Anda di halaman 1dari 64

CERITA RAKYAT 33 PROVINSI DI INDONESIA

1. NANGGROE ACEH DARUSSALAM


Geugasi dan Geugesa
Zaman dahulu kala ada sebuah kampung yang sangat aman dan damai di
daerah Aceh. Di sana tidak pernah terjadi pencurian maupun perampokan.
Masyarakatnya pun tidak pernah saling bertengkar. Kalau ada masalah, mereka
langsung menyelesaikannya secara musyawarah sehingga suasana di sanahidup
penuh rukun dan saling tolong menolong.
Di kampung itu, hiduplah seorang ibu dengan anaknya yang masih berusia
sepuluh tahun. Si ibu dan anak itu sehari-harinya mencari kayu bakar di hutan yang
kemudian kayu itu dijual ke pasar. Dari hasil itu, mereka bisa membeli kebutuhan
sehari-hari.
Suatu hari, kampung yang aman itu dikejutkan oleh hilangnya kerbau Mak
Yah. Semua masyarakat mencarinya, tapi tak seorang pun yang menemukannya.
Kerbau itu hilang bagaikan ditelan rimba. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya
sehingga membuat masyarakat bertanya-tanya siapa yang mencuri kerbau itu.
Keesokan harinya, tiga ekor kambing Bang Ma’e ikut hilang di tempat
pengembalaannya. Di sana yang tinggal hanyalah tulang belulang dan percikan
darah di mana-mana. Kejadian ini membuat warga semakin penasaran. Dalam hati
mereka bertanya, “Sebenarnya siapa yang telah merusak kedamaian di kampung
ini?”
Hari-hari berikutnya, makin banyak warga yang kehilangan binatang
ternaknya. Bahkan, salah satu anak Wak Minah juga telah hilang ketika dia bermain
hingga membuat wak itu terus menangis sepanjang hari. Masyarakat menebak
bahwa yang memakan ternak mereka dan mencuri anak Wak Minah adalah geugasi
(raksasa) yang tinggal di hutan sana. Karena tapak-tapak yang tertinggal di daerah
itu sangatlah besar.
Masyarakat di kampung itu pun mulai resah. Ketakutan mulai melanda di hati
mereka. Mereka pun tidak berani lagi keluar rumah. Ahmad yang tidak tahan
dengan keadaan itu memberanikan diri untuk mencari sang pembuat onar.
Keesokan harinya, dia berpamitan kepada ibunya untuk pergi ke hutan, tetapi sang ibu
melarangnya. “Jangan Ahmad, nanti kamu dimakan geugasi,” ucap ibunya gusar.
“Tidak Bu, aku akan menjaga diriku baik-baik. Ibu berdoa saja agar aku selamat.”
Akhirnya ibunya hanya bisa mengangguk pasrah menerima permintaan
Ahmad, anaknya yang keras kepala. Kemudian pergilah Ahmad ke hutan seorang
diri. Dia hanya membawa bekal makanan dan satu pisau yang diselip di
pinggangnya. Ahmad terus berjalan hingga dia sendiri tidak tahu lagi sudah sejauh
mana dia berjalan. Keringat mulai membasahi tubuhnya, dia pun beristirahat
sebentar di bawah pohon. Dari kejauhan, tampaklah sebuah rumah panggung dan
semangat Ahmad muncul kembali. Dia menuju rumah itu.
Rumah panggung itu tidak begitu besar dan juga tidak terlalu kecil. Ahmad
mengetuk-ngetuk pintu rumah itu, tapi tidak ada sahutan. Dia pun masuk. Di dalam
rumah itu terdapat bermacam kepala binatang dan tulang-belulang yang dijadikan
sebagai pajangan. Berbagai jenis tombak dan parang terletak di sudut rumah itu
begitu juga dengan barang-barang lainnya.
“Tolong… tolong…..”

Ahmad terkejut mendengar suara rintihan minta tolong yang tiba-tiba itu. Dia
pun mencari sumber suara itu dan menemukannnya di salah satu kamar di rumah
itu. Ternyata itu adalah suara anak perempuan Wak Minah yang hilang. Anak itu
meringkuk di sudut sambil menangis tersedu-sedu. Tahulah Ahmad sekarang kalau
itu adalah rumah geugasi yang dia cari. Dia pun menenangkan anak wak Minah dan
berjanji akan memulangkannya pada ibunya.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara orang yang berjalan dengan begitu
keras. Rasa-rasanya bumi bergoyang ketika tapak-tapak itu menghantam tanah. “Itu
pastilah geugasi,” pikir Ahmad. Dia pun memikirkan ide agar mereka selamat.
Geugasi yang baru saja mencari makanan akhirnya tiba di halaman
rumahnya. Lalu dia berhenti dan hidungnya naik-turun berkali-kali. “Aku mencium
bau manusia….” ucapnya dengan begitu keras. Tiba-tiba terdengar suara-suara
tapak yang begitu keras di dalam rumah. Kening geugasi itu berkerut.
“Siapa di dalam?” tanyanya penasaran.
“Geugasa,” jawab Ahmad dengan suara yang keras sambil meloncat-loncat di
lantai.
Geugasi berpikir bahwa geugasa itu juga sejenis raksasa. Dia pun bertanya
lagi, “Coba kulihat gigimu!”
Ahmad melempar buah pinang. Si geugasi terkejut melihat gigi geugasa lebih
besar dari giginya. Dia pun melanjutkan pertanyaannya, “Coba kulihat kumismu!”
Ahmad mengambil satu gumpalan bulu ijuk yang lebat dan melemparnya keluar. Si geugasi
lagi-lagi terkejut melihat kumis geugasa yang begitu lebat itu. Dia memegang kumisnya yang hanya
setengah dari gumpalan kumis si geugasa itu. Dia pun bertanya lagi, “Coba kulihat tahimu!”
Ahmad pun melempar buah kelapa yang besar dan tua. Si gugasi sangat terkejut
melihat tahi geugasa yang begitu besar itu. Dia berpikir, kalau gigi dan tahinya sebesar itu dan kumisnya
selebat itu, bagaimanakah besarnya geugasa itu. “Oh, pastilah dia amat sangat besar…. Pastilah aku
mati kalau berhadapan dengannya,” ucap geugasi pada dirinya sendiri.
“Aku sangaat lapaarrr…. apakah ada makanan disini?” ucap Ahmad dengan
suara yang dikeras-keraskan.
Mendengar itu, badan geugasi langsung gemetar, keringat dingin mulai
keluar, dan mukanya menjadi tegang. Jelas sekali dia ketakutan. “Aaarrrgghhhhh……
kenapa tidak ada apa-apa di sini? Lebih baik aku keluar saja. Pasti ada makanan di sana.”
Tubuh geugasi makin bergetar hebat karena mendengar ucapan geugasa.
Tanpa menunggu waktu lagi, dia berbalik arah hendak melarikan diri, tapi Ahmad
dengan cekatan mengambil tombak dan melemparnya ke arah geugasi. Tombak itu
menancap mulus di punggung geugasi hingga tembus ke perutnya. Dia mengerang
begitu keras. Ahmad pun mengambil tombak satu lagi dan melemparnya lagi hingga
menancap di kepala geugasi yang berambut lebat dan panjang. Geugasi itu pun
tersungkur di tanah. Dia mati.
Ahmad dan anak wak Minah turun dan melihat geugasi yang sudah tak bernyawa itu. Lalu
mereka pulang dan setiba di sana mereka mengabarkan pada seluruh warga di kampung bahwa mereka
telah membunuh geugasi. Semua orang sangat senang, apalagi Wak Minah dan ibu si Ahmad karena
melihat anaknya kembali dengan selamat. Akhirnya kampung itu kembali aman dan damai.

2. SUMATERA UTARA
Asal-Usul Danau Toba
Di Sumatera Utara terdapat danau yang sangat besar dan ditengah-tengah
danau tersebut terdapat sebuah pulau. Danau itu bernama Danau Toba sedangkan
pulau ditengahnya dinamakan Pulau Samosir. Konon danau tersebut berasal dari
kutukan dewa.
Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang petani
yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi
kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah
cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari
yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari ini aku
mendapat ikan yang besar,” gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah
kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani itu bersorak
kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.
Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning
emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan
yang menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu
jika kau tidak jadi memakanku.” Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan
itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian
tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita.
“Bermimpikah aku?,” gumam petani.
“Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang
budi padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu.
“Namaku Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu,” kata gadis itu seolah
mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri.
Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan
bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi
petaka dahsyat.
Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama
petani tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,” gumam mereka. Petani merasa sangat
bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan
mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu
hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk
yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. “Aku tahu Petani itu pasti memelihara makhluk
halus! ” kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke telinga Petani dan Puteri. Namun mereka
tidak merasa tersinggung, bahkan semakin rajin bekerja.
Setahun kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena istri
Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan
mereka tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang
sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu
kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar.
Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.
Lama kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh
membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan
Petani agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau
bagaimanapun dia itu anak kita!” kata Petani kepada istrinya. “Syukurlah, kanda
berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji
Puteri kepada suaminya.
Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu. Pada suatu hari,
Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang
bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil
menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang bermain bola. Petani
menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung !Tak tahu diri ! Dasar anak
ikan !,” umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.
Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan
istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba
menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Petani dan desa
sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk
sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal
dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan
nama Pulau Samosir.

3. SUMATERA BARAT
Malin Kundang
Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga di pesisir pantai wilayahSumatra.
Keluarga itu mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin Kundang. Karena
kondisi keluarga mereka sangat memprihatinkan, maka ayah malin memutuskan
untuk pergi ke negeri seberang.

Besar harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti ayahnya pulang dengan
membawa uang banyak yang nantinya dapat untuk membeli keperluan sehari-hari.
Setelah berbulan-bulan lamanya ternyata ayah malin tidak kunjung datang, dan
akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan ibunya.

Setelah Malin Kundang beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di


negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia
sudah menjadi seorang yang kaya raya. Akhirnya Malin Kundang ikut berlayar
bersama dengan seorang nahkoda kapal dagang di kampung halamannya yang
sudah sukses.

Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu


pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Malin belajar dengan
tekun tentang perkapalan pada teman-temannya yang lebih berpengalaman, dan
akhirnya dia sangat mahir dalam hal perkapalan.

Banyak pulau sudah dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah


perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut.
Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak
laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut
dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh
oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di
sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.

Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang


ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin
Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa
tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah
sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin
terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya
dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia
memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100
orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis
untuk menjadi istrinya.

Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran


dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya
yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat
kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang
sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah
anaknya Malin Kundang beserta istrinya.

Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya
melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah
Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?",
katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan
mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata
Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan
ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin
Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar
mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-
mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak
durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata
"Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian
angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu
tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah
batu karang.
4. SUMATERA SELATAN
Asal Mula Nama Palembang
Pada zaman dahulu, daerah Sumatra Selatan dan sebagian Provinsi Jambi
berupa hutan belantara yang unik dan indah. Puluhan sungai besar dan kecil yang
berasal dari Bukit Barisan, pegunungan sekitar Gunung Dempo, dan Danau Ranau
mengalir di wilayah itu. Maka, wilayah itu dikenal dengan nama Batanghari
Sembilan. Sungai besar yang mengalir di wilayah itu di antaranya Sungai Komering,
Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Rawas, dan beberapa sungai yang bermuara
di Sungai Musi. Ada dua Sungai Musi yang bermuara di laut di daerah yang
berdekatan, yaitu Sungai Musi yang melalui Palembang dan Sungai Musi Banyuasin
agak di sebelah utara.
Karena banyak sungai besar, dataran rendah yang melingkar dari daerah
Jambi, Sumatra Selatan, sampai Provinsi Lampung merupakan daerah yang banyak
mempunyai danau kecil. Asal mula danau-danau kecil itu adalah rawa yang
digenangi air laut saat pasang.
Sedangkan kota Palembang yang dikenal sekarang menurut sejarah adalah sebuah pulau di
Sungai Melayu. Pulau kecil itu berupa bukit yang diberi nama Bukit Seguntang Mahameru.
Keunikan tempat itu selain hutan rimbanya yang lebat dan banyaknya danau-danau kecil, dan
aneka bunga yang tumbuh subur, sepanjang wilayah itu dihuni oleh seorang dewi bersama dayang-
dayangnya. Dewi itu disebut Putri Kahyangan. Sebenarnya, dia bernama Putri Ayu Sundari. Dewi dan
dayang-dayangnya itu mendiami hutan rimba raya, lereng, dan puncak Bukit Barisan serta kepulauan
yang sekarang dikenal dengan Malaysia. Mereka gemar datang ke daerah
Batanghari Sembilan untuk bercengkerama dan mandi di danau, sungai yang
jernih, atau pantai yang luas, landai, dan panjang.
Karena banyaknya sungai yang bermuara ke laut, maka pada zaman itu para
pelayar mudah masuk melalui sungai-sungai itu sampai ke dalam, bahkan sampai
ke kaki pegunungan, yang ternyata daerah itu subur dan makmur. Maka terjadilah
komunikasi antara para pedagang termasuk pedagang dari Cina dengan penduduk
setempat. Daerah itu menjadi ramai oleh perdagangan antara penduduk setempat
dengan pedagang. Akibatnya, dewi-dewi dari kahyangan merasa terganggu dan
mencari tempat lain.
Sementara itu, orang-orang banyak datang di sekitar Sungai Musi untuk
membuat rumah di sana. Karena Sumatra Selatan merupakan dataran rendah yang
berawa, maka penduduknya membuat rumah yang disebut dengan rakit.
Saat itu Bukit Seguntang Mahameru menjadi pusat perhatian manusia karena
tanahnya yang subur dan aneka bunga tubuh di daerah itu. Sungai Melayu tempat
Bukit Seguntang Mahameru berada juga menjadi terkenal.
Oleh karena itu, orang yang telah bermukim di Sungai Melayu, terutama
penduduk kota Palembang, sekarang menamakan diri sebagai penduduk Sungai
Melayu, yang kemudian berubah menjadi penduduk Melayu.
Menurut bahasa Melayu tua, kata lembang berarti dataran rendah yang
banyak digenangi air, kadang tenggelam kadang kering. Jadi, penduduk dataran
tinggi yang hendak ke Palembang sering mengatakan akan ke Lembang. Begitu juga
para pendatang yang masuk ke Sungai Musi mengatakan akan ke Lembang.
Alkisah ketika Putri Ayu Sundari dan pengiringnya masih berada di Bukit
Seguntang Mahameru, ada sebuah kapal yang mengalami kecelakaan di pantai
Sumatra Selatan. Tiga orang kakak beradik itu ada*lah putra raja Iskandar Zulkarnain. Mereka
selamat dari kecelakaan dan terdampar di Bukit Seguntang Mahameru.
Mereka disambut Putri Ayu Sundari. Putra tertua Raja Iskandar Zulkarnain,
Sang Sapurba kemudian menikah dengan Putri Ayu Sundari dan kedua saudaranya
menikah dengan keluarga putri itu.
Karena Bukit Seguntang Mahameru berdiam di Sungai Melayu, maka Sang Sapurba dan istrinya
mengaku sebagai orang Melayu. Anak cucu mereka kemudian berkembang dan ikut kegiatan di daerah
Lembang. Nama Lembang semakin terkenal. Kemudian ketika orang hendak ke Lembang selalu
mengatakan akan ke Palembang. Kata pa dalam bahasa Melayu tua menunjukkan daerah atau lokasi.
Pertumbuhan ekonomi semakin ramai. Sungai Musi dan Sungai Musi Banyuasin menjadi jalur
perdagangan kuat terkenal sampai ke negara lain. Nama Lembang pun berubah
menjadi Palembang
Dalam sejarah lain dikisahkan kata Palembang berasal dari kata Palimbangan
yang berarti aktivitas orang yang melimbang/menambang emas di sekitar Sungai
Musi.

