Anda di halaman 1dari 9

BAB II

A. Ikterus dan Metabolisme Bilirubin


Penimbunan pigmen empedu falam tubuh menyebabkan perubahan
warna jaringan menjadi kuning dan di sebut ikterus. Ikterus biasanya dapat
di deteksi pada sklera, kulit, atau urine yang menjadi gelap bila bilirubin
serum mencapai 2-3 mg/dl. Bilirubin seurm normal adalah 0,3 sampai 1,0
mg/dl. Jaringan permukaan yang kaya elastin, seperti sklera dan permukaan
bawah lidah, biasanya menjadi kuning pertama kali.
Pemahaman mekanisme ikterus menyangkut pengertian
pembentukan, transpor, metabolisme, dan eksresi bilirubin.

B. Metabolisme Bilirbin normal


Pada individu normal, pembentukan dan ekskresi bilirubin
berlangsung melalui langkah langkah seperti yang terlihat dalam gambar
27-4. Sekitar 80 hingga 85% bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua
dalam sistem monosit -makrofag. Masa hidup rata rata eritrosit adalah
120hari. Setiap hari di hancurkan sekitar 50 ml darah, dan menghasilkan
250 sampai 350 mg bilirubin. Kini di ketahui bahwa sekitar 15 hingga 20%
pigmen empedu total tidak tergantung pada mekanisme, tetapi berasal dari
dekstruksi sel eritrosit matur dalam sumsum tulang (hematopoiesis tak
efektif) dan dari hemoprotein lain, terutama dari hati.
Pada katabolisem haemoglobin (terutama terjadi dalam limpa),
globulin mula mula di pisahkan dari heme, dan setelah itu heme di ubah
menjadi biliverdin. Bilirubin tak terkonjugasi kemudian di bentuk dari
biliverdin. Biliverdin adalah pigmen kehijauan yang di bentuk melalui
oksidasi bilirubin. Bilirubin tak terkonjugasi larut dalam lemak, tidak larut
dalam air, dan tidak dapat di eksresi dalam empedu atau urine. Bilirubin tak
terkonjugasi berikatan dengan albumin dalam suatu kompleks larut-air,
kemudian I angkut oleh darah ke sel sel hati. Metabolisme bilirubin di dalam
hati berlangsung dalam tiga langkah ambilan, konjugasi, dan eksresi.
Ambilan oleh sel hati memerlukan dua protein hati, yaitu yang di beri
simbol protein Y dan Z (lihat gambar 27-4). Konjugasi bilirubin dengan
asam glukoronat di katalisis oleh enzim glukonil transferase dalam
retikulum endoplasma. Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam lemak,
tetapi larut dalam air dan dapat di eksresikan dlam empedu dan urin.
Langkah terakhir dalam metabolisme bilirubin hati adalah transor bilirubin
terkonjugasi melalui membran sel ke dalam empedu melalui suatu proses
aktif. Bilirubin tak terkonjugasi tidak di eksresikan ke dalam empedu,
kecuali setelah proses foto-oksidasi atau fotoisomerisasi (lihat pembahasan
berikut).
Bakteri usus mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi serangkaian
senyawa yan di sebut sterkobilin atau urobilinogen. Zat zat ini
menyebabkan feces berwarna coklat. Sekitar 10 hinga 20% urobilinogen
mengalami siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil di eksresi dalam
urine.

C. Mekanisme Patofisiologi ikterik


Empat mekanisme umum yang menyebabkan hiperbilirubinemia dan
ikterus:
 Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
 Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati.
 Gangguan konjugasi bilirubin.
 Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor
intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat fungsional atau di
sebabkan mekanisme keempat terutama menyebabkan
hipernilirubinemia terkonjugasi.

1) Pembentukan Bilirubin Berlebihan


Penyakit hemolitik atau peningkayan laju dekstruksi eritrosit
merupakan penyebab tersering dari pembentukan bilirubin yang
berlebihan. Ikterus yang timbul sering di sebut sebagai ikterus hemolitik.
Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi
suplai bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Meskipun demikian, pada
penderita hemolitik berat, kadar bilirubin serum jarang melebihi 5mg/dl
dan ikterus yang timbul bersifat ringan serta berwarna kuning pucat.
Bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam urine dan tidak terjadi
bilirubinuria. Namun demikian terjadi peningkatan pembentukan
urobilinigen (akibat peningkatan konjugasi serta ekskresi), yang
selanjutnya mengakibatkan penigkatan ekskresi dalam feses dan urine.
Urine dan feces berwarna lebih gelap.
Beberapa penyebab lazim ikterus hemolitik adalah hemoglobin
abnormal (hemoglobin S pada anemia sel sabit), eritrosit abnormal
(sferositosis herediter), antibodi dalam serum (inkompatibilitas Rh atau
transfusi atau akibat penyakit hemolitik autoimun), pemberian obat, dan
peningkatan hemolisis. Sebagian kasus ikterus hemolitik dapat di
sebabkan oleh suatu proses yang di sebut eritropoiesis yang tidak efektif.
Proses ini meningkatkan dekstruksi eritrosit atau prekursornya dalam
sumsum tulang (talasemia, anemia pernisiosa, dan porfiria).
Pada orang dewasa, pembentukan bilirubin berlebihan yang
berlangsung kronis dapat menyebabkan terbenetuknya batu empedu
yang mengandung sejumlah besar bilirubin; di luar itu,
hiperbilirubinemia ringan umunya tidak membahayakan. Pengobatan
langsung di tujukan untuk memperbaiki penyakit hemolitik. Akan
tetapi, kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg/dl pada bayi
dapat menyebabkan terjadinya kernikterus.

