Referat
Referat
MENINGITIS
OLEH :
Realta Hamda
Zahid Zulkifly 1301-1211-3594
Preceptor:
Sobaryati, dr., SpS-KIC
1
PENDAHULUAN
Meningitis merupakan masalah kesehatan besar di Indonesia yang meningkatkan
angka kematian bayi dan balita. Meningitis sangat berbahaya bagi anak yang dapat
menyebabkan kecacatan seperti tuli, lumpuh, keterbelakangan mental, dan kematian.
Meningitis adalah suatu infeksi yang mengenai arakhnoid, piameter, dan cairan
serebrospinal di dalam sistem ventrikel yang dapat terjadi secara akut ataupun kronis. Hal
ini bisa disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, atau fungi, dan pathogen spesifik yang
terlibat dalam proses infeksi ini bergantung pada banyak faktor, khususnya umur dan status
imun tubuh. Namun, secara keseluruhan meningitis viral lebih banyak ditemukan daripada
meningitis bakterialis. Meningitis fungal terutama menyerang orang yang
imunokompromis.
Kasus terberat meningitis disebabkan oleh bakteri, yang sebagian besar merupakan
flora normal hidung dan tenggorokan yang terkadang menyebar ke dalam pembuluh darah
menuju meningen menimbulkan manifestasi klinis. Kadang-kadang keberadaan bakteri di
dalam darah menyebabkan syok septik sebagai hasil septikemia.
Dari hasil laporan kasus, bakteri penyebab meningitis terbanyak adalah
Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae, dan Neisseria meningitidis atau
meningococcus yang merupakan bakteri penyebab meningitis yang paling berbahaya yang
merupakan sebab utama morbiditas dan mortalitas dari infeksi bakteri akut di seluruh
dunia.
Differential diagnosis dari meningitis adalah :
- Toxic Encepalopathy
- Infeksi sistemik
- Infeksi virus akut pada SSP (Enchepalitis, Myelitis)
- Infeksi parasit pada SSP ( malaria serebral, Cysticercosis serebral, Toxoplasma)
2
SISTEM VENTRIKULER
Rongga didalam otak yang disebut ventrikel berisi cairan cerebrospinal (CSS). CSS
dibentuk oleh jaringan khusus didalam ventrikel yang disebut pleksus choroideus (Gilman,
1992).
Sistem ventrikular otak (Gambar 2-17) dibentuk terutama oleh empat ventrikulus,
terdiri dari dua ventrikel lateral dan ventrikel ketiga serta keempat yang tidak berpasangan.
Ventrikel lateral adalah bagian terbesar sistem ventrikular dan menempati bagian luas
anterior, sela media, kornu posterior, dan kornu inferior atau temporal. Kedua ventrikel
tersebut berhubungan dengan ventrikel ketiga melalui foremen Monro atau foramen
interventrikularis (Duus, 1996). Ventrikel ketiga berupa celah yang sempit antara bagian
diencephalon dextrum dan sinistrum yang dihubungkan dengan ventrikel keempat melaului
akuaduktus Sylvii (aquaductus cerebri). Ventrikulus keempat dalam bagian posterior pons
dan dalam medulla oblongata meluas ke arah postero-inferior, lalu beralih menjadi canalis
sentralis dalam bagian inferior medulla oblongata dan seluruh medulla spinalis (Moore,
2002)
dua foramen Luschka dan satu foramen Magendie (Duus, 1996). Foramen Luschka terletak
pada atap resesus lateralis ventrikel keempat, sedangkan foramen Magendie terletak pada
garis tengah dari atap ventrikel keempat (Gilman, 1992). CSS mengalir dari tempat
ganulasi arakhnoid pada sinus sagitalis (Young, 1997). Jika jalan ini tersumbat, ventrikulus
3
Ruang subarachnoid melingkupi cerebrum, cerebellum dan corda spinalis. Ruang
ini terisi CSS untuk menyokong dan memberi nutrisi pada struktur didalamnya, yang terdiri
dari arteri, vena, dan saraf kranial. Sisterna subarakhnoid merupakan perluasan ruang
subarachnoid pada sepanjang permukaan ventral batang otak dan dasar otak depan ( Young,
terbesar. Terletak posterior medulla, inferior cerebellum, dan pada atap ventriculus
Cisterna pontis terdapat pada permukaan anterior pons dan medulla oblongata
Cisterna superior terletak antara bagian posterior corpus callosum dan permukaan
terletak dalam atap-atap ventriculus tertius dan ventrikulus quartus, dan pada dasar tanduk
dan badan kedua ventrikulus lateralis. Meskipun plexus choroideus merupakan sumber
utama CSS dan villi arachnoidea merupaka tempat resopsi CSS terpenting, di tempat lain
(misalnya, melalui pelapis ventrikulus) terjadi pertukaran antara plasma darah dan CSS.
