Bandar Lampung-Indonesia
Edisi Ke-8
ISBN : -
Diterbitkan oleh :
Agustus 2018
TIM PENYUSUN
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kekuatan serta kemudahan sehingga
penyusun dapat menyelesaikan buku panduan Keterampilan Klinik Semeter 7 ini. Buku ini disusun sebagai
panduan bagi mahasiswa maupun instruktur dalam proses pembelajaran Keterampilan Klinik pada
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (FK Unila) semester 7
tahun ajaran 2018-2019.
Pada semester 7 ini, mahasiswa diperkenalkan dengan keterampilan yang sesuai dengan tahunnya
mencakup keterampilan menyampaikan berita buruk/breaking bad news, visum et repertum, pembuatan
sertifikat kematian, prosedur pemasangan infus, intubasi endotrakeal, resusitasi jantung paru, pengeluaran benda
asing hidung dan telinga, pemasangan tampon hidung, serta keterampilan klinis komprehensif berbagai sistem
tubuh. Buku panduan ini disusun dengan mengacu pada kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang dokter
yang tertuang dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012.
Pada buku edisi 8 ini, terdapat beberapa revisi minor pada beberapa aspek keterampilan. Selebihnya
adalah terdapat beberapa revisi teknis pada keterampilan laboratorium dari para kontributor.
Penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada konributor yang telah memberikan
masukan demi memperkaya materi buku ini, pengelola KBK FK Unila, maupun pihak- pihak lain yang turut
membantu hingga selesainya buku ini.
Dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang ada, semoga buku ini dapat digunakan dengan
sebaik-baiknya. Untuk kesempurnaan penyusunan buku ini berikutnya kritik dan saran sangat kami harapkan.
PJ CSL 7
DAFTAR ISI
Level Kompetensi..................................................................................................................................... 13
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan akan mengikuti regulasi CSL berupa:
1. Kegiatan CSL setiap topik terbagi atas 2 sesi. Buku Panduan CSL akan di-upload di website;
2. Pada kegiatan CSL terdapat 2 buku, yakni Buku Panduan CSL dan Buku Kegiatan CSL yang wajib
dibawa setiap sesi;
3. Keikutsertaan 100% dan hadir tepat waktu;
4. Pada Sesi 1 akan dilakukan pre-test secara serentak dan dikumpulkan pada instruktur yang
bertugas;
5. Jika terlambat ≤15 menit dapat mengikuti CSL dengan pre-test susulan;
6. Jika terlambat >30 menit tidak diperkenankan mengikuti CSL;
7. Pada sesi 1 akan langsung diumumkan mahasiswa/i yang mendapat nilai pre-test <70;
8. Pada sesi 1 mahasiswa, mahasiswa yang mendapat nilai pre-test <70, diberi kesempatan untuk
belajar di luar ruangan selama 15 menit kemudian melakukan pre-test ulang.
9. Pada Sesi 2 mahasiswa melakukan keterampilan klinik dengan dinilai oleh rekannya dibawah
pengawasan instruktur. Mahasiswa dengan nilai pre-test <70 diprioritaskan untuk melakukan CSL;
10. Penilaian dilakukan pada buku kegiatan mahasiswa dan ditanda tangani oleh instruktur saat
pelaksanaan skills lab berlangsung sebagai bukti otentik latihan serta tidak boleh disobek;
11. Pada halaman terakhir Buku Kegiatan CSL terdapat Bukti Penilaian Formatif CSL yang harus diparaf
setiap selesai latihan oleh instruktur yang bertugas;
12. Pada akhir blok, mahasiswa wajib mengumpulkan buku kegiatan agar rekapitulasi bukti penilaian
tersebut dapat diperiksa dan diberikan rekomendasi layak/tidaknya mengikuti OSCE oleh PJ CSL blok
yang bersangkutan;
13. Lembar rekomendasi diberikan kepada bagian administrasi seminggu sebelum ujian OSCE
dilaksanakan agar dapat mengikuti OSCE;
14. Mahasiswa/i yang tidak menghadiri CSL maka harus mendapatkan rekomendasi dari Dekan Fakultas
Kedokteran Unila untuk mengikuti CSL susulan dengan menanggung biaya pelaksanaan CSL
tersebut (seperti biaya BHP dan pemeliharaan alat);
15. Wajib mentaati Tata Tertib dan semua aturan yang berlaku di FK Unila;
16. Hal-hal yang belum diatur dalam regulasi ini akan ditetapkan kemudian.
(……………………………..)
NPM.
Catt : Halaman ini harap diprint, ditandatangani dan dikumpul ke PJ CSL
REGULASI
1. Kegiatan CSL setiap topik terbagi atas 2 sesi. Buku Panduan CSL akan di-upload di
website;
2. Pada kegiatan CSL terdapat 2 buku, yakni Buku Panduan CSL dan Buku Kegiatan
CSL yang wajib dibawa setiap sesi;
3. Keikutsertaan 100% dan hadir tepat waktu;
4. Pada Sesi 1 akan dilakukan pre-test secara serentak dan dikumpulkan pada
instruktur yang bertugas;
5. Jika terlambat ≤15 menit dapat mengikuti CSL dengan pre-test susulan;
6. Jika terlambat >30 menit tidak diperkenankan mengikuti CSL;
7. Pada sesi 1 akan langsung diumumkan mahasiswa/i yang mendapat nilai pre-test
<70;
8. Pada sesi 1 mahasiswa, mahasiswa yang mendapat nilai pre-test <70, diberi
kesempatan untuk belajar di luar ruangan selama 15 menit kemudian melakukan pre-
test ulang;
9. Pada sesi 2 mahasiswa melakukan keterampilan klinik dengan dinilai oleh rekannya
dibawah pengawasan instruktur. Mahasiswa dengan nilai pre-test <70 diprioritaskan
untuk melakukan CSL;
10. Penilaian dilakukan pada buku kegiatan mahasiswa dan ditandatangani oleh
instruktur saat pelaksanaan skills lab berlangsung sebagai bukti otentik latihan serta
tidak boleh disobek;
11. Pada halaman terakhir Buku Kegiatan CSL terdapat Bukti Penilaian Formatif CSL
yang harus diparaf setiap selesai latihan oleh instruktur yang bertugas;
12. Pada akhir blok, mahasiswa wajib mengumpulkan buku kegiatan agar rekapitulasi
bukti penilaian tersebut dapat diperiksa dan diberikan rekomendasi layak/tidaknya
mengikuti OSCE oleh PJ CSL Blok yang bersangkutan;
13. Lembar rekomendasi diberikan kepada bagian administrasi seminggu sebelum ujian
OSCE dilaksanakan agar dapat mengikuti OSCE;
14. Mahasiswa/i yang tidak menghadiri CSL maka harus mendapatkan rekomendasi dari
Dekan Fakultas Kedokteran Unila untuk mengikuti CSL susulan dengan
menanggung biaya pelaksanaan CSL tersebut (seperti biaya BHP dan pemeliharaan
alat);
15. Wajib mentaati Tata Tertib dan semua aturan yang berlaku di FK Unila;
16. Hal-hal yang belum diatur dalam regulasi ini akan ditetapkan kemudian.
TATA TERTIB :
A. Tata tertib umum
2. Berpakaian rapi
Tidak diperbolehkan memakai kaus oblong, celana blue jeans, sandal/sepatu
sandal khusus mahasiswi tidak diperbolehkan berbaju ketat, transparan dan
tanpa lengan atau terlihat ketiak serta harus memakai rok minimal 20 cm di
bawah lutut;
Rambut harus rapi, tidak diperbolehkan berambut gondrong untuk laki-laki;
Kuku harus pendek, bersih, dan tidak menggunakan cat kuku.
16. Penilaian dilakukan pada buku kegiatan mahasiswa dan ditandatangani oleh instruktur saat
pelaksanaan skills lab berlangsung sebagai bukti otentik latihan serta tidak boleh disobek;
17. Jika mahasiswa lupa membawa buku kegiatan pada sesi 2, mahasiswa diperkenankan meminta
tanda tangan instruktur selambat-lambatnya 1 minggu setelah sesi 2 berlangsung. Jika meminta tanda
tangan > 1 minggu, maka tidak diperkenankan mengikuti remedial OSCE;
18. Pada halaman terakhir Buku Kegiatan CSL terdapat Bukti Penilaian Formatif CSL yang harus diparaf
setiap selesai latihan oleh instruktur yang bertugas;
19. Pada akhir blok, mahasiswa wajib mengumpulkan buku kegiatan maksimal 1 minggu sebelum OSCE
berlangsung agar rekapitulasi bukti penilaian tersebut dapat diperiksa dan diberikan rekomendasi
layak/tidaknya mengikuti OSCE oleh PJ CSL blok yang bersangkutan;
20. Lembar rekomendasi Wajib dibawa pada saat briefing OSCE, mahasiswa yang tidak membawa
lembar rekomendasi tidak diperkenankan mengikuti remedial OSCE;
21. Seluruh mahasiswa Wajib hadir pada saat briefing OSCE, bagi yang tidak hadir tidak
diperkenankan mengikuti remedial OSCE;
22. Mahasiswa wajib membawa buku panduan CSL dan buku kegiatan CSL di setiap pertemuan/ sesi
23. Mengikuti pre test dan latihan CSL
24. Pada pertemuan ke-2:
Instruktur akan memberi umpan balik terkait performance mahasiswa, kemudian
mahasiswa harus menuliskan umpan balik tersebut pada kolom umpan balik di buku kegiatan
CSL mahasiswa.
Instruktur menandatangani buku kegiatan setelah mengoreksi kolom isian umpan balik sudah
sesuai dengan masukan yang diberikan.
Bila waktu tidak cukup, instruktur dapat meminta bantuan mahasiswa untuk menilai
performance temannya (peer-assesment) dengan tetap memperhatikan umpan balik
yang diberikan.