5. KEPULAUAN RIAU
Putri Pandan Berduri
Alkisah pada jaman dulu di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, hiduplah orang
orang Suku Laut yang dipimpin oleh Batin Lagoi. Pemimpin Suku Laut ini merupakan
seorang yang santun dan memimpin dengan adil. Tutur katanya yang lemah lembut
terhadap siapa saja membuat masyarakat Suku Laut sangat mencintai pemimpin
mereka itu.
Guna mengetahui keadaan rakyatnya, Batin Lagoi senantiasa berkeliling.
Pada suatu hari, Batin Lagoi berjalan menyusuri pantai yang disekitarnya penuh
ditumbuhi semak pandan. Sayup sayup telinga Batin Lagoi menangkap suara
tangisan bayi. “Anak siapa itu yang menangis di tempat seperti ini ?’, pikirnya heran
sambil memandang sekeliling. Karena ia tak melihat seorangpun, Batin Lagoi
meneruskan langkahnya.
Baru beberapa langkah, Batin Lagoi kembali mendengar suara tangisan bayi
yang kini semakin jelas. Batin Lagoi kembali memandang sekeliling, namun ia tak
jua melihat seorangpun disana. Karena penasaran, Batin Lagoi mengikuti asal suara
tangisan yang membawanya ke semak semak pandan. Batin Lagoi menginjak semak
semak itu dengan hati hati. Suara tangisan bayi terdengar semakin keras. Batin
Lagoi tercengang melihat seorang bayi perempuan yang diletakkan diatas dedaunan
yang kini berada di depannya.
Rasa heran kembali menyergap Batin Lagoi. ‘Siapa gerangan yang meletakkan bayinya disini ?’,
gumamnya pelan. Batin Lagoi terdiam sejenak. Setelah memastikan tak ada orang di sekitar situ, Batin
Lagoi memutuskan untuk membawa pulang bayi perempuan yang cantik itu.Sang bayipun berhenti
menangis ketika Batin Lagoi menggendongnya.
Batin Lagoi merawat bayi perempuan itu dengan penuh kasih sayang bak
anaknya sendiri. Terkadang ia merasa bayi itu memang diberikan Tuhan untuknya.
Bayi perempuan yang diberinya nama Putri Pandan Berduri itu sungguh membawa
kebahagiaan bagi Batin Lagoi yang selama ini hidup sendiri.

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Putri Pandan Berduri telah tumbuh
menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Bukan hanya parasnya yang menawan,
Putri Pandan Berduri juga memiliki sikap yang sangat anggun dan santun layaknya
seorang putri. Tutur katanya yang lembut membuat masyarakat Suku Laut
mencintainya.
Banyak pemuda yang terpikat akan kecantikan Putri Pandan Berduri. Meski
demikian tak seorangpun berani meminangnya. Batin Lagoi memang berharap agar
putrinya itu berjodoh dengan anak seorang raja atau pemimpin suatu daerah.
Tersebutlah seorang pemimpin di Pulau Galang yang memiliki dua orang
putera bernama Julela dan Jenang Perkasa. Sedari kecil kakak beradik itu hidup
rukun. Kerukunan itu sirna ketika sang ayah mengatakan bahwa sebagai anak
tertua, Julela akan menggantikan dirinya sebagai pemimpin di Pulau Galang kelak.
Sejak itu, Julela berubah perangai menjadi angkuh. Ia bahkan mengancam Jenang
Perkasa agar selalu mengikuti setiap perkataannya sebagai calon pemimpin.
Jenang Perkasa sungguh kecewa akan sikap kakaknya. Akhirnya ia
memutuskan untuk meninggalkan Pulau Galang. Berhari hari ia berlayar tanpa
mengetahui arah tujuan hingga tiba di Pulau Bintan. Jenang Perkasa tak pernah
mengaku sebagai anak pemimpin Pulau Galang. Sehari hari ia bekerja sebagai
pedagang seperti orang kebanyakan.
Sebagai seorang pendatang, Jenang Perkasa cepat menyesuaikan diri.
Sikapnya yang sopan dan gaya bahasanya yang halus membuat kagum setiap
orang. Mereka tak habis pikir bagaimana seorang pemuda biasa memiliki sifat
seperti itu. Akibatnya Jenang Perkasa menjadi bahan pembicaraan di seluruh pulau.

Cerita tentang Jenang Perkasa sampai juga di telinga Batin Lagoi. Ia sangat penasaran untuk
mengenal pemuda itu secara langsung. Agar tak mencolok, Batin Lagoi menyelenggarakan acara makan
malam dengan mengundang seluruh tokoh terkemuka di Pulau Bintan. Ia juga mengundang
Jenang Perkasa dalam acara itu.
Jenang Perkasa yang sebenarnya heran mengapa dirinya diundang Batin
Lagoi, datang memenuhi undangan. Sejak kedatangannya, Batin Lagoi senantiasa
memperhatikan gerak gerik Jenang Perkasa. Caranya bersikap, berbicara, bahkan
sampai caranya bersantap diamati Batin Lagoi diam diam.Tak dapat dipungkiri, Batin
Lagoi sangat terkesan terhadap Jenang Perkasa. Terbersit dihatinya untuk menjodohkan
Jenang Perkasa dengan Putri Pandan Berduri. Batin Lagoi sepertinya lupa akan
keinginannya untuk menikahkan putrinya dengan seorang pangeran atau calon
pemimpin.
Tak mau membuang kesempatan, Batin Lagoi segera menghampiri Jenang
Perkasa. ‘Wahai anak muda, sudah lama aku mendengar kehalusan budi
pekertimu..’, katanya membuka percakapan. Jenang Perkasa hanya tersenyum
sopan mendengar kata kata pemimpin Pulau Bintan itu. “Malam ini aku telah
membuktikkannya sendiri’, lanjut Batin Lagoi sambil menatap Jenang Perkasa yang
menunduk malu mendengar pujian Batin Lagoi. “Aku pikir, alangkah senangnya
hatiku jika kau bersedia kunikahkan dengan putriku..”
Jenang Perkasa sungguh terkejut mendengar tawaran Batin Lagoi. Ia mengusap usap
lengannya untuk memastikan dirinya tak sedang bermimpi. Ia sama sekali tak
menyangka ayah seorang perempuan cantik bernama Putri Pandan Berduri meminta
kesediaan dirinya untuk dijadikan menantu. Jenang Perkasa tentu saja tak mau
membuang kesempatan emas itu. Ia segera mengangguk setuju sambil tersenyum
memandang Batin Lagoi.
Beberapa hari kemudian Batin Lagoi menikahkan Putri Pandan Berduri dengan
Jenang Perkasa. Pesta besar digelar untuk merayakan pernikahan putri semata
wayangnya itu. Seluruh warga Pulau Bintan diundang untuk hadir. Para undangan
merasa senang melihat Putri Pandan Berduri bersanding dengan Jenang Perkasa
yang terlihat sangat serasi.
Putri Pandan Berduri hidup bahagia dengan Jenang Perkasa. Apalagi tak lama
kemudian, Batin Lagoi yang merasa sudah tua mengangkat menantunya itu untuk
menggantikan dirinya menjadi pemimpin di Pulau Bintan. Jenang Perkasa yang
memang anak seorang pemimpin itu rupanya mewarisi bakat kepemimpinan
ayahnya. Ia mampu menjadi pemimpin yang disegani sekaligus dicintai rakyatnya.
Ia juga menolak untuk kembali ketika warga Pulau Galang yang mendengar cerita
tentang dirinya memintanya untuk menggantikan kakaknya.
Pernikahan Putri Pandan Berduri dengan Jenang Perkasa dikaruniai tiga orang
anak yang diberi nama dengan adat kesukuan. Batin Mantang menjadi kepala suku
di utara Pulau Bintan, Batin Mapoi menjadi kepala suku di barat Pulau Bintan, dan
Kelong menjadi kepala suku di timur Pulau Bintan. Adapun adat suku asal mereka
yaitu Suku Laut tetap menjadi pedoman bagi mereka. Hingga kini Putri Pandan
Berduri dan Jenang Perkasa yang telah lama tiada masih tetap dikenang oleh Suku
Laut di perairan Pulau Bintan.

6. RIAU
Legenda Ikan Patin

Pada zaman dahulu, di Tanah Melayu hidup seorang nelayan tua bernama
Awang Gading. Dia tinggal sendirian di tepi sebuah sungai yang luas dan jernih.
Walaupun hidup seorang diri, Awang Gading selalu berbahagia. Dia mensyukuri
setiap nikmat yang diberikan Tuhan. Hari-harinya dihabiskan untuk bekerja mencari
ikan dan kayu.
Suatu hari, Awang Gading mengail di sungai. Sambil berdendang riang, dia
menunggui kailnya. Burung-burung turut berkicau menambah kegembiraan Awang
Gading. Sayang, sudah berkali-kali umpannya dimakan ikan, namun saat kailnya di
tarik, ikannya terlepas lagi.
"Air pasang telan ke ingsang, air surut telan ke perut,renggutlah....! Biar
putus jangan rabut," terdengar dendang Awang Gading sambil melempar
pancingnya kembali. Perlahan hari beranjak petang, namun tak seekor ikan pun di
perolehnya. "Alangkah tidak beruntungnya diriku hari ini," keluh Awang Gading. Ia
bergegas membereskan peralatan pancingnya dan berniat pulang. Tiba-tiba
terdengar suara tangis bayi, dengan penasaran Awang Gading mencari asal suara
tersebut. Tak lama kemudian, Awang Gading melihat bayi perempuan tergolek di
atas batu. Sepertinya dia baru saja di lahirkan oleh ibunya lalu ditinggal pergi begitu
saja.
"Anak siapa gerangan? kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai," gumam
Awang Gading kemudian membawa pulang bayi perempuan tersebut. Awang Gading
memberi nama bayi tersebut Dayang Kumunah. Sejak kehadiran Dayang, awang
bertambah rajin bekerja. Awang memberikan kasih sayang dan perhatian yang
melimpah untuk Dayang. Berbagai pengetahuan yang dimiliki ditularkannya kepada
Dayang. tak lupa pelajaran budi pekerti juga diberikannya. Kadang diajaknya
dayang mencari kayu atau mengail untuk mengenal alam secara lebih dekat.
Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi. Dia
juga rajin membantu bapaknya. Sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.
Suatu hari, seorang pemuda kaya bernama Awangku Usop singgah di rumah Awang
Gading. Dia terpesona saat melihat kecantikan Dayang Kumunah. Tak lama
kemudian Awangku Usop melamar Dayang pada Awang Gading. Lamaran Awangku
Usop diterima, tetapi Dayang Kumunah mengajukan syarat, "Kanda Usop,
sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan
mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya akan menjadi istri
yang baik, tetapi jangan minta sata untuk tertawa,"pinta Dayang Kumunah.
Awangku Usop menyetujui syarat tersebut.
Pernikahan mereka diadakan dengan pesta yang sangat meriah, semua
tetangga dan kerabat kedua mempelai di undang. Aneka hidangan tersedia dengan
melimpah. Seluruh undangan gembira menyaksikan pasangan pengantin itu.
Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda
yang sangat tampan. Sungguh pasangan yang serasi.
Awangku Usop dan Dayang Kumunah hidup berbahagia. Namun kebahagiaan
mereka tak berlangsung lama. Beberapa minggu setelah pernikahan, Awang gading
meninggal dunia. Hingga berbulan-bulan Dayang Kumunah bersedih meskipun
Awangku Usop selalu berusaha membahagiakan hati istrinya tersebut. Untunglah,
kesedihan Dayang Kumunah segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang
berjumlah lima orang. Meskipun kini telah memiliki lima orang anak, Awangku Usop
merasa kebahagiaannya belum lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa.
Suatu hari, anak bungsu mereka mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota
keluarga tertawa bahagia melihatnya, kecuali Dayang Kumunah. Awangku Usop
meminta Dayang kumunah untuk tertawa, Dayang Kumunah menolaknya, namun
suaminya terus mendesak. Akhirnya, Dayang pun tertawa. Saat tertawa itu,
tampaklah insang di mulut Dayang Kumunah yang menandakan ia keturunan ikan.
Setalah itu, dayang segera berlari ke sungai, Awangku Usop beserta anak-anaknya
heran dan mengikutinya. Perlahan-lahan tubuh Dayang berubah menjadi ikan.
Awangku Usop dan anak-anaknya ditinggalkannya. Awangku Usop telah
mengingkari janjinya dengan meminta Dayang Kumunah tertawa.
Awangku Usop segera menyadari kekhilafannya dan meminta maaf. Dia
meminta Dayang Kumunah kembali ke rumah mereka. Namun, semua sudah sudah
terlambat. Dayang Kumunah telah tejun ke sungai. Dia telah menjadi ikan dengan
bentuk badan cantik dan kulit mengilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut
manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki yang bersilang. Orang-orang
menyebutnya ikan patin.
Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih. Mereka berjanji tidak
akan makan ikan patin karena di anggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya
orang Melayu yang tidak makan ikan patin.

7. KEPULAUAN BANGKA BELITUNG


Bujang Katak
Konon di zaman dahulu kala ada sebuah dusun di Bangka Belitung hiduplah
seorang nenek tua yang sangat miskin......maka untuk menyambung hidupnya ia
berladang yang juga merupakan peninggalan orang tuanya.
Nenek tua ini hidup sebatang kara dan saat orang orang sibuk bercocok
tanam pada musim tanam si nenek yang tubuhnya juga sudah lemah lebih banyak
menghabiskan waktu untuk beristirahat sembari ia kadang kadang menggarap
ladangnya,dalam istirahatnya ia berkhayal ingin punya seorang anak.
Ia berfikir jika memiliki seorang anak maka ia tidak akan selelah ini untuk
menggarap ladangnya sendirian.Saat siang pun datang ia memilih pulang ke gubuk
reotnya untuk benar benar beristirahat...
Saat itu ia duduk duduk didepan gubuknya sembari matanya menerawang
kembali memikirkan khayalannya yang juga disertai doa agar Tuhan mengabulkan
pintanya untuk mempunyai seorang anak walaupun hanya berbentuk seperti katak.
Tiga hari kemudian nenek tua tersebut merasa ada yang aneh dalam
perutnya ,seperti ada benda yang bergerak gerak dan ternyata Tuhan mengabulkan
doanya karena nenek tua itu sedang mengandung.
Terdengarlah kabar itu oleh penduduk kampung yang berfikiran bagaimana
bisa nenek tua yang tanpa suami itu bisa mengandung,mereka berfikir nenek tua itu
sudah melakukan hal hal yang dilarang alias tidak senonoh.
Nenek tua itu selalu menjadi bahan pembicaraan penduduk dengan tuduhan
yang tidak tidak.Tapi ia hanya bersabar dan pada suatu malam terdengar teriakan
dari dalam gubuk reot nenek tua yang ternyata ingin melahirkan.Berdatanganlah
para warga namun belum sempat mereka masuk ke gubuk reot sudah terdengar
tangisan bayi yang merupakan bayi nenek tua renta itu.Sang bayi lahir dalam
bentuk tubuh yang mirip katak lalu menjadi bahan ejekan warga yang mengatakan
bahwa nenek tua itu sudah berhubungan dengan katak hingga bayinya mirip seperti
katak.Namun perempuan tua itu menceritakan kisahnya kepada warga perihal
kelahiran putranya hingga akhirnya para warga kembali kerumahnya masing
masing.
Walaupun putranya lahir dalam keadaan seperti katak tapi
perempuan tua itu tetap bersyukur kepada Tuhan dan berjanji merawat dan
menyayangi anaknya sepenuh hati.
Hari hari terus berlalu tanpa terasa putranya semakin dewasa dan penduduk
kampung memanggilnya bujang katak karena badannya yang mirip katak.Bujang
katak dalam kesehariannya sangatlah rajin dan tidak pernah keluar rumah kecuali
membantu ibunya berladang.
Ibunya tidak pernah menceritakan tentang asal usulnya lahir namun suatu
hari bujang katak ingin ibunya menceritakan tentang keadaan negerinya tersebut
maka berceritalah ibunya .
Ibunya mengatakan bahwa negerinya ini dipimpin seorang Raja yang
mempunya 7 puteri yang cantik cantik.Mendengar hal tersebut bujang katak
langsung berkhayal andai ia bisa mempersunting salah satu dari mereka untuk
menjadi pendamping hidupnya.
Akhirnya bujang katak pun memberanikan diri mengungkapkan keinginannya
pada ibunya.Alangkah terkejutnya ibu bujang katak saat mendengar
keinginanya,karena mustahil baginya untuk mendapatka puteri raja dengan kedaan
tubuhnya yang mirip katak.
Tapi karena Bujang katak terus memohon maka sang ibu pun memberanikan
diri untuk datang keistana Raja untuk menyampaikan niatnya.
Maka keesokan harinya datanglah sang ibu ke istana raja untuk
menyampaikan niatnya.....Sesampainya disana karena tak berani langsung bicara
pada Raja tentang keinginanya maka ibunya berpantun "Te...sekate menjadi
gelang.Pe...Setempe nek madeh pesen Urang..."
Sang raja mengerti maksud perempuan tua tersebut lalu memanggil ke 7
puterinya yang cantik cantik.Namun alangkah sedihnya nasib nenek tua yang
bukannya mendapatkan perlakuan sopan malah diludahi satu persatu oleh puteri
puteri raja itu kecuali si bungsu yang tak tega melihat perlakuan kakak kakak
nya....Melihat kejadian itu nenek tua pun pulang dan menceritakan hal itu pada
puteranya bujang katak.
Bujang katak saat mendengar hal tersebut merasa sedih dan iba
pada ibunya tapi ia tetap punya harapan dalam hati karena ia yakin puteri bungsu
mau menerima lamarannya karena puteri bungsu tidak melakukan hal hal yang
dilakukan oleh puteri puteri yang lainnya.Maka datanglah bujang katak berserta
ibunya kembali ke istana Raja.
Keesokan hari saat bujang katak dan ibunya kembali ke istana raja
maka tertawalah raja dan para pengawalnya sembari mengejek bujang katak yang
badannya mirip katak.Sembari kembali memanggilkan puteri puterinya dan hal yang
sama dilakukan oleh puteri puteri raja yaitu meludahi bujang katak kecuali sang
bungsu.Dalam hati sang bungsu ingin menerima pinangan bujang katak namun ia
takut mengungkapkan itu pada ayahandanya.Sang Rajapun heran kenapa puteri
bungsunya tidak meludahi bujang katak lalu mengerti apa maksud puterinya .
Sang Raja akhirnya memberikan kesempatan pada bujang katak namun
dengan mengajukan persyaratan yang tidak masuk akal dan sangat berat agar
puterinya tidak bisa dipinang bujang katak yaitu dengan membuat jembatan emas
dari gubuknya ke istana Raja dalam waktu tujuh hari tujuh malam.Setelah
mendengar hal itu bujang katak pun menyetujuinya.
Pulanglah bujang katak dan ibunya kembali ke gubuk....Ibunya
bertanya pada puteranya bagaimana ia bisa mewujudkan syarat yang tak mungkin
itu namun bujang katak berusaha meyakinkan bahwa jika Tuhan berkehendak
maka tak ada yang tak mungkin.
Pergilah bujang katak kesuatu tempat yang sepi untuk bertapa.....6 hari 6
malam sudah ia lewati namun belum juga ada keajaiban....di hari ketujuh keajaiban
yang dinantikan itu datang,tubuhnya yang seperti katak tiba tiba menguning
bersinar keemasan dan mengelupas.Bujang katak berubah menjadi pemuda yang
tampan dan gagah.Lalu kulitnya yang mengelupas itu pun berubah menjadi emas
dan saat ia kumpulkan berubah menjadi batangan batangan emas.Sungguh
keajaiban yang luar bisa dan bujang katak sangat bersyukur pada Yang Maha
Kuasa.
Lalu malam itu juga ia mangajak ibunya itu menyusun batangan emas itu
menjadi jembatan dari gubuknya hingga istana Raja.
Saat pagi tiba sang Raja pun terkagum melihat jembatan yang
dibuat bujang katak lalu memanggil bujang katak dan ibunya kembali ke istana.Ibu
bujang katak beserta bujang katak kembali ke istana namun alangkah kagetnya
Sang Raja melihat pemuda yang begitu tampan disebelah perempuan tua yang tak
lain adalah ibu bujang katak.Sang raja lalu bertanya siapakah pemuda tampan itu
dan pemuda itupun menjawab bahwa ia adalah bujang katak.Dipanggillah puteri
bungsu raja dan puteri puteri lainya .....Alangkah bahagianya putrei bungsu karena
bujang katak adalah pilihan tepat untuknya dan langsung meminangnya.Kakak
Kakak puteri bungsupun menyesal karena telah menolak dan meludahi bujang katak
.Akhirnya pernikahan pun dilangsungkan dengan mengadakan pesta tujuh hari tujuh
malam.Kakak Kakak puteri bungsupun akhirnya menyuruh para pengawal untuk
menangkap katak katak yang ada disawah karena mereka berfikir bahwa bujang
katak berasal dari katak katak biasa di sawah.
Mereka masing masing menyimpan satu katak dalam lemari berharap 7 hari
kemudian berubah menjadi pria tampan.Namun alangkah terkejutnya mereka ketika
membuka lemari bau busuk langsung menyebar seistana karena katak katak itu
mati dan berulat.Keenam puteri tersebut berlari keluar kamar sambil muntah
muntah karena bau busuk tersebut.Sang Raja yang mengetahui perbuatan ke enam
puterinya akhirnya memberi hukuman untuk membersihkan kamar mereka masing
masing.Sang Puteri bungsu hanya tersenyum melihat kelakuan kakak kakaknya .
Waktu berlalu dan Sang Raja merasa semakin tua dan akhirnya
menyerahkan Tahtanya kepada bujang Katak.Mereka hidup bahagia dalam
istana....Bujang katak Ibunya Puteri bungsu dan keluarga Raja lainnya.
Bujang katak menjadi Raja yang bijaksana dalam memimpin rakyatnya.
Cerita ini hanyalah dongeng namun memiliki pesan pesan moral bahwa kita
tidak boleh merendahkan orang lain dan tidak bertindak bodoh.
8. BENGKULU
Legenda Ular n’Daung
Dahulu kala, di kaki sebuah gunung di daerah Bengkulu hiduplah seorang
wanita tua dengan tiga orang anaknya. Mereka sangat miskin dan hidup hanya dari
penjualan hasil kebunnya yang sangat sempit. Pada suatu hari perempuan tua itu
sakit keras.
Orang pintar di desanya itu meramalkan bahwa wanita itu akan tetap sakit
apabila tidak diberikan obat khusus. Obatnya adalah daun-daunan hutan yang
dimasak dengan bara gaib dari puncak gunung.
Alangkah sedihnya keluarga tersebut demi mengetahui kenyataan itu.
Persoalannya adalah bara dari puncak gunung itu konon dijaga oleh seekor ular
gaib. Menurut cerita penduduk desa itu, ular tersebut akan memangsa siapa saja
yang mencoba mendekati puncak gunung itu.
Diantara ketiga anak perempuan ibu tua itu, hanya si bungsu yang
menyanggupi persyaratan tersebut. Dengan perasaan takut ia mendaki gunung
kediaman si Ular n’Daung. Benar seperti cerita orang, tempat kediaman ular ini
sangatlah menyeramkan. Pohon-pohon sekitar gua itu besar dan berlumut. Daun-
daunnya menutupi sinar matahari sehingga tempat tersebut menjadi temaram.
Belum habis rasa khawatir si Bungsu, tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh
dan raungan yang keras. Tanah bergetar. Inilah pertanda si Ular n’Daung mendekati
gua kediamannya. Mata ular tersebut menyorot tajam dan lidahnya menjulur-
julur. Dengan sangat ketakutan si Bungsu mendekatinya dan berkata, “Ular yang
keramat, berilah saya sebutir bara gaib guna memasak obat untuk ibuku yang sakit.
Tanpa diduga, ular itu menjawab dengan ramahnya, “bara itu akan kuberikan kalau
engkau bersedia menjadi isteriku!”
Si Bungsu menduga bahwa perkataan ular ini hanyalah untuk mengujinya.
Maka iapun menyanggupinya. Keesokan harinya setelah ia membawa bara api
pulang, ia pun menepati janjinya pada Ular n’Daung. Ia kembali ke gua puncak
gunung untuk diperisteri si ular.
Alangkah terkejutnya si bungsu menyaksikan kejadian ajaib. Yaitu, pada
malam harinya, ternyata ular itu berubah menjadi seorang ksatria tampan bernama
Pangeran Abdul Rahman Alamsjah.
Pada pagi harinya ia akan kembali menjadi ular. Hal itu disebabkan oleh karena ia disihir oleh
pamannya menjadi ular. Pamannya tersebut menghendaki kedudukannya sebagai calon raja.
Setelah kepergian si bungsu, ibunya menjadi sehat dan hidup dengan kedua
kakaknya yang sirik. Mereka ingin mengetahui apa yang terjadi dengan si Bungsu.
Maka merekapun berangkat ke puncak gunung. Mereka tiba di sana diwaktu malam
hari.
Alangkah kagetnya mereka ketika mereka mengintip bukan ular yang
dilihatnya tetapi lelaki tampan. Timbul perasaan iri dalam diri mereka. Mereka ingin
memfitnah adiknya.
Mereka mengendap ke dalam gua dan mencuri kulit ular itu. Mereka
membakar kulit ular tersebut. Mereka mengira dengan demikian ksatria itu akan
marah dan mengusir adiknya itu. Tetapi yang terjadi justru kebalikannya. Dengan
dibakarnya kulit ular tersebut, secara tidak sengaja mereka membebaskan pangeran
itu dari kutukan.
Ketika menemukan kulit ular itu terbakar, pangeran menjadi sangat gembira.
Ia berlari dan memeluk si Bungsu. Di ceritakannya bahwa sihir pamannya itu akan
sirna kalau ada orang yang secara suka rela membakar kulit ular itu.
Kemudian, si Ular n’Daung yang sudah selamanya menjadi Pangeran
Alamsjah memboyong si Bungsu ke istananya. Pamannya yang jahat diusir dari
istana. Si Bungsu pun kemudian mengajak keluarganya tinggal di istana. Tetapi dua
kakaknya yang sirik menolak karena merasa malu akan perbuatannya.
9. JAMBI
Asal Usul Negeri Jambi
Pada zaman dahulu, di Pulau Sumatera ada seorang gadis cantik bernama
Putri Pinang Manak. Putri itu sangat terkenal bukan hanya karena kecantikan,
namun juga karena sifatnya yang lemah-lembut dan baik hati.
Putri Pinang memiliki kecantikan yang sangat luar biasa. Kulitnya putih
kemerah-merahan seperti namanya, yaitu bagai kulit pinang yang masak. Siapa pun
yang melihat kecantikan sang putrid pasti akan terpesona.
Semua penduduk negeri itu menyukai Putri Pinang. Para wanita, terutama yang seumur
dengannya ingin bersahabat dengannya. Sebaliknya, para pemuda dan pangeran ingin
mempersuntingnya.
Pada suatu hari datanglah lamaran seorang raja yang kaya raya dan amat
luas kekuasaannya. Dia memiliki tambang emas dan perak. Tentu jika lamarannya
ditolak, pasti sang raja akan marah dan murka, bahkan mungkin akan timbul
pertumpahan darah. Namun, dengan demikian tuan putrid tidak menyukai raja
tersebut. Konon karena raja itu berwajah buruk.
Putri Pinang bingung. Ia mencari akal bagaimana cara untuk menggagalkan
lamaran raja. Setelah diam sejenak, Putri Pinang berkata kepada utusan raja,
“Baiklah, lamaran aku terima tetapi ada dua syarat yang harus dipenuhi Sang Raja.”
“Apa saja syaratnya Tuan Putri?” Tanya utusan raja.
“Syarat pertama, Baginda raja harus dapat membuat istana yang indah dan
megah berikut isi perabotannya hanya dalam waktu satu malam. Mulai terbenam
matahari sampai ayam berkokok bersahut-sahutan.”
“Hamba akan sampaikan, Sang Putri. Kemudian apa syarat yang kedua, Tuan
Putri?” Tanya utusan raja. Tuan putrid menjawab, “Syarat yang kedua, jika Baginda
gagal memenuhi syarat yang pertama, maka dia harus menyerahkan semua
kekayaan dan kerajaannya.”
Begitu mendengar syarat yang kedua, utusan raja itu menjadi merah padam.
Namun demikian, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Kemudian utusan raja itu segera
pulang dan menghadap Sang Raja.
Setelah persyaratan yang diajukan Putri Pinang disampaikan kepada Sang Raja, ia sangat
terkejut karena Baginda raja menyanggupi syarat-syarat itu. Begitu Sang Raja menyatakan
kesanggupannya, penasihat raja berkata, “Wahai tuanku! Sadarkah tuan resiko jika Tuan gagal
memenuhi syarat tersebut? Tuan akan kehilangan seluruh kekayaan alam dan kerajaannya.”
“Tidak mengapa, bukankah sudah lama aku hidup seorang diri. Kini saatnya aku mengambil
seorang permaisuri. Aku sangat mencintai Putri Pinang dan saya yakin dapat memenuhinya.”
Kemudian Sang Raja mengumpulkan rakyat dan ahli pertukangan di
kerajaan. Bahkan ia menyewa dan berani membayar mahal para tukang dari luar
negeri agar pekerjaannya cepat selesai. Para tukang diperintah bekerja keras dan
cepat karena istana tersebut harus selesai dalam waktu satu malam.
Pembangunan istana mulai dilaksanakan tepat ketika matahari terbenam.
Beribu-ribu tukang pandai dikerahkan sehingga terlihat terang benderang. Setiap
saat raja berkeliling memeriksa orang-orang yang sedang bekerja.
Raja tampak bahagia karena tepat tengah malam separuh pembangunan istana telah selesai
dengan sempurna. Sebaliknya, Putri Pinang merasa sangat cemas dan khawatir. Sebab permintaannya
untuk membuat istana dalam waktu satu malam hanyalah sekadar alas an yang dicari-cari belaka. Hal ini
ia lakukan agar raja tidak menikahinya.
Sang Raja bertambah bahagia ketika menjelang pagi dan istana hampir jadi.
Sebaliknya, Tuan Putri semakin cemas dan bingung. Makan tidak enak dan tidur pun
tidak nyenyak. Ia terus mencari akal dan tiba-tiba Tuan Putri mendapatkan akal.
Kemudian ia pergi ke kandang ayam. Ayam-ayam itu mengira hari telah siang.
Ayam-ayam itu pun berkokok berulang-ulang. Raja yang sedang memeriksa rakyat
dan para pekerja yang sedang bekerja itu terkejut.
Dengan sangat berat hati Bagina berkata kepada rakyatnya dan para tukang,
“Sudah, hentikan pekerjaan ini!”
“Mengapa, Baginda? Bukankah pekerjaan kita sudah hampir selesai?” Tanya salah seorang
pekerja.
“betul katamu, tapi kita telah kalah. Dalam perjanjian, istana ini sudah harus
selesai sebelum ayam berkokok,” jawab Baginda.
“Tetapi, sebenarnya hari belum pagi, tidak seharusnya ayam-ayam berkokok.
Sungguh aneh …!” ujar para tukang.
“Sudahlah, kembalilah kalian ke tempat masing-masing. Kita sudah gagal
memenuhi persyaratan Putri Pinang. Sebagaimana dalam perjanjian, batas
selesainya adalah sampai ayam berkokok bersahut-sahutan”, demikian kata raja.
Dengan perasaan kecewa dan terpaksa, para pekerja akhirnya menghentikan semua
pekerjaan. Mereka kembali ke negeri asal masing-masing. Baginda raja tetap berdiri di tempat
semula. Hatinya hancur.
Dari balik bangunan istana yang belum jadi, Putri Pinang datang menemui
Baginda raja. Ia berkata, “Baginda, Anda telah gagal memenuhi syarat saya maka
sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat, Baginda harus menyerahkan seluruh
harta dan kerajaan.”
Akhirnya, Baginda raja menyerahkan segala kekayaan dan kerajaannya
kepada Putri Pinang. Sejak saat itu negeri timur berubah nama menjadi negeri Putri
Pinang. Dan gadis cantik itu menjadi rajanya. Orang-orang dari negeri lain menyebut negeri itu
sebagai Negeri Pinang. Sedang dalam bahasa Jawa, pinang itu berarti jambe. Dari situ para raja di Jawa
menyebut negeri itu sebagai kerajaan Jambe. Lama-lama sebutan Jambe berubah menjadi
Jambi.
10. LAMPUNG
Buaya Perompak
Alkisah, Sungai Tulang Bawang sangat terkenal dengan keganasan buayanya.
Setiap nelayan yang melewati sungai itu harus selalu berhati-hati. Begitupula
penduduk yang sering mandi dan mencuci di tepi sungai itu. Menurut cerita, sudah
banyak manusia yang hilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama sekali.
Pada suatu hari, kejadian yang mengerikan itu terulang kembali. Seorang gadis cantik yang
bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi sungai itu. Anehnya, walaupun warga
sudah berhari-hari mencarinya dengan menyusuri tepi sungai, tapi tidak juga menemukannya. Gadis itu
hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Sepertinya ia sirna bagaikan ditelan bumi. Warga pun
berhenti melakukan pencarian, karena menganggap bahwa Aminah telah mati dimakan buaya.
Sementara itu, di sebuah tempat di dasar sungai tampak seorang gadis
tergolek lemas. Ia adalah si Aminah. Ia baru saja tersadar dari pingsannya.

