Anda di halaman 1dari 42

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

REFERAT

“Perdarahan Saluran Cerna Atas”

Pembimbing:
dr. Hascaryo Nugroho, Sp.PD

Disusun Oleh:
Nurul Dwi Lestari
1620221174

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
PERIODE 21 MEI – 4 AGUSTUS 2018
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

“Perdarahan Saluran Cerna Atas”

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Departemen


Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh:
Nurul Dwi Lestari

Telah Disetujui Oleh Pembimbing


Tanggal Juni 2018

Pembimbing : dr. Hascaryo Nugroho, Sp. PD


KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat Tuhan YME karena atas rahmat dan ridhoNya penulis
dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Perdarahan Saluran Cerna Atas”.
Makalah ini dibuat dengan maksud dan tujuan untuk memenuhi penilaian pada
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah
Ambarawa. Terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Hascaryo Nugroho, Sp. PD,
selaku dokter pembimbing yang banyak memberikan masukan dan saran. Serta teman-
teman sejawat yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan berikutnya. Akhir
kata, semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi penulis
maupun pembaca.

Ambarawa, Juni 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan saluran


makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Untuk keperluan klinik dibedakan
perdarahan varises esofagus dan non-varises, karena antar keduanya terdapat perbedaan
dalam pengolaan dan prognosis. Manifestasi klinik perdarahan saluran cerna atas bisa
bermacam-macam tergantung lama, kecepatan, dan banyak sedikitnya darah yang
hilang. (Adi, 2007)
Penyebab tersering perdarahan saluran cerna atas yaitu pecahnya varises
esofagus, gastritis erosif, tukak peptik, gastropati kongestif, Syndorm Mallory-Weiss,
dan keganasan. (Adi, 2007)
Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti pengelolaan
pasien perdarahan pada umumnya, yaitu pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan
terapi. Tujuan utama penatalaksanaan yaitu untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamik, menghentikan perdarahan dan mencegah perdarahan ulang. (Adi, 2007)

I.2 Tujuan

Penulisan referat berjudul “Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas” ini


bertujuan untuk menjelaskan definisi, etiopatologi, gejala dan tanda klinis, penegakan
diagnosis, serta penatalaksanaan yang tepat, cepat dan akurat mengenai “Perdarahan
Saluran Cerna Bagian Atas” sehingga mendapatkan prognosis yang baik dan
keselamatan pasien terjamin. Diharapkan dalam penulisan referat ini dapat memberikan
informasi yang bermanfaat bagi pembaca terutama yang memiliki interaksi secara
langsung dalam penanganan terhadap pasien dengan “Perdarahan Saluran Cerna Bagian
Atas” agar bisa mendapatkan penanganan yang baik dan tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Saluran Cerna Atas

Yang termasuk dalam saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas
(proksimal) ligamentum Treitz, dimulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster dan
esofagus. (Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Cipto
Mangunkusumo, 2007)

Gambar 1. Sketsa saluran cerna bagian atas.

II.1.1 Duodenum dan Jejenum

Panjang duodenum adalah sekitar 25 cm, mulai dari pilorus hingga jejunum.
Pemisahan duodenum dan jejunum ditandai oleh adanya ligamentum Treitz, yaitu suatu
pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus dekstra diafragma dekat hiatus esofagus
dan berinsersio pada perbatasan antara duodenum dan jejunum. Ligamentum ini
berperan sebagai ligamentum suspensorium (penggantung). Sekitar duaperlima dari sisa
usus halus adalah jejunum, dan tiga perlima bagian akhirnya adalah ileum. Jejunum
terletak di regio mid-abdominalis sinistra, sedangkan ileum cenderung terletak di regio
abdominalis dekstra sebelah bawah. Masuknya kimus ke dalam usus halus diatur oleh
sfingter pilorus, sedangkan pengeluaran zat yang telah tercerna ke dalam usus besar
diatur oleh katup ileosekal.
Gambar 2. Bentuk anatomi dari duodenum dan jejunum

Dinding usus halus terdiri atas 4 lapisan dasar. Yang paling luar (lapisan
serosa) dibentuk oleh peritoneum. Peritoneum mempunyai lapisan viseral dan parietal,
dan ruang yang terletak di antara lapisan – lapisan ini disebut sebagai rongga
peritoneum. Peritoneum melipat dan meliputi hampir seluruh visera abdomen.
Otot yang melapisi usus halus mempunyai dua lapisan: lapisan luar terdiri atas
serabut – serabut longitudinal yang lebih tipis, dan lapisan dalam terdiri atas serabut –
serabut sirkular. Penataan yang demikian membantu gerakan peristaltik usus halus.
Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat, sedangkan lapisan mukosa bagian dalam
tebal serta banyak mengandung pembuluh darah dan kelenjar.\
Usus halus dicirikan dengan adanya tiga struktur yang sangat menambah luas
permukaan dan membantu fungsi utamanya yaitu absorpsi. Lapisan mukosa dan
submukosa membentuk lipatan – lipatan sirkular yang disebut sebgai valvula koniventes
(lipatan Kerckring) yang menonjol ke dalam lumen sekitar 3 sampai 10 mm. Adanya
lipatan – lipatan ini menyebabkan gambaran usus halus menyerupai bulu pada
pemeriksaan radiografi. Villi merupakan tonjolan – tonjolan mukosa seperti jari – jari
yang jumlahnya sekitar empat atau lima juta dan terdapat di sepanjang usus halus. Villi
panjangnya 0,5 sampai 1,5 mm dan menyebabkan gambaran mukosa menjadi
menyerupai beludru. Mikrovilli merupakan tonjolan menyerupai jari – jari yang
panjangnya sekitar 1 m pada permukaan luar setiap vilus. Mikrovili terlihat dengan
pemeriksaan mikroskop elektron dan tampak sebagai brush border pada pemeriksaan
mikroskop cahaya. Bila lapisan permukaan usus halus ini rata, maka luas permukaannya
hanya sekitar 2.000 cm2. Valvula koniventes, vili, dan mikrovili sama – sama
menambah luas permukaan absorpsi hingga 1,6 juta cm2, yaitu meningkat sekitar seribu
kali lipat. Penyakit – penyakit usus halus (mis.,sprue) yang menyebabkan terjadinya
atrofi dan pendataran vili, sangat mengurangi luas permukaan absorpsi dan
mengakibatkan terjadinya malabsorpsi. (Lindseth, 2002)

II.1.2 Lambung (Gaster)

Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di
bawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung bentuk J, dan
bila penuh akan berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal lambung adalah 1
sampai 2 L. Secara anatomis, lambung terbagi atas fundus, korpus, dan antrum
pilorikum atau pilorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor
dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfingter pada kedua ujung
lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan yang terjadi. Sfingter kardia atau
sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk ke dalam lambung dan
mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali. Daerah lambung tempat
pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Di saat sfingter
pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika
berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik isi usus ke dalam
lambung.

Gambar 3. Anatomi lambung (gaster)


Sfingter pilorus memiliki arti klinis yang penting karena dapat mengalami
stenosis (penyempitan pilorus yang menyumbat) sebagai penyulit penyakit ulkus
peptikum. Abnormalitas sfingter pilorus dapat pula terjadi pada bayi. Stenosis pilorus
atau pilorospasme terjadi bila serabut otot di sekelilingnya mengalami hipertrofi atau
spasme sehingga sfingter gagal berelaksasi untuk mengalirkan makanan dari lambung
ke dalam duodenum. Bayi akan memuntahkan makanan tersebut dan tidak mencerna
atau menyerapnya. Keadaan ini mungkin dapat diperbaiki melalui operasi atau
pemberian obat adrenergik yang menyebabkan relaksasi serabut otot.

