Anda di halaman 1dari 116

Buku Panduan CSL 7 2018

Edisi Ke 8 Agustus 2018

Buku Panduan Clinical Skill Laboratory 7

Semester 7 T.A 2018/2019

Fakultas Kedokteran Univeritas Lampung

Jln. Prof. Soemantri Bojonegoro No. 1

Bandar Lampung-Indonesia

Telp. (0721) 7691197

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 1


Buku Panduan CSL 7 2018

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Edisi ke-8: Agustus 2018

Buku Panduan Clinical Skill Laboratory 7

Semester 7 T.A 2018/2019

Edisi Ke-8

112 hlm ; 21 x 29,7 cm

ISBN : -

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 2


Buku Panduan CSL 7 2018

Diterbitkan oleh :

Lab CSL/Medical Education Unit (MEU)

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Dicetak di Bandar Lampung

Agustus 2018

Desain muka oleh : -

Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian


isi atau seluruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk
apapun tanpa seijin penyusun

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 3


Buku Panduan CSL 7 2018

TIM PENYUSUN

.:: EDITOR ::.

dr. Hanna Mutiara, S.Ked., M.Kes dr.

Nisa Karima, S.Ked., M.Sc

dr. Riyan Wahyudo, S.Ked

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 4


Buku Panduan CSL 7 2018

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kekuatan serta kemudahan sehingga
penyusun dapat menyelesaikan buku panduan Keterampilan Klinik Semeter 7 ini. Buku ini disusun sebagai
panduan bagi mahasiswa maupun instruktur dalam proses pembelajaran Keterampilan Klinik pada
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (FK Unila) semester 7
tahun ajaran 2018-2019.

Pada semester 7 ini, mahasiswa diperkenalkan dengan keterampilan yang sesuai dengan tahunnya
mencakup keterampilan menyampaikan berita buruk/breaking bad news, visum et repertum, pembuatan
sertifikat kematian, prosedur pemasangan infus, intubasi endotrakeal, resusitasi jantung paru, pengeluaran benda
asing hidung dan telinga, pemasangan tampon hidung, serta keterampilan klinis komprehensif berbagai sistem
tubuh. Buku panduan ini disusun dengan mengacu pada kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang dokter
yang tertuang dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012.

Pada buku edisi 8 ini, terdapat beberapa revisi minor pada beberapa aspek keterampilan. Selebihnya
adalah terdapat beberapa revisi teknis pada keterampilan laboratorium dari para kontributor.

Penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada konributor yang telah memberikan
masukan demi memperkaya materi buku ini, pengelola KBK FK Unila, maupun pihak- pihak lain yang turut
membantu hingga selesainya buku ini.

Dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang ada, semoga buku ini dapat digunakan dengan
sebaik-baiknya. Untuk kesempurnaan penyusunan buku ini berikutnya kritik dan saran sangat kami harapkan.

Bandar Lampung, Agustus 2018

PJ CSL 7

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 5


Buku Panduan CSL 7 2018

DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................................. 1

Tim Penyusun ..................................................................................................................................... 4

Kata Pengantar .......................................................................................................................................... 5

Daftar Isi ..................................................................................................................................................... 6

Regulasi & Kontrak Mengikuti CSL 7 .................................................................................................. 7

Tata Tertib .................................................................................................................................................. 8

Daftar Keterampilan ................................................................................................................................... 9

Level Kompetensi..................................................................................................................................... 13

CS 1. Breaking bad news....................................................................................... 14

CS 2. Prosedur pemasangan infus intravena (IV-line) ...................................................................... 21

CS 3. Intubasi endotrakeal ....................................................................................................................... 33

CS 4. Pengeluaran benda asing ....................................................................................................... 44

CS 5. Pemasangan tampon hidung .................................................................................................. 54

CS 6. Resusitasi jantung paru ........................................................................................................... 68

CS 7. Visum Et Repertum ........................................................................................................................ 85

CS 8. Surat Keterangan Kematian .................................................................................................... 99

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 6


Buku Panduan CSL 7 2018

REGULASI & KONTRAK MENGIKUTI CSL 7

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan akan mengikuti regulasi CSL berupa:

1. Kegiatan CSL setiap topik terbagi atas 2 sesi. Buku Panduan CSL akan di-upload di website;
2. Pada kegiatan CSL terdapat 2 buku, yakni Buku Panduan CSL dan Buku Kegiatan CSL yang wajib
dibawa setiap sesi;
3. Keikutsertaan 100% dan hadir tepat waktu;
4. Pada Sesi 1 akan dilakukan pre-test secara serentak dan dikumpulkan pada instruktur yang
bertugas;
5. Jika terlambat ≤15 menit dapat mengikuti CSL dengan pre-test susulan;
6. Jika terlambat >30 menit tidak diperkenankan mengikuti CSL;
7. Pada sesi 1 akan langsung diumumkan mahasiswa/i yang mendapat nilai pre-test <70;
8. Pada sesi 1 mahasiswa, mahasiswa yang mendapat nilai pre-test <70, diberi kesempatan untuk
belajar di luar ruangan selama 15 menit kemudian melakukan pre-test ulang.
9. Pada Sesi 2 mahasiswa melakukan keterampilan klinik dengan dinilai oleh rekannya dibawah
pengawasan instruktur. Mahasiswa dengan nilai pre-test <70 diprioritaskan untuk melakukan CSL;
10. Penilaian dilakukan pada buku kegiatan mahasiswa dan ditanda tangani oleh instruktur saat
pelaksanaan skills lab berlangsung sebagai bukti otentik latihan serta tidak boleh disobek;
11. Pada halaman terakhir Buku Kegiatan CSL terdapat Bukti Penilaian Formatif CSL yang harus diparaf
setiap selesai latihan oleh instruktur yang bertugas;
12. Pada akhir blok, mahasiswa wajib mengumpulkan buku kegiatan agar rekapitulasi bukti penilaian
tersebut dapat diperiksa dan diberikan rekomendasi layak/tidaknya mengikuti OSCE oleh PJ CSL blok
yang bersangkutan;
13. Lembar rekomendasi diberikan kepada bagian administrasi seminggu sebelum ujian OSCE
dilaksanakan agar dapat mengikuti OSCE;
14. Mahasiswa/i yang tidak menghadiri CSL maka harus mendapatkan rekomendasi dari Dekan Fakultas
Kedokteran Unila untuk mengikuti CSL susulan dengan menanggung biaya pelaksanaan CSL
tersebut (seperti biaya BHP dan pemeliharaan alat);
15. Wajib mentaati Tata Tertib dan semua aturan yang berlaku di FK Unila;
16. Hal-hal yang belum diatur dalam regulasi ini akan ditetapkan kemudian.

Bandar Lampung, .… Agustus 2018

(……………………………..)

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 7


Buku Panduan CSL 7 2018

NPM.
Catt : Halaman ini harap diprint, ditandatangani dan dikumpul ke PJ CSL
REGULASI

1. Kegiatan CSL setiap topik terbagi atas 2 sesi. Buku Panduan CSL akan di-upload di
website;
2. Pada kegiatan CSL terdapat 2 buku, yakni Buku Panduan CSL dan Buku Kegiatan
CSL yang wajib dibawa setiap sesi;
3. Keikutsertaan 100% dan hadir tepat waktu;
4. Pada Sesi 1 akan dilakukan pre-test secara serentak dan dikumpulkan pada
instruktur yang bertugas;
5. Jika terlambat ≤15 menit dapat mengikuti CSL dengan pre-test susulan;
6. Jika terlambat >30 menit tidak diperkenankan mengikuti CSL;
7. Pada sesi 1 akan langsung diumumkan mahasiswa/i yang mendapat nilai pre-test
<70;
8. Pada sesi 1 mahasiswa, mahasiswa yang mendapat nilai pre-test <70, diberi
kesempatan untuk belajar di luar ruangan selama 15 menit kemudian melakukan pre-
test ulang;
9. Pada sesi 2 mahasiswa melakukan keterampilan klinik dengan dinilai oleh rekannya
dibawah pengawasan instruktur. Mahasiswa dengan nilai pre-test <70 diprioritaskan
untuk melakukan CSL;
10. Penilaian dilakukan pada buku kegiatan mahasiswa dan ditandatangani oleh
instruktur saat pelaksanaan skills lab berlangsung sebagai bukti otentik latihan serta
tidak boleh disobek;
11. Pada halaman terakhir Buku Kegiatan CSL terdapat Bukti Penilaian Formatif CSL
yang harus diparaf setiap selesai latihan oleh instruktur yang bertugas;
12. Pada akhir blok, mahasiswa wajib mengumpulkan buku kegiatan agar rekapitulasi
bukti penilaian tersebut dapat diperiksa dan diberikan rekomendasi layak/tidaknya
mengikuti OSCE oleh PJ CSL Blok yang bersangkutan;
13. Lembar rekomendasi diberikan kepada bagian administrasi seminggu sebelum ujian
OSCE dilaksanakan agar dapat mengikuti OSCE;
14. Mahasiswa/i yang tidak menghadiri CSL maka harus mendapatkan rekomendasi dari
Dekan Fakultas Kedokteran Unila untuk mengikuti CSL susulan dengan
menanggung biaya pelaksanaan CSL tersebut (seperti biaya BHP dan pemeliharaan
alat);
15. Wajib mentaati Tata Tertib dan semua aturan yang berlaku di FK Unila;

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 8


Buku Panduan CSL 7 2018

16. Hal-hal yang belum diatur dalam regulasi ini akan ditetapkan kemudian.
TATA TERTIB :
A. Tata tertib umum

1. Mahasiswa diwajibkan mengikuti semua kegiatan Blok CSL 7, yaitu:


 Latihan keterampilan klinik/CSL, 2 kali seminggu (Senin pukul 13.00-14.40
WIB dan Rabu pukul 08.40-10.20 WIB kecuali jika ada libur dan ujian
nasional akan disesuaikan);
 Pre-test, yang akan diberikan sebelum latihan CSL di pertemuan pertama;
 Tugas, ditentukan oleh instruktur dan PJ CSL;
 Briefing OSCE dan remediasi.

2. Berpakaian rapi
 Tidak diperbolehkan memakai kaus oblong, celana blue jeans, sandal/sepatu
sandal khusus mahasiswi tidak diperbolehkan berbaju ketat, transparan dan
tanpa lengan atau terlihat ketiak serta harus memakai rok minimal 20 cm di
bawah lutut;
 Rambut harus rapi, tidak diperbolehkan berambut gondrong untuk laki-laki;
 Kuku harus pendek, bersih, dan tidak menggunakan cat kuku.

3. Sopan santun dan etika


 Jujur dan bertanggung jawab;
 Disiplin;
 Tidak merokok di lingkungan kampus;
 Tidak diperbolehkan membawa senjata tajam, NAPZA, alat-alat yang tidak
sesuai dengan tupoksi sebagai mahasiswa;
 Tidak diperbolehkan membuat kegaduhan;
 Tidak diperbolehkan memalsukan tanda tangan PA atau para dosen;
 Tidak diperbolehkan memalsukan dokumen;
 Tidak diperkenankan melakukan kecurangan dalam bentuk apapun pada saat
CSL dan OSCE.

4. Mentaati peraturan akademik FK Universitas Lampung dan peraturan akademik


Universitas Lampung.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 9


Buku Panduan CSL 7 2018

B. Tata tertib Khusus

1. Kehadiran harus 100%;


2. Wajib hadir tepat waktu:
3. Pada Sesi 1 akan dilakukan pre-test secara serentak dan dikumpulkan pada instruktur yang
bertugas;
4. Jika terlambat ≤15 menit dari jadwal yang ditentukan, mahasiswa masih dapat mengikuti CSL dengan
pre-test susulan;
5. Jika terlambat 15-30 menit dari jadwal yang ditentukan, mahasiswa masih dapat mengikuti CSL
dengan pre-test susulan dan mendapat tugas yang ditentukan oleh PJ Blok;
6. Jika terlambat >30 menit dari jadwal yang ditentukan, mahasiswa tidak diperkenankan mengikuti
CSL;
7. Bagi mahasiswa yang mendapatkan tugas CSL dari PJ Blok, maka tugas Wajib dikumpulkan maksimal
sebelum sesi 1 CSL selanjutnya dimulai;
8. Pada sesi 1 akan langsung diumumkan mahasiswa/i yang mendapat nilai pre-test <70;
9. Pada sesi 1 mahasiswa, mahasiswa yang mendapat nilai pre-test <70, diberi kesempatan untuk
belajar di luar ruangan selama 15 menit kemudian melakukan pre-test ulang;
10. Bila mahasiswa melakukan kecurangan pada saat pretest, maka langsung dinyatakan tidak lulus
pretest
11. Pada sesi 2 mahasiswa melakukan keterampilan klinik dengan dinilai oleh rekannya dibawah
pengawasan instruktur. Mahasiswa dengan nilai pre-test <70 diprioritaskan untuk melakukan CSL;
12. Pada sesi 2, seluruh mahasiswa Wajib melakukan keterampilan klinis yang dilatihkan. Bila karena satu
lain sebab, mahasiswa tidak melakukan keterampilan tersebut pada sesi 2, maka diwajibkan membuat
video keterampilan tersebut dan diserahkan kepada PJ Blok paling lambat 1 minggu setelah sesi 2
dilaksanakan;
13. Bila nilai tugas kurang dari 60, wajib memperbaiki dengan catatan ceklis rekomendasi OSCE tidak di
paraf;
14. Jika tidak mengumpulkan tugas tepat waktu maka tidak diperbolehkan mengikuti remedial OSCE
15. Bagi mahasiswa yang harus mendapat tugas dan tidak melapor pada PJ maksimal 1 hari setelah
pertemuan 1 maka tidak diperbolehkan ikut OSCE.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 10


Buku Panduan CSL 7 2018

16. Penilaian dilakukan pada buku kegiatan mahasiswa dan ditandatangani oleh instruktur saat
pelaksanaan skills lab berlangsung sebagai bukti otentik latihan serta tidak boleh disobek;
17. Jika mahasiswa lupa membawa buku kegiatan pada sesi 2, mahasiswa diperkenankan meminta
tanda tangan instruktur selambat-lambatnya 1 minggu setelah sesi 2 berlangsung. Jika meminta tanda
tangan > 1 minggu, maka tidak diperkenankan mengikuti remedial OSCE;
18. Pada halaman terakhir Buku Kegiatan CSL terdapat Bukti Penilaian Formatif CSL yang harus diparaf
setiap selesai latihan oleh instruktur yang bertugas;
19. Pada akhir blok, mahasiswa wajib mengumpulkan buku kegiatan maksimal 1 minggu sebelum OSCE
berlangsung agar rekapitulasi bukti penilaian tersebut dapat diperiksa dan diberikan rekomendasi
layak/tidaknya mengikuti OSCE oleh PJ CSL blok yang bersangkutan;
20. Lembar rekomendasi Wajib dibawa pada saat briefing OSCE, mahasiswa yang tidak membawa
lembar rekomendasi tidak diperkenankan mengikuti remedial OSCE;
21. Seluruh mahasiswa Wajib hadir pada saat briefing OSCE, bagi yang tidak hadir tidak
diperkenankan mengikuti remedial OSCE;
22. Mahasiswa wajib membawa buku panduan CSL dan buku kegiatan CSL di setiap pertemuan/ sesi
23. Mengikuti pre test dan latihan CSL
24. Pada pertemuan ke-2:
 Instruktur akan memberi umpan balik terkait performance mahasiswa, kemudian
mahasiswa harus menuliskan umpan balik tersebut pada kolom umpan balik di buku kegiatan
CSL mahasiswa.
 Instruktur menandatangani buku kegiatan setelah mengoreksi kolom isian umpan balik sudah
sesuai dengan masukan yang diberikan.
 Bila waktu tidak cukup, instruktur dapat meminta bantuan mahasiswa untuk menilai
performance temannya (peer-assesment) dengan tetap memperhatikan umpan balik
yang diberikan.
25. Bila tidak mengikuti briefing OSCE maka tidak diperkenankan mengikuti REMEDIAL OSCE

PENILAIAN

1. Penilaian formatif
a. Kehadiran 100%, kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh institusi
b. Umpan balik selama latihan berlangsung harus dituliskan pada kolom umpan baik

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 11


Buku Panduan CSL 7 2018

dalam daftar tilik


c. Nilai sikap profesional (profesional behaviour).
1. Nilai sikap profesional diperoleh dari penilaian sikap mahasiswa selama blok berlangsung
pada seluruh proses kegiatan pembelajaran. Penilaian dilakukan menggunakan lembar
Penilaian Sikap Profesional (Professional behaviour) pada buku log masing-masing
mahasiswa. Hasil penilaian berupa sufficient atau insuffisient.
2. Poin penilaian meliputi kedisiplinan, kejujuran, sopan santun, penilaian, sikap sesama
teman (Altruism).
d. Telah mengerjakan semua tugas yang diberikan
e. Semua penilaian formatif ini adalah prasyarat untuk mengikuti OSCE
.
2. Penilaian Sumatif
Penilaian Sumatif diambilkan dari Ujian Objective Structured Clinical Examination (OSCE)
yang diselenggaraka di akhir semester. Bobot penilaian sumatif 100% diambilkan dari nilai OSCE.
Syarat lulus minimal B (Skor ≥66).

3. Nilai Akhir Blok


Huruf
Bobot Skor Nilai Keterangan
Mutu
A 4 > 76 LULUS
B+ 3,5 71- <76 LULUS
B 3 66 - <71 LULUS
C+ 2,5 61 - <66 Belum Lulus (TL)
C 2 56 - <61 Belum Lulus (TL)
D 1 50 -<56 Belum Lulus (TL)
E 0 <50 TIDAK LULUS

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 12


Buku Panduan CSL 7 2018

DAFTAR KETERAMPILAN KLINIK SEMESTER 7

Jenis Keterampilan CSL


No. Judul CSL Pemeriksa Penugasa
Komunik Prosedur Laboratori n
asi an al um
Fisik
1. Breaking bad √ - - -
news
Prosedur pemasangan
2. infus intravena (IV- - - √ -
line)

Intubasi
3. - - √ -
endotrakeal

Pengeluaran
4. - - √ -
benda asing

Pemasangan tampon
5. - - √ -
hidung

Resusitasi jantung paru


6. - - √ -

7. Visum et Repertum - √ √ -

8. Surat Kematian - - √ -

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 13


Buku Panduan CSL 7 2018

LEVEL OF COMPETENCE

Physical Examination Level of Expected


Ability
Breaking bad news -1- -2- -3- -4-

Prosedur pemasangan infus intravena (IV-line) -1- -2- -3- -4-

Intubasi endotrakeal -1- -2- -3- -4-

Pengeluaran benda asing -1- -2- -3- -4-

Pemasangan tampon hidung -1- -2- -3- -4-

Resusitasi jantung paru -1- -2- -3- -4-

Visum et Repertum -1- -2- -3- -4-

Surat Kematian -1- -2- -3- -4-

Keterangan:

Level Kompetensi 1 : Mengetahui dan menjelaskan Level

Kompetensi 2 : Pernah melihat / didemonstrasikan

Level Kompetensi 3 : Pernah melakukan atau pernah menerapkan di bawah


supervisi

Level Kompetensi 4 : Mampu melakukan secara mandiri

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 14


Buku Panduan CSL 7 2018

BREAKING BAD NEWS


dr. Dewi Nur Fiana, dr. T.A. Larasati, M.Kes.