“Ayah, Ibu, aku ada di mana? gumam Aminah setengah sadar memanggil
kedua orangtuanya.
Dengan sekuat tenaga, Aminah bangkit dari tidurnya. Betapa terkejutnya ia
ketika menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah gua. Yang lebih
mengejutkannya lagi, ketika ia melihat dinding-dinding gua itu dipenuhi oleh harta
benda yang tak ternilai harganya. Ada permata, emas, intan, maupun pakaian
indah-indah yang memancarkan sinar berkilauan diterpa cahaya obor yang
menempel di dinding-dinding gua.
“Wah, sungguh banyak perhiasan di tempat ini. Tapi, milik siapa ya?” tanya
Aminah dalam hati.
Baru saja Aminah mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba terdengar
sebuah suara lelaki menggema.
“Hai, Gadis rupawan! Tidak usah takut. Benda-benda ini adalah milikku.”
Alangkah terkejutnya Aminah, tak jauh dari tempatnya duduk terlihat samar-
samar seekor buaya besar merangkak di sudut gua.
“Anda siapa? Wujud anda buaya, tapi kenapa bisa berbicara seperti
manusia?” tanya Aminah dengan perasaan takut.

“Tenang, Gadis cantik! Wujudku memang buaya, tapi sebenarnya aku adalah
manusia seperti kamu. Wujudku dapat berubah menjadi manusia ketika purnama
tiba.,” kata Buaya itu.
“Kenapa wujudmu berubah menjadi buaya?” tanya Aminah ingin tahu.
“Dulu, aku terkena kutukan karena perbuatanku yang sangat jahat. Namaku
dulu adalah Somad, perampok ulung di Sungai Tulang Bawang. Aku selalu
merampas harta benda setiap saudagar yang berlayar di sungai ini. Semua hasil
rampokanku kusimpan dalam gua ini,” jelas Buaya itu.
“Lalu, bagaimana jika Anda lapar? Dari mana Anda memperoleh makanan?”
tanya Aminah.
“Kalau aku butuh makanan, harta itu aku jual sedikit di pasar desa di tepi
Sungai Tulang Bawang saat bulan purnama tiba. Tidak seorang penduduk pun yang
tahu bahwa aku adalah buaya jadi-jadian. Mereka juga tidak tahu kalau aku telah
membangun terowongan di balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan gua ini
dengan desa tersebut,” ungkap Buaya itu.
Tanpa disadarinya, Buaya Perompak itu telah membuka rahasia gua tempat
kediamannya. Hal itu tidak disia-siakan oleh Aminah. Secara seksama, ia telah
menyimak dan selalu akan mengingat semua keterangan yang berharga itu, agar
suatu saat kelak ia bisa melarikan diri dari gua itu.
“Hai, Gadis Cantik! Siapa namamu?” tanya Buaya itu.

“Namaku Aminah. Aku tinggal di sebuah dusun di tepi Sungai Tulang


Bawang,” jawab Aminah.
“Wahai, Buaya! Bolehkah aku bertanya kepadamu?” tanya Aminah
“Ada apa gerangan, Aminah? Katakanlah!” jawab Buaya itu.
“Mengapa Anda menculikku dan tidak memakanku sekalian?” tanya Aminah
heran.
“Ketahuilah, Aminah! Aku membawamu ke tempat ini dan tidak
memangsamu, karena aku suka kepadamu. Kamu adalah gadis cantik nan rupawan
dan lemah lembut. Maukah Engkau tinggal bersamaku di dalam gua ini?” tanya
Buaya itu.
Mendengar pertanyaan buaya itu, Aminah jadi gugup. Sejenak, ia terdiam dan termenung.
“Ma… maaf, Buaya! Aku tidak bisa tinggal bersamamu. Orangtuaku pasti akan
mencariku,” jawab Aminah menolak.
Agar Aminah mau tinggal bersamanya, buaya itu berjanji akan memberinya
hadiah perhiasan.
“Jika Engkau bersedia tinggal bersamaku, aku akan memberikan semua harta
benda yang ada di dalam gua ini. Akan tetapi, jika kamu menolak, maka aku akan
memangsamu,” ancam Buaya itu.
Aminah terkejut mendengar ancaman Buaya itu. Namun, hal itu tidak
membuatnya putus asa. Sejenak ia berpikir mencari jalan agar dirinya bisa selamat
dari terkaman Buaya itu.
“Baiklah, Buaya! Aku bersedia untuk tinggal bersamamu di sini,” jawab
Aminah setuju.
Rupanya, Aminah menerima permintaan Buaya itu agar terhindar dari
acamana Buaya itu, di samping sambil menunggu waktu yang tepat agar bisa
melarikan diri dari gua itu.
Akhirnya, Aminah pun tinggal bersama Buaya Perompak itu di dalam gua.
Setiap hari Buaya itu memberinya perhiasan yang indah dan mewah. Tubuhnya
yang molek ditutupi oleh pakaian yang terbuat dari kain sutra. Tangan dan lehernya
dipenuhi oleh perhiasan emas yang berpermata intan.
Pada suatu hari, Buaya Perompak itu sedikit lengah. Ia tertidur pulas dan meninggalkan pintu
gua dalam keadaan terbuka. Melihat keadaan itu, Aminah pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.
“Wah, ini kesempatan baik untuk keluar dari sini,” kata Aminah dalam hati.
Untungnya Aminah sempat merekam dalam pikirannya tentang cerita Buaya
itu bahwa ada sebuah terowongan yang menghubungkan gua itu dengan sebuah
desa di tepi Sungai Tulang Bawang. Dengan sangat hati-hati, Aminah pun keluar
sambil berjingkat-jingkat. Ia sudah tidak sempat berpikir untuk membawa harta
benda milik sang Buaya, kecuali pakaian dan perhiasan yang masih melekat di
tubuhnya.
Setelah beberapa saat mencari, Aminah pun menemukan sebuah terowongan
yang sempit di balik gua itu dan segera menelusurinya. Tidak lama kemudian, tak
jauh dari depannya terlihat sinar matahari memancar masuk ke dalam terowongan.
Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi ia akan sampai di mulut terowongan.
Dengan perasaan was-was, ia terus menelusuri terowongan itu dan sesekali
menoleh ke belakang, karena khawatir Buaya Perompak itu terbangun dan
membututinya. Ketika ia sampai di mulut terowongan, terlihatlah di depannya
sebuah hutan lebat. Alangkah senangnya hati Aminah, karena selamat dari ancaman
Buaya Perompak itu.
“Terima kasih Tuhan, aku telah selamat dari ancaman Buaya Perompak itu,”
Aminah berucap syukur.
Setelah itu, Aminah segera menyusuri hutan yang lebat itu. Setelah beberapa
jauh berjalan, ia bertemu dengan seorang penduduk desa yang sedang mencari
rotan.
“Hai, Anak Gadis! Kamu siapa? Kenapa berada di tengah hutan ini seorang diri?” tanya
penduduk desa itu.