CSS dari ventriculus lateralis dan ventriculus tertius mengalir ke dalam ventriculus quartus
quartus melalui lubang median dan lateral dan kemudian memasuki spatium
4
sekeliling medula spinalis dan ke arah posterior-superior melewati cerebellum. Namun,
CSS terbanyak mengalir ke dalam cisterna interpeduncularis dan cisterna superior. CSS dari
berbagai cisterna menyebar ke arah superior melalui celah-celah dan fisur-fisur pada
permukaan medial dan superolateral hemisfer cerebrum. CSS juga memasuki perluasan
spatium subarachnoideum sekitar nervi cranialis, antara lain yang terpenting adalah
Lokasi resorpsi CSS ke dalam sisitem vena yang terpenting ialah melalui villi
sinus sagittalis superior dan lacuna lateralis. Dengan meningkatnya usia, villi arachnoidea
2002).
5
Gambar 2-17 Rongga-rongga ventrikel otak
PEMBAHASAN
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada
cairan serebrospinal yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
Meningitis serosa adalah radang selaput otak arachnoid dan piamater yang disertai
cairan serebrospinalis yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium
6
tuberculosa, dan disebut juga sebagai meningitis tuberkulosis. Penyebab lain seperti lues,
virus, Toxoplasma gondii, Ricketsia, maupun jamur.
Meningitis purulenta adalah radang bernanah arachnoid dan piamater yang meliputi
otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain: Neisseria meningitidis, Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenza, Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus,
E. coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa.
Berikut ini pembagian jenis meningitis berdasarkan etiologinya :
Epidemiologi
Insidensi dari tipe bakteri penyebab meningitis bervariasi menurut umur penderita,
yaitu sebagai berikut:
Neonatus: basil gram negatif (E. coli, Klebsiella), H. influenzae
Anak-anak: H. influenzae, N. meningitidis, dan S. pneumoniae
Dewasa: S. pneumoniae dan N. Meningitidis
Meningitis bakteria yang paling berbahaya adalah yang disebabkan oleh Neisseria
meningitidis atau meningokokus. Meningokokus merupakan sebab utama morbiditas dan
mortalitas dari infeksi bakteri akut di seluruh dunia.
Setelah ditemukannya antibiotik, angka mortalitas pada pasien yang diobati adalah
sekitar 10%. Pada suatu studi klinik memperlihatkan insidensi dari sekuele neurologis pada
lebih dari 50% kasus orang dewasa dan lebih dari 30% pada anak-anak, 10% daripadanya
dengan tuli sensori neural yang permanen. Angka kematian pada kasus yang tidak diobati
adalah sebesar 75-100%.
7
Patogenesis
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui:
• Hematogen, oleh karena infeksi dari tempat lain seperti faringitis, tonsilitis,
endokarditis, pneumonia, dan infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan
biakan positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada di dalam cairan otak
• Perkontinuitatum, perluasan dari infeksi yang disebabkan oleh infeksi dari sinus
paranasalis, mastoid, dan abses otak
• Implantasi langsung trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal
• Infeksi bakteria transplasental
Sebagian besar infeksi SSP terjadi akibat penyebaran secara hematogen. Saluran
napas merupakan port d’entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta. Proses
terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen diawali dengan perlekatan bakteri
pada sel epitel mukosa nasofaring, mengadakan kolonisasi, kemudian menembus rintangan
mukosa dan memperbanyak diri dalam aliran darah, dan menimbulkan bakteremia.
Selanjutnya bakteri masuk kedalam CSS dan memperbanyak diri di dalamnya. Bakteri ini
menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.
Mekanisme dari invasi bakteri kedalam ruang subarakhnoid masih belum diketahui.
Salah satu faktor yang berperan mungkin adalah jumlah/konsentrasi bakteri dalam darah.
Virulensi kuman mungkin merupakan faktor yang penting didalam invasi bakteri ke dalam
SSP. Pelepasan lipopolisakarida dari N. meningitidis merupakan salah satu faktor yang
menentukan patogenitas organisme ini. Setelah terjadi invasi ke dalam ruang subarakhnoid,
bakteriemia sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari proses supuratif lokal dalam SSP.
Patofisiologi
Mekanisme pertahanan didalam ruang subarakhnoid
Jika bakteri meningen patogen dapat memasuki ruang subarakhnoid, maka berarti
mekanisme pertahanan tubuh tidak adekuat. Pada umumnya didalam CSS yang normal,
kadar dari beberapa komplemen adalah negatif atau minimal. Inflamasi meningen
mengakibatkan sedikit peningkatan konsentrasi komplemen. Konsentrasi komplemen ini
8
memegang peranan penting dalam opsonisasi dari patogen meningen tidak berkapsul, suatu
proses yang penting untuk terjadinya fagositosis. Aktivitas opsonik dan bakterisidal tidak
didapatkan atau hampir tidak terdeteksi pada pasien dengan meningitis.
Manifestasi Klinis
• Trias klasik meningitis: demam, nyeri kepala, kaku kuduk
• Manifestasi klinis dari meningitis bakterialis dikelompokkan menjadi 2:
– tanda neurologis : gangguan kesadaran, kelumpuhan saraf kranial, defisit
neurologis fokal, dan kejang
– tanda meningen : kaku kuduk, Kernig sign, Laseque sign, dan Brudzinski sign
• Iritasi dan kerusakan saraf kranial: selubung saraf yang terinflamasi à
– N. II : papil edema, kebutaan, , defisit lapang pandang,
– N. III, IV, VI : ptosis, diplopia
9
– N. V : fotofobia
– N. VII : paresis fasial
• Pusat muntah teriritasi: muntah yang proyektil
• Kebingungan dan penurunan respon
• Meningitis meningococcal: petekie, rash purpura (Sindroma Waterhouse-
Friedrechsen)
• Peningkatan tekanan intrakranial: papil edema, delirium sampai dengan tidak sadar
• Komplikasi neurologis yang dapat terjadi antara lain:
– ventrikulitis
– abses otak
– paresis
– hidrosefalus
– epilepsi
• Tanda komplikasi non neurologis :
– artritis
– SIADH
10
Pada Dewasa dan Anak-Anak
• Tanda klinis awal: demam, nyeri kepala, kekakuan leher, konvulsi umum dan
gangguan kesadaran.
• Tanda Kernig Laseque tidak selalu muncul.
• Diagnosa sulit: demam dan sakit kepala, atau hanya gejala nyeri di leher atau
abdomen atau keadaan febris dengan kebingungan dan delirium, sedangkan gejala
kaku kuduk belum muncul.
• Pada anak-anak: infeksi subakut yang memburuk beberapa hari setelah infeksi
telinga atau infeksi saluran pernafasan atas, atau sebagai infeksi fulminan akut .
• Pada lansia: subfebris dengan kebingungan atau perubahan perilaku yang ringan.
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan pungsi lumbal
– Peningkatan sedang tekanan <300 mm CSS
– Peningkatan jumlah sel, 100-10000 sel/mm3 (80%-90% leukosit PMN)
– Penurunan glukosa
– Peningkatan enzim laktat dehidrogenase
– Peningkatan protein
– Sedimen CSS diwarnai gram :
• Sepasang kokus gram (+): pneumokokus
• Gram basil (-): Haemophillus
• Gram (-) kokus intra dan ekstraseluler: meningokokus
– Kultur CSS
• Tes Serologis / Imunologi
– Tes LA: antigen bakteri pada CSS, spesifisitas 100%; sensitivitas 80% untuk
Haemophillus dan Pneumococcus, dan 50% untuk Meningococcus
– PCR: deteksi asam nukleat bakteri pada CSS, tersedia untuk semua organisme
penyebab yang dicurigai. Spesifisitas dan sensitivitas PCR tidak diketahui,
dan penundaan keluarnya hasil (3-5 hari) mengakibatkan tes kurang
membantu dibanding kombinasi dari pewarnaan gram, kultur, dan tes LA.
• Kultur darah
• Pemeriksaan elektrolit serum: melihat kemungkinan gangguan sekresi ADH
• Foto roentgen: mendeteksi sumber infeksi
Pengobatan
• Prinsip terapi meningitis bakterialis adalah :
A. Umum
- Bed rest dan Tirah baring
- Diet tinggi kalori tinggi protein
- Ventilasi
- Cegah dehidrasi atau koreksi elektrolit inbalance
B. Kausa
– Terapi optimal à antibiotika golongan bakterisidal yang dapat masuk ke
cairan serebrospinal.
– Lama pemberian antibiotika minimal tidak diketahui secara pasti, tetapi jika
bakteri penyebab adalah S. pneumoniae, H. infuenzae, N. meningitidis secara
praktis diberikan paling kurang selama 10 hari atau paling kurang 7 hari
setelah bebas demam. Bila dilakukan pembedahan maka antibiotika
dilanjutkan sampai paling kurang 72 jam paska pembedahan. Jika bakteri
penyebab adalah organisme kurang sensitif seperti kuman gram negatif
enterik, L. monocytogenes, Streptococcus grup B, atau setelah trauma maupun
pembedahan, pemberian antibiotika dilanjutkan sampai 2-3 minggu atau lebih
lama.
– Pada kasus yang sulit dimana kuman penyebabnya relatif sulit dibasmi, seperti
kuman batang gram negatif enterik, Listeria, S. aureus, maka lumbal punksi
harus dilakukan 72 jam setelah pemberian antibiotika. Dilakukan pemeriksaan
jumlah sel, hitung jenis, kadar protein dan glukosa CSS serta kultur untuk
memastikan apakah CSS sudah steril atau belum.
– Jika kuman penyebabnya relatif sensitif terhadap antibiotika yang menembus
sawar darah otak dengan baik seperti Streptococcus sp., N. meningitidis, dan
pemeriksaan H. influenzae, CSS seharusnya sudah steril setelah 24 jam
pemberian antibiotika dan pemeriksaan hitung jenis didominasi oleh sel MN,
walaupun kadar protein masih tetap tinggi dan kadar glukosa masih tetap
rendah selama 2 minggu atau lebih. Bila hasil kultur setelah 72 jam terapi
masih dijumpai kuman, maka terapi antibiotik harus diganti atau diberikan
antibiotik intratekal. Ini bisa menunjukkan bahwa fokus infeksi
parameningennya masih ada.
– Pemberian obat dosis tinggi harus berhati-hati dan diperlukan pemeriksaan
fungsi hati, ginjal atau hematologinya.
– Obat antibiotika yang kemampuan menembus sawar darah otaknya rendah
sebaiknya tidak digunakan
• Terapi inisial:
– Neonatal (<1 bulan): ampisilin + aminoglikosida dan sefalosporin
– Anak-anak (<5 thn): ampisilin + sefalosporin
– Dewasa : penisilin G, atau sefalosporin
– Pasien imunokompromis: ampisilin dan sefalosporin
Patofisiologi
Meningitis tuberkulosa tidak berkembang secara akut dari penyebaran tuberkel
bacilli ke meningen secara hematogen, melainkan merupakan hasil dari pelepasan
tuberkel bacilli ke dalam rongga subarakhnoid dari lesi kaseosa subependimal. Selama
fase inisial dari infeksi, sejumlah kecil tuberkel berukuran seperti biji tersebar di dalam
substansi otak dan meningen. Tuberkel-tuberkel ini cenderung membesar dengan bersatu
dan tumbuh besar, dan biasanya caseating, lembut dan membentuk eksudat.
Kemungkinan lesi kaseosa untuk menyebabkan meningitis ditentukan dari kedekatan
jarak lesi dengan rongga subarakhnoid dan kecepatan enkapsulasi fibrosa berkembang
akibat resistensi imun dapatan. Foci caseosa subependymal dapat terus tak bergejala
selama berbulan-bulan bahkan tahunan tetapi kemudian dapat menyebabkan meningitis
melalui pelepasan bacilli dan antigen tuberkel ke dalam rongga subarakhnoid.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis meningitis tuberkulosa dapat berupa sindroma meningitis akut
memberikan gejala koma, peningkatan tekanan intrakranial, kejang dan defisit neurologis
fokal atau berupa slowly progressive dementing illness. Ketika infeksi berupa sindroma
meningitis akut, tanda dan gejala karakteristiknya adalah nyeri kepala, malaise,
meningismus, papil edema, muntah, bingung, kejang, dan defisit saraf kranial. Pasien
dirawat dengan letargi atau stupor dapat menjadi koma dalam hitungan hari. Demam
dapat muncul, dapat pula tidak muncul.
