Nurul
Nurul
REFERAT
Pembimbing:
dr. Hascaryo Nugroho, Sp.PD
Disusun Oleh:
Nurul Dwi Lestari
1620221174
REFERAT
Disusun Oleh:
Nurul Dwi Lestari
Puji Syukur Kehadirat Tuhan YME karena atas rahmat dan ridhoNya penulis
dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Perdarahan Saluran Cerna Atas”.
Makalah ini dibuat dengan maksud dan tujuan untuk memenuhi penilaian pada
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah
Ambarawa. Terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Hascaryo Nugroho, Sp. PD,
selaku dokter pembimbing yang banyak memberikan masukan dan saran. Serta teman-
teman sejawat yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan berikutnya. Akhir
kata, semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi penulis
maupun pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
I.2 Tujuan
Yang termasuk dalam saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas
(proksimal) ligamentum Treitz, dimulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster dan
esofagus. (Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Cipto
Mangunkusumo, 2007)
Panjang duodenum adalah sekitar 25 cm, mulai dari pilorus hingga jejunum.
Pemisahan duodenum dan jejunum ditandai oleh adanya ligamentum Treitz, yaitu suatu
pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus dekstra diafragma dekat hiatus esofagus
dan berinsersio pada perbatasan antara duodenum dan jejunum. Ligamentum ini
berperan sebagai ligamentum suspensorium (penggantung). Sekitar duaperlima dari sisa
usus halus adalah jejunum, dan tiga perlima bagian akhirnya adalah ileum. Jejunum
terletak di regio mid-abdominalis sinistra, sedangkan ileum cenderung terletak di regio
abdominalis dekstra sebelah bawah. Masuknya kimus ke dalam usus halus diatur oleh
sfingter pilorus, sedangkan pengeluaran zat yang telah tercerna ke dalam usus besar
diatur oleh katup ileosekal.
Gambar 2. Bentuk anatomi dari duodenum dan jejunum
Dinding usus halus terdiri atas 4 lapisan dasar. Yang paling luar (lapisan
serosa) dibentuk oleh peritoneum. Peritoneum mempunyai lapisan viseral dan parietal,
dan ruang yang terletak di antara lapisan – lapisan ini disebut sebagai rongga
peritoneum. Peritoneum melipat dan meliputi hampir seluruh visera abdomen.
Otot yang melapisi usus halus mempunyai dua lapisan: lapisan luar terdiri atas
serabut – serabut longitudinal yang lebih tipis, dan lapisan dalam terdiri atas serabut –
serabut sirkular. Penataan yang demikian membantu gerakan peristaltik usus halus.
Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat, sedangkan lapisan mukosa bagian dalam
tebal serta banyak mengandung pembuluh darah dan kelenjar.\
Usus halus dicirikan dengan adanya tiga struktur yang sangat menambah luas
permukaan dan membantu fungsi utamanya yaitu absorpsi. Lapisan mukosa dan
submukosa membentuk lipatan – lipatan sirkular yang disebut sebgai valvula koniventes
(lipatan Kerckring) yang menonjol ke dalam lumen sekitar 3 sampai 10 mm. Adanya
lipatan – lipatan ini menyebabkan gambaran usus halus menyerupai bulu pada
pemeriksaan radiografi. Villi merupakan tonjolan – tonjolan mukosa seperti jari – jari
yang jumlahnya sekitar empat atau lima juta dan terdapat di sepanjang usus halus. Villi
panjangnya 0,5 sampai 1,5 mm dan menyebabkan gambaran mukosa menjadi
menyerupai beludru. Mikrovilli merupakan tonjolan menyerupai jari – jari yang
panjangnya sekitar 1 m pada permukaan luar setiap vilus. Mikrovili terlihat dengan
pemeriksaan mikroskop elektron dan tampak sebagai brush border pada pemeriksaan
mikroskop cahaya. Bila lapisan permukaan usus halus ini rata, maka luas permukaannya
hanya sekitar 2.000 cm2. Valvula koniventes, vili, dan mikrovili sama – sama
menambah luas permukaan absorpsi hingga 1,6 juta cm2, yaitu meningkat sekitar seribu
kali lipat. Penyakit – penyakit usus halus (mis.,sprue) yang menyebabkan terjadinya
atrofi dan pendataran vili, sangat mengurangi luas permukaan absorpsi dan
mengakibatkan terjadinya malabsorpsi. (Lindseth, 2002)
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di
bawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung bentuk J, dan
bila penuh akan berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal lambung adalah 1
sampai 2 L. Secara anatomis, lambung terbagi atas fundus, korpus, dan antrum
pilorikum atau pilorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor
dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfingter pada kedua ujung
lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan yang terjadi. Sfingter kardia atau
sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk ke dalam lambung dan
mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Daerah lambung tempat
pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Di saat sfingter
pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika
berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik isi usus ke dalam
lambung.
Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar
merupakan bagian dari peritoneum viseralis. Dua lapisan peritoneum viseralis menyatu
pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus memanjang ke hati,
membentuk omentum minus. Lipatan peritoneum yang keluar dari satu organ menuju ke
organ lain disebut sebagai ligamentum. Jadi, omentum minus (disebut juga ligamentum
hepatogastrikum atau hepatoduodenalis) menyokong lambung sepanjang kurvatura
minor sampai ke hati. Pada kurvatura mayor, peritoneum terus ke bawah membentuk
omentum majus, yang menutupi usus halus dari depan seperti sebuah apron besar.
Sakus omentum minus adalah tempat yang sering terjadi penimbunan cairan
(pseudokista pankreatikum) akibat penyulit pankreatitis akut.
Tidak seperti daerah saluran cernal lain, bagian muskularis tersusun atas tiga
lapis dan bukan dua lapis otot polos: lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan sirkular
di bagian tengah, dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut otot yang unik ini
memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan untuk memecah
makanan menjadi partikel – partikel yang kecil, mengaduk dan mencampur makanan
tersebut dengan cairan lambung, dan mendorongnya ke arah duodenum.
Submukosa tersusun atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan
lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak
dengan gerakan peristaltik. Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf, pembuluh
darah, dan saluran limfe.
Mukosa, lapisan dalam lambung, tersusun atas lipatan – lipatan longitudinal
yang disebut rugae, yang memungkinkan terjadinya distensi lambung sewaktu diisi
makanan. Terdapat beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan menurut
bagian anatomi lambung yang ditempatinya. Kelenjar kardia berada di dekat orifisium
kardia dan mensekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastrik terletak di fundus dan
pada hampir seluruh korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki tiga tipe utama sel. Sel
– sel zimogenik (chief cell) mensekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi
pepsin dalam suasana asam. Sel – sel parietal mensekresikan asam hidroklorida (HCl)
dan faktor intrinsik. Faktor intrinsik diperlukan untuk absorpsi vitamin B12 di dalam
usus halus. Kekurangan faktor intrinsik akan mengakibatkan terjadinya anemia
pernisiosa. Sel – sel mukus (leher) ditemukan di leher kelenjar fundus dan
mensekresikan mukus. Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada daerah
pilorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam
hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresi dalam lambung adalah
enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion natrium, kalium, dan klorida.
Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf
parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui
saraf vagus. Trunkus vagus menpercabangkan ramus gastrika, pilorika, hepatika, dan
seliaka. Pengetahuan anatomi ini sangat penting, karena vagotomi selektif merupakan
tindakan pembedahan primer yang penting dalam mengobati ulkus duodenum.
Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaka.
Serabut – serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan,
kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium abdomen. Serabut
– serabut eferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi lambung. Pleksus saraf
mienterikus (Auerbach) dan submukosa (Meissner) membentuk persarafan intrinsik
dinding lambung dan mengkoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung.
Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan limpa)
terutama berasal dari arteri seliaka atau trunkus seliakus, yang mempercabangkan
cabang – cabang yang memperdarahi kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri
yang penting dalam klinis adalah arteria gastroduodenalis dan arteria
pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan di sepanjang bulbus posterior
duodenum. Ulkus pada dinding posterior duodenum dapat mengerosi arteri ini dan
menyebabkan terjadinya perdarahan. Darah vena dari lambung dan duodenum, serta
yang berasal dari pankreas, limpa, dan bagian lain saluran gastrointestinal, berjalan ke
hati melalui vena porta. (Lindseth, 2002)
II.1.3 Esofagus
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi dan
berasal pada area proksimal saluran pencernaan dari Ligamentum Treitz. Yang
termasuk organ – organ saluran cerna di proksimal Ligamentum Trieitz adalah esofagus,
lambung (gaster), duodenum dan sepertiga proksimal dari jejunum. Kejadian
perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan yang paling sering terjadi dan sering
ditemukan dibandingkan dengan kejadian perdarahan saluran cerna bagian bawah.