A. TEMA

Keterampilan Komunikasi Penyampaian Kabar Buruk.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Tujuan Instruksional Umum

Mahasiswa mampu melakukan anamnesis dengan benar

2. Tujuan Instruksional Khusus

1. Mahasiswa mampu menyampaikan kabar buruk dengan cara yang baik.


2. Mahasiswa mampu mengetahui emosi pasien dan berempati kepada pasien.

C. LEVEL KOMPETENSI

Level
No Jenis Keterampilan
kompete
.
nsi
1. Assessment of mental status 1 2 3 4
2. Educating, advising and coaching of 1 2 3 4
individuals and groups
3. Making a management plan 1 2 3 4
4. Therapeutic consultation 1 2 3 4
5. Reporting and making report 1 2 3 4

D. ALAT DAN BAHAN

1. Kursi 2 buah
2. Sapu tangan/tissu

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 15


Buku Panduan CSL 7 2018

E. SKENARIO

Pak Purno berusia 66 tahun mengeluhkan berat badannya yang terus menurun dan sering merasa lelah.
Selama ini ia tidak pernah memeriksakan kesehatannya karena ia merasa penyakitnya tidak berat. Pak Purno
baru memeriksakan kesehatannya setelah sering mengalami diare dengan feses bercampur lendir dan
darah, terkadang bewarna hitam. Setelah dirujuk dari puskesmas di kampungnya dan dirawat di RSU
Pak Purno menjalani serangkaian pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa Pak Purno
menderita Ca Colon stadium 3. Bagaimanakah cara dokter menyampaikan berita ini ke Pak Purno?

F. DASAR TEORI

1. Definisi ‘Kabar Buruk’

Penting sekali bagi seorang dokter untuk dapat mendefinisikan kabar buruk. Mengidentifikasikan mengapa
kabar tersebut akan dirasakan buruk oleh pasien. Pada dasarnya efek dari buruknya suatu kabar akan
berbanding lurus dengan perubahan harapan pasien.

Definisi praktis dari kabar buruk adalah kabar yang secara drastis dan serius mengubah pandangan
pasien mengenai masa depannya, contohnya tentang terminal illnes, diagnosa penyakit kronis,
keganasan atau hasil pemeriksaan yang abnormal. Kabar buruk akan berdampak pula tidak hanya
pada kehidupan pasien, tetapi juga kehidupan keluarganya. Sebagai seorang dokter, kita tidak dapat
mengetahui bagaimana reaksi pasien terhadap kabar yang disampaikan hingga kita mengetahui persepsi
mereka mengenai kondisi kesehatannya. Aturan yang sangat beharga dalam hal ini adalah “Sebelum
menyampaikan kabar, galilah terlebih dahulu persepsi mereka”.

2. Alasan mengapa penyampaian kabar buruk dengan cara yang tepat menjadi
penting:
a. Sering dilakukan dan dapat merupakan pekerjaan yang sulit. Penyampaian kabar buruk dapat
menjadi tugas yang sulit apabila:
 Dokter tidak berpengalaman;
 Pasien masih berusia muda;
 Terbatasnya harapan akan keberhasilan terapi.
b. Pasien berhak mengetahui kebenaran.
c. Ethical dan legal Imperatives

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 16


Buku Panduan CSL 7 2018

Dokter tidak dapat menahan informasi medis walaupun informasi tersebut dicurigai akan mempunyai efek
yang tidak baik terhadap pasien.
d. Hasil klinis
Pada umumnya pasien mengharapkan informasi yang akurat sehingga mereka dapat
menentukan keputusan yang tepat dan penting untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Gambar 1. Bad breaking bad news.

G. PROSEDUR

Beberapa metode dalam menyampaikan kabar buruk, di antaranya metode SPIKES.


Strategi 6 langkah SPIKES dalam menyampaikan kabar buruk:

S – SETTING UP the Interview, Listening Skills


P – Patient’s Perception (assessing the patient's perception)
I – Invitation to share Information
K – Knowledge transmission (giving knowledge and information to the patient)
E – Explore Emotions and Empathize
S – Summarize and Strategize

Langkah 1. S – SETTING UP the Interview, Listening Skills


Sebelum menyampaikan kabar buruk kepada pasien, perlu adanya persiapan untuk menjamin kelancaran
penyampaian informasi kepada pasien, sebagai berikut:
 Persiapkan Diri Sendiri
Dokter sebagai penyampai „bad news‟ mempersiapkan mental terlebih dahulu agar tidak ikut larut dalam
emosi pasien nantinya, namun tetap berempati sebagaimana mestinya. Penting kita ingat bahwa walaupun
kabar yang akan kita sampaikan akan terdengar sangat buruk bagi pasien, tetapi dengan mengetahui
kabar tersebut, pasien dapat terbantu untuk merencanakan kelanjutan hidupnya di masa yang akan
datang.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 17


Buku Panduan CSL 7 2018

 Perkenalkan Diri
Yang harus dihindari: tampak nervous di hadapan pasien, bahkan sebelum menyampaikan kabar
buruk.
Tips: siapkan tissue di saku, untuk diberikan pada pasien bila pasien menangis.
 Privasi Pasien
Penyampaian kabar buruk tidak boleh dilakukan di tempat yang ramai atau banyak orang. Hendaknya
dilakukan di tempat tenang yang tertutup seperti kamar praktek ataupun dengan menutup tirai di
sekeliling tempat tidur pasien.
 Libatkan Pendamping
Untuk menghindari kesan kurang baik yang dapat muncul bila pasien dan dokter berada di tempat
tertutup (untuk menjaga privasi), diperlukan satu pendamping.
Yang dapat menjadi pendamping:
- Keluarga terdekat pasien satu saja, apabila terlalu banyak dapat menyulitkan dokter untuk menangani
emosi dan persepsi banyak orang sekaligus. Pendamping sebaiknya merupakan pilihan dari pasien
sendiri.
- Perawat atau dokter muda yang ikut terlibat dalam perawatan pasien.
- Perkenalkan pendamping kepada pasien, jika bukan keluarga pasien.
 Posisi Duduk
Posisi pasien dan dokter sebaiknya setara. Dokter menyampaikan kabar buruk dalam posisi duduk.
Tujuan: untuk menghilangkan kesan terburu-buru dalam penyampaian dan kesan dokter berkuasa serta
memojokkan pasien. Apabila baru dilakukan pemeriksaan terhadap pasien, sebaiknya pasien diminta
untuk mengenakan pakaiannya terlebih dahulu.
 Membangun Hubungan dengan Pasien
Hal ini dapat dilakukan dengan cara menggunakan bahasa non verbal selayaknya bila perlu untuk
menunjukkan empati misalnya menjaga kontak mata ataupun menyentuh bahu atau lengan pasien
(apabila pasien nyaman dengan ini).
 Listening, Mendengarkan
Sebelum menyampaikan kabar buruk, hendaknya persiapkan kemampuan „mendengar‟, secara prinsip
meliputi:

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 18


Buku Panduan CSL 7 2018

- Silence
Jangan memotong kata-kata pasien ataupun berbicara tumpang tindih dengan pasien.
- Repetition
Ulangi kata-kata pasien atau berikan tanggapan, untuk menunjukkan pemahaman terhadap apa yang ingin
disampaikan pasien.
 Availability
Dokter harus ada di tempat mulai awal hingga akhir penyampaian kabar buruk. Jangan sampai ada
gangguan berupa interupsi, seperti:
- Ada sms, telepon, atau sekedar missed call saja. Matikan hp, atau aktifkan mode silent.
- Ada tamu – minta bantuan pada perawat untuk mengatasi tamu yang mungkin datang.

Langkah 2. P – Patient’s Perception (Assessing the Patient's Perception)


Sebelum menyampaikan kabar buruk, hendaknya dokter mengetahui persepsi pasien terhadap:
 Kondisi medis dirinya sendiri
Tanyakan sejauh mana informasi yang pasien ketahui tentang penyakitnya beserta kemungkinan terburuk yang
ditimbulkan oleh penyakit tersebut. Dokter dapat menggunakan pertanyaan terbuka untuk menggali
persepsinya. Contoh “Apa yang anda ketahui mengenai kondisi medis anda saat ini?” atau “Tahukah Anda
mengapa kami melakukan MRI terhadap Anda?”
 Harapannya terhadap hasil medikasi yang ia tempuh
 Tanyakan perkiraan pasien terhadap hasil medikasi
Tujuan mengetahui harapan pasien terhadap hasil medikasi yang ia empuh dan perkitaannya terhadap
hasil medikasi bukan semata-mata untuk mengubah persepsi pasien agar sesuai dengan kenyataan,
melainkan sebagai jalan untuk menilai kesenjangan antara persepsi dan harapan pasien dengan
kenyataan sebagai pertimbangan penyampaian kabar buruk agar tidak terlalu membuat pasien
terguncang.

Langkah 3. I – Invitation to Share Information


 Tanyakan apakah pasien ingin tahu perkembangan mengenai keadaannya atau tidak. Apabila pasien
menyatakan diri belum siap, pertimbangkan untuk menyampaikan di waktu lain yang lebih tepat dan minta
pasien untuk mempersiapkan diri terlebih dahulu.
 Apabila pasien menyatakan ingin tahu perkembangan mengenai keadaannya, tanyakan sejauh mana ia
ingin tahu, secara umum ataukah mendetail.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 19


Buku Panduan CSL 7 2018

Langkah 4. K – Knowledge Transmission (Giving Knowledge and Information to


the Patient)
 Sebelum menyampaikan kabar buruk, lakukan „warning shot‟ sebagai pembukaan katakan pada pasien
bahwa ada „kabar buruk‟ yang akan disampaikan pada pasien.
 Cara penyampaian:
- Gunakan kalimat yang halus, contohnya “Ada berita yang kurang baik yang harus kami sampaikan
kepada Bapak/Ibu”
- Gunakan bahasa yang sama dan hindari jargon medis.
- Bila bahasa pasien berbeda, gunakan penerjemah yang kompeten. Penerjemah sebaiknya:
o Mengerti dan dapat menggunakan bahasa yang digunakan pasien.
o Mengerti dan dapat menggunakan bahasa yang digunakan dokter.
o Dapat mengemas jargon-jargon medis ke dalam bahasa yang dimengerti pasien sebaiknya
perawat atau dokter muda.
o Bukan merupakan keluarga pasien.
 Sampaikan informasi sedikit demi sedikit (bertahap).
- Setiap menyampaikan sepenggal informasi, nilai ekspresi dan tanggapan pasien, beri waktu pasien
untuk bertanya ataupun sekedar mengekspresikan emosinya.
- Bila kondisi pasien tampak memungkinkan untuk menerima informasi tahap selanjutnya, teruskan
penyampaian informasi.
- Bila pasien tampak sangat terguncang hingga tidak memungkinkan untuk menerima lebih banyak
informasi lagi, pertimbangkan penyampaian ulang kabar buruk di lain waktu sambil mempersiapkan
pasien.
 Sampaikan dengan intonasi yang jelas namun lembut, tempo yang tidak terlalu cepat dengan jeda untuk
memberikan kesempatan pada pasien dalam mencerna kalimat yang ia terima.
 Lakukan pemilihan kata-kata dalam penyampaian dan hindari kalimat yang membuat pasien putus asa
dan dilingkupi kemarahan seperti “Anda mempunyai penyakit kanker yang sudah sangat parah sekali,
apabila Anda tidak segera diobati, Anda akan meninggal segera”. Jika progosis buruk, hindari kalimat
“Maaf sekali, tidak ada yang bisa kami lakukan lagi untuk mengatasi penyakit Anda”, karena kalimat
seperti ini tidak sesuai kenyataan bahwa terkadang pasien dapat menjalani pengobatan untuk
menghilangkan gejala atau penghilang rasa sakit.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 20


Buku Panduan CSL 7 2018

Langkah 5. E – Explore Emotions and Empathize


Mengetahui respon emosi pasien merupakan tantangan tersendiri karena beragamnya karakter pasien yang
dapat kita temui. Respon pasien bisa mulai dari diam saja, tidak percaya, menyangkal, menangis ataupun
marah.

Untuk mengetahui emosi pasien dan berempati kepada pasien dapat dilakukan dengan 4 tahap:
1. Mengamati selalu ekspresi dan emosi pasien (terlihat sedih, diam saja, atau shock).
2. Nilai sejauh mana kondisinya. Contoh: apabila pasien terlihat sedih dan terdiam, dokter dapat
menanyakan apa yang sedang pasien pikirkan atau rasakan.
3. Mengindentifikasikan apa yang mendasari perubahan emosinya (informasi mana yang merubah emosinya).
Apabila dokter tidak yakin, kita dapat bertanya kembali untuk memastikan.
4. Setelah memberikan pasien waktu untuk mengekspresikan emosinya, dokter harus dapat membuat
pasien mengetahui bahwa anda berempati pada situasi klinis yang dihadapinya, misalnya dengan
menunjukkan bahasa non verbal.

Langkah 6. S – Summarize and Strategize


Di akhir percakapan, review kembali percakapan secara keseluruhan:
 Simpulkan „kabar buruk‟ yang tadinya disampaikan secara bertahap (sedikit demi sedikit).
 Simpulkan juga tanggapan yang diberikan pasien selama kabar buruk disampaikan (tunjukkan bahwa
dokter mendengarkan dan mengerti apa yang disampaikan pasien).
 Berikan pasien kesempatan bertanya.
 Berikan feed back.
 Percakapan yang ada harus terdokumentasi dalam rekam medis pasien. Harus tertera dengan jelas:
- Apa yang telah dikatakan atau disampaikan, dan kepada siapa.
- Menjelaskan terms used – tumor, massa, dll.
- Informasi spesifik mengenai pilihan terapi dan prognosis.
- Manfaatkan layanan interdisiplin misalnya pembimbing rohani.
 Diskusikan rencana untuk menindaklanjuti kabar buruk yang telah disampaikan pada pasien. Untuk
mengajak pasien ikut serta (pro aktif) dalam medikasi terhadap dirinya (both doctor and patient will
play role to take next steps).

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 21


Buku Panduan CSL 7 2018

H. DAFTAR PUSTAKA

1. National Council For Hospice and Specialist Palliative Care Service. Breaking bad news regional
guidelines, departement of health-social services and public safety. Belfast; 2003.

I. EVALUASI

CEKLIST LATIHAN

No Prosedur/Aspek Latihan Umpan Balik


Interpersonal Skill
Langkah 1. Setting Up the Interview
1. Perkenalkan diri (persiapan mental).
2. Menjaga privasi pasien.
3. Melibatkan pendamping.
4. Mempersilahkan pasien untuk sama-sama duduk.
Langkah 2. Patient’s Perception
5. Menggali persepsi pasien terhadap kondisi medisnya dan
harapannya pengobatan.
Langkah 3. Invitation to Share Informations
6. Menanyakan apakah pasien ingin tahu perkembangan mengenai
keadaannya atau tidak. Dan menanyakan sejauh mana pasien ingin tahu
secara mendetil atau tidak.
Langkah 4. Knowledge Transmission
7. Melakukan „warning shot‟ sebagai pembukaan.
8. Menggunakan bahasa yang sama dan menghindari jargon medis.
9. Menyampaikan informasi secara bertahap.
Langkah 5. Explore Emotions and Empathize
10. Menunjukkan empati kepada pasien.
11. Menggunakan bahasa non verbal.
Langkah 6. Summarize and Strategize
12. Mendokumentasikan penyampaian dalam rekam medis beserta
pilihan terapi dan diagnosis.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 22


Buku Panduan CSL 7 2018

PROSEDUR PEMASANGAN INFUS


INTRAVENA (IV-LINE)
dr. Rika Lisiswanti, dr. Oktadoni Saputra, dr. Dina Tri Amalia, dr. Imam Ghazali, Sp.An

A. TEMA

Prosedur Pemasangan Infus intravena

B. TUJUAN

1. Mampu melakukan prosedur pemasangan infus intravena pada model


2. Mampu menjelaskan tujuan pemasangan infus
3. Mampu memahami jenis-jenis cairan infus
4. Mampu menghitung tetesan cairan infus

C. ALAT DAN BAHAN

1. Jarum infus (vena kateter) no. 18F, 20F


2. Infus set
3. Cairan NaCL, RL
4. Tiang/Standar infus
5. Torniket
6. Manikin lengan
7. Bengkok
8. Antiseptik : Kapas alkohol, betadin
9. Plester
10.Gunting
11.Kasa steril
12.Handskoon
13.Tempat sampah plasitik

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 23


Buku Panduan CSL 7 2018

D. SKENARIO

Seorang pasien, laki-laki, 19 tahun, dibawa keluarganya ke klinik Anda, dengan keluhan muntah- muntah,
demam, BAB cair sebanyak 7 kali. Pasien terlihat lemas, pucat dan lesu. Anda segera melakukan
penanganan awal dengan memasang jalur intravena dan segera merujuk pasien ke rumah sakit.

