Penimbunan pigmen empedu falam tubuh menyebabkan perubahan warna jaringan menjadi kuning dan di sebut ikterus. Ikterus biasanya dapat di deteksi pada sklera, kulit, atau urine yang menjadi gelap bila bilirubin serum mencapai 2-3 mg/dl. Bilirubin seurm normal adalah 0,3 sampai 1,0 mg/dl. Jaringan permukaan yang kaya elastin, seperti sklera dan permukaan bawah lidah, biasanya menjadi kuning pertama kali. Pemahaman mekanisme ikterus menyangkut pengertian pembentukan, transpor, metabolisme, dan eksresi bilirubin.
B. Metabolisme Bilirbin normal
Pada individu normal, pembentukan dan ekskresi bilirubin berlangsung melalui langkah langkah seperti yang terlihat dalam gambar 27-4. Sekitar 80 hingga 85% bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua dalam sistem monosit -makrofag. Masa hidup rata rata eritrosit adalah 120hari. Setiap hari di hancurkan sekitar 50 ml darah, dan menghasilkan 250 sampai 350 mg bilirubin. Kini di ketahui bahwa sekitar 15 hingga 20% pigmen empedu total tidak tergantung pada mekanisme, tetapi berasal dari dekstruksi sel eritrosit matur dalam sumsum tulang (hematopoiesis tak efektif) dan dari hemoprotein lain, terutama dari hati. Pada katabolisem haemoglobin (terutama terjadi dalam limpa), globulin mula mula di pisahkan dari heme, dan setelah itu heme di ubah menjadi biliverdin. Bilirubin tak terkonjugasi kemudian di bentuk dari biliverdin. Biliverdin adalah pigmen kehijauan yang di bentuk melalui oksidasi bilirubin. Bilirubin tak terkonjugasi larut dalam lemak, tidak larut dalam air, dan tidak dapat di eksresi dalam empedu atau urine. Bilirubin tak terkonjugasi berikatan dengan albumin dalam suatu kompleks larut-air, kemudian I angkut oleh darah ke sel sel hati. Metabolisme bilirubin di dalam hati berlangsung dalam tiga langkah ambilan, konjugasi, dan eksresi. Ambilan oleh sel hati memerlukan dua protein hati, yaitu yang di beri simbol protein Y dan Z (lihat gambar 27-4). Konjugasi bilirubin dengan asam glukoronat di katalisis oleh enzim glukonil transferase dalam retikulum endoplasma. Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam lemak, tetapi larut dalam air dan dapat di eksresikan dlam empedu dan urin. Langkah terakhir dalam metabolisme bilirubin hati adalah transor bilirubin terkonjugasi melalui membran sel ke dalam empedu melalui suatu proses aktif. Bilirubin tak terkonjugasi tidak di eksresikan ke dalam empedu, kecuali setelah proses foto-oksidasi atau fotoisomerisasi (lihat pembahasan berikut). Bakteri usus mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi serangkaian senyawa yan di sebut sterkobilin atau urobilinogen. Zat zat ini menyebabkan feces berwarna coklat. Sekitar 10 hinga 20% urobilinogen mengalami siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil di eksresi dalam urine.
C. Mekanisme Patofisiologi ikterik
Empat mekanisme umum yang menyebabkan hiperbilirubinemia dan ikterus: Pembentukan bilirubin yang berlebihan. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati. Gangguan konjugasi bilirubin. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat fungsional atau di sebabkan mekanisme keempat terutama menyebabkan hipernilirubinemia terkonjugasi.
1) Pembentukan Bilirubin Berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkayan laju dekstruksi eritrosit merupakan penyebab tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering di sebut sebagai ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Meskipun demikian, pada penderita hemolitik berat, kadar bilirubin serum jarang melebihi 5mg/dl dan ikterus yang timbul bersifat ringan serta berwarna kuning pucat. Bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Namun demikian terjadi peningkatan pembentukan urobilinigen (akibat peningkatan konjugasi serta ekskresi), yang selanjutnya mengakibatkan penigkatan ekskresi dalam feses dan urine. Urine dan feces berwarna lebih gelap. Beberapa penyebab lazim ikterus hemolitik adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin S pada anemia sel sabit), eritrosit abnormal (sferositosis herediter), antibodi dalam serum (inkompatibilitas Rh atau transfusi atau akibat penyakit hemolitik autoimun), pemberian obat, dan peningkatan hemolisis. Sebagian kasus ikterus hemolitik dapat di sebabkan oleh suatu proses yang di sebut eritropoiesis yang tidak efektif. Proses ini meningkatkan dekstruksi eritrosit atau prekursornya dalam sumsum tulang (talasemia, anemia pernisiosa, dan porfiria). Pada orang dewasa, pembentukan bilirubin berlebihan yang berlangsung kronis dapat menyebabkan terbenetuknya batu empedu yang mengandung sejumlah besar bilirubin; di luar itu, hiperbilirubinemia ringan umunya tidak membahayakan. Pengobatan langsung di tujukan untuk memperbaiki penyakit hemolitik. Akan tetapi, kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg/dl pada bayi dapat menyebabkan terjadinya kernikterus.