Meningitis tuberkulosa dapat pula tampak sebagai slowly progressive dementing
illness dengan defisit memori dan perubahan perilaku yang khas pada penyakit lobus
frontalis, berupa abulia, dan inkontinensia urin dan fecal. Bentuk ini merupakan bentuk
meningitis tuberkulosa yang banyak ditemukan. Defisit saraf kranialis dan konvulsi juga
terjadi pada meningitis tuberkulosa subakut. Kadang ada riwayat anorexia, batuk,
berkeringat pada malam hari dan penurunan berat badan dalam waktu beberapa hari
sampai beberapa bulan, akibat perkembangan gejala infeksi susunan saraf pusat.
Ensefalopati tuberkulosa juga dijelaskan sebagai sindroma konvulsi, stupor atau
koma, gerakan involunter, paralysis, dan spasme atau rigiditas deserebrasi dengan atau
tanpa gejala klinis meningitis atau kelainan CSS pada meningitis tuberkulosa. Secara
patologis tampak edema difus dari cerebral white matter dengan hilangnya neuron dalam
gray matter, leukoencephalopathy hemorrhagic, atau encephalomyelitis demyelinating
pasca infeksi. Sindroma ini terutama tampak pada anak dengan tuberkulosis milier atau
diseminata.
Komplikasi
Meningitis tuberkulosa dapat memberikan berbagai macam komplikasi seperti
berikut:
• Kelumpuhan saraf otak
Proses patologis pada meningitis tuberkulosa diawali oleh adanya reaksi
hipersensitivitas terhadap pelepasan bakteri atau antigennya dari tuberkel ke dalam
rongga subarakhnoid. Hal ini menyebabkan terbentuknya eksudat tebal dalam rongga
subarakhnoid yang bersifat difus, terutama berkumpul pada basis otak. Eksudat berpusat
di sekeliling fossa interpedunkularis, fissure silvii; meliputi kiasma optikus dan meluas di
sekitar pons dan serebelum. Secara mikroskopis, awalnya eksudat terdiri dari leukosit
polimorfonuklear, eritrosit, makrofag dan limfosit disertai timbulnya fibroblast dan
elemen jaringan ikat. Eksudat yang tebal ini juga dapat menimbulkan kompresi pembuluh
darah pada basis otak dan penjeratan saraf kranialis. Kelumpuhan saraf otak yang
tersering ialah N VI, diikuti dengan N III, N IV dan N VII, dan bahkan dapat terjadi pada
N VIII dan N II.
Kerusakan pada N II berupa kebutaan, dapat disebabkan oleh lesi tuberkulosisnya
sendiri yang terdapat pada N Optikus atau karena penekanan pada kiasma oleh eksudat
peradangan atau karena akibat sekunder dari edema papil atau hidrosefalusnya. Neuropati
optic ialah istilah umum untuk setiap kelainan atau penyakit yang mengenai saraf optic
yang diakibatkan oleh proses inflamasi, infiltrasi, kompresi, iskemik, nutrisi maupun
toksik. Neuropati optic toksik dapat terjadi karena paparan zat beracun, alcohol, atau
sebagai akibat komplikasi dari terapi medikamentosa. Gejala klinisnya antara lain adanya
penurunan tajam penglihatan yang bervariasi (mulai dari penurunan tajam penglihatan
yang minimal sampai maksimal tanpa persepsi cahaya), gangguan fungsi visual berupa
kelainan lapang pandang. Pada pengobatan tuberkulosis dapat terjadi neuropati optic,
yang paling sering karena Etambutol, tetapi Isoniazid dan Streptomisin juga dapat
menyebabkan hal tersebut.
Kerusakan pada N VIII umumnya lebih sering karena keracunan obat streptomisinnya
dibandingkan karena penyakit meningitis tuberkulosanya sendiri.
