Pada pencitraan amygdala
teraktivasi dengan paparan wajah saat marah. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan aktivitas enzimatis MAOA terhadap amigdala. Alia-Klein et al.
(2007), menunjukkan bahwa perilaku dan blood oxygen level-dependent
(BOLD) terpengaruh saat terjadi paparan marah.
Hasil penelitian menunjukkan adanya kemungkinan resiko
agresivitas dari pengontrolan marah yang kurang. Perilaku agresif tidak
selalau diterjemahkan sebagai tindakan atau perilaku kekerasan. Namun,

54
agresif sebagai tindakan yang menyakiti orang lain dapat menjadi
fenomena yang menjadi perhatian dalam komunitas. Pengaruh genotip
MAOA yang rendah dapat menjadi fator resiko agresivitas, namun hal
tersebut juga didukung karena adanya faktor eksternal seperti pengalaman
tidak menyenangkan di saat kecil, yang menyebabkan adanya interaksi
gen-lingkungan. Individu dengan alel genotip MAOA rendah diperkirakan
terdapat pada 40% populasi pria, yang menunjukkan adanya perilaku
agresif (Alia-klein et al., 2009).
a. Mechanisms underlying the MAOA-aggression link Reactive
Sejumlah penelitian menyatakan bahwa tinggi-rendahnya
fungsional gen MAOA memiliki hubungan terhadap respon dari tubuh.
Gen MAOA fungsional rendah memiliki reaktivitas marah yang lebih
tinggi dan digambarkan pada respon talamus, amigdala kiri dan thalamus
posterior, sedangkan pada MAOA fungsional tinggi lebih pada respon
insula kiri dan AHF kanan, serta menekan thalamus secara bilateral (Alia-
klein et al., 2009).
Individu dengan genotipe MAOA fungsional rendah membentuk
reaksi neurologis dengan reaktivitas emosional yang tinggi dan gangguan
penghambatan. Genotipe MAOA fungsional rendah mengurangi level
monoamine oxidase A yang akan menjadikan disregulasi serotonin pusat
lebih besar. Kadar serotonin yang meningkat akan mempengaruhi daerah
rangsangan neurologis yang memproduksi dan mengatur respon afektif
terhadap rangsangan sosial untuk berperilaku yang tidak teratur dan labil
(Cases et al., 1995). Ekspresi varian alel MAOA yang rendah berkaitan
dengan hiperreaktivitas dari amygdala dan hiporeaktivitas dari dorsal
lateral prefrontal cortex (DLPFC) selama emosi terbangkitkan. Efek dari
genotipe fungsional MAOA terhadap pengendalian marah juga terjadi
pada dorsal anterior cingulate cortex (dACC), yaitu daerah syaraf yang
terlibat dalam menanggapi kejadian yang ditandai dengan dampak negatif
(Denson et al., 2014).

55
Hingga saat ini penelitian yang menerangkan mengenai genotipe
fungsional rendah MAOA memiliki kaitan dengan agresivitas yang lebih
besar. Jika mengacu pada penelitian sebelumnya mengenai hubungan
MAOA-agresif, gen MAOA meningkatkan perilaku agresif jika ada
pemaparan atau pancingan negatif dari luar seperti provokasi dan
penolakan sosial (Chester et al, 2015).

Gambaran MRI terhadap respon stimulus marah

56
Sumber : Fabiansson, 2011
Gambar3 : Konektivitas Analisis Fungsional Selama Reappraisal,
Analytical Rumination, dan Angry Rumination.

Ketiga gambaran pencitraan tersebut menunjukkan (A) hubungan


positif yang signifikan antara gyrus frontalis inferior (BA 44) dan amygdala
selama analytical rumination dan angry rumination; (B) hubungan positif
yang signifikan antara gyrus frontalis inferior (BA 45) dan thalamus lateralis
posterior selama analytical rumination; (C) hubungan positi yang signifikan
antara gyrus frontalis inferior (BA 45) dan thalamus lateralis ventral selama
analytical rumination dan angry rumination.

F. Manifestasi Marah
Fungsi umum dari agresif terbagi menjadi dua, yaitu khususnya
sebagai kompetisi sosial dan pemangsa/predator. Kompetisi sosial melibatkan
individu sejenis, yang berjuang untuk akses ke sumber daya (misalnya
makanan, wilayah, peringkat sosial, dll). Bentuk agresi berhubungan dengan
rangsangan fisiologis yang tinggi, dan mencakup komunikasi sosial (Tulogdi
et al., 2015)
Koping individu merupakan konseptualisasi upaya perilaku individu
intrapsikis untuk menangani tuntutan internal dan eksternal yang menantang
atau melampaui batas dirinya.

57
Gambar4. Model Mediasi
Koping individu berkaitan dengan stres, marah, dan agresivitas verbal.
Respon marah dan stres dapat memivu adanya agresivitas verbal. Pada ketiga
aspek tersebut diperlukan adanya coping sebagai moderator agar perilaku
agresif tidak menjadi buruk. (Bodenmann, Meuwly, & Bradbury, 2010)
Marah dan permusuhan menjadi perhatian khusus yang berkaitan
dengan perilaku individu. Permusuhan dideskripsikan sebagai perilaku atu
kognitif negatif yang diarahkan kepada orang lain, sedangkan marah
merupakan keadaan emosional yang terdiri dari perasaan yang bervariasi
pada intensitas mulai dari iritasi ringan atau jengkel untuk kemarahan intens,
dan agresivitas sebagai pola perilaku verbal atau fisik terwujud dalam
berteriak, intimidasi atau serangan fisik (Bucharest, 2010).
Pengukuran temperamen dan marah yang paling banyak digunakan
adalah:
 Mengukur tingkat komponen kegiatan, yaitu : seberapa cepat atau kuat
aktivitas seseorang.
 Kemudahan untuk tersinggung/merasa terganggu oleh kejadian negatif.
 Tingkat ketenganan, yaitu seberapa mudah seseorang menjadi tenang
setelah terganggu.
 Tingkat ketakutan terhadap stimulus yang tidak biasa.

58
 Sosiabilitas, yaitu kemampuan penerimaan terhadap stimulus sosial.
(Hasan, 2006)
Menurut Hasan (2006), temperamen dibagi menjadi tiga, yaitu:
 Temperamen muda, yaitu mereka yang memiliki pembawaan sikap positf,
mudah bergaul, terbuka, dan mudah menyesuaikan diri dengan situasi baru.
 Temperamen sulit, yaitu mereka yang mudah tersinggung dan memiliki
kebiasaan yang tidak teratur, mudah aktif. Reaksi yang ditampakkan sangat
keras terhadap perubahan rutinitas, dan lambat dalam beradaptasi pada
lingkungan baru.
 Temperamen lambat panas, yaitu mereka yang kurang aktif, dengan emosi
yang berubah-ubah, dan lambat beradaptasi terhadap lungkungan baru.