25. Bila tidak mengikuti briefing OSCE maka tidak diperkenankan mengikuti REMEDIAL OSCE
PENILAIAN
1. Penilaian formatif
a. Kehadiran 100%, kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh institusi
b. Umpan balik selama latihan berlangsung harus dituliskan pada kolom umpan baik
Intubasi
3. - - √ -
endotrakeal
Pengeluaran
4. - - √ -
benda asing
Pemasangan tampon
5. - - √ -
hidung
7. Visum et Repertum - √ √ -
8. Surat Kematian - - √ -
LEVEL OF COMPETENCE
Keterangan:
A. TEMA
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
C. LEVEL KOMPETENSI
Level
No Jenis Keterampilan
kompete
.
nsi
1. Assessment of mental status 1 2 3 4
2. Educating, advising and coaching of 1 2 3 4
individuals and groups
3. Making a management plan 1 2 3 4
4. Therapeutic consultation 1 2 3 4
5. Reporting and making report 1 2 3 4
1. Kursi 2 buah
2. Sapu tangan/tissu
E. SKENARIO
Pak Purno berusia 66 tahun mengeluhkan berat badannya yang terus menurun dan sering merasa lelah.
Selama ini ia tidak pernah memeriksakan kesehatannya karena ia merasa penyakitnya tidak berat. Pak Purno
baru memeriksakan kesehatannya setelah sering mengalami diare dengan feses bercampur lendir dan
darah, terkadang bewarna hitam. Setelah dirujuk dari puskesmas di kampungnya dan dirawat di RSU
Pak Purno menjalani serangkaian pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa Pak Purno
menderita Ca Colon stadium 3. Bagaimanakah cara dokter menyampaikan berita ini ke Pak Purno?
F. DASAR TEORI
Penting sekali bagi seorang dokter untuk dapat mendefinisikan kabar buruk. Mengidentifikasikan mengapa
kabar tersebut akan dirasakan buruk oleh pasien. Pada dasarnya efek dari buruknya suatu kabar akan
berbanding lurus dengan perubahan harapan pasien.
Definisi praktis dari kabar buruk adalah kabar yang secara drastis dan serius mengubah pandangan
pasien mengenai masa depannya, contohnya tentang terminal illnes, diagnosa penyakit kronis,
keganasan atau hasil pemeriksaan yang abnormal. Kabar buruk akan berdampak pula tidak hanya
pada kehidupan pasien, tetapi juga kehidupan keluarganya. Sebagai seorang dokter, kita tidak dapat
mengetahui bagaimana reaksi pasien terhadap kabar yang disampaikan hingga kita mengetahui persepsi
mereka mengenai kondisi kesehatannya. Aturan yang sangat beharga dalam hal ini adalah “Sebelum
menyampaikan kabar, galilah terlebih dahulu persepsi mereka”.
2. Alasan mengapa penyampaian kabar buruk dengan cara yang tepat menjadi
penting:
a. Sering dilakukan dan dapat merupakan pekerjaan yang sulit. Penyampaian kabar buruk dapat
menjadi tugas yang sulit apabila:
Dokter tidak berpengalaman;
Pasien masih berusia muda;
Terbatasnya harapan akan keberhasilan terapi.
b. Pasien berhak mengetahui kebenaran.
c. Ethical dan legal Imperatives
Dokter tidak dapat menahan informasi medis walaupun informasi tersebut dicurigai akan mempunyai efek
yang tidak baik terhadap pasien.
d. Hasil klinis
Pada umumnya pasien mengharapkan informasi yang akurat sehingga mereka dapat
menentukan keputusan yang tepat dan penting untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
G. PROSEDUR
Perkenalkan Diri
Yang harus dihindari: tampak nervous di hadapan pasien, bahkan sebelum menyampaikan kabar
buruk.
Tips: siapkan tissue di saku, untuk diberikan pada pasien bila pasien menangis.
Privasi Pasien
Penyampaian kabar buruk tidak boleh dilakukan di tempat yang ramai atau banyak orang. Hendaknya
dilakukan di tempat tenang yang tertutup seperti kamar praktek ataupun dengan menutup tirai di
sekeliling tempat tidur pasien.
Libatkan Pendamping
Untuk menghindari kesan kurang baik yang dapat muncul bila pasien dan dokter berada di tempat
tertutup (untuk menjaga privasi), diperlukan satu pendamping.
Yang dapat menjadi pendamping:
- Keluarga terdekat pasien satu saja, apabila terlalu banyak dapat menyulitkan dokter untuk menangani
emosi dan persepsi banyak orang sekaligus. Pendamping sebaiknya merupakan pilihan dari pasien
sendiri.
- Perawat atau dokter muda yang ikut terlibat dalam perawatan pasien.
- Perkenalkan pendamping kepada pasien, jika bukan keluarga pasien.
Posisi Duduk
Posisi pasien dan dokter sebaiknya setara. Dokter menyampaikan kabar buruk dalam posisi duduk.
Tujuan: untuk menghilangkan kesan terburu-buru dalam penyampaian dan kesan dokter berkuasa serta
memojokkan pasien. Apabila baru dilakukan pemeriksaan terhadap pasien, sebaiknya pasien diminta
untuk mengenakan pakaiannya terlebih dahulu.
Membangun Hubungan dengan Pasien
Hal ini dapat dilakukan dengan cara menggunakan bahasa non verbal selayaknya bila perlu untuk
menunjukkan empati misalnya menjaga kontak mata ataupun menyentuh bahu atau lengan pasien
(apabila pasien nyaman dengan ini).
Listening, Mendengarkan
Sebelum menyampaikan kabar buruk, hendaknya persiapkan kemampuan „mendengar‟, secara prinsip
meliputi:
- Silence
Jangan memotong kata-kata pasien ataupun berbicara tumpang tindih dengan pasien.
- Repetition
Ulangi kata-kata pasien atau berikan tanggapan, untuk menunjukkan pemahaman terhadap apa yang ingin
disampaikan pasien.
Availability
Dokter harus ada di tempat mulai awal hingga akhir penyampaian kabar buruk. Jangan sampai ada
gangguan berupa interupsi, seperti:
- Ada sms, telepon, atau sekedar missed call saja. Matikan hp, atau aktifkan mode silent.
- Ada tamu – minta bantuan pada perawat untuk mengatasi tamu yang mungkin datang.
Untuk mengetahui emosi pasien dan berempati kepada pasien dapat dilakukan dengan 4 tahap:
1. Mengamati selalu ekspresi dan emosi pasien (terlihat sedih, diam saja, atau shock).
2. Nilai sejauh mana kondisinya. Contoh: apabila pasien terlihat sedih dan terdiam, dokter dapat
menanyakan apa yang sedang pasien pikirkan atau rasakan.
3. Mengindentifikasikan apa yang mendasari perubahan emosinya (informasi mana yang merubah emosinya).
Apabila dokter tidak yakin, kita dapat bertanya kembali untuk memastikan.
4. Setelah memberikan pasien waktu untuk mengekspresikan emosinya, dokter harus dapat membuat
pasien mengetahui bahwa anda berempati pada situasi klinis yang dihadapinya, misalnya dengan
menunjukkan bahasa non verbal.
H. DAFTAR PUSTAKA
1. National Council For Hospice and Specialist Palliative Care Service. Breaking bad news regional
guidelines, departement of health-social services and public safety. Belfast; 2003.
I. EVALUASI
CEKLIST LATIHAN
A. TEMA
B. TUJUAN
D. SKENARIO
Seorang pasien, laki-laki, 19 tahun, dibawa keluarganya ke klinik Anda, dengan keluhan muntah- muntah,
demam, BAB cair sebanyak 7 kali. Pasien terlihat lemas, pucat dan lesu. Anda segera melakukan
penanganan awal dengan memasang jalur intravena dan segera merujuk pasien ke rumah sakit.
E. DASAR TEORI
Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat melakukan infus /IV line, yaitu: keadaan disekitar vena, indikasi dan
lamanya infus, jumlah dan jenis cairan yang akan dimasukkan, vena-nya sendiri dan kondisi serta
kenyamanan pasien secara keseluruhan.
Vena untuk akses perifer adalah vena-vena superfisial dari anggota gerak atau bagian kepala (bayi infant).
Umumnya dipilih vena pada: pergelangan tangan bagian depan (vena basilika, sepalika), disekitar cekungan
kubiti (antekubiti, sepalika, basilika), di sekitar area a.radialis, tangan, paha (femoralis, saphoneus), di kaki
dan di kepala (bayi infant dan usia lanjut)
Kerugian:
1. Tidak bisa dilakukan “Drug Recall” dan mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan
sensitivitas tinggi
2. Kontrol pemberian yang tidak baik bisa menyebabkan “Speed Shock”
3. Komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu:
4. Kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu
5. Iritasi Vaskular, misalnya phlebitis kimia
6. Inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan
Cairan Tubuh
Di dalam tubuh terlarut zat-zat sebagai berikut :
1. Elektrolit
2. Non-elektrolit:
Berat molekul kecil : glukosa
Berat molekul besar : protein
Elektrolit terpenting dalam air ekstrasel adalah Na+ dan Cl- sedangkan dalam air intrasel adalah K+ dan fosfat ion.
Cairan pemeliharaan : mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses, paru dan keringat. Jumlah kehilangan air tubuh
ini berbeda sesuai dengan umur, yaitu:
Dewasa : 1,5-2 ml/kg/jam
Anak-anak : 2-4 ml/kg/jam
Bayi : 4-6 ml/kg/jam
Neonatus : 3 ml/kg/jam
Sebagian cairan pengganti ini adalah cairan yang hipotonik dengan perhatian khusus pada natrium karena
cairan yang hilang dengan cara ini sangat sedikit.