• Arteritis
Infiltrasi eksudat pada pembuluh darah kortikal atau meningel menyebabkan proses
inflamasi yang terutama mengenai arteri kecil dan sedang sehingga menimbulkan
vaskulitis.
Secara mikroskopis, tunika adventitia pembuluh darah mengalami perubahan dimana
dapat ditemukan sel-sel radang tuberkulosis dan nekrosis perkejuan, kadang juga dapat
ditemukan bakteri tuberkulosis. Tunika intima juga dapat mengalami transformasi serupa
atau mengalami erosi akibat degenerasi fibrinoid-hialin, diikuti proliferasi sel sub endotel
reaktif yang dapat sedemikian tebal sehingga menimbulkan oklusi lumen. Vaskulitis
dapat menyebabkan timbulnya spasme pada pembuluh darah, terbentuknya thrombus
dengan oklusi vascular dan emboli yang menyertainya, dilatasi aneurisma mikotik
dengan rupture serta perdarahan fokal. Vaskulitis yang terjadi menimbulkan infark serebri
dengan lokasi tersering pada distribusi a. serebri media dan a. striata lateral.
• Hidrosefalus
Hidrosefalus merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi dari meningitis
tuberkulosa dan dapat saja terjadi walaupun telah mendapat terapi dengan respon yang
baik. Hampir selalu terjadi pada penderita yang bertahan hidup lebih dari 4-6 minggu.
Hidrosefalus sering menimbulkan kebutaan dan dapat menjadi penyebab kematian yang
lambat. Perluasan inflamasi pada sisterna basal menyebabkan gangguan absorpsi CSS
sehingga menyebabkan hidrosefalus komunikans dan dapat pula terjadi hidrosefalus
obstruksi (hidrosefalus non komunikans) akibat dari oklusi aquaduktus oleh eksudat yang
mengelilingi batang otak, edema pada mesensefalon atau adanya tuberkuloma pada
batang otak atau akibat oklusi foramen Luschka oleh eksudat.
Hidrosefalus komunikans dan non komunikans dapat terjadi pada meningitis
tuberkulosa. Adanya blok pada sisterna basalis terutama pada sisterna pontis dan
interpedunkularis oleh eksudat tuberkulosis yang kental menyebabkan gangguan
penyerapan CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus komunikans. Gejalanya antara lain
ialah ataksia, inkontinensia urin dan demensia. Dapat juga terjadi hidrosefalus non
komunikans (obstruktif) akibat penyumbatan akuaduktus atau foramen Luschka oleh
eksudat yang kental. Gejala klinisnya ialah adanya tanda-tanda peningkatan tekanan
intracranial seperti penurunan kesadaran, nyeri kepala, muntah, papiledema, refleks
patologis (+) dan parese N VI bilateral.
• Arakhnoiditis
Adalah suatu proses peradangan kronik dan fibrous dari leptomeningen (arakhnoid
dan pia mater). Biasanya terjadi pada kanalis spinalis. Arakhnoiditis spinal dapat terjadi
karena tuberkulosa, terjadi sebelum maupun sesudah munculnya gejala klinis meningitis
tuberkulosis. Bila tuberkel submeningeal pecah ke dalam rongga subarakhnoid, akan
menyebabkan penimbunan eksudat dan jaringan fibrosa sehingga terjadi perlengketan di
leptomeningen medulla spinalis. Gejala klinis timbul akibat adanya kompresi local pada
medulla spinalis atau terkenanya radiks secara difus.
Arakhnoiditis spinal paling sering mengenai pertengahan vertebra thorakalis, diikuti
oleh vertebra lumbalis dan vertebra servikalis. Biasanya perlekatan dimulai dari dorsal
medulla spinalis. Gejala pertama biasanya berupa nyeri spontan bersifat radikuler, diikuti
oleh gangguan motorik berupa paraplegi atau tetraplegi. Gangguan sensorik dapat
bersifat segmental di bawah level penjepitan. Kemudian dapat terjadi retensi kandung
kemih. Pemeriksaan penunjang untuk arakhnoiditis dapat dengan mielografi. Bisa
didapatkan blok parsial atau total, dapat juga memberikan gambaran tetesan lilin.