Marah mempengaruhi kinerja tubuh melalui otak yang dirangsang


oleh sikap agresivitas. Saat keadaan marah terjadi peningkatan adrenalin yang
menyebabkan peningkatan kesadaran dan kewaspadaan. Respon yang
diberikan tubuh akan lebih cepat, dan pergerakan tubuh juga lebih cepat,
seperti berjalan, berbicara, dan mengambil keputusan. Penelitian di Hotchkiss
Brain Institute di Calgary mengemukakan, salah satu cara pengaruh dari
marah terhadap otak adalah mengurangi neuron di hipotalamus sebagai
pengendali terhadap respon stres. Saat marah, otot-otot akan menegang, aliran
darah lebih cepat, pernapasan lenih cepat, peningkatan denyut jantung,
ekskresi keringat, dan sebagainya (Wigati, 2013).
Kontrol atau pengelolaan marah sangat penting. Masalah kekerasan
merupakan masalah bersama di masyarakat, yang pada mulanya merupakan
keterbatasan individu dalam mengontrol kemarahan. Pengaturan kemarahan
terdiri dari interaksi kognitif, afektif, dan proses relasional yang berpengaruh
terhadap bagaimana manusia dapat membangun makna kata relasi (Murphy,
Nimmo-Smith, & Lawrence, 2003).
Pengendalian marah, selain genetik, dapat dipengaruhi oleh adanya
trauma, depresi, adanya kontak sosial yang kurang baik seperti masalah

59
keluarga, isolasi sosial, kehilangan pekerjaan, dan sebagainya (Hart, Ann,
Fann, Maiuro, & Vaccaro, 2014).
Pengukuran marah dapat dilakukan dengan: 1) State-Trait Anger
Expression Inventory (STAXI-2), yaitu kuesioner yang berisi 57-item yang
menilai sifat marah; 2) Skala Anger Control-Out (AC-O), yang mengukur
seberapa sering seseorang mengontrol ekspresi dari kemarahan mereka; 3)
BriefAnger-Aggression Questionnaire (BAAQ) (Alia-klein et al., 2009;
Deffenbacher, 2010).

1. Waktu yang tepat untuk marah


Aspek asertivitas memegang peranan penting dalam hal marah.
Asertivitas adalah suatu kemampuan untuk mengungkapkan pikirkan,
perasaan, dan keinginan kepada orang lain secara langsung, dilakukan
dengan jujur, terbuka, mengekspresikannya dengan tegas, bebas, dan tetap
menghargai orang lain. Pengungkapan emosi marah merupakan upaya
mengkomunikasikan status perasaan ketika dalam kondisi marah,
mengungkapkan kepada orang lain dan menentukan bagaimana pereasaan
orang lain (Falentina, 2012).
Orang yang cerdas emosinya adalah orang yang mampu mengelola
emosinya dalam posisi seimbang dengan pikirannya, ia mampu
mempertimbangkan secara cermat untung ruginya sebelum berbuat
sesuatu. Aristoteles, dalam The Nicomacean Ethies, memberi pelajaran
bahwa “orang menjadi marah itu mudah, tetapi marah dengan orang lain
yang tepat, waktu yang tepat, dan dengan cara yang tepat, maksud yang
jelas itulah yang sangat sulit”. Berbagai layanan konseling seperti yang
sudah diselenggarakan di sekolah, dimaksudkan agar para siswa mampu
mengatasi masalah yang dihadapinya secara mandiri, terutama masalah
emosinya sendiri, baik yang bersifat pribadi maupun dalam kapasitasnya
sebagai makhluk sosial. Sehingga untuk menentukan waktu yang tepat
untuk marah ini kita harus senantiasa mengasah diri dan meningkatkan
kepekaan.

60
2. Manfaat marah

Otak merupakan pusat kontrol untuk tubuh kita (Addotta, 2006).


Kemarahan berasal dari bagian dari tubuh kita dikenal sebagai amigdala.
Dalam jurnal tersebut dijelaskan bagaimana kemarahan berdampak
terhadap tubuh. Rata-rata detak jantung seseorang adalah 80 kali
permenit. Namun, marah dapat meningkatkan detak jantung sampai 180
kali permenit. Kemarahan juga memberikan dampak terhadap
peningkatan tekanan darah dari 120/80 mmHg meningkat menjadi
220/130 mmHg atau bahkan lebih tinggi dari itu.
Sejumlah penelitian telah dilakukan bagaimana kemarahan
mempengaruhi fisiologis dan psikologis. Studi ini mengungkapkan
bahwa sebelum kemarahan mempengaruhi setiap bagian dari tubuh, ia
mempengaruhi otak kita terlebih dahulu. Otak adalah sistem alarm
internal. Sinyal ini dikirimkan ke seluruh tubuh kita saat kita bahagia,
sedih, marah, sakit, dan lain-lain. Sistem alarm di dalam otak kita
memicu pelepasan adrenalin yang menyebabkan kita untuk
meningkatkan kesadaran dan cepat tanggap.
Hal ini menyebabkan glukosa menyembur melalui aliran darah
dan otot memberikan kemampuan untuk merespon lebih cepat,
berjalan lebih cepat, dan membuat keputusan lebih cepat. Otak
memproses semua stres emosional. Ketika indera mengenali adanya
ancaman atau bahaya, jutaan serabut saraf di dalam otak kita
melepaskan bahan kimia ke seluruh tubuh untuk setiap organ. Ketika
seseorang mengalami kemarahan otak memerintahkan kelenjar
adrenalin dan sistem kelenjar lain dalam tubuh untuk
mensekresi/melepaskan hormon stres, adrenalin dan noradrenalin.
Hormon ini membantu tubuh mengontrol detak jantung dan tekanan
darah. Pelepasan bahan kimia ini juga membantu mengatur pankreas
yang mengontrol keseimbangan gula dalam darah (Boerma, 2007).

61
Marah adalah suatu pola perilaku yang dirancang untuk
mengingatkan pengganggu untuk menghentikan perilaku mengancam
mereka. Kontak fisik jarang terjadi tanpa ekspresi kemarahan paling
tidak oleh salah seorang partisipan (Morris, 1967: 55). Meskipun
sebagian besar pelaku menjelaskan bahwa rasa marah timbul karena
"apa yang telah terjadi pada mereka", ahli psikologi menunjukkan
bahwa orang yang marah sangat mungkin melakukan kesalahan
karena kemarahan menyebabkan kehilangan kemampuan pengendalian
diri dan penilaian objektif (Raymond, 2000).