2) Gangguan ambilan bilirubin
Ambilan bilirubin tak terkonjugasi terikat-albumin oleh sel hati, di lakukan dengan memisahkan dan mengakibatkan bilirubin terhadap protein penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti berpengaruh dalam ambilan bilirubin oleh hati; asam flavaspidat (di pakai untuk mengobati cacing pita),novobiosin,dan beberapa zat warna kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus biasanya menghilang bila obat penvcetus di hentikan. Dahulu,ikterus neonatal dan beberapa kasus sindrom Gilbert di anggap di sebabkan oeh defisiensi protein penerima dan gangguan ambilan oleh hati. Namun, pada sebagian besar kasus di temukan adanya defisiensi glukoronil transferase, sehingga keadaan ini paling baik di anggap sebagai defek konjugasi bilirubin.
3) Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan (<12,9mg/100ml) yang timbul antara hari kedua dan kelima setelah lahir di sebut sebaga ikterus fisiologis neonatus. Ikterus neonatal yang normal ini di sebabkan oleh imaturitas enzim glukoronil transferase. Aktivitas glikoronil transferase biasanya meningkat beberapa hari hngga minggu kedua setelah lahir, dan setelah iru ikterus akan menghilang Apabila bilirubin tak terkonjugasi pada bayi baru lahir melampaui 20mg/dl, terjadi suatu keadaan yang di sebut sebagai kernikterus. Keadaan ini dapat timbul bila suatu proses hemolitik (seperti eritroblastosis fetalis) terjadi pada bayi baru lahir dengan defisiensi glukoronil transferase normal. Kernikterus (atau bilirubin ensefalopati) timbul akibat penimbunan bilirubin tak terkonjugasi pada daerah ganglia basalis yang banyak mengandung lemak. Bila keadaan ini tidak di obati maka terjadi kematian atau kerusakan neurologid yang berat. Tindakan pengobatan terbaru pada neoenatus dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi. Fototerapi adalah pemajanan sinar biru atau sinar flouresen (panjang gelombang 430 sampai 470 nm) pada kulit bayi. Penyinaran ini menyebabkan perubahan pada struktural bilirubin (foto-iso-merasi) menjadi isomer terpolarisasi yang larut dalam air, isomer ini di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di konjugasi terlebih dahulu. Tiga gangguan herediter yang menyebabkan defisiensi progresif enzim glukoronil transferase adalah; sindrom Gilbert dan sindrom Crigler-Najjar tipe I dan tipe II. Sindrom Gilbert merupakan suatu penyakit familial ringan yang di cirikan dengan ikterus dan hiperbiliruminemia tak terkonjugasi ringan (2-5 mg/ml) yang kronis. Penelitian terbaru telah mengidentifikasi adanya dua bentuk sindrom Gilbert. Bentuk pertama pasien dengan bukti hemolisis dan pengingkatan penggantian bilirubin. Bentuk kedua memiliki bersihan bilirubin yang menurun dan tidak terdapat hemolisis. Kedua bentuk ini dapat terjadi pada pasien yang sama dan dalam waktu yang sama (Isselbacher, 1998). Pada sindrom Gilbert, derajat ikterus berubah-ubah dan seringkali memburuk pada puasa lama, infeksi, stres, operasi, dan asupan alkohol yang berlebihan. Awitan paling sering terjadi semasa remaja. Sindrom Gilbert sering terjadi dan menyerang sampai 5% penduduk pria. Uji fungsi hati serta kadar urobiliogen urin dan feses, normal. Tidak ada blirubinuria. Penelitian mengungkapkan bahwa penderita ini mengalami defisiensi parsial glukoronil transferase. Keadaan ini dapat diobati dengan fenobarbital, yang merangnsang aktivitas ensim glukoronil transferase. Sindrom Crigler-Najjar tipe 1 merupakan gangguan herediter yang jarang terjadi. Penyebabnya adlaah suatu gen resesif, dengan tidak adanya glukoronil transferase sama sekali sejak lahir. Oleh karena itu tidak terjadi konjugasi bilirubin sehingga empedu tidak berwarna dan kadar bilirubin tak terkonjugasi melampaui 20 mg/100 ml. hal ini menyebabkan terjadinya kernicterus. Fototerapi dapat mengurangi hyperbilirubinemia tak terkonjugasi untuk sementara waktu, tetapi biasanya bayi meninggal pada usia satu tahun. Sindrom Crigler-Najjar tiper II adalah bentuk penyakit yang lebih ringan, diwariskan sebagai suatu sifat genetik dominan dengan defisiensi sebagian glukoronil transferase. Kadar bilirubin tak terkonjugasi serum lebih rendah (6 sampai 20 mg/dl) dan icterus mungkin tidak telihat sampai usia remaja. Fenobarbital yang meningkatkan aktivitas glukoronil transferase seringkali dapat menghilangkan ikterus pada pasien ini.
4) Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh factor fungsional maupun obstruktif, terutama menyebabkan terjadinya hyperbilirubinemia terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi larut dalam air, sehingga dapat diekskresi dalam urin dan menimbulkan bilirubinueia serta urin yang gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen urin sering menurun sehigga feses terlihat pucat. Pengingkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatase alkali, AST, kolesterol, dan garam empedu dalam serum. Kadar garam empedu yang meningkat dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus akibat hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning dbandingan akibat hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari oranye-kuning muda atau tua sampai kuning-hijau muda atau tua bila terjadi obstruksi total aliran empedu. Perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik¸ yang merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran empedu di luar hati). Pada kedua keadaan ini terdapat ganguan biokimia yang serupa. Penyebab tersering kolestasis intrahepatic adalah penyakit hepatoselular dengan kerusakan sel parenkim hati akibat hepatitis virus atau berbagai jenis sirosis. Pada penyakit ini, pembengkakan dan disorganisasi sel hati dapat menekan dan menghambat kenalikuli atau kolangiola. Penyakit hepatoselular biasanya mengganggu semua fase metabolisme bilirubin—ambilan, konjugasi, dan ekskresi—tetapi ekskresi baisanya paling terganggu, sehingga yang paling menonjol adalah hyperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab kolestasis intraheatik yang lebih jarang adaah pemakaian obat-obatan tertentu, dan gangguan herediter Dubin-Johnson serta sindrom Rotot (jarang terjadi). Pada keadaan ini, terjadi gangguan transfer bilirubin melalui membrane heptosit yang menyebabkan terjadinya retensi bilirubin dalam sel. Obat yang sering mencetuskan gangguan ini adalah halotan (anestetik), kontrasepsi oral, estrogen, steroid anabolik, isoniazid, dan klorpromazin. Penyebab tersering kolestasis ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu, biasanya pada ujung bawah duktus koledokus; karsinoma kaput pancreas menyebabkan tekanan pada duktus koledokus dari luar; demikian juga dengan karsinoma ampula Vateri. Penyebab yang lebih jarang adalah striktur pasca-peradangan atau setelah operasi, dan pembesaran kelenjar limfe pada porta hepatis. Lesi intrahepatik se perti hepatoma kadang-kadang dapat menyumbat duktus hepatikus kanan atau kiri.
5) Perbandingan Kolestasis Intrahepatik dan Ekstrahepatik
Keputusan diagnostic terpenting bagi dokter dan ahli bedah dalam menangani kasus hiperbilirubinemia terkonjugasi adalah menentukan apakah obstruksi aliran empedu yang terjadi intrahepatik atau ekstrahepatik. Penderita kolestasis ekstrahepatik mungkin memerlukan pembedahan, sedangkan pembedahan pada penyakit hepatoselular (kolestasis intrahepatik) dapat memperberat penyakit dan bahkan dapat menimbulkan kematian. Membedakan kedua keadaan ini tidak mudah, karena semua bentuk kolestasis menimbulkan sindrom klinik ikterus yang sama yaitu: gatal, peningkatan transaminase, peningkatan fosfatase alkali, gangguan ekskresi zat warna kolesistografi, dan kandung empedu yang tidak terlihat. Walaupun penentuan akhir bersifat klinis, namun penilaian derajat obstruksi dapat membantu membedakan kedua keadaan ini. Obstruksi intrahepatik jarang seberat obstruksi ekstrahepatik. Akibatnya, kolestasis intrahepatik umumnya hanya mengakibatkan pneingkatan sedang kadat fosfatase alkali, dann ditemukan sedikit pigmen dalam feses atau urobilinogen dalam urin bila dibandingkan dengan kolestasis ekstrahepatik. Biopsi hati atau duodenum, atau kolangiograsi transhepatik dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis kasus yang sulit. Tabel 27-4 memuat daftar beberapa gambaran yang membedakan berbagai tipe ikterus yang sering terjadi (Price, 2005).
(sumber: Price, S. A. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses