3. Periode 1959-1966
Periode ini merupakan masa berkhirnya Demokrasi Liberal, digantikan oleh sistem
demokrasi terpimpin yang terpusat pada kekuasaan Presiden Soekarno. Demokrasi
terpimpin (Guided Democrasy) tidak lain sebagai bentuk penolakan Presiden Soekarno
terhadap sistem demokrasi Parlementer yang dinilai sebagai produk Barat. Menurut
Soekarno, sistem demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia
yang tela memiliki tradisinya sendiri dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Melalui sistem demokrasi Terpimpin kekuasaan terpusat di tangan presiden.
Presiden tidak dapat dikontrol oleh Parlemen, sebaliknya Parlemen dikendalikan oleh
presiden. Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolute, bahkan dinobatkan sebagai
Presiden RI seumur hidup. Akibat langsung dari model pemerintahan yang sangat
individual ini adalah pemasungan hak-hak asasi warga Negara. Semua pandangan politik
masyarakat diarahkan harus sejalan dengan kebijakan pemerintah yang otoriter. Dalam
dunia seni, misalnya atas nama revolusi pemerintahan Presiden Soekarno menjadikan
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekral) yang berafiliasi kepada PKI sebagai satu-satunya
lembaga seni yang diakui. Sebaliknya, lembaga selain Lekra dianggap anti pemerintah
atau kontra-revolusi.
4. Periode 1966-1998
Pada mulanya, lahirnya orde baru menjanjikan harapan baru bagi penegakan HAM di
Indonesia. Berbagai seminar tentang HAM dilakukan orde baru. Namun pada
kenyataannya, orde baru telah menorehkan sejarah hitam pelanggaran HAM di
Indonesia. Janji-janji Orde Baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami
kemunduran amat pesat sejak awal 1970-an hingga 1980-an. Setelah mendapatkan
mandat konstitusional dari MPRS, pemerintah Orde Baru mulai menunjukkan watak
aslinya sebagi kekuasaan anti-HAM yang dianggapnya sebagai produk Barat. Sikap anti-
HAM Orde Baru sebenarnya tidak berbeda dengan argument yang pernah di kemukakan
Presiden Soekarno ketika menolak prinsip dan praktek demokrasi Parlementer, yakni
sikap apologis dengan cara mempertentangkan demokrasi dan prinsip HAM yang lahir di
Barat dengan budaya lokal Indonesia. Sama halnya dengan orde lama, orde baru
memandang HAM dan Demokrasi sebagai produk Barat yang individualistic dan
bertentangan dengan prinsip gotong-royong dan kekeluargaan yang dianut oleh bangsa
Indonesia
5. Periode pasca Orde Baru
Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia. Lengsernya
tampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus menandai berakhirnya rezim militer di Indonesia
dan datangnya era baru Demokrasi dan HAM, setelah tiga puluh tahun lebih terpasung di
bawah rezim otoriter. Pada tahun ini presiden Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie yang
kala itu menjabat sebagai Wakil presiden RI. Menyusul berakhirnya pemerintahan Orde
Baru, pengkajian terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip HAM mulai dilakukan kelompok reformis dengan membuat dengan
membuat perundang-undangan baru yang menjunjung prinsip-prinsip HAM dalam
kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan. Tak kalah penting dari perubahan
peundangan, pemerintah era reformasi inin juga melakukan ratifikasi terhadap insrumen
HAM International untuk mendukung pelaksanaan HAM di Indonesia.
Pada masa pemerintah Habibie misalnya, perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan
HAM mengalami perkambangan yang sangat signifikan. Lahirnya tap MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu indikator keseriusan pemerintah
era reformasi akan penegakan HAM. Sejumlah konvensi HAM juga diratifikasi
diantaranya: konvensi HAM tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak
berorganisasi; konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan kejam; konvensi
penghapusan segala bentuk dikriminasi rasial; konvensi tentang penghapusan kerja
paksa; konvensi tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; serta konvensi
tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.
Kesungguhan pemerintah B.J. Habibie dalam perbaikan pelaksanaan HAM di
tunjukkan dengan pencanangan program HAM yang dikenal dengan istilah Rencana Aksi
Nasional HAM, pada agustus 1998. Agenda HAM ini bersandarkan pada empat pilar,
yaitu: (1) Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM; (2) Diseminasi
informasi dan pendidikan bidang HAM; (3) Penentuan skala prioritas pelaksana HAM;
(4) Pelaksanaan isi perangkat Internasinal di bidang HAM telah diratifikasi melalui
perundang-undangan nasional.
Komitmen pemerintah terhadap penegakkan HAM juga ditunjukkan
denganpengesahan UU tentang HAM, pembentukan Kantor Menteri Negara Urusan
HAM yang kemudian digabung dengan Departemen HUUM dan Perundang-undangan
menjadi Departemen Kehakiman dan HAM, penambahan pasal-pasal khusus tentang
HAM dalam Amandemen UUD 1945, penerbitan inpres tentang pengarusutamaan gender
dalam pembangunan nasional, pengesahan UU tentang pengadilan HAM. Pada tahun
2001, Indonesia juga menandatangani du Protokol Hak Anak, yakni protocol yang terkait
dengan larangan perdagangan, prostitusi dan pornografi anak, serta protocol yang terkait
dengan keterlibatan anak dalam konflik bersenjata. Menyusul kemudian, pada tahun
yang sama pemerintah membuat beberapa pengesahan UU diantaranya tentang
perlindungan anak, pengesahan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan
penerbitan keppres tentang Rencan Aksi Nasional (RAN) HAM Indonesia tahun 2004-
2009.
REFERENSI
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan kewargaan Demokrasi Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2008, hlm.151