• Sekuele
Dapat terjadi sekuele hemiparesis spastik, ataksia, dan paresis saraf cranial persisten.
Pada 50 % anak dengan kejang pada saat meningitis dapat meninggalkan sekuele
gangguan kejang. Atrofi N Optikus dapat terjadi dengan gangguan visual yang bervariasi
sampai buta total. Syringomielia dapat terjadi komplikasi pada masa konvalesen sebagai
akibat dari vaskulitis pembuluh darah medulla spinalis karena mielomalasia iskemik.
Berbagai gangguan endokrin dapat terjadi sebagai akibat dari arteritis atau kalsifikasi dan
infark selanjutnya pada proksimal hipotalamus dan kelenjar pituitary.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk meningitis tuberkulosa:
1. Tuberculin skin test
2. Foto roentgen: adenopati hilar, ,infiltrasi nodular lobus atas, pola milier
3. Computed tomography atau Magnetic Resonance Imaging: hidrosefalus & basilar
meningeal enhancement pasca kontras
4. Pemeriksaan cairan serebrospinal: limfositik pleositosis, pewarnaan tahan asam
dan kultur
5. Pemeriksaan mata untuk koroid tuberkel
6. Pewarnaan urin dan sputum dan kultur untuk bakteri tahan asam
Pengobatan
A. Umum
- Bed rest dan Tirah baring
- Diet tinggi kalori tinggi protein
- Ventilasi
- Cegah dehidrasi atau koreksi elektrolit inbalance
B. Kausa
1. Obat Anti Tuberkulosa
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat anti tuberkulosa secara umum yang dipakai
(di Indonesia) secara harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien.
2. Steroid
Pada pasien dengan penurunan kesadaran dan peningkatan tekanan intracranial,
kortikosteroid dapat menguntungkan, karena patofisiologi koma dan peningkatan tekanan
intracranial sama pada kedua penyakit itu. Pada pasien dengan presentasi meningitis yang
subakut, kortikosteroid mungkin sedikit menguntungkan bila edema serebri dan
peningkatan tekanan intracranial bukan merupakan etiologi dari komplikasi neurologis.
Dexamethasone menurunkan edema otak, menurunkan resistensi outflow CSS,
menurunkan produksi sitokin inflamasi, menurunkan jumlah leukosit, sehingga masa
inflamasi di ruang subarakhnoid berkurang, dan meminimalisasi kerusakan di sawar
darah otak.
Kriteria Diagnosis (Ogawa)
1. Definite : BTA ditemukan dalam LCS ( kultur atau biopsi)
2. Probable :
a. Pleositosis pada LCS
b. Perwarnaan BTA (-)
c. Diikuti dari salah satu dibawah ini:
i. Tes tuberkulin (+)
ii. Adanya TB dluar SSP atau ada TB paru aktif atau terpapar
TB sebelumnya
iii. LCS Glukosa < 40 mg%
iv. LCS protein > 60 mg%
Non-viral
- Mycobacterium tuberkulosis
- Listeria monocytogenes
- Mycoplasma pneumoniae
- Rickettsia rickettsii (Rocky Mountain spotted fever)
- Treponema pallidum (syphilis)
- Borrelia burgdorferi (Penyakit Lyme)
- Cryptococcus neoformans, Coccidioides immites, Histoplasma capsulatum
Lain-lain
- Meningitis tuberkulosa yang diobat sebagian
- Fokus infeksi parameningeal
- Meningitis dari komplikasi endokarditis
- Sindroma parainfeksius (acute disseminated encephalomyelitis)
Pemeriksaan Rutin
Pemeriksaan rutin pada cairan serebrospinalis
- Tekanan pada saat pembukaan CSS
- Hitung jenis sel
- Kimia
- Venereal disease research laboratory test (VDRL)
- Apusan dan kultur bakteri
- Kultur virus
- Tinta india, kultur jamur
- Antigen Cryptococcal
- Apusan dan kultur bakteri tahan asam
Pemeriksaan Penunjang
Selain pemeriksaan neurologis, studi neuroimaging, dan pemeriksaan CSS, semua
pasien sebaiknya melakukan chest X-ray, darah, urine, kultur tenggorokan dan tinja, dan
serologis HIV dan sifilis.
DAFTAR PUSTAKA