Anda di halaman 1dari 8

TUGAS INDIVIDU

OSEANOGRAFI FISIKA

CLOSER LOOK TO THE INDONESIAN THROUGHFLOW

DISUSUN OLEH:
MUKARRAMA
L111 16 324
OSEANOGRAFI FISIKA A

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
Arus Lintas Indonesia
Reviewed by Mukarrama | L11116 324

Sirkulasi laut Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh dua sistem arus
utama, yaitu Arus Monsun Indonesia (Armondo) yang terbentuk sebagai respon
terhadap angin Monsun yang berganti arah dua kali dalam setahun, serta Arus Lintas
Indonesia (Atmadipoera, et al., 2016). Arus Lintas Indonesia (Arlindo) atau yang dalam
bahasa Inggris disebut The Indonesian Throughflow (ITF) merupakan transpor air
yang membawa massa air hangat dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia
(Kuswardani & Qiao, 2014). Adanya angin pasat tenggara di bagian selatan Pasifik
dari wilayah Indonesia (Wyrtki, 1961) menyebabkan perbedaan tinggi muka air laut
antar samudera, dimana muka air laut Pasifik lebih tinggi dari pada Hindia
(Atmadipoera & Hasanah, 2017). Muka laut di pantai Indonesia yang berbatasan
dengan Samudra Pasifik seperti di Kepulauan Talaud, Halmahera dan utara Papua
ternyata lebih tinggi dari pada muka laut yang berbatasan dengan Samudra Hindia
seperti di pesisir selatan Jawa, Bali, Lombok hingga Sumbawa. Perbedaan tinggi
muka laut inilah yang menjadi pendorong utama terjadinya Arlindo yakni mengalirnya
air dari permukaan yang lebih tinggi (Samudra Pasifik) ke yang lebih rendah (Samudra
Hindia) (Nontji, 2017). Perbedaan tinggi muka air laut ini bervariasi secara musiman
(Wyrtki, 1961) dimana dalam periode Musim Barat Laut (Oktober–Maret), tinggi muka
air laut mencapai minimum (kurang dari 10 cm), sedangkan dalam Musim Tenggara
(Mei–September) tinggi muka air laut maksimum sekitar 28 cm. Perbedaan tinggi
muka air laut ini mengakibatkan volume angkutan (transport) Arlindo mencapai
maksimum dalam periode Musim Tenggara, dan minimum dalam Musim Barat Laut
(Atmadipoera & Hasanah, 2017). Arus Lintas Indonesia ini membuat perairan
Indonesia terutama wilayah timur menjadi subur akibat adanya proses upwelling dan
proses pencampuran serta interaksi air dengan udara yang menyebabkan kandungan
nutrisi dan mineral menjadi kaya pada lapisan laut dalam (Nontji, 2017).
Massa air yang terangkut oleh Arlindo dipengaruhi oleh adanya El Niño dan La
Niña. Kedua fenomena besar itu merupakan gabungan proses-proses dinamika
atmosfer dan samudra yang dipicu oleh terjadinya perubahan atau anomali iklim di
Samudra Pasifik (Nontji, 2017). Arlindo menguat ketika terjadi fase La Niña dan
melemah pada fase El Niño. Secara umum Arlindo bergerak ke arah selatan
sepanjang tahun, akan tetapi ditemukan adanya arus di selat tersebut yang berarah
ke utara tetapi nilainya tidak signifikan. Ketika terjadi La Niña, Indonesia secara umum
mengalami musim hujan di atas normal sedangkan ketika terjadi El Niño, sebagian
besar daerah Indonesia mengalami musim kemarau. Ketika terjadi La Niña, beda
elevasi di Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia meningkat dari normalnya. Hal
ini disebabkan oleh bertambahnya termoklin di Samudera Pasifik bagian barat akibat
bergesernya daerah kolam air hangat (warm pool) di Samudera Pasifik ke barat
(Sudjono, et al., 2004). Selama terjadinya El Nino transport Arlindo mengalami
pelemahan, panas dan massa air dan salinitas jauh lebih sedikit ditransfer ke Samudra
Hindia. Walaupun pada saat terjadinya El Nino terjadi penurunan volume massa air
yang bergerak dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. Kosongnya massa air di
wilayah perairan Indonesia tadi kemudian mendorong munculnya up welling dan
meningkatkan jumlah klorofil sehingga di perairan Indonesia akan panen ikan (Nontji,
2017; Kuswardani & Qiao, 2014).
Menurut Atmadipoera & Hasanah (2017) bahwa Arus Lintas Indonesia adalah
sistem arus termoklin yang mengalir dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia
melalui berbagai selat, sub-basin, dan laut di perairan dalam Laut Indonesia, dan
sebagai cabang utama arus dari sirkulasi termohalin global yang membawa massa air
hangat dan lebih asin dari Pasifik. Arus tersebut bergerak di sepanjang batas barat
(western boundary) di selatan Samudera Pasifik kemudian melalui ekuator menjadi
Arlindo. Transportasi massa air tersebut juga dikenal dengan nama low latitude
western boundary current. Arus tersebut akan masuk ke perairan Indonesia melalui
Selat Makassar yang berasal dari arus Mindanao di tepi timur Filipina yang membawa
massa air North Pacific Intermediate Water (NPIW) dan North Pacific subtropical
Water (NPSW) (Horhoruw, et al., 2015).
Massa air NPSW dengan salinitas maksimum pada lapisan termoklin dibawa
arus North Equatorial Current dari Pasifik kearah barat, kemudian NEC bercabang
menjadi dua alur yaitu arah utara dan selatan. Sebagian cabang arus ini bergerak ke
arah selatan dan masuk ke Laut Sulawesi dan berlanjut ke Selat Makassar. Di Selat
Makassar nilai salinitas maksimum NPSW berkisar antara 34,756 psu sampai 34,843
psu pada kedalaman 67 -117 m atau pada lapisan termoklin. Sementara itu, massa
air NPIW dengan salinitas minimum pada lapisan pertengahan berada di bagian utara
Pasifik sekitar 40°LU. Massa air ini hanya terbentuk di Barat Laut Gyre Subtropik,
dimana terjadi percampuran antara front Kuroshio dan Oyashio. NPIW yang melewati
Selat Makassar mempunyai nilai salinitas minimum antara 34,442-34,448 psu
ditemukan antara kedalaman 287 m sampai 355 m (Horhoruw, et al., 2015).
Karakteristik massa air Arlindo mengalami transformasi yang cukup besar ketika
memasuki perairan Indonesia. Transformasi Arlindo mengakibatkan hilangnya ciri asli
massa air yang berasal dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia. Misalnya
semakin rendahnya salinitas maksimum pada massa air NPSW dari Selat Makassar
menuju Laut Banda dan sebaliknya nilai salinitas minimum pada massa air NPIW
semakin tinggi ketika memasuki Laut Banda (Horhoruw, et al., 2015).
Perairan laut di Indonesia merupakan satu-satunya jalur yang menghubungkan
Samudra Pasifik dan Samudra Hindia di lintang rendah atau di daerah tropis. Perairan
Indonesia yang sangat menentukan dan mempengaruhi sirkulasi samudra raya yang
dikenal sebagai Sabuk Penghantar Samudra Raya (the Great Ocean Conveyor Belt)
yaitu sirkulasi global yang menghantarkan bahang (heat) dan mengalirkan air hangat
di permukaan yang berlanjut dengan aliran air dingin di lapisan dalam di samudra raya
bumi ini dalam satu sistem yang berterusan (continuous). Sistem sirkulasi yang sangat
besar ini akan sangat menentukan iklim global (Nontji, 2017).

Gambar 1. Arus hangat dan arus dingin dalam sistem Sabuk Penghantar Samudra

Massa air hangat di permukaan yang mengalir ke Samudra Atlantik Utara akan
menjadi berat karena penguapan dan pendinginan yang kuat hingga massa air itu
tenggelam ke lapisan dalam pada kedalaman sekitar 1.000-2.000 m. Air dingin di
lapisan dalam ini kemudian mengalir dan menyebar ke timur, sebagian masuk ke
Samudra Hindia bagian selatan dan sebagian lagi terus ke timur memasuki bagian
selatan Samudra Pasifik. Dari sini massa air dingin ini akan melanjutkan
penyebarannya ke seluruh Samudra Pasifik. Lewat proses penaikan air, arus ini
kemudian mengalir naik ke atas kemudian mengalami penghangatan. Dalam
perjalanannya air hangat ini kemudian melalui jalur sempit di selat-selat Indonesia
sebagai Arlindo (Arus Lintas Indonesia) yang selanjutnya ke Samudra Hindia sampai
ke bagian timur Afrika, dan dari situ lalu kembali lagi ke Samudra Atlantik.
Berdasarkan sirkulasi tersebut, diketahui bahwa selat-selat di Indonesia merupakan
koridor yang sangat menentukan dalam berfungsinya sistem sirkulasi global itu
(Nontji, 2017).

Gambar 2. Jalur dan transpor air Arlindo dari Samudra Pasifik ke Samudra
Hindia lewat selatselat di Indonesia. Total transpor air diperkirakan sekitar 10
Sv (1 Sv/ Sverdrup = 1 juta m3/detik), yang terbesar adalah yang lewat Selat
Makassar, sekitar 8 Sv
Menurut Gordon et al. (1994) dalam Atmadipoera & Hasanah (2017) jalur
Arlindo sendiri dibagi menjadi 2 jalur yaitu jalur barat dan jalur timur. Jalur barat
dimana massa air masuk melalui Laut Sulawesi dan Basin Makasar. Sebagian massa
air akan mengalir melalui Selat Lombok dan berakhir di Lautan Hindia sedangkan
sebagian lagi dibelokan ke arah timur terus ke Laut Flores hingga Laut Banda dan
kemudian keluar ke Lautan Hindia melalui Laut Timor. Jalur timur dimana massa air
masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku terus ke Laut Banda. Dari Laut
Banda, massa air akan mengalir mengikuti 2 (dua) rute. Rute utara Pulau Timor
melalui Selat Ombai, antara Pulau Alor dan Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu dan
Selat Rote, sedangkan rute selatan Pulau Timor melalui Basin Timor dan Selat Timor,
antara Pulau Rote dan paparan benua Australia (Atmadipoera & Hasanah, 2017)
Selat Makassar sendiri membawa 80-85% massa air yang berasal dari Pasifik
Utara dan dapat dipakai untuk menghitung seluruh transpor antar Samudera Pasifik
menuju Samudera Hindia sehingga dapat dijadikan kunci dalam integrasi skala besar
antar samudera (Horhoruw, et al., 2015). Arlindo Makassar memberikan kontribusi
hampir 70% dari rerata total volume transport Arlindo. Arlindo Makassar utamanya
membawa massa air yang berasal dari Pasifik Utara, yaitu massa air termoklin North
Pacific Subtropical Water (NPSW) dan massa air bawah termoklin North Pacific
Intermediate Water (NPIW). Intensifikasi besaran arus Arlindo Makassar ditemukan di
lapisan termoklin, serta bervariasi secara musiman. Besarnya transport Arlindo
Makassar selama periode Musim Timur (Juli - September) lebih kuat dibandingkan
dalam periode Musim Barat (Desember - Februari) (Atmadipoera, et al., 2016).
Siklus tahunan Arlindo Makassar dicirikan oleh besaran kecepatan aliran dan
lebar Jet Arlindo Makassar yang lebih kuat pada Musim Timur dibandingkan dengan
Musim Barat, terbentuk pusaran arus (eddies) serta partisi cabang Arlindo di bagian
selatan selat. Pola aliran Arlindo Makassar berkelok-kelok mengikuti dangkalan
Kalimantan di tepi barat selat. Energi kinetik (EK) yang tinggi (> 0.15 m2/s2 per unit
massa) terbentuk di sepanjang sumbu utama aliran Arlindo Makassar sampai
kedalaman bawah termoklin dan mencapai maksimum di lapisan termoklin, yang
mengindikasikan magnitude kecepatan arus kuat dari Arlindo Makassar. Lonjakan EK
yang drastis (> 0.7 m2/s2 per unit massa) terjadi di sekitar Kanal Libani dari
permukaan sampai kedalaman sekitar 200 m. Penyempitan selat mengharuskan
terjadi lonjakan kecepatan aliran supaya debit Arlindo sebelum masuk kanal sama
dengan debit aliran di dalam kanal. Kecepatan maksimum aliran Arlindo di Kanal
Libani mencapai 1.2 m/s (Atmadipoera, et al., 2016).
Di dekat permukaan (25 m) koherensi yang tinggi (> 0.7) terjadi antara fluktuasi
Arlindo Makassar di dekat pintu utara selat dengan fluktuasi arus-arus di wilayah
regional low latitude western boundary current. Di lapisan termoklin (92 m) koherensi
yang tinggi tersebut lebih spesifik terbentuk antara Arlindo Makassar dengan sistem
Arus Ekuator Utara (NEC), Arus Mindanao (MC) dan Arlindo Sulawesi. Sehingga
dapat dikatakan bahwa variabilitas Arlindo Makassar di dekat pintu utara selat
dipengaruhi oleh fluktuasi sistem arus dari barat tropis Pasifik, seperti NEC dan MC
(Atmadipoera, et al., 2016).
References

Atmadipoera, A. S. & Hasanah, P., 2017. Karakteristik Dan Variabilitas Arlindo Flores
Dan Koherensinya Dengan Arus Pantai Selatan Jawa. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Atmadipoera, A. S., Horhoruw, S. M., Purba, M. & Nugroho, D. Y., 2016. Variasi
Spasial Dan Temporal Arlindo Di Selat Makassar. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Horhoruw, S. M., Atmadipoera, A. S., Purba, M. & Purwandana, A., 2015. Struktur
Arus dan Variasi Spasial Arlindo di Selat Makassar dari EWIN 2013. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Kuswardani, R. T. D. & Qiao, F., 2014. Influence of the Indonesian Throughflow on
the upwelling off the east coast of South Java. Qingdao: China Press.
Nontji, A., 2017. Arlindo (Arus Lintas Indonesia): Koridor Penting Dalam Sistem
Sirkulasi Samudra Raya. Jakarta: Lembaga Penelitian Indonesia.
Sudjono, E. H., Mihardja, D. K. & Ningsih, N. S., 2004. Indikasi Fluktuasi Arus Lintas
Indonesia di sekitar Selat Makassar Berdasarkan Model Numerik. Bandung:
Institut Teknologi Bandung.
Wyrtki, K., 1961. Physical Oceanography of Southeast Asian Waters. Naga Report,
Volume II, p. 225.

Anda mungkin juga menyukai