Anda di halaman 1dari 62

LAPORAN KASUS

MOLA HIDATIDOSA

Pembimbing :

Dr. Ni Made Indri Dwi Susanti, SpOG

Oleh :

dr. Meidya Mukarramah

61110004

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
RSUD EMBUNG FATIMAH BATAM
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, dengan rahmat dan hidayahNya sehingga

kami telah dapat menyelesaikan tugas laporan kasus dengan judul Preeklampsia berat,

Impending Eklampsia.

Tugas laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kepaniteraan

klinik di bagian Ilmu Kedokteran Kedokteran Obstetri dan Ginekologi RSUD Embung Fatimah

Batam. Sebagai Dokter Muda yang sedang menjalankan kepaniteraan klinik, penyusun

melihat tugas laporan kasus ini. sebagai pelatihan agar kelak menjadi dokter umum yang

selalu menambah ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Kedokteran Obstetri dan Ginekologi.

Selama penyusunan tugas laporan kasus ini, penyusun telah banyak mendapatkan

bantuan yang tidak sedikit dari beberapa pihak, sehingga dalam kesempatan ini kami

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ni made indri dwi susanti, SpOG

sebagai dokter Pembimbing penyusunan tugas laporan kasus ini. Penyusunan menyadari

bahwa selama dalam penyusunan tugas laporan kasus ini jauh dari sempurna dan banyak

kekurangan dalam penyusunannya. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik

yang bersifat membangun guna kesempurnaan tugas laporan kasus ini. Penyusun berharap

tugas laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan teman-teman semua

di masa yang akan datang.

Batam 27 Februari 2015

M. K Bima Sakti. S.ked


1. IDENTITAS

Nama : Ny. R br Simanjuntak Nama Suami : Tn R

Umur : 29 tahun Umur : 32 tahun

Jenis kelamin : Perempuan Pekerjaan : Wiraswasta

Paritas : G3P2A0 Agama : Kristen

Alamat : Batu Aji

Agama : Kristen

Pekerjaan : Wiraswasta

No.RM : 404091

Tanggal masuk : 31-01-2018

Tanggal keluar :

1. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Keluar darah dari kemaluan setiap hari, sejak 3 minggu yang lalu.

RPS (Riwayat Penyakit Sekarang)

Pasien datang ke RSBP dengan rujukan dari dr. Nina, SpOG,

telah diketahui Hamil anak ke II sudah 3 bulan usia kehamilan nya,

dengan keluhan keluar darah setiap hari dari kemaluan selama +- 3

mingguyang lalu, dan sering mengganti pembalut 2x/hari, disertai mual

muntah, dan perut terasa mulas- mulas,

HPHT : ? - 11 - 2017

HPL : ? – 8 - 2018
Usia Kehamilan : 11 – 12 minggu

Mual-muntah :+

Sesak nafas :-

Riwayat Pernikahan : 1 kali menikah, pada usia 25 tahun

Riwayat Menarche : kira-kira umur 14 tahun

Riwayat Menstruasi: teratur setiap bulan, + 7 hari dengan dismenore,

Riwayat Obstetri : G3 P2 A0 H2

1. Partus Normal, Aterm tahun 2010

2. Partus Normal, Aterm tahun 2014

3. Hamil ini.

Riwayat ANC : teratur di bidan 2 kali, di klinik dokter spesialis kandungan 1 kali

Riwayat KB : KB hormonal

RPT :-

RPK :-

4. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis

BB : 57 kg

TB : 158 cm

Vital Sign : Tekanan darah : 100/70 mmHg

Nadi : 87 x/menit

RR : 22 x/m Temp : 36,2 0C

Status Generalis : Kepala : Bentuk normochepal, simetris, deformitas (-)

Ekspresi muka tampak kesakitan


Rambut hitam ikal sebahu, tidak mudah rontok.

Facial : simetris, paresis (-), deformitas(-), pucat (-),chloasma

gravidarum (+)

Mata : konjungtiva anemis (+/+), sclera icteric(-), edema palpebra

(-), mata merah (-). Pupil isokor, Ø 3 mm, reflek cahaya

positif

Telinga : deformitas negative, otore negative, serumen minimal,

ganguan pendengaran negative, otalgia negative.

Hidung : nafas cuping hidung negative, deformitas/deviasi septum

negative, rhinore negative, edema chonca negative

Mulut : bibir tidak sianosis ataupun kering, stomatitis negative, lidah

tidak kotor, karies dan plaque gigi positive, uvula dan

tonsila tak membesar atau hiperemis, faring tidak

hiperemis.

Leher : Tak ada deviasi trachea, pembesaran kelenjar thyroid dan

limponodi.

Thorax

Inspeksi : Simetris, bentuk normal, sikatrik negative, benjolan

negative, mamae simetris tidak membesar. , irama frekuensi

nafas normal. Ictus cordis tak tampak

Palpasi : Fokal fremitus seimbang antara paru kanan dan kiri.

Pembesaran limfonodi axillaries negative. Nyeri tekan

negative. Ictus cordis dan massa pada thorax tak teraba


Perkusi : Seluruh lobus paru sonor, batas redup hepar antara

SIC 5 dan 6 midclavicula. Batas redup jantung atas di SIC II

parasternal kiri, batas kanan di SIC IV parasternal kanan, batas

kiri di SIC IV midclavicula kiri.

Auskultasi : Suara dasar paru vesikuler, tak ada wheezing dan

ronchi. Bunyi jantung I dan II regular, tak ada bising jantung

Ekstrimitas: Deformitas negative, Edema Ekstremitas sedang,

Status Obstetri : a. Inspeksi : abdomen terlihat membesar, terlihat striae gravidarum

b. Palpasi :

TFU: 12 cm,

VT : tidak dilakukan

ketuban : (-),

Kaki Edema (-)

c. Auskultasi : DJJ: -

: TBJ : -

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Tgl 4 – 2 - 2015

Hematologi

HB : 14,0 g/dl

Leukosit : 18.200 /ul

Hematokrit : 42%
Eritrosit : 4,7 juta/ul

Trombosit : 148 ribu/ul

Hitung jenis leukosit

Netrofil segment 71%

Limfosit : 21%

Monosit : 8%

Masa perdarahan (BT) : 2’30” menit

Masa pembekuan (CT) : 8’30” menit

Golongan darah : B/+

Kimia darah

GDS : 113 mg/dl

Imunoserologi

HBsAg : ( - ) negative

Anti HIV : VCT

Urinalisa

Warna : Merah

Kejernihan : Agak keruh

BJ : 1.010

pH : 6

Leukosit : +2

Nitrit : -

Protein : +3

Glukosa : +3

Keton : -
Urobilinogen : -

Bilirubin : -

Eritrosit : +3

Sedimen

Leukosit : 10 – 15 /LPB

Eritrosit : 10 -15 /LPB

Epitel : 15 – 25 /LPK

Bakteri : -

Kristal : -

Silinder : - /LPK

Tgl 5 – 2 – 2105

Kimia darah

AST : 44 U/l

ALT : 41 U/l

Elektrolit

Natrium (NA+) : 138 mmol/L

Kalium (Ka+) : 4.3 mmolo/L

Klorida(Cl-) : 103

Tgl 6 – 2 – 2015

Hematologi

HB : 14,5 gr/dl

Leukosit : 17.500 /ul

Hematokrit : 39%

Eritrosit : 4,7 juta/ul


Trombosit : 158 ribu/ul

Hitung jenis leukosit

Basofil : 0%

Eosinofil : 1%

Netrofil segment : 77%

Limfosit : 16%

Monosit : 6%

Kimia darah

SGOT : 37 U/l

SGPT : 30 U/l

Ureum : 63 mg/dl

Creatine : 2,0 mg/dl

Albumin : 2,9 gr/dl

Elektrolit

Natrium : 126 mmol/L

Kalium : 4,3 mmol/L

Klorida : 98 mmol/L

Hemostasis

APTT : 29,9 detik

PT : 9,5 detik

INR : 0,87 %

Tgl 6 – 2 – 2015 jam : 18.00

Hematologi

HB : 13,5 gr/dl
Leukosit : 24.700 /ul

Hematokrit : 36%

Eritrosit : 4,4 juta/ul

Trombosit : 169 ribu/ul

Hitung jenis leukosit

Basofil : 0 %

Eosinofil : 0 %

Netrofil segment : 91%

Limfosit : 8%

Monosit : 1%

Kimia darah

Ureum : 65 mg/dl

Creatine : 2,1 mg/dl

Elektrolit

Natrium : 127 mmol/L

Kalium : 4,6 mmol/L

Klorida : 95 mmol/L

5. DIAGNOSA

Mola Hidatidosa

5. Therapi Tindakan :

 Konsul dr. Wahyudi, SpOG, Jam : 16;00 wib

Advice :

- IVFD RL 500cc/ 8jam

- Pasang Laminaria2 stiff , jam : 20: 00


- Puasakan Pasien Malam

- Rencana USG Kandungan

- Rencana tindakan Kuretase, jam : 08:00 wib

Di ruangan :

- Lapor, dr. Wahyudi, SpOG, Perihal hasil Lab DL,

Advice :

- Siapkan darah 2 labu

FOLLOW UP

Tgl 1 – 2 – 2018, Jam 08.00 wib

Telah dilakukan tindakan kuretase hisap dengan anestesi TIVA.

- Kuretase mola +- 500cc

- Perdarahan Minimal

Advice : obs TTV, pantau perdarahan, KU,

- IVFD RL + Oksitosin 20IU / 12 jam

- Amoksilin 500mg tab 3x1

- Asam Mefenamat 500mg tab 3x1

- Methylergometrine tab, 2x1

Jam 11:30 wib,

- Transfusi PRC Kolf ke 1 dengan IVFD Nacl

Jam 13:00 wib

- Transfusi PRC Kolf ke 2 dengan IVFD Nacl

Setelah kolf ke 2 lanjut drip oksitosin 20 IU / 12 jam


Follow Up tgl 2 - 2 – 2018, Jam 08:00 wib

S : tidak ada keluhan, perdarahan (-),

O : KU : baik

Kesadaran : Composmentis, (Kontak +)

TD : 120/80

N : 87x/menit

RR : 20x/menit

T : 36,1 c

Saturasi : 100%

Kepala : Normochepali, rambut hitam tidak mudah di cabut,

Mata : CA (-/-), SI (-/-),

Hidung : PCH (-),

Mulut : Kering (+), Sianosis (-),

Leher : Pembesaran tiroid (-), KGB (-),

Thorax : Simetris, Paru : Vesikuler, RH (-), WH (-),

Jantung : BJ I – II regular, Gallop (-), Murmur (-),

Abdomen : BU (+) N, Genitalalia : PPV (-),

Ekstremitas : Akral Hangat, CRT <2’’

A : Post Kuretase a/I Mola Hidatidosa

P : Boleh pulang, Kontrol Poli Obgyn

Obat pulang :

- Asam Mefenamat tab 3x500mg

- Amoksisilin 500mg tab 3x


PEMBAHASAN

DEFINISI

Suatu kehamilan yang ditandai dengan adanya villi korialis yang tidak normal
secara histologis yang terdiri dari beberapa macam tingkatan proliferasi trofoblastik dan
edema pada stroma villus. Biasanya kehamilan mola terjadi di dalam uterus, tetapi
kadang-kadang terdapat juga di saluran telur ataupun ovarium.3

 Kehamilan yang berkembang tidak wajar

 Tidak ditemukan janin

 Hampir seluruh villi korialis mengalami perubahan hidropik

 Bila disertai janin atau bagian janin disebut Mola parsial

 Pembuahan sel telur yang kehilangan intinya atau inti tidak aktif lagi

Mola hidatidosa adalah merupakan kehamilan yang dihubungkan dengan edema


vesikular dari vili khorialis plasenta dan biasanya tidak disertai fetus yang intak. Secara
histologis terdapat proliferasi trofoblast dengan berbagai tingkatan hiperplasia dan
displasia. Vili khorialis terisi cairan, membengkak, dan hanya terdapat sedikit pembuluh
darah. Mola hidatidosa terbagi atas 2 kategori. Yakni komplet mola hidatidosa dan
parsial mola hidatidosa. Mola hidatidosa komplet tidak berisi jaringan fetus. 90 %
biasanya terdiri dari kariotipe 46,XX dan 10% 46,XY. Semua kromosom berasal dari
paternal. Ovum yang tidak bernukleus mengalami fertilisasi oleh sperma haploid yang
kemudian berduplikasi sendiri, atau satu telur dibuahi oleh 2 sperma. Pada mola yang
komplet, vili khoriales memiliki ciri seperti buah anggur,dan terdapat trofoblastik
hiperplasia. Pada mola hidatidosa parsial terdapat jaringan fetus. Eritrosit fetus dan
pembuluh darah di vili khorialis sering didapatkan. Vili khorialis terdiri dari berbagai
ukuran dan bentuk dengan stroma trofoblastik yang menonjol dan berkelok-kelok.3
Mola hidatidosa ialah kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stroma villus korialis
langka vaskularisasi, dan edematous. Janin biasanya meninggal, akan tetapi villus-villus
yang membesar dan edematous itu hidup dan tumbuh terus; gambaran yang diberikan
ialah sebagai segugus buah anggur. Jaringan trofoblast pada villus kadang-kadang
berproliferasi ringan kadang-kadang keras, dan mengeluarkan hormon, yakni human
chorionic gonadotrophin (hCG) dalam jumlah yang lebih besar daripada kehamilan
biasa.4

KLASIFIKASI

Pembagian mola berdasarkan dengan adanya janin atau tidak.

(a) Mola hidatidosa komplit


Villi korion berubah menjadi massa vesikel dengan ukuran bervariasi dari sulit terlihat
sehingga diameter beberapa sentimeter. Histologinya memiliki karakteristik, yaitu : 2

 Terdapat degenerasi hidrofik & pembengkakan stroma villi

 Tidak ada pembuluh pada villi yang membengkak

 Proliferasi dari epitel trofoblas dengan bermacam-macam ukuran

 Tidak adanya janin atau amnion

(b) Mola Hidatidosa parsial


Masih tampak gelembung yang disertai janin atau bagian dari janin. Umumnya
janin masih hidup dalam bulan pertama. Tetapi ada juga yang hidup sampai aterm. Pada
pemeriksaan histopatologik tampak di beberapa tempat villi yang edema dengan sel
trofoblas yang tidak begitu berproliferasi, sedangkan tempat lain masih banyak yang
normal.2

Dari mola yang sifatnya jinak, dapat tumbuh tumor trofoblast yang bersifat
ganas. Tumor ini ada yang kadang-kadang masih mengandung villus di samping
trofoblast yang berproliferasi, dapat mengadakan invasi yang umumnya bersifat lokal,
dan dinamakan mola destruens (invasive mole, penyakit trofoblast ganas jenis villosum).
Selain itu terdapat pula tumor trofoblast yang hanya terdiri dari atas sel-sel trofoblast
tanpa stroma, yang umumnya tidak hanya berinvasi di otot uterus tetapi menyebar ke
alat-alat lain (koriokarsinoma, penyakit trofoblast ganas non villosum).4

Oleh IIUC (International Union against Cancer) diadakan klasifikasi sederhana


penyakit trofoblast, yang mempunyai keuntungan bahwa angka-angka yang diperoleh
dari berbagai negara di dunia dapat dibandingkan. Klasifikasi itu ialah :

A. Ada hubungan dengan kehamilan


B. Tidak ada hubungan dengan kehamilan
Diagnosis klinik Diagnosis morfologik
1) Non-metastatik 1) Mola hidatidosa
2) Metastatik a) Non invasif
a) Lokal (pelvis) b) Invasif
b) Ektrapelvik 2) Khoriokarsinoma
3) Tidak bisa ditentukan

Golongan tidak bisa ditentukan terdiri atas penyakit trofoblast di mana tidak
terdapat bahan-bahan dari otopsi, atau operasi, atau kerokan untuk membuat diagnosis
morfologik, akan tetapi diagnosis dibuat dengan cara-cara lain (hormonologik).4

FAKTOR RESIKO

Mola hidatidosa sering didapatkan pada wanita usia reproduktif. Wanita pada
remaja awal atau usia perimenopausal amat sangat beresiko. Wanita yang berusia lebih
dari 35 tahun memiliki resiko 2 kali lipat. Wanita usia lebih dari 40 tahun memiliki
resiko 7 kali dibanding wanita yang lebih muda. Paritas tidak mempengaruhi faktor
resiko ini.2

Faktor lain al : 3
 Defek pada ovarium

 Defisiensi nutrisi antara lain defisiensi protein, asam folat, karoten

 Umur dibawah 20 tahun atau

 Usia diatas 40 tahun : memiliki peningkatan resiko 7x dibanding perempuan


yang lebih muda

PATOGENESIS

Sitogenetika : mola hidatidosa komplet berasal dari genom paternal (genotipe 46


xx sering, 46 xy jarang, tapi 46 xx nya berasal dari reduplikasi haploid sperma dan
tanpa kromosom dari ovum). Mola parsial mempunyai 69 kromosom terdiri dari
kromosom 2 haploid paternal dan 1 haploid maternal (triploid, 69 xxx atau 69 xxy dari 1
haploid ovum dan lainnya reduplikasi haploid paternal dari satu sperma atau fertilisasi
dispermia).

MANIFESTASI KLINIS : 3

 Derajat keluhan mual muntah lebih hebat

 Uterus lebih besar dari usia kehamilan

 Perdarahan merupakan gejala utama

 Terjadi pada bulan 1-7, rata-rata usia kehamilan 12-14 minggu

 Perdarahan bisa sampai syok dan meninggal

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang


seperti laboratorium, USG dan histologis. Pada mola hidatidosa yang komplit terdapat
tanda dan gejala klasik yakni: 2
(1) Perdarahan vaginal. Gejala klasik yang paling sering pada mola komplit adalah
perdarahan vaginal. Jaringan mola terpisah dari desidua, menyebabkan perdarahan.
Uterus membesar (distensi) oleh karena jumlah darah yang banyak, dan cairan gelap
bisa mengalir melalui vagina. Gejala ini terdapat dalam 97% kasus.

(2) Hiperemesis. Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang berat. Hal ini
merupakan akibat dari peningkatan secara tajam hormon β-hCG.

(3) Hipertiroid. Setidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti takikardi, tremor dan
kulit yang hangat. Kebanyakan mola sudah dapat dideteksi lebih awal pada trimester
awal sebelum terjadi onset gejala klasik tersebut, akibat terdapatnya alat penunjang
USG yang beresolusi tinggi.

Gejala mola parsial tidak sama seperti komplit mola. Penderita biasanya hanya
mengeluhkan gejala seperti terjadinya abortus inkomplit atau missed abortion, seperti
adanya perdarahan vaginal dan tidak adanya denyut jantung janin.

Dari pemeriksaan fisik pada kehamilan mola komplit didapatkan umur


kehamilan yang tidak sesuai dengan besarnya uterus (tinggi fundus uteri). Pembesaran
uterus yang tidak konsisten ini disebabkan oleh pertumbuhan trofoblastik yang eksesif
dan tertahannya darah dalam uterus. Didapatkan pula adanya gejala preeklamsia yang
terjadi pada 27% kasus dengan karakteristik hipertensi ( TD > 140/90 mmHg),
protenuria (>300 mg.dl), dan edema dengan hiperefleksia. Kejadian kejang jarang
didapatkan. Kista theca lutein, yakni kista ovarii yang diameternya berukuran > 6 cm
yang diikuti oleh pembesaran ovarium. Kista ini tidak selalu dapat teraba pada
pemeriksaan bimanual melainkan hanya dapat diidentifikasi dengan USG. Kista ini
berkembang sebagai respon terhadap tingginya kadar beta hCG dan akan langsung
regresi bila mola telah dievakuasi.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan antara lain kadar beta hCG yang
normal. Bila didapatkan > 100.000 mIU/mL merupakan indikasi dari pertumbuhan
trofoblastik yang banyak sekali dan curiga terjadinya keganasan. Anemia merupakan
komplikasi yang sering terjadi disertai dengan kecenderungan terjadinya
koagulopati.sehingga pemeriksaan darah lengkap dan tes koagulasi dilakukan.
Dilakukan juga pemeriksaan tes fungsi hati, BUN dan kreatinin serta thyroxin dan
serum inhibin A dan activin A.

Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan standar untuk


mengidentifikasi kehamilan mola. Dari gambaran USG tampak gambaran badai salju
(snowstorm) yang mengindikasikan vili khorialis yang hidropik. Dengan resolusi yang
tinggi didapatkan massa intra uterin yang kompleks dengan banyak kista yang kecil-
kecil. Bila telah ditegakkan diagnosis mola hidatidosa, maka pemeriksaan rontgen
pulmo harus dilakukan karena paru - paru merupakan tempat metastasis pertama bagi
PTG.2

Gambar USG kehamilan mola pada trimester I tidak spesifik dan bervariasi.
Mungkin terlihat menyerupai kehamilan nirmudigah dengan dinding yang menebal,
plasenta hidropik, missed abortion, abortus inkompletus, mioma berdegenerasi kistik,
hiperplasia endometrium, atau terlihat sebagai massa ekogenik yang mengisi seluruh
kavum uteri. Dalam hal ini pemeriksaan kadar β-hCG serum akan sangat membantu
penegakan diagnosis.1

Pemeriksaan histologis memperlihatkan pada mola komplet tidak terdapat


jaringan fetus, terdapat proliferasi trofoblastik, vili yang hidropik, serta kromosom
46,XX atau 46,XY. Sebagai tambahan pada mola komplit memperlihatkan peningkatan
faktor pertumbuhan, termasuk c-myc, epidermal growth factor, dan c-erb B-2,
dibandingkan pada plasenta yang normal. Pada mola parsial terdapat jaringan fetus
beserta amnion dan eritrosit fetus.2

Al: 3

 Amenore/ tidak haid

 Perdarahan pervaginam
 Uterus lebih besar dari usia kehamilan

 Tidak ditemukan tanda kehamilan pasti seperti balotemen dan bunyi jantung
janin

 β-hCG dalam darah atau urin

 Foto abdomen, biopsi transplasental, sonde uterus diputar, USG

Sudah dikemukan bahwa uterus pada mola hidatidosa tumbuh lebih cepat
daripada kehamilan biasa; pada uterus yang besar ini tidak terdapat tanda-tanda adanya
janin di dalamnya, seperti balottemen pada palpasi, gerak janin pada auskultasi, adanya
kerangka janin pada pemeriksaan Roentgen, dan adanya denyut jantung pada
ultrasonografi. Perdarahan merupakan gejala yang sering ditemukan. Kadar hCG pada
mola jauh lebih tinggi daripada kehamilan biasa. Ultrasonografi B-Scan) memberi
gambaran yang khas mola hidatidosa.4
Uterus membesar lebih cepat dari biasa, penderita mengeluh tentang mual dan
muntah, tidak jarang terjadi perdarahan pervaginam. Kadang-kadang pengeluaran darah
disertai dengan pengeluaran beberapa gelembung villus, yang memastikan diagnosis
mola hidatidosa.4

DIAGNOSIS BANDING

 Kehamilan dengan mioma


 Abortus
 Hidramnion
 Gemeli
 Kehamilan ektopik
PENANGANAN MOLA HIDATIDOSA

Berhubung dengan kemungkinan, bahwa mola hidatidosa menjadi ganas, maka


terapi yang terbaik pada wanita dengan usia yang sudah lanjut dan sudah mempunyai
jumlah anak yang diingini, ialah histerektomi. Akan tetapi pada wanita yang masih
menginginkan anak, maka setelah diagnosis mola dipastikan, dilakukan pengeluaran
mola dengan kerokan isapan (suction curettage) disertai dengan pemberian infus
oksitosin intravena. Sesudah itu dilakukan kerokan dengan kuret tumpul untuk
mengeluarkan sisa-sisa trofoblast yang dapat ditemukan. Makin tinggi tingkat itu, makin
perlu untuk waspada terhadap kemungkinan keganasan.4

Sebelum mola dikeluarkan, sebaiknya dilakukan pemeriksaan Roentgen paru-


paru untuk menentukan ada tidaknya metastasis di tempat tersebut.

Setelah mola dilahirkan, dapat ditemukan bahwa kedua ovarium membesar


menjadi kista teka-lutein. Kista-kista ini yang tumbuh karena pengaruh hormonal,
kemudian mengecil sendiri.4

Terapi : 3

 Perbaikan keadaan umum


 Pengeluaran jaringan mola (evakuasi)
 Profilaksis dengan sitostatika
 Pemeriksaan tindak lanjut (follow up)
1) Perbaikan keadaan umum. Transfusi darah jika anemia atau syok.
Menghilangkan penyulit seperti preeklampsia dan tirotoksikosa.

2) Pengeluaran jaringan mola (evakuasi) :

 Kuret hisap (Vakum) : Sambil diberikan uterotonika untuk memperbaiki


kontraksi, sedia darah
 Histerektomi : cukup umur atau cukup anak, bila ditemukan tanda-tanda
keganasan berupa mola invasif
3) Profilaksis dengan sitostatika. Kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadinya
keganasan, atau pada pemeriksaan Patologi Anatomi ditemukan mencurigakan tanda
keganasan, Methotrexate atau actinomycin D dapat menghindarkan keganasan dengan
metastasis, mengurangi koriokarsinoma di uterus sebanyak 3x.

4. Follow up. Dianjurkan untuk tidak hamil 1 tahun, kondom atau pil KB.
Pemeriksaan β-hCG berkala dan radiologi.

Penanganan al : 2

Secara medis pasien distabilkan dahulu, dilakukan transfusi bila terjadi anemia,
koreksi koagulopati dan hipertensi diobati.

Evakuasi uterus dilakukan dengan dilatasi dan kuretase penting dilakukan.


Induksi dengan oksitosin dan prostaglandin tidak disarankan karena resiko peningkatan
perdarahan dan sekuele malignansi. Pada saat dilatasi, infus oksitosin harus segera
dipasang dan dilanjutkan pasca evakuasi untuk mengurangi kecenderungan perdarahan.
Pemberian uterotonika seperti metergin atau hemabate juga dapat diberikan. Respiratori
distres harus selalu diwaspadai pada saat evakuasi. Hal ini terjadi karena embolisasi dari
trofoblastik, anemia yang menyebabkan CHF, dan iatrogenik overload. Distres harus
segera ditangani dengan ventilator.

Setelah dilakukan evakuasi, dianjurkan uterus beristirahat 4 – 6 minggu dan


penderita disarankan untuk tidak hamil selama 12 bulan. Diperlukan kontrasepsi yang
adekuat selama periode ini. Pasien dianjurkan untuk memakai kontrasepsi oral, sistemik
atau barier selama waktu monitoring. Pemberian pil kontrasepsi berguna dalam 2 hal
yaitu mencegah kehamilan dan menekan pembentukan LH oleh hipofisis yang dapat
mempengaruhi pemeriksaan kadar hCG. Pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim
(AKDR) tidak dianjurkan sampai dengan kadar hCG tidak terdeteksi karena terdapat
resiko perforasi rahim jika masih terdapat mola invasif. Penggunaan pil kontrasepsi
kombinasi dan terapi sulih hormon dianjurkan setelah kadar hCG kembali normal.

Tindak lanjut setelah evakuasi mola adalah pemeriksaan hCG yang dilakukan
secara berkala sampai didapatkan kadar hCG normal selama 6 bulan. Kadar hCG
diperiksa pasca 48 jam evakuasi mola, kemudian di monitor setiap minggu sampai
dengan terdeteksi dalam 3 minggu berturut-turut. Kemudian diikuti dengan monitoring
tiap bulan sampai dengan tidak terdeteksi dalam 6 bulan berturut – turut. Waktu rata-
rata yang dibutuhkan sampai dengan kadar hCG tidak terdeteksi setelah evakuasi
kehamilan komplit maupun parsial adalah 9 – 11 minggu. Tinjauan kepustakaan lain
menyebutkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar normal sekitar 6-9 bulan.
Setelah monitoring selesai maka pasien dapat periksa hCG tanpa terikat oleh waktu.2

PENGAMATAN LANJUTAN

Pengamatan lanjutan pada wanita dengan mola hidatidosa yang uterusnya


dikosongkan, sangat penting berhubung dengan kemungkinan timbulnya tumor ganas (±
20%). Anjuran untuk pada semua penderita pascamola dilakukan kemoterapi untuk
mencegah timbulnya, keganasan, belum dapat diterima oleh semua pihak.

Pada pengamatan lanjutan, selain memeriksa terhadap kemungkinan timbulnya


metastasis, sangat penting untuk memeriksa kadar hormon koriogonadotropin (hCG)
secara berulang.

Pada kasus-kasus yang tidak menjadi ganas, kadar hCG lekas turun menjadi
negatif, dan tetap tinggal negatif. Pada awal masa pascamola dapat dilakukan tes hamil
biasa, akan tetapi setelah tes hamil biasa menjadi negatif, perlu dilakukan pemeriksaan
radio-immunoassay hCG dalam serum. Pemeriksaan yang peka ini dapat menemukan
hormon dalam kuantitas yang rendah.

Pemeriksaan kadar hCG diselenggarakan tiap minggu sampai kadar menjadi


negatif selama 3 minggu, dan selanjutnya tiap bulan selama 6 bulan. Sampai kadar hCG
menjadi negatif, pemeriksaan Roentgen paru-paru dilakukan tiap bulan. Selama
dilakukan pemeriksaan hCG, penderita diberitahukan supaya tidak hamil. Pemberian pil
kontrasepsi berguna dalam 2 hal : 1) mencegah kehamilan baru, dan 2) menekan
pembentukan LH oleh hipofisis, yang dapat mempengaruhi pemeriksaan kadar hCG.
Apabila tingkat kadar hCG tidak turun dalam 3 minggu berturut-turut atau malah naik,
dapat diberikan kemoterapi, kecuali jika penderita tidak menghendaki bahwa uterus
dipertahankan; dalam hal ini dilakukan histerektomi.

Kemoterapi dapat dilakukan dengan pemberian Methotrexate atau


Dactinomycin, atau kadang-kadang dengan kombinasi 2 obat tersebut. Biasanya cukup
hanya memberi satu seri dari obat yang bersangkutan. Pengamatan lanjutan terus
dilakukan, sampai kadar hCG menjadi negatif selama 6 bulan.4

KOMPLIKASI

Al : 3

 Bisa disertai preeklampsia pada usia kehamilan yang lebih muda.


 Tirotoksikosis, prognosis lebih buruk, biasanya meninggal akibat krisis tiroid.
 Emboli sel trofoblas ke paru.
 Sering disertai kista lutein, baik unilateral maupun bilateral, kista menghilang
jika mola sudah dievakuasi. Mola dengan kista lutein mempunyai resiko 4x lebih
besar berdegenerasi.
PROGNOSIS MOLA

Hampir kira-kira 20% wanita dengan kehamilan mola komplit berkembang


menjadi penyakit trofoblastik ganas. Penyakit trofoblas ganas saat ini 100% dapat
diobati. Faktor klinis yang berhubungan dengan resiko keganasan seperti umur
penderita yang tua, kadar hCG yang tinggi (>100.000mIU/mL), eklampsia,
hipertiroidisme, dan kista teka lutein bilateral. Kebanyakan faktor-faktor ini muncul
sebagai akibat dari jumlah proliferasi trofoblas. Untuk memprediksikan perkembangan
mola hidatidosa menjadi PTG masih cukup sulit dan keputusan terapi sebaiknya tidak
hanya berdasarkan ada atau tidaknya faktor-faktor risiko ini. Risiko terjadinya rekurensi
adalah sekitar 1-2%. Setelah 2 atau lebih kehamilan mola, maka risiko rekurensinya
menjadi 1/6,5 sampai 1/17,5.2

PENYAKIT TROFOBLAST GANAS JENIS VILLOSUM

Penyakit trofoblast ini tumbuh sesudah mola hidatidosa. Gejala-gejalanya ialah


kadar hCG pascamola setelah menurun, tidak menurun terus malahan dapat meningkat
lagi, dan adanya amenorea yang diikuti oleh perdarahan dari uterus yang tidak teratur.
Pada pemeriksaan ginekologik uterus membesar dan lembek, dan dapat ditemukan kista
teka lutein pada kedua ovarium. Kemungkinan adanya sisa-sisa mola hidatidosa tidak
perlu dipikirkan, apabila 1 minggu sesudah mola lahir diadakan kerokan.4

Untuk keperluan diagnosis perlu dilakukan kerokan, histerografi atau


histeroskopi. Pada kerokan dapat ditemukan villus-villus, biasanya dengan proliferasi
trofoblast yang berlebihan, atau hasilnya ialah negatif karena tumor tidak ada lagi di
kavum uteri tetapi sudah memasuki miometrium.

Angiografi dalah hal ini dapat memperlihatkan gambaran vaskularisasi yang


abnormal di daerah invasi. Histerogram dapat memberikan gambaran kavum uteri yang
tidak rata; histeroskopi pula dapat memberi informasi yang berharga. USG dapat pula
membantu menegakkan diagnosis.

Pada penyakit trofoblast ganas jenis villosum invasi terbatas pada miometrium,
akan tetapi ada kemungkinan terdapat anak sebar yang mengandung villus di pelvis,
vagina, atau paru-paru.

 Penanganan
Dahulu terapi penyakit ini ialah histerektomi, akan tetapi sekarang dengan
adanya kemoterapi penyakit dapat disembuhkan tanpa operasi. Walaupun demikian, jika
fungsi uterus tidak diperlukan lagi (jumlah anak sudah cukup) lebih aman untuk
melakukan terapi pembedahan dan kemoterapi.
Kemoterapi dimulai dengan methotrexate dan dactinomycin. Jika obat pertama
tidak memenuhi harapan, yang dapat diukur dengan tingkat kadar hCG (pemeriksaan
kadar dilakukan seminggu sekali) diberikan obat kedua (sequential therapy). Dosis
dengan methotrexate ialah 0,4 mg/kg berat badan sehari yang tidak dapat melebihi 25
mg, dan diberikan intramuskulus untuk 5 hari. Selama pengobatan tiap hari diperiksa
Hb, leukosit, perhitungan diferensial, dan trombosit. Antara 2 seri diadakan istirahat
selama 2-4 minggu, tergantung dari efek sampingan obat.

Jika ada metastasis di pelvis dan/ atau di vagina kemoterapi diberikan seperti
pada penyakit trofoblast ganas risiko rendah.

Dalam lebih dari 50% dari semua kasus dapat dicapai reaksi baik dengan 1 jenis
obat; yang tidak bereaksi baik, diberi jenis obat yang lain. Penyembuhan penyakit
diharapkan tercapai pada hampir seluruh penderita. Efek sampingan terdiri atas tanda-
tanda depresi sistem hematopoesis, gangguan traktus digestivus, alopesia, vulvo-
vaginitis, konjungtivitis, dan eksantem pada kulit. Yang paling berat ialah depresi
sistem hematopoesis.

KORIOKARSINOMA (PENYAKIT TROFOBLAST GANAS NONVILLOSUM)

Penyakit ini dibagi dalam 2 golongan, ialah a) golongan dengan risiko rendah
dan b) golongan dengan risiko tinggi. Pada golongan risiko rendah penyakit terbatas
pada uterus atau terdapat metastasis di paru-paru, di pelvis , dan/ atau di vagina, dengan
kadar hCG tidak melebihi 100,000 mU/ml. Koriokarsinoma didahului oleh mola
hidatidosa dalam 50%, oleh kehamilan aterm dalam 25%, dan sisanya oleh abortus atau
kehamilan ektopik.

Penyakit Trofoblast Ganas Risiko Rendah

Pada penyakit ini dapat ditemukan metastasis di paru-paru dan/atau alat genital,
dan kadar hCG yang tetap tinggi atau meningkat tetapi tidak melebihi 100,000 mU/ml.
Umumnya penyakit diketahui dan diobati selama kurang dari 4 bulan, setelah mola
dikeluarkan. Jika ada perdarahan tidak normal, perlu dilakukan kerokan dahulu.
Untuk membuat diagnosis perlu ditentukan tidak adanya metastasis di otak,
hepar, dan/ atau traktus digestivus. Jika pada biopsi (misalnya dari metastasis di vagina)
ditemukan villus, hal itu menunjukkan bahwa penyakit ialah penyakit trofoblast ganas
villosum.

 Penanganan
Kemoterapi dimulai dengan pemberian berturut-turut methotrexate dalam dosis
rendah dan dactinomycin juga dalam dosis rendah. Apabila kadar hCG pada
pengamatan lanjut menjadi normal, tidak perlu pengobatan diteruskan; apabila tidak
menjadi normal dalam beberapa minggu, pengobatan diulangi.

Dalam kasus-kasus yang tetap resisten, diberi triple therapy terdiri atas
methotrexate, dactinomycin dan cyclophosphamide, atau methotrexate dalam dosis
tinggi dalam infuse. Terapi dengan infus tersebut diberikan kepada penderita yang
menunjukkan tanda-tanda keracunan dengan dactinomycin.

 Prognosis
Dengan terapi tersebut di atas sebagian besar penderita penyakit trofoblast ganas
risiko rendah dapat diselamatkan.

Penyakit Trofoblast Ganas Dengan Risiko Tinggi

Pada kasus-kasus ini terdapat ini terdapat tidak saja metastasis di paru-paru dan
alat-alat genital, melainkan juga di otak, di hepar, dan/ atau traktus digestivus.
Diagnosis sering kali dibuat terlambat, oleh karena hanya dalam 30% terdapat mola
hidatidosa dalam anamnesis. Tidak jarang lebih menonjol gejala-gejala yang disebabkan
oleh metastasis, misalnya ikterus atau perdarahan dalam otak. Diagnosis dalam hal itu
baru dipikirkan apabila ditemukan kadar hCG tinggi. MRI kiranya dapat dipakai untuk
mendeteksi metastasis di otak.

 Penanganan
Sebagai pengobatan dapat diberikan secara berturut-turut methotrexate dalam
dosis tinggi dan actinomycin D dalam dosis tinggi pula. Dapat pula diberikan triple
therapy terdiri atas methotrexate, dactinomycin, dan cyclophosphamide.

Pada metastasis di otak diberikan pula iradiasi pada kepala dan pada metastasis
di hepar iradiasi pada hepar. Jika terjadi banyak perdarahan dilakukan histerektomi dan
salpingo-ooforektomi.

 Prognosis
Sekarang lebih banyak penderita dapat diselamatkan, akan tetapi perlu disadari,
bahwa pencegahan timbulnya penyakit ini ialah terapi yang terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sarwano Prawirohardjo; Mola Hidatidosa; Perdarahan pada Kehamilan Muda;


Ilmu Kebidanan; Edisi keempat, Cetakan kedua, Jakarta : PT Bina Pustaka;
2009; halaman 488-490.
2. Anynomous; Mola Hidatidosa; 2011; diunduh dari scribd.com pada 24 Agustus
2011.
3. Anynomous; Mola Hidatidosa; 2011; diunduh dari wordpress.com pada 24
Agustus 2011.
4. Sarwono Prawirohardjo; Penyakit trofoblast berasal dari kehamilan; Ilmu
Kandungan; Edisi kedua, Cetakan ketujuh, Jakarta : PT Bina Pustaka; 2009;
halaman 260-265.
5. Anynomous; Mola Hidatidosa; 2011; diunduh dari fk-unsyiah.forumotion.com
pada 23 Agustus 2011.
6. Cunningham dkk; Hydatidiform Mole; Williams Obstetrics; Edisi 23; Mc Graw-
Hill Companies; 2010; halaman 257-259.
Pre Eklamsi Berat (PEB) merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai

dengan timbulnya hipertensi ≥160/110 disertai protein urine dan atau edema,

pada kehamilan 20 minggu atau lebih (Abadi et al, 2008; Coppage & Sibai,

2007).

1. Etiologi dan Mekanisme Patogenik Preeklamsi

Penyebab mendasar preeklampsia tetap tidak diketahui (de Souza Rugolo

et al., 2011 ; NHBPEP, 2000 ; Sibai et al., 2005). ). Zweifel (1916) dalam Gant

dan Worley (1980) menyebut preeklampsia sebagai “disease of theories” karena

terlalu banyak teori yang dikemukakan untuk menjelaskan penyakit ini terutama

berkaitan dengan etiologi serta patogenesisnya dan istilah ini telah menjadi suatu

kekhasan untuk preeklampsia dan eklampsia selama bertahun-tahun. Meskipun

demikian, akhir-akhir ini ada kemajuan dalam pemahaman tentang penyakit ini

yang memimpin pada prediksi yang akurat, pencegahan, dan pengobatan yang

lebih baik (Lindheimer et al., 2004 ; Roberts dan Cooper, 2001).

Pertimbangan utama mengarah pada plasenta sebagai fokus patogenik

karena preeklampsia dan eklampsia hanya terjadi pada keberadaan plasenta dan

persalinan menjadi penyembuhan definitif satu-satunya pada penyakit ini


(NHBPEP, 2000 ; Roberts dan Cooper, 2001). Oleh sebab itu penelitian-

penelitianyang ada difokuskan pada perubahan pembuluh darah ibu yang

menyuplai aliran darah ke plasenta. Cunningham et al. (2006) menyatakan

preeklampsia sebagai sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya perfusi

organ akibat vasospasme dan disfungsi endotel.

Teori plasenta sebagai dasar preeklampsia menjelaskan penyakit ini dalam

dua tahap (de Souza Rugolo, 2011 ; NHBPEP, 2000). Tahap pertama disebut

sebagai “silent placental events”, dimulai dengan plasentasi yang buruk dan

berkurangnya aliran darah ke plasenta. Keadaan ini menjadi menyebabkan

hipoksia plasenta yang berakibat pada pelepasan faktor-faktor hasil produksi

plasenta : mediator-mediator inflamasi seperti growth factors dan reseptor dapat

larut mereka, sitokin inflamasi, debris plasenta, dan stres oksidatif plasenta,

yang memasuki aliran darah maternal.

Tahap kedua adalah tahap maternal yang merupakan manifestasi nyata dari

penyakit ini. Tahap ini bergantung tidak hanya pada aksi dari faktor plasenta

yang sudah bersirkulasi, tetapi juga pada kesehatan ibu termasuk penyakit-

penyakit yang mengenai pembuluh darah (riwayat penyakit kardiorenal,

metabolik, factor genetik, obesitas). Produk-produk plasenta ini menyebabkan

disfungsi sel endotelial dan sindrom inflamasi sistemik, yang menimbulkan

manifestasi klinis pada preeklampsi.

2. Patologi dan Patofisiologi Manifestasi Multisistem Maternal Pada

Preeklampsia
Kardiovaskular

Gangguan-gangguan fungsi kardiovaskular yang parah sering terjadi pada

preeklampsia dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya

berkaitan dengan meningkatnya afterload jantung akibat hipertensi, preload

jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis, dan

aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang ekstraselular, terutama paru

(Cunningham et al., 2006). Tekanan darah yang tinggi pada preeklampsia

disebabkan oleh meningkatnya tahanan vaskular perifer akibat vasokonstriksi.

Keadaan ini berlawanan dengan kondisi kehamilan normal dimana yang terjadi

adalah vasodilatasi. Wanita dengan preeklampsia biasanya tidak mengalami

hipertensi yang nyata hingga pertengahan kedua masa gestasi, namun

vasokonstriksi dapat sudah muncul sebelumnya (NHBPEP, 2000). Mekanisme

yang mendasari vasokontriksi dan perubahan reaktivitas vaskular pada

preeklampsia masih belum sepenuhnya jelas. Tetapi penelitian - penelitian kini

difokuskan untuk mempelajari perbandingan antara prostanoid vasodilatasi dan

vasokontriksi, sebab ada bukti yang menunjukkan penurunan prostasiklin dan

peningkatan tromboksan pada pembuluh darah wanita dengan preeklampsia.

Selain itu, pada kehamilan normal respon pembuluh darah pembuluh darah

tehadap peptida dan amin vasoaktif khususnya angiotensin II (AII) menurun,

sedangkan wanita dengan preeklampsia hiperresponsif terhadap hormon-hormon

ini (NHBPEP, 2000)

Ginjal
Patofisiologi ginjal pada preeklampsia disebabkan oleh hal-hal berikut :

a) Selama kehamilan normal, aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus

meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, terjadi hipovolemia

sehingga perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus menurun bahkan dapat mencapai

kadar yang jauh di bawah kadar nonhamil normal. Keadaan ini menyebabkan

sekresi asam urat menurun sehingga kadar asam urat serum meningkat,

umumnya ≥ 5 mg/cc. Klirens kreatinin juga menurun sehingga kadar kreatinin

plasma meningkat, dapat mencapai ≥ 1 mg/cc. Juga dapat terjadi gagal ginjal

akut akibat nekrosis tubulus, yang ditandai oleh oliguria atau anuria dan

azotemia progresif (peningkatan kreatinin serum sekitar 1 mg/dl per hari),

umumnya dipicu oleh syok hipovolemik yang biasanya berkaitan dengan

perdarahan saat melahirkan yang tidak mendapat penggantian darah yang

memadai.

b) Selain itu juga terdapat perubahan anatomis ginal pada preeklampsia yang

dapat dideteksi dengan mikroskop cahaya atau elektron. Glomerulus membesar

dan bengkak tetapi tidak hiperselular. Lengkung kapiler dapat melebar atau

menciut. Sel-sel endotel membengkak sehingga menghambat lumen kapiler

secara total maupun parsial, dan terdapat fibril (serabut - serabut) yang

merupakan materi protein, yang dahulu disangka sebagai penebalan membran

basal, mengendap di dalam dan di bawah sel-sel tersebut. Perubahan-perubahan

ini disebut endhoteliosis kapiler glomerulus yang menjadi kelainan ginjal yang

khas pada preeklampsia-eklampsia.


c) Terjadi hiperkalsiuria, sementara pada kehamilan normal terjadi hipokalsiuria

akibat meningkatknya ekskresi kalsium.

d) Ekskresi natrium dapat terganggu pada preeklampsia meskipun bervariasi.

e) Proteinuria. Kerusakan glomerulus mengakibatkan meningkatnyaa

permeabilitas membran basalis sehingga terjadi kebocoran protein. Pada

preeklampsia, umumnya proteinuria terjadi jauh pada akhir kehamilan,

sehingga sering dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria, karena janin sudah

lahir terlebih dahulu.

Hepar

Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia, dan perdarahan.

Kerusakan hepar pada preeklampsia dapat berkisar mulai dari nekrosis

hepatoselular ringan (nekrosis hemoragik periporta) dengan abnormalitas enzim

serum (aminotransferase dan laktat dehidrogenase) sampai dengan sindrom

HELLP ( Hemolysis, Elevated liver enzymes, Low platelet). Selain itu

perdarahan dari lesi nekrosis hemoragik periporta dapat menyebabkan ruptur

hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul hepar dan membentuk hematom

subkapsular, yang memerlukan tindakan pembedahan.

Sistem Saraf Pusat

Manifestasi preeklampsia pada susuanan saraf pusat telah lama diketahui.

Perubahan neurologik yang terjadi pada preeklampsia dapat berupa :

a) Nyeri kepala akibat vasogenik edema yang disebabkan oleh hiperperfusi otak.

b) Gangguan visus/penglihatan, terutama pada preeklampsia berat, akibat


spasme arteri retina dan edema retina. Gangguan visus yang terjadi dapat

berupa pandangan kabur, skotoma, dan buta kortikal (jarang). Prognosisnya

baik dan penglihatan biasanya pulih dalam seminggu.

c) Tanda neurologik fokal seperti hiperrefleksi dapat timbul dan memerlukan

pemeriksaan radiologik segera.

d) Edema serebri, yang merupakan hal yang sangat mengkhawatirkan.

Gambaran utama adalah kesadaran berkabut dan kebingungan, dan gejala ini

hilang timbul. Sebagian pasien ada yang mengalami koma. Pada keadaan

yang serius , pasien dapat mengalami herniasi batang otak.

e) Kejang eklamptik. Eklampsia, yang merupakan fase konvulsi dari

preeklampsia, menjadi penyebab yang signifikan dari kematian maternal pada

penyakit ini.

Paru

Penderita preeklampsia berat mempunyai resiko besar terjadinya edema

paru, yang dapat disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada

pembuluh darah kapiler paru, dan menurunnya diuresis.

Perubahan Hematologis

Trombositopenia adalah ciri memburuknya preeklampsia, dan mungkin

disebabkan oleh aktivasi dan agregasi tombosit serta hemolisis mikroangiopati

yang dipicu oleh vasospasme yang hebat. Kondisi ini merupakan abnormalitas

darah yang paling sering dijumpai pada preeklampsia. Hitung trombosit yang

sangat rendah meningkatkan resiko perdarahan dan bila tidak segera dilakukan
persalinan akan berakibat fatal.

3. Tanda dan Gejala

Gejala-gejala klinis yang bertambah juga menunjukkan keparahan preeklampsia

yang terjadi. Preeklampsia berat dibagi menjadi (1) preeklampsia berat tanpa

impending preeclampsia dan (2) preeklampsia berat dengan impending

preeclampsia. Disebut impending preeclampsia bila preeklampsia berat disertai

gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus,

muntahmuntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah. Nyeri

epigastrium atau kuadran kanan tampaknya merupakan akibat nekrosis, iskemia,

dan edema hepatoselular yang meregangkan kapsul Glisson. Nyeri khas ini

sering disertai oleh peningkatan enzim hati dalam serum dan biasanya adalah

tanda untuk mengakhiri kehamilan karena nyeri ini menandai infark dan

perdarahan hati serta ruptur suatu hematom subkapsul yang sangat berbahaya.

Gejala lain yang ditemukan pada preeklampsia yang memberat adalah disfungsi

jantung dengan edema paru, gejala sistem saraf pusat yang berat dan menetap

(misalnya perubahan status mental, nyeri kepala, pandangan kabut, dan

kebutaan), serta pertumbuhan janin terhambat yang nyata. Tanpa adanya

proteinuria, preeklampsia tetap harus dipertimbangkan jika hipertensi disertai

dengan kelainan temuan laboratorium dan gejala-gejala memberat sebagaimana

ditemukan pada preeklampsia berat.


4. Diagnosa

Preeklampsia dipertimbangkan berat bila salah satu atau lebih

dari kriteria ini ditemukan pada pasien :

• Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau diastolik ≥110mmHg pada dua kali

pengukuran yang terpisah 6 jam

sementara pasien dalam keadaan istirahat.

• Proteinuria ≥5 gr dalam urin 24 jam atau ≥3 gr dalam dua

sampel urin yang dikumpulkan terpisah setidaknya 4 jam.

• Oliguri <500 mL/24 jam.

• Gangguan serebrum atau penglihatan.

• Edema pulmonum atau sianosis.

• Nyeri epigastrik atau kuadran kanan atas.

• Fungsi hepar terganggu

• Trombositopenia (trombosit ≤ 100.000 mm3)

• Restriksi pertumbuhan janin

5. Penatalaksanaan

Manajemen Preeklampsia Berat

Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,

pegobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit

organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. a) Pemberian terapi

medikamentosa.

1. Segera masuk rumah sakit.


2. Tirah baring ke kiri secara intermiten.

3. Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5%.

4. Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang, yang

dibagi atas loading dose (initial dose) atau dosis awal dan maintenance dose

(dosis lanjutan).

5. Anti hipertensi. Diberikan bila tensi ≥ 180 /110 atau MAP ≥ 126.

6. Diuretikum. Diuretikum tidak dibenarkan diberikan secara rutin karena

memperberat penurunan perfusi plasenta, memperberat hipovolemia, dan

meningkatkan hemokonsentrasi. Diuretikum hanya diberikan atas indikasi

edema paru, paying jantung kongestif, dan edema anasarka.

7. Diet. Diet diberikan secara seimbang, hindari protein dan kalori berlebih.

b) Sikap terhadap kehamilannya

1. Perawatan konservatif/ekspektatif

Tujuan : mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan yang

memenuhi syarat janin dapat dilahirkan dan meningkatkan kesejahteraan bayi

baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu. Indikasi : kehamilan ≤ 37

minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending eclampsia.

Bila penderita sudah kembali menjadi preeklamsi ringan, maka masih dirawat 2-

3 hari lagi, baru diizinkan pulang. Pemberian MgSO4 tidak diberikan loading

dose intravena, tetapi cukup intramuskuler. Pemberian glukokortikoid diberikan

pada umur kehamilan 32-34 minggu selama 48 jam. Selama di rumah sakit

dilakukan pemeriksaan dan monitoring baik terhadap ibu maupun janin.


Cara persalinan : bila penderita tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai

kehamilan aterm. Bila penderita inpartu, perjalanan persalinan diikuti seperti

lazimnya dan persalinan diutamakan pervaginam, kecuali bila ada indikasi untuk

seksio sesaria.

2. Perawatan aktif/agresif

Tujuan : terminasi kehamilan.

Indikasi :

a. Indikasi ibu : Kegagalan terapi medikamentosa (setelah 6 jam sejak dimulai

pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan darah yang persisten ; setelah 24

jam sejak dimulainya pengobatan medikamentosa terjadi kenaikan darah

desakan darah yang persisten), tanda dan gejala impending eclampsia, gangguan

fungsi hepar, gangguan fungsi ginjal, dicurigai terjadi solusio plasenta,

timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan.

b. Indikasi janin : umur kehamilan ≥ 37 minggu, IUGR berat berdasarkan

pemeriksaan USG, NST nonreaktif dan profil biofisik abnormal, timbulnya

oligohidramnion.

c. Laboratorik : adanya tanda-tanda “Sindrom HELLP” khususnya menurunnya

trombosit dengan cepat. Cara persalinan dilakukan berdasarkan keadaan

obstetrik pada waktu itu, apakah sudah inpartu atau belum.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana terjadi

keabnormalan dalam konsepsi plasenta yang disertai dengan perkembangan parsial atau

tidak ditemukan adanya pertumbuhan janin, hampir seluruh vili korialis mengalami

perubahan berupa degenerasi hidropobik. Janin biasanya meninggal akan tetapi villus-

villus yang membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran yang

diberikan adalah sebagai segugus buah anggur. Jaringan trofoblast pada vilus

berproliferasi dan mengeluarkan hormon human chononic gonadotrophin (HCG) dalam

jumlah yang lebih besar daripada kehamilan biasa.

Epidemiologi

Frekuensi mola hidatidosa umumnya di wanita Asia lebih tinggi (1 per 120 kehamilan)

daripada wanita di negara Barat (1 per 2.000 kehamilan). Di Indonesia, mola hidatidosa

dianggap sebagai penyakit yang penting dengan insiden yang tinggi (data RS di

Indonesia, 1 per 40 persalinan), faktor risiko banyak, penyebaran merata serta sebagian

besar data masih berupa hospital based. Faktor risiko mola hidatidosa terdapat pada usia

kurang dari 20 tahun dan di atas 35 tahun, gizi buruk, riwayat obstetri, etnis dan genetic

Etiologi

Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara pasti, namun factor


penyebabnya yang kini telah diakui adalah :

1. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati,

tetapi terlambat dikeluarkan.

2. usia ibu yang terlalu muda atau tua (36-40 tahun) beresiko 50%

terkena penyakit ini.

3. imunoselektif dari sel trofoblast

4. keadaan sosioekonomi yang rendah

5. paritas tinggi

6. defisiensi vitamin A

7. kekurangan protein

8. infeksi virus dan factor kromosom yang belum jelas.

Berbagai teori telah diajukan, misalnya teori infeksi, defisiensi zat makanan, terutama

protein tinggi. Teori yang paling cocok dengan keadaan adalah teori dari Acosta Sison,

yaitu defisiensi protein, karena kenyataan membuktikan bahwa penyakit ini lebih

banyak ditemukan pada wanita dari golongan sosio ekonomi rendah. Akhirakhir ini

dianggap bahwa kelainan tersebut terjadi karena pembuahan sebuah sel telur dimana

intinya telah hilang atau tidak aktif lagi oleh sebuah sel sperma yang mengandung 23x

(haploid) kromosom, kemudian membelah menjadi 46xx, sehingga mola hidatidosa

bersifat homozigot, wanita dan androgenesis. Kadang-kadang terjadi pembuahan oleh 2

sperma, sehingga terjadi 46xx atau 46xy.


Telah diketahui bahwa penyakit ini banyak ditemukan pada golongan sosi

ekonomi rendah, umur di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun, dan dengan paritas

tinggi. insiden penyakit ini dapat diturunkan dengan suatu upaya preventif berupa

pencegahan kehamilan di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun dengan jumlah anak

tidak lebih dari tiga. Juga disebutkan defisiensi lemak hewani dan karotene, kebiasaan

merokok, pemakaian pil kontrasepsi kombinasi merupakan faktor resiko. Secara singkat

dapat disimpulkan bahwa peran graviditas, paritas, faktor reproduksi lain, status

estrogen, kontrasepsi oral dan faktor makanan dianggap sebagai faktor resiko walaupun

masihn belum jelas hubungannya.

Klasifikasi

Mola hidatidosa dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu bila tidak disertai janin maka

disebut mola hidatidosa atau Complete mole, sedangkan bila disertai janin atau bagian

dari janin disebut mola parsialis atau Parsials mole

Bagan Gambaran Mola Komplit Mola Parsial

Patofisiologi

Menurut Sarwono, 2010, Patofisiologi dari kehamilan mola hidatidosa yaitu karena

tidak sempurnanya peredaran darah fetus, yang terjadi pada sel telur patologik yaitu :

hasil pembuahan dimana embrionya mati pada umur kehamilan 3 – 5 minggu dan

karena pembuluh darah villi tidak berfungsi maka terjadi penimbunan cairan di dalam

jaringan mesenkim villi.


Analisis sitogenetik pada jaringan yang diperoleh dari kehamilan mola memberikan

beberapa petunjuk mengenai asal mula dari lesi ini. Kebanyakan mola hidatidosa adalah

mola “lengkap” dan mempunyai 46 kariotipe XX. Penelitian khusus menunjukkan

bahwa kedua kromosom X itu diturunkan dari ayah. Secara genetik, sebagian besar

mola hidatidosa komplit berasal dari pembuahan pada suatu “telur kosong” (yakni, telur

tanpa kromosom) oleh satu sperma haploid (23 X), yang kemudian berduplikasi untuk

memulihkan komplemen kromosom diploid (46 XX). Hanya sejumlah kecil lesi adalah

46 XY. Pada mola yang “tidak lengkap” atau sebagian, kariotipe biasanya suatu triploid,

sering 69 XXY (80%). Kebanyakan lesi yang tersisa adalah 69 XXX atau 69 XYY.

Kadang-kadang terjadi pola mozaik. Lesi ini, berbeda dengan mola lengkap, sering

disertai dengan janin yang ada secara bersamaan. Janin itu biasanya triploid dan cacat.

Ada beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis dari penyakit

trofoblas:

1. Teori missed abortion.

Teori ini menyatakan bahwa mudigah mati pada usia kehamilan 3-5 minggu (missed

abortion). Hal inilah yang menyebabkan gangguan peredaran darah sehingga terjadi

penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah

gelembung-gelembung. Menurut Reynolds, kematian mudigah itu disebabkan karena

kekurangan gizi berupa asam folik dan histidine pada kehamilan hari ke 13 dan 21. Hal

ini menyebabkan terjadinya gangguan angiogenesis.

2. Teori neoplasma
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Park. Pada penyakit trofoblas, yang abnormal

adalah sel-sel trofoblas dimana fungsinya juga menjadi abnormal. Hal ini menyebabkan

terjadinya reabsorpsi cairan yang berlebihan kedalam villi sehingga menimbulkan

gelembung. Sehingga menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah.

Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung

gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, sehingga menyerupai buah

anggur, atau mata ikan. Karena itu disebut juga hamil anggur atau mata ikan. Ukuran

gelembung-gelembung ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1-2 cm. Secara

mikroskopik terlihat trias: (1) Proliferasi dari trofoblas; (2) Degenerasi hidropik dari

stroma villi dan kesembaban; (3) Hilangnya pembuluh darah dan stroma. Sel-sel

Langhans tampak seperti sel polidral dengan inti terang dan adanya sel sinsitial giantik

(syncytial giant cells). Pada kasus mola banyak dijumpai ovarium dengan kista lutein

ganda berdiameter 10 cm atau lebih (25-60%). Kista lutein akan berangsur-angsur

mengecil dan kemudian hilang setelah mola hidatidosa sembuh.

Gambaran Klinik

1. Perdarahan

Perdarahan uterus merupakan gejala mola hidatidosa yang paling umum ditemui.

Mulai dari sekedar spotting hingga perdarahan masif. Gejala perdarahan biasanya

terjadi antara bulan pertama sampai bulan ke tujuh dengan rata-rata minggu ke 12-

14. Dapat dimulai sesaat sebelum aborsi atau lebih sering dapat muncul secara

intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak hingga menyebabkan syok atau

kematian. Sebagai akibat dari perdarahan tersebut gejala anemia sering dijumpai
terutama pada wanita malnutrisi. Efek dilusi dari hipervolemia terjadi pada

wanita dengan mola yang lebih besar. Anemia defisiensi Fe sering ditemukan,

demikian pula halnya dengan kelainan eritropoiesis megaloblastik, diduga akibat

asupan yang tidak mencukupi karena adanya mual dan muntah disertai

peningkatan kebutuhan asam folat karena cepatnya proliferasi trofoblas.

Perdarahan juga sering disertai pengeluaran jaringan mola. Darah yang keluar

berwarna kecoklatan.

2. Ukuran uterus bisa lebih besar atau lebih kecil (tidak sesuai usia kehamilan)

Pertumbuhan ukuran uterus sering lebih besar dan lebih cepat daripada

kehamilan normal, hal ini ditemukan pada setengah dari semua pasien mola.

Ada pula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besarnya dengan

kehamilan normal, walaupun jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini

perkembangan trofoblas tidak terlalu aktif sehingga perlu dipikirkan

kemungkinan adanya dying mole. Uterus mungkin sulit untuk diidentifikasikan

secara pasti dengan palpasi, terutama pada wanita nullipara. Hal ini disebabkan

karena konsistensinya yang lembut di bawah dinding perut yang kaku.

Pembesaran uterus karena kista theca lutein multiple akan membuat sulit

perbedaaan dengan pembesaran uterus biasa.

3. Tidak adanya aktifitas janin

Walaupun pembesaran uterus mencapai bagian atas simfisis, tidak ditemukan

adanya denyut jantung janin. Meskipun jarang, mungkin terdapat plasenta ganda

dengan kehamilan mola komplet yang bertumbuh bersamaan, sementara


plasenta yang satu dan janin terlihat normal. Juga walaupun jarang, mungkin

terdapat mola inkomplet pada plasenta yang disertai janin hidup.

4. Eklamsia dan preeklamsia Preeklampsia pada kehamilan mola timbul pada

trisemester ke 2. Eklamsia atau preeklamsia pada kehamilan normal jarang

terlihat sebelum usia kehamilan 24 minggu. Oleh karenanya preeklamsia yang

terjadi sebelum waktunya harus dicurigai sebagai mola hidatidosa.

5. Hiperemesis

Mual dan muntah yang signifikan dapat timbul sebagai salah satu gejala mola

hidatidosa.

6. Tirotoksikosis

Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering meningkat,

namun gejala hipertiroid jarang muncul. Menurut Curry insidennya 1%, tetapi

Martaadisoebrata menemukan angka lebih tinggi yaitu 7,6%. Terjadinya

tirotoksikosis pada mola hidatidosa berhubungan erat dengan besarnya uterus.

Makin besar uterus makin besar kemungkinan terjadinya tirotoksikosis. Oleh

karena kasus mola dengan uterus besar masih banyak ditemukan, maka

Martaadisoebrata menganjurkan agar pada tiap kasus mola hidatidosa dicari

tandatanda tirotoksikosis secara aktif. Mola yang disertai tirotoksikosis

mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian maupun

kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita meninggal karena krisis

tiroid. Peningkatan tiroksin plasma mungkin karena efek dari estrogen seperti

yang dijumpai pada kehamilan normal. Serum bebas tiroksin yang meningkat
sebagai akibat thyrotropin-like effect dari Chorionic Gonadotropin hormone.

Terdapat korelasi antara kadar hCG dan fungsi endogen tiroid tapi hanya kadar

hCG yang melebihi 100.000 iu/L yang bersifat tirotoksis.

 Mola hidatidosa komplet

1. Perdarahan pervaginam : gejala umum dari mola komplet. Jaringan mola

terpisah dari desidua, menyebabkan perdarahan. Uterus mungkin membesar

karena sejumlah besar darah dan cairan gelap masuk ke dalam vagina. Gejala ini

muncul pada 97% kasus.

2. Hiperemesis : karena peningkatan secara ekstrem kadar hCG

3. Hipertiroidisme : kira-kira 7% pasien mengalami takikardi, tremor dan kulit

yang hangat.

 Mola hidatidosa parsial

Pasien dengan mola hidatidosa parsial tidak memiliki gejala yang sama dengan mola

komplet. Pasien ini biasanya mempunyai gejala dan tanda seperti abortus inkomplet

atau missed abortion.

1. Perdarahan pervaginam

2. Adanya denyut jantung janin

Diagnosis

1. Anamnesis
a. Ada kehamilan disertai gejala dan tanda kehamilan muda yang

berlebihan, perdarahan pervaginam berulang cenderung berwarna coklat

dan kadang bergelembung seperti busa.

b. terdapat gejala-gejala hamil muda yang kadang-kadang lebih nyata dari

kehamilan biasa

c. terdapat perdarahan yang sedikit atau banyak, tidak teratur, warna

tengguli tua atau kecoklatan

d. pembesaran rahim yang tidak sesuai (lebih besar) bila dibandingkan

dengan usia kehamilan seharusnya

e. keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu

ada) yang merupakan diagnosa pasti

2. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi

Palpasi :

Uterus membesar tidak sesuai dengan tuanya kehamilan, teraba lembek

Tidak teraba bagian-bagian janin dan ballotement dan gerakan janin.

Auskultasi : tidak terdengar bunyi denyut jantung janin

Pemeriksaan dalam :

Memastikan besarnya uterus


Uterus terasa lembek

Terdapat perdarahan dalam kanalis servikalis

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan kadar B-hCG

BetaHCG urin > 100.000 mlU/ml

Beta HCG serum > 40.000 IU/ml

Berikut adalah gambar kurva regresi hCG normal yang menjadi parameter

dalam penatalaksanaan lanjutan mola hidatidosa.

Gambar : Nilai rata-rata dari 95 % confidence limit yang menggambarkan kurva

regresi normal gonadotropin korionik subunit β pasca mola (Cunningham,

2006).

Pemeriksaan kadar T3 /T4

B-hCG > 300.000 mIU/ml mempengaruhi reseptor thyrotropin, mengakibatkan

aktifitas hormon-hormon tiroid (T3/T4) meningkat. Terjadi gejala-gejala

hipertiroidisme berupa hipertensi, takikardia, tremor, hiperhidrosis, gelisah,

emosi labil, diare, muntah, nafsu makan meningkat tetapi berat badan menurun
dan sebagainya. Dapat terjadi krisis hipertiroid tidak terkontrol yang disertai

hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular, toksemia, penurunan kesadaran

sampai delirium-koma (Cunningham, 2006).

4. Pemeriksaan Imaging

a. Ultrasonografi

Gambaran seperti sarang tawon tanpa disertai adanya janin

Ditemukan gambaran snow storm atau gambaran seperti badai salju.

b. Plain foto abdomen-pelvis: tidak ditemukan tulang janin

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap, yaitu:

1. Perbaikan keadaan umum

Yang termasuk usaha ini misalnya transfusi darah pada anemia berat dan

srok hipovolemik karena perdarahan. Atau menghilangkan penyulit seperti

preeklamsia dan tirotoksikosis. Preeklamsia diobati seperti pada kehamilan

biasa,

sedangkan untuk tirotoksikosis diobati sesuai protokol penyakit dalam, antara

lain
dengan inderal.

2. Pengeluaran jaringan mola

Bila diagnosis telah ditegakkan, kehamilan mola harus segera diakhiri. Ada

dua cara evakuasi, yaitu: a) kuret hisap, b) histerektomi

a. Kuret hisap

Kuret hisap merupakan tindakan pilihan untuk mengevakuasi jaringan

mola, dan sementara proses evakuasi berlangsung berikan infus 10 IU

oksitosin dalam 500 ml NaCl atau RL dengan kecepatan 40-60 tetes/menit.

Oksitosi diberikan untuk menimbulkan kontraksi uterus mengingat isinya akan

dikeluarkan Tindakan ini dapat mengurangi perdarahan dari tempat

implantasidan dengan terjadinya retraksi miometrium, dinding uterus akan

menebal dan dengan demikian resiko perforasi dapat dikurangi 8

.Bila sudah

terjadi abortus maka kanalis servikalis sudah terbuka. Bila belum terjadi

abortus, kanalis servikalis belum terbuka sehingga perlu dipasang laminaria

atau servikalis dilator (setelah 10 jam baru terbuka 2-5 cm). Setelah jaringan
mola dikeluarkan secara aspirasi dan miometrium memperlihatkan kontraksi

dan retraksi, biasanya dilakukan kuretase yang teliti dan hati-hati dengan

menggunakan alat kuret yang tajam dan besar. Jaringan yang diperoleh diberi

label dan dikirim untuk pemeriksaan. Kuretase kedua dilakukan apabila

kehamilan seusia lebih dari 20 minggu, atau tidak diyakini bersih. Kuret ke-2

dilakukan kira-kira 10-14 hari setelah kuret pertama. Pada waktu itu uterus

sudah mengecil sehingga lebih besar kemungkinan bahwa kuret betul-betul

menghasilkan uterus yang bersih.

Jika terdapat mola hidatidosa yang besar (ukuran uterus >12 minggu, dan

dievakuasi dengan kuret hisap, laparatomi harus dipersiapkan, atau mungkin

diperlukan ligasi arteri hipogastrika bilateral bila terjadi perdarahan atau

perforasi. Sebelum kuret sebaiknya disediakan persediaan darah untuk

menjaga kemungkinan terjadi perdarahan masif selama kuretase berlangsung.

b. Histerektomi

Sebelum kuret hisap digunakan, histerektomi sering dipakai untuk pasien

dengan ukuran uterus di luar 12-14 minggu. Namun histerektomi tetap


merupakan pilihan pada wanita yang telah cukup umur dan cukup mempunyai

anak.

Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur tua dan paritas

tinggi karena hal tersebut merupakan predisposisi timbulnya keganasan.

Batasan yang dipakai ialah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak

jarang bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan

histopatologi sudah tampak adanya tanda-tanda mola invasif.

Ada beberapa ahli yang menganjurkan agar pengeluaran jaringan dilakukan

melalui histerektomi. Tetapi cara ini tidak begitu populer dan sudah

ditinggalkan. Walau histerektomi tidak dapat mengeliminasi sel-sel tumor

trofoblastik, namun mampu untuk mengurangi kekambuhan penyakit ini.

3. Terapi profilaksis dengan sitostatika

Diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadinya keganasan

di bawah pengawasan dokter.3 Misalnya umur tua dan paritas tinggi yang

menolak untuk dilakukan histerektomi, atau kasus dengan hasil histopatologi

yang mencurigakan. Biasanya diberikan Methotrexate atau Actinomycin D.

Tidak
semua ahli setuju dengan cara ini, dengan alasan jumlah kasus mola yang

menjadi

ganas tidak banyak dan sitostatika merupakan obat yang berbahaya. Goldstein

berpendapat bahwa pemberian sitostatika profilaksis dapat menghindarkan

keganasan metastasis, serta mengurangi terjadinya koriokarsinoma di uterus

sebanyak 3 kali. Kadar hCG >100.000 IU/L praevakuasi dianggap sebagai resiko

tinggi untuk perubahan ke arah keganasan, pertimbangan untuk memberikan

Methotrexate (MTX) 3-5 mg/kgBB atau 25 mg IM dosis tunggal. Metastasis

yang

hanya ke paru dapat diobati dengan agen kemoterapi tunggal sedangkan

metastasis lainnya memerlukan 3 agen kemoterapi.