E. DASAR TEORI

Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat melakukan infus /IV line, yaitu: keadaan disekitar vena, indikasi dan
lamanya infus, jumlah dan jenis cairan yang akan dimasukkan, vena-nya sendiri dan kondisi serta
kenyamanan pasien secara keseluruhan.
Vena untuk akses perifer adalah vena-vena superfisial dari anggota gerak atau bagian kepala (bayi infant).
Umumnya dipilih vena pada: pergelangan tangan bagian depan (vena basilika, sepalika), disekitar cekungan
kubiti (antekubiti, sepalika, basilika), di sekitar area a.radialis, tangan, paha (femoralis, saphoneus), di kaki
dan di kepala (bayi infant dan usia lanjut)

Tujuan Utama Terapi Intravena:


1. Mengembalikan dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh
2. Memberikan obat-obatan dan kemoterapi
3. Transfusi darah dan produk darah
4. Memberikan nutrisi parenteral dan suplemen nutrisi

Gambar 2. Catheterisasi Intra


Vena

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 24


Buku Panduan CSL 7 2018

Keuntungan dan Kerugian Terapi Intravena


Keuntungan:
1. Efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung cepat.
2. Absorsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat diandalkan
3. Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik dapat dipertahankan maupun dimodifikasi
4. Rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau subkutan dapat dihindari
5. Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau
ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinalis

Kerugian:
1. Tidak bisa dilakukan “Drug Recall” dan mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan
sensitivitas tinggi
2. Kontrol pemberian yang tidak baik bisa menyebabkan “Speed Shock”
3. Komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu:
4. Kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu
5. Iritasi Vaskular, misalnya phlebitis kimia
6. Inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan

Pemilihan ukuran jarum kateter infus (Venocath/Abbocath)


1. Ukuran 16  Indikasi : dewasa bedah, trauma, perlu banyak cairan
2. Ukuran 18  Indikasi : anak dan dewasa, darah dan komponen darah, cairan kental.. sekarang
dianjurkan ukuran 18 sebagai standar
3. Ukuran 20  Indikasi : anak dan dewasa, semua jenis cairan, komponen darah, cairan kental
4. Ukuran 22  Indikasi ; bayi dan anak-anak, dewasa usia lanjut, semua jenis cairan
5. Ukuran 24, 26  Indikasi : neonatus, bayi, anak, usia lanjut, semua cairan infus, untuk tetesan cairan yang
lambat, vena yang kecil.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 25


Buku Panduan CSL 7 2018

Gambar 3. Contoh abocath no. 18, 20, dan 22

Gambar 4. Infus Set yang terpasang

Cairan Tubuh
Di dalam tubuh terlarut zat-zat sebagai berikut :
1. Elektrolit
2. Non-elektrolit:
 Berat molekul kecil : glukosa
 Berat molekul besar : protein
Elektrolit terpenting dalam air ekstrasel adalah Na+ dan Cl- sedangkan dalam air intrasel adalah K+ dan fosfat ion.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 26


Buku Panduan CSL 7 2018

Kebutuhan air dan elektrolit setiap hari: Pada


orang dewasa :
 Air : 30-35 ml/kbBB. Kenaikan suhu 10 C ditambah 10-15 %
 Na+: 1,5mek/KgBB(100mek/hari atau 5,9 gr)
 K+: 1 mek/kgBB (60 mek/hari atau 4,5 gr)

Pada anak dan bayi:


Air sesuai dengan berat badan:
 0-10 kg : 100 ml/kgbB
 10-20 kg : 1000 ml/kgBB+50ml/kgBB diatas 10 kg
 Lebih 20 kg: 1500ml/kgBB+20ml/kg di atas 20 kg Na+ :
2 meq/kgBB
K+ : 2 meq/kgBB
Keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran air:
Air masuk: Air keluar:
Minuman : 800-1700 ml Urine : 600-1600 ml
Makanan : 500-1000 ml Tinja : 50-200 ml
Hasil Oksidasi : 200-300 ml Insensible loss : 850-1200 ml

Tujuan terapi cairan:


1. Untuk mengganti kekurangan air dan elektrolit
2. Untuk memenuhi kebutuhan
3. Untuk mengatasi syok
4. Untuk mengatasi kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan

Cairan yang sering digunakan dalam terapi:


1. Cairan elektrolit (kristaloid)
 BM rendah ( < 8000 Dalton ) dengan atau tanpa glukosa
 Tekanan onkotik rendah, sehingga cepat terdistribusi ke seluruh ruang ekstraseluler
 Sesuai dengan penggunaannya, cairan kristaloid dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu untuk
pemeliharaan, pengganti dan tujuan khusus.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 27


Buku Panduan CSL 7 2018

Cairan pemeliharaan : mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses, paru dan keringat. Jumlah kehilangan air tubuh
ini berbeda sesuai dengan umur, yaitu:
 Dewasa : 1,5-2 ml/kg/jam
 Anak-anak : 2-4 ml/kg/jam
 Bayi : 4-6 ml/kg/jam
 Neonatus : 3 ml/kg/jam

Sebagian cairan pengganti ini adalah cairan yang hipotonik dengan perhatian khusus pada natrium karena
cairan yang hilang dengan cara ini sangat sedikit.
Cairan yang digunakan untuk pemeliharaan, misalnya : dekstrosa 5 % dalam NaCl 0,45% (D5NaCL 0,45).
Untuk mengganti cairan ini dapat juga digunakan cairan non elektrolit misalnya misalnya Dekstrosa 5% dalam air
(D5W).
Cairan pengganti: untuk mengganti kehilangan air tubuh yang disebabkan oleh sekuetrasi atau proses
patologi yang lain (misalnya fistula, efusi pleura, asites, drainase lambung).
Sebagai cairan pengganti untuk tujuan ini digunakan cairan isotonis dengan perhatian khusus untuk konsentrasi natrium
misalnya dekstrosa 5% dalam ringer laktat (D5RL), NaCl 0,9%. D5 NaCl
Cairan untuk tujuan khusus: cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya : natrium bicarbonat 7,5 %, NaCl
3 %, dll.

2. Cairan non elektrolit


Contoh dekstrosa 5%, 10% digunakan untuk memenuhi kebutuhan air dan kalori, dapat juga digunakan
sebagai cairan pemeliharaan

3. Cairan koloid
 BM tinggi ( > 8000 Dalton )
 Tekanan onkotik tinggi, sehingga sebagian besar akan tetap tinggal di ruang intravaskuler
 Disebut juga plasma ekspander, karena memiliki kemampuan besar dalam mempertahankan volume
intra-vaskuler. Sehingga cairan ini digunakan untuk menggantikan kehilangan cairan intravaskuler.
 Contoh : Dekstran, haemacel, hydroxyethyl starch, albumin,plasma, darah. Cara
Menghitung Tetesan Infus

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 28


Buku Panduan CSL 7 2018

Pemberian cairan melalui infus merupakan tindakan memasukkan cairan melalui intravena yang dilakukan pada
pasien dengan bantuan perangkat infus. Tindakan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit
serta sebagai tindakan pengobatan dan pemberian makanan.

Berikut penjelasan dan contoh bagaimana cara menghitung tetesan cairan infus:
a. Dewasa: (makro dengan 20 tetes/ml)

Tetesan permenit = atau

Tetesan permenit =

Keterangan:
Faktor tetesan infus bermacam-macam, hal ini dapat dilihat pada label infus (10 Tetes/menit, 15 tetes/menit dan 20
tetes/menit).

Contoh:
Seorang pasien dewasa diperlukan maintanance harian dengan 2000 ml (4 flabot) dalam 24 jam maka tetesan
per menit adalah:
Jawab : Tetesan permenit= 2000 ml /24 X 3 = 28 tetesan/menit, atau
Tetesan permenit= 2000 ml x 20 / 24 x 60 menit = 28 tetesan/menit

b. Anak:

Tetesan permenit (mikro) =

Contoh:
Seorang pasien neonatus diperlukan maintanance harian 200 mL secara intravena dalam 24 jam, maka
tetesan per menit dengan menggunakan mikro set adalah:
Jawab : Tetesan permenit (mikro) = 200 / 24 = 8 tetes permenit

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 29


Buku Panduan CSL 7 2018

Gambar 5. Contoh infus set mikro (atas) dan makro (bawah)

Komplikasi pemasangan infus:


 Hematoma
Hematoma adalah darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau
kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada
pembuluh darah.
 Infiltrasi :
Infiltrasi adalah masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung
jarum infus melewati pembuluh darah.
 Tromboflebitis
Tromboflebitis atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak
dipantau secara ketat dan benar
 Emboli udara
Emboli udara yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam
cairan infus ke dalam pembuluh darah.
 Komplikasi lain pemberian cairan melalui infus: Rasa perih/ sakit, Reaksi alergi, Reaksi pirogenik disebabkan
karena kontaminasi peralatan intravena dan larutan yang digunakan dengan bakteri,

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 30


Buku Panduan CSL 7 2018

serta kelebihan dan beban sirkulasi karena infus cairan terlalu cepat (anak-anak dan lansia lebih rentan).

F. PROSEDUR

1. Interaksi dokter-pasien
Sebelum memulai tindakan, dokter harus membina sambung rasa dan komunikasi yang baik dengan
pasien. Selain untuk membantu kelancaran tindakan juga untuk aspek medikolegal di kemudian hari.
Lakukanlah Informed-Consent yang baik dengan memberikan informasi yang sejelas-jelasnya
tentang tindakan yang akan dilakukan; prosedur, tujuan tindakan (pemasangan infus), dampak jika tidak
dilakukan tindakan, efek samping, kemungkinan komplikasi, dll. Kemudian mintalah persetujuan dari
pasien. Untuk prosedur yang invasif diharapkan dokter membuat dan mengisi lembar informed
consent secara tertulis.
2. Persiapan Alat
Prosedur selanjutnya adalah mempersiapkan alat. Pertama-tama kita harus mengecek kelengkapan
alat-alat yang diperlukan dan memastikannya siap pakai. Mulailah memotong plester untuk persiapan,
memilih jarum/kateter vena yang sesuai ukuran (disarankan menggunakan ukuran yang
besar misalnya no. 18), mempersiapkan spalk (hanya untuk pasien anak/bayi yang
dimungkinkan banyak melakukan gerakan setelah infus terpasang), membuka plastik flabot infus dan
infus set, serta menghubungkannya dengan menusukkan secara tegak lurus. Gantunglah pada tiang
infus, tekan chamber sampai terisi setengahnya, bukalah klem pengunci pada infuse set dan alirkanlah
cairan infuse ke bengkok sampai semua daerah selang tidak ada lagi udara. Kemudian klem dikunci lagi
sampai infus tidak menetes dan pertahankan kesterilan. Sekali lagi, pastikan tidak ada udara di selang
infus karena bisa menyebabkan emboli pada pasien dan menyebabkan kematian. Rangkaian persiapan
diatas tetap harus memperhatikan prosedur asepsis, dimana bagian-bagian yang steril tidak boleh
bersentuhan dengan yang non-steril  tanyakan pada instruktur saudara saat latihan. (Catt : Prosedur
ini dapat menyebabkan saudara gagal saat ujian OSCE)
3. Prosedur Pencegahan infeksi
Prosedur pencegahan infeksi menjadi hal prinsipil yang harus diperhatikan dalam prosedur pemasangan
infus. Mulai dari tahap persiapan sampai selesai pemasangan, pastikan kita selalu dengan prinsip asepsis.
Sampah plastik dengan medis juga harus dipisahkan. Setelah persiapan

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 31


Buku Panduan CSL 7 2018

kita melakukan cuci tangan memakai sabun/antiseptik dengan prosedur WHO dan memasang
handschoen. Preparasi kulit dengan kapas alkohol juga harus steril. Prosedur pencegahan infeksi
bertujuan untuk melindungi pasien dan juga tenaga medis yang melakukan tindakan.
4. Identifikasi vena
Identifikasi vena sudah bisa kita lakukan saat mulai komunikasi/ persiapan dengan pasien. Instruksikan
pasien menggenggam tangan yang mau kita cari venanya. Mulailah dari distal dan raba/carilah vena yang
cukup besar dan jelas terlihat/raba, yang lurus dan tidak bercabang, tidak di persendian. Jika kesulitan
mulailah bergerak mencari kearah yang lebih proksimal atau berpindah ke lengan yang sebelahnya.
5. Prosedur pemasangan Infus
Setelah memasang torniket di sebelah proksimal (kurang lebih 5-15 cm di atas tempat insersi jarum),
pakailah handschoen serta mintalah pasien mengepalkan tangannya sekali lagi. Raba vena pasien dan
tentukan titik tempat tusukan, sterilisasi dengan mengoleskan kapas alkohol dengan arah melingkar dari
dalam ke luar tempat tusukan (jangan direpalpasi). Lepaskan tutup kanul, pegang lengan pasien dengan
ibu jari untuk menekan jaringan dan vena ± 5 cm (regangkan kulit).
Tusukkanlah vena catheter pada kulit dengan jarak ±0,5 cm dibawah vena yang dituju, dengan sudut 20-
30o, tusukkan jarum dengan posisi lubang jarum menghadap ke atas. Untuk mengurangi
rasa sakit, tusukkan kateter di pori-pori kulit. Arahkan kateter untuk menembus kulit
dan vena sampai terlihat aliran balik darah (backflow +). Dorong kateter kedalam vena sedikit demi
sedikit (kira-kira ¼-1/2 inchi) sebelum melepas stylet/ jarum penuntun (teknik sliding). Pastikan kateter
masuk vena dengan agak menarik jarum sampai terlihat aliran balik darah dari kateter. Jika aliran darah
(+) sepanjang kateter, maka lepaskan jarum seluruhnya. Kemudian lepaskan torniquet, tekan daerah
sekitar vena dimana jarum dilepaskan. kemudian sambungkan dengan ujung selang infus. Aktifkan dengan
membuka klem pengatur tetesan. Jika pemasangan berhasil, maka tetesan akan berjalan lancar.
Fiksasi port de entre kateter dengan plester, kateter dan selang infus dengan sebelumnya menaruh
kassa steril yang dioles betadine diatas muara tusukan. Fiksasi dengan plester atau hipafix. Kadang pada
anak-anak/bayi perlu kita tambahkan spalk untuk fiksasi agar kateter tidak lepas/tercabut. Aturlah jumlah
tetesan sesuai dengan kebutuhan. Bersihkan sisa sampah. Pisahkan sampah tajam, medis dan non
medis. Buka handskoon dengan cara yang benar dan buanglah pada tempat sampah medis. Kemudian
cuci tangan kembali.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 32


Buku Panduan CSL 7 2018

6. Professionalism
Akhirilah prosedur pemasangan infus dengan baik. Jelaskan kepada pasien bahwa infuse sudah terpasang
baik, hal apa saja yang harus dilakukan atau dihindari. Tunjukkanlah sikap professional, percaya
diri dan menghormati pasien selama tindakan. Berhati-hati dan minimalisasi kesalahan/error tetapi
tidak terkesan lamban. Akhirnya ucapkanlah terimakasih kepada pasien atas kerjasamanya.

G. DAFTAR PUSTAKA

 Weinstein, SM (ed.), 2001. Plumer‟s principles and practice of intravenous therapy. 7th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins. (III)

 Muhiman M, Thalib Roesli, dkk. 2004. Anestesiologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

 www. Artikel Kesehatan FK Unhas.com

H. CEKLIST PENILAIAN PROSEDUR PEMASANGAN INFUS

No Aspek Penilaian Umpan Balik


INTERPERSONAL
1 Komunikasi dokter-pasien (sambung rasa & informed consent)
CONTENT
Persiapan Alat

 Memotong plester untuk persiapan


 Memilih jarum/kateter vena yang sesuai ukuran (disarankan untuk memasang jarum
dengan ukuran yang besar, standarnya no.18 atau 16)
 Mempersiapkan spalk (hanya untuk pasien anak/bayi yang dimungkinkan banyak
melakukan gerakan setelah infuse terpasang/ fiksasi)
2
 Membuka plastik flabot infus dan infus set, serta menghubungkannya dengan
menusukkan secara tegak lurus. Gantunglah pada tiang infus
 Tekan chamber sampai terisi setengahnya, bukalah klem pengunci pada infus set dan
alirkanlah cairan infuse ke bengkok sampai semua daerah selang tidak ada lagi
udara kemudian klem dikunci lagi.
 Memastikan tidak ada gelembung udara pada selang infus

Identifikasi Vena dan Fiksasi Proksimal


3 Minta pasien mengepalkan tangan. Tentukan vena yang akan menjadi titik tusukan
dengan mempalpasi
4 Bila sudah yakin, pasanglah torniquet di sebelah proksimal tempat insersi jarum

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 33


Buku Panduan CSL 7 2018

5 Prosedur Pencegahan Infeksi


Cuci tangan WHO dengan sabun antiseptik lalu pasang handschoen
Melakukan Prosedur Pemasangan Infus
Minta pasien mengepalkan tangannya sekali lagi. Raba vena pasien dan tentukan titik
6 tempat tusukan, sterilisasi dengan mengoleskan kapas alkohol dengan arah melingkar
dari dalam ke luar tempat tusukan (jangan direpalpasi).
Lepaskan tutup kanul, pegang lengan pasien dengan ibu jari untuk menekan jaringan dan
7
vena ± 5 cm (regangkan kulit).
Tusukkan vena kateter pada kulit dengan jarak ±0,5 cm dibawah vena yang dituju,
8 dengan sudut 20-30o , posisi lubang jarum menghadap ke atas.
(cat : untuk mengurangi rasa sakit, tusukkan tepat di pori kulit)
Arahkan kateter untuk menembus kulit dan vena sampai terlihat aliran balik darah
9
(backflow +).
Dorong kateter kedalam vena sedikit demi sedikit (kira-kira ¼-1/2 inchi) sebelum melepas
10
stylet (jarum penuntun)  teknik sliding

Pastikan kateter masuk vena dengan agak menarik jarum sampai terlihat aliran balik darah
11 dari kateter. Jika aliran darah (+) sepanjang kateter, maka lepaskan jarum seluruhnya.

Kemudian lepaskan torniquet, tekan daerah sekitar vena dimana jarum


12
dilepaskan.
Sambungkan dengan ujung selang infus. Aktifkan dengan membuka klem
13
pengatur tetesan. Jika pemasangan berhasil, maka tetesan akan berjalan lancar.
Fiksasi port d entre dengan plester, fiksasi kateter dan selang infus dengan
sebelumnya menaruh kassa steril yang dioles betadine diatas muara tusukan
14 kemudian dengan plester atau hipafix.
Fiksasi bisa dengan berbagai metode dengan memperhatikan sterilitas dan
kekuatan fiksasi
15 Aturlah jumlah tetesan sesuai dengan kebutuhan.
16 Bersihkan peralatan dan sisa sampah
17 Cuci tangan kembali.
PROFESIONALISME
18 Melakukan tindakan secara professional

INTUBASI ENDOTRAKEAL

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 34


Buku Panduan CSL 7 2018

dr. Imam Ghazali, SpAn, dr. Khairun Nisa, M.Kes., AIFO, dr. Maya Ganda R

A. TEMA

Ketrampilan Prosedural Intubasi Endotrakeal.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Dapat melakukan intubasi endotrakeal dengan benar.


2. Melakukan penilaian jalan nafas pasien (airway management).
3. Mampu melakukan reposisi untuk persiapan pemasangan endotrakeal tube (ETT).
4. Mampu menjelaskan indikasi dan kontraindikasi dari ETT.
5. Mampu menjelaskan tujuan, obat-obatan, dan komplikasi pemasangan ETT
6. Mampu mengevaluasi hasil pemasangan ETT.

C. LEVEL KOMPETENSI

No Jenis Level
. Kompetensi Kompetensi
1. Intubasi 1 2 3 4

D. ALAT DAN BAHAN

1. Manekin
2. Masker penutup hidung dan mulut
3. Handschoen
4. Laringoskop
5. Pipa endotrakeal
6. Pipa orofaring atau nasofaring
7. Stilet
8. Plester dan gunting
9. Suction

Alat untuk ETT adalah STATIC


S = Scope, stetoskop, laringoskop (blade dengan 3 ukuran)

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 35


Buku Panduan CSL 7 2018

T = Tube, min 3 ukuran (laki : 6, 6 ½, 7) (wanita : 5, 5 ½, 6)


A = Oropharyngeal airway, sblm pemasangan intubasi  pemberian oksigenasi (memasukkan blade butuh
oksigen), selama 3 menit
T = Tape, selotip/ plester
I = Introducer (mandrin, stilet) C =
Connector (mesin)

(a) (b)

(c)

Gambar 6. (a) Laringoskop; (b) Pipa endotrakeal; (c) Pipa endotrakeal dengan stilet

E. SKENARIO

Seorang pasien, pria, 20 tahun, dibawa ke UGD RSP Unila dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami
kecelakaan mobil. Dari pemeriksaan, airway pasien mengalami gangguan sehingga Anda memutuskan
untuk memasang ETT di UGD.

F. DASAR TEORI

Patensi jalan nafas, oksigenisasi, ventilasi, dan menghindari aspirasi merupakan tujuan utama manajemen
pengelolaan jalan nafas. Pengelolaan jalan nafas/airway management merupakan aspek yang
penting dalam menangani kasus emergensi.

Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi endotrakeal,
yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang
harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 36


Buku Panduan CSL 7 2018

napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Bahkan, menurut Halliday
(2002) penggunaan intubasi endotrakeal juga direkomendasikan untuk neonatus dengan faktor penyulit yang
dapat mengganggu jalan napas.

Gambar 7. Posisi setelah terpasang intubasi endotrakeal.

Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui
hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakea. Pada intinya, intubasi endotrakeal adalah
tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas
mudah dibantu dan dikendalikan (Anonim,2002).

Tujuan Intubasi Endotrakeal


Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah untuk membersihkan saluran
trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta
mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi.

Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakeal:


a. Mempermudah pemberian anestesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh, dan
tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 37


Buku Panduan CSL 7 2018

Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi Endotrakeal


Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakeal menurut Gisele (2002), antara lain:
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan lain- lain) yang
tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan refleks
akibat sumbatan yang terjadi.
e. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
f. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada kasus- kasus
demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
g. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak ada
ketegangan.
h. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah,
memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.
i. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
j. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
k. Tracheostomni.
l. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.