G. Anger Management
Setiap orang pernah merasakan marah karena marah itu adalah reaksi
yang normal dan alami. Seseorang juga mungkin akan marah ketika sedang
frustrasi karena kebutuhan, keinginan dan tujuannya tidak tercapai.
Adakalanya seseorang menjadi marah di dalam situasi yang membuatnya
merasa terancam atau dapat merugikan dirinya sendiri, hal itupun merupakan
reaksi yang wajar. Akan tetapi marah harus dilakukan pada waktu dan tempat
yang tepat.
Seseorang yang mengekspresikan marah akan berada dalam dua
kemungkinan yakni depresi atau agresi. Depresi apabila orang tersebut
memilih untuk menyimpan atau memendam marahnya. Ini berbahaya karena
bisa saja marahnya akan menjadi “bom waktu” pada suatu saat. Namun ketika
orang tersebut memilih untuk mengekspresikan atau meluapkan marahnya
maka akan mengarah pada agresi. Agresi yang tidak terkendali juga akan
membahayakan orang lain maupun lingkungannya. Adapun sikap yang paling
baik adalah berada di antara depresi dan agresi yakni orang bisa
mengendalikan marahnya tanpa harus menimbulkan kerusakan pada diri,
orang lain dan lingkungannya.
Salah satu intervensi psikososial yang sangat disarankan yaitu dengan
mengontrol marah atau disebut juga dengan anger management karena
merupakan cara terbaik dalam mengekspresikan marah secara positif Anger

62
management bertujuan untuk menghindari konsekuensi negatif, akibat dari
ekspresi marah yang tidak sesuai. Secara ekstrim, marah memungkinkan
sekali dapat mengarah pada kekerasan atau agresivitas secara fisik. Akibatnya
yang terjadi setelah itu, seseorang bisa saja akan ditangkap atau dipenjara,
mengalami luka fisik, membalas dendam, kehilangan orang yang disayang,
merasa bersalah, menjadi malu atau menyesal (Reilly & Shopshire, 2002).
Terapi kelompok berbasis cognitive-behavior menjadi sangat efektif
untuk mengatasi gangguan ekspresi marah, karena dalam terapi ini anggota
kelompok mempelajari strategi dan teknik untuk membantu mengatur
kemarahan, mengekspresikan marah dengan jalan alternatif, mengubah sikap
permusuhan, dan mencegah perilaku agresi seperti makian verbal dan
kekerasan (Reilly & Shopshire, 2002). Tujuan-tujuan tersebut dilakukan
dengan mengubah pemikiran (cognition) mengenai marah dan juga
mempelajari perilaku (behavior) yang baru untuk mengekspresikan marah.
Penanganan cognitive behavior therapy (CBT) telah ditemukan
sebagai tretmen yang efektif, sebagai treatmen yang dibatasi waktu (time-
limited treatment) untuk mengatasi masalah marah (Beck & Fernandes;
Deffenbacher; Trafate dalam Reilly & Shopshire, 2002). Teori belajar sosial
sering kali digunakan sebagai dasar penyusunan manual terapi kelompok
berbasis CBT untuk mengatasi masalah dengan kemarahan atau anger
management (Deffenbacher dalam Reilly & Shopshire, 2002).
Dalam terapi kelompok, remaja juga diberi kesempatan untuk
bertanya tentang nilai- nilai yang mereka pahami sehingga jika tidak sesuai
dengan teman-temannya dapat di ubah dengan pemahaman yang benar akan
nilai. Partisipan mampu belajar berkomunikasi dengan daik dan mendapat
kesempatan untuk meniru perilaku leader sebagai model (Correy, 2012).
Terapi kelompok juga efektif dikarenakan dalam terapi ini anggotanya
mempunyai masalah yang sama sehingga dapat saling mendukung (Nevid,
Rathus, Greene, 2005). Terapi ini mencakup beberapa karakteristik
diantaranya, (1) Intervensi relaksasi, targetnya yaitu komponen emosi dan
fisiologi dari marah, (2) Intervensi kognitif, targetnya yaitu proses kognitif

63
seperti pandangan mengenai permusuhan dan atribusi, keyakinan yang
irasional (irrational beliefs), dan pemikiran yang menghasut, (3) Intervensi
keterampilan komunikaasi, targetnya yaitu mengurangi keasesrtivitasan dan
keterampilan resolusi konflik, (4) Intervensi kombinasi, yaitu
menggabungkan dua atau lebih intervensi CBT dengan target respon yang
bermacam (Deffenbacher dalam Reilly & Shopshire, 2002).

1. Teori Coping Management


Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) coping
adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengatur
kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan
kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan tersebut. Menurut Taylor
(2009) coping didefenisikan sebagai pikiran dan perilaku yang
digunakan untuk mengatur tuntutan internal maupun eksternal dari
situasi yang menekan. Menurut Baron & Byrne (dalam Sarafino, 2006)
menyatakan bahwa coping adalah respon individu untuk mengatasi
masalah, respon tersebut sesuai dengan apa yang dirasakan dan
dipikirkan untuk mengontrol, mentolerir dan mengurangi efek negatif
dari situasi yang dihadapi. Menurut Stone & Neale (dalam Taylor,
2009)) coping meliputi segala usaha yang disadari untuk menghadapi
tuntutan yang penuh dengan tekanan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan cara menghadapi stres dan
bereaksi terhadap tekanan yang berfungsi untuk mencoba memecahkan
masalah dengan mengatur keadaan penuh stres secara dimanis dengan
menggunakan sumber- sumber daya mereka sebagai respon menghadapi
situasi yang mengancam. (Prayascitta, 2010)
a. Strategi Coping
Menurut MacArthur & MacArthur (1999) mendefinisikan
strategi coping sebagai upaya-upaya khusus, baik behavioral maupun
psikologis, yang digunakan orang untuk menguasai, mentoleransi,
mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan

64
stres. Lebih lanjut, strategi coping merupakan upaya yang dilakukan
oleh individu untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal yang
dihasilkan dari sumber stres. Dodds (1993) mengemukakan bahwa
pada esensinya, strategi coping adalah strategi yang digunakan
individu untuk melakukan penyesuaian antara sumber-sumber yang
dimilikinya dengan tuntutan yang dibebankan lingkungan kepadanya.
Secara spesifik, sumber-sumber yang memfasilitasi coping itu
mencakup sumber-sumber personal (yaitu karakteristik pribadi yang
relatif stabil seperti self-esteem atau keterampilan sosial) dan sumber-
sumber lingkungan seperti dukungan sosial dan keluarga atau
sumber finansial (Harrington & Mcdermott, 1993). Friedman (1998)
mengatakan bahwa strategi coping merupakan perilaku atau proses
untuk adaptasi dalam menghadapi tekanan atau ancaman.