Gambar 4. Bentuk anatomi dari lambung (gaster)

Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar
merupakan bagian dari peritoneum viseralis. Dua lapisan peritoneum viseralis menyatu
pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus memanjang ke hati,
membentuk omentum minus. Lipatan peritoneum yang keluar dari satu organ menuju ke
organ lain disebut sebagai ligamentum. Jadi, omentum minus (disebut juga ligamentum
hepatogastrikum atau hepatoduodenalis) menyokong lambung sepanjang kurvatura
minor sampai ke hati. Pada kurvatura mayor, peritoneum terus ke bawah membentuk
omentum majus, yang menutupi usus halus dari depan seperti sebuah apron besar.
Sakus omentum minus adalah tempat yang sering terjadi penimbunan cairan
(pseudokista pankreatikum) akibat penyulit pankreatitis akut.
Tidak seperti daerah saluran cernal lain, bagian muskularis tersusun atas tiga
lapis dan bukan dua lapis otot polos: lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan sirkular
di bagian tengah, dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut otot yang unik ini
memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan untuk memecah
makanan menjadi partikel – partikel yang kecil, mengaduk dan mencampur makanan
tersebut dengan cairan lambung, dan mendorongnya ke arah duodenum.
Submukosa tersusun atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan
lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak
dengan gerakan peristaltik. Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf, pembuluh
darah, dan saluran limfe.
Mukosa, lapisan dalam lambung, tersusun atas lipatan – lipatan longitudinal
yang disebut rugae, yang memungkinkan terjadinya distensi lambung sewaktu diisi
makanan. Terdapat beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan menurut
bagian anatomi lambung yang ditempatinya. Kelenjar kardia berada di dekat orifisium
kardia dan mensekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastrik terletak di fundus dan
pada hampir seluruh korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki tiga tipe utama sel. Sel
– sel zimogenik (chief cell) mensekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi
pepsin dalam suasana asam. Sel – sel parietal mensekresikan asam hidroklorida (HCl)
dan faktor intrinsik. Faktor intrinsik diperlukan untuk absorpsi vitamin B12 di dalam
usus halus. Kekurangan faktor intrinsik akan mengakibatkan terjadinya anemia
pernisiosa. Sel – sel mukus (leher) ditemukan di leher kelenjar fundus dan
mensekresikan mukus. Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada daerah
pilorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam
hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresi dalam lambung adalah
enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion natrium, kalium, dan klorida.
Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf
parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui
saraf vagus. Trunkus vagus menpercabangkan ramus gastrika, pilorika, hepatika, dan
seliaka. Pengetahuan anatomi ini sangat penting, karena vagotomi selektif merupakan
tindakan pembedahan primer yang penting dalam mengobati ulkus duodenum.
Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaka.
Serabut – serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan,
kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium abdomen. Serabut
– serabut eferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi lambung. Pleksus saraf
mienterikus (Auerbach) dan submukosa (Meissner) membentuk persarafan intrinsik
dinding lambung dan mengkoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung.
Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan limpa)
terutama berasal dari arteri seliaka atau trunkus seliakus, yang mempercabangkan
cabang – cabang yang memperdarahi kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri
yang penting dalam klinis adalah arteria gastroduodenalis dan arteria
pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan di sepanjang bulbus posterior
duodenum. Ulkus pada dinding posterior duodenum dapat mengerosi arteri ini dan
menyebabkan terjadinya perdarahan. Darah vena dari lambung dan duodenum, serta
yang berasal dari pankreas, limpa, dan bagian lain saluran gastrointestinal, berjalan ke
hati melalui vena porta. (Lindseth, 2002)

II.1.3 Esofagus

Esofagus merupakan organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25 cm dan


berdiameter 2 cm, yang terbentang dari hipofaring hingga kardia lambung. Esofagus
terletak di posterior jantung dan trakea, di anterior vertebra, dan menembus hiatus
diafragma tepat di anterior aorta. Esofagus terutama berfungsi menghantarkan bahan
yang dimakan dari faring ke lambung.

Gambar 5. Bentuk anatomi dari esofagus


Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Otot krikofaringeus
membentuk sfingter esofagus bagian atas dan teridri atas serabut – serabut otot rangka.
Bagian esofagus ini secara normal berada dalam keadaan tonik atau kontraksi kecuali
pada waktu menelan. Sfingter esofagus bagian bawah, walaupun secara anatomis tidak
nyata, bertindak sebagai sfingter dan beperan sebagai sawar terhadap refluks isi
lambung ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal sfingter ini menutup, kecuali bila
makanan masuk ke dalam lambung atau waktu bertahak atau muntah.
Dinding esofagus seperti juga bagian lain saluran gastrointestinal, terdiri atas
empat lapisan: mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (lapisan luar). Lapisan
mukosa bagian dalam terbentuk dari epitel gepeng berlapis yang berlanjut ke faring di
ujung atas; epitel lapisan ini mengalami perubahan mendadak pada perbatasan esofagus
dalam lambung (garis – Z) dan menjadi epitel toraks selapis. Mukosa esofagus dalam
keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung yang sangat asam.
Lapisan submukosa mengandung sel – sel sekretori yang memproduksi mukus. Mukus
mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari cedera
akibat zat kimia. Lapisan otot lapisan luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam
tersusun sirkular. Otot yang terdapat di 5% bagian atas esofagus adalah otot rangka,
sedangkan otot di separuh bagian bawah adalah otot polos. Bagian di antaranya terdiri
dari campuran otot rangka dan otot polos. Berbeda dengan bagian saluran cerna lainnya,
tunika serosa (lapisan luar) esofagus tidak memiliki lapisan serosa ataupun selaput
peritoneum, melainkan lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar yang
menghubungkan esofagus dengan struktur – struktur yang berdekatan. Tidak adanya
serosa menyebabkan semakin cepatnya penyebaran sel – sel tumor (pada kasus kanker
esofagus) dan meningkatnya kemungkinan kebocoran setelah operasi.
Persarafan utama esofagus diinervasi oleh serabut – serabut simpatis dan
parasimpatis dari sistem saraf otonom. Serabut parasimpatis dibawa oleh nervus vagus,
yang dianggap sebagai saraf motorik esofagus. Fungsi serabut simpatis hingga saat ini
masih kurang diketahui.
Selain persarafan ekstrinsik tersebut, terdapat jala – jala serabut saraf
intramural intrinsik di antara lapisan otot sirkular dan longitudinal (pleksus Auerbach
atau mienterikus), dan tampaknya berperan dalam pengaturan peristaltik esofagus
normal. Jala – jala saraf intrinsik kedua (pleksus Meissner) terdapat di submukosa
saluran gastrointestinal, tetapi agak tersebar dalam esofagus.
Fungsi sistem saraf enterik tidak bergantung pada saraf – saraf ekstrinsik.
Stimulasi sistem simpatis dan parasimpatis dapat mengaktifkan atau menghambat fungsi
gastrointestinal. Ujung saraf bebas dan perivaskular juga ditemukan dalam submukosa
esofagus dan ganglia mienterikus. Ujung saraf ini dianggap berperan sebagai
mekanoreseptor, termoosmo, dan kemoreseptor dalam esofagus. Mekanoreseptor
menerima rangsangan mekanis seperti sentuhan, dan kemoreseptor menerima
rangsangan kimia dalam esofagus. Reseptor termo-osmo dapat dipengaruhi oleh suhu
tubuh, bau, dan perubahan tekanan osmotik.
Distribusi darah ke esofagus mengikuti pola segmental. Bagian atas disuplai
oleh cabang – cabang arteria tiroidea inferior dan subklavia. Bagian tengah disuplai oleh
cabang – cabang segmental aorta dan arteria bronkiales, sedangkan bagian
subdiafragmatika disuplai oleh arteria gastrika sinistra dan frenika inferior.
Aliran darah vena juga mengikuti pola segmental. Vena esofagus daerah leher
mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos, dan di bawah diafragma vena
esofagus masuk ke dalam vena gastrika sinistra. Hubungan antara vena porta dan vena
sistemik memungkinkan pintas dari hati pada kasus hipertensi porta. Aliran kolateral
melalui vena esofagus menyebabkan terbentuknya varises esofagus (vena varikosa
esofagus). Vena yang melebar ini dapat pecah, menyebabkan perdarahan yang bersifat
fatal. Komplikasi ini sering terjadi pada penderita sirosis hepatis. (Wilson dan Lindseth,
2002)
II.2 Perdarahan Saluran Cerna Atas
II.2.1 Definisi

Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi dan
berasal pada area proksimal saluran pencernaan dari Ligamentum Treitz. Yang
termasuk organ – organ saluran cerna di proksimal Ligamentum Trieitz adalah esofagus,
lambung (gaster), duodenum dan sepertiga proksimal dari jejunum. Kejadian
perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan yang paling sering terjadi dan sering
ditemukan dibandingkan dengan kejadian perdarahan saluran cerna bagian bawah.
Lebih dari 50% kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas dikarenakan oleh
penyakit erosif dan ulseratif dari gaster dan/atau duodenum. (Shuhart, Kowdley, and
Neighbor, 2002)

Gambar 6. Perdarahan masif saluran cerna bagian atas

II.2.2 Epidemiologi

Data epidemiologik dari Eropa menunjukkan bahwa insidensi tahunan kejadian


perdarahan saluran cerna bagian atas terdapat pada 48 dari 145 per 100.000 populasi di
tahun 1960-an dan 1970-an. Di tahun 1978 didapatkan estimasi total dari jumlah rawat
inap rumah sakit akibat perdarahan saluran cerna bagian atas di Amerika Serikat
sebanyak 150 per 100.000 populasi. Penelitian HMO tunggal terbaru tentang kesehatan
dasar pada suatu populasi di Amerika Serikat, ditemukan sebanyak 102 kasus rawat
inap akibat perdarahan saluran cerna bagian atas per 100.000 populasi di tahun 1995.
Pada data 1992 – 1999 dari National Hospital Discharge Survey ditemukan angka rawat
inap tahunan akibat perdarahan saluran cerna bagian atas didapatkan sebanyak 149 –
172 kasus per 100.000.
Disamping perkembangan pengobatan di bidang endoskopi, kejadian mortalitas
yang berhubungan dengan perdarahan saluran cerna bagian atas meningkat secara
signifikan dari semula 5% hingga sekarang telah mencapai 11%. Faktor – faktor yang
berhubungan dengan kejadian mortalitas akibat dari perdarahan saluran cerna bagian
atas telah diidentifikasi dalam penelitian prospektif. Dalam penelitian ini juga
dikutsertakan penyakit kelainan renal, hepar, neoplastik, penyakit sistem saraf pusat
atau paru, dan penyakit lain yang ditemukan dalam pemeriksaan fisik yang telah
dibuktikan melalui pemeriksaan cardiorespiratori atau hemodinamik, atau gagal fungsi
hati. Pasien dengan perdarahan aktif saat ditemukan pada waktu endoskopi, transfusi
darah diperlukan cukup banyak dan lebih dari 5 kantong darah, dan kebutuhan terhadap
pembedahan juga dapat meningkatkan kejadian mortalitas. Sebagai tambahan, pasien
yang membutuhkan pembedahan darurat memiliki tingkat kejadian mortalitas yang
cukup tinggi dibandingkan dengan pasien yang membutuhkan pembedahan elektif.
Pasien jenis lain yang memiliki tingkat kejadian mortalitas yang tinggi termasuk di
dalamnya pasien dengan perdarahan berulang setelah rawat inap dan pasien dengan
perdarahan saluran cerna bagian atas yang semakin parah setelah rawat inap karena
alasan – alasan yang lain. (Shuhart, Kowdley, and Neighbor, 2002).
Dari 1673 kasus perdarahan saluran cerna bagian atas di SMF Penyakit Dalam
RSU dr.Sutomo Surabaya, 76.9% disebabkan oleh pecahnya varises esofagus, 19.2%
oleh gastritis erosif, 1.0% oleh tukak peptik dan 0.6% oleh kanker lambung, dan 2.6%
oleh karena sebab – sebab yang lain. Laporan dari RS pemerintah di Jakarta, Bandung,
dan Yogyakarta urutan 3 penyebab terbanyak perdarahan saluran cerna bagian atas
sama dengan di RSU dr.Sutomo Surabaya. Sedangkan laporan dari RS pemerintah di
Ujung Pandang menyebutkan tukak peptik menempati urutan pertama penyebab
perdarahan saluran cerna bagian atas. Laporan kasus di rumah sakit swasta, yakni RS
Darmo Surabaya, perdarahan karena tukak peptik sebanyak 51.2%, gastritis erosif
sebanyak 11.7%, varises esofagus sebanyak 10.9%, keganasan sebanyak 9.8%,
esofagitis 5.3%, sindrom Mallory-Weiss sebanyak 1.4%, idiopatik sebanyak 7% dan
penyebab – penyebab lainnya sebanyak 2.7%. Di negara barat, tukak peptik berada di
urutan pertama sebagai penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas dengan frekuensi
sekitar 50%. Walaupun pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas telah banyak
berkembang namun mortalitasnya relatif tidak berubah, masih berkisar 8 – 10%. Hal ini
dikarenakan bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut, dan akibat
komorbiditas yang menyertai. (Adi, 2007)

II.2.3 Etiopatologi

Etiopatologi terjadinya perdarahan saluran cerna bagian atas menurut literatur


yang ditulis oleh Margaret Shuhart, M.D. , Kris Kowdley, M.D., and Bill Neighbor,
M.D., 2002, yaitu:
1. Erosi/ulkus duodenum.
2. Erosi/ulkus gaster.
3. Stress gastritis.
4. Sindrom Mallory-Weiss.
5. Esofagitis / ulkus esofagus.
6. Varises esofagus/gaster.
7. Hipertensi portal gastropati.
8. Neoplasma
a. Karsinoma gaster.
b. Karsinoma esofagus.
c. Tumor stroma.
9. Anomalitas Pembuluh Darah
a. Angiodisplasia/Ektasia.
b. Lesi dieulafoy.
c. Gastric antral vascular ectasia (GAVE).
d. Telagiectasia hemorragik herediter (Sindrom Osler-Webber-Rendu).
e. Malformasi arteriovenosa.
10. Erosi aortoduodenale atau fistula.
11. Hemobilia.
12. Hemosuccus pankreatikus.
13. Epistaksis di luar saluran cerna.
14. Factitious bleeding.
Menurut literatur dalam Oxford Handbook of Clinical Medicine, 2010,
penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yang paling sering ditemukan adalah:
1. Ulkus peptikum.
2. Sindrome Mallory-Weiss.
3. Varises esofagus.
4. Erosi gastritis.
5. Penggunaan obat berupa NSAID, aspirin, steroid, trombolitik, dan antikoagulan.
6. Esofagitis.
7. Duodenitis.
8. Keganasan.
9. Idiopatik.
Dan penyebab timbulnya perdarahan saluran cerna bagian atas yang jarang
ditemukan adalah:
1. Kelainan perdarahan.
2. Hipertensi portal gastropati.
3. Fistula aorto-enterikus.
4. Angiodisplasia.
5. Hemofilia.
6. Lesi dieulafoy.
7. Divertikulum Meckel.
8. Sindrome Peutz-Jegher.
9. Sindrome Osler-Weber-Rendu (Oxford Handbook of Clinical Medicine, 2010).
Dalam literatur yang ditulis oleh Pangestu Adi, 2007, penyebab timbulnya
perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering dilaporkan adalah varises esofagus,
gastritis erosif, tukak peptik, gastropati kongestif, sindrome Mallory-Weiss, dan
keganasan.