Selain intubasi endotrakeal diindikasikan pada kasus-kasus di ruang bedah, ada beberapa indikasi intubasi
endotrakeal pada beberapa kasus non-surgical, antara lain:
a. Asfiksia neonatorum yang berat.
b. Untuk melakukan resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya, depresi atau abcent dan sering
menimbulkan aspirasi.
c. Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir.
d. Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru.
e. Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih lama dari 24 jam seharusnya
diintubasi.
f. Pada post operatif deengan insufisiensi pernafasan.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 38


Buku Panduan CSL 7 2018

Menurut Gisele (2002) ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakeal, antara lain:
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya
intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomi pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servikal, sehingga sangat sulit untuk
dilakukan intubasi.

Komplikasi akibat Pemasangan ETT


Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi, antara lain:
a. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial, serta malposisi laringeal cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut, cedera tenggorok,
dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.
c. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat, tekanan intraocular
meningkat dan spasme laring.
d. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.

Komplikasi pemasukan pipa endotrakeal, antara lain:


a. Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan malposisi laringeal cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit hidung.
c. Malfungsi tuba berupa obstruksi.

Komplikasi setelah ekstubasi, antara lain:


a. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara sesak atau parau
(granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
b. Gangguan refleks berupa spasme laring.

Obat obatan yang Digunakan

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 39


Buku Panduan CSL 7 2018

a. Suxamethonim (Succinil Choline)  sudah jarang di Indonesia, short acting muscle relaxant
dikombinasikan dengan barbiturat I.V. dengan dosis 20 –100 mg, diberikan setelah pasien dianestesi.
Suxamethonium bisa diberikan I.M. bila I.V. sukar misalnya pada bayi.
b. Thiophentone non depolarizing relaxant: metode yang bagus untuk direct vision intubation.
c. Cyclopropane: mendepresi pernafasan dan membuat blind vision intubation sukar.
d. I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi.
e. N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan zat-zat lain. penambahan triklor etilen
mempermudah blind intubation, tetapi tidak memberikan relaksasi yang diperlukan untuk laringoskopi.
f. Halotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otot-otot faring dan laring dan dapat dipakai
tanpa relaksan untuk intubasi.
g. Analgesi lokal dapat dipakai cara-cara sebagai berikut:
 Menghisap lozenges anagesik.
 Spray mulut, faring, cord.
 Blokade bilateral syaraf-syaraf laringeal superior.
 Suntikan trans tracheal.

Cara-cara tersebut dapat dikombinasikan dengan valium I.V. supaya pasien dapat lebih tenang. Dengan
sendirinya pada keadaan-keadaan emergensi. Intubasi dapat dilakukan tanpa anestesi. Juga pada
neonatus dapat diintubasi tanpa anestesi.

Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakeal (Mansjoer Arif et.al., 2000) biasanya dijumpai pada
pasien-pasien dengan:
 Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
 Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara mental symphisis
dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama
intubasi.
 Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
 Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
 Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi
temporomandibuler, spondilitis servical spine.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 40


Buku Panduan CSL 7 2018

 Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi kepala pada leher di sendi
atlantooccipital.
 Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi leher.

G. PROSEDUR

Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan, antara lain:
a. Persiapan
Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan menggunakan
alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam
keadaan ekstensi serta trakea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.

Gambar 8. Posisi sniffing in the air position.

Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam keadaan
ekstensi. Ini disebut sebagai sniffing in the air position. Kesalahan yang umum adalah
mengekstensikan kepala dan leher.

b. Oksigenasi

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 41


Buku Panduan CSL 7 2018

Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen
100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan
tangan kanan.
c. Laringoskop
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan (jari tengah dan jari manis menekan dagu, jari telunjuk
menempel di gigi seri atas didorong ke belakang sehingga terbukalah mulut dengan luas; bisa juga
dengan cross finger) dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan
dari sudut kiri ke arah kanan dan lapangan pandang akan terbuka sampai terlihat epiglotis. Kemudian baru
lengan kiri mengangkat. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 42


Buku Panduan CSL 7 2018

Gambar 9. Teknik memasukkan laringoskop.

d. Pemasangan pipa endotrakeal


Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita
suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita
suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi
diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan
daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
Gunakan ETT yang memiliki marker (tanda hitam) sebagai batas memasukkan ETT di epiglotis
 cari

e. Mengontrol letak pipa

Gambar 10. Pipa endotrakeal dimasukkan melalui pita suara.

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada
dengan stetoskop di 5 titik (atas kanan-kiri, bawah kanan kiri, tengah  bawah epigastrium),
diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal.
Bila terjadi intubasi endotrakeal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan
suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing,

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 43


Buku Panduan CSL 7 2018

sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini,
pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus
maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan
stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin
membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi
yang cukup
f. Ventilasi
Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.

H. DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Endotrakeal intubation. 2002. Available from http://www.medicinet.com


2. Dobson MB. Penuntun praktis anestesi. Jakarta: EGC; 1994.
3. Earley T. Anatomy and physiology. Philadelphia: FA Davis Company; 1995.
4. Halliday HL. Endotrakeal intubation at birth for preventing morbidity and mortality in vigorous, meconium-
stained infants bord at term. 2002. Available from http://www.update-software.com
5. Hendrickson G. 2002. Intubation. Available from http://www.health.discovery.com
6. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran. Jilid 2. Edisi ke-3.
Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002.
7. Prazeres GA. Orotracheal intubation. 2002. Available from http://www.medstudents.com
8. William RP. Gray‟s anatomy. New York: Churchil Livingston; 1995.

I. EVALUASI

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 44


Buku Panduan CSL 7 2018

CEKLIST LATIHAN

No LANGKAH KLINIK YANG DINILAI Umpan


. Balik
INTERPERSONAL

1. Senyum, salam, sapa

2. Informed consent

KONTEN

3. Menyiapkan alat.

4. Mengatur posisi pasien.

5. Cuci tangan WHO.

6. Pemakaian masker dan handschoen.

7. Oksigenisasi dengan ambubag dan sungkup selama 2-3 menit

8. Pemasangan ETT:

- Tangan kanan membuka mulut pasien (jari tengah dan jari manis menekan dagu, jari
telunjuk menempel di gigi seri atas didorong ke belakang sehingga terbukalah mulut
dengan luas; bisa juga dengan cross finger)
- Tangan kiri memegang laringoskop.
- Masukkan blade dari sebelah kiri mulut ke kanan sampai terlihat uvula dan epiglottis,
kemudian baru mengangkat blade.
8. Dari arah luar tekan tulang rawan thyroid untuk membantu terbukanya epiglottis.

9. Masukkan ETT dengan arah miring ke kanan dan setelah masuk putar ke arah tengah,
sampai tanda batas atau minimal seluruh bagian balooning sudah masuk.

10. Isi balon ETT dengan spuit kosong.

11. Sambungkan ETT dengan ventilator/ambubag.

12. Dengarkan bunyi nafas dengan stetoskop pada 5 titik (paru atas dan bawah kanan dan
kiri, serta di tengah di bawah epigastrium) untuk memastikan bahwa ETT tidak masuk ke
esofagus, terlalu kanan atau kiri dari bronkus.

13. Fiksasi menggunakan plester.

14. Pasang mayo untuk menghindari ETT tergigit.

PROFESIONALISME

15. Melakukan dengan penuh percaya diri.

16. Melakukan dengan kesalahan minimal.

PENGELUARAN BENDA ASING


Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 45
Buku Panduan CSL 7 2018

dr. Fatah Satya Wibawa, Sp.THT-KL, dr. Muklis Imanto, SpTHT, dr. Rasmi ZO

A. TEMA

Ekstraksi Corpus Alienum Hidung dan Telinga.

B. TUJUAN

PEMBELAJARAN

Tujuan Instruksional

Umum
Mahasiswa mampu mengidentifikasi pasien dengan corpus alienum telinga dan hidung serta dapat melakukan tindakan
dan terapi.

Tujuan Instruksional Khusus


1. Mahasiswa mampu melakukan ekstraksi corpus alienum telinga.
2. Mahasiswa mampu melakukan ekstraksi corpus alienum hidung.

C. LEVEL KOMPETENSI

Level
No Jenis
Kompete
. Kompetensi
nsi
1. Pengambilan serumen menggunakan kait atau kuret. 1 2 3 4
2. Pengambilan benda asing di telinga 1 2 3 4
3. Pengambilan benda asing dari hidung 1 2 3 4

D. ALAT DAN BAHAN

1. Meja dan kursi periksa


2. Lampu kepala
3. Spekulum
4. Otoskop
5. Forcep cunam/forcep aligator
6. Manekin hidung dan telinga
7. Pinset berujung lancip/pinset bayonet
8. Pengait ujung tumpul/haak

(a)
(b)
Buku Panduan CSL 7 2018
Buku Panduan CSL 7 2018

(c) (d)

Gambar 9. (a) Forsep alligator; (b) Spekulum; (c) Pinset bayonet; (d) Hook extractor

E. SKENARIO

Seorang anak perempuan berusia 4 tahun diantar oleh ibunya datang ke praktek dokter umum dengan
keluhan hidung sebelah kanan kemasukan biji jagung setelah bermain dengan kakaknya hari ini. Ibu pasien
juga mengatakan ada sisa cotton bud pada telinga kanan. Keluhan lain disangkal. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan tanda-tanda vital N 90x/menit, RR 22x/menit, T 38°C. Pada pemeriksaan menggunakan
spekulum dan otoskop tampak biji jagung dan cotton bud.

F. DASAR TEORI

CORPUS ALIENUM TELINGA

Benda asing (corpus alienum) yang berada di liang telinga bervariasi sekali. Lebih sering terjadi pada
anak tetapi dapat pula terjadi pada dewasa. Bisa berupa benda mati, benda hidup, binatang, komponen
tumbuhan dan mineral. Kacang hijau, manik, mainan, baterai jam tangan, dan karet penghapus banyak
ditemukan pada pasien anak-anak. Pasien dewasa seringkali berupa potongan korek api dan binatang,
seperti kecoa, semut, dan nyamuk.

Beberapa faktor penyulit pengeluaran benda asing dari liang telinga, yaitu:
 Tidak kooperatif
Pasien yang tidak kooperatif terutama anak-anak berisiko dan berpotensi besar terjadi kerusakan
gendang telinga dan struktur telinga tengah lainnya pada penanganan yang tidak hati- hati.
 Edema
Edema liang telinga yang disebabkan trauma dapat menghambat pengeluaran benda asing (corpus
alienum).

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 47


Buku Panduan CSL 7 2018

 Benda hidup
 Benda organik
Benda organik akan membesar bila kita membiarkannya lama dan kondisi lembab di liang telinga.
 Kegagalan.
Usaha yang gagal dapat mendorong benda asing (corpus alienum) lebih ke dalam liang telinga.

Usaha mengeluarkan benda asing seringkali malah mendorongnya lebih ke dalam. Mengeluarkan benda asing
haruslah hati-hati. Bila kurang hati-hati atau bila pasien tidak kooperatif, beresiko trauma yang merusak
membran timpani atau struktur telinga tengah. Anak harus dipegang sedemikian rupa sehingga tubuh
dan kepala tidak dapat bergerak bebas.

Bila masih hidup, binatang di liang telinga harus dimatikan lebih dahulu dengan memasukkan tampon basah
keling telinga lau meneteskan cairan (misalnya rivanol atau obat anestesi lokal) lebih kurang 10 menit. Setelah
binatang mati, dikeluarkan dengan pinset atau diirigasi dengan air bersih yang hangat.

Benda asing berupa baterai jam tangan, sebaiknya jangan dibasahi mengingat efek korosif yang ditimbulkan.
Benda asing yang besar dapat ditarik dengan pengait serumen, sedangkan yang kecil diambil dengan cunam
atau oinset berujung lancip.

Kontraindikasi relatif, yaitu apabila pasien tidak kooperatif. Jika kontraindikasi relatif ada, maka pasien dirujuk
ke dokter spesialis THT.

Komplikasi:
 Otitis eksterna (radang telinga luar)
 Otitis media jika corpus alienum menimbulkan perforasi spontan
 Kerusakan telinga tengah dan telinga dalam

Teknik pengeluaran benda asing dari liang telinga, antara lain:

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 48


Buku Panduan CSL 7 2018

 Benda hidup. Harus dimatikan terlebih dahulu sebelum kita keluarkannya. Masukkan tampon basah ke
dalam liang telinga lalu tetesi cairan, misalnya larutan rivanol dan biarkan selama 10 menit.
 Tidak kooperatif. Pegang kepala anak. Anestesi umum dapat kita lakukan pada kasus tertentu.

Gambar 10. Cara memegang kepala anak.

 Irigasi. Gunakan air bersih yang sesuai suhu tubuh.


 Pinset.

Gambar 11. Pengambilan benda asing menggunakan pinset.

 Kapas yang terpilin.


 Pengait serumen. Gunakan untuk mengeluarkan benda asing (corpus alienum) yang besar.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 49


Buku Panduan CSL 7 2018

Gambar 12. Penggunaan cunam pengait.

 Cunam atau pengait. Gunakan pada benda asing (corpus alienum) yang kecil.
 Penanganan serumen obturan. Serumen dapat diambil langsung dengan hook extraction atau diirigasi
lebih dahulu. Jika serumen keras dapat ditetesi dengan tetes nitrogliserin atau minyak zaitun (oleum
olivarum) selama beberapa hari agar serumen melunak sehingga mudah diekstraksi.

Gambar 13. Cara irigasi serumen obturans.

Telinga diirigasi dengan air bersih non bakteriologis pada suhu 37º C sama dengan suhu tubuh agar tidak
terjadi trauma fisik dengan menggunakan syringe telinga dengan kanula tumpul. Air hanyalah diarahkan
ke posterosuperior agar tidak mengenai membrane timpani secara langsung. Setelah irigasi harus
diikuti dengan evaluasi, yaitu pemeriksaan otoskopi ulang.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 50


Buku Panduan CSL 7 2018

CORPUS ALIENUM HIDUNG

Corpus alienum pada hidung sering terjadi pada anak-anak yang suka memasukkan benda-benda apa saja ke
dalam lubang hidung, seperti biji kacang, jagung, dan benda lain yang luput dari perhatian orang tua. Jika
benda yang masuk agak ringan maka anak dapat disuruh mengeluarkan sendiri seperti mengeluarkan ingus tapi
ini bisa dilakukan kalau anaknya sudah mengerti atau sudah besar dan tidak cengeng.

Gejala yang paling sering adalah hidung tersumbat, rinore unilateral dengan cairan kental dan berbau.
Kadang-kadang terdapat rasa nyeri, demam, epistaksis, dan bersin. Pada pemeriksaan, tampak edema
dengan inflamasi mukosa hidung unilateral dan dapat terjadi ulserasi serta ditenukan rinolith. Benda asing
biasanya tertutup oleh mukopus, sehingga disangka sinusitis. Jika demikian, dalam menghisap mukopus
haruslah hati-hati supaya benda asing itu tidak terdorong ke arah nasofaring yang kemudian dapat masuk ke
laring, trakea dan bronkus. Benda asing, seperti karet busa, sangat cepat menimbulkan sekret yang
berbau busuk.

Mengeluarkan benda asing dari lubang hidung dapat dilakukan namun sangat tergantung apakah anak dapat
diajak kerja sama atau tidak, kalau benda asingnya masih dapat terlihat maka berarti belum jauh kedalam.
Posisi anak dalam pangkuan seseorang yang seperti memeluk kedua tangan dipegang dan seorang lagi
memegang kepala anak dengan muka agak didongakkan jadi dokter atau perawat bisa mengintip kedalam
lubang hidung dan memasukkan pengait untuk menarik benda yang masuk ke lubang hidung. Pemilihan alat
tergantung jenis benda asingnya. Jika terjadi kegagalan maka rujuklah ke dokter spesialis THT.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 51


Buku Panduan CSL 7 2018

Gambar 14. Cara memegang anak untuk pengambilan benda asing hidung.

Komplikasi yang mungkin terjadi, diantaranya:


 Sinusitis
 Aspirasi

Pengeluaran benda asing dari hidung adalah dengan menggunakan pengait (haak) yang dimasukkan
ke dalam hidung bagian atas, menyusuri atap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu
pengait diturunkan sedikit dan ditarik ke depan. Dengan cara tersebut, benda asing akan terbawa keluar. Dapat
pula menggunakan cunam Nortman atau “wire loop”.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 52


Buku Panduan CSL 7 2018

Gambar 15. Teknik pengambilan benda asing di hidung.

Penanganan yang salah bila mendorong benda asing dari hidung ke arah nasofaring dengan maksud
supaya masuk ke dalam mulut. Dengan cara tersebut, benda asing dapat terus masuk ke laring dan saluran
napas bagian bawah yang menyebabkan sesak napas, sehingga menimbulkan keadaan yang gawat.

Setelah dilakukan ekstraksi dilakukan evaluasi ulang dan apakah ada komplikasi akibat tindakan yang
dilakukan.

Pemberian antibiotik sistemik selama 5 – 7 hari hanya diberikan pada kasus benda asing yang telah menimbulkan infeksi
hidung maupun sinus.

G. PROSEDUR

Cara mengeluarkan benda asing (corpus alienum) dari liang telinga:


1. Informed consent
2. Persiapan alat. Pemilihan alat berdasarkan benda asing pada telinga.
3. Memposisikan pasien, meminta orang tua untuk turut membantu.
4. Mengidentifikasi secara pasti benda yang terdapat pada telinga.
5. Melakukan tindakan ekstraksi benda asing.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 53


Buku Panduan CSL 7 2018

Cara mengeluarkan benda asing (corpus alienum) dari hidung:


1. Informed consent
2. Persiapan alat. Pemilihan alat berdasarkan benda asing pada hidung.
3. Memposisikan pasien, meminta orang tua untuk turut membantu.
4. Mengidentifikasi secara pasti benda yang terdapat pada telinga.
5. Melakukan tindakan ekstraksi benda asing.

H. DAFTAR PUSTAKA

1) Sosialisman H. Kelainan telinga luar dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok,
kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
2) Tamin S. Benda asing saluran napas dan cerna. Satelit Simposium Penanganan Mutakhir Kasus
Telinga Hidung Tenggorok.
3) Kurnaedi W, Purwanto B. Benda asing pada bronkus. Dalam: Kumpulan naskah ilmiah kongres nasional
XII. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 1999.
4) Boies HA. Buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 1997.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 54


Buku Panduan CSL 7 2018

I. EVALUASI

CEKLIST LATIHAN

No LANGKAH KLINIK YANG DINILAI Umpan


. Balik
INTERPERSONAL
1. Membina sambung rasa (senyum, salam, sapa, dan
menunjukkan sikap kesediaan meluangkan waktu untuk
berbicara dengannya, kesejajaran).
2. Informed consent
KONTEN
3. Persiapan alat.
4. Cuci tangan tangan WHO, pakai handschoen.
Pengangkatan Corpus Alienum Telinga
5. Memposisikan pasien dengan baik, orang tua membantu dengan satu tangan memeluk kepala
pasien kedada orang tuanya, dan tangan yang lain memegang badan agar telinga
menghadap ke arah dokter.
6. Angkat daun telinga bagian atas dan lihat dengan menggunakan otoskop dan
mengidentifikasi secara pasti benda apa yang terdapat pada telinga.
7. Ekstraksi corpus alienum dengan menggunakan alat yang sesuai.
Pengangkatan Corpus Alienum Hidung
8. Memposisikan anak dalam pangkuan orang tua dan membelakanginya. Orang tua memeluk
badan dan kedua tangannya serta mengusahakan agar kepala anak agak mendongak dengan
cara tangan yang satu mendorong ringan dagu dan memfiksasi
dagu. Tangan yang lainnya memegang kepala.
9. Gunakan spekulum dan mengidentifikasi secara pasti benda apa yang terdapat pada hidung.