b. Bentuk-Bentuk dan Indikator dari Coping Stress


1) Problem Focus Coping
Problem focus coping adalah usaha nyata berupa perilaku
individu untuk mengatasi masalah, tekanan dan tantangan, dengan
mengubah kesulitan hubungan dengan lingkungan yang
memerlukan adaptasi atau dapat disebut pula perubahan eksternal
(Lazarus dalam Effendi, 1999). Strategi ini membawa pengaruh
pada individu, yaitu perubahan atau pertambahan pengetahuan
individu tentang masalah yang dihadapinya berikut dampak-
dampak dari masalah tersebut, sehingga individu mengetahui
masalah dan konsekuensi yang dihadapinya.
Problem focus coping merupakan respon yang berusaha
memodifikasi sumber stres dengan menghadapi situasi
sebenarnya (Pramadi, 2003). Problem focus coping merupakan
coping stress yang orientasi utamanya adalah mencari dan
menghadapi pokok permasalahan dengan cara mempelajari
strategi atau keterampilan-kererampilan baru dalam rangka

65
mengurangi stresor yang dihadapi dan dirasakan. Lebih lanjut
menurut Lazarus (dalam Hapsari, 2002) coping stress yang
berpusat pada masalah, individu mengatasi stres dengan
mempelajari cara- cara atau keterampilan-keterampilan baru.
Individu cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya yakin
akan dapat mengubah situasi.
Menurut Lazarus (dalam Aldwin dan Revenson 1987)
indikator yang menunjukkan strategi yang berorientasi pada
problem focus coping yaitu:
a. Instrumental action (tindakan secara langsung). Individu
melakukan usaha dan merencanakan langkah-langkah yang
mengarah pada penyelesaian masalah secara langsung serta
menyusun rencana untuk bertindak dan melaksanakannya.
b. Cautiousness (kehati-hatian). Individu berfikir, meninjau, dan
mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan masalah,
berhati-hati dalam merumuskan masalah, meminta pendapat
orang lain dan mengevaluasi strategi yang pernah diterapkan
sebelumnya.
c. Negotiation Individu melakukan beberapa usaha untuk
membicarakan serta mencari cara penyelesaian dengan orang lain
yang terlibat di dalamnya dengan harapan masalah dapat
terselesaikan. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengubah
pikiran dan pendapat seseorang, melakukan perundingan atau
kompromi untuk mendapatkan sesuatu yang positif dari situasi.
Bentuk-bentuk problem focus coping menurut Lazarus (dalam
Effendi, 1999) yaitu preparing focus coping, agression or attack,
avoidance, dan apathy orinaction.
Lebih lanjut menurut Aldwin dan Revenson (1987) problem
focus coping meliputi tindakan instrumental yaitu tindakan yang
ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung serta
menyusun rencana-rencana yang dilakukan. Sedangkan negosiasi

66
yaitu usaha yang ditujukan kepada orang lain yang terlibat atau
menjadi penyebab masalah yang sedang dihadapinya. Indikator-
indikator problem focus coping yang peneliti gunakan adalah dari
Lazarus (dalam Aldwin dan Revenson 1987) yaitu instrumental
action,cautiousness, negotiation.
2) Emotion focus coping
Emotion focus coping adalah upaya untuk mencari dan
memperoleh rasa nyaman dan memperkecil tekanan yang
dirasakan, yang diarahkan untuk mengubah faktor dalam diri
sendiri dalam cara memandang atau mengartikan situasi
lingkungan, yang memerlukan adaptasi yang disebut pula
perubahan internal. Emotion focus coping berusaha untuk
mengurangi, meniadakan tekanan, untuk mengurangi beban
pikiran individu, tetapi tidak pada kesulitan yang sebenarnya
(Lazarus dalam Effendi, 1999).
Emotion focus coping lebih sesuai dilakukan oleh subjek
yang memiliki usia berkisar antara 17 sampai 20 tahun karena
mereka belum mencapai tahap perkembangan yang matang untuk
bisa menggunakan problem focus coping (Tanumidjojo, 2004).
Menurut Pramadi (2003) Emotion focus coping merupakan respon
yang mengendalikan penyebab stress yang berhubungan dengan
emosi dan usaha memelihara keseimbangan yang efektif. Perilaku
koping yang berpusat pada emosi yang digunakan untuk mengatur
respon emosional terhadap stres. Sementara emotion focus coping
menurut Hapsari (2002) merupakan pelarian dari masalah yaitu
individu menghindari masalah dengan cara berkhayal atau
membayangkan seandainyadia berada pada situasi yang
menyenangkan.
Menurut Lazarus dkk (dalam Aldwin dan Revenson 1987)
indikator yang menunjukkan strategi yang berorientasi pada
emotion focus coping yaitu:

67
a. Escapism (Pelarian diri dari masalah). Usaha yang dilakukan
individu untuk menghindari masalah dengan cara berkhayal atau
membayangkan hasil yang akan terjadi atau mengkhayalkan
seandainya ia berada dalam situasi yang lebih baik dari situasi
yang dialaminya sekarang. Cara yang dilakukan untuk
menghindari masalah dengan tidur lebih banyak, minum
minuman keras, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, dan
menolak kehadiran orang lain.
b. Minimalization (meringankan beban masalah). Usaha yang
dilakukan individu untuk menghindari masalah dengan cara
menolak memikirkan masalah dan menganggap seakan-akan
masalah tersebut tidak ada dan menekan masalah menjadi
seringan mungkin.
c. Self blame (menyalahkan diri sendiri). Perasaan menyesal,
menghukum dan menyalahkan diri sendiri atas tekanan masalah
yang terjadi atau strategi lainnya yang bersifat pasif dan
intropunitif yang ditujukan ke dalam diri sendiri. d. Seeking
meaning (mencari arti). Usaha individu untuk mencari makna
atau mencari hikmah dari kegagalan yang dialami dan melihat
hal- hal lain yang penting dalam kehidupan. Bentuk-bentuk
Emotion focus coping oleh Lazarus (dalam Effendi, 1999) yaitu,
identifikasi, represi, denial, proyeksi, reaksi formasi,
displacement, rasionalisasi. Carver (dalam Hapsari, 2002)
membagi aspek-aspek coping stress menjadi empat pertama
keaktifan diri yaitu suatu tindakan untuk mencoba menghilangkan
atau mengelabuhi penyebab stress atau memperbaiki akibatnya
dengan cara bertindak langsung, religiusitas yaitu sikap individu
untuk menenangkan dan menyelesaikan masalah-masalah secara
keagamaan.
Lebih lanjut Ebata (dalam Herdiansyah, 2007) menjelaskan
macam-macam strategi coping stress, yaitu strategi mendekat

68
(approach strategy) adalah suatu usaha atau cara kognitif untuk
memahami sumber penyebab kecemasan dan berusaha untuk
menghadapi masalah penyebab kecemasan tersebut beserta
konsekuensinya secara langsung dan strategi menghindar
(avoidance strategy) adalah meminimalisasi sumber penyebab,
kemudian memunculkan usaha dalam bentuk tingkah laku untuk
menarik atau menghindarkan diri dari sumber penyebab tersebut.
Indikator-indikator emotion focus coping yang peneliti gunakan
adalah dari Lazarus (dalam Aldwin dan Revenson 1987) adalah
escapism, minimalization, self blame, dan seeking meaning.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi Coping Stress