II.3 Varises Esofagus


Dalam ilmu gastroenterologi, varises esofagus adalah dilatasi berlebihan pada
vena – vena di lapisan submukosa pada bagian bawah esofagus. Terjadinya varises
esofagus dikarenakan sebagai konsekuensi dari hipertensi portal akibat sirosis hepatis
sehingga pasien dengan varises esofagus sering sekali mengalami perdarahan.
Penegakan diagnosis varises esofagus dilakukan dengan endoskopi. (Biecker, Schepke,
& Sauerbruch, 2005)
Varises esofagus merupakan penyebab perdarahan yang paling sering dan
paling berbahaya pada sirosis hepatis yang merupakan penyebab dari sepertiga angka
kematian keseluruhan. Penyebab lain perdarahan pada saluran cerna atas yang sering
ditemukan juga adalah adalah tukak lambung dan duodenum (pada sirosis, insidensi
gangguan ini meningkat), erosi lambung akut, dan kecenderungan perdarahan (akibat
masa protrombin yang memanjang dan trombositopenia).
Penderita datang dengan melena atau hematemesis. Tanda perdarahan kadang –
kadang adalah ensefalopati hepatik. Hipovolemia dan hipotensi dapat terjadi bergantung
pada jumlah dan kecepatan kehilangan darah.
Berbagai tindakan telah digunakan untuk segera mengatasi perdarahan.
Tamponade dengan alat seperti pipa Sengstaken-Blakemore (triple-lumen) dan
Minnesota (quadruple – lumen) dapat menghentikan perdarahan untuk sementara
waktu. Vena – vena dapat dilihat dengan memakai peralatan serat optik dan disuntik
dengan suatu larutan yang akan membentuk bekuan di dalam vena, sehingga akan
menghentikan perdarahan. Sebagian besar klinisi beranggapan bahwa cara ini hanya
berefek sementara dan tidak efektif untuk pengobatan jangka panjang. Vasopresin
(Pitressin) telah digunakan untuk mengatasi perdarahan. Obat ini menurunkan tekanan
vena porta dengan mengurangi aliran darah splangnikus, walaupun efeknya hanya
bersifat sementara. Kendati telah dilakukan tindakan darurat, sekitar 35% penderita
akan meninggal akibat gagal fungsi hati dan komplikasi.

Gambar 7. Varises pada esofagus dan gaster


Bila penderita pulih dari perdarahan (baik secara spontan atau setelah
pengobatan darurat), operasi pirau porta – kaval harus dipertimbangkan. Pembedahan
ini mengurangi tekanan porta (tekanan tinggi) dengan vena kava inferior (tekanan
rendah). Pirau merupakan terapi drastis un4uk komplikasi utama sirosis ini. Operasi ini
memperkecil kemungkinan perdarahan esofagus selanjutnya, tetapi menambah resiko
ensefalo hepatik. Harapan hidup penderita tidak bertambah karena masih ditentukan
oleh perkembangan penyakit hati.
Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu faktor penting yang
mempercepat terjadinya ensefalopati hepatik. Ensefalopati terjadi bila amonia dan zat –
zat toksik lain masuk dalam sirkulasi sistemik. Sumber amonia adalah pemecahan
protein oleh bakteri pada saluran cerna. Ensefalopati hepatik akan terjadi bila darah
tidak dikeluarkan melalui aspirasi lambung, pemberian pencahar dan enema, dan bila
pemecahan protein darah oleh bakteri tidak dicegah dengan pemberian neomisin atau
antibiotik sejenis. (Lindseth, 2002)

Gambar 8. Hasil gambaran gastroscopy pada varises esofagus yang disertai


dengan cherry-red spot

II.4 Gastritis Erosif

Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa


lambung yang dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal. Pada gastritis akan
didapatkan mukosa memerah, edema, dan ditutupi oleh mukus yang melekat serta
sering terjadi erosi kecil dan perdarahan. Derajat perdarahan yang ada sangat bervariasi.
Manifestasi klinis gastritis erosif ini dapat bervariasi dari keluhan abodmen yang tidak
jelas, seperti anoreksia, bersendawa, atau mual, sampai gejala yang lebih berat seperti
nyeri epigastrium, muntah, perdarahan, dan hematemesis. Pada beberapa kasus tertentu,
bila gejala – gejala tersebut menetap dan adanya resistensi terhadap pengobatan, maka
akan diperlukan tindakan diagnostik tambahan seperti endoskopi, biopsi mukosa, dan
analisis cairan lambung untuk memperjelas penegakan diagnosis. (Lindseth ,2002)
Terjadinya gastritis erosif dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya:
 Penggunaan obat anti – inflamasi non – steroid (OAINS) yang memiliki efek
perusakan mukosa yang bersifat lokal dan sistemik. Contoh OAINS yang dapat
menimbulkan gastritis erosif hingga menjadi ulkus ini adalah indometasin,
diklofenak, aspirin (terutama dosis tinggi), ibuprofen, naproksen, serta obat –
obat yang lain berupa sulfonamida, steroid, dan digitalis. Selain itu, asam
empedu, enzim pankreas, dan etanol juga diketahui dapat mengganggu sawar
mukosa lambung. Efek anti – inflamasi dan analgetiknya terutama didasarkan
melalui penghambatan siklo – oksigenase sehingga menghambat sintesis
prostaglandin (dari asam arakidonat). Salah satu efek OAINS yang tidak
diinginkan adalah obat ini menghambat sintesis prostaglandin secara sistemik,
termasuk di epitel lambung dan duodenum, serta menurunkan sekresi HCO3-
sehingga memperlemah perlindungan lapisan mukosa dan juga menghentikan
penghambatan sekresi asam. Selain itu, obat ini juga merusak mukosa secara
lokal melalui difusi non-ionik ke dalam sel mukosa. Efek penghambatan obat ini
terhadap agregasi trombosit akan meningkatkan bahaya perdarahan ulkus.
 Kejadian iskemia, misalnya vaskulitis atau saat melakukan lari maraton.
 Stress, yakni kegagalan multi-organ, luka bakar, pembedahan, trauma sistem
saraf pusat.
 Penyalahgunaan konsumsi alkohol dan zat kimia korosif.
 Trauma akibat gastroskopi, tertelannya benda asing, rasa enek, muntah dan mual
berlebihan.
 Trauma radiasi. (Silbernagl dan Lang, 2007; Lindseth, 2002)
Gambar 9. Gastritis erosif, tampak inflamasi pada lapisan mukosa gaster

II.5 Tukak Peptik (Ulkus Peptikum)

Penyakit tukak peptik yaitu tukak lambung dan tukak duodenum merupakan
penyakit yang masih banyak ditemukan dalam klinik terutama dalam kelompok umur di
atas umur 45 tahun. Perdarahan yang terjadi pada saluran cerna bagian atas akibat tukak
peptik atau ulkus peptikum merupakan penyulit yang paling sering ditemukan,
sedikitnya ditemukan pada 15 hingga 25% kasus selama perjalanan penyakit. Walaupun
ulkus di setiap tempat dapat mengalami perdarahan, namun tempat perdarahan yang
paling sering adalah dinding posterior bulbus duodenum, karena di tempat ini dapat
terjadi erosi arteri pankreatikoduodenalis atau arteria gastroduodenalis. (Akil, 2007;
Lindseth, 2002)