“Aku Aminah, Tuan!” jawab Aminah.


Setelah itu, Aminah pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya
hingga ia berada di hutan itu. Oleh karena merasa iba, penduduk desa itu pun
mengantar Aminah pulang ke kampung halamannya. Sesampai di rumahnya,
Aminah pun memberikan penduduk desa itu hadiah sebagian perhiasan yang
melekat di tubuhnya sebagai ucapan terima kasih.
Akhirnya, Aminah pun selamat kembali ke kampung halamannya. Seluruh
penduduk di kampungnya menyambutnya dengan gembira. Ia pun menceritakan
semua kejadian yang telah menimpanya kepada kedua orangtuanya dan seluruh
warga di kampungnya. Sejak itu, warga pun semakin berhati-hati untuk mandi dan
mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang.

11. DKI JAKARTA


Si Pitung
Si Pitung adalah seorang pemuda yang soleh dari Rawa Belong. Ia rajin belajar
mengaji pada Haji Naipin. Selesai belajar mengaji ia pun dilatih silat. Setelah bertahun- tahun
kemampuannya menguasai ilmu agama dan bela diri makin meningkat.
Pada waktu itu Belanda sedang menjajah Indonesia. Si Pitung merasa iba
menyaksikan penderitaan yang dialami oleh rakyat kecil. Sementara itu, kumpeni
(sebutan untuk Belanda), sekelompok Tauke dan para Tuan tanah hidup
bergelimang kemewahan. Rumah dan ladang mereka dijaga oleh para centeng yang
galak.
Dengan dibantu oleh teman-temannya si Rais dan Jii, Si Pitung mulai
merencanakan perampokan terhadap rumah Tauke dan Tuan tanah kaya. Hasil
rampokannya dibagi-bagikan pada rakyat miskin. Di depan rumah keluarga yang
kelaparan diletakkannya sepikul beras. Keluarga yang dibelit hutang rentenir
diberikannya santunan. Dan anak yatim piatu dikiriminya bingkisan baju dan hadiah
lainnya.

Kesuksesan si Pitung dan kawan-kawannya dikarenakan dua hal. Pertama, ia


memiliki ilmu silat yang tinggi serta dikhabarkan tubuhnya kebal akan peluru.
Kedua, orang-orang tidak mau menceritakan dimana si Pitung kini berada. Namun
demikian orang kaya korban perampokan Si Pitung bersama kumpeni selalu
berusaha membujuk orang-orang untuk membuka mulut.
Kumpeni juga menggunakan kekerasan untuk memaksa penduduk memberi keterangan. Pada
suatu hari, kumpeni dan tuan-tuan tanah kaya berhasil mendapat informasi tentang keluarga si Pitung.
Maka merekapun menyandera kedua orang tuanya dan si Haji Naipin. Dengan siksaan yang berat
akhirnya mereka mendapatkan informasi tentang dimana Si Pitung berada dan rahasia kekebalan
tubuhnya.
Berbekal semua informasi itu, polisi kumpeni pun menyergap Si Pitung. Tentu
saja Si Pitung dan kawan-kawannya melawan. Namun malangnya, informasi tentang
rahasia kekebalan tubuh Si Pitung sudah terbuka. Ia dilempari telur-telur busuk dan
ditembak. Ia pun tewas seketika.Meskipun demikian untuk Jakarta, Si Pitung tetap
dianggap sebagai pembela rakyat kecil.

12. BANTEN
Pangeran Pande Gelang dan Putri Cadasari
DI tengah sebidang kebun manggis, seorang putri yang cantik jelita duduk
termenung. Sorot matanya kosong, bibirnya terkatup rapat menandakan dia sedang
bermuram durja.

Tidak jauh dari tempat sang Putri duduk, melintaslah seorang lelaki paruh
baya dengan karung di pundaknya. Lelaki itu tertegun sesaat manakala melihat
sang Putri. Wajah lelaki itu tampak penuh kekhawatiran.
"Sampurasun," sapanya.
Sang Putri tak menyahut. Dia benar-benar larut dalam kesedihannya,
sehingga tidak menyadari kehadiran lelaki itu.
"Sampurasun," Lelaki itu mengulang sapa.
"Ra... rampes," Sang Putri terkejut. "Si... siapa?"
"Maaf jika saya telah mengejutkan Tuan Putri," kata lelaki itu seraya
menundukkan kepalanya.
Sang Putri tidak segera menjawab. Dia memperhatikan penuh seksama lelaki
yang berdiri di hadapannya. Wajah lelaki itu tidaklah tampan, kulitnya pun legam.
Namun Putri merasa yakin, lelaki itu adalah lelaki baik. Seumpama buah manggis:
hitam dan pahit kulitnya, tapi putih dan manis buahnya.
"Sedari tadi tadi saya perhatikan, Tuan Putri tampak gundah gulana. Ada apa
gerangan?"
"Saya kira tak ada guna menceritakan masalah yang saya hadapi kepada
orang lain."
"Kalau begitu, maafkan saya telah mengganggu Tuan Putri. Saya berharap
Tuan Putri berkenan melupakan pertanyaan saya tadi," ujar lelaki itu seraya hendak
berlalu.
"Tunggu, Kisanak. Jangan pergi dulu!" Sang Putri mencegah.
Lelaki itu mengurungkan niatnya. Sejenak dia melirik sang Putri.
"Sekali lagi maafkan saya," pinta sang Putri. "Bukan maksud saya menyinggung perasaan
Kisanak, apalagi menganggap rendah."

Beberapa saat sang Putri terdiam. Kemudian tiba-tiba saja matanya membasah. Sang Putri
menangis.
Lelaki itu duduk di dekat sang Putri. Hatinya diliputi keingintahuan yang besar
tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Siapa nama Kisanak?" tanya sang Putri.
"Saya... saya pembuat gelang. Pande gelang. Orang-orang sering memanggil saya dengan
sebutan Ki Pande."

"Baiklah, Ki Pande. Saya akan bercenta, mudah-mudahan cerita saya akan


menghilangkan penasaran Ki Pande. Selama ini saya tidak pernah menceritakan
masalah ini kepada orang lain karena saya merasa hanya akan sia-sia belaka. Tidak
akan ada seorang pun yang bisa membantu saya," jelas sang Putri dengan mata
berkaca-kaca.

"Tapi mengapa Tuan Putri mau menceritakannya kepada saya?"

"Saya hanya ingin menghilangkan penasaran Ki Pande,"

Ki Pande tidak berkata-kata lagi. Dia hanya menundukkan kepala dengan hati
dipenuhi rasa iba.

"Nama saya Putri Arum ...." sang Putri memulai centanya.

Menurut Putri Arum, dirinya sedang mendapat tekanan dari seorang pangeran
bernama Pangeran Cunihin. Meskipun tampan, Pangeran Cunihin sangatlah bengis
dan kejam. Selain itu, Pangeran Cunihin pun sangat berkuasa dan sakti
mandraguna. Apa pun yang diinginkannya harus terpenuhi. Semua titah tak bisa
berbantah.
"Saya sangat sedih, Ki, karena dia akan menjadikan saya sebagai istrinya,"
Putri Arum mengakhiri ceritanya.

"Saya ikut bersedih," Ki Pande tak kuasa menahan airmata. "Maafkan saya,
karena tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu Putri."

"Saya mengerti, Ki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengakhiri angkara
Pangeran Cunihin," ujar Putri Arum lirih. "Tadinya saya mengira wangsit yang saya
terima benar adanya."

"Wangsit?" tanya Ki Pande.

"Ya. Menurut wangsit, saya harus menenangkan diri di bukit manggis ini.
Kelak katanya akan ada seorang pangeran yang baik hati, manis budi pekertinya,
dan sakti mandraguna, yang datang menolong saya. Namun penantian ini hampir
sia-sia. Tiga hari lagi Pangeran Cunihin akan datang dan memaksa saya kawin
dengannya. Barangkali ini sudah suratan takdir saya, Ki, sebab setelah sekian lama,
dewa penolong yang hatinya seputih dan semanis buah manggis itu ternyata tak
kunjung tiba," tutur Putri Arum menghiba.

Mendengar hal tersebut, KI Pande mengenyitkan dahi, seolah ada yang


tengah dipikirkannya.

"Oh, tadi Aki mengatakan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan untuk
membantu saya?" tanya Putri Arum, teringat kata-kata Ki Pande.

"Benar," jawab Ki Pande.

"Itu berarti, meskipun sedikit ada yang bisa Aki lakukan untuk saya!" seru
Putri Arum, penuh harap.

"Barangkali itu tidaklah berarti," kata Ki Pande.

"Katakan saja, Ki," Putri Arum penasaran.

"Saya hanya ingin menyumbang saran. Terima saja keinginan Pangeran Cunihin itu."

"Apa Aki sudah gila? Bagaimana saya mau dipersunting lelaki yang sangat
saya benci?" sergah Putri Arum dengan wajah memerah.

Ki Pande sangat terkejut dengan perubahan itu, tapi dia berusaha tetap
tenang. "Maksud saya, terima saja keinginan dia tapi dengan syarat."

"Dengan syarat?" tanya Putri Arum setengah bergumam.


"Ya, dengan syarat yang sangat susah dipenuhi."

"Hal apa yang tidak bisa dilakukan Pangeran Cunihin? Dia sangat sakti
mandraguna. Laut saja bisa dikeringkannya!"

"Yakinlah, Tuan Putri. Tidak semua orang akan jaya selamanya," Ki Pande
berusaha meyakinkan Putri Arum.

"Kalau begitu, apa syarat yang Aki maksudkan?"

"Pangeran Cunihin harus melubangi batu keramat supaya bisa dilalui manusia. Kemudian batu
tersebut harus diletakkan di pesisir pantai. Semuanya harus dikerjakan tidak lebih dan tiga hari," Ki
Pande menjelaskan.

"Bukankah syarat itu sangat mudah dilakukan oleh Pangeran Cunihin?"

"Tapi tidak semua orang mau melakukannya. Sebab dengan melubangi batu
keramat, setengah dari kemampuan orang tersebut akan hilang."

"Setelah itu"" tanya Putri Arum.

"Serahkan semuanya kepada saya!"

Mendengar seluruh penjelasan Ki Pande, akhirnya Putri Arum menyetujui. Ki


Pande kemudian mengajak Putri Arum ke tempat tinggalnya, sambil membawa
karung yang berisi alat-alat membuat gelang.

Perjalanan menuju tempat tinggal Ki Pande sangat melelahkan Putri Arum. Sudah hampir
setengah hari perjalanan, mereka belum juga sampai. Putri Arum pun jatuh pingsan di atas sebuah batu
cadas. Orang-orang kampung membantu Ki Pande rnembawa Putn Arum ke rumah salah seorang
penduduk dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Salah seorang tetua kampung mengatakan
bahwa Putri Arum bisa segera pulih jika minum air gunung yang memancar melalui batu cadas.

Beberapa orang kampung bergegas mencari sumber mata air batu cadas.
Dan keajaiban pun terjadi, Putri Arum kembali sehat setelah meminum air yang
berasal dari batu cadas itu. Penduduk kampung lalu memanggil Putri Arum dengan
sebutan baru yaitu Putri Cadasari.

Sementara itu, Ki Pande tengah menyiapkan rencana baru. Dia membuat


gelang yang sangat besar, yang bisa dilalui manusia. Menurut Ki Pande, gelang
tersebut akan dipasang pada lingkaran lubang batu keramat yang dibuat Pangeran
Cunihin.
Waktu yang ditentukan Pangeran Cunihin pun tiba. Dia datang menemui Putri
Cadasari dan menagih jawaban. Putri Cadasan pun mengajukan syarat kepada
Pangeran Cunihin.