Cairan yang digunakan untuk pemeliharaan, misalnya : dekstrosa 5 % dalam NaCl 0,45% (D5NaCL 0,45).
Untuk mengganti cairan ini dapat juga digunakan cairan non elektrolit misalnya misalnya Dekstrosa 5% dalam air
(D5W).
Cairan pengganti: untuk mengganti kehilangan air tubuh yang disebabkan oleh sekuetrasi atau proses
patologi yang lain (misalnya fistula, efusi pleura, asites, drainase lambung).
Sebagai cairan pengganti untuk tujuan ini digunakan cairan isotonis dengan perhatian khusus untuk konsentrasi natrium
misalnya dekstrosa 5% dalam ringer laktat (D5RL), NaCl 0,9%. D5 NaCl
Cairan untuk tujuan khusus: cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya : natrium bicarbonat 7,5 %, NaCl
3 %, dll.
3. Cairan koloid
BM tinggi ( > 8000 Dalton )
Tekanan onkotik tinggi, sehingga sebagian besar akan tetap tinggal di ruang intravaskuler
Disebut juga plasma ekspander, karena memiliki kemampuan besar dalam mempertahankan volume
intra-vaskuler. Sehingga cairan ini digunakan untuk menggantikan kehilangan cairan intravaskuler.
Contoh : Dekstran, haemacel, hydroxyethyl starch, albumin,plasma, darah. Cara
Menghitung Tetesan Infus
Pemberian cairan melalui infus merupakan tindakan memasukkan cairan melalui intravena yang dilakukan pada
pasien dengan bantuan perangkat infus. Tindakan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit
serta sebagai tindakan pengobatan dan pemberian makanan.
Berikut penjelasan dan contoh bagaimana cara menghitung tetesan cairan infus:
a. Dewasa: (makro dengan 20 tetes/ml)
Tetesan permenit =
Keterangan:
Faktor tetesan infus bermacam-macam, hal ini dapat dilihat pada label infus (10 Tetes/menit, 15 tetes/menit dan 20
tetes/menit).
Contoh:
Seorang pasien dewasa diperlukan maintanance harian dengan 2000 ml (4 flabot) dalam 24 jam maka tetesan
per menit adalah:
Jawab : Tetesan permenit= 2000 ml /24 X 3 = 28 tetesan/menit, atau
Tetesan permenit= 2000 ml x 20 / 24 x 60 menit = 28 tetesan/menit
b. Anak:
Contoh:
Seorang pasien neonatus diperlukan maintanance harian 200 mL secara intravena dalam 24 jam, maka
tetesan per menit dengan menggunakan mikro set adalah:
Jawab : Tetesan permenit (mikro) = 200 / 24 = 8 tetes permenit
serta kelebihan dan beban sirkulasi karena infus cairan terlalu cepat (anak-anak dan lansia lebih rentan).
F. PROSEDUR
1. Interaksi dokter-pasien
Sebelum memulai tindakan, dokter harus membina sambung rasa dan komunikasi yang baik dengan
pasien. Selain untuk membantu kelancaran tindakan juga untuk aspek medikolegal di kemudian hari.
Lakukanlah Informed-Consent yang baik dengan memberikan informasi yang sejelas-jelasnya
tentang tindakan yang akan dilakukan; prosedur, tujuan tindakan (pemasangan infus), dampak jika tidak
dilakukan tindakan, efek samping, kemungkinan komplikasi, dll. Kemudian mintalah persetujuan dari
pasien. Untuk prosedur yang invasif diharapkan dokter membuat dan mengisi lembar informed
consent secara tertulis.
2. Persiapan Alat
Prosedur selanjutnya adalah mempersiapkan alat. Pertama-tama kita harus mengecek kelengkapan
alat-alat yang diperlukan dan memastikannya siap pakai. Mulailah memotong plester untuk persiapan,
memilih jarum/kateter vena yang sesuai ukuran (disarankan menggunakan ukuran yang
besar misalnya no. 18), mempersiapkan spalk (hanya untuk pasien anak/bayi yang
dimungkinkan banyak melakukan gerakan setelah infus terpasang), membuka plastik flabot infus dan
infus set, serta menghubungkannya dengan menusukkan secara tegak lurus. Gantunglah pada tiang
infus, tekan chamber sampai terisi setengahnya, bukalah klem pengunci pada infuse set dan alirkanlah
cairan infuse ke bengkok sampai semua daerah selang tidak ada lagi udara. Kemudian klem dikunci lagi
sampai infus tidak menetes dan pertahankan kesterilan. Sekali lagi, pastikan tidak ada udara di selang
infus karena bisa menyebabkan emboli pada pasien dan menyebabkan kematian. Rangkaian persiapan
diatas tetap harus memperhatikan prosedur asepsis, dimana bagian-bagian yang steril tidak boleh
bersentuhan dengan yang non-steril tanyakan pada instruktur saudara saat latihan. (Catt : Prosedur
ini dapat menyebabkan saudara gagal saat ujian OSCE)
3. Prosedur Pencegahan infeksi
Prosedur pencegahan infeksi menjadi hal prinsipil yang harus diperhatikan dalam prosedur pemasangan
infus. Mulai dari tahap persiapan sampai selesai pemasangan, pastikan kita selalu dengan prinsip asepsis.
Sampah plastik dengan medis juga harus dipisahkan. Setelah persiapan
kita melakukan cuci tangan memakai sabun/antiseptik dengan prosedur WHO dan memasang
handschoen. Preparasi kulit dengan kapas alkohol juga harus steril. Prosedur pencegahan infeksi
bertujuan untuk melindungi pasien dan juga tenaga medis yang melakukan tindakan.
4. Identifikasi vena
Identifikasi vena sudah bisa kita lakukan saat mulai komunikasi/ persiapan dengan pasien. Instruksikan
pasien menggenggam tangan yang mau kita cari venanya. Mulailah dari distal dan raba/carilah vena yang
cukup besar dan jelas terlihat/raba, yang lurus dan tidak bercabang, tidak di persendian. Jika kesulitan
mulailah bergerak mencari kearah yang lebih proksimal atau berpindah ke lengan yang sebelahnya.
5. Prosedur pemasangan Infus
Setelah memasang torniket di sebelah proksimal (kurang lebih 5-15 cm di atas tempat insersi jarum),
pakailah handschoen serta mintalah pasien mengepalkan tangannya sekali lagi. Raba vena pasien dan
tentukan titik tempat tusukan, sterilisasi dengan mengoleskan kapas alkohol dengan arah melingkar dari
dalam ke luar tempat tusukan (jangan direpalpasi). Lepaskan tutup kanul, pegang lengan pasien dengan
ibu jari untuk menekan jaringan dan vena ± 5 cm (regangkan kulit).
Tusukkanlah vena catheter pada kulit dengan jarak ±0,5 cm dibawah vena yang dituju, dengan sudut 20-
30o, tusukkan jarum dengan posisi lubang jarum menghadap ke atas. Untuk mengurangi
rasa sakit, tusukkan kateter di pori-pori kulit. Arahkan kateter untuk menembus kulit
dan vena sampai terlihat aliran balik darah (backflow +). Dorong kateter kedalam vena sedikit demi
sedikit (kira-kira ¼-1/2 inchi) sebelum melepas stylet/ jarum penuntun (teknik sliding). Pastikan kateter
masuk vena dengan agak menarik jarum sampai terlihat aliran balik darah dari kateter. Jika aliran darah
(+) sepanjang kateter, maka lepaskan jarum seluruhnya. Kemudian lepaskan torniquet, tekan daerah
sekitar vena dimana jarum dilepaskan. kemudian sambungkan dengan ujung selang infus. Aktifkan dengan
membuka klem pengatur tetesan. Jika pemasangan berhasil, maka tetesan akan berjalan lancar.
Fiksasi port de entre kateter dengan plester, kateter dan selang infus dengan sebelumnya menaruh
kassa steril yang dioles betadine diatas muara tusukan. Fiksasi dengan plester atau hipafix. Kadang pada
anak-anak/bayi perlu kita tambahkan spalk untuk fiksasi agar kateter tidak lepas/tercabut. Aturlah jumlah
tetesan sesuai dengan kebutuhan. Bersihkan sisa sampah. Pisahkan sampah tajam, medis dan non
medis. Buka handskoon dengan cara yang benar dan buanglah pada tempat sampah medis. Kemudian
cuci tangan kembali.
6. Professionalism
Akhirilah prosedur pemasangan infus dengan baik. Jelaskan kepada pasien bahwa infuse sudah terpasang
baik, hal apa saja yang harus dilakukan atau dihindari. Tunjukkanlah sikap professional, percaya
diri dan menghormati pasien selama tindakan. Berhati-hati dan minimalisasi kesalahan/error tetapi
tidak terkesan lamban. Akhirnya ucapkanlah terimakasih kepada pasien atas kerjasamanya.
G. DAFTAR PUSTAKA
Weinstein, SM (ed.), 2001. Plumer‟s principles and practice of intravenous therapy. 7th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins. (III)
Muhiman M, Thalib Roesli, dkk. 2004. Anestesiologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Pastikan kateter masuk vena dengan agak menarik jarum sampai terlihat aliran balik darah
11 dari kateter. Jika aliran darah (+) sepanjang kateter, maka lepaskan jarum seluruhnya.