Gambar 10. Ulkus dan perforasi disertai perdarahan pada gaster

Gejala yang berkaitan dengan perdarahan ulkus bergantung pada kecepatan


kehilangan darah. Hematemesis atau melena dengan tanda syok apabila perdarahan
masif dan perdarahan tersembunyi yang kronik sehingga dapat menyebabkan terjadinya
anemia defisiensi besi. Hasil pemeriksaan darah samar dari feses dapat memperlihatkan
hasil yang positif (tes guaiac positif) atau feses mungkin berwarna hitam dan seperti teh
(melena). Perdarahan masif dapat mengakibatkan hematemesis (muntah darah),
menimbulkan syok, dan dapat memerlukan transfusi darah serta pembedahan darurat.
Hilangnya nyeri sering menyertai perdarahan sebagai efek bufer darah. Mortalitas
berkisar hingga 10%, dan pasien yang berusia lebih dari 50 tahun memiliki angka
mortalitas yang lebih tinggi. Kelompok ini mewakili sekitar 20 hingga 25% kematian
total dari ulkus peptikum. (Akil, 2007; Lindseth, 2002)

Gambar 11. Ulkus peptikum pada gaster dan duodenum

Insiden perdarahan akibat tukak sebesar 15 – 25% dan cenderung meningkat


pada usia lanjut, yakni di atas usia 60 tahun akibat adanya penyakit degeneratif dan
meningkatnya pemakaian OAINS (20% tanpa simptom dan tanda penyakit
sebelumnya). Sebagian besar perdarahan dapat berhenti secara spontan, sebagian
memerlukan tindakan endoskopi terapi, bila gagal dilanjutkan dengan terapi operasi
(5% dari pasien yang memerlukan transfusi darah). Pemberian pantozol/PPI 2
amp/100cc NaCl 0.9 drip selama 10 jam secara parenteral dan diteruskan beberapa hari
dapat menurunkan kejadian ulang perdarahan, pemberian transfusi dengan
memperhatikan tanda – tanda hemodinamik, yakni:
1. Tekanan darah sistol < 100 mmHg
2. Hb < 10 gr%
3. Nadi > 100x/menit
4. Hematokrit < 30% / jam dianjurkan untuk pemberian transfusi dengan darah
segar hingga hematokrit mencapai > 30%. (Tarigan, 2007)

Gambar 12. Ulkus peptikum pada duodenum

II.6 Gastropati Kongestif

Perdarahan varises merupakan penyebab komplikasi perdarahan yang paling


sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi portal dan sebagian besar pasien
tersebut juga mengalami gastropati kongestif dikarenakan oleh hipertensi venosus.
Terjadinya gastropati kongestif dikarenakan akumulasi darah yang berlebihan
pada area gaster akibat dari hipertensi porta yang menyebabkan penekanan dan
pembendungan pada vena – vena yang memperdarahi area gaster. Identifikasi terjadinya
gatropati kongestif melalui pemeriksaan endoskopi dimana ditemukan lapisan mukosa
yang menggembung bulat dan bersifat mudah rapuh. Munculnya perdarahan mukosa
pasif didahului dengan perdarahan aktif dari lokasi utama varises. Pemberian blok
adrenergik dengan propanolol dapat mengurangi tekanan arteri splanknikus sama
baiknya pada tekanan vena porta dimana kadang – kadang ameliorasi pada keadaan ini
cukup efektif untuk diterapkan. Pemberian proton pump inhibitor atau preparat lainnya
yang sejenis yang berguna dalam terapi penyakit penyakit peptik seringkali tidak
bermanfaat banyak dalam gastropati kongestif. (Mailliard and Sorrell, 2005)
Gambar 13. Endoskopi pada gastropati kongestif

II.7 Syndrome Mallory-Weiss

Syndrome Mallory-Weiss adalah suatu keadaan hematemesis atau melena yang


secara khas mengikuti muntah – muntah berat yang berlangsung beberapa jam atau hari,
dapat ditemukan satu atau beberapa laserasi mukosa lambung mirip celah, terletak
memanjang di atau sedikit di bawah persambungan esofagogastrikum. Penyakit ini
pertama kali ditemukan oleh G. Kenneth Mallory dan Soma Weiss di tahun 1929 pada
15 pasien alkoholik. (Dorland, 2005; Weiss and Mallory, 1932)

Gambar 14. Robekan mukosa pada pertautan gastroesofageal pada Syndrome


Mallory-Weiss

Riwayat umum terjadinya Sindrome Mallory-Weiss dikarenakan oleh muntah,


mual, atau batuk yang disertai hematemesis, terutama pada pasien alkoholik. Perdarahan
akibat kejadian ini menyebabkan robekan lapisan mukosa pada area gastrik pada
pertautan gastroesofageal, berhenti secara spontan pada 80% hingga 90% pasien dan
kambuh hanya pada 0% hingga 5%. Pengobatan dengan endoskopi diindikasikan pada
perdarahan aktif akibat robekan Mallory-Weiss. Pengobatan dengan angiografi dengan
infusi vasopressin intraarterial atau embolisasi dan operasi dengan penjahitan pada area
robekan jarang diperlukan.

Gambar 15. Endoskopi pada robekan di mukosa pertautan gastroesofageal pada


Syndrome Mallory-Weiss

II.7 Keganasan

Keganasan atau karsinoma yang dapat memicu timbulnya perdarahan saluran


cerna bagian atas berupa keganasan pada esofagus dan gaster.

II.7.1 Keganasan Pada Esofagus

Perdarahan saluran cerna bagian atas akibat dari keganasan pada esofagus
menjadi keluhan yang cukup sering ditemukan pada pasien dimana hematemesis bisa
terjadi dengan atau tanpa disertai melena. Akibat dari perdarahan ini dapat
menimbulkan anemia defisiensi besi pada pasien. (Abdurachman, 2007)
Gambar 16. Salah satu bentuk nidasi keganasan pada esophagus

II.7.2 Keganasan Pada Gaster

Salah satu keluhan yang diutamakan oleh pasien dengan keganasan pada gaster
adalah hematemesis (7%) sehingga menjadi faktor terjadinya perdarahan saluran cerna
bagian atas. Hal ini tidak lepas dari bentuk patologi dari keganasan gaster serta lokasi
tumbuhnya keganasan tersebut dalam lumen gaster.
Keganasan atau karsinoma gaster yang paling sering ditemukan adalah
adenokarsinoma (90 – 99%), sedangkan jenis yang lain berupa limfoma,
leiomiosarkoma, adenoxanthoma, dan lainnya cukup jarang ditemukan. Kebanyakan
lokasi karsinoma terletak pada daerah antropilorik dengan kurvatura minor lebih sering
daripada kurvatura mayor.
Gambar 17. Adenokarsinoma ulseratif pada mukosa gaster

Karsinoma gaster berasal dari perubahan epitel pada membran mukosa gaster,
yang berkembang pada bagian bawah gaster, sedangkan pada atrofi gaster didapatkan
bagian atas gaster dan secara multisenter. Bentuk – bentuk dari karsinoma gaster, antara
lain:
1. Seperempatnya berasal dari propia yang berbentuk fungating dan tumbuh ke
lumen sebagai massa.
2. Seperempatnya berbentuk tumor yang berulserasi.
3. Massa yang tumbuh melalui dinding menginvasi lapisan otot.
4. Penyebarannya melalui dinding yang dicemari penyebaran pada permukaan
(8%).
5. Berbentuk linitisplastika (10 – 15%). (Julius, 2007)

Gambar 18. Tampilan endoskopik dari adenokarsinoma yang menginfiltrasi


area kardia dan fundus
II.2.4 Gejala dan Tanda Klinis

Gejala dan tanda klinis perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering
ditemukan pada pasien adalah:
1. Anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang telah berlangsung
lama.
2. Hematemesis dan atau melena yang disertai atau tanpa anemia, dengan atau
tanpa gangguan hemodinamik, derajat hipovolemi menentukan tingkat
kegawatan pasien. (Adi, 2007)
Adapun manifestasi klinis yang ditemukan sebagai ciri khas dari perdarahan
saluran cerna bagian atas terutama dapat dibedakan dari perdarahan saluran cerna
bagian bawah, antara lain: hematemesis, melena, emesis yang berwarna seperti kopi,
nyeri pada epigastrium, dan reaksi vasovagal seperti mual, muntah dan rasa enek.
(Sabatine, 2011)