10. Ekstrasi corpus alienum dengan menggunakan alat yang sesuai.


PROFESIONALISME
11. Melakukan dengan penuh percaya diri.
12. Menyampaikan semua informasi sesuai dengan konteksnya (clinical reasoning).
13. Melakukan dengan kesalahan minimal.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 55


Buku Panduan CSL 7 2018

PEMASANGAN TAMPON HIDUNG


dr. Maya GR, dr. Fatah Satya W, Sp.THT-KL, dr. Muklis Imanto, SpTHT

A. TEMA

Keterampilan Klinis Pemasangan Tampon Hidung.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti CSL ini, diharapkan mahasiswa mampu:


1. Menentukan diagnosis epistaksis anterior dan epistaksis posterior
2. Melakukan pemasangan tampon hidung anterior
3. Melakukan pemasangan tampon hidung posterior
4. Melakukan pemasangan tampon hidung dengan balon kateter Foley

C. LEVEL KOMPETENSI

Level
No Jenis
Kompet si
. Kompetensi
en
1. Menghentikan perdarahan hidung 1 2 3 4

D. ALAT DAN BAHAN

a. Lampu kepala
b. Spekulum hidung
c. Pinset bayonet
d. Tampon vaselin rol
e. Tampon Bellocq
f. Kateter Foley
g. Forsep ring
h. Suction
i. Lidocain spray 2 – 4%
j. Adrenalin 1/5.000 – 1/10.000
k. Handschoen

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 56


Buku Panduan CSL 7 2018

l. Spuit 10 cc dan larutan salin

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 57


Buku Panduan CSL 7 2018

m. Jelly lubrikan
n. Plester dan gunting

E. SKENARIO

Seorang pasien, pria, 18 tahun, seorang mahasiswa, datang ke UGD RSP Unila dengan keluhan
perdarahan di hidung kanan. Pasien mengaku terlibat perkelahian dengan mahasiswa lainnya. Anda segera
memeriksa dan memutuskan untuk memasang tampon hidung.

F. DASAR TEORI

Epistaksis atau perdarahan hidung banyak dijumpai, baik pada anak maupun usia lanjut. Seringkali merupakan
gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa
memerlukan bantuan medis. Tetapi epistaksis yang berat, meskipun jarang, merupakan masalah
kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani.

Gambar 16. Vaskularisasi hidung.

Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang jelas disebabkan oleh trauma.
Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya
trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, dan pengaruh udara
lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan
tekanan atmosfir, kelainan hormonal, dan kelainan kongenital.

Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu


1. Epistaksis masif ; perdarahan pada hidung yang masih berlangsung pada saat diperiksa 
pasang tampon

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 58


Buku Panduan CSL 7 2018

2. Epistaksis laten : perdarahan pada hidung namun saat diperiksa sudah tidak tampak perdarahan aktif
sehingga untuk penatalaksanaannya jangan diberi manuver apapun cukup observasi saja yang
selanjutnya akan dilakukan evaluasi sumber perdarahan beberapa hari setelahnya.

Tabel 17. Penyebab perdarahan hidung.

Melihat asal perdarahan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior.

Epistaksis anterior. Kebanyakan berasal dari Pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau dari
a. etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan dan dapat berhenti sendiri.

Epistaksis posterior. Dapat berasal dari a. etmoidalis posterior atau a. sfenopalatina. Perdarahan
biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis, atau pasien dengan penyakit kardiovaskular karena pecahnya a. sfenopalatina.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 59


Buku Panduan CSL 7 2018

Gambar 18. Epistaksis anterior dan posterior.

Untuk dapat menghentikan perdarahan, perlu dicari sumbernya, apakah perdarahan anterior atau posterior.
Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab perdarahan.

Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk tegak, biarkan darah mengalir keluar dari hidung
sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah, posisikan dengan setengah duduk atau berbaring dengan
kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke saluran nafas bawah. Pasien anak
dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak. Sumber
perdarahan dicari dengan membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah dengan bantuan alat
pengisap. Kemudian pasang tampon sementara, yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5.000 –
1/10.000 (kontraindikasi pada penderita hipertensi) dan lidocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung
untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi nyeri pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon
dibiarkan selama 10 – 15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan
berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 60


Buku Panduan CSL 7 2018

Gambar 19. Posisi tubuh ketika terjadi epistaksis.

Perdarahan hidung anterior dan posterior juga bisa dibedakan dengan cara berikut. Pasien diminta untuk duduk
tegak, lalu memencet hidung bagian bawah selama 10 – 15 menit. Pasien diminta bernafas melalui mulut lalu
mencondongkan badannya ke depan. Pemeriksa melihat apakah ada darah yang mengalir melalui orofaring.
Jika ada, berarti terjadi perdarahan posterior.

Menghentikan Perdarahan
Epistaksis Anterior
Jika epistaksis anterior tidak bisa berhenti sendiri, dapat dilakukan penekanan hidung selama 10 – 15 menit.
Jika tidak berhasil, dilakukan kaustik dengan larutan AgNO3 25 – 30%.

Bila masih tidak berhasil, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau
kassa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah
dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat tampon dimasukkan atau dicabut. Tampon yang
dipakai adalah tampon rol yang dibuat dari kassa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm,
diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon dipertahankan selama 2
x 24 jam, kemudian harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang
tampon baru.

Cara mempersiapkan tampon rol adalah sebagai berikut:

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 61


Buku Panduan CSL 7 2018

1. Vaselin salep dipanaskan di dalam kom hingga mencair.


2. Celupkan tampon rol ke dalam vaselin yang sudah mencair, lalu dibolak-balikkan agar vaselin melekat
secara merata.
3. Tampon rol diangkat dan dibiarkan dingin sehingga vaselin pada tampon rol akan membeku kembali.

a.

b.

c.

Gambar 20. Cara melakukan pemasangan tampon anterior.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 62


Buku Panduan CSL 7 2018

Gambar 21. Prosedur pemasangan tampon anterior

Epistaksis Posterior
Perdarahan posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan
pemeriksaan rhinoskopi anterior.

Untuk menanggulangi perdarahan posterior, dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq.
Tampon ini dibuat dari kassa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 63


Buku Panduan CSL 7 2018

cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan.

Gambar 22. Tampon Bellocq.

Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan kateter karet yang
dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut. Pada ujung kateter
ini diikatkan benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang
keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole
masuk ke nasofaring. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kassa di depan nares
anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap pada tempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut
diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik tampon keluar melalui mulut
setelah 2 – 3 hari.

Gambar 23. Cara pemasangan tampon posterior (tampak samping).

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 64


Buku Panduan CSL 7 2018

a. b.

c.

Gambar 24. Cara pemasangan tampon posterior (tampak depan).

Bila perdarahan berat pada kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan bantuan 2 kateter
masing-masing melalui cavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah
nasofaring. Bila masih ada perdarahan, dapat ditambah tampon anterior ke dalam cavum nasi.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 65


Buku Panduan CSL 7 2018

Gambar 25. Tampon anterior-posterior.

Balloon Tamponade
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan tampon posterior
konvensional, tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon,
yaitu kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan,
tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter
Foley no. 12 – 16 F diletakkan di sepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian
balon diisi dengan 10 – 20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik ke arah anterior sehingga balon
menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit
yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter
difiksasi dengan mengunakan kain kassa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini
gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 66


Buku Panduan CSL 7 2018

Gambar 26. Tampon balon.

Gambar 27. Tampon menggunakan kateter Foley.

Komplika
si
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah
(bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis, dan septikemia. Akibat
pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan
sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.

G. PROSEDUR

1. Senyum, sapa, salam


2. Informed consent
3. Mengatur posisi pasien, yaitu posisi duduk tegak. Kalau keadaannya lemah, posisikan dengan setengah
duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan.
4. Menyiapkan alat.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 67


Buku Panduan CSL 7 2018

5. Cuci tangan WHO


6. Memakai handschoen.
7. Membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah dengan menggunakan suction, lalu mencari sumber
pendarahan.
8. Memasang tampon sementara, yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5.000 – 1/10.000 dan
lidocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung.
9. Tampon dibiarkan selama 10 – 15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah
perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.
10. Atau, pasien diminta untuk duduk tegak, lalu memencet hidung bagian bawah selama 10 – 15 menit.
11. Pasien diminta bernafas melalui mulut lalu mencondongkan badannya ke depan.
12.Pemeriksa melihat apakah ada darah yang mengalir melalui orofaring.
13. Pemasangan tampon anterior
a. Membuka nares anterior menggunakan spekulum hidung.
b. Ujung tampon vaselin rol (atau setumpuk tampon rol yang sudah dilipat-lipat sepanjang perkiraan
panjang cavum nasi anterior) dijepit menggunakan pinset bayonet, lalu dimasukkan sepanjang dasar nares
anterior. Pinset bayonet yang menjepit tidak boleh melebihi panjang tampon rol agar pinset tidak
melukai cavum nasi.
c. Lepaskan pinset bayonet dari tampon rol dan spekulum hidung dari nares anterior.
d. Gunakan spekulum hidung untuk mendorong dan menahan tampon rol pertama ke arah atas, lalu
masukkan kembali tampon rol selanjutnya ke sepanjang dasar nares anterior.
e. Pemasangan diteruskan hingga seluruh cavum nares anterior terisi penuh.
f. Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon
baru.
14. Pemasangan tampon posterior
a. Kateter diolesi jelly lubrikan.
b. Masukkan kateter karet dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui
mulut menggunakan forsep ring.
c. Ujung kateter diikat pada salah satu benang yang ada pada salah satu ujung tampon Bellocq, kemudian
kateter ditarik melalui hidung sampai benang keluar dari nares anterior. Dengan cara yang sama
benang yang lain dikeluarkan melalui lubang hidung sebelahnya.
d. Benang yang keluar kemudian ditarik, dan tampon perlu didorong dengan bantuan jari

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 68


Buku Panduan CSL 7 2018

telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring.


e. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kassa di depan nares anterior.
f. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien.
15.Tampon balon kateter Foley
a. Olesi kateter Foley no. 12 – 16 F dengan jelly lubrikan atau salep antibiotik.
b. Kateter Foley dimasukkan ke dalam hidung, di sepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di
nasofaring.
c. Balon diisi dengan 10 – 20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik ke arah anterior sehingga balon
menutup rongga hidung posterior.
d. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang
dilekatkan pada cuping hidung.

H. DAFTAR PUSTAKA

1) Kucik CJ, Clenney T. Management of epistaxis. Naval Hospital Jacksonville, Jacksonville, Florida.
2005 [cited 2013 Oct 07]. Available from http://www.aafp.org
2) Mangunkusumo E, Wardani R. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher.
Jakarta: FK UI; 2007.
3) Young TK, Hall R. The occasional management of epistaxis. Can J Rural Med. 2010;15(2):70 – 4.
4) Zieve D, Eltz DR. Hemoragia nasal. University of Maryland Medical Center. 2011 [cited 2013 Oct 17].
Available from http://umm.edu
5) Epistaxis Treatment–Anterior Packing. 2013 [cited 2013 Oct 17]. Available from
http://5minuteconsult.com
6) Epistaxis. 2011. [cited 2013 Oct 07]. Available from http://bestpractice.bmj.com

I. EVALUASI
CEKLIST LATIHAN
No LANGKAH KLINIK YANG DINILAI Umpan
. Balik
INTERPERSONAL
1. Senyum, salam, sapa
2. Informed consent
KONTEN
3. Mengatur posisi pasien.
4. Menyiapkan alat.
5. Cuci tangan WHO.
6. Pemakaian handschoen.
MENENTUKAN JENIS EPISTAKSIS

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 69


Buku Panduan CSL 7 2018

7. Membersihkan hidung dari darah, lalu mencari sumber pendarahan.


8. Memasang tampon sementara, yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin
1/5.000 – 1/10.000 dan lidocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung.
9. Tampon dibiarkan selama 10 – 15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya
dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.
10. Pasien diminta untuk duduk tegak, lalu memencet hidung bagian bawah selama 10
– 15 menit.
11. Pasien diminta bernafas melalui mulut lalu mencondongkan badannya ke depan.
12. Pemeriksa melihat apakah ada darah yang mengalir melalui orofaring.
PEMASANGAN TAMPON ANTERIOR
13. Membuka nares anterior menggunakan spekulum hidung.
14. Ujung tampon rol (atau setumpuk tampon rol yang sudah dilipat-lipat sepanjang perkiraan
panjang cavum nasi anterior) dijepit menggunakan pinset bayonet, lalu dimasukkan
sepanjang dasar nares anterior.
15. Lepaskan pinset bayonet dari tampon rol dan spekulum hidung dari nares anterior.
16. Gunakan spekulum hidung untuk mendorong dan menahan tampon rol pertama ke arah atas,
lalu masukkan kembali tampon rol selanjutnya ke sepanjang dasar nares
anterior.
17. Pemasangan diteruskan hingga seluruh cavum nares anterior terisi penuh.
18. Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang
tampon baru.
PEMASANGAN TAMPON POSTERIOR
19. Kateter diolesi jelly lubrikan.
20. Masukkan kateter karet dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar
melalui mulut menggunakan forsep ring.
21. Ujung kateter diikat pada salah satu benang yang ada pada salah satu ujung tampon
Bellocq, kemudian kateter ditarik melalui hidung sampai benang keluar dari nares anterior.
Dengan cara yang sama benang yang lain dikeluarkan melalui
lubang hidung sebelahnya.
22. Benang yang keluar kemudian ditarik, dan tampon perlu didorong dengan bantuan
jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring.
23. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kassa di depan
nares anterior.
24. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien.
PEMASANGAN TAMPON BALON KATETER FOLEY
25. Olesi kateter Foley no. 12 – 16 F dengan jelly lubrikan atau salep antibiotik.
26. Kateter Foley dimasukkan ke dalam hidung, di sepanjang dasar hidung sampai balon
terlihat di nasofaring.
27. Balon diisi dengan 10 – 20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik ke arah anterior
sehingga balon menutup rongga hidung posterior.
28. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan
kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung.
PROFESIONALISME
29. Melakukan dengan penuh percaya diri.
30. Melakukan dengan kesalahan minimal.

RESUSITASI JANTUNG PARU

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 69


Buku Panduan CSL 7 2018

dr. Arif Yudho Prabowo, S.Ked, dr. Riyan Wahyudo, S.Ked

A. TEMA

Keterampilan Klinis Resusitasi Jantung Paru.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Melakukan penilaian awal situasi dan kondisi pasien, menentukan henti nafas dan henti jantung.
2. Melakukan kompresi dada.
3. Memberikan nafas buatan.
4. Mengevaluasi keberhasilan resusitasi.

C. LEVEL KOMPETENSI

Level
No Jenis
Kompet si
. Kompetensi en
1. Bantuan Hidup Dasar 1 2 3 4

D. ALAT DAN BAHAN

1. Mannequin RJP
dewasa
2. CPR breathing
mask
3. Kapas Gambar 28. CPR breathing mask

4. Alkohol

E. SKENARIO

Anda seorang dokter umum yang sedang jaga malam di RS daerah. Tiba-tiba ada panggilan dari ruangan
perawatan. Keluarga pasien melaporkan bahwa pasien tiba-tiba tidak sadarkan diri. Setelah memastikan
bahwa nadi tidak teraba, Anda segera mengaktifkan kode biru, dan melakukan resusitasi jantung paru.

F. DASAR TEORI

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 70


Buku Panduan CSL 7 2018

Penyakit jantung dan pembuluh darah sampai saat ini masih merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia.
Dari survei yang dilakukan WHO pada 2004, diperkirakan sebanyak 17,1 juta orang meninggal (29,1% dari
jumlah kematian total) karena penyakit jantung dan pembuluh darah. Manifestasi komplikasi penyakit jantung
dan pembuluh darah yang paling sering diketahui dan bersifat fatal adalah kejadian henti jantung mendadak.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup, terutama jika henti jantung mendadak tersebut disaksikan, maka
tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD) harus secepatnya dilakukan. Bantuan hidup jantung dasar sering
didengar dengan nama Resusitasi Jantung Paru (RJP).

BHD merupakan dasar tindakan penyelamatan jiwa setelah terjadi keadaan henti jantung. Tindakan ini bisa
dilakukan oleh seorang penolong ataupun lebih secara simultan. Tujuan awal pelaksanaan BHD adalah
memperbaiki sirkulasi sistemik yang hilang pada penderita henti jantung mendadak dengan melakukan
kompresi dada secara efektif dan benar, diikuti dengan pemberian ventilasi yang efektif sampai didapatkan
kembalinya sirkulasi sistemik secara spontan atau telah tiba peralatan yang lebih lengkap untuk melaksanakan
Bantuan Hidup Jantung Lanjut (Advanced Cardiac Life Support [ACLS]) atau tindakan dihentikan
karena tidak ada respon dari penderita setelah dilakukan beberapa saat.

Apabila kita dapat melakukan Bantuan Hidup Jantung Dasar dengan baik dan tepat, maka kita dapat
mengharapkan bahwa:

1. Henti jantung dapat dicegah dan perujukan dapat cepat dilaksanakan.


2. Fungsi jantung paru dapat diperbaiki dengan menggunakan AED (automated external
defibrillation) dan kompresi.
3. Otak dapat dijaga dengan baik karena suplai darah ke otak dapat terpelihara selama dilakukan bantuan
sampai bantuan lanjut tiba.

Dalam 2015 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary


Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care, AHA menekankan fokus bantuan hidup
dasar pada 3 rantai pertama dari 5 Rantai Kelangsungan Hidup:
1. Pengenalan kejadian henti jantung dan aktivasi sistem gawat darurat segera (early acces).
2. Resusitasi jantung paru segera (early cardiopulmonary resuscitation).
3. Defibrilasi segera (early defibrillation).
4. Perawatan kardiovaskular lanjutan yang efektif (effective ACLS).
5. Penanganan terintegrasi pasca henti jantung (integrated post cardiac arrest care).

Ketika akan melakukan pertolongan, penolong harus mengetahui dan memahami hak penderita

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 71


Buku Panduan CSL 7 2018

serta beberapa keadaan yang mengakibatkan RJP tidak perlu dilaksanakan seperti:

Henti jantung terjadi dalam sarana atau fasilitas kesehatan


Pertolongan dapat tidak dilakukan bila:
1. Ada permintaan dari penderita atau keluarga inti yang berhak secara sah dan ditandatangani oleh
penderita dan keluarga penderita.
2. Henti jantung terjadi pada penyakit dengan stadium akhir yang telah mendapat pengobatan secara
optimal.
3. Pada neonatus atau bayi dengan kelainan yang memiliki angka mortalitas tinggi, misalnya bayi prematur,
anensefali, atau kelainan kromosom seperti trisomi 13.

Henti jantung terjadi di luar sarana atau fasilitas kesehatan


1. Tanda-tanda klinis kematian yang irreversibel, seperti kaku mayat, lebam mayat, dekapitasi, atau pembusukan.
2. Upaya RJP dengan risiko membahayakan penolong.
3. Penderita dengan trauma yang tidak bisa diselamatkan, seperti hangus terbakar, dekapitasi,
hemikorporektomi.