1) Jenis Kelamin
Laki-laki dan perempuan sama-sama menggunakan kedua
bentuk koping yaitu problem focus coping dan emotion focus
coping. Menurut Billings dan Moos (dalam Pramadi, 2003),
wanita lebih cenderung berorientasi pada emosi sedangkan pria
lebih berorientasi pada masalah. Secara umum respon coping
stress antara pria dan wanita hampir sama, tetapi wanita lebih
lemah atau lebih sering menggunakan penyaluran emosi
daripada pria (Hapsari, 2002).
2) Tingkat Pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seesorang akan semakin
tinggi pula kompleksitas kognitifnya, demikian pula sebaliknya.
Oleh karenanya seseorang yang berpendidikan tinggi akan lebih
realistis dan aktif dalam memecahkan masalah.
3) Perkembangan Usia
Struktur psikologis seseorang dan sumber-sumber untuk
melakukan coping akan berubah menurut perkembangan usia
dan akan membedakan seseorang dalam merespons tekanan.
Menurut Garmezy (dalam Hapsari, 2002) coping stress akan

69
berbeda untuk setiap tingkat usia. Pada usia muda akan
menggunakan problem focus coping sedangkan pada usia yang
lebih tua akan menggunakan emotion focus coping. Hal ini
disebabkan pada orang yang lebih tua memiliki anggapan bahwa
dirinya tidak mampu melakukan perubahan terhadap masalah
yang dihadapi sehingga akan bereaksi dengan mengatur
emosinya daripada pemecahan masalah.
4) Status Sosial Ekonomi
Seseorang dengan status sosial ekonomi rendah akan
menampilkan koping yang kurang aktif, kurang realistis, dan
lebih fatal atau menampilkan respon menolak, dibandingkan
dengan seseorang yang status ekonominya lebih tinggi. Menurut
Tanumidjojo (2004) faktor-faktor yang mempengaruhi coping
stress antara lain perkembangan kognitif, yaitu bagaimana
subjek berpikir dan memahami kondisinya, kemudian
kematangan usia yaitu bagaimana subjek mengelola emosi,
pikiran, dan perilakunya saat menghadapi masalah. Hal lainnya
adalah urutan kelahiran yaitu posisi subjek diantara saudara-
saudaranya yang berpengaruh terhadap karakteristik subjek
dalam menilai dirinya sendiri, serta moral yaitu bagaimana
subjek memandang aturan tentang masalah yang sedang
dihadapi, Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi coping stress adalah jenis kelamin,
tingkat pendidikan, perkembangan usia, konteks lingkungan dan
sumber individual serta status sosial ekonomi. Sementara faktor-
faktor lain yang mempengaruhi coping stress adalah
perkembangan kognitif, kematangan usia, urutan kelahiran,
moral, pola asuh orang tua, peran orang tua, habit, religi, nilai
dan pemahaman subjek tentang masalah yang dihadapi.

70
2. Manajemen marah
Pengendalian emosi marah (Anger management) adalah suatu
tindakan yang mengatur pikiran, perasaan, nafsu marah dengan cara yang
tepat dan positif serta dapat diterima secara sosial, sehingga dapat
mencegah sesuatu yang buruk terjadi baik pada diri sendiri maupun
orang lain. Seseorang tidak bisa melepaskan atau menghindari sesuatu
atau orang lain yang membuat mereka marah, juga tidak bisa
mengubahnya, tapi seseorang tersebut dapat belajar untuk mengontrol
reaksi yang akan diberikan terhadap hal-hal tersebut (Holloway, 2003).
Menurut American Psychological Association (Bast, 2011) ada beberapa
cara untuk mengendalikan emosi marah pada saat berada dalam situasi
yang tidak menyenangkan, yaitu:
a. Relaksasi
Melakukan relaksasi sederhana, bernafas dengan dalam namun
santai, dapat membantu menenangkan perasaan marah. Melakukan
relaksasi ini dapat dilakukan dengan menarik nafas dalam-dalam dari
diafragma, bayangkan nafas datang dari dalam diri. Perlahan-lahan
ulangi kata atau frase menenangkan seperti, "santai" atau "tenang
saja", terus ulangi sambil mengambil nafas yang dalam. Selain itu
dapat juga dilakukan dengan cara memvisualisasikan pengalaman
santai dari memori atau imajinasi, yoga dan kegiatan serupa juga
dapat mengendurkan otot dan menenangkan diri. Dengan
mempraktekkan teknik tersebut sehari-hari maka jika kita berada
dalam situasi tegang atau marah kita juga dapat menggunakan teknik
ini. Berikut ini adalah macam-macam teknik relaksasi menurut
Miltenberger (2004), yaitu, Relaksasi otot progresif (Progressive
muscle relaxation), Pernafasan (Diaphragmatic Breathing), Meditasi
(Attention-focusing Exercises), Relaksasi Perilaku (Behavioral
relaxation Training).
b. Cognitive Restructuring

71
Sederhananya, cognitive restructuring berarti mengubah cara
berpikir. Bila sedang marah, pikiran bisa terlalu dramatis. Ketika ada
sesuatu yang tidak beres, seseorang mungkin mengatakan pada
dirinya, "Semuanya hancur!", dengan cognitive restructuring,
seseorang dapat mengganti pikiran-pikiran negatif dengan yang lebih
masuk akal atau positif. Mungkin seseorang dapat mengatakan
kepada diri sendiri sebagai gantinya, "Ini membuat frustrasi, tapi itu
bukan akhir dari dunia.". Salah satu strategi untuk melakukan
cognitive restructuring adalah dengan menghindari kata-kata seperti
"tidak pernah" atau "selalu" ketika berbicara tentang diri sendiri atau
orang lain.
c. Problem Solving
Kadang-kadang kemarahan dan frustrasi adalah hasil dari
masalah yang sangat nyata dan tak terhindarkan dalam hidup kita.
Kemarahan dapat menjadi respon, sehat dan alami dari kesulitan ini.
Beberapa orang memiliki keyakinan budaya bahwa setiap masalah
ada solusinya. Keyakinan yang menambah frustrasi mereka ketika
mereka tahu bahwa hal ini tidak selalu benar. Jika tidak dapat
menemukan solusi, fokus pada bagaimana menangani dan
menghadapi masalah dengan membuat rencana dan memeriksa
kemajuan sepanjang jalan menggunakan panduan untuk manajemen
pengorganisasian atau waktu jika diperlukan. Berikan yang terbaik,
tapi tidak menghukum diri sendiri jika tidak menemukan jawaban
dengan segera akan membantu menemukan solusi.
d. Komunikasi yang lebih baik
Orang yang marah cenderung untuk menarik kesimpulan yang
terlalu megada-ada. Jika seseorang berada dalam diskusi panas, hal
yang tepat adalah mendengarkan dengan cermat apa yang dikatakan
orang lain, kemudian mengambil waktu sebelum menjawab. Selain
itu dengan tidak langsung mengatakan hal pertama yang ada dalam
pikiran juga harus dilakukan. Menurut Uripni, dkk (2003), ada dua