II.2.5 Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

Pengelolaan dasar pasien perdarahn saluran cerna sama seperti perdarahan


pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan terapi.
Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan
perdarahan, dan mencegah terjadinya perdarahan ulang. Konsensus Nasional PGI –
PEGI – PPHI menetapkan bahwa pemeriksaan awal dan resusitasi pada kasus
perdarahan wajib dan harus bisa dikerjakan pada setiap lini pelayanan kesehatan
masyarakat sebelum dirujuk ke pusat layanan yang lebih tinggi. Adapun langkah –
langkah praktis pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas adalah sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik.
2. Resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik.
3. Melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang
diperlukan.
4. Memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau bagian bawah.
5. Menegakkan diangosis pasti penyebab perdarahan.
6. Terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab perdarahan dan
mencegah terjadinya perdarahan ulang.
Dengan adanya penegakan diagnosis penyebab perdarahan sangat menentukan
langkah terapi yang akan diambil pada tahap selanjutnya. (Adi, 2007)

II.2.6 Pemeriksaan Awal Pada Perdarahan Saluran Cerna

Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran cerna adalah menentukan
beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik. Pemeriksaannya
meliputi:
1. Tekanan darah dan nadi dalam posisi berbaring.
2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi.
3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer berupa akral teraba dingin.
4. Kelayakan nafas.
5. Tingkat kesadaran.
6. Produksi urin.
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskuler akan
mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda – tanda sebagai berikut:
1. Hipotensi (< 90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi lebih
dari 100x/menit.
2. Tekanan diastolik ortostatik turun lebih dari 10 mmHg atau sistolik turun lebih
dari 20 mmHg.
3. Frekuensi nadi ortostatik meningkat 15x/menit.
4. Akral dingin.
5. Kesadaran menurun.
6. Anuria atau oliguria (produksi urin kurang dari 30 ml/jam).
Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai dengan kondisi
hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan:
1. Hematemesis.
2. Hematoskezia.
3. Darah segara pada aspirasi pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak segera
jernih.
4. Hipotensi persisten.
5. Dalam waktu 24 jam telah menghabiskan transfusi darah melebihi 800 – 1000
ml. (Adi, 2007)
II.2.7 Resusitasi Terutama Untuk Stabilisasi Hemodinamik Pada Perdarahan
Saluran Cerna

Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid


(misalnya cairan garam fisiologis) dengan tetesan cepat menggunakan dua jarum
berdiameter besar (minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venous pressure);
tujuannya memulihkan tanda – tanda vital dan mempertahankan tetap stabil. Biasanya
tidak sampai memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran) kecuali pada kondisi
hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim pemeriksaan darah untuk menentukan
golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit. Adanya kecurigaan
diatesis hemoragik perlu segera ditindaklanjuti dengan melakukan tes Rumpel-Leede,
pemeriksaan waktu perdarahan, waktu pembekuan, retraksi bekuan darah, PTT, dan
aPTT.
Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual, tergantung dari
jumlah darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya
perdarahan berlangsung, dan akibat klinik dari perdarahan tersebut. Pemberian transfusi
darah pada perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan berikut ini:
1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil.
2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter
atau lebih.
3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin kurang dari 10
g% atau hematokrit kurang dari 30%.
4. Terdapat tanda – tanda oksigenasi jaringan yang menurun.
Perlu dipahami bahwa nilai hematokrit untuk memperkirakan jumlah
perdarahan kurang akurat bila perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses
hemodilusi dari cairan ekstravaskuler selesai dalam waktu 24 hingga 72 jam setelah
onset perdarahan. Target pencapaian hematokrit setelah transfusi darah tergantung kasus
yang dihadapi, untuk usia muda dengan kondisi sehat cukup sebesar 20 – 25%, usia
lanjut sebanyak 30%, sedangkan pada hipertensi portal jangan melebihi hingga 27 –
28%. (Adi, 2007)
II.2.8 Melanjutkan Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Lain
Yang Diperlukan

Sambil melakukan upaya mempertahankan stabilisasi hemodinamik, maka bisa


dilengkapi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan – pemeriksaan lain yang
diperlukan.
Dalam anamnesis yang perlu ditekankan adalah :
1. Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar.
2. Riwayat perdarahan sebelumnya.
3. Riwayat perdarahan dalam keluarga.
4. Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain.
5. Penggunaan obat – obatan terutama anti inflamasi non-steroid dan anti koagulan.
6. Kebiasaan minum alkohol.
7. Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah, demam
tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes melitus, hipertensi dan alergi obat – obatan.
8. Riwayat transfusi sebelumnya.
Pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan:
1. Stigmata penyakit hati kronik.
2. Suhu badan dan perdarahan di bagian tubuh lain.
3. Tanda – tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai perdarahan
saluran cerna, misalnya pigmentasi mukokutaneus pada sindrom Peutz-Jegher.
Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan:
1. Elektrokardiogram, terutama pada pasien berusia di atas 40 tahun.
2. BUN dan kadar kreatinin serum karena pada perdarahan saluran cerna bagian
atas, pemecahan darah oleh kuman usus akan mengakibatkan kenaikan BUN,
sedangkan kreatinin serum tetap normal atau sedikit meningkat.
3. Kadar elektrolit (Natrium, Kalium, Clorida) dimana perubahan elektrolit bisa
terjadi karena perdarahan, transfusi, atau kumbah lambung.
4. Dan pemeriksaan – pemeriksaan penunjang lainnya yang perlu dilakukan
tergantung jenis kasus perdarahan saluran cerna atas yang dihadapi. (Adi, 2007).
II.2.9 Membedakan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas atau Bawah

Cara praktis dalam membedakan perdarahan saluran cerna bagian atas atau
saluran cerna bagian bawah terdapat pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Perbedaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas dan Perdarahan


Saluran Cerna Bagian Bawah.
Perdarahan Perdarahan Saluran Cerna
Saluran Cerna Bagian Atas Bagian Bawah
Manifestasi klinik pada Hematemesis dan/melena Hematoskezia
umumnya
Aspirasi nasogastrik Berdarah Jernih
Rasio (BUN/Kreatinin) Meningkat > 35 < 35
Auskultasi usus Hiperaktif Normal

Seorang pasien yang datang dengan keluhan hematemesis, muntahan seperti


kopi karena berubahnya darah oleh asam lambung, hampir pasti perdarahannya berasal
dari saluran cerna bagian atas. Timbulnya melena, berak hitam lengket dengan bau
busuk, bila perdarahannya berlangsung sekaligus sejumlah 50 – 100 ml atau lebih.
Untuk lebih memastikan keterangan melena yang diperoleh dari anamnesis, dapat
dilakukan pemeriksaan digital rektum. Perdarahan saluran cerna bagian atas dengan
manifestasi hematoskezia dimungkinkan bila perdarahannya cepat dan banyak melebihi
1000 ml dan disertai kondisi hemodinamik yang tidak stabil atau syok.
Pada semua kasus perdarahan saluran cerna disarankan untuk pemasangan pipa
nasogastrik, kecuali pada perdarahan kronik dengan hemodinamik stabil atau yang
sudah jelas perdarahan saluran cerna bagian bawah. Pada perdarahan saluran cerna
bagian atas akan keluar cairan seperti kopi atau cairan darah segar sebagai tanda bahwa
perdarahan masih aktif. Selanjutnya dilakukan bilas lambung dengan air suhu kamar.
Sekiranya sejak awal tidak ditemukan darah pada cairan aspirasi, dianjurkan pipa
nasogastrik tetap terpasang sampai 12 atau 24 jam. Bila selama kurun waktu tersebut
hanya ditemukan cairan empedu dapat dianggap bukan perdarahan saluran cerna bagian
atas.
Perbandingan BUN dan kreatinin serum juga dapat dipakai untuk
memperkirakan asal perdarahan, nilai puncak biasanya dicapai dalam 24 hingga 48 jam
sejak terjadinya perdarahan, normal perbandingannya 20, di atas 35 kemungkinan
perdarahan berasal dari saluran cerna bagian atas, dibawah 35 kemungkinan perdarahan
berasal dari saluran cerna bagian bawah. Pada kasus yang masih sulit untuk menentukan
asal perdarahannya, langkah pemeriksaan selanjutnya ialah endoskopi saluran cerna
bagian atas. (Adi, 2007)