INTUBASI ENDOTRAKEAL
dr. Imam Ghazali, SpAn, dr. Khairun Nisa, M.Kes., AIFO, dr. Maya Ganda R
A. TEMA
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
C. LEVEL KOMPETENSI
No Jenis Level
. Kompetensi Kompetensi
1. Intubasi 1 2 3 4
1. Manekin
2. Masker penutup hidung dan mulut
3. Handschoen
4. Laringoskop
5. Pipa endotrakeal
6. Pipa orofaring atau nasofaring
7. Stilet
8. Plester dan gunting
9. Suction
(a) (b)
(c)
Gambar 6. (a) Laringoskop; (b) Pipa endotrakeal; (c) Pipa endotrakeal dengan stilet
E. SKENARIO
Seorang pasien, pria, 20 tahun, dibawa ke UGD RSP Unila dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami
kecelakaan mobil. Dari pemeriksaan, airway pasien mengalami gangguan sehingga Anda memutuskan
untuk memasang ETT di UGD.
F. DASAR TEORI
Patensi jalan nafas, oksigenisasi, ventilasi, dan menghindari aspirasi merupakan tujuan utama manajemen
pengelolaan jalan nafas. Pengelolaan jalan nafas/airway management merupakan aspek yang
penting dalam menangani kasus emergensi.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi endotrakeal,
yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang
harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan
napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Bahkan, menurut Halliday
(2002) penggunaan intubasi endotrakeal juga direkomendasikan untuk neonatus dengan faktor penyulit yang
dapat mengganggu jalan napas.
Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui
hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakea. Pada intinya, intubasi endotrakeal adalah
tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas
mudah dibantu dan dikendalikan (Anonim,2002).
Selain intubasi endotrakeal diindikasikan pada kasus-kasus di ruang bedah, ada beberapa indikasi intubasi
endotrakeal pada beberapa kasus non-surgical, antara lain:
a. Asfiksia neonatorum yang berat.
b. Untuk melakukan resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya, depresi atau abcent dan sering
menimbulkan aspirasi.
c. Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir.
d. Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru.
e. Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih lama dari 24 jam seharusnya
diintubasi.
f. Pada post operatif deengan insufisiensi pernafasan.
Menurut Gisele (2002) ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakeal, antara lain:
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya
intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomi pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servikal, sehingga sangat sulit untuk
dilakukan intubasi.
a. Suxamethonim (Succinil Choline) sudah jarang di Indonesia, short acting muscle relaxant
dikombinasikan dengan barbiturat I.V. dengan dosis 20 –100 mg, diberikan setelah pasien dianestesi.
Suxamethonium bisa diberikan I.M. bila I.V. sukar misalnya pada bayi.
b. Thiophentone non depolarizing relaxant: metode yang bagus untuk direct vision intubation.
c. Cyclopropane: mendepresi pernafasan dan membuat blind vision intubation sukar.
d. I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi.
e. N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan zat-zat lain. penambahan triklor etilen
mempermudah blind intubation, tetapi tidak memberikan relaksasi yang diperlukan untuk laringoskopi.
f. Halotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otot-otot faring dan laring dan dapat dipakai
tanpa relaksan untuk intubasi.
g. Analgesi lokal dapat dipakai cara-cara sebagai berikut:
Menghisap lozenges anagesik.
Spray mulut, faring, cord.
Blokade bilateral syaraf-syaraf laringeal superior.
Suntikan trans tracheal.
Cara-cara tersebut dapat dikombinasikan dengan valium I.V. supaya pasien dapat lebih tenang. Dengan
sendirinya pada keadaan-keadaan emergensi. Intubasi dapat dilakukan tanpa anestesi. Juga pada
neonatus dapat diintubasi tanpa anestesi.
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakeal (Mansjoer Arif et.al., 2000) biasanya dijumpai pada
pasien-pasien dengan:
Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara mental symphisis
dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama
intubasi.
Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi
temporomandibuler, spondilitis servical spine.
Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi kepala pada leher di sendi
atlantooccipital.
Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi leher.
G. PROSEDUR
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan, antara lain:
a. Persiapan
Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan menggunakan
alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam
keadaan ekstensi serta trakea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.
Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam keadaan
ekstensi. Ini disebut sebagai sniffing in the air position. Kesalahan yang umum adalah
mengekstensikan kepala dan leher.
b. Oksigenasi
Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen
100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan
tangan kanan.
c. Laringoskop
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan (jari tengah dan jari manis menekan dagu, jari telunjuk
menempel di gigi seri atas didorong ke belakang sehingga terbukalah mulut dengan luas; bisa juga
dengan cross finger) dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan
dari sudut kiri ke arah kanan dan lapangan pandang akan terbuka sampai terlihat epiglotis. Kemudian baru
lengan kiri mengangkat. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada
dengan stetoskop di 5 titik (atas kanan-kiri, bawah kanan kiri, tengah bawah epigastrium),
diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal.
Bila terjadi intubasi endotrakeal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan
suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing,
sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini,
pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus
maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan
stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin
membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi
yang cukup
f. Ventilasi
Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.
H. DAFTAR PUSTAKA
I. EVALUASI
CEKLIST LATIHAN
2. Informed consent
KONTEN
3. Menyiapkan alat.
8. Pemasangan ETT:
- Tangan kanan membuka mulut pasien (jari tengah dan jari manis menekan dagu, jari
telunjuk menempel di gigi seri atas didorong ke belakang sehingga terbukalah mulut
dengan luas; bisa juga dengan cross finger)
- Tangan kiri memegang laringoskop.
- Masukkan blade dari sebelah kiri mulut ke kanan sampai terlihat uvula dan epiglottis,
kemudian baru mengangkat blade.
8. Dari arah luar tekan tulang rawan thyroid untuk membantu terbukanya epiglottis.
9. Masukkan ETT dengan arah miring ke kanan dan setelah masuk putar ke arah tengah,
sampai tanda batas atau minimal seluruh bagian balooning sudah masuk.
12. Dengarkan bunyi nafas dengan stetoskop pada 5 titik (paru atas dan bawah kanan dan
kiri, serta di tengah di bawah epigastrium) untuk memastikan bahwa ETT tidak masuk ke
esofagus, terlalu kanan atau kiri dari bronkus.
PROFESIONALISME
dr. Fatah Satya Wibawa, Sp.THT-KL, dr. Muklis Imanto, SpTHT, dr. Rasmi ZO
A. TEMA
B. TUJUAN
PEMBELAJARAN
Tujuan Instruksional
Umum
Mahasiswa mampu mengidentifikasi pasien dengan corpus alienum telinga dan hidung serta dapat melakukan tindakan
dan terapi.
C. LEVEL KOMPETENSI
Level
No Jenis
Kompete
. Kompetensi
nsi
1. Pengambilan serumen menggunakan kait atau kuret. 1 2 3 4
2. Pengambilan benda asing di telinga 1 2 3 4
3. Pengambilan benda asing dari hidung 1 2 3 4
(a)
(b)
Buku Panduan CSL 7 2018
Buku Panduan CSL 7 2018
(c) (d)
Gambar 9. (a) Forsep alligator; (b) Spekulum; (c) Pinset bayonet; (d) Hook extractor
E. SKENARIO
Seorang anak perempuan berusia 4 tahun diantar oleh ibunya datang ke praktek dokter umum dengan
keluhan hidung sebelah kanan kemasukan biji jagung setelah bermain dengan kakaknya hari ini. Ibu pasien
juga mengatakan ada sisa cotton bud pada telinga kanan. Keluhan lain disangkal. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan tanda-tanda vital N 90x/menit, RR 22x/menit, T 38°C. Pada pemeriksaan menggunakan
spekulum dan otoskop tampak biji jagung dan cotton bud.
F. DASAR TEORI
Benda asing (corpus alienum) yang berada di liang telinga bervariasi sekali. Lebih sering terjadi pada
anak tetapi dapat pula terjadi pada dewasa. Bisa berupa benda mati, benda hidup, binatang, komponen
tumbuhan dan mineral. Kacang hijau, manik, mainan, baterai jam tangan, dan karet penghapus banyak
ditemukan pada pasien anak-anak. Pasien dewasa seringkali berupa potongan korek api dan binatang,
seperti kecoa, semut, dan nyamuk.
Beberapa faktor penyulit pengeluaran benda asing dari liang telinga, yaitu:
Tidak kooperatif
Pasien yang tidak kooperatif terutama anak-anak berisiko dan berpotensi besar terjadi kerusakan
gendang telinga dan struktur telinga tengah lainnya pada penanganan yang tidak hati- hati.
Edema
Edema liang telinga yang disebabkan trauma dapat menghambat pengeluaran benda asing (corpus
alienum).
Benda hidup
Benda organik
Benda organik akan membesar bila kita membiarkannya lama dan kondisi lembab di liang telinga.
Kegagalan.
Usaha yang gagal dapat mendorong benda asing (corpus alienum) lebih ke dalam liang telinga.
Usaha mengeluarkan benda asing seringkali malah mendorongnya lebih ke dalam. Mengeluarkan benda asing
haruslah hati-hati. Bila kurang hati-hati atau bila pasien tidak kooperatif, beresiko trauma yang merusak
membran timpani atau struktur telinga tengah. Anak harus dipegang sedemikian rupa sehingga tubuh
dan kepala tidak dapat bergerak bebas.
Bila masih hidup, binatang di liang telinga harus dimatikan lebih dahulu dengan memasukkan tampon basah
keling telinga lau meneteskan cairan (misalnya rivanol atau obat anestesi lokal) lebih kurang 10 menit. Setelah
binatang mati, dikeluarkan dengan pinset atau diirigasi dengan air bersih yang hangat.
Benda asing berupa baterai jam tangan, sebaiknya jangan dibasahi mengingat efek korosif yang ditimbulkan.
Benda asing yang besar dapat ditarik dengan pengait serumen, sedangkan yang kecil diambil dengan cunam
atau oinset berujung lancip.
Kontraindikasi relatif, yaitu apabila pasien tidak kooperatif. Jika kontraindikasi relatif ada, maka pasien dirujuk
ke dokter spesialis THT.