Lebih dari 50% kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas dikarenakan oleh
penyakit erosif dan ulseratif dari gaster dan/atau duodenum. (Shuhart, Kowdley, and
Neighbor, 2002)
II.2.2 Epidemiologi
II.2.3 Etiopatologi
Penyakit tukak peptik yaitu tukak lambung dan tukak duodenum merupakan
penyakit yang masih banyak ditemukan dalam klinik terutama dalam kelompok umur di
atas umur 45 tahun. Perdarahan yang terjadi pada saluran cerna bagian atas akibat tukak
peptik atau ulkus peptikum merupakan penyulit yang paling sering ditemukan,
sedikitnya ditemukan pada 15 hingga 25% kasus selama perjalanan penyakit. Walaupun
ulkus di setiap tempat dapat mengalami perdarahan, namun tempat perdarahan yang
paling sering adalah dinding posterior bulbus duodenum, karena di tempat ini dapat
terjadi erosi arteri pankreatikoduodenalis atau arteria gastroduodenalis. (Akil, 2007;
Lindseth, 2002)
II.7 Keganasan
Perdarahan saluran cerna bagian atas akibat dari keganasan pada esofagus
menjadi keluhan yang cukup sering ditemukan pada pasien dimana hematemesis bisa
terjadi dengan atau tanpa disertai melena. Akibat dari perdarahan ini dapat
menimbulkan anemia defisiensi besi pada pasien. (Abdurachman, 2007)
Gambar 16. Salah satu bentuk nidasi keganasan pada esophagus
Salah satu keluhan yang diutamakan oleh pasien dengan keganasan pada gaster
adalah hematemesis (7%) sehingga menjadi faktor terjadinya perdarahan saluran cerna
bagian atas. Hal ini tidak lepas dari bentuk patologi dari keganasan gaster serta lokasi
tumbuhnya keganasan tersebut dalam lumen gaster.
Keganasan atau karsinoma gaster yang paling sering ditemukan adalah
adenokarsinoma (90 – 99%), sedangkan jenis yang lain berupa limfoma,
leiomiosarkoma, adenoxanthoma, dan lainnya cukup jarang ditemukan. Kebanyakan
lokasi karsinoma terletak pada daerah antropilorik dengan kurvatura minor lebih sering
daripada kurvatura mayor.
Gambar 17. Adenokarsinoma ulseratif pada mukosa gaster
Karsinoma gaster berasal dari perubahan epitel pada membran mukosa gaster,
yang berkembang pada bagian bawah gaster, sedangkan pada atrofi gaster didapatkan
bagian atas gaster dan secara multisenter. Bentuk – bentuk dari karsinoma gaster, antara
lain:
1. Seperempatnya berasal dari propia yang berbentuk fungating dan tumbuh ke
lumen sebagai massa.
2. Seperempatnya berbentuk tumor yang berulserasi.
3. Massa yang tumbuh melalui dinding menginvasi lapisan otot.
4. Penyebarannya melalui dinding yang dicemari penyebaran pada permukaan
(8%).
5. Berbentuk linitisplastika (10 – 15%). (Julius, 2007)
Gejala dan tanda klinis perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering
ditemukan pada pasien adalah:
1. Anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang telah berlangsung
lama.
2. Hematemesis dan atau melena yang disertai atau tanpa anemia, dengan atau
tanpa gangguan hemodinamik, derajat hipovolemi menentukan tingkat
kegawatan pasien. (Adi, 2007)
Adapun manifestasi klinis yang ditemukan sebagai ciri khas dari perdarahan
saluran cerna bagian atas terutama dapat dibedakan dari perdarahan saluran cerna
bagian bawah, antara lain: hematemesis, melena, emesis yang berwarna seperti kopi,
nyeri pada epigastrium, dan reaksi vasovagal seperti mual, muntah dan rasa enek.
(Sabatine, 2011)
Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran cerna adalah menentukan
beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik. Pemeriksaannya
meliputi:
1. Tekanan darah dan nadi dalam posisi berbaring.
2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi.
3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer berupa akral teraba dingin.
4. Kelayakan nafas.
5. Tingkat kesadaran.
6. Produksi urin.
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskuler akan
mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda – tanda sebagai berikut:
1. Hipotensi (< 90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi lebih
dari 100x/menit.
2. Tekanan diastolik ortostatik turun lebih dari 10 mmHg atau sistolik turun lebih
dari 20 mmHg.
3. Frekuensi nadi ortostatik meningkat 15x/menit.
4. Akral dingin.
5. Kesadaran menurun.
6. Anuria atau oliguria (produksi urin kurang dari 30 ml/jam).
Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai dengan kondisi
hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan:
1. Hematemesis.
2. Hematoskezia.
3. Darah segara pada aspirasi pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak segera
jernih.