Kapan Menghentikan RJP


1. Penolong sudah melakukan BHD atau lanjut secara optimal, antara lain RJP, defibrilasi, pemberian
vasopressin atau epinefrin intravena, membuka jalan nafas, ventilasi dan oksigenasi menggunakan bantuan
jalan nafas tingkat lanjut serta sudah melakukan semua pengobatan irama sesuai dengan pedoman
yang ada.
2. Penolong sudah mempertimbangkan apakah penderita terpapar bahan beracun atau mengalami overdosis
obat yang akan menghambat susunan sistem saraf pusat.
3. Kejadian henti jantung tidak disaksikan penolong.
4. Penolong telah merekam melalui monitor adanya asistol yang menetap selama 10 menit atau lebih.
5. Penderita yang tidak respons setelah dilakukan Bantuan Hidup Jantung Lanjut minimal 20 menit.
6. Secara etik, penolong RJP selalu menerima keputusan klinik yang layak untuk memperpanjang usaha
pertolongan (misalnya karena konsekuensi psikologis dan emosional). Juga menerima alasan klinis untuk
mengakhiri resusitasi dengan segera (karena kemungkinan hidup kecil).

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 72


Buku Panduan CSL 7 2018

Teknik Pelaksanaan Bantuan Hidup Dasar


Urutan prosedur BLS adalah D – R – C – A – B (danger-responsive-circulation-airway-
breathing)

Danger (Penilaian Situasi)


Langkah awal sebelum memulai melakukan resusitasi adalah menilai situasi apakah keadaan lingkungan
cukup aman bagi penolong, misal adanya bahan toksik, aliran listrik, bahaya kebakaran, peledakan, atau
runtuhan bangunan. Pastikan keselamatan penolong dan pasien terjamin.

Responsive (Penilaian Respon)


Penilaian respon dilakukan setelah penolong yakin bahwa dirinya sudah aman untuk melakukan pertolongan.
Penilaian respon dilakukan dengan menepuk-nepuk dan menggoyangkan penderita sambil berteriak
memanggil penderita.

Hal yang perlu diperhatikan setelah melakukan penilaian respon penderita:


 Bila penderita menjawab atau bergerak terhadap respon yang diberikan, maka usahakan tetap
mempertahankan posisi seperti pada saat ditemukan (kecuali ada bahaya pada posisi tersebut), atau
diposisikan ke dalam posisi mantap (recovery position); sambil terus melakukan pemantauan
tanda-tanda vital sampai bantuan datang.
 Posisi supine bisa dengan mengganjal spine/ punggung, pasien aman/ safety, airway lapang dan aman
sepanjang masa (ekstensi), dengan memiringkan kepala ke kanan atau kiri.
 Posisi mantap merupakan pertolongan yang ditujukan untuk mempertahankan jalan napas bebas dari
sumbatan pangkal lidah dan memperkecil kemungkinan aspirasi isi lambung/muntahan. Caranya
sebagai berikut:
- Lengan yang dekat penolong diluruskan ke arah kepala.
- Lengan yang satunya menyilang dada, kemudian tekankan tangan tersebut ke pipinya.
- Dengan tangan penolong yang lain, raih tungkai jauh tepat di atas lutut dan angkat.
- Tarik tungkai hingga tubuh pasien terguling ke arah penolong. Baringkan miring dengan tungkai atas
membentuk sudut dan menahan tubuh dengan stabil agar tidak menelungkup.
- Periksa pernapasan secara teratur.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 73


Buku Panduan CSL 7 2018

Gambar 29. Cara melakukan posisi mantap.

 Bila penderita tidak memberikan respon serta tidak bernafas atau bernafas tidak normal (gasping),
maka penderita dianggap mengalami kejadian henti jantung. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan
adalah melakukan aktivasi sistem layanan gawat darurat.

Pengaktifan Sistem Layanan Gawat Darurat


Setelah dilakukan pemeriksaan kesadaran penderita dan tidak didapatkan respon dari penderita, hendaknya
penolong meminta bantuan orang terdekat untuk menelepon sistem layanan gawat darurat (atau sistem kode
biru di RS). Bila tidak ada orang lain di dekat penolong untuk membantu, maka sebaiknya penolong menelepon
sistem layanan gawat darurat (atau 118). Saat melaksanakan percakapan dengan petugas layanan gawat darurat,
hendaknya dijelaskan lokasi penderita, kondisi penderita, serta bantuan yang sudah diberikan ke penderita.

Untuk kasus trauma, tenggelam, dan overdosis pada dewasa, atau anak, sebaiknya penolong melakukan
bantuan RJP selama 1 menit sebelum menghubungi sistem gawat darurat.

Circulation (Kompresi Jantung)


Sebelum melakukan kompresi dada pada penderita, penolong harus melakukan pemeriksaan awal untuk
memastikan bahwa penderita dalam keadaan tanpa nadi saat akan dilakukan pertolongan. Pemeriksaan
dilakukan dengan melakukan perabaan denyutan arteri karotis dalam waktu maksimal

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 74


Buku Panduan CSL 7 2018

10 detik. Melakukan pemeriksaan denyut nadi bukanlah hal yang mudah dilakukan, bahkan tenaga kesehatan
yang menolong mungkin memerlukan waktu yang agak panjang untuk memeriksa denyut nadi, sehingga:
 Tindakan pemeriksaan denyut nadi bisa tidak dilakukan oleh penolong awam dan langsung
mengasumsikan penderita mengalami henti jantung jika penderita mengalami pingsan mendadak,
atau tidak merespon, tidak bernafas, atau bernafas tidak normal.
 Pemeriksaan arteri karotis dilakukan dengan memegang leher penderita dan mencari trakea dengan 2 – 3
jari. Selanjutnya dilakukan perabaan bergeser ke lateral sampai menemukan batas trakea dengan otot
samping leher (tempat lokasi arteri karotis berada).
 Jika tidak teraba nadi dalam 10 detik, mulai lakukan kompresi.

Gambar 30. Cara meraba arteri karotis.

Kompresi dilakukan dengan pemberian tekanan secara kuat dan berirama pada setengah bawah sternum. Hal
ini menciptakan aliran darah melalui peningkatan tekanan intratorakal dan penekanan langsung pada dinding
jantung. Komponen yang perlu diperhatikan saat melakukan kompresi dada, antara lain:
- Frekuensi kompresi dilakukan 100-120 kali per menit.
- Untuk dewasa, kedalaman minimal 5 cm (2 inchi).
- Berikan kesempatan untuk dada mengembang kembali secara sempurna setelah setiap kompresi
(complete chest recoil).

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 75


Buku Panduan CSL 7 2018

Gambar 31. Complete chest recoil saat RJP.

- Seminimal mungkin melakukan interupsi (minimizing interruption).


- Hindari pemberian nafas bantuan yang berlebihan.

Gambar 32. High quality CPR

Cara melakukan kompresi dada:


- Penderita dibaringkan di tempat datar dan keras.
- Lutut penolong berada di sisi bahu penderita.
- Posisi badan tepat di atas badan penderita, bertumpu pada kedua tangan.

Gambar 33. Posisi penolong ketika melakukan RJP.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 76


Buku Panduan CSL 7 2018

- Menentukan lokasi kompresi dada dengan cara meletakkan telapak tangan yang telah saling berkaitan di
bagian setengah bawah sternum.

Gambar 34. Menentukan titik kompresi RJP.

- Jari-jari kedua tangan dirapatkan dan diangkat agar tidak ikut menekan.

Gambar 35. Posisi tangan saat melakukan RJP.

- Posisi tangan menetap, posisi lengan lurus, kekuatan tekanan tangan pada badan.

Airway
Pada penderita yang tidak sadarkan diri, maka tonus-tonus otot tubuh akan melemah termasuk otot rahang dan
leher. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan lidah dan epiglotis terjatuh ke belakang dan menyumbat jalan
nafas. Jalan nafas dapat dibuka oleh penolong dengan metode:
 Teknik angkat kepala-angkat dagu (head tilt-chin lift) pada penderita yang diketahui tidak
mengalami cedera leher.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 77


Buku Panduan CSL 7 2018

Gambar 36. Teknik head tilt-chin lift.


 Pada penderita yang dicurigai menderita trauma servikal, teknik head tilt-chin lift tidak bisa
dilakukan. Teknik yang digunakan pada keadaan tersebut adalah menarik rahang tanpa
melakukan ekstensi kepala (jaw thrust).

Gambar 37. Jaw thrust.

Breathing
Pemberian nafas bantuan dilakukan setelah jalan nafas terlihat aman. Tujuan primer pemberian bantuan
nafas adalah untuk mempertahankan oksigenasi yang adekuat. Dilakukan dengan metode:
1. Mulut ke Mulut
Merupakan metode yang paling mudah dan cepat. Oksigen yang dipakai berasal dari udara yang dikeluarkan
penolong. Cara melakukan:
 Mempertahankan posisi head tilt-chin lift, yang dilanjutkan dengan menjepit hidung
menggunakan ibu jari dan telunjuk.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 78


Buku Panduan CSL 7 2018

(a) (b)

Gambar 38. (a) Head tilt-chin lift


(b) Sembari mempertahankan head tilt-chin lift, tutup hidung dan tutup mulut penderita dengan mulut
penolong.

 Buka sedikit mulut penderita, tarik nafas panjang, dan tempelkan rapat bibir penolong melingkari
mulut penderita, kemudian hembuskan nafas lambat, setiap tiupan selama 1 detik dan pastikan sampai
dada terangkat.
 Tetap pertahankan head tilt-chin lift, lepaskan mulut penolong dari mulut penderita, lihat
apakah dada penderita turun waktu ekshalasi.

2. Mulut ke Hidung
Nafas bantuan dilakukan bila pernafasan mouth-to-mouth sulit dilakukan, misalnya karena trismus.
Caranya adalah katupkan mulut penderita disertai chin lift, kemudian hembuskan udara seperti pernafasan
mouth-to-mouth. Buka mulut penderita ketika ekshalasi.

Gambar 39. Bantuan nafas mulut ke hidung.

3. Mulut ke Sungkup
Penolong menghembuskan udara melalui sungkup yang diletakkan di atas dan melingkupi mulut dan hidung
penderita. Sungkup ini terbuat dari plastik transparan, sehingga muntahan dan warna

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 79


Buku Panduan CSL 7 2018

bibir penderita dapat terlihat.


Cara melakukan:
 Letakkan sungkup pada muka penderita dan dipegang kedua ibu jari.
 Lakukan head tilt-chin lift/jaw trush, tekan sungkup ke muka penderita dengan rapat,
kemudian hembuskan udara melalui lubang sungkup sampai dada terangkat.
 Hentikan hembusan dan amati turunnya pergerakan dinding dada.

Gambar 40. Bantuan nafas menggunakan CPR breathing mask.

Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan bantuan nafas, antara lain:
 Memberikan nafas bantuan dalam waktu 1 detik.
 Sesuai volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada.
 Diberikan 2 kali nafas bantuan setelah 30 kali kompresi.
 Tunggu dada kembali turun penuh sebelum memberi tiupan berikutnya (2 – 4 detik).
 Pada kondisi terdapat 2 orang penolong atau lebih, dan telah berhasil memasukkan alat untuk
mempertahankan jalan nafas (seperti pipa endotrakeal, combitube, atau sungkup laring), maka nafas
bantuan diberikan setiap 6 – 8 detik, sehingga menghasilkan pernafasan dengan frekuensi 8 – 10
kali/menit.
 Penderita dengan hambatan jalan nafas atau komplians paru buruk memerlukan bantuan nafas dengan
tekanan yang lebih tinggi sampai memperlihatkan dinding dada terangkat.
 Pemberian nafas bantuan yang berlebihan tidak diperlukan dan dapat menimbulkan distensi lambung
serta komplikasinya, seperti reurgitasi dan aspirasi.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 80


Buku Panduan CSL 7 2018

Komplikasi yang mungkin terjadi saat melakukan BHD, antara lain:


1. Aspirasi reurgitasi
2. Fraktur costae-sternum
3. Pneumothoraks, hematothoraks, kontusio paru
4. Laserasi hati atau limpa

Bantuan Hidup Dasar dengan 2 Penolong


Beberapa hal yang harus diperhatikan saat melakukan BHD dengan 2 penolong, yaitu:
1. Tiap penolong harus mengerti peranan masing-masing. Satu orang penolong memberikan pernafasan
bantuan, sedangkan penolong yang lain melakukan kompresi dada. Bila penolong ke dua tiba di tempat
kejadian saat pertolongan sedang dilakukan oleh penolong pertama, maka penolong ke dua memberikan
bantuan setelah penolong pertama melakukan 1 siklus bantuan yang diakhiri dengan 2 nafas bantuan.
2. Penolong yang melakukan kompresi dada memberikan pedoman dengan cara menghitung dengan
suara keras.
3. Sebaiknya perputaran penolong dilakukan setiap 5 siklus. Sebelum melakukan perpindahan tempat,
penolong yang melakukan kompresi memberikan aba-aba bahwa akan dilakukan perpindahan tempat
setelah kompresi ke-30 yang dilanjutkan pemberian 2 nafas bantuan. Penolong yang memberikan nafas
bantuan segera mengambil tempat di samping penderita untuk melakukan kompresi. Hal tersebut terus
berlanjut sampai bantuan dinyatakan boleh dihentikan.

Gambar 41. Resusitasi jantung paru dengan 2 orang penolong.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 81


Buku Panduan CSL 7 2018

G. PROSEDUR

1. Memastikan bahwa lingkungan sekitar penderita aman untuk melakukan pertolongan.


2. Memeriksa kemampuan respon penderita (dengan berteriak memanggil dan menepuk-nepuk pundak
atau menggoyangkan badan penderita).
3. Meminta pertolongan untuk mengaktifkan sistem layanan gawat darurat (atau sistem kode biru di rumah sakit).
Bila tidak ada orang lain di dekat penolong untuk membantu, penolong menelepon sistem layanan gawat
darurat. Jelaskan lokasi penderita, kondisi penderita, serta bantuan yang sudah diberikan ke penderita.
4. Melakukan pemeriksaan awal untuk memastikan bahwa penderita dalam keadaan tanpa nadi.
 Pemeriksaan dengan melakukan perabaan denyutan arteri karotis dalam waktu maksimal 10 detik.
 Pemeriksaan arteri karotis dilakukan dengan memegang leher penderita dan mencari trakea dengan 2 –
3 jari. Selanjutnya dilakukan perabaan bergeser ke lateral sampai menemukan batas trakea dengan
otot samping leher (tempat lokasi arteri karotis berada).
5. Informed consent (jika ada pihak keluarga).
6. Circulation: melakukan kompresi dada.
 Penderita dibaringkan di tempat datar dan keras.
 Lutut penolong berada di sisi bahu penderita.
 Posisi badan tepat di atas badan penderita, bertumpu pada kedua tangan.
 Menentukan lokasi kompresi dada dengan cara meletakkan telapak tangan yang telah saling berkaitan di
bagian setengah bawah sternum.
 Jari-jari kedua tangan dirapatkan dan diangkat agar tidak ikut menekan.
 Posisi tangan menetap, posisi lengan lurus, kekuatan tekanan tangan pada badan.
 Melakukan high quality CPR:
- Frekuensi kompresi minimal 100 kali per menit.
- Untuk dewasa, kedalaman minimal 5 cm (2 inchi).
- Berikan kesempatan untuk dada mengembang kembali secara sempurna setelah setiap kompresi
(complete chest recoil).
- Seminimal mungkin melakukan interupsi (minimizing interruption).
- Hindari pemberian nafas bantuan yang berlebihan.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 82


Buku Panduan CSL 7 2018

7. Airway: pembukaan jalan nafas menggunakan head tilt-chin lift maneuver (mendorong kepala ke
belakang sambil mengangkat dagu).
 Meletakkan telapak tangan ke dahi penderita.
 Menekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak tangan.
 Meletakkan ujung jari telunjuk dan jari tengah tangan lainnya di bawah bagian ujung tulang rahang
penderita.
 Menengadahkan kepala dan menahan/menekan dahi penderita secara bersamaan sampai kepala
pasien pada posisi ekstensi.
8. Breathing: pemberian nafas bantuan.
 Mempertahankan posisi head tilt-chin lift, yang dilanjutkan dengan menjepit hidung
menggunakan ibu jari dan telunjuk.
 Buka sedikit mulut penderita, tarik nafas panjang, dan tempelkan rapat bibir penolong melingkari
mulut penderita, kemudian hembuskan nafas lambat, setiap tiupan selama 1 detik dan pastikan sampai
dada terangkat.
 Memberikan 2 kali nafas bantuan masing-masing dalam waktu 1 detik.
 Sesuai volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada.
 Diberikan 2 kali nafas bantuan setelah 30 kali kompresi.
 Tetap pertahankan head tilt-chin lift, lepaskan mulut penolong dari mulut penderita, lihat
apakah dada penderita turun waktu ekshalasi.
9. Melakukan kompresi dada sebanyak 5 siklus (2 menit), lalu evaluasi denyut nadi arteri karotis. 10.Penolong
terus melakukan RJP hingga AED (automated external defibrillator) tiba, atau hingga
terjadi ROSC (return of spontaneous circulation), atau penolong kelelahan sehingga kalau
diteruskan akan membahayakan penolong.
11.Jika denyut nadi arteri karotis teraba dan nafas spontan, selanjutnya membaringkan pasien dalam posisi
mantap.

H. DAFTAR PUSTAKA

1) Konsil Kedokteran Indonesia. Standar kompetensi dokter Indonesia. Jakarta; 2012.


2) Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Buku panduan kursus bantuan hidup jantung
dasar. Edisi 2013. Jakarta; 2013.
3) Ramadhian MR, Hanriko R, Oktaria D. Buku CSL blok neurobehaviour. Bandar Lampung: Penerbit
Internal FK Unila; 2011.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 83


Buku Panduan CSL 7 2018

4) Schoolfield B. Highlights of the 2015 American heart association guidelines for CPR and ECC. 2015.

Gambar 42. Ringkasan Umum Bantuan Hidup Dasar

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 84


Buku Panduan CSL 7 2018

Gambar 43. Algoritma bantuan hidup dasar untuk petugas kesehatan.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 85


Buku Panduan CSL 7 2018

I. EVALUASI

CEKLIST LATIHAN

No. Aspe Umpan


k Balik
1. Memastikan bahwa lingkungan sekitar penderita aman untuk melakukan pertolongan.
2. Memeriksa kemampuan respon penderita.
3. Meminta pertolongan untuk mengaktifkan sistem layanan gawat darurat. Bila tidak ada orang lain di
dekat penolong untuk membantu, penolong menelepon sistem layanan gawat darurat. Jelaskan
lokasi penderita, kondisi penderita, serta bantuan yang sudah
diberikan ke penderita.
4. Melakukan pemeriksaan awal untuk memastikan bahwa penderita dalam keadaan tanpa nadi.
 Melakukan perabaan denyutan arteri karotis dalam waktu maksimal 10 detik.
 Pemeriksaan arteri karotis dilakukan dengan memegang leher penderita dan mencari
trakea dengan 2 – 3 jari. Selanjutnya dilakukan perabaan bergeser ke lateral sampai
menemukan batas trakea dengan otot samping leher (tempat lokasi
arteri karotis berada).