II.2.10 Diagnosis Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

Dari 1673 kasus perdarahan saluran cerna bagian atas di SMF Penyakit Dalam
RSU dr.Sutomo Surabaya, 76.9% disebabkan oleh pecahnya varises esofagus, 19.2%
oleh gastritis erosif, 1.0% oleh tukak peptik dan 0.6% oleh kanker lambung, dan 2.6%
oleh karena sebab – sebab yang lain. Laporan dari RS pemerintah di Jakarta, Bandung,
dan Yogyakarta urutan 3 penyebab terbanyak perdarahan saluran cerna bagian atas
sama dengan di RSU dr.Sutomo Surabaya. Sedangkan laporan dari RS pemerintah di
Ujung Pandang menyebutkan tukak peptik menempati urutan pertama penyebab
perdarahan saluran cerna bagian atas. Laporan kasus di rumah sakit swasta, yakni RS
Darmo Surabaya, perdarahan karena tukak peptik sebanyak 51.2%, gastritis erosif
sebanyak 11.7%, varises esofagus sebanyak 10.9%, keganasan sebanyak 9.8%,
esofagitis 5.3%, sindrom Mallory-Weiss sebanyak 1.4%, idiopatik sebanyak 7% dan
penyebab – penyebab lainnya sebanyak 2.7%. Di negara barat, tukak peptik berada di
urutan pertama sebagai penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas dengan frekuensi
sekitar 50%. Walaupun pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas telah banyak
berkembang namun mortalitasnya relatif tidak berubah, masih berkisar 8 – 10%. Hal ini
dikarenakan bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut, dan akibat
komorbiditas yang menyertai.
Sarana diagnostik yang bisa digunakan pada kasus perdarahan saluran cerna
adalah endoskopi gastrointestinal, radiografi dengan barium, radionuklid, dan
angiografi. Pada semua pasien dengan tanda – tanda perdarahan saluran cerna bagian
atas atau yang asal perdarahannya masih meragukan, maka pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas merupakan prosedur pilihan. Dengan pemeriksaan ini
sebagian besar kasus diagnosis penyebab perdarahan bisa ditegakkan. Selain itu dengan
endoskopi bisa pula dilakukan upaya terapeutik. Bila perdarahan masih tetap berlanjut
atau asal perdarahan sulit diidentifikasi perlu dipertimbangkan pemeriksaan dengan
radionuklid atau angiografi yang sekaligus bisa digunakan untuk menghentikan
perdarahan. Adapun hasil tindakan endoskopi atau angiografi sangat tergantung tingkat
keahlian, keterampilan, dan pengalaman operator pelaksana.
Tujuan pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal
perdarahan, juga untuk menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat klasifikasi
perdarahan tukak peptik atas dasar temuan endoskopi yang bermanfaat untuk
menentukan tindakan selanjutnya. (Adi, 2007)

Tabel 2. Klasifikasi Aktivitas Perdarahan Tukak Peptik Menurut Forest


Aktivitas Perdarahan Kriteria Endoskopis
Forest Ia Perdarahan aktif. Perdarahan arteri
menyembur.
Forest Ib Perdarahan aktif. Perdarahan merembes.
Forest II Perdarahan berhenti dan Gumpalan darah pada
masih terdapat sisa – sisa dasar tukak atau terlihat
perdarahan. pembuluh darah.
Forest III Perdarahan berhenti Lesi tanpa tanda sisa
tanpa sisa perdarahan. perdarahan.

II.2.11 Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas


II.2.11.1 Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Non-Endoskopis

Salah satu usaha dalam menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan
adalah bilas lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur ini
diharapkan mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun
demikian manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti. Bilas lambung ini
sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskopi dan dapat dipakai untuk
membuat perkiraan kasar jumlah perdarahan. Berdasar percobaan hewan, bilas lambung
dengan air es kurang menguntungkan, waktu perdarahan menjadi memanjang, perfusi
dinding lambung menurun, dan bisa timbul ulserasi pada mukosa lambung.
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami
perdarahan saluran cerna bagian atas diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberian
tersebut tidak merugikan dan relatif murah.
Vasopresin dapat menghentikan perdarahan saluran cerna bagian atas lewat
efek vasokonstriksi pembuluh darah splanknikus, menyebabkan aliran darah dan
tekanan vena porta menurun. Digunakan di klinik untuk perdarahan akut varises
esofagus sejak tahun 1953. Pernah dicoba pada terapi perdarahan nonvarises, namun
berhentinya perdarahan tidak berbeda dengan plasebo. Terdapat dua bentuk sediaan,
yakni pitresin yang mengandung vasopressin murni dan preparat pituitary gland yang
mengandung vasopressin dan oxytocin. Pemberian vasopressin dilakukan dengan
mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%, diberikan 0.5 –
1 mg/menit/iv selama 20 – 60 menit dan dapat diulang tiap 3 – 6 jam; atau setelah
pemberian pertama dilanjutkan per infus 0.1 – 0.5 U/menit. Vasopressin dapat
menimbulkan efek samping serius berupa insufisiensi koroner mendadak, oleh karena
itu pemberiannya disarankan bersamaan dengan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin
intravena dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan sampai
maksimal 400 mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik di atas 90
mmHg.
Somatostatin dan analognya (ocreotide) diketahui dapat menurunkan aliran
darah splanknikus, khasiatnya lebih selektif dibanding vasopressin. Penggunaan di
klinik pada perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar tahun 1978. Somatostatin
dapat menghentikan perdarahan akut varises esofagus pada 70 – 80% kasus, dan dapat
pula digunakan pada perdarahan nonvarises. Dosis pemberian somatostatin, diawali
dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 12 – 24 jam atau
sampai perdarahan berhenti; ocreotide dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per infus 25
mcg/jam selama 8 – 24 jam atau sampai perdarahan berhenti.
Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk
mencegah perdarahan ulang saluran cerna bagian atas karena tukak peptik adalah
inhibitor pompa proton dosis tinggi. Diawali bolus omeprazol 80 mg/iv kemudian
dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada kelompok
plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazol hanya 4.2%. Suntikan omeprazol yang
beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa digunakan per infus
adalah persediaan esomeprazol dan pantoprazol dengan dosis sama seperti omeprazol.
Pada perdarahan saluran cerna bagian atas ini, obat – obatan seperti antasida, sukralfat,
dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan untuk tujuan penyembuhan lesi
mukosa penyebab perdarahan. Antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan
ulang saluran cerna bagian atas dikarenakan tukak peptik kurang bermanfaat.