2) Gangguan ambilan bilirubin


Ambilan bilirubin tak terkonjugasi terikat-albumin oleh sel hati, di
lakukan dengan memisahkan dan mengakibatkan bilirubin terhadap
protein penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti berpengaruh
dalam ambilan bilirubin oleh hati; asam flavaspidat (di pakai untuk
mengobati cacing pita),novobiosin,dan beberapa zat warna
kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus
biasanya menghilang bila obat penvcetus di hentikan. Dahulu,ikterus
neonatal dan beberapa kasus sindrom Gilbert di anggap di sebabkan oeh
defisiensi protein penerima dan gangguan ambilan oleh hati. Namun,
pada sebagian besar kasus di temukan adanya defisiensi glukoronil
transferase, sehingga keadaan ini paling baik di anggap sebagai defek
konjugasi bilirubin.

3) Gangguan konjugasi bilirubin


Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan (<12,9mg/100ml) yang
timbul antara hari kedua dan kelima setelah lahir di sebut sebaga ikterus
fisiologis neonatus. Ikterus neonatal yang normal ini di sebabkan oleh
imaturitas enzim glukoronil transferase. Aktivitas glikoronil transferase
biasanya meningkat beberapa hari hngga minggu kedua setelah lahir,
dan setelah iru ikterus akan menghilang
Apabila bilirubin tak terkonjugasi pada bayi baru lahir melampaui
20mg/dl, terjadi suatu keadaan yang di sebut sebagai kernikterus.
Keadaan ini dapat timbul bila suatu proses hemolitik (seperti
eritroblastosis fetalis) terjadi pada bayi baru lahir dengan defisiensi
glukoronil transferase normal. Kernikterus (atau bilirubin ensefalopati)
timbul akibat penimbunan bilirubin tak terkonjugasi pada daerah
ganglia basalis yang banyak mengandung lemak. Bila keadaan ini tidak
di obati maka terjadi kematian atau kerusakan neurologid yang berat.
Tindakan pengobatan terbaru pada neoenatus dengan hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi. Fototerapi adalah pemajanan
sinar biru atau sinar flouresen (panjang gelombang 430 sampai 470 nm)
pada kulit bayi. Penyinaran ini menyebabkan perubahan pada struktural
bilirubin (foto-iso-merasi) menjadi isomer terpolarisasi yang larut
dalam air, isomer ini di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu
tanpa harus di konjugasi terlebih dahulu.
Tiga gangguan herediter yang menyebabkan defisiensi progresif
enzim glukoronil transferase adalah; sindrom Gilbert dan sindrom
Crigler-Najjar tipe I dan tipe II. Sindrom Gilbert merupakan suatu
penyakit familial ringan yang di cirikan dengan ikterus dan
hiperbiliruminemia tak terkonjugasi ringan (2-5 mg/ml) yang kronis.
Penelitian terbaru telah mengidentifikasi adanya dua bentuk sindrom
Gilbert. Bentuk pertama pasien dengan bukti hemolisis dan
pengingkatan penggantian bilirubin. Bentuk kedua memiliki bersihan
bilirubin yang menurun dan tidak terdapat hemolisis. Kedua bentuk ini
dapat terjadi pada pasien yang sama dan dalam waktu yang sama
(Isselbacher, 1998). Pada sindrom Gilbert, derajat ikterus berubah-ubah
dan seringkali memburuk pada puasa lama, infeksi, stres, operasi, dan
asupan alkohol yang berlebihan. Awitan paling sering terjadi semasa
remaja. Sindrom Gilbert sering terjadi dan menyerang sampai 5%
penduduk pria. Uji fungsi hati serta kadar urobiliogen urin dan feses,
normal. Tidak ada blirubinuria. Penelitian mengungkapkan bahwa
penderita ini mengalami defisiensi parsial glukoronil transferase.
Keadaan ini dapat diobati dengan fenobarbital, yang merangnsang
aktivitas ensim glukoronil transferase.
Sindrom Crigler-Najjar tipe 1 merupakan gangguan herediter yang
jarang terjadi. Penyebabnya adlaah suatu gen resesif, dengan tidak
adanya glukoronil transferase sama sekali sejak lahir. Oleh karena itu
tidak terjadi konjugasi bilirubin sehingga empedu tidak berwarna dan
kadar bilirubin tak terkonjugasi melampaui 20 mg/100 ml. hal ini
menyebabkan terjadinya kernicterus. Fototerapi dapat mengurangi
hyperbilirubinemia tak terkonjugasi untuk sementara waktu, tetapi
biasanya bayi meninggal pada usia satu tahun. Sindrom Crigler-Najjar
tiper II adalah bentuk penyakit yang lebih ringan, diwariskan sebagai
suatu sifat genetik dominan dengan defisiensi sebagian glukoronil
transferase. Kadar bilirubin tak terkonjugasi serum lebih rendah (6
sampai 20 mg/dl) dan icterus mungkin tidak telihat sampai usia remaja.
Fenobarbital yang meningkatkan aktivitas glukoronil transferase
seringkali dapat menghilangkan ikterus pada pasien ini.

4) Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi


Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh factor
fungsional maupun obstruktif, terutama menyebabkan terjadinya
hyperbilirubinemia terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi larut dalam air,
sehingga dapat diekskresi dalam urin dan menimbulkan bilirubinueia
serta urin yang gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen urin sering
menurun sehigga feses terlihat pucat. Pengingkatan kadar bilirubin
terkonjugasi dapat disertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya,
seperti peningkatan kadar fosfatase alkali, AST, kolesterol, dan garam
empedu dalam serum. Kadar garam empedu yang meningkat dalam
darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus akibat
hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning dbandingan
akibat hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar
dari oranye-kuning muda atau tua sampai kuning-hijau muda atau tua
bila terjadi obstruksi total aliran empedu. Perubahan ini merupakan
bukti adanya ikterus kolestatik¸ yang merupakan nama lain dari ikterus
obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel hati,
kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran
empedu di luar hati). Pada kedua keadaan ini terdapat ganguan biokimia
yang serupa.
Penyebab tersering kolestasis intrahepatic adalah penyakit
hepatoselular dengan kerusakan sel parenkim hati akibat hepatitis virus
atau berbagai jenis sirosis. Pada penyakit ini, pembengkakan dan
disorganisasi sel hati dapat menekan dan menghambat kenalikuli atau
kolangiola. Penyakit hepatoselular biasanya mengganggu semua fase
metabolisme bilirubin—ambilan, konjugasi, dan ekskresi—tetapi
ekskresi baisanya paling terganggu, sehingga yang paling menonjol
adalah hyperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab kolestasis intraheatik
yang lebih jarang adaah pemakaian obat-obatan tertentu, dan gangguan
herediter Dubin-Johnson serta sindrom Rotot (jarang terjadi). Pada
keadaan ini, terjadi gangguan transfer bilirubin melalui membrane
heptosit yang menyebabkan terjadinya retensi bilirubin dalam sel. Obat
yang sering mencetuskan gangguan ini adalah halotan (anestetik),
kontrasepsi oral, estrogen, steroid anabolik, isoniazid, dan
klorpromazin.
Penyebab tersering kolestasis ekstrahepatik adalah sumbatan batu
empedu, biasanya pada ujung bawah duktus koledokus; karsinoma
kaput pancreas menyebabkan tekanan pada duktus koledokus dari luar;
demikian juga dengan karsinoma ampula Vateri. Penyebab yang lebih
jarang adalah striktur pasca-peradangan atau setelah operasi, dan
pembesaran kelenjar limfe pada porta hepatis. Lesi intrahepatik se
perti hepatoma kadang-kadang dapat menyumbat duktus hepatikus
kanan atau kiri.

5) Perbandingan Kolestasis Intrahepatik dan Ekstrahepatik


Keputusan diagnostic terpenting bagi dokter dan ahli bedah dalam
menangani kasus hiperbilirubinemia terkonjugasi adalah menentukan
apakah obstruksi aliran empedu yang terjadi intrahepatik atau
ekstrahepatik. Penderita kolestasis ekstrahepatik mungkin memerlukan
pembedahan, sedangkan pembedahan pada penyakit hepatoselular
(kolestasis intrahepatik) dapat memperberat penyakit dan bahkan dapat
menimbulkan kematian. Membedakan kedua keadaan ini tidak mudah,
karena semua bentuk kolestasis menimbulkan sindrom klinik ikterus
yang sama yaitu: gatal, peningkatan transaminase, peningkatan
fosfatase alkali, gangguan ekskresi zat warna kolesistografi, dan
kandung empedu yang tidak terlihat. Walaupun penentuan akhir bersifat
klinis, namun penilaian derajat obstruksi dapat membantu membedakan
kedua keadaan ini. Obstruksi intrahepatik jarang seberat obstruksi
ekstrahepatik. Akibatnya, kolestasis intrahepatik umumnya hanya
mengakibatkan pneingkatan sedang kadat fosfatase alkali, dann
ditemukan sedikit pigmen dalam feses atau urobilinogen dalam urin bila
dibandingkan dengan kolestasis ekstrahepatik. Biopsi hati atau
duodenum, atau kolangiograsi transhepatik dapat dilakukan untuk
memastikan diagnosis kasus yang sulit. Tabel 27-4 memuat daftar
beberapa gambaran yang membedakan berbagai tipe ikterus yang sering
terjadi (Price, 2005).

(sumber: Price, S. A. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. (H. Hartanto, Ed.) (3rd ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hlm 481-485)

Anda mungkin juga menyukai