72
jenis komunikasi, yaitu komunikasi verbal dan nonverbal.
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan bahasa
sebagai alat sehingga komunikasi verbal ini sama artinya dengan
komunikasi kebahasaan. Sedangkan komunikasi nonverbal adalah
komunikasi yang tidak meggunakan bahasa lisan maupun tulisan,
tetapi menggunakan bahasa kial, bahasa gambar, dan bahasa tubuh.
e. Humor
Humor identik dengan segala sesuatu yang lucu, yang
membuat orang tertawa. Dalam Ensiklopedia Indonesia, seperti yang
dinyatakan oleh Setiawan (Rahmanadji, 2007), humor itu kualitas
untuk menghimbau rasa geli atau lucu, karena keganjilannya atau
ketidakpantasannya yang menggelikan, paduan antara rasa kelucuan
yang halus di dalam diri manusia dan kesadaran hidup yang iba
dengan sikap simpatik. Humor dibagi menjadi dua macam, yaitu
humor verbal dan humor konseptual. Humor verbal adalah humor
yang memakai aspek bahasa, baik secara lisan maupun tulisan untuk
memberikan efek lucu terhadap sesuatu. Sedangkan humor
konseptual adalah humor yang melibatkan konsep atau ide yang
dianggap lucu tanpa menggunakan aspek bahasa untuk
menyampaikan kesan lucu (Jensen,2009).

Ada beberapa terapi yang dapat digunakan sebagai salah satu teknik
mengelola emosi seseorang, yaitu:
a. Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah pendekatan pemberian bantuan yang
bertujuan mengubah suasana hati (mood) dan perilaku dengan
mempengaruhi pola berpikirnya. Bentuk dari terapi kognitif berupa
catatan harian pemikiran disfungsional. Pada dasarnya terapi
kognitif bertujuan untuk:
1) Mengenali kejadian yang menyebabkan reaksi yang berupa
amarah.

73
2) Mengenali dan memonitor distorsi-distorsi kognitif yang
muncul dalam suatu peristiwa atau kejadian. Kemudian
berusaha mencari kebenarannya, yaitu dengan cara mencari
hubungan antara kognisi dan afeksi.
3) Mengubah cara berpikir dalam menginterpretasi dan
mengevaluasi suatu kejadian dengan cara-cara yang lebih sehat.
Distorsi kognitif bersifat otomatis dan tidak disadari, maka
dalam terapi kognitif seseorang diajak untuk mengevaluasi
kembali cara berpikirnya dalam menginterpretasi dan
mengevaluasi suatu kejadian. Jadi seseorang dilatih untuk
mengenali dan menguji apakah cara berpikirnya terhadap suatu
kejadian benar dan realistis. Ada beberapa bentuk distorsi
kognitif yang biasanya dialami oleh individu, yaitu:
4) Over generalization (terlalu menggeneralisasi)
Mengambil kesimpulan umum dari satu atau sedikit kejadian.
Kesimpulan ini kemudian diterapkan secara luas pada kondisi
yang sama atau tidak sama. Contoh: seorang suami yang
memanggil istrinya untuk membawakan obat dari lantai bawah
ke lantai atas tetapi tidak dijawab. Lalu ia mengambil
kesimpulan bahwa istrinya tidak mempedulikan dia lagi.
5) Pembesaran (magnification)
Melebih-lebihkan arti atau pentingnya sesuatu hal. Biasanya
terjadi bila melihat kesalahan diri sendiri atau kesalahan orang
lain. Contoh: suatu kali ada seseorang yang melupakan
janjinya, lalu temannya menganggap bahwa ia telah melakukan
suatu kesalahan besar yang tidak dapat dimaafkan.
6) In Exact Labeling (memberi cap secara keliru)
Memberi cap pribadi atau menciptakan suatu gambaran diri
yang negatif dan didasarkan pada kesalahan diri sendiri. Ini
merupakan suatu bentuk ekstrem dari overgeneralisasi.

74
Pernyataan Harus Mencoba menggerakkan diri sendiri atau
orang lain dengan pernyataan “harus” serta “seharusnya tidak”,
seolah-olah diri sendiri atau orang lain harus bertindak sesuai daftar
aturan yang tidak fleksibel.
b. Assertivity
Asertivitas adalah perilaku interpersonal yang mengandung
pengungkapan pikiran dan perasaan secara jujur dan relatif
langsung yang dilakukan dengan mempertimbangkan perasaan dan
kesejahteraan orang lain. Seseorang dapat dikatakan berperilaku
asertif jika ia mempertahankan dirinya sendiri, mengekspresikan
perasaan yang sebenarnya, dan tidak membiarkan orang lain
mengambil keuntungan dari dirinya. Pada saat yang bersamaan, ia
juga mempertimbangkan bagaimana perasaan orang lain.
Keuntungan berperilaku asertif, yaitu mendapatkan apa yang
diinginkan dan biasanya tanpa membuat orang lain marah.

75
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
1. Marah adalah emosi yang ditandai dengan antagonisme terhadap
seseorang atau sesuatu yang dirasakan telah sengaja melakukan kesalahan.
2. Fakta sains dan medis menunjukkan bahwa neurotransmitter otak, yaitu
serotonin berperan dalam regulasi marah dan agresi.
3. Produk gen Monoamine Oxidase A (MAOA) dipercaya berperan dalam
mengatur metabolisme enzimatik neurotransmitter serotonin, dopamin,
dan norepinephrine, sehingga memodulasi regulasi emosi dan fungsi otak
secara umum.
4. Pengaruh genotip MAOA yang rendah dapat menjadi faktor resiko
agresivitas.

76
DAFTAR PUSTAKA

A.J Dunn. 2005. Interaction Between The Nervous System and Immune System In
Psychoneuroimmunology. New York: Raven Press. hh.31,719-721.

Addotta, K (2006). Anger! www.kipaddotta.com/mental-health/anger.html diakses


pada Oktober 2015

Ader R (2000). On the development of psychoimmunoneurology. Eur Journal of


Pharmacol, 405

Alia-Klein N, Goldstein RZ, Tomasi D, Zhang L, Fagin-Jones S, Telang F, et al.


What is in a word? No versus Yes differentially engage the lateral
orbitofrontal cortex. Emotion 2007;7:649–659. [PubMed: 17683220]

Alia-klein, N., Goldstein, R. Z., Tomasi, D., Woicik, P. A., Moeller, S. J.,
Williams, B., Volkow, N. D., et al. (2009). Neural Mechanisms of Anger
Regulation as a Function of Genetic Risk for Violence. National Instituites
of Health, 9(3), 385–396. doi:10.1037/a0015904.Neural

Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian (edisi revisi). Malang: UMM Press.Feist,


J.