"Hahaha, itu syarat yang sangat gampang, Tuan Putri. Tapi apa maksud dari syarat itu?" tanya
Pangeran Cunihin.

Putri Cadasari terkejut mendapat pertanyaan seperti Itu. Tapi dia segera menyembunyian
keterkejutannya. "Saya hanya ingin agar bulan madu kita tidak terganggu, Pangeran. Duduk di atas batu
sambil menikmati birunya laut, bukankah itu sangat menyenangkan, Pangeran?" jelas Putri Cadasari.

"Wah, Tuan Putri memang sangat romantis!" puji Pangeran Cunihin, pula.

Tak sampai tiga hari dan tanpa halangan yang berarti, Pangeran Cunihin
berhasil menemukan batu keramat yang disyaratkan. Batu keramat itu kemudian
dibawanya ke sebuah pesisir yang sangat indah. Ki Pande dan Putri Cadasari diam-
diam mengkuti dari kejauhan. Di tempat yang terlindung mereka bersembunyi,
menyaksikan apa yang dilakukan Pangeran Cunihin.

Pangeran Cunihin tampak duduk bersila di hadapan batu keramat. Dengan konsentrasi penuh,
Pangeran Cunihin menempelkan dua telapak tangannya ke batu keramat. Tiba-tiba tangan Pangeran
Cunihin bergetar. Sesaat kemudian batu keramat itu pun retak dan berjatuhan. Sungguh ajaib, sebuah
lubang yang sangat besar tercipta di tengah batu keramat itu.

"Hahaha, aku berhasil. Tuan Putri akan segera menjadi milikku!" Pangeran
Cunihin mengangkat kedua tangannya seraya berlari mencari Putri Cadasari.
Kesempatan itu tak disia-siakan Ki Pande untuk memasang gelang besar
pada batu keramat yang telah berlubang Itu. Setelah itu dia kembali hendak
bersembunyi, tapi didengarnya sebuah bentakan keras.
"Heh tua bangka, sedang apa kau di sini?!"
Ternyata Pangeran Cunihin telah berada kembali di situ, bersama Putri
Cadasari.
"0, aku tahu. Rupanya kau sedang mengagumi mahakaryaku. Bukankah aku
pernah mengatakan kepadamu bahwa kau tidak pantas menjadi pemenang. Kau
hanya pantas menjadi pecundang! Hahaha!" Pangeran Cunihin tertawa puas.
"Lihatlah, sang Putri telah menjadi milikku. Kau tidak bisa lagi memilikinya!"
Putri Cadasari terkejut heran mendengar omongan Pangeran Cunihin, seolah
telah mengenal Ki Pande sebelumnya. Namun belum lagi keheranan itu terjawab,
Pangeran Cunihin telah menarik tangan Putri Cadasari untuk melihat batu keramat
yang telah berlubang itu.
"Tuan putri, lihatlah! Keinginan Tuan Putri telah terwujud. Sebuah batu besar
berlubang di pesisir pantai. Sungguh sebuah tempat yang indah dan romantis," kata
Pangeran Cunihin.
Putri Cadasari berusaha bersikap tenang dan mencoba menunjukkan
kegembiraan, w alau di dalam hatinya dia merasa sangat takut impian buruknya
menjadi pendamping Pangeran Cunihin akan menjadi kenyataan.
"Apa karena terlalu gembira saya seakan tidak bisa melihat bahwa batu ini
telah berlubang?" kata Putri Cadasan.
"Hm, baiklah. Jika Tuan Putri tidak percaya, saya akan melewati batu ini
untuk membuktikannya," jawab Pangeran Cunihin.
Tanpa berpikir panjang, Pangeran Cunihin kemudian berjalan melewati
lubang batu keramat itu. Tapi tiba-tiba Pangeran Cunihin merasakan tubuhnya sakit
luar biasa. Dia berteriak-teriak sekuat tenaga. Suaranya memecah angkasa. Lalu
seluruh kekuatannya pun menghilang. Dia terduduk lemah, tak kuasa berdiri.
Perlahan, Pangeran Cunihin berubah menjadi seorang tua renta tanpa daya, seolah
telah melewati lorong waktu. Sementara itu, KI Pande pun berubah menjadi seorang
pemuda tampan.
"Bagaimana semua ini bisa terjadi?" Putri Cadasari tidak mengerti
menyaksikan keanehan-keanehan itu.
"Sebenarnya ini semua akibat perbuatan Pangeran Cunihin. Dulu kami berteman. Tapi setelah
mendapat kesaktian dari guru, dia mencuri seluruh ilmu dan kesaktian saya, lalu menjadikan saya
sebagai seorang yang sudah tua. Saya kemudian mencari kesaktian untuk mengembalikan keadaan
saya. Ternyata hanya satu yang bisa mengembalikan keadaan itu, yakni Jika Pangeran Cunihin melewati
gelang-gelang buatan saya," terang Ki Pande seraya menatap ke arah Pangeran Cunihin yang terkulai
tak berdaya.
"Kini saya telah kembali seperti sedia kala. Ini semua karena jasa Tuan Putri.
Untuk itu saya menghaturkan terima kasih," ujar Pangeran Pande Gelang,
menggenggam tangan Putri Cadasari.
"Ah, sayalah yang seharusnya berterima kasih, Pangeran. Ternyata wangsit
yang saya terima itu memang benar."
Akhirnya, keduanya meninggalkan batu keramat berlubang itu. Beberapa
waktu kemudian mereka pun menikah dan hidup berbahagia sampai akhir hayatnya.
Tempat mengambil batu keramat tersebut kemudian dikenal dengan
kampung Kramatwatu, dan batu besar berlubang di pesisir pantai kini dikenal
dengan nama Karang Bolong. Sedangkan tempat sang Putri melaksanakan wangsit
di bukit manggis, kini orang mengenalnya dengan kampung Pasir Manggu. Manggis
dalam bahasa Sunda berarti Manggu dan pasir berarti bukit. Sementara tempat Putri
disembuhkan dari sakitnya sampai kini bernama Cadasari di daerah Pandeglang,
tempat Pangeran Pande Gelang membuat gelang.

13. JAWA BARAT


Asal-Usul Gunung Tangkuban Perahu
Pada jaman dahulu, tersebutlah kisah seorang puteri raja di Jawa Barat
bernama Dayang Sumbi.Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama
Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu.
Ia berburu dengan ditemani oleh Tumang, anjing kesayangan istana.
Sangkuriang tidak tahu, bahwa anjing itu adalah titisan dewa dan juga bapaknya.
Pada suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar hewan
buruan. Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan. Ketika kembali ke istana,
Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada ibunya. Bukan main marahnya Dayang
Sumbi begitu mendengar cerita itu. Tanpa sengaja ia memukul kepala Sangkuriang
dengan sendok nasi yang dipegangnya. Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan
pergi mengembaraSetelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia
selalu berdoa dan sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa memberinya
sebuah hadiah. Ia akan selamanya muda dan memiliki kecantikan abadi.
Setelah bertahun-tahun mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat untuk
kembali ke tanah airnya. Sesampainya disana, kerajaan itu sudah berubah total.
Disana dijumpainya seorang gadis jelita, yang tak lain adalah Dayang Sumbi.
Terpesona oleh kecantikan wanita tersebut maka, Sangkuriang melamarnya. Oleh
karena pemuda itu sangat tampan, Dayang Sumbi pun sangat terpesona padanya.
Pada suatu hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong Dayang Sumbi
untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi demi melihat
bekas luka di kepala calon suaminya. Luka itu persis seperti luka anaknya yang
telah pergi merantau. Setelah lama diperhatikannya, ternyata wajah pemuda itu
sangat mirip dengan wajah anaknya. Ia menjadi sangat ketakutan.
Maka kemudian ia mencari daya upaya untuk menggagalkan proses
peminangan itu. Ia mengajukan dua buah syarat. Pertama, ia meminta pemuda itu
untuk membendung sungai Citarum. Dan kedua, ia minta Sangkuriang untuk
membuat sebuah sampan besar untuk menyeberang sungai itu. Kedua syarat itu
harus sudah dipenuhi sebelum fajar menyingsing.
Malam itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya ia mengerahkan
mahluk-mahluk gaib untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu. Dayang Sumbi
pun diam-diam mengintip pekerjaan tersebut. Begitu pekerjaan itu hampir selesai,
Dayang Sumbi memerintahkan pasukannya untuk menggelar kain sutra merah di
sebelah timur kota.
Ketika menyaksikan warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira hari
sudah menjelang pagi. Ia pun menghentikan pekerjaannya. Ia sangat marah oleh
karena itu berarti ia tidak dapat memenuhi syarat yang diminta Dayang Sumbi.
Dengan kekuatannya, ia menjebol bendungan yang dibuatnya. Terjadilah
banjir besar melanda seluruh kota. Ia pun kemudian menendang sampan besar
yang dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh menjadi sebuah gunung yang
bernama “Tangkuban Perahu.”

14. JAWA TENGAH


Legenda Candi Prambanan
Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama
Prambanan. Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi
kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging.
Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu
menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai
oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam.
“Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar
Bandung Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang
sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung
Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri Raja Prambanan
yang cantik jelita. “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku,” pikir
Bandung Bondowoso.
Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. “Kamu cantik sekali,
maukah kau menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro
Jonggrang. Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki
ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi
permaisurinya”, ujar Loro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus aku lakukan ?”.
Loro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak,
maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya
serta rakyat Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro
Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso.
“Bagaimana, Loro Jonggrang ?” desak Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang
mendapatkan ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa syaratnya?
Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu, tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya
minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi
itu harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya
bergetar menahan amarah. Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat
1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bias membuat candi
tersebut dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan yang
kubutuhkan!”
Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar
batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!”
teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap.
Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung
Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya pemimpin jin. “Bantu aku
membangun seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso. Para jin segera bergerak ke
sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan
candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah.
Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia
cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. “Wah, bagaimana ini?”,
ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya
berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami. “Cepat bakar semua jerami itu!”
perintah Loro Jonggrang. Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung.
Dung… dung…dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi
suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.
Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru jin.
“Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari,” sambung jin yang lain. Para jin
tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat
kepanikan pasukan jin.
Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi.
“Candi yang kau minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang segera menghitung jumlah
candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. “Jumlahnya kurang satu!” seru Loro
Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan”. Bandung
Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka. “Tidak
mungkin…”, kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau
begitu kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada
Loro Jonggrang. Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu.
Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan disebut Candi Loro Jonggrang.
Karena terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah, Candi Loro Jonggrang dikenal
sebagai Candi Prambanan

15. DI YOGYAKARTA
Kali Gajah Wong
Alkisah, Ki Sapa Wira adalah seorang abdi dalem Kraton Mataram yang selalu
memandikan gajah milik Sultan Agung yang bernama Kyaii Dwipangga. Suatu
ketika, dia sakit bisul di ketiaknya sehingga tidak bisa bergerak bebas. Terlebih lagi
kalau harus memandikan seekor gajah.
Kemudian, Ki Sapa Wira pun meminta tolong adik iparnya, Ki Kerti untuk
memandikan Kyai Dwipangga. Sebenarnya, nama lengkapnya adalah Ki Kerti
Kertiyuda. Namun, karena terjangkit polio sejak kecil sehingga berjalan meliuk-liuk
pincang (peyok). Maka ia pun dipanggil Ki Kerti Peyok.
"Kerti, tolong gantikan aku memandikan Kyai Dwipangga," tukas Ki Sapa
Wira.
"Siap, Ki," jawab Ki Kerti Peyok.
"Tepuk kaki belakangnya, tarik buntutnya," pesan Ki Sapa Wira.
Ki Kerti Peyok manggut-manggut mendengar pesan tersebut.
Pagi-pagi benar, Ki Kerti Peyok berangkat ke kali bersama Kyai Dwipangga.
Di tengah-tengah perjalanan, Ki Kerti Peyok tak lupa memberikan kelapa muda
untuk sarapan Kyai Dwipangga supaya gajah itu patuh kepadanya.
"Nih... untuk kamu makan buat sarapan." Ki Kerti menyodorkan dua butir
kelapa muda yang disambut oleh belalai Kyai Dwipangga.
Tak membutuhkan tempo lama untuk Kyai Dwipangga membelah dua butir
kelapa tersebut. Tinggal dibanting kemudian terbelah. Dan dengan lahap Kyai
Dwipangga memakannya.
Sesudah kelapa tersebut habis dilahap, Ki Kerti memukul-mukulkan cemetinya ke pantat Kyai
Dwipangga supaya gajah itu berendam ke dalam air kali. Digosok-gosoknya gajah tersebut supaya
kotoran-kotoran di tubuhnya hilang. Setelahnya, Ki Kerti membawa pulang gajah itu.
"Ki, gajahnya sudah saya mandikan sampai bersih," Ki Kerti melapor kepada
Ki Sapa Wira.
"Ya, terima kasih. Oiya, saya harap kamu mau memandikan Kyai Dwipangga
lagi besok. Maklumlah, gajah memang harus sering dimandikan, apalagi kalau
musim kawin seperti sekarang," jawab Ki Sapa Wira.
***
Seperti hari sebelumnya, keesokan harinya, Ki Kerti membawa Kyai
Dwipangga ke kali untuk dimandikan. Namun, pagi ini berbeda dengan pagi kemarin
karena cuaca terlihat mendung. Meskipun hujan tidak turun.
Dengan sigap, Ki Kerti membawa Kyai Dwipangga menuju ke sungai. Kali ini Ki Kerti kecewa,
karena kali terlihat dangkal. Ki Kerti memilih ke tengah sungai. Menurutnya, tengah kali lebih dalam.
Ketika hendak memandikan Kyai Dwipangga, tiba-tiba terjadi banjir bandang dari arah utara. Ki Kerti
Peyok dan Kyai Dwipangga hanyut terbawa arus sungai sampai Laut Selatan.Keduanya pun tak bisa
diselamatkan.
Demi mengenang peristiwa tersebut, Sultan Agung menamai kali itu "KALI
GAJAH WONG". Karena kali itu telah menghanyutkan gajah dan wong. Konon,
tempat Ki Kerti memandikan Kyai Dwipangga saat ini bersebelahan dengan bonbin
Gembiraloka.