A B

Gambar 19. Pemasangan Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube)

Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises


esofagus dimulai sekitar tahun 1950, paling populer adalah Sengstaken-Blakemore tube
(SB-tube) yang mempunyai tiga pipa serta dua balon masing – masing untuk esofagus
dan lambung. Komplikasi pemasangan SB-tube yang bisa berakibat fatal ialah pnemonia
aspirasi, laserasi sampai perforasi. Pengembangan balon sebaiknya tidak melebihi 24
jam. Pemasangan SB-tube seyogyanya dilakukan oleh tenaga medik yang
berpengalaman dan ditindaklanjuti dengan observasi yang ketat. (Adi, 2007)

Gambar 20. Sengstaken-Blakemore tube (SB-tube)


Gambar 21. Mekanisme pemasangan dan penggunaan SB-tube

II.2.11.2 Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Secara Endoskopis

Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak
dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:
1. Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe).
2. Noncontact thermal (laser).
3. Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol, cyanoacrylate,
atau pemakaian klip).
Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila
dilakukan oleh ahli endoskopi yang terampil dan berpengalaman. Endoskopi terapeutik
ini dapat diterapkan pada 90% kasus perdarahan saluran cerna bagian atas, sedangkan
10% sisanya tidak dapat dikerjakan karena alasan teknis seperti darah terlalu banyak
sehingga pengamatan terhalang atau letak lesi tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80%
perdarahan tukak peptik dapat berhenti spontan, namun pada kasus perdarahan yang
berasal dari arterial yang bisa berhenti spontan hanya 30%. Terapi endoskopi yang
relatif mudah dan tanpa banyak peralatan pendukung ialah penyuntikan submukosa
sekitar titik perdarahan menggunakan adrenalin 1 : 10.000 sebanyak 0,5 – 1 ml tiap kali
suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak melebihi 1 ml.
Penyuntikan bahan sklerosan seperti alkohol absolut atau polidokanol umumnya tidak
dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak dan perforasi akibat nekrosis jaringan di
lokasi penyuntikan. Keberhasilan terapi endoskopi dalam menghentikan perdarahan bisa
mencapai di atas 95% dan tanpa terapi tambahan lainnya perdarahan ulang frekuensinya
sekitar 15 – 20%.

Gambar 22. Endoscopic variceal band ligation of esophageal varices

Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena


varises esofagus. Ligasi varises merupakan pilihan pertama untuk mengatasi perdarahan
varises esofagus. Dengan ligasi varises dapat dihindari efek samping akibat pemakaian
sklerosan, lebih sedikit frekuensi terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi dilakukan mulai
dari distal mendekati cardia bergerak spiral setiap 1 – 2 cm. Dilakukan pada varises
yang sedang berdarah atau bila ditemukan tanda baru mengalami perdarahan seperti
bekuan darah yang melekat, bilur – bilur merah, noda hematokistik, vena pada vena.
Skleroterapi endoskopik sebagai alternatif bila ligasi endoskopik sulit dilakukan karena
perdarahan yang masif, terus berlangsung, atau teknik yang tidak memungkinkan.
Sklerosan yang bisa digunakan antara lain campuran sama banyak polidokanol 3%,
NaCl 0.9%, dan alkohol absolut. Campuran dibuat sesaat sebelum skleroterapi
dikerjakan. Penyuntikan dimulai dari bagian paling distal mendekati kardia dilanjutkan
ke proksimal bergerak spiral sampai sejauh 5 cm. Pada perdarahan varises lambung
dilakukan penyuntikan cyanoacrylate sebab skleroterapi untuk varises lambung
hasilnya kurang baik. (Adi, 2007)
Gambar 23. Contoh alat ligasi varises esofagus

Gambar 24. Skleroterapi pada varises esofagus

II.2.11.3 Terapi Radiologi

Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan


belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal dan
pembedahan sangat beresiko. Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan dengan
penyuntikan vasopressin atau embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontraindikasi
dan fasilitas dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS
(Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt). (Adi, 2007)
Gambar 25. Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS)

II.2.11.4 Pembedahan

Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan


radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam bentuk tim
multidisipliner pada pengelolaan kasus perdarahan saluran cerna bagian atas untuk
menentukan waktu yang tepat kapan tindakan bedah sebaiknya dilakukan. (Adi, 2007)
BAB III
PENUTUP

III.2.11.4 Kesimpulan

Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas dapat digolongkan menjadi 2


kelompok, yaitu perdarahan varises dan perdarahan non-varises.
Pengelolaan perdarahan saluran cerna secara praktis meliputi : evaluasi status
hemodinamik, stabilisasi hemodinamik, melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan lain yang diperlukan, memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas
atau bawah, menegakkan diagnosis pasti penyebab perdarahan, terapi spesifik.
Prioritas utama dalam menghadapi kasus perdarahan saluran cerna bagian atas
adalah penentuan status hemodinamik dan upaya resusitasi sebelum menegakkan
diagnosis atau pemberian terapi lainnya.
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan cara terpilih
untuk menegakkan diagnosis penyebab perdarahan dan sekaligus berguna untuk
melakukan hemostasis. Pada perdarahan tukak lambung dapat dilakukan antara lain
dengan penyuntikan adrenalin 1 : 10.000, sedangkan pada perdarahan varises esofagus
dengan ligasi atau skleroterapi.
Manfaat terapi medik tergantung macam kelainan yang menjadi penyebab
perdarahan. Somatostatin dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan saluran
cerna bagian atas, terutama pada perdarahan varises. Pada perdarahan karena tukak
peptik pemberian PPI intra vena dosis tinggi bermanfaat untuk mencegah perdarahan
ulang.
Ahli radiologi dan ahli bedah sebaiknya dilibatkan dalam tim multidisipliner
pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, S.A. “Tumor Esofagus”. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 327.

Adi, Pangestu. “Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas”. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 289 – 292.

Akil, H.A.M. “Tukak Duodenum”. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV.
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 345, 347.

Biecker, Erwin, Michael Schepke, Tilman Sauerbach. “The Role of Endoscopy in Portal
Hypertension”. Journal of Digestive Diseases – Clinical Reviews, Vol.23, No.1.
Department of Internal Medicine I, University Hospital of Bonn, Bonn, Germany.
2005.

Julius. “Tumor Gaster”. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta. 2007. Hal: 350.

Kamus Kedokteran Dorland.Edisi ke 27.Jakarta:EGC.2005

Lindseth, Glenda N. “Gangguan Lambung dan Duodenum”. PATOFISIOLOGI –


Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6. EGC:Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta. 2003. Hal: 417-419, 423, 428.

Lindseth, Glenda N. “Gangguan Usus Halus”. PATOFISIOLOGI – Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6. EGC:Penerbit Buku Kedokteran,
Jakarta. 2003. Hal: 437-439.

Mailliard, Mark E., Michael F. Sorrell. “Alcoholic Liver Disease”. Harrison’s Principles
of Internal Medicine. Volume II. 16thEdition. McGraw-Hill Medical Publishing
Division, USA. 2005. p:1865.
Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP. Nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo. Jakarta: 2007

Sabatine, Marc S. “Gastrointestinal Bleeding”. Pocket Medicine: The Massachusetts


General Hospital Handbook of Internal Medicine. Fourth Edition. Wolters Kluwer
Health and Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2011. Section: GIB 3 –
3.

Shuhart, Margaret, M.D., Kris Kowdley, M.D., dan Bill Neighbor, M.D.,
“Gastrointestinal Bleeding”. Medline Article, Vol.41,
http://www.uwgi.org/guidelines/ch_07/ch07txt.htm (diunduh pada tanggal: 27
Oktober 2011)

Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. “Gastritis”. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Cetakan I. EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.2007. Hal: 142, 146.

Tarigan, Pengarapen. “Tukak Gaster”. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. 2007. Hal: 341.

Weiss S, Mallory GK. “Lesions of the cardiac orifice of the stomach produced by
vomiting”. Journal of the American Medical Association,1932;98:1

Wilson, Lorraine M. dan Glenda N. Lindseth. “Gangguan Esofagus”.


PATOFISIOLOGI – Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume I. Edisi 6.
EGC:Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 2003. Hal: 404-405.

Anda mungkin juga menyukai