4. Hipotensi persisten.
5. Dalam waktu 24 jam telah menghabiskan transfusi darah melebihi 800 – 1000
ml. (Adi, 2007)
II.2.7 Resusitasi Terutama Untuk Stabilisasi Hemodinamik Pada Perdarahan
Saluran Cerna
Cara praktis dalam membedakan perdarahan saluran cerna bagian atas atau
saluran cerna bagian bawah terdapat pada tabel berikut ini.
Dari 1673 kasus perdarahan saluran cerna bagian atas di SMF Penyakit Dalam
RSU dr.Sutomo Surabaya, 76.9% disebabkan oleh pecahnya varises esofagus, 19.2%
oleh gastritis erosif, 1.0% oleh tukak peptik dan 0.6% oleh kanker lambung, dan 2.6%
oleh karena sebab – sebab yang lain. Laporan dari RS pemerintah di Jakarta, Bandung,
dan Yogyakarta urutan 3 penyebab terbanyak perdarahan saluran cerna bagian atas
sama dengan di RSU dr.Sutomo Surabaya. Sedangkan laporan dari RS pemerintah di
Ujung Pandang menyebutkan tukak peptik menempati urutan pertama penyebab
perdarahan saluran cerna bagian atas. Laporan kasus di rumah sakit swasta, yakni RS
Darmo Surabaya, perdarahan karena tukak peptik sebanyak 51.2%, gastritis erosif
sebanyak 11.7%, varises esofagus sebanyak 10.9%, keganasan sebanyak 9.8%,
esofagitis 5.3%, sindrom Mallory-Weiss sebanyak 1.4%, idiopatik sebanyak 7% dan
penyebab – penyebab lainnya sebanyak 2.7%. Di negara barat, tukak peptik berada di
urutan pertama sebagai penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas dengan frekuensi
sekitar 50%. Walaupun pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas telah banyak
berkembang namun mortalitasnya relatif tidak berubah, masih berkisar 8 – 10%. Hal ini
dikarenakan bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut, dan akibat
komorbiditas yang menyertai.
Sarana diagnostik yang bisa digunakan pada kasus perdarahan saluran cerna
adalah endoskopi gastrointestinal, radiografi dengan barium, radionuklid, dan
angiografi. Pada semua pasien dengan tanda – tanda perdarahan saluran cerna bagian
atas atau yang asal perdarahannya masih meragukan, maka pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas merupakan prosedur pilihan. Dengan pemeriksaan ini
sebagian besar kasus diagnosis penyebab perdarahan bisa ditegakkan. Selain itu dengan
endoskopi bisa pula dilakukan upaya terapeutik. Bila perdarahan masih tetap berlanjut
atau asal perdarahan sulit diidentifikasi perlu dipertimbangkan pemeriksaan dengan
radionuklid atau angiografi yang sekaligus bisa digunakan untuk menghentikan
perdarahan. Adapun hasil tindakan endoskopi atau angiografi sangat tergantung tingkat
keahlian, keterampilan, dan pengalaman operator pelaksana.
Tujuan pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal
perdarahan, juga untuk menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat klasifikasi
perdarahan tukak peptik atas dasar temuan endoskopi yang bermanfaat untuk
menentukan tindakan selanjutnya. (Adi, 2007)
Salah satu usaha dalam menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan
adalah bilas lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur ini
diharapkan mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun
demikian manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti. Bilas lambung ini
sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskopi dan dapat dipakai untuk
membuat perkiraan kasar jumlah perdarahan. Berdasar percobaan hewan, bilas lambung
dengan air es kurang menguntungkan, waktu perdarahan menjadi memanjang, perfusi
dinding lambung menurun, dan bisa timbul ulserasi pada mukosa lambung.
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami
perdarahan saluran cerna bagian atas diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberian
tersebut tidak merugikan dan relatif murah.
Vasopresin dapat menghentikan perdarahan saluran cerna bagian atas lewat
efek vasokonstriksi pembuluh darah splanknikus, menyebabkan aliran darah dan
tekanan vena porta menurun. Digunakan di klinik untuk perdarahan akut varises
esofagus sejak tahun 1953. Pernah dicoba pada terapi perdarahan nonvarises, namun
berhentinya perdarahan tidak berbeda dengan plasebo. Terdapat dua bentuk sediaan,
yakni pitresin yang mengandung vasopressin murni dan preparat pituitary gland yang
mengandung vasopressin dan oxytocin. Pemberian vasopressin dilakukan dengan
mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%, diberikan 0.5 –
1 mg/menit/iv selama 20 – 60 menit dan dapat diulang tiap 3 – 6 jam; atau setelah
pemberian pertama dilanjutkan per infus 0.1 – 0.5 U/menit. Vasopressin dapat
menimbulkan efek samping serius berupa insufisiensi koroner mendadak, oleh karena
itu pemberiannya disarankan bersamaan dengan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin
intravena dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan sampai
maksimal 400 mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik di atas 90
mmHg.