16. JAWA TIMUR


Asal-Usul Kota Banyuwangi
Pada zaman dahulu kala ada Subuah kerajaan yang diperintah oleh Raja,
Raja tersebut mempunyai seorang putra bernama "Raden Banterang". Kegemaran
Raden Banterang adalah berburu. Pada suatu hari Raden Banterang pergi berburu di
hutan disertai bersama – sama dengan abdinya. Ketika di tengah hutan Raden
Banterang sedang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya,
segera mengejar kijang itu hingga masuk hingga masuk ke
hutan. Sehingga Ia terpisah dengan para pengiringnya.

“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang terus mengejar kijang
tersebut maka ia pun makin jauh masuk ke hutan. Hingga Ia tiba di sebuah sungai
yang sangat jernih dan bening airnya. “Hem, segar benar air sungai ini,” Raden
Banterang minum air sungai itu, hingga melegakan dahaganya. Namun di waktu
meminum air tersebut baru, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kedatangan seorang gadis
cantik jelita.

Melihat gadis tersebut Raden Banterang memberanikan diri mendekati gadis


cantik itu dan bertanya. “Siapakah engkau?” tanya Raden Banterang. Raden
Banterang pun memperkenalkan dirinya, dan Gadis cantik itu menyambutnya.
“Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”.
“Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh.
Ayah saya telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya.
Mendengar cerita gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat
penderitaan puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan
mengajaknya pulan
ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun keluarga
bahagia.
Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana. “Surati! Surati!”,
panggil seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Setelah mengamati wajah lelaki itu, ia
baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud
kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden
Banterang telah membunuh ayahnya. Surati menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang
karena ia telah jatuh cinta kepadanya. Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia sempat
memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. “Ikat kepala ini harus kau simpan di
bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.

Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang,
dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Sewaktu Raden Banterang berada di tengah
hutan, ia terkejutkan oleh kedatangan seorang lelaki. “Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan
terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya,
dengan melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik
lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya.Mendengar laporan dari laki laki tersebut
Raden Banterang segera pulang ke istana. Dan dicarinya ikat kepala yang telah diceritakan oleh laki laki
yang menemui di hutan. Setelah di temukan ikat kepala itu, maka di curigailah istrinya.

Karena ketakutan Raden Banterang akan keselamatan dirinya dan kecurigaan


akan istrinya, maka ia berniat jahat terhadap istrinya. Tetapi istrinya pun
menjelaskan bahwa dari mana asal ikat kepala tersebut.
Setelah menjelaskan semua hal tersebut, hati Raden Banterang tidak juga
cair bahkan ia masih saja menganggap istrinya berbohong. Dengan penuh
kekecewaan Surati berkata “Kakahanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan
harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau
busuk, berarti Adinda bersalah!” seru Surati. Raden Banterang menganggap ucapan
istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang
terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu
menghilang.
Tak lama setelah menghilangnya Surati, terjadi sebuah keajaiban. Bau yang
harum merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru
dengan suara gemetar. “Istriku tidak berdosa!” Dengan sangat menyesalnya Raden
Banterang, meratapi kematian Surati istrinya, dan menyesali kebodohannya.
Sejak saat itu, sungai tersebut menjadi harum baunya, sejak saat itu cerita
ini diangkat menjadi cerita asal usul kota banyuwangi. Banyu artinya air dan wangi
artinya harum. Maka nama Banyuwangi kemudian menjadi nama salah satu kota di
Jawa Timur yaitu Kota Banyuwangi.

17. BALI
Asal-Usul Nama Buleleng dan Singaraja
Di Bali, hidup seorang raja yang bergelar Sri Bagening. Sang Raja memiliki
banyak istri, dan istri terakhirnya bernama Ni Luh Pasek. Ni Luh Pasek berasal dari
Desa Panji, dan masih keturunan Kyai Pasek Gobleng. Suatu waktu, Ni Luh Pasek
mengandung. Oleh suaminya, ia dititipkan kepada Kyai Jelantik Bogol. Tak berapa
lama, anaknya pun lahir. Anak itu diberi nama I Gede Pasekan. I Gede Pasekan
mempunyai wibawa besar sehingga sangat dicintai dan dihormati oleh pemuka
masyarakat maupun masyarakat biasa.
Suatu hari, ketika usianya menginjak dua puluh tahun, ayahnya berkata
padanya, “Anakku, sekarang pergilah engkau ke Den Bukit di daerah Panji.”
“Mengapa ayah?”
“Karena di sanalah tempat kelahiran ibumu.”
Sebelum berangkat, ayah angkatnya memberikan dua buah senjata bertuah,
yaitu sebilah keris bernama Ki Baru Semang dan sebatang tombak bernama Ki
Tunjung Tutur. Dalam perjalanannya, I Gede Pasekan diiringi oleh empat puluh pe-
ngawal yang dipimpin Ki Dumpiung dan Ki Dosot. Ketika sampai di daerah yang di-
sebut Batu Menyan, mereka bermalam dengan dijaga ketat oleh para pengawal
secara bergantian.

Saat tengah malam, tiba-tiba datang makhluk ajaib penghuni hutan. Dia mengangkat I Gede
Pasekan ke atas pundaknya sehingga I Gede Pasekan dapat melihat pemandangan lepas ke lautan dan
daratan yang terbentang di hadapannya. Ketika dia memandang ke arah timur dan barat laut, ia melihat
pulau yang amat jauh. Ketika melihat ke arah selatan pemandangannya dihalangi oleh gunung. Setelah
makhluk itu pergi kemudian terdengar bisikan.
“I Gusti, sesungguhnya apa yang telah engkau lihat akan menjadi daerah ke-
kuasaanmu.”
Keesokan harinya rombongan itu melanjutkan perjalanan. Meski sulit dan pe-
nuh rintangan akhirnya rombongan I Gede Pasekan berhasil mencapai tujuan, yaitu
Desa Panji, tempat kelahiran ibunya.
Suatu hari, ada sebuah perahu Bugis yang terdampar di pantai
Panimbangan.Warga setempat yang dimintai tolong tak mampu mengangkatnya.
Keesokan harinya orang Bugis pemilik perahu itu meminta tolong pada I Gede
Pasekan.
“Tolonglah kami, Tuan. Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kami, sebagian
muatan itu akan kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.”
“Kalau itu keinginan kalian, saya akan berusaha mengangkat perahu itu,”
jawab I Gede Pasekan.
I Gede Pasekan segera memusatkan pikiran. Dengan kekuatan gaibnya,
perahu yang kandas itu berhasil diangkatnya. Sebagai ungkapan rasa terima kasih,
orang Bugis itu memberikan hadiah berupa setengah dari isi perahu itu kepada I
Gede Pasekan. Di antara hadiah itu terdapat dua buah gong besar. Sejak saat itu I
Gede Pasekan menjadi orang kaya dan bergelar I Gusti Panji Sakti.
Kekuasaan I Gede Pasekan mulai meluas dan menyebar sampai ke mana-mana. Dia pun
mendirikan kerajan baru di Den Bukit. Kira-kira abad ke-17, ibukota kerajaan itu disebut orang dengan
nama Sukasada. Kerajaaan I Gede Pasekan itu berkembang hingga ke utara. Daerah itu banyak
ditumbuhi pohon buleleng. Oleh karena itu, pusat kerajaan beralih ke wilayah itu.Wilayah itu pun
diberi nama Buleleng.
Di Buleleng dibangun sebuah istana megah yang diberi nama Singaraja.
Nama ini menunjukkan bahwa penghuninya adalah seorang raja yang gagah
perkasa laksana singa. Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa nama
Singaraja artinya tempat persinggahan raja. Barangkali ketika sang Raja masih di Sukasada,
sering singgah di sana. Jadi, kata Singaraja berasal dari kata singgah raja.

18. NUSA TENGGARA BARAT


Batu Golog
Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing di Nusa
Tenggara Barat hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain
dan sang suami bernama Amaq Lembain
Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan
kedesa desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.
Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula.
Pada suatu hari, ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas
sebuah batu ceper didekat tempat ia bekerja.
Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin
lama makin menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai
memanggil ibunya: “Ibu batu ini makin tinggi.” Namun sayangnya Inaq Lembain
sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, “Anakku tunggulah sebentar, Ibu baru saja
menumbuk.”
Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama
makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak
sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras.
Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak
terdengar lagi.
Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu
mencapai awan. Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain
tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu
Goloq.
Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat
mengambil anaknya. Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan
sabuknya ia akan dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan
sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu
tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong olrh karena menyebabkan tanah
di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan Batu oleh
karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan potongan
terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat
itu diberi nama Montong Teker.
Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah
menjadi dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan
adiknya berubah menjadi burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia
maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya.

19. NUSA TENGGARA TIMUR


Suri Ikun dan Dua Burung
Pada jaman dahulu, di pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, hiduplah seorang
petani dengan isteri dan empat belas anaknya. Tujuh orang anaknya laki-laki dan
tujuh orang perempuan.Walaupun mereka memiliki kebun yang besar, hasil kebun
tersebut tidak mencukupi kebutuhan keluarga tersebut. Sebabnya adalah tanaman
yang ada sering dirusak oleh seekor babi hutan.Petani tersebut menugaskan pada
anak laki-lakinya untuk bergiliran menjaga kebun mereka dari babi hutan. Kecuali
Suri Ikun, keenam saudara laki-lakinya adalah penakut dan dengki. Begita
mendengar dengusan babi hutan, maka mereka akan lari meninggalkan
kebunnya.Lain halnya dengan Suri Ikun, begitu mendengar babi itu datang, ia lalu
mengambil busur dan memanahnya. Setelah hewan itu mati, ia membawanya
kerumah. Disana sudah menunggu saudara-saudaranya. Saudaranya yang tertua
bertugas membagi- bagikan daging babi hutan tersebut. Karena dengkinya, ia hanya
memberi Suri Ikun kepala dari hewan itu. Sudah tentu tidak banyak daging yang
bisa diperoleh dari bagian kepala. Selanjutnya, ia meminta Suri Ikun bersamannya
mencari gerinda milik ayahnya yang tertinggal di tengah hutan. Waktu itu hari
sudah mulai malam. Hutan tersebut menurut cerita di malam hari dihuni oleh para
hantu jahat. Dengan perasaan takut iapun berjalan mengikuti kakaknya. Ia tidak
tahu bahwa kakaknya mengambil jalan lain yang menuju kerumah. Tinggallah Suri
Ikun yang makin lama makin masuk ke tengah hutan. Berulang kali ia memanggil
nama kakaknya. Panggilan itu dijawab oleh hantu-hantu hutan. Mereka sengaja
menyesatkan Suri Ikun. Setelah berada ditengah- tengah hutan lalu, hantu-hantu
tersebut menangkapnya. Ia tidak langsung dimakan, karena menurut hantu-hantu
itu ia masih terlalu kurus. Ia kemudian dikurung ditengah gua. Ia diberi makan
dengan teratur. Gua itu gelap sekali. Namun untunglah ada celah disampingnya,
sehingga Suri Ikun masih ada sinar yang masuk ke dalam gua. Dari celah tersebut
Suri Ikun melihat ada dua ekor anak burung yang kelaparan. Iapun membagi
makanannya dengan mereka. Setelah sekian tahun, burung- burung itupun tumbuh
menjadi burung yang sangat besar dan kuat. Mereka ingin mem- bebaskan Suri
Ikun. Pada suatu ketika, hantu-hantu itu membuka pintu gua, dua burung tersebut
menyerang dan mencederai hantu hantu tersebut. Lalu mereka menerbangkan Suri
Ikun ke daerah yang berbukit-bukit tinggi.
Dengan kekuatan gaibnya, Burung-burung tersebut menciptakan istana
lengkap dengan pengawal dan pelayan istana. Disanalah untuk selanjutnya Suri
Ikun berbahagia.