4. Pemeriksaan tindak lanjut (follow up)

Tujuan utama follow up untuk mendeteksi adanya perubahan yang

mengarah keganasan. Metode umum follow up adalah sebagai berikut:

- Mencegah kehamilan selama periode follow up, minimal 1 tahun, mematuhi

jadwal kontrol selama 2-3 tahun (1x pada triwulan pertama, tiap 2 minggu

pada triwulan kedua, tiap bulan pada 6 bulan berikutnya,tiap 2 bulan pada
tahun berikutnya, selanjutnya tiap 3 bulan

- Pengukuran kadar serum B-hCG setiap 2 minggu

- Mempertahankan terapi selama kadar serum menurun. Peningkatan atau

pendataran kadar membutuhkan evaluasi dan terapi lanjut

- Jika kadar normal (mencapai batas rendah dari pengukuran, dilakukan

pengukuran setiap bulan sekali selama 6 bulan dan tiap 2 bulan selama 1

tahun

- Follow up dapat dihentikan dan kehamilan diijinkan 1 tahun kemudian

Setiap periksa ulang penting diperhatikan :

1. Gejala klinik: keadaan umum, perdarahan, dan lain-lain

2. Lakukan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan inspekulo:

tentang keadaan serviks, uterus cepat bertambah kecil atau tidak, dan lainlain

3. Reaksi biologis atau imunologis air seni,

1x seminggu sampai hasil negatif, 1x2 minggu selama triwulan

selanjutnya, 1x sebulan dalam 6 bulan selanjutnya, 1x 3 bulan selama tahun

berikutnya. Kalau reaksi titer tetap (+) maka harus dicurigai adanya
keganasan. Keganasan masih dapat timbul setelah 3 tahun pasca terkenanya

mola hidatidosa. Menurut Harahap tumor timbul 34,5% dalam 6 minggu,

62,1% dalam 12 minggu, dan 79,4% dalam 24 minggu serta 97,2% dalam

1 tahun setelah mola keluar.

Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun, mengingat

kemungkinan terjadi keganasan setelah mola hidatidosa (20%). Gejalagejala

choriocarsinoma yang harus diwaspadai setelah dilakukan kuretase

mola: perdarahan yang terus menerus,involusi rahim tidak terjadi, kadangkadang

malahan nampak metastasis di vagina berupa tumor-tumor yang

biru ungu, rapuh dan mudah berdarah.

Selama pengawasan, secara berkala dilakukan ginekologis, kadar -

hCG dan ultrasonografi. Cara yang paling peka saat ini adalah dengan

pemeriksaan -hCG yang menetap untuk beberapa lama. Jika masih

meninggi, hal ini berarti masih ada sel-sel trofoblas yang aktif. Cara yang

umum dipakai sekarang ini adalah dengan radioimmunoassay terhadap -


hCG sub-unit. Pemeriksaan kadar -hCG diselenggarakan setiap minggu

sampai kadar menjadi negatif selama 3 minggu dan selanjutnya setiap bulan

selama 6 bulan. Mungkin juga timbul metastasis di paru-paru yang

menimbulkan batuk dan haemoptoe, oleh karena itu bila ada gejala-gejala

yang mencurigakan harus dibuat foto rontgen paru.

Gambar 1. Skema tatalaksana mola hidatidosa

9. Komplikasi

Perforasi uterus selama kuret hisap sering muncul karena uterus yang

membesar.

Jika hal ini terjadi prosedur penanganannya harus dalam bimbingan laparaskopi.

Perdarahan sering pada evakuasi mola, karenanya oksitosin IV harus

diberikan

sebelum prosedur dimulai. Methergin atau Hemabase dapat juga diberikan.

Penyakit trofoblastik ganas terjadi pada 20 % kehamilan mola, karenanya

pemeriksaan kuantitatif hCG serial dilakukan selama 1 tahun post evakuasi

sampai hasilnya negatif.


DIC, karena jaringan mola melepaskan faktor yang bersifat fibrinolitik.

Semua

pasien harus diperiksa kemungkinan adanya koagulopati.

Emboli trofoblastik dapat menyebabkan insufisiensi pernafasan akut. Faktor

resiko terbesar ialah pada ukuran uterus yang lebih besar dari yang diharapkan

pada usia kehamilan 16 minggu. Kondisi ini dapat berakhir fatal.

kista lutein, baik unilateral maupun bilateral. Kista lutein dapat menyebabkan

pembesaran pada satu atau kedua ovarium dengan ukuran yang beragam, dari

diameter mikroskopik sampai ukuran 10 cm atau lebih. Hal ini terjadi pada 25-

60% penderita mola. Kista teka lutein multiple pada 15-30% penderita mola

menyebabkan pembesaran satu atau kedua ovarium dan menjadi sumber rasa

nyeri. Ruptur, perdarahan atau infeksi mudah terjadi.

Kista lutein ini diperkirakan terjadi akibat rangsangan elemen lutein yang

berlebihan oleh hormon korionik-gonadotropin dalam jumlah besar yang

disekresi oleh trofoblas yang berproliferasi dengan pemeriksaan klinis, insiden

kista lutein + 10,2%, tetapi bila menggunakan USG angkanya meningkat sampai

50%. Kasus mola dengan kista lutein mempunyai resiko empat kali lebih besar
untuk mendapat degenerasi keganasan di kemudian hari daripada kasus-kasus

tanpa kista. Involusi dari kista terjadi setelah beberapa minggu yang biasanya

seiring dengan penurunan kadar B-hCG. Tindakan bedah hanya dilakukan bila

ada ruptur dan perdarahan atau ovarium yang membesar tadi mengalami infeksi.

umumnya ukuran kembali normal dalam 12 minggu.

Anemia, karena perdarahan yang berulang-ulang

Perdarahan dan syok. Penyebab perdarahan ini mungkin disebabkan oleh

pelepasan jaringan mola tersebut dengan lapisan desidua, perforasi uterus oleh

karena keganasan, atonia uteri atau perlukaan pada uterus karena evakuasi

jaringan mola.

Infeksi sekunder

10. Prognosis

________________________________________________________________

__

Prognosis baik Prognosis buruk

Kehamilan terakhir < 4 bulan > 4 bulan

B-hCG < 40.000 > 40.000


Kehamilan sebelumnya mola term

Terapi sebelumnya tidak ada gagal

Metastase tidak ada, kadang paru otak, hati

WHO SCORING SYSTEM

Faktor prognosis 0 1 2 4

1. Usia < 35 th >35 th

2. Kehamilan sebelumnya mola aborsi term

3. Interval <4bln 4-6 bln 7-12 bln >12 bln

4. B-hCG <1000 <10.000 <100.000 >100000

5. ABO maternal-paternal OxA,AxO B,AB

6. Ukiran tumor terbesar 3-5 >5

7. Angka metastase 1-4 4-8 >8

8. Kemoterapi terdahulu tunggal multiple

Total score : 0-4 resiko rendah

5.7 resiko sedang

> 8 resiko tinggi


Data mortalitas berkurang secara drastis mencapai 0 dengan diagnose dini dan

terapi yang adekuat. Dengan kehamilan mola yang lanjut, pasien cenderung

untuk

menderita anemia dan perdarahan kronis. Infeksi dan sepsis pada kasus-kasus ini

dapat

menyebabkan tingkat morbiditas yang tinggi.

Evaluasi dini tidak menghilangkan kemungkinan berkembangnya tumor

persisten. Hampir 20% mola komplet berlanjut menjadi tumor gestasional

trofoblastik.

Lurain and Colleagues (1987) melaporkan setelah evakuasi mola hidatidosa,

81%

mengalami regresi spontan dan 19% berlanjut menjadi tumor trofolastik

gestasional.

Pemantauan yang dilihat pada pasien mola hidatidosa yang telah menjalani

evakuasi mengindikasikan bahwa tindakan ini bersifat kuratif pada lebih dari

80%

pasien. Mola hidatidosa yang berulang terjadi pada 0,5 – 2,6%, dengan resiko

yang
lebih besar untuk menjadi mola invasif atau koriokarsinoma. Terjadinya proses

keganasan bisa berlangsung antara 7 hari sampai 3 tahun pasca mola, tetapi yang

paling

banyak dalam 6 bulan pertama. Kurang lebih 10-20% mola hidatidosa komplet

menjadi

metastastik koriokarsinoma yang potensial invasif.

Kematian pada kasus mola disebabkan karena perdarahan, infeksi, preeklamsia,

payah jantung, emboli paru atau tirotoksikosis. Di negara maju, kematian karena

mola

hampir tidak ada lagi, tetapi di negara berkembang masih cukup tinggi, yaitu

berkisar

2,2-5,7%.

DAFTAR PUSTAKA

Cunninngham. F.G. dkk. 2006. “Mola Hidatidosa” Penyakit Trofoblastik

Gestasional Obstetri

Williams. Edisi 21. Vol 2. EGC: Jakarta.

Departemen Obstetri & Ginekologi FK UNPAD. 2015. Panduan Praktik Klinis

Obstetri dan
Ginekologi. FK UNPAD : Bandung.

Prawirohadjo S, Wiknjosastro H. 2009. “Mola Hidatidosa”. Ilmu Kandungan.

Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohadjo: Jakarta

Sumapraja S, Martaadisoebrata D. 2011. Penyakit Serta Kelainan Plasenta dan

Selaput Janin,

dalam: Ilmu Kebidanan, Edisi ketiga, Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawiroharjo:

Jakarta

DAFTAR PUSTAKA

1. Coppage K, Sibai B, Management of severe preeklampsia, in Preeklampsia Etiology

and Clinical Practise editor Lyall F, Belford M, Cambridge University Press, 2007.

Lyall, Fiona; and Belfort, Michael. Pre-eclampsia. Cambridge University Press,

2001. Cambridge Books Online. Cambridge University Press. 06 October 2011

http://dx.doi.org/10.1017/CBO9780511545634.

2. Sibai B, Dekker G, Kupferminc M. Pre-eclampsia, 2005 [cited 2011 Jan 30] 365:

785 – 99. Available from : http://web.squ.edu.om/medLib/med/net/ETALC9

/html/clients/lancet/pdf/PIIS0140673605179872.pdf.
3. Lindheimer MD, Mahowald MB, Swiet M, Lighstone L, Akbari A, Figueiredo CEP,

Costa BEP, Antonello ICF, Gallery EDM. 2004 In Glomerular endotheliosis in

normal pregnancy and pre-eclampsia. BJOG: an International Journal of Obstetrics

and Gynecology.; 111: 191-95.

4. Gary Cunningham.. [et al]. 2006.Obstetri Williams. Edisi 21.Jakarta:EGC.

5. de Souza Rugolo, L.M.S., Bentlin, M.R., dan Trindade, C.E.P., 2011, Preeclampsia:

Effect on The Fetus and Newborn, NeoReviews, 12, e198 – e206.

6. NHBPEP, 2000, Report of The National High Blood Pressure Education Program

Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy, American Journal of

Obstetrics and Gynecology, 183, 1 – 22.

Anda mungkin juga menyukai