Somatostatin dan analognya (ocreotide) diketahui dapat menurunkan aliran
darah splanknikus, khasiatnya lebih selektif dibanding vasopressin. Penggunaan di
klinik pada perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar tahun 1978. Somatostatin
dapat menghentikan perdarahan akut varises esofagus pada 70 – 80% kasus, dan dapat
pula digunakan pada perdarahan nonvarises. Dosis pemberian somatostatin, diawali
dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 12 – 24 jam atau
sampai perdarahan berhenti; ocreotide dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per infus 25
mcg/jam selama 8 – 24 jam atau sampai perdarahan berhenti.
Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk
mencegah perdarahan ulang saluran cerna bagian atas karena tukak peptik adalah
inhibitor pompa proton dosis tinggi. Diawali bolus omeprazol 80 mg/iv kemudian
dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada kelompok
plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazol hanya 4.2%. Suntikan omeprazol yang
beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa digunakan per infus
adalah persediaan esomeprazol dan pantoprazol dengan dosis sama seperti omeprazol.
Pada perdarahan saluran cerna bagian atas ini, obat – obatan seperti antasida, sukralfat,
dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan untuk tujuan penyembuhan lesi
mukosa penyebab perdarahan. Antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan
ulang saluran cerna bagian atas dikarenakan tukak peptik kurang bermanfaat.
A B
Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak
dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:
1. Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe).
2. Noncontact thermal (laser).
3. Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol, cyanoacrylate,
atau pemakaian klip).
Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila
dilakukan oleh ahli endoskopi yang terampil dan berpengalaman. Endoskopi terapeutik
ini dapat diterapkan pada 90% kasus perdarahan saluran cerna bagian atas, sedangkan
10% sisanya tidak dapat dikerjakan karena alasan teknis seperti darah terlalu banyak
sehingga pengamatan terhalang atau letak lesi tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80%
perdarahan tukak peptik dapat berhenti spontan, namun pada kasus perdarahan yang
berasal dari arterial yang bisa berhenti spontan hanya 30%. Terapi endoskopi yang
relatif mudah dan tanpa banyak peralatan pendukung ialah penyuntikan submukosa
sekitar titik perdarahan menggunakan adrenalin 1 : 10.000 sebanyak 0,5 – 1 ml tiap kali
suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak melebihi 1 ml.
Penyuntikan bahan sklerosan seperti alkohol absolut atau polidokanol umumnya tidak
dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak dan perforasi akibat nekrosis jaringan di
lokasi penyuntikan. Keberhasilan terapi endoskopi dalam menghentikan perdarahan bisa
mencapai di atas 95% dan tanpa terapi tambahan lainnya perdarahan ulang frekuensinya
sekitar 15 – 20%.
II.2.11.4 Pembedahan
III.2.11.4 Kesimpulan
Abdurachman, S.A. “Tumor Esofagus”. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 327.
Adi, Pangestu. “Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas”. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 289 – 292.
Akil, H.A.M. “Tukak Duodenum”. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV.
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 345, 347.
Biecker, Erwin, Michael Schepke, Tilman Sauerbach. “The Role of Endoscopy in Portal
Hypertension”. Journal of Digestive Diseases – Clinical Reviews, Vol.23, No.1.
Department of Internal Medicine I, University Hospital of Bonn, Bonn, Germany.
2005.
Julius. “Tumor Gaster”. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta. 2007. Hal: 350.
Mailliard, Mark E., Michael F. Sorrell. “Alcoholic Liver Disease”. Harrison’s Principles
of Internal Medicine. Volume II. 16thEdition. McGraw-Hill Medical Publishing
Division, USA. 2005. p:1865.
Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP. Nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo. Jakarta: 2007
Shuhart, Margaret, M.D., Kris Kowdley, M.D., dan Bill Neighbor, M.D.,
“Gastrointestinal Bleeding”. Medline Article, Vol.41,
http://www.uwgi.org/guidelines/ch_07/ch07txt.htm (diunduh pada tanggal: 27
Oktober 2011)
Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. “Gastritis”. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Cetakan I. EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.2007. Hal: 142, 146.
Tarigan, Pengarapen. “Tukak Gaster”. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 341.
Weiss S, Mallory GK. “Lesions of the cardiac orifice of the stomach produced by
vomiting”. Journal of the American Medical Association,1932;98:1