Artini, N. P. J., dkk, 2013, Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Proyek


Terhadap Kecerdasan Emosional Siswa, e-Journal Program Pascasarjana :
Universitas Pendidikan Ganesha

Aron AR, Robbins TW, Poldrack RA. 2004. Inhibition and the right inferior
frontal cortex. Trends Cogn Sci 8:170-177.

Bast, Mary R. (2011). Controlling Anger - Before It Controls You (On-Line).


Diambil dari http://www.apa.org.

Berk, L. (2003). Child Development. Berlin: Pearson Education, Inc.

Bhave, Swati. Y., & Saini, Sunil. (2009). Anger Management. New Delhi:
SAGE publications India Pvt Ltd.

77
Blake, Christie S., & Hamrin, Vanya. (2007). Current Approaches to the
Assessment and Management of Anger and Aggression in Youth: A
Review.Journal of Child and Adolescent Psychiatric Nursing; Nov; 20, 4;
Proquest pg 209.

Bodenmann, G., Meuwly, N., & Bradbury, T. N. (2010). Stress , anger , and
verbal aggression in intimate relationships : Moderating effects of individual
and dyadic coping. Journal of Social and Personal Relationships, 27(3),
408–424. doi:10.1177/0265407510361616

Boerma, C (2007). Physiology of anger. http://healthmad.com/mental-


health/physiology-of-anger/ diakses pada Oktober 2015

Boeree, C. George. 2008. Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda


Bersama Psikologi Dunia. Jogjakarta: Prismasophie

Bucharest, P. (2010). Anger and health risk behaviors. Journal of Medicine and
Life, 3(4), 372–375.

Buckholtz JW, Meyer-Lindenberg A. MAOA and the neurogenetic architecture of


human aggression. Trends Neurosci 2008;31(3):120–9.

Cahill L, Haier RJ, Fallon J, Alkire MT, Tang C, Keator D, Wu J, McGaugh JL.
1996. Amygdala activity at encoding correlated with long-term, free recall
of emotional information. Proc Natl Acad Sci U S A 93:8016-8021.

Chaplin J.P. 1981. Kamus Lengkap PSIKOLOGI. Terjemah. Jakarta: Rajawali


Press.

Carr DB and Gaudas LC. 2009. Acute Pain. Lancet. Hh. 2052-2058.

Cases O, Seif I, Grimsby J, Gaspar P, Chen K, Pournin S, et al. Aggressive


behavior and altered amounts of brain serotonin and norepinephrine in mice
lacking MAOA. Science 1995;268(5218):1763–6.

78
Cautin, Robin L., Overholser, James C. & Goetz Patricia. 2001. Assesment of
Mode of Anger Expression In Adolescent Psychiatric Inpatients. Proquest

Chester, D. S., Dewall, C. N., Derefinko, K. J., Estus, S., Peters, J. R., Lynam, D.
R., & Jiang, Y. (2015). Monoamine oxidase A ( MAOA ) genotype predicts
greater aggression through impulsive reactivity to negative affect.
Behavioural Brain Research, 283(2015), 97–101.
doi:10.1016/j.bbr.2015.01.034

Chrousos GP and Gold PW. 2002. The Concepts of Stress And Stress System
Disorders. Overview of Physical And Behavioral Homeostasis. JAMA. 267.
1244-52.

Cohen N, Kinney KS (2001). Exploring the phylogenetic history of neural-


immune system interaction. In psychoneuroimmunology 3rd ed, edited by
Robert Ader, David LF, Nicholas Cohen, volume 1, pp: 21-54.

Correy, Gerald. 2012. Theory and Practice of Group Counseling Eighth Edition.
Belmonth CA: Brooks/ Cole.

David, Stephen F (2008). 21st Century Psychology: A Reference Handbook.


United States of America:Sage Publication Ltd
Deffenbacher, J. L. (2010). Cognitive-Behavioral Conceptualization and
Treatment of Anger. Cognitive and Behavioral Practice, 18(2), 212–221.
doi:10.1016/j.cbpra.2009.12.004

Denson TF, Dobson-Stone C, Ronay R, von Hippel W, Schira MM. A functional


polymorphism of the MAOA gene is associated with neu- ral responses to
induced anger control. J Cogn Neurosci 2014;26(7): 1418–27.

Dodds, A. (1993). Rehabilitating blind and visually impaired people: A


psychological approach.

Duffy, Joe. 2012. Managing Anger and Aggression : Practical Guidance for
Schools. South Eastern Education and Library Board: Psychology/ Behavior
Support Section.

79
Eastwood JD, Smilek D, Merikle PM. 2001. Differential attentional guidance by
unattended faces expressing positive and negative emotion. Percept
Psychophys 63:1004-1013.

Elenkov IJ, Iezzoni DG, Daly A, Harris AG, and Chrousos GP. 2005. Cytokine
Dysregulation, Inflammation And Well being.
Neuroimmunomodulation.12(5):255-69.

Fabiansson, E. C., Denson, T. F., Moulds, M. L., Grisham, J. R., & Schira, M. M.
(2011). NeuroImage Don ’ t look back in anger : Neural correlates of
reappraisal , analytical rumination , and angry rumination during recall of an
anger-inducing autobiographical memory. NeuroImage, 59(2012), 2974–
2981. doi:10.1016/j.neuroimage.2011.09.078

Falentina, Febie Ola (2012) Asertivitas Terhadap Pengungkapan Emosi Marah


Pada Remaja. Riau : UIN Suaka

Fawzy IF. 2005. Behavior and Immunity. In Comprehensive Texbooks of


Psychiatry VI, Baltimore Tokyo: William and Wilkins.

Feist, J. & Feist, G. (2008). Theories of Personality (Edisi keenam). Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.
Friedman, M. Marilyn. (1998). Keperawatan Keluarga : Teori dan Praktik. Jakarta
: EGC.

Friedman, H. S. & Schuctack M. W. (2006). Kepribadian: Teori klasik dan riset


modern (edisi ketiga). Jakarta: Erlangga.

Goldstein M, Brendel G, Tuescher O, Pan H, Epstein J, Beutel M, Yang Y,


Thomas K, Levy K, Silverman M, Clarkin J, Posner M, Kernberg O, Stern
E, Silbersweig D. 2007. Neural substrates of the interaction of emotional
stimulus processing and motor inhibitory control: an emotional linguistic
go/no-go fMRI study. Neuroimage 36:1026-1040.