5. Informed consent (jika ada pihak keluarga).


CIRCULATION
6. Penderita dibaringkan di tempat datar dan keras.
7. Lutut penolong berada di sisi bahu penderita.
8. Posisi badan tepat di atas badan penderita, bertumpu pada kedua tangan.
9. Posisi badan tepat di atas badan penderita, bertumpu pada kedua tangan.
10. Menentukan lokasi kompresi dada dengan cara meletakkan telapak tangan yang telah saling
berkaitan di bagian setengah bawah sternum.
11. Jari-jari kedua tangan dirapatkan dan diangkat agar tidak ikut menekan.
12. Posisi tangan menetap, posisi lengan lurus, kekuatan tekanan tangan pada badan.
13. Melakukan high quality CPR.
- Frekuensi kompresi minimal 100 kali per menit.
- Untuk dewasa, kedalaman minimal 5 cm (2 inchi).
- Berikan kesempatan untuk dada mengembang kembali secara sempurna setelah setiap
kompresi (complete chest recoil).
- Seminimal mungkin melakukan interupsi (minimizing interruption).
- Hindari pemberian nafas bantuan yang berlebihan.
AIRWAY
14. - Meletakkan telapak tangan ke dahi penderita. -
- Menekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak tangan.
- Meletakkan ujung jari telunjuk dan jari tengah tangan lainnya di bawah bagian ujung tulang
rahang penderita.
- Menengadahkan kepala dan menahan/menekan dahi penderita secara bersamaan sampai
kepala pasien pada posisi ekstensi.
BREATHING
15. Mempertahankan posisi head tilt-chin lift, yang dilanjutkan dengan menjepit hidung
menggunakan ibu jari dan telunjuk.
16. Buka sedikit mulut penderita, tarik nafas panjang, dan tempelkan rapat bibir penolong melingkari
mulut penderita, kemudian hembuskan nafas lambat, setiap tiupan selama 1 detik dan pastikan
sampai dada terangkat.
17. Memberikan 2 kali nafas bantuan masing-masing dalam waktu 1 detik.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 86


Buku Panduan CSL 7 2018

18. Sesuai volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada.
19. Diberikan 2 kali nafas bantuan setelah 30 kali kompresi.
20. Tetap pertahankan head tilt-chin lift, lepaskan mulut penolong dari mulut penderita, lihat apakah
dada penderita turun waktu ekshalasi.
21. Melakukan kompresi dada sebanyak 5 siklus (2 menit), lalu evaluasi denyut nadi arteri karotis.

22. Jika denyut nadi arteri karotis teraba dan nafas spontan, selanjutnya membaringkan
pasien dalam posisi mantap.
23. Cek kembali nadi setiap 2 menit.
PROFESIONALISME
24. Melakukan dengan penuh percaya diri.
25. Melakukan dengan kesalahan minimal.

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 87


Buku Panduan CSL 7 2018

VISUM ET REPERTUM

dr. Winda Trijayanthi U, SH., dr. Exsa H, dr. Handayani D.U., Sp.F, dr. M. Galih I., Sp.F

A. TEMA

Keterampilan pemeriksaan luar dan pembuatan Visum Et Repertum (VER)

B. TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa mampu mendeskripsikan dan menentukan klasifikasi luka.


2. Mahasiswa mampu menyusun hasil pemeriksaan.
3. Mahasiswa mampu menarik kesimpulan dari hasil pemeriksaan.
4. Mahasiswa mampu membuat VER.

C. LEVEL KOMPETENSI

Level Kompetensi
No. Kompetensi SKD Target
I Capaian

1. Visum Et Repertum 4 4

2. Traumatologi 4 4

D. ALAT DAN BAHAN

1. Foto-foto luka
2. Form Status Pasien (Skesta Tubuh)
3. Form VER
4. Meteran

E. SKENARIO

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 88


Buku Panduan CSL 7 2018

Seorang perempuan datang ke Pusat Pelayanan Terpadu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.
H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung sendiri, dengan membawa surat permintaan visum dari Kepala Kepolisian
Sektor Kedaton, dengan suratnya nomor: R/35/I/2015/SEKTOR KDT, surat ditujukan kepada Kepala RSUD
Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung untuk dilakukan pemeriksaan fisik dan dibuatkan VER.

Pada saat pemeriksaan pada hari Jum‟at tanggal 6 Agustus tahun 2015 pukul 19.00 WIB, korban datang
dengan ditemani oleh kakak kandung korban ke RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Korban
mengaku telah diinjak kaki kirinya dan dicekik lehernya oleh pelaku (suami korban) pada tanggal 6
Agustus tahun 2015 pukul 16.00 WIB di rumah korban.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum korban baik, kesadaran penuh, emosi stabil, dan
kooperatif. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/m, pernapasan 20 x/m, dan suhu 36.5°C.

Pada pemeriksaan korban ditemukan memar pada dahi sisi kanan, luka lecet pada leher sisi kanan, dan luka
lecet pada punggung sisi kiri Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, dan tidak dilakukan tindakan atau
diberikan pengobatan.

F. DASAR

TEORI

Definisi

VER

VER berasal dari kata “visual” yang berarti melihat dan “repertum” yaitu melaporkan. VER adalah
keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap
seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan
interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan.

Dasar Hukum VER

 Lembaran Negara tahun 1973 No. 350 pasal 1 dan pasal 2


 Statsblad 350 tahun 1937 pasal 1 dan 2
 KUHAP Pasal 133
 KUHAP pasal 6 (1)
 Peraturan Pemerintah no 27 tahun 1983
 Pasal 179 KUHAP.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 89


Buku Panduan CSL 7 2018

Peranan dan Fungsi VER

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 90


Buku Panduan CSL 7 2018

 VER adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP.
 VER turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa
manusia sehingga dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.
 VER juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang
tertuang di dalam bagian kesimpulan.
 Bagi penyidik (polisi/polisi militer) VER berguna untuk mengungkapkan perkara.
 Bagi penuntut umum (jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan
didakwakan.
 Bagi Hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari
tuntutan hukum.

Perbedaan VER dengan Rekam Medis


Catatan medis terikat dengan sumpah dokter menurut Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1996 tentang
rahasia kedokteran dengan sanksi hukum dalam Pasal 322 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

VER di buat berdasarkan undang-undang yaitu Pasal 120, 179,133 ayat 1 KUHP, maka dokter tidak dapat di
tuntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana di atur dalam Pasal 322 KUHP meskipun dokter
membuat nya tanpa seizin pasien.

Struktur dan Isi VER


Setiap VER harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai berikut:
a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa.
b. Bernomor dan bertanggal.
c. Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah).
d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan pemeriksaan.
f. Tidak menggunakan istilah asing.
g. Ditandatangani dan diberi nama jelas.
h. Berstempel instansi pemeriksa tersebut.
i. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 91


Buku Panduan CSL 7 2018

j. Hanya diberikan kepada penyidik peminta VER. Apabila ada lebih dari satu instansi peminta, misalnya
penyidik POLRI dan penyidik POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut
dapat diberi VER masing-masing asli.
k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan disimpan sebaiknya
hingga 20 tahun.

Pada umumnya VER dibuat mengikuti struktur sebagai berikut:


1. Pro Justitia
Kata ini harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VER tidak perlu bermeterai.

Conto
h:
RUMAH SAKIT dr. H. ABDUL
MOELOEK INSTALASI
KEDOKTERAN FORENSIK
Jl. Dr. Rifa‟i No 6, Bandar Lampung, Lampung

Nomor : 353/ / 4.13/ I/ 2015


Lampiran : -
Perihal : Hasil Pemeriksaan Visum et Repertum a/n :
......................................................
PRO JUSTITIA

Bandar Lampung, 7 Agustus 2015

VISUM ET REPERTUM

2. Pendahuluan
Pendahuluan memuat: identitas pemohon VER, tanggal dan pukul diterimanya permohonan VER,
identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas objek yang diperiksa: nama, jenis kelamin, umur,
bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, di mana dilakukan pemeriksaan, alasan
dimintakannya VER, rumah sakit tempat korban dirawat sebelumnya, pukul korban meninggal dunia,
keterangan mengenai orang yang mengantar korban ke rumah sakit.

Contoh:

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 92


Buku Panduan CSL 7 2018

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Winda Trijayanthi Utama dokter di Rumah Sakit dr. H.
Abdul Moeloek Provinsi Lampung, berdasarkan atas permintaan tertulis dari
............................., pangkat AIPTU,NRP.........................,jabatan ..............................,atas nama
Kepala Kepolisian ...................,dengan suratnya nomor:.............................., tertanggal Enam Agustus Dua
Ribu Lima Belas mengenai permintaan visum tersebut di atas, maka dengan ini menerangkan bahwa
pada tanggal Enam Agustus Dua Ribu Lima Belas, bertempat di Rumah Sakit dr. H. Abdul Moeloek
Provinsi Lampung telah melakukan pemeriksaan atas korban yang menurut surat permintaan visum
tersebut adalah :-------------------------------------------------------------- Nama Inisial : --------------------------------
-----------------------------------------------------------------------
Umur : -----------------tahun.-----------------------------------------------------------------------------
Jenis Kelamin : -------------------------------------------------------------------------------------------------------
Warga Negara : -------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pekerjaan : -------------------------------------------------------------------------------------------------------
Agama : -------------------------------------------------------------------------------------------------------
Alamat : -------------------------------------------------------------------------------------------------------

3. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)


Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat dan ditemukan
pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah
sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya,
koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka
dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristiknya, serta ukurannya.
Rincian ini terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat
dihadirkan kembali.

Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri dari:


a. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan fisik maupun
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban
hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta
hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 93


Buku Panduan CSL 7 2018

b. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya, alasan tidak
dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat
dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk menghindari
kesalahpahaman tentang-tepat tidaknya penanganan dokter dan tepat-tidaknya kesimpulan yang diambil.
c. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan hal penting guna
pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas.
d. Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur, yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh,
karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan.

Contoh:
HASIL PEMERIKSAAN :-----------------------------------------------------------------------------------------------
1. Korban datang dalam keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran sadar penuh, emosi stabil, dan
kooperatif. Tekanan darah seratus duapuluh per delapan puluh milimeter air raksa. Laju nadi delapan
puluh dua kali permenit. Laju pernafasan dua puluh kali permenit. Suhu tiga puluh enam koma lima
derajat selsius--------------------------------------------------------------------
2. Pada korban ditemukan--------------------------------------------------------------------------------------------
a. Pada dahi sisi kanan, lima sentimeter dari garis pertengahan depan, tiga koma lima sentimeter
dibawah tumbuh rambut depan, terdapat memar berwarna kebiruan dengan ukuran tiga kali dua
koma lima sentimeter-----------------------------------------------------------------
---------
b. Pada leher sisi kanan, lima koma lima sentimeter dari garis pertengahan belakang, tiga sentimeter
dibawah batas tumbuh rambut belakang, luka lecet tekan berbentuk kuku, berwarna kemerahan
dengan luas area dua koma lima kali satu koma lima sentimeter------
--------
c. Pada punggung sisi kiri, nol koma lima sentimeter dari garis pertengahan belakang, dua belas
sentimeter dibawah puncak bahuterdapat luka lecet berwarna kemerahan dengan ukuran dua koma
lima kali satu sentimeter----------------------------------------------------------------
--
d. Pada punggung sisi kiri, tiga belas sentimeter dari garis pertengahan belakang, dua belas sentimeter
dibawah puncak bahu, terdapat luka lecet berwarna kemerahan berbentuk bulat dengan ukuran
diameter satu sentimeter-----------------------------------------------------------
-----
3. Terhadap korban tidak dilakukan pemeriksaan penunjang perawatan luka dan pengobatan----

4. Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri
oleh dokter pembuat VER, dikaitkan dengan maksud dan tujuan

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 94


Buku Panduan CSL 7 2018

dimintakannya VER tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan
derajat kualifikasi luka.
Contoh:
KESIMPULAN :-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada pemeriksaan seorang korban perempuan berumur kurang lebih .............. tahun ini ditemukan
memar pada dahi sisi kanan, luka lecet pada leher sisi kanan, dan luka lecet pada punggung sisi kiri akibat
trauma tumpul. ---------------------------------------------------------------------------

5. Penutup
 Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat sumpah atau
janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu
sebelum melakukan pemeriksaan.
 Dibubuhi tanda tangan dokter pembuat VER

Contoh:
Demikianlah Visum et Repertum ini Saya buat berdasarkan Lembaran Negara No. 350 Tahun 1957.--------
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dokter Pemeriksa,

dr. Winda Trijayanthi Utama, S.H.


NIP. 19870108 201404 2 002

Tata Laksana VeR pada Korban Hidup


1. Ketentuan standar dalam penyusunan VER korban hidup.
a. Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1) adalah penyidik yang
menurut PP 27/1983 adalah Pejabat Polisi Negara RI. Sedangkan untuk kalangan militer maka Polisi
Militer (POM) dikategorikan sebagai penyidik.
b. Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1) adalah dokter dan
tidak dapat didelegasikan pada pihak lain.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 95


Buku Panduan CSL 7 2018

c. Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan bahwa permintaan oleh penyidik
harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas telah diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2).
d. Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang memintanya sesuai
dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli. Pihak lain tidak dapat memintanya.
2. Pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan forensik klinik
a. Dokter
b. Perawat
c. Petugas Administrasi
3. Tahapan-tahapan dalam pembuatan VER pada korban hidup:
a. Penerimaan korban yang dikirim oleh penyidik
b. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/VER
Kriteria tentang pasien/korban yang pada waktu masuk Rumah Sakit/UGD tidak membawa SPV, sebagai
berikut:
 Setiap pasien dengan trauma
 Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan
 Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas
 Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan
 Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat permintaan visum
c. Pemeriksaan korban secara medis
d. Pengetikan surat keterangan ahli/VER oleh petugas administrasi memerlukan perhatian dalam
bentuk/formatnya karena ditujukan untuk kepentingan peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea
dengan garis, untuk mencegah penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Contoh:
“Pada pipi kanan 2 sentimeter dari sumbu wajah, 2 sentimeter di bawah mata terdapat luka robek, tepi
tidak rata panjang lima sentimeter lebar satu sentimeter dalam nol koma lima sentimeter, tidak teraba
derik tulang.--------------------------------------------------------------------------------
e. Undang-undang menentukan bahwa yang berhak menandatanganinya adalah dokter. Setiap lembar
berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 96


Buku Panduan CSL 7 2018

f. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa kepada penyidik dengan menggunakan berita
acara.
g. Surat keterangan ahli/visum etrepertum juga hanya boleh diserahkan pada pihak penyidik yang
memintanya saja.

G. PROSEDUR

1. Sapalah klien, membina sambung rasa.


2. Melakukan anamnesis, untuk menanyakan alasan klien datang.
3. Menanyakan dan memeriksa surat permohonan pemeriksaan eksternal (SPV) kepada klien.
4. Menjelaskan pentingnya pemeriksaan ini lalu informed consent secara lisan dan tulisan
(terdokumentasi).
5. Melakukan pemeriksaan dan dokumentasi bahan bukti (baju robek, tempat darah, dll)
6. Melakukan pemeriksaan keadaan umum dan tanda-tanda vital klien.
7. Mulai melakukan pemeriksaan luar
Mendokumentasikan luka sebelum dimanipulasi dan setelah dibersihkan Whole
body : berisi dokumentasi ada/tidaknya kerusakan
Regional : berisi dokumentasi kerusakan dengan jaringan sekitarnya Close
Up : berisi dokumentasi kerusakan
a. Pemeriksaan dilakukan secara sistematis dari atas ke bawah.
b. Menilai letak/lokasi luka secara anatomis.
c. Menilai absis dan ordinat dari luka.
d. Menilai jenis luka dan jumlah luka.
e. Menilai karakteristik luka.
 Batas Luka: bentuk luka, luka perbatasan, ujung luka - runcing atau tumpul
 Luas dalam batas luka: lereng interior, jenis jaringan, jaringan bridging, basis od luka
 Wilayah di sekitar perbatasan luka: memar, bekuan darah, jelaga, tattoage; dll
f. Menilai ukuran luka (panjang, lebar, kedalaman)
8. Melakukan pemeriksaan penunjang bila perlu.
9. Melakukan tindakan, perawatan dan pengobatan bila perlu.
10.Membuat kesimpulan dari hasil pemeriksaan.
11.Membuat menjadi sebuah VER korban hidup.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 97


Buku Panduan CSL 7 2018

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 98


Buku Panduan CSL 7 2018

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 99


Buku Panduan CSL 7 2018

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 100


Buku Panduan CSL 7 2018

H. DAFTAR PUSTAKA
1) Afandi D, Mukhyarjon, Roy J. The quality of VER of the living victims in Arifin Achmad General Hopital
during January 2004 – September 2007. Jurnal Ilmu Kedokteran. 2008;2(1):19 – 22.
2) Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997.
3) Dorland‟s Ilustrated Medical Dictionary E-Book 32nd edition. Elsevier Health Science. 2011.
4) Dolinak D, Evan et al. Forensic Pathology Principle and Practice. Elsevier Academic Press. London.
2005
5) Hamdani N. Ilmu kedokteran kehakiman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 1992.
6) Sampurna B, Samsu Z. Peranan ilmu forensik dalam penegakan hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar;
2003.
7) Skhrum, Micheal J, David A Ramasay et al. Forensic Pathologic of Trauma: Common Problem for the
Pathologist. Human Press. New Jersey. 2007

I. EVALUASI

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 101


Buku Panduan CSL 7 2018

CEKLIST LATIHAN

No LANGKAH KLINIK YANG DINILAI Umpan


Balik
ITEM INTERAKSI DOKTER-PASIEN
1. Senyum, salam dan sapa dan membina sambung rasa.
2. Anamnesis untuk menanyakan alasan klien datang.
3. Menanyakan dan memeriksa surat permohonan pemeriksaan eksternal (SPV)
kepada klien.
4, Menjelaskan pentingnya pemeriksaan ini lalu informed consent secara lisan dan
tulisan (terdokumentasi).
ITEM PROSEDURAL
5. Melakukan pemeriksaan dan dokumentasi bahan bukti (baju robek, tempat
darah, dll)
6. Melakukan pemeriksaan keadaan umum dan tanda-tanda vital klien.
Pemeriksaan Fisik atau Pemeriksaan Luar
7. Mendokumentasi luka sebelum dimanipulasi dan setelah dibersihkan.
 Whole body : berisi dokumentasi ada/tidaknya kerusakan
 Regional : berisi dokumentasi kerusakan dengan jaringan sekitarnya
 Close Up : berisi dokumentasi kerusakan
8. Pemeriksaan dilakukan secara sistematis dari atas ke bawah.
9. Menilai letak/lokasi luka secara anatomis.
10 Menilai absis dan ordinat dari luka.
11 Menilai jenis luka dan jumlah luka.
12 Menilai karakteristik luka.
 Batas Luka : bentuk luka, luka perbatasan, ujung luka - runcing atau tumpul
 Luas dalam batas luka : lereng interior, jenis jaringan, jaringan bridging, basis od
luka
 Wilayah di sekitar perbatasan luka : memar, bekuan darah, jelaga, tattoage;
dll

13. Menilai ukuran luka (panjang, lebar, kedalaman)


14. Melakukan pemeriksaan penunjang bila perlu.
15. Melakukan tindakan, perawatan dan pengobatan bila perlu.
Membuat Visum et Repertum
16. Pro Justisia dan Pendahuluan
17. Hasil pemeriksaan
18. Kesimpulan dan penutup
ITEM PROFESIONALISME
19. Tunjukkan sikap percaya diri dan menghormati klien.

SURAT KETERANGAN KEMATIAN


Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 101
Buku Panduan CSL 7 2018

dr. Winda Trijayanthi Utama, S.H.