Komplikasi:
Otitis eksterna (radang telinga luar)
Otitis media jika corpus alienum menimbulkan perforasi spontan
Kerusakan telinga tengah dan telinga dalam
Benda hidup. Harus dimatikan terlebih dahulu sebelum kita keluarkannya. Masukkan tampon basah ke
dalam liang telinga lalu tetesi cairan, misalnya larutan rivanol dan biarkan selama 10 menit.
Tidak kooperatif. Pegang kepala anak. Anestesi umum dapat kita lakukan pada kasus tertentu.
Cunam atau pengait. Gunakan pada benda asing (corpus alienum) yang kecil.
Penanganan serumen obturan. Serumen dapat diambil langsung dengan hook extraction atau diirigasi
lebih dahulu. Jika serumen keras dapat ditetesi dengan tetes nitrogliserin atau minyak zaitun (oleum
olivarum) selama beberapa hari agar serumen melunak sehingga mudah diekstraksi.
Telinga diirigasi dengan air bersih non bakteriologis pada suhu 37º C sama dengan suhu tubuh agar tidak
terjadi trauma fisik dengan menggunakan syringe telinga dengan kanula tumpul. Air hanyalah diarahkan
ke posterosuperior agar tidak mengenai membrane timpani secara langsung. Setelah irigasi harus
diikuti dengan evaluasi, yaitu pemeriksaan otoskopi ulang.
Corpus alienum pada hidung sering terjadi pada anak-anak yang suka memasukkan benda-benda apa saja ke
dalam lubang hidung, seperti biji kacang, jagung, dan benda lain yang luput dari perhatian orang tua. Jika
benda yang masuk agak ringan maka anak dapat disuruh mengeluarkan sendiri seperti mengeluarkan ingus tapi
ini bisa dilakukan kalau anaknya sudah mengerti atau sudah besar dan tidak cengeng.
Gejala yang paling sering adalah hidung tersumbat, rinore unilateral dengan cairan kental dan berbau.
Kadang-kadang terdapat rasa nyeri, demam, epistaksis, dan bersin. Pada pemeriksaan, tampak edema
dengan inflamasi mukosa hidung unilateral dan dapat terjadi ulserasi serta ditenukan rinolith. Benda asing
biasanya tertutup oleh mukopus, sehingga disangka sinusitis. Jika demikian, dalam menghisap mukopus
haruslah hati-hati supaya benda asing itu tidak terdorong ke arah nasofaring yang kemudian dapat masuk ke
laring, trakea dan bronkus. Benda asing, seperti karet busa, sangat cepat menimbulkan sekret yang
berbau busuk.
Mengeluarkan benda asing dari lubang hidung dapat dilakukan namun sangat tergantung apakah anak dapat
diajak kerja sama atau tidak, kalau benda asingnya masih dapat terlihat maka berarti belum jauh kedalam.
Posisi anak dalam pangkuan seseorang yang seperti memeluk kedua tangan dipegang dan seorang lagi
memegang kepala anak dengan muka agak didongakkan jadi dokter atau perawat bisa mengintip kedalam
lubang hidung dan memasukkan pengait untuk menarik benda yang masuk ke lubang hidung. Pemilihan alat
tergantung jenis benda asingnya. Jika terjadi kegagalan maka rujuklah ke dokter spesialis THT.
Gambar 14. Cara memegang anak untuk pengambilan benda asing hidung.
Pengeluaran benda asing dari hidung adalah dengan menggunakan pengait (haak) yang dimasukkan
ke dalam hidung bagian atas, menyusuri atap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu
pengait diturunkan sedikit dan ditarik ke depan. Dengan cara tersebut, benda asing akan terbawa keluar. Dapat
pula menggunakan cunam Nortman atau “wire loop”.
Penanganan yang salah bila mendorong benda asing dari hidung ke arah nasofaring dengan maksud
supaya masuk ke dalam mulut. Dengan cara tersebut, benda asing dapat terus masuk ke laring dan saluran
napas bagian bawah yang menyebabkan sesak napas, sehingga menimbulkan keadaan yang gawat.
Setelah dilakukan ekstraksi dilakukan evaluasi ulang dan apakah ada komplikasi akibat tindakan yang
dilakukan.
Pemberian antibiotik sistemik selama 5 – 7 hari hanya diberikan pada kasus benda asing yang telah menimbulkan infeksi
hidung maupun sinus.
G. PROSEDUR
H. DAFTAR PUSTAKA
1) Sosialisman H. Kelainan telinga luar dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok,
kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
2) Tamin S. Benda asing saluran napas dan cerna. Satelit Simposium Penanganan Mutakhir Kasus
Telinga Hidung Tenggorok.
3) Kurnaedi W, Purwanto B. Benda asing pada bronkus. Dalam: Kumpulan naskah ilmiah kongres nasional
XII. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 1999.
4) Boies HA. Buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 1997.
I. EVALUASI
CEKLIST LATIHAN
A. TEMA
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
C. LEVEL KOMPETENSI
Level
No Jenis
Kompet si
. Kompetensi
en
1. Menghentikan perdarahan hidung 1 2 3 4
a. Lampu kepala
b. Spekulum hidung
c. Pinset bayonet
d. Tampon vaselin rol
e. Tampon Bellocq
f. Kateter Foley
g. Forsep ring
h. Suction
i. Lidocain spray 2 – 4%
j. Adrenalin 1/5.000 – 1/10.000
k. Handschoen
m. Jelly lubrikan
n. Plester dan gunting
E. SKENARIO
Seorang pasien, pria, 18 tahun, seorang mahasiswa, datang ke UGD RSP Unila dengan keluhan
perdarahan di hidung kanan. Pasien mengaku terlibat perkelahian dengan mahasiswa lainnya. Anda segera
memeriksa dan memutuskan untuk memasang tampon hidung.
F. DASAR TEORI
Epistaksis atau perdarahan hidung banyak dijumpai, baik pada anak maupun usia lanjut. Seringkali merupakan
gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa
memerlukan bantuan medis. Tetapi epistaksis yang berat, meskipun jarang, merupakan masalah
kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani.
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang jelas disebabkan oleh trauma.
Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya
trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, dan pengaruh udara
lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan
tekanan atmosfir, kelainan hormonal, dan kelainan kongenital.
2. Epistaksis laten : perdarahan pada hidung namun saat diperiksa sudah tidak tampak perdarahan aktif
sehingga untuk penatalaksanaannya jangan diberi manuver apapun cukup observasi saja yang
selanjutnya akan dilakukan evaluasi sumber perdarahan beberapa hari setelahnya.
Melihat asal perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior.
Epistaksis anterior. Kebanyakan berasal dari Pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau dari
a. etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan dan dapat berhenti sendiri.
Epistaksis posterior. Dapat berasal dari a. etmoidalis posterior atau a. sfenopalatina. Perdarahan
biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis, atau pasien dengan penyakit kardiovaskular karena pecahnya a. sfenopalatina.
Untuk dapat menghentikan perdarahan, perlu dicari sumbernya, apakah perdarahan anterior atau posterior.
Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab perdarahan.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk tegak, biarkan darah mengalir keluar dari hidung
sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah, posisikan dengan setengah duduk atau berbaring dengan
kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke saluran nafas bawah. Pasien anak
dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak. Sumber
perdarahan dicari dengan membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah dengan bantuan alat
pengisap. Kemudian pasang tampon sementara, yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5.000 –
1/10.000 (kontraindikasi pada penderita hipertensi) dan lidocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung
untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi nyeri pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon
dibiarkan selama 10 – 15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan
berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.
Perdarahan hidung anterior dan posterior juga bisa dibedakan dengan cara berikut. Pasien diminta untuk duduk
tegak, lalu memencet hidung bagian bawah selama 10 – 15 menit. Pasien diminta bernafas melalui mulut lalu
mencondongkan badannya ke depan. Pemeriksa melihat apakah ada darah yang mengalir melalui orofaring.
Jika ada, berarti terjadi perdarahan posterior.
Menghentikan Perdarahan
Epistaksis Anterior
Jika epistaksis anterior tidak bisa berhenti sendiri, dapat dilakukan penekanan hidung selama 10 – 15 menit.
Jika tidak berhasil, dilakukan kaustik dengan larutan AgNO3 25 – 30%.
Bila masih tidak berhasil, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau
kassa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah
dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat tampon dimasukkan atau dicabut. Tampon yang
dipakai adalah tampon rol yang dibuat dari kassa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm,
diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon dipertahankan selama 2
x 24 jam, kemudian harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang
tampon baru.
a.
b.
c.
Epistaksis Posterior
Perdarahan posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan
pemeriksaan rhinoskopi anterior.
Untuk menanggulangi perdarahan posterior, dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq.
Tampon ini dibuat dari kassa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3
cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan.
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan kateter karet yang
dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut. Pada ujung kateter
ini diikatkan benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang
keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole
masuk ke nasofaring. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kassa di depan nares
anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap pada tempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut
diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik tampon keluar melalui mulut
setelah 2 – 3 hari.
a. b.
c.
Bila perdarahan berat pada kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan bantuan 2 kateter
masing-masing melalui cavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah
nasofaring. Bila masih ada perdarahan, dapat ditambah tampon anterior ke dalam cavum nasi.
Balloon Tamponade
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan tampon posterior
konvensional, tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon,
yaitu kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan,
tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter
Foley no. 12 – 16 F diletakkan di sepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian
balon diisi dengan 10 – 20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik ke arah anterior sehingga balon
menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit
yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter
difiksasi dengan mengunakan kain kassa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini
gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.
Komplika
si
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah
(bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis, dan septikemia. Akibat
pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan
sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.
G. PROSEDUR
H. DAFTAR PUSTAKA
1) Kucik CJ, Clenney T. Management of epistaxis. Naval Hospital Jacksonville, Jacksonville, Florida.
2005 [cited 2013 Oct 07]. Available from http://www.aafp.org
2) Mangunkusumo E, Wardani R. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher.
Jakarta: FK UI; 2007.
3) Young TK, Hall R. The occasional management of epistaxis. Can J Rural Med. 2010;15(2):70 – 4.
4) Zieve D, Eltz DR. Hemoragia nasal. University of Maryland Medical Center. 2011 [cited 2013 Oct 17].
Available from http://umm.edu
5) Epistaxis Treatment–Anterior Packing. 2013 [cited 2013 Oct 17]. Available from
http://5minuteconsult.com
6) Epistaxis. 2011. [cited 2013 Oct 07]. Available from http://bestpractice.bmj.com
I. EVALUASI
CEKLIST LATIHAN
No LANGKAH KLINIK YANG DINILAI Umpan
. Balik
INTERPERSONAL
1. Senyum, salam, sapa
2. Informed consent
KONTEN
3. Mengatur posisi pasien.
4. Menyiapkan alat.
5. Cuci tangan WHO.
6. Pemakaian handschoen.
MENENTUKAN JENIS EPISTAKSIS
A. TEMA
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Melakukan penilaian awal situasi dan kondisi pasien, menentukan henti nafas dan henti jantung.
2. Melakukan kompresi dada.
3. Memberikan nafas buatan.
4. Mengevaluasi keberhasilan resusitasi.
C. LEVEL KOMPETENSI
Level
No Jenis
Kompet si
. Kompetensi en
1. Bantuan Hidup Dasar 1 2 3 4
1. Mannequin RJP
dewasa
2. CPR breathing
mask
3. Kapas Gambar 28. CPR breathing mask
4. Alkohol
E. SKENARIO
Anda seorang dokter umum yang sedang jaga malam di RS daerah. Tiba-tiba ada panggilan dari ruangan
perawatan. Keluarga pasien melaporkan bahwa pasien tiba-tiba tidak sadarkan diri. Setelah memastikan
bahwa nadi tidak teraba, Anda segera mengaktifkan kode biru, dan melakukan resusitasi jantung paru.
F. DASAR TEORI
Penyakit jantung dan pembuluh darah sampai saat ini masih merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia.
Dari survei yang dilakukan WHO pada 2004, diperkirakan sebanyak 17,1 juta orang meninggal (29,1% dari
jumlah kematian total) karena penyakit jantung dan pembuluh darah. Manifestasi komplikasi penyakit jantung
dan pembuluh darah yang paling sering diketahui dan bersifat fatal adalah kejadian henti jantung mendadak.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup, terutama jika henti jantung mendadak tersebut disaksikan, maka
tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD) harus secepatnya dilakukan. Bantuan hidup jantung dasar sering
didengar dengan nama Resusitasi Jantung Paru (RJP).
BHD merupakan dasar tindakan penyelamatan jiwa setelah terjadi keadaan henti jantung. Tindakan ini bisa
dilakukan oleh seorang penolong ataupun lebih secara simultan. Tujuan awal pelaksanaan BHD adalah
memperbaiki sirkulasi sistemik yang hilang pada penderita henti jantung mendadak dengan melakukan
kompresi dada secara efektif dan benar, diikuti dengan pemberian ventilasi yang efektif sampai didapatkan
kembalinya sirkulasi sistemik secara spontan atau telah tiba peralatan yang lebih lengkap untuk melaksanakan
Bantuan Hidup Jantung Lanjut (Advanced Cardiac Life Support [ACLS]) atau tindakan dihentikan
karena tidak ada respon dari penderita setelah dilakukan beberapa saat.
Apabila kita dapat melakukan Bantuan Hidup Jantung Dasar dengan baik dan tepat, maka kita dapat
mengharapkan bahwa:
Ketika akan melakukan pertolongan, penolong harus mengetahui dan memahami hak penderita
serta beberapa keadaan yang mengakibatkan RJP tidak perlu dilaksanakan seperti:
Bila penderita tidak memberikan respon serta tidak bernafas atau bernafas tidak normal (gasping),
maka penderita dianggap mengalami kejadian henti jantung. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan
adalah melakukan aktivasi sistem layanan gawat darurat.
Untuk kasus trauma, tenggelam, dan overdosis pada dewasa, atau anak, sebaiknya penolong melakukan
bantuan RJP selama 1 menit sebelum menghubungi sistem gawat darurat.
10 detik. Melakukan pemeriksaan denyut nadi bukanlah hal yang mudah dilakukan, bahkan tenaga kesehatan
yang menolong mungkin memerlukan waktu yang agak panjang untuk memeriksa denyut nadi, sehingga:
Tindakan pemeriksaan denyut nadi bisa tidak dilakukan oleh penolong awam dan langsung
mengasumsikan penderita mengalami henti jantung jika penderita mengalami pingsan mendadak,
atau tidak merespon, tidak bernafas, atau bernafas tidak normal.
Pemeriksaan arteri karotis dilakukan dengan memegang leher penderita dan mencari trakea dengan 2 – 3
jari. Selanjutnya dilakukan perabaan bergeser ke lateral sampai menemukan batas trakea dengan otot
samping leher (tempat lokasi arteri karotis berada).
Jika tidak teraba nadi dalam 10 detik, mulai lakukan kompresi.
Kompresi dilakukan dengan pemberian tekanan secara kuat dan berirama pada setengah bawah sternum. Hal
ini menciptakan aliran darah melalui peningkatan tekanan intratorakal dan penekanan langsung pada dinding
jantung. Komponen yang perlu diperhatikan saat melakukan kompresi dada, antara lain:
- Frekuensi kompresi dilakukan 100-120 kali per menit.
- Untuk dewasa, kedalaman minimal 5 cm (2 inchi).
- Berikan kesempatan untuk dada mengembang kembali secara sempurna setelah setiap kompresi
(complete chest recoil).
- Menentukan lokasi kompresi dada dengan cara meletakkan telapak tangan yang telah saling berkaitan di
bagian setengah bawah sternum.
- Jari-jari kedua tangan dirapatkan dan diangkat agar tidak ikut menekan.
- Posisi tangan menetap, posisi lengan lurus, kekuatan tekanan tangan pada badan.
Airway
Pada penderita yang tidak sadarkan diri, maka tonus-tonus otot tubuh akan melemah termasuk otot rahang dan
leher. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan lidah dan epiglotis terjatuh ke belakang dan menyumbat jalan
nafas. Jalan nafas dapat dibuka oleh penolong dengan metode:
Teknik angkat kepala-angkat dagu (head tilt-chin lift) pada penderita yang diketahui tidak
mengalami cedera leher.
Breathing
Pemberian nafas bantuan dilakukan setelah jalan nafas terlihat aman. Tujuan primer pemberian bantuan
nafas adalah untuk mempertahankan oksigenasi yang adekuat. Dilakukan dengan metode:
1. Mulut ke Mulut
Merupakan metode yang paling mudah dan cepat. Oksigen yang dipakai berasal dari udara yang dikeluarkan
penolong. Cara melakukan:
Mempertahankan posisi head tilt-chin lift, yang dilanjutkan dengan menjepit hidung
menggunakan ibu jari dan telunjuk.
(a) (b)
Buka sedikit mulut penderita, tarik nafas panjang, dan tempelkan rapat bibir penolong melingkari
mulut penderita, kemudian hembuskan nafas lambat, setiap tiupan selama 1 detik dan pastikan sampai
dada terangkat.
Tetap pertahankan head tilt-chin lift, lepaskan mulut penolong dari mulut penderita, lihat
apakah dada penderita turun waktu ekshalasi.
2. Mulut ke Hidung
Nafas bantuan dilakukan bila pernafasan mouth-to-mouth sulit dilakukan, misalnya karena trismus.
Caranya adalah katupkan mulut penderita disertai chin lift, kemudian hembuskan udara seperti pernafasan
mouth-to-mouth. Buka mulut penderita ketika ekshalasi.
3. Mulut ke Sungkup
Penolong menghembuskan udara melalui sungkup yang diletakkan di atas dan melingkupi mulut dan hidung
penderita. Sungkup ini terbuat dari plastik transparan, sehingga muntahan dan warna
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan bantuan nafas, antara lain:
Memberikan nafas bantuan dalam waktu 1 detik.
Sesuai volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada.
Diberikan 2 kali nafas bantuan setelah 30 kali kompresi.
Tunggu dada kembali turun penuh sebelum memberi tiupan berikutnya (2 – 4 detik).
Pada kondisi terdapat 2 orang penolong atau lebih, dan telah berhasil memasukkan alat untuk
mempertahankan jalan nafas (seperti pipa endotrakeal, combitube, atau sungkup laring), maka nafas
bantuan diberikan setiap 6 – 8 detik, sehingga menghasilkan pernafasan dengan frekuensi 8 – 10
kali/menit.
Penderita dengan hambatan jalan nafas atau komplians paru buruk memerlukan bantuan nafas dengan
tekanan yang lebih tinggi sampai memperlihatkan dinding dada terangkat.
Pemberian nafas bantuan yang berlebihan tidak diperlukan dan dapat menimbulkan distensi lambung
serta komplikasinya, seperti reurgitasi dan aspirasi.
G. PROSEDUR
7. Airway: pembukaan jalan nafas menggunakan head tilt-chin lift maneuver (mendorong kepala ke
belakang sambil mengangkat dagu).
Meletakkan telapak tangan ke dahi penderita.
Menekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak tangan.
Meletakkan ujung jari telunjuk dan jari tengah tangan lainnya di bawah bagian ujung tulang rahang
penderita.
Menengadahkan kepala dan menahan/menekan dahi penderita secara bersamaan sampai kepala
pasien pada posisi ekstensi.
8. Breathing: pemberian nafas bantuan.
Mempertahankan posisi head tilt-chin lift, yang dilanjutkan dengan menjepit hidung
menggunakan ibu jari dan telunjuk.