Goleman, Daniel. 2009. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

80
Harrington, R. G. & Mcdermott, D. 1993. “A Model for the Interpretation of

Hart, T., Ann, J., Fann, J. R., Maiuro, R. D., & Vaccaro, M. J. (2014). Anger self-
management in chronic traumatic brain injury : protocol for a psycho-
educational treatment with a structurally equivalent control and an
evaluation of treatment enactment. Contemporary Clinical Trials, 40(2015),
180–192. doi:10.1016/j.cct.2014.12.005

Hasan, Aliah B. Purwakania. 2006. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: Raja


Grafindo Persada.

Hendricks L, Bore S, Aslinia D, and Morriss G. 2013. The Effects of Anger on the
Brain and Body. National Forum Journal Of Counseling And Addiction
Volume 2

Ho, RCM, Neo, LF, Chua, ANC, Cheak, AAC, Mak, A. 2010. “Research on
Psychoneuroimmunology: Does Stress Influence Immunity and Cause
Coronary Artery Disease?” Ann Acad Med Singapore (39): 191-196.Lench,
Heather C. (2004). Anger Management: Diagnostic Differences and
Treatment Implications. Journal of Social and Clinical Psychology; Aug;
23, 4; Proquest pg. 512.

Holloway, B. W. (2003). Stat Fact: the Clinical Pocket Reference For Nurses.F.A
Philadelphia: Davis Company.

Holloway, B. W. (2003). Stat Fact: the Clinical Pocket Reference For Nurses.F.A
Philadelphia: Davis Company.

Jensen, K. E. (2009). Humor. Denmark: Modern World.

Lench, Heather C. 2004. Anger Management: Diagnostic Differences And


Treatment Implications. Journal Of Social And Clinical Psychology, Vol.
23, No. 4, Pp. 512-531

81
Leuner et al.(2010). Sexual Experience Promotes Adult Neurogenesis in the
Hippocampus Despite an Initial Elevation in Stress Hormones. Plos One.

London: Chapman & Hall.Dunbar Berthenya. (2004). Anger Management: A


Holistic Approach. Journal of the American Psychiatric Nurses
Association, Vol. 10, No.1.

Luiz, Pessoa. 2009. Scholarpedia,cognition and emotion dalam


http://www.scholarpedia.org/article/Cognition_and_emotion (diakses
November 2015)

MacArthur, J.D., and MacArthur, C.T. (1999). Coping Strategies. UCSF.


(Online): http://www.macses.ucsf.edu/research/psychosocial/coping.php

Miltenberger, R. G. (2004). Behavior modification principle and procedures.


Wadsworth: USA.

Morris, Desmond (1967). Primate Ethology. London: Weidenfeld & Nicolson


Publishers.

Murphy FC, Nimmo-Smith I, Lawrence AD. Functional neuroanatomy of


emotions: A meta-analysis. Cognitive Affective Behavior Neuroscience
2003;3:207–233.

Ochsner KN, Gross JJ. 2008. Cognitive emotion regulation. Curr Dir Psych Sci
17:153-158.

Personality Assessments of Individuals with Visual Impairments”. The Journal of


Rehabilitation, 59 (4).

Prayascitta, Putri. 2010. Hubungan Antara Coping Stress Dan Dukungan Sosial
Dengan Motivasi Belajar Remaja Yang Orangtuanya Bercerai. Program
Studi Psikologi Fakultas Kedokteran UNS:2010

Price SA and Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit Jilid II, 6thed. EGC: Jakarta.

82
Rahmanadji, D. (2007). Sejarah, Teori, Jenis, Dan Fungsi Humor. Jurnal Bahasa
Dan Seni Volume 35, Nomor 2: 213-221.

Rahyono, F.X (2009) Kearifan Budaya Dalam Kata, Cetakan Pertama.


Wedatama Widya Sastra: Jakarta.
Raymond, W. Novaco (2000). Anger. Encyclopedia of Psychology. Oxford
University Press.

Reilly, P.M.; Shopshire, M.S.; Durazzo, T.C.; and Campbell, T.A. (2002). Anger
Management for Substance Abuse and Mental Health Clients: Participant
Workbook. Rockville, MD: Center for Substance Abuse Treatment.

Reilly, Patrick M., & Shopshire, Michael S. (2002). Anger Management –for
substanceabuse and mental health clients. USA: US. Department of Health
and Human Services (DHHS).

Riley, Patrick M. & Shopshire, Michael S. 2002. Anger Management for


Substance Abuse and Mental Health Clients: A Cognitive Behavior
Theraphy Manual. Washington: U.S. Department of Health and Human
Service.

Salkind, Neil J. (2004). An Introduction to Theories of Human Development.


Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. International
Education and Publisher

Santrock, John W. 2007. Remaja. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J.W. 2002. Life Span Development-Perkembangan Masa Hidup Jilid 1.


Jakarta
Sarafino, E.P. (2006). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. Fifth
Edition. USA: John Wiley & Sons.

Sociology, (Online), 36 (141): 163-170, (http://www.search.proquest.com),


diakses pada 10 November 2012.

83
Sternberg, Robrt J. 2008. Psikologi Kognitif. Edisi Keempat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Suharnan, MS. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi

Sundari, Siti. 2005. Kesehatan Mental Dalam Kehidupan. Jakarta: Rineka Citra.

Suseno , Franz Magnis (1997) Javanese Ethics and World-View (The Javanese
Idea Of The Good Life). Jakarta : PT Gramedia Pustaka utama
Taylor, S.E., Peplau, L.A., Sears, D.O., (2009) . Psikologi Sosial (edisi ke dua
belas). Jakarta :Kencana Prenada Media Group

Thomas, Sandra P. (2001). Teaching Healthy Anger Management. Perspective in


Psychiatric Care Vol.37, No.2, April-June; 37,2; Proquest pg. 41.

Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. International Education


and Publisher

Timothy Schoenfeld dan Elizabeth Gould (2011). Stress, Stress Hormones, and
Adult Neurogenesis. Exp Neurol, 233(1): 12–21.

Tulogdi, A., Biro, L., Barsvari, B., Stankovic, M., Haller, J., & Toth, M. (2015).
Neural mechanisms of predatory aggression in rats — Implications for
abnormal intraspecific aggression. Behavioural Brain Research, 283(2015),
108–115. doi:10.1016/j.bbr.2015.01.030

Uripni, C. L., Sujianto, U., & Indrawati, T. (2003). Komunikasi Kebidanan. Buku
Kedokteran EGC: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan RI.

Wigati, Indah. 2013. Teori Kompensasi Marah dalam Perspektif Psikologi Islam.
Ta’dib Vol. 28 No. 02. Palembang : Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN
Raden Fatah

Wingenfield K, Wolf OT (2011). HPA Axis Alterations in Mental Disorders:


Impact on Memory and its Relevance for Therapeutic Interventions. CNS
Neuroscience and Therapeutics, 17: 714-22

84
Yingxu Wang. 2007. On the Cognitive Processes of Human Perception with
Emotions, Motivations, and Attitudes. Journal of Cognitive Informatics
and Natural Intelligence, University of Calgary, Canada

85

Anda mungkin juga menyukai