A. TEMA

Keterampilan pembuatan Surat Keterangan Kematian.

B. TUJUAN

Setelah mempelajari keterampilan medik mengenai Surat Keterangan Kematian ini, mahasiswa diharapkan:

1. Memahami ketentuan membuat Surat Keterangan Kematian.


2. Dapat membuat/mengisi format Surat Keterangan Kematian dengan benar.

C. LEVEL KOMPETENSI

Level Kompetensi
No. Kompetensi SKDI Target
Capaia
n
Pembuatan surat keterangan
1. 4A 4
medis

2. Penerbitan Sertifikat Kematian 4A 4

D. ALAT DAN BAHAN

Form Surat Keterangan Kematian

E. SKENARIO

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 102


Buku Panduan CSL 7 2018

Seorang pengemudi mobil truk terlibat kecelakaan tunggal dengan menabrak tembok beton fly over di antasari.
Saat sampai di IGD pasien sudah dalam kondisi tidak bernyawa. Kemudian anda selaku dokter jaga melakukan
pemeriksaan dan pembuatan surat keterangan kematian.

F. DASAR TEORI

1. Surat Keterangan Kematian


a. Definisi
Surat keterangan kematian adalah surat yang menerangkan bahwa seseorang telah meninggal
dunia. Surat keterangan kematian ini berisi identitas, saat kematian, dan sebab kematian. Kewenangan
penerbitan surat keterangan kematian ini adalah dokter yang telah diambil sumpahnya dan
memenuhi syarat administratif untuk menjalankan praktik kedokteran. Surat Keterangan Kematian
juga dapat didefinisikan sebagai surat keterangan yang diberikan oleh seorang dokter secara
professional mengenai keadaan tertentu yang diketahuinya dan dapat dibuktikan kebenarannya.

b. Dasar hukum surat keterangan kematian


1. Bab I Pasal 7 KODEKI, “Setiap dokter hanya memberikan keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya”.
2. Bab II Pasal 12 KODEKI, “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien meninggal dunia”
3. Pasal 267 KUHP: ancaman pidana untuk surat keterangan palsu
4. Pasal 179 KUHAP: wajib memberikan keterangan ahli demi pengadilan, keterangan yang akan
diberikan didahului dengan sumpah jabatan atau janji

c. Dasar hukum surat keterangan kematian


1. Bab I Pasal 7 KODEKI, “Setiap dokter hanya memberikan keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya”.
2. Bab II Pasal 12 KODEKI, “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien meninggal dunia”
3. Pasal 267 KUHP: ancaman pidana untuk surat keterangan palsu

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 103


Buku Panduan CSL 7 2018

4. Pasal 179 KUHAP: wajib memberikan keterangan ahli demi pengadilan, keterangan yang akan
diberikan didahului dengan sumpah jabatan atau janji

d. Peran dokter
1. Menentukan seseorang telah meninggal dunia (berhenti secara permanen: sirkulasi, respirasi dan
neurologi)
2. Melengkapi surat keterangan kematian bagian medis (menuliskan sebab kematian, jika
diperlukanà otopsi)
3. Jika jenazah tidak dikenal à membantu identifikasi

e. Instruksi pengisian surat keterangan kematian


Dalam melengkapi surat keterangan kematian, perlu dilakukan sesuai guideline :
1. Menggunakan formulir ter-update yang diterbitkan pemerintah
2. Isi semua item, ikuti petunjuk pengisian setiap item
3. Buat surat dengan jelas dengan tinta hitam
4. Jangan gunakan singkatan kecuali ada instruksi khusus pada pengisian item
5. Konfirmasikan ejaan penulisan nama terutama nama yang homofon (beda ejaan penulisan
tapi sama pengucapannya) seperti : Edi, Edy, Eddie dsb
6. Dapatkan semua tanda tangan yang diperlukan. Tidak boleh menggunakan tanda tangan cap atau
print
7. Jangan mengubah formulir
8. Jangan menduplikasi/membuat 2 surat keterangan kematian yang sama. Jika diperlukan, bisa dicopy
yang selanjutnya di sahkan bahwa hasil copy tersebut sesuai dengan aslinya

f. Bagian medis surat keterangan kematian


Bagian medis surat keterangan kematian adalah bagian dalam surat keterangan kematian yang harus
diisi oleh dokter. Dalam formulir surat keterangan USA, bagian medis ini adalah item nomor 24-50.
Bagian ini diantaranya memuat:
1. Tanggal dan waktu dikatakan meninggal
2. Tanggal dan waktu kematian
3. Apakah kasus dirujukkan ke pemeriksa medis atau koroner
4. Bagian penyebab kematian meliputi penyebab, cara, penggunaan rokok, status kehamilan
5. Item injuri untuk kasus karena injuri

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 104


Buku Panduan CSL 7 2018

6. Tanda tangan dan nama terang dokter

g. Pemeriksaan tanda
kematian Tanda
kematian dini
 Kerja jantung, peredaran darah dan pernafasan berhenti
Secara teoritis, diagnosis kematian sudah dapat ditegakkan jika jantung dan paru berhenti selama 10
menit, namun dalam prakteknya seringkali terjadi kesalahan diagnosis sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan dengan cara mengamati selama waktu tertentu. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan mendengarkannya melalui stetoscope pada daerah precordial dan larynx dimana
denyut jantung dan suara nafas dapat dengan mudah terdengar.
Kadang-kadang jantung tidak segera berhenti berdenyut setelah nafas terhenti, selain disebabkan
ketahanan hidup sel tanpa oksigen yang berbeda-beda dapat juga disebabkan depresi pusat
sirkulasi darah yang tidak adekwat, denyut nadi yang menghilang merupakan indikasi bahwa
pada otak terjadi hipoksia. Sebagai contoh pada kasus judicial hanging dimana jantung masih
berdenyut selama 15 menit walaupun korban sudah diturunkan dari tiang gantungan.

 Refleks cahaya dan kornea mata hilang


Perubahan pada mata meliputi hilangnya reflek kornea dan reflek cahaya yang
menyebabkan kornea menjadi tidak sensitif dan reaksi pupil yang negatif.

 Kulit pucat
Kulit muka menjadi pucat ,ini terjadi sebagai akibat berhentinya sirkulasi darah sehingga darah yang
berada di kapiler dan venula dibawah kulit muka akan mengalir ke bagian yang lebih rendah
sehingga warna kulit muka tampak menjadi lebih pucat. Pada mayat yang mati akibat kekurangan
oksigen atau keracunan zat-zat tertentu (misalnya karbon monoksida) warna semula dari raut muka
akan bertahan lama dan tidak cepat menjadi pucat.

 Terjadi relaksasi otot


Pada saat kematian sampai beberapa saat sesudah kematian , otot-otot polos akan mengalami
relaksasi sebagai akibat dari hilangnya tonus. Relaksasi pada stadium ini

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 105


Buku Panduan CSL 7 2018

disebut relaksasi primer. Akibatnya rahang turun kebawah yang menyebabkan mulut terbuka, dada
menjadi kolap dan bila tidak ada penyangga anggota gerakpun akan jatuh kebawah. Relaksasi dari
otot-otot wajah menyebabkan kulit menimbul sehingga orang mati tampak lebih muda dari umur
sebenarnya, sedangkan relaksasi pada otot polos akan mengakibatkan iris dan sfincter ani akan
mengalami dilatasi. Oleh karena itu bila menemukan anus yang mengalami dilatasi harus hati-hati
menyimpulkan sebagai akibat hubungan seksual perani/anus corong.

Tanda kematian lanjut

 Algor Mortis (Penurunan Suhu Tubuh)


Adalah penurunan suhu mayat. Suhu mayat dapat berubah karena ada beda suhu tubuh dengan
suhu lingkungan, tubuh sudah tidak ada metabolisme dan tidak ada sirkulasi yang meratakan suhu
tubuh. Dipengaruhi oleh : baju, usia,sakit sebelumnya, dan lingkungan.
Secara kasar dapat dikatakan rata-rata penurunan suhu pada jam pertama adalah 2 derajat C
dan 1 derajat C setelah mencapai keseimbangan dengan suhu lingkungan (Idries dan
Tjiptomartono,2008).
Pengukuran suhu mayat : termometer raksa dimasukkan ke dalam rektal sedalam 10 cm selama 3
menit
a. Dahi dingin setelah 4 jam post mortem
b. Badan dingin setelah 12 jam post mortem
c. Suhu organ dalam mulai berubah setelah 5 jam post mortem

 Livor Mortis (Lebam Mayat)


Adalah warna yang muncul pada kulit orang yang sudah mati Dengan patofisiologi
dikarenakan adanya gravitasi bumi sehingga darah menempati bagian tubuh terbawah, intensitas
dan luasnya berangsur-angsur bertambah sehingga akhirnya menetap. Membentuk warna
merah ungu (livide).
Terjadi akibat proses gravitasi setelah sirkulasi berhenti (mati somatis)
a. 20 - 30 menit PM : mulai tampak
b. ½ - (8-12) jam PM : hilang pada penekanan
c. >(8-12 jam) PM : menetap
 Rigor Mortis (Kaku Mayat)

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 106


Buku Panduan CSL 7 2018

Terjadi sesuai dengan teori ATP


a. 2 jam PM : mulai dapat ditemukan
b. 2 - (8-12) jam PM : mudah dilawan
c. (8-12) - 24 jam PM : lengkap sukar dilawan (puncak)
d. >24 jam PM : mulai menghilang (fase relaksasi sekunder)
Mulai dari sendi dengan otot kecil.

 Dekomposisi (Pembusukan)
Terjadi segera setelah kematian seluler, baru tampak ±24 jam pasca mati berupa warna kehijauan
pada perut kanan bawah, yaitu daerah sekum yang isinya lebih cair dan penuh dengan bakteri serta
terletak dekat dengan dinding perut.

 Mummifikasi

 Adiposera

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 107


Buku Panduan CSL 7 2018

G. PROSEDUR
1. Sapalah pengantar atau keluarga klien, membina sambung rasa.
2. Melakukan alloanamnesis, untuk menanyakan alasan kematian klien.
3. Menjelaskan pentingnya pemeriksaan ini lalu informed consent. kepada pengantar atau keluarga secara
lisan dan tulisan (terdokumentasi)
4. Pemeriksaan tanda kematian klien
4.1 Tanda kematian dini
4.1.1 Kerja jantung, peredaran darah dan pernafasan berhenti
4.1.2 Refleks cahaya dan kornea mata hilang

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 108


Buku Panduan CSL 7 2018

4.1.3 Kulit pucat


4.1.4 Terjadi relaksasi otot
4.2 Tanda kematian lanjut
4.2.1 Algor Mortis (Penurunan suhu tubuh)
4.2.2Livor Mortis (Lebam mayat)
4.2.3Rigor Mortis (Kaku mayat)
4.2.4Dekomposisi (Pembusukan)
4.2.5Mummifikasi
4.2.6Adiposera
5. Menuliskan tanggal dikatakan meninggal oleh pemeriksa atau tanggal meninggal sebenarnya. Tuliskan
tanggal, bulan (tidak boleh disingkat atau disimbolkan dengan angka), dan tahun (4 digit)
6. Waktu dikatakan meninggal oleh pemeriksa
Tuliskan jam berapa dan menit keberapa dalam sistem 24 jam tanpa pemisah. Contoh : 0345 (berarti jam
3 lewat 45 menit), 2013 (jam 8 malam lebih 13 menit) dst
7. Menuliskan tempat kematian (RS, Kota, Kabupaten)
8. Menuliskan Nomor Rekam Medis klien.
9. Menuliskan identitas klien:
9.1 Nama lengkap klien.
9.2 Umur klien(dalam ...... tahun......bulan.....hari......jam/menit/detik)
9.3 Tempat tinggal (kota/kabupaten)
9.4 Pekerjaan
9.5 Bangsa
9.6 Jenis kelamin
10.Menuliskan sebab kematian
Tahap 1
Masukkan data rantai kejadian penyakit, injuri, komplikasi yang secara langsung menyebabkan kematian.
Dilarang memasukkan kondisi terminal seperti cardiac arrest, respiratory arrest atau vibrilasi ventrikel tanpa
menuliskan etiologinya.
Dilarang menuliskan singkatan. Hanya boleh memasukkan 1 penyebab pada 1 garis. Tambahkan garis
tambahan (item e.) jika perlu.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 109


Buku Panduan CSL 7 2018

Tahap 1.1
a. Tuliskan final disease yang menyebabkan kematian
b. Tuliskan immediate cause yang menyebabkan kondisi pada baris a.
c. Tuliskan underlying cause yang menyebabkan kondisi pada baris b, dan seterusnya.

Jadi, nantinya dapat dibaca penyebab kematiannya adalah a. yang terjadi karena b. yang terjadi karena c. Di
sebelah kanan tahap 1.1 ini terdapat kolom interval perkiraan onset kematian dari setiap penyebab yang
dituliskan (Tahap 1.2)
Catatan : Jika final diseasenya berupa neoplasma, tuliskan juga lokasi primernya, benign atau malignant, tipe
sel, grade dan bagian/lobus organ yang terlibat. Contoh squamous cell carcinoma primer
differensiasi baik, paru, lobus kiri atas

Tahap 1.2
Tuliskan lamanya (kira-kira) mulai sakit hingga meninggal dunia.

Contoh penulisan :
Tahap 1.1
a. pulmonary embolism
b. congestive heart failure
c. acute myocard infarction

Tahap 1.2
Menit
4 hari
7 hari

Tahap 2
Menuliskan kondisi signifikan lain yang mendukung penyebab kematian tapi tidak menjadi underlying cause pada
part 1.
Contoh penulisan :
Diabetes mellitus, hipertension

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 110


Buku Panduan CSL 7 2018

Tahap 3
Menuliskan keterangan-keterangan khusus untuk: MATI KARENA RUDAPAKSA (violent/death) Macam-
macam rudapaksa (bunuh diri, pembunuhan, kecelakaan, dsb)
Cara kejadian rudapaksa
Sifat jejas

Tahap 4
Menuliskan kelahiran kematian (stillbirth)
Apakah ini janin lahir-mati : Ya atau Tidak
Sebab kelahiran mati ...............................
11.Melakukan pemeriksaan dalam (autopsy) bila perlu. 12.Menuliskan tempat
(kota/kabutapen) dan tanggal pemeriksaan.
13.Menuliskan nama dan tanda tangan (sertifier atau pembuat keterangan).
14.Membuat menjadi sebuah surat keterangan kematian.

H. DAFTAR PUSTAKA
1. Nurhantari Y. 2010. Slide Kuliah “Surat Keterangan Kematian”. Yogyakarta : FK UGM
2. Suciningtyas M. 2011. Slide Kuliah “Death Sertification”. Yogyakarta : FK UGM
3. CDC. 2003. Physician’s Handbook on Medical Sertification of Death. Maryland : Department of
Health and Human Resources, National Center for Health Statictics

I. EVALUASI
CEKLIST LATIHAN

No LANGKAH KLINIK YANG DINILAI Umpan


. Balik
ITEM INTERAKSI DOKTER-PASIEN
1. Senyum, salam dan sapa dan membina sambung rasa.
2. Alloanamnesis untuk menanyakan alasan kematian klien.
3. Informed consent, kepada pengantar atau keluarga secara lisan dan tulisan
(terdokumentasi).
PEMERIKSAAN TANDA KEMATIAN KLIEN
Tanda kematian dini
4. Kerja jantung, peredaran darah dan pernafasan berhenti
5. Refleks cahaya dan kornea mata hilang : Midriasis maksimal
6. Kulit pucat
7. Terjadi relaksasi otot
8. Tanda kematian lanjut
9. Algor Mortis (Penurunan suhu tubuh)

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 111


Buku Panduan CSL 7 2018

10. Livor Mortis (Lebam mayat)


11. Rigor Mortis (Kaku mayat)
12. Dekomposisi (Pembusukan)
13. Mummifikasi
14. Adiposera
ITEM PROSEDURAL PENGUMPULAN DATA
15. Menuliskan tanggal dikatakan meninggal oleh pemeriksa atau tanggal
meninggal sebenarnya.
Tuliskan tanggal, bulan (tidak boleh disingkat atau disimbolkan dengan
angka), dan tahun (4 digit)
16. Waktu dikatakan meninggal oleh pemeriksa
Tuliskan jam berapa dan menit keberapa dalam sistem 24 jam tanpa pemisah.
Contoh : 0345 (berarti jam 3 lewat 45 menit), 2013 (jam 8 malam
lebih 13 menit) dst
17. Menuliskan tempat kematian (RS, Kota, Kabupaten)
18. Menuliskan Nomor Rekam Medis klien.
19. Menuliskan identitas klien:
a. Nama lengkap klien.
b. Umur klien(dalam ...... tahun......bulan.....hari......jam/menit/detik)
c. Tempat tinggal (kota/kabupaten)
d. Pekerjaan
e. Bangsa
f. Jenis kelamin
PEMERIKSAAN SEBAB KEMATIAN
20. a. Tuliskan final disease yang menyebabkan kematian
b. Tuliskan immediate cause yang menyebabkan kondisi pada baris a.
c. Tuliskan underlying cause yang menyebabkan kondisi pada baris b, dan
seterusnya.
21. Tuliskan lamanya (kira-kira) mulai sakit hingga meninggal dunia.
22. Menuliskan kondisi signifikan lain yang mendukung penyebab kematian tapi
tidak menjadi underlying cause pada tahap 1.
23. Menuliskan keterangan-keterangan khusus untuk: MATI KARENA
RUDAPAKSA (violent/death)
Macam-macam rudapaksa: (bunuh diri, pembunuhan, kecelakaan, dsb) Cara kejadian
rudapaksa: .......................................................................
Sifat jejas: ...............................................................................................
24. Menuliskan kelahiran kematian (stillbirth)
Apakah ini janin lahir-mati : Ya atau Tidak
Sebab kelahiran mati ...............................
MEMBUAT SURAT KETERANGAN KEMATIAN
25. Menuliskan tempat (kota/kabutapen) dan tanggal pemeriksaan.
26. Menuliskan nama dan tanda tangan (sertifier atau pembuat keterangan).
ITEM PROFESIONALISME
27 Tunjukkan sikap percaya diri dan menghormati klien dan keluarga/pengantar klien

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 112


Buku Panduan CSL 7 2018

KETERAMPILAN KLINIK KOMPREHENSIF

Keterampilan klinik komprehensif akan diselenggarakan dalam 10 kali pertemuan. Keterampilan klinik
komprehensif dibagi berdasarkan sistem tubuh, yaitu :

1. Sistem endokrin, metabolik dan nutrisi


2. Sistem sensori (THT dan Mata)
3. Sistem Genitourinaria
4. Sistem hemoimunologi dan TID
5. Sistem reproduksi (obstetri dan ginekologi)
6. Sistem kardiovaskular
7. Sistem respiratorius
8. Sistem gastrointestinal
9. Sistem integumen (dermatologi)
10. Sistem muskuloskletal
11. Sistem syaraf (neurologi)
12. Sistem psikiatri

Dalam pelaksanaan keterampilan klinik komprehensif mahasiswa dianjurkan belajar secara aktif, yaitu menyiapkan
jenis kasus dan keterampilan yang dirasa perlu untuk dipelajari lagi secara mendalam. Instruktur memfasilitasi
mahasiswa untuk belajar dan berdiskusi. Setelah itu lalu dilakukan umpan balik oleh instruktur dan mahasiswa.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 7 113

Anda mungkin juga menyukai