Buka sedikit mulut penderita, tarik nafas panjang, dan tempelkan rapat bibir penolong melingkari
mulut penderita, kemudian hembuskan nafas lambat, setiap tiupan selama 1 detik dan pastikan sampai
dada terangkat.
Memberikan 2 kali nafas bantuan masing-masing dalam waktu 1 detik.
Sesuai volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada.
Diberikan 2 kali nafas bantuan setelah 30 kali kompresi.
Tetap pertahankan head tilt-chin lift, lepaskan mulut penolong dari mulut penderita, lihat
apakah dada penderita turun waktu ekshalasi.
9. Melakukan kompresi dada sebanyak 5 siklus (2 menit), lalu evaluasi denyut nadi arteri karotis. 10.Penolong
terus melakukan RJP hingga AED (automated external defibrillator) tiba, atau hingga
terjadi ROSC (return of spontaneous circulation), atau penolong kelelahan sehingga kalau
diteruskan akan membahayakan penolong.
11.Jika denyut nadi arteri karotis teraba dan nafas spontan, selanjutnya membaringkan pasien dalam posisi
mantap.
H. DAFTAR PUSTAKA
4) Schoolfield B. Highlights of the 2015 American heart association guidelines for CPR and ECC. 2015.
I. EVALUASI
CEKLIST LATIHAN
18. Sesuai volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada.
19. Diberikan 2 kali nafas bantuan setelah 30 kali kompresi.
20. Tetap pertahankan head tilt-chin lift, lepaskan mulut penolong dari mulut penderita, lihat apakah
dada penderita turun waktu ekshalasi.
21. Melakukan kompresi dada sebanyak 5 siklus (2 menit), lalu evaluasi denyut nadi arteri karotis.
22. Jika denyut nadi arteri karotis teraba dan nafas spontan, selanjutnya membaringkan
pasien dalam posisi mantap.
23. Cek kembali nadi setiap 2 menit.
PROFESIONALISME
24. Melakukan dengan penuh percaya diri.
25. Melakukan dengan kesalahan minimal.
VISUM ET REPERTUM
dr. Winda Trijayanthi U, SH., dr. Exsa H, dr. Handayani D.U., Sp.F, dr. M. Galih I., Sp.F
A. TEMA
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
C. LEVEL KOMPETENSI
Level Kompetensi
No. Kompetensi SKD Target
I Capaian
1. Visum Et Repertum 4 4
2. Traumatologi 4 4
1. Foto-foto luka
2. Form Status Pasien (Skesta Tubuh)
3. Form VER
4. Meteran
E. SKENARIO
Seorang perempuan datang ke Pusat Pelayanan Terpadu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.
H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung sendiri, dengan membawa surat permintaan visum dari Kepala Kepolisian
Sektor Kedaton, dengan suratnya nomor: R/35/I/2015/SEKTOR KDT, surat ditujukan kepada Kepala RSUD
Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung untuk dilakukan pemeriksaan fisik dan dibuatkan VER.
Pada saat pemeriksaan pada hari Jum‟at tanggal 6 Agustus tahun 2015 pukul 19.00 WIB, korban datang
dengan ditemani oleh kakak kandung korban ke RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Korban
mengaku telah diinjak kaki kirinya dan dicekik lehernya oleh pelaku (suami korban) pada tanggal 6
Agustus tahun 2015 pukul 16.00 WIB di rumah korban.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum korban baik, kesadaran penuh, emosi stabil, dan
kooperatif. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/m, pernapasan 20 x/m, dan suhu 36.5°C.
Pada pemeriksaan korban ditemukan memar pada dahi sisi kanan, luka lecet pada leher sisi kanan, dan luka
lecet pada punggung sisi kiri Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, dan tidak dilakukan tindakan atau
diberikan pengobatan.
F. DASAR
TEORI
Definisi
VER
VER berasal dari kata “visual” yang berarti melihat dan “repertum” yaitu melaporkan. VER adalah
keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap
seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan
interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan.
VER adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP.
VER turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa
manusia sehingga dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.
VER juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang
tertuang di dalam bagian kesimpulan.
Bagi penyidik (polisi/polisi militer) VER berguna untuk mengungkapkan perkara.
Bagi penuntut umum (jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan
didakwakan.
Bagi Hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari
tuntutan hukum.
VER di buat berdasarkan undang-undang yaitu Pasal 120, 179,133 ayat 1 KUHP, maka dokter tidak dapat di
tuntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana di atur dalam Pasal 322 KUHP meskipun dokter
membuat nya tanpa seizin pasien.
j. Hanya diberikan kepada penyidik peminta VER. Apabila ada lebih dari satu instansi peminta, misalnya
penyidik POLRI dan penyidik POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut
dapat diberi VER masing-masing asli.
k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan disimpan sebaiknya
hingga 20 tahun.
Conto
h:
RUMAH SAKIT dr. H. ABDUL
MOELOEK INSTALASI
KEDOKTERAN FORENSIK
Jl. Dr. Rifa‟i No 6, Bandar Lampung, Lampung
VISUM ET REPERTUM
2. Pendahuluan
Pendahuluan memuat: identitas pemohon VER, tanggal dan pukul diterimanya permohonan VER,
identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas objek yang diperiksa: nama, jenis kelamin, umur,
bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, di mana dilakukan pemeriksaan, alasan
dimintakannya VER, rumah sakit tempat korban dirawat sebelumnya, pukul korban meninggal dunia,
keterangan mengenai orang yang mengantar korban ke rumah sakit.
Contoh:
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Winda Trijayanthi Utama dokter di Rumah Sakit dr. H.
Abdul Moeloek Provinsi Lampung, berdasarkan atas permintaan tertulis dari
............................., pangkat AIPTU,NRP.........................,jabatan ..............................,atas nama
Kepala Kepolisian ...................,dengan suratnya nomor:.............................., tertanggal Enam Agustus Dua
Ribu Lima Belas mengenai permintaan visum tersebut di atas, maka dengan ini menerangkan bahwa
pada tanggal Enam Agustus Dua Ribu Lima Belas, bertempat di Rumah Sakit dr. H. Abdul Moeloek
Provinsi Lampung telah melakukan pemeriksaan atas korban yang menurut surat permintaan visum
tersebut adalah :-------------------------------------------------------------- Nama Inisial : --------------------------------
-----------------------------------------------------------------------
Umur : -----------------tahun.-----------------------------------------------------------------------------
Jenis Kelamin : -------------------------------------------------------------------------------------------------------
Warga Negara : -------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pekerjaan : -------------------------------------------------------------------------------------------------------
Agama : -------------------------------------------------------------------------------------------------------
Alamat : -------------------------------------------------------------------------------------------------------
b. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya, alasan tidak
dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat
dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk menghindari
kesalahpahaman tentang-tepat tidaknya penanganan dokter dan tepat-tidaknya kesimpulan yang diambil.
c. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan hal penting guna
pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas.
d. Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur, yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh,
karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan.
Contoh:
HASIL PEMERIKSAAN :-----------------------------------------------------------------------------------------------
1. Korban datang dalam keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran sadar penuh, emosi stabil, dan
kooperatif. Tekanan darah seratus duapuluh per delapan puluh milimeter air raksa. Laju nadi delapan
puluh dua kali permenit. Laju pernafasan dua puluh kali permenit. Suhu tiga puluh enam koma lima
derajat selsius--------------------------------------------------------------------
2. Pada korban ditemukan--------------------------------------------------------------------------------------------
a. Pada dahi sisi kanan, lima sentimeter dari garis pertengahan depan, tiga koma lima sentimeter
dibawah tumbuh rambut depan, terdapat memar berwarna kebiruan dengan ukuran tiga kali dua
koma lima sentimeter-----------------------------------------------------------------
---------
b. Pada leher sisi kanan, lima koma lima sentimeter dari garis pertengahan belakang, tiga sentimeter
dibawah batas tumbuh rambut belakang, luka lecet tekan berbentuk kuku, berwarna kemerahan
dengan luas area dua koma lima kali satu koma lima sentimeter------
--------
c. Pada punggung sisi kiri, nol koma lima sentimeter dari garis pertengahan belakang, dua belas
sentimeter dibawah puncak bahuterdapat luka lecet berwarna kemerahan dengan ukuran dua koma
lima kali satu sentimeter----------------------------------------------------------------
--
d. Pada punggung sisi kiri, tiga belas sentimeter dari garis pertengahan belakang, dua belas sentimeter
dibawah puncak bahu, terdapat luka lecet berwarna kemerahan berbentuk bulat dengan ukuran
diameter satu sentimeter-----------------------------------------------------------
-----
3. Terhadap korban tidak dilakukan pemeriksaan penunjang perawatan luka dan pengobatan----
4. Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri
oleh dokter pembuat VER, dikaitkan dengan maksud dan tujuan
dimintakannya VER tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan
derajat kualifikasi luka.
Contoh:
KESIMPULAN :-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada pemeriksaan seorang korban perempuan berumur kurang lebih .............. tahun ini ditemukan
memar pada dahi sisi kanan, luka lecet pada leher sisi kanan, dan luka lecet pada punggung sisi kiri akibat
trauma tumpul. ---------------------------------------------------------------------------
5. Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat sumpah atau
janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu
sebelum melakukan pemeriksaan.
Dibubuhi tanda tangan dokter pembuat VER
Contoh:
Demikianlah Visum et Repertum ini Saya buat berdasarkan Lembaran Negara No. 350 Tahun 1957.--------
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dokter Pemeriksa,
c. Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan bahwa permintaan oleh penyidik
harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas telah diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2).
d. Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang memintanya sesuai
dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli. Pihak lain tidak dapat memintanya.
2. Pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan forensik klinik
a. Dokter
b. Perawat
c. Petugas Administrasi
3. Tahapan-tahapan dalam pembuatan VER pada korban hidup:
a. Penerimaan korban yang dikirim oleh penyidik
b. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/VER
Kriteria tentang pasien/korban yang pada waktu masuk Rumah Sakit/UGD tidak membawa SPV, sebagai
berikut:
Setiap pasien dengan trauma
Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan
Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas
Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan
Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat permintaan visum
c. Pemeriksaan korban secara medis
d. Pengetikan surat keterangan ahli/VER oleh petugas administrasi memerlukan perhatian dalam
bentuk/formatnya karena ditujukan untuk kepentingan peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea
dengan garis, untuk mencegah penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Contoh:
“Pada pipi kanan 2 sentimeter dari sumbu wajah, 2 sentimeter di bawah mata terdapat luka robek, tepi
tidak rata panjang lima sentimeter lebar satu sentimeter dalam nol koma lima sentimeter, tidak teraba
derik tulang.--------------------------------------------------------------------------------
e. Undang-undang menentukan bahwa yang berhak menandatanganinya adalah dokter. Setiap lembar
berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter.
f. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa kepada penyidik dengan menggunakan berita
acara.
g. Surat keterangan ahli/visum etrepertum juga hanya boleh diserahkan pada pihak penyidik yang
memintanya saja.
G. PROSEDUR
H. DAFTAR PUSTAKA
1) Afandi D, Mukhyarjon, Roy J. The quality of VER of the living victims in Arifin Achmad General Hopital
during January 2004 – September 2007. Jurnal Ilmu Kedokteran. 2008;2(1):19 – 22.
2) Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997.
3) Dorland‟s Ilustrated Medical Dictionary E-Book 32nd edition. Elsevier Health Science. 2011.
4) Dolinak D, Evan et al. Forensic Pathology Principle and Practice. Elsevier Academic Press. London.
2005
5) Hamdani N. Ilmu kedokteran kehakiman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 1992.
6) Sampurna B, Samsu Z. Peranan ilmu forensik dalam penegakan hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar;
2003.
7) Skhrum, Micheal J, David A Ramasay et al. Forensic Pathologic of Trauma: Common Problem for the
Pathologist. Human Press. New Jersey. 2007
I. EVALUASI
CEKLIST LATIHAN
A. TEMA
B. TUJUAN
Setelah mempelajari keterampilan medik mengenai Surat Keterangan Kematian ini, mahasiswa diharapkan:
C. LEVEL KOMPETENSI
Level Kompetensi
No. Kompetensi SKDI Target
Capaia
n
Pembuatan surat keterangan
1. 4A 4
medis
E. SKENARIO
Seorang pengemudi mobil truk terlibat kecelakaan tunggal dengan menabrak tembok beton fly over di antasari.
Saat sampai di IGD pasien sudah dalam kondisi tidak bernyawa. Kemudian anda selaku dokter jaga melakukan
pemeriksaan dan pembuatan surat keterangan kematian.
F. DASAR TEORI
4. Pasal 179 KUHAP: wajib memberikan keterangan ahli demi pengadilan, keterangan yang akan
diberikan didahului dengan sumpah jabatan atau janji
d. Peran dokter
1. Menentukan seseorang telah meninggal dunia (berhenti secara permanen: sirkulasi, respirasi dan
neurologi)
2. Melengkapi surat keterangan kematian bagian medis (menuliskan sebab kematian, jika
diperlukanà otopsi)
3. Jika jenazah tidak dikenal à membantu identifikasi
g. Pemeriksaan tanda
kematian Tanda
kematian dini
Kerja jantung, peredaran darah dan pernafasan berhenti
Secara teoritis, diagnosis kematian sudah dapat ditegakkan jika jantung dan paru berhenti selama 10
menit, namun dalam prakteknya seringkali terjadi kesalahan diagnosis sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan dengan cara mengamati selama waktu tertentu. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan mendengarkannya melalui stetoscope pada daerah precordial dan larynx dimana
denyut jantung dan suara nafas dapat dengan mudah terdengar.
Kadang-kadang jantung tidak segera berhenti berdenyut setelah nafas terhenti, selain disebabkan
ketahanan hidup sel tanpa oksigen yang berbeda-beda dapat juga disebabkan depresi pusat
sirkulasi darah yang tidak adekwat, denyut nadi yang menghilang merupakan indikasi bahwa
pada otak terjadi hipoksia. Sebagai contoh pada kasus judicial hanging dimana jantung masih
berdenyut selama 15 menit walaupun korban sudah diturunkan dari tiang gantungan.
Kulit pucat
Kulit muka menjadi pucat ,ini terjadi sebagai akibat berhentinya sirkulasi darah sehingga darah yang
berada di kapiler dan venula dibawah kulit muka akan mengalir ke bagian yang lebih rendah
sehingga warna kulit muka tampak menjadi lebih pucat. Pada mayat yang mati akibat kekurangan
oksigen atau keracunan zat-zat tertentu (misalnya karbon monoksida) warna semula dari raut muka
akan bertahan lama dan tidak cepat menjadi pucat.
disebut relaksasi primer. Akibatnya rahang turun kebawah yang menyebabkan mulut terbuka, dada
menjadi kolap dan bila tidak ada penyangga anggota gerakpun akan jatuh kebawah. Relaksasi dari
otot-otot wajah menyebabkan kulit menimbul sehingga orang mati tampak lebih muda dari umur
sebenarnya, sedangkan relaksasi pada otot polos akan mengakibatkan iris dan sfincter ani akan
mengalami dilatasi. Oleh karena itu bila menemukan anus yang mengalami dilatasi harus hati-hati
menyimpulkan sebagai akibat hubungan seksual perani/anus corong.
Dekomposisi (Pembusukan)
Terjadi segera setelah kematian seluler, baru tampak ±24 jam pasca mati berupa warna kehijauan
pada perut kanan bawah, yaitu daerah sekum yang isinya lebih cair dan penuh dengan bakteri serta
terletak dekat dengan dinding perut.
Mummifikasi
Adiposera
G. PROSEDUR
1. Sapalah pengantar atau keluarga klien, membina sambung rasa.
2. Melakukan alloanamnesis, untuk menanyakan alasan kematian klien.
3. Menjelaskan pentingnya pemeriksaan ini lalu informed consent. kepada pengantar atau keluarga secara
lisan dan tulisan (terdokumentasi)
4. Pemeriksaan tanda kematian klien
4.1 Tanda kematian dini
4.1.1 Kerja jantung, peredaran darah dan pernafasan berhenti
4.1.2 Refleks cahaya dan kornea mata hilang
Tahap 1.1
a. Tuliskan final disease yang menyebabkan kematian
b. Tuliskan immediate cause yang menyebabkan kondisi pada baris a.
c. Tuliskan underlying cause yang menyebabkan kondisi pada baris b, dan seterusnya.
Jadi, nantinya dapat dibaca penyebab kematiannya adalah a. yang terjadi karena b. yang terjadi karena c. Di
sebelah kanan tahap 1.1 ini terdapat kolom interval perkiraan onset kematian dari setiap penyebab yang
dituliskan (Tahap 1.2)
Catatan : Jika final diseasenya berupa neoplasma, tuliskan juga lokasi primernya, benign atau malignant, tipe
sel, grade dan bagian/lobus organ yang terlibat. Contoh squamous cell carcinoma primer
differensiasi baik, paru, lobus kiri atas
Tahap 1.2
Tuliskan lamanya (kira-kira) mulai sakit hingga meninggal dunia.
Contoh penulisan :
Tahap 1.1
a. pulmonary embolism
b. congestive heart failure
c. acute myocard infarction
Tahap 1.2
Menit
4 hari
7 hari
Tahap 2
Menuliskan kondisi signifikan lain yang mendukung penyebab kematian tapi tidak menjadi underlying cause pada
part 1.
Contoh penulisan :
Diabetes mellitus, hipertension
Tahap 3
Menuliskan keterangan-keterangan khusus untuk: MATI KARENA RUDAPAKSA (violent/death) Macam-
macam rudapaksa (bunuh diri, pembunuhan, kecelakaan, dsb)
Cara kejadian rudapaksa
Sifat jejas
Tahap 4
Menuliskan kelahiran kematian (stillbirth)
Apakah ini janin lahir-mati : Ya atau Tidak
Sebab kelahiran mati ...............................
11.Melakukan pemeriksaan dalam (autopsy) bila perlu. 12.Menuliskan tempat
(kota/kabutapen) dan tanggal pemeriksaan.
13.Menuliskan nama dan tanda tangan (sertifier atau pembuat keterangan).
14.Membuat menjadi sebuah surat keterangan kematian.
H. DAFTAR PUSTAKA
1. Nurhantari Y. 2010. Slide Kuliah “Surat Keterangan Kematian”. Yogyakarta : FK UGM
2. Suciningtyas M. 2011. Slide Kuliah “Death Sertification”. Yogyakarta : FK UGM
3. CDC. 2003. Physician’s Handbook on Medical Sertification of Death. Maryland : Department of
Health and Human Resources, National Center for Health Statictics
I. EVALUASI
CEKLIST LATIHAN
Keterampilan klinik komprehensif akan diselenggarakan dalam 10 kali pertemuan. Keterampilan klinik
komprehensif dibagi berdasarkan sistem tubuh, yaitu :
Dalam pelaksanaan keterampilan klinik komprehensif mahasiswa dianjurkan belajar secara aktif, yaitu menyiapkan
jenis kasus dan keterampilan yang dirasa perlu untuk dipelajari lagi secara mendalam. Instruktur memfasilitasi
mahasiswa untuk belajar dan berdiskusi. Setelah itu lalu dilakukan umpan balik oleh instruktur dan mahasiswa.