20. KALIMANTAN BARAT


Semangka Emas
Pada zaman dahulu kala, di Sambas hiduplah seorang saudagar yang kaya
raya. Saudagar tersebut mempunyai dua orang anak laki-laki. Anaknya yang sulung
bernama Muzakir, dan yang bungsu bernama Dermawan. Muzakir sangat loba dan
kikir. Setiap hari kerjanya hanya mengumpulkan uang saja. Ia tidak perduli kepada
orang-orang miskin. Sebaliknya Dermawan sangat berbeda tingkah lakunya. Ia tidak
rakus dengan uang dan selalu bersedekah kepada fakir miskin.
Sebelum meninggal, saudagar tersebut membagi hartanya sama rata kepada
kedua anaknya. Maksudnya agar anak-anaknya tidak berbantah dan saling iri,
terutama bila ia telah meninggal kelak.
Muzakir langsung membeli peti besi. Uang bagiannya dimasukkan ke dalam
peti tersebut, lalu dikuncinya. Bila ada orang miskin datang, bukannnya ia memberi
sedekah, melainkan ia tertawa terbahak-bahak melihat orang miskin yang pincang,
buta dan lumpuh itu. Bila orang miskin itu tidak mau pergi dari rumahnya, Muzakir
memanggil orang gajiannya untuk mengusirnya. Orang-orang miskin kemudian
berduyun-duyun datang ke rumah Dermawan.
Dermawan selalu menyambut orang-orang miskin dengan senang hati.
Mereka dijamunya makan dan diberi uang karena ia merasa iba melihat orang
miskin dan melarat. Lama kelamaan uang Dermawan habis dan ia tidak sanggup lagi
membiayai rumahnya yang besar. Ia pun pindah ke rumah yang lebih kecil dan
harus bekerja. Gajinya tidak seberapa, sekedar cukup makan saja. Tetapi ia sudah
merasa senang dengan hidupnya yang demikian. Muzakir tertawa terbahak-bahak
mendengar berita Dermawan yang dianggapnya bodoh itu. Muzakir telah membeli
rumah yang lebih bagus dan kebun kelapa yang luas. Tetapi Dermawan tidak
menghiraukan tingkah laku abangnya.
Suatu hari Dermawan duduk-duduk melepaskan lelah di pekarangan
rumahnya. Tiba-tiba jatuhlah seekor burung pipit di hadapannya. Burung itu
mencicit-cicit kesakitan "Kasihan," kata Dermawan. "Sayapmu patah, ya?" lanjut
Dermawan seolah-olah ia berbicara dengan burung pipit itu. Ditangkapnya burung
tersebut, lalau diperiksanya sayapnya. Benar saja, sayap burung itu patah. "Biar
kucoba mengobatimu," katanya. Setelah diobatinya lalu sayap burung itu dibalutnya
perlahan-lahan. Kemudian diambilnya beras. Burung pipit itu diberinya makan.

Burung itu menjadi jinak dan tidak takut kepadanya. Beberapa hari
kemudian, burung itu telah dapat mengibas-ngibaskan sayapnya, dan sesaat
kemudian ia pun terbang. Keesokan harinya ia kembali mengunjungi Dermawan. Di
paruhnya ada sebutir biji, dan biji itu diletakkannya di depan Dermawan. Dermawan
tertawa melihatnya. Biji itu biji biasa saja. Meskipun demikian, senang juga hatinya
menerima pemberian burung itu. Biji itu ditanam di belakang rumahnya.
Tiga hari kemudian tumbuhlah biji itu. Yang tumbuh adalah pohon semangka.
Tumbuhan itu dipeliharanya baik-baik sehingga tumbuh dengan subur. Pada
mulanya Dermawan menyangka akan banyak buahnya. Tentulah ia akan kenyang makan
buah semangka dan selebihnya akan ia sedekahkan. Tetapi aneh, meskipun bunganya banyak, yang
menjadi buah hanya satu. Ukuran semangka ini luar biasa besarnya, jauh lebih dari semangka umumnya.
Sedap kelihatannya dan harum pula baunya. Setelah masak, Dermawan memetik buah semangka itu.
Amboi, bukan main beratnya. Ia terengah-engah mengangkatnya dengan kedua belah tangannya.
Setelah diletakkannya di atas meja, lalu diambilnya pisau. Ia membelah semangka itu. Setelah
semangka terbelah, betapa kagetnya Dermawan. Isi semangka itu berupa pasir kuning yang bertumpuk
di atas meja. Ketika diperhatikannya sungguh-sungguh, nyatalah bahwa pasir itu adalah emas urai
murni. Dermawan pun menari-nari karena girangnya. Ia mendengar burung mencicit di luar, terlihat
burung pipit yang pernah ditolongnya hinggap di sebuah tonggak. "Terima kasih! Terima kasih!" seru
Dermawan. Burung itu pun kemudian terbang tanpa kembali lagi.
Keesokan harinya Dermawan memberli rumah yang bagus dengan pekarangan yang luas sekali.
Semua orang miskin yang datang ke rumahnya diberinya makan. Tetapi Dermawan tidak akan jatuh
miskin seperti dahulu, karena uangnya amat banyak dan hasil kebunnya melimpah ruah. Rupanya hal ini
membuat Muzakir iri hati. Muzakir yang ingin mengetahui rahasia adiknya lalu pergi ke rumah
Dermawan. Di sana Dermawan menceritakan secara jujur kepadanya tentang
kisahnya.
Mengetahui hal tersebut, MUzakir langsung memerintahkan orang-orang
gajiannya mencari burung yang patah kaki atau patah sayapnya di mana-mana.
Namun sampai satu minggu lamanya, seekor burung yang demikian pun tak
ditemukan. Muzakir sungguh marah dan tidak dapat tidur. Keesokan paginya,
Muzakir mendapat akal. Diperintahkannya seorang gajiannya untuk menangkap
burung dengan apitan. Tentu saja sayap burung itu menjadi patah. Muzakir
kemudian berpura-pura kasihan melihatnya dan membalut luka pada sayap burung.
Setelah beberapa hari, burung itu pun sembuh dan dilepaskan terbang. Burung itu
pun kembali kepada Muzakir untuk memberikan sebutir biji. Muzakir sungguh
gembira.
Biji pemberian burung ditanam Muzakir di tempat yang terbaik di kebunnya.
Tumbuh pula pohon semangka yang subur dan berdaun rimbun. Buahnya pun hanya
satu, ukurannya lebih besar dari semangka Dermawan. Ketika dipanen, dua orang
gajian Muzakir dengan susah payah membawanya ke dalam rumah karena beratnya.
Muzakir mengambil parang. Ia sendiri yang akan membelah semangka itu. Baru saja
semangka itu terpotong, menyemburlah dari dalam buah itu lumpur hitam
bercampur kotoran ke muka Muzakir. Baunya busuk seperti bangkai. Pakaian
Muzakir serta permadani di ruangan itu tidak luput dari siraman lumpur dan kotoran
yang seperti bubur itu. Muzakir berlari ke jalan raya sambil menjerit-jerit. Orang
yang melihatnya dan mencium bau yang busuk itu tertawa terbahak-bahak sambil
bertepuk tangan dengan riuhnya.

21. KALIMANTAN TENGAH


Ambun dan Rimbun
Konon, pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung di daerah Kalimantan
Tengah, hiduplah seorang janda bersama dua orang anak laki-lakinya yang sudah
remaja. Anak pertamanya bernama Ambun, sedangkan anak keduanya bernama
Rimbun. Banyak orang di kampung itu mengira mereka saudara kembar, karena
wajah dan perawakan keduanya mirip sekali. Namun sebenarnya mereka bukanlah
saudara kembar, karena umur keduanya selisih satu tahun.

Ambun dan Rimbun adalah anak yang rajin dan hormat kepada orang tua.
Setiap hari mereka membantu ibunya mencari kayu bakar ke hutan dan menjualnya
ke pasar.
Pada suatu sore, Rimbun melihat abangnya termenung seorang diri di
beranda rumah mereka.
“Bang! Apa yang sedang Abang pikirkan?” tanya Rimbun.
“Abang sedang memikirkan nasib keluarga kita. Kalau setiap hari hanya
mencari kayu bakar, kehidupan kita tidak akan pernah membaik,” keluh Ambun.
“Lalu, apa rencana Abang?” tanya Rimbun.
“Abang akan pergi merantau untuk mengubah nasib keluarga kita. Banyak
orang di kampung ini kehidupannya menjadi lebih baik sepulangnya dari merantau,”
jelas Ambun.
“Wah, kalau begitu, Adik akan ikut Abang,” kata Rimbun.
“Jangan, Dik! Kamu di sini saja menemani ibu. Kalau Adik ikut, kasihan ibu
ditinggal sendiri,” cegah Ambun.
“Tidak, Bang! Adik harus ikut Abang,” tegas Rimbun bersikukuh ingin pergi
merantau bersama Abangnya.
“Baiklah, kalau begitu,” kata Rimbun mengizinkan adiknya ikut serta.
Malam harinya, kedua kakak-beradik itu menyampaikan niat mereka kepada
sang Ibu. Mendengar hal itu, sang Ibu hanya terdiam. Ia bingung bagaimana
menyikapi keinginan kedua putranya. Menurutnya, apa yang dikatakan kedua
putranya itu memang benar, bahwa merantau dapat memperbaiki kehidupan
keluarga mereka, tetapi di satu sisi, umur mereka masih sangat muda.
“Bagaimana, Bu? Apakah ibu mengizinkan kami pergi?” Ambun kembali
bertanya.
“Sebenarnya Ibu merasa berat mengizinkan kalian pergi. Ibu khawatir terhadap keselamatan
kalian berdua di rantau. Kalian masih terlalu muda untuk merantau,” jawab sang Ibu dengan berat hati.
“Iya, Bu! Tapi, kami berdua bisa jaga diri dan saling menjaga,” sahut Rimbun.
“Baiklah, kalau memang kalian bersikukuh akan pergi, Ibu mengizinkan. Tapi Ibu berpesan,
kalian harus menghormati orang lain dan jangan berpisah. Kalaupun harus berpisah, hendaknya kalian
saling mengabari,” ujar sang Ibu.
“Terima kasih, Bu!” ucap keduanya serentak dengan perasaan gembira.
Ambun dan Rimbun segera menyiapkan segala keperluan mereka, termasuk
celana dan baju mereka yang terbuat dari kulit kayu. Sementara sang Ibu sibuk
menyiapkan makanan untuk bekal mereka di jalan. Ia memasak empat belas buah
ketupat dan empat belas butir telur ayam untuk mereka berdua. Masing-masing
mendapat tujuh buah ketupat dan tujuh biji telur ayam. Setelah itu, ia mengambil
beberapa butir beras dan mencelupkannya ke dalam air, lalu mengoleskannya di
ubun-ubun mereka seraya berdoa:
“Semoga Ranying Hatalla Langit (semoga Tuhan melidungi kalian berdua).”
Saat tengah malam, perempuan paruh baya itu membuka sebuah peti besi
kecil berisi dua bilah dohong (keris pusaka) yang bentuk dan ukurannya sama. Yang
satu berlilitkan kain merah dan yang satunya lagi berlilitkan kain kuning. Yang
berlilitkan kain merah diserahkan kepada Ambun, sedangkan yang berlilitkan kain
kuning diberikan kepada Rimbun.
“Senjata pusaka ini adalah peninggalan almarhum ayah kalian. Tapi, ingat!
Senjata ini hanya boleh kalian gunakan jika dalam keadaan mendesak,” pesan sang
Ibu seraya mencium kening kedua putra tercintanya.
“Baik, Bu! Kami akan selalu mengingat pesan Ibu,” kata Ambun dan Rimbun
serentak.
Keesokan harinya, Ambun dan Rimbun bersiap-siap untuk berangkat dan berpamitan kepada
sang Ibu tercinta. Suasana haru pun menyelimuti hati sang Ibu dan kedua putranya itu. Air mata sang Ibu
tidak dapat dibendung lagi. Demikian pula kedua orang kakak-beradik itu. Mereka tidak kuat menahan
rasa haru.
“Berangkatlah, Nak! Nanti kalian kemalaman di jalan. Jika sudah berhasil,
cepatlah kembali menemani Ibu di sini!” pesan sang Ibu.
“Baik, Bu! Kami akan segera kembali jika sudah berhasil,” jawab keduanya
serentak.
Usai mencium tangan sang Ibu, keduanya pun pergi meninggalkan kampung
halaman mereka. Sang Ibu berdiri di depan pintu sambil melambaikan tangan
mengiringi kepergian kedua putranya. Setelah keduanya menghilang di tikungan
jalan kampung, barulah ia masuk ke dalam rumah.
Ambun dan Rimbun berjalan mendaki gunung, menuruni lembah, dan menyeberangi sungai.
Mereka berjalan mengikuti arah matahari terbenam. Saat malam tiba, mereka berhenti untuk
beristirahat. Ketupat dan telur pemberian sang Ibu mereka makan sedikit-sedikit. Ketika matahari mulai
menampakkan wajahnya di ufuk timur, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tidak terasa, sudah
berhari-hari mereka berjalan.
Ketika memasuki hari ketujuh, Rimbun mendadak jatuh sakit, karena kelelahan berjalan
jauh. Melihat kondisi adiknya itu, Ambun menjadi panik. Ia pun mencoba mengobati adiknya dengan
memberinya minuman dari berbagai macam air akar-akaran. Namun, tidak satu pun yang mampu
menyembuhkannya. Tidak terasa air matanya pun bercucuran membasahi pipinya. Ia sangat menyesal
dan merasa bersalah karena telah mengizinkan adiknya ikut serta. Beberapa saat kemudian, Rimbun
akhirnya meninggal dunia.
“Rimbun… Adikku! Jangan tinggalkan Abang…!” teriak Ambun memecah
kesunyian di tengah hutan.
Namun apa hendak diperbuat, adik tercintanya benar-benar telah
menghembuskan nafas terakhirnya. Dengan diselimuti perasaan sedih, Ambun
segera menggali lubang untuk kuburan adiknya. Setelah menguburkan jazad
adiknya, Ambun mencabut dohong adiknya. Mata dohong itu ditancapkan di bagian
kepala, sedangkan warangkanya ditancapkan di bagian kaki kuburan itu. Sementara
kain berwarna kuning pembungkus dohong itu diikatkan pada nisannya.
Setelah itu, Ambun melanjutkan perjalanan dengan menyusuri hutan lebat.
Saat hari menjelang siang, perutnya terasa lapar. Ia pun membuka bungkusan
makanannya di bawah sebuah pohon besar dan tinggi. Setelah bungkusan itu
terbuka, barulah ia menyadari ternyata bekalnya sudah habis. Hatinya pun mulai
cemas. Ia lalu memanjat pohon besar dan tinggi tempatnya berteduh itu.
Sesampainya di atas, ia melihat kepulan asap tidak jauh dari tempatnya berada.
“Wah, pasti ada orang di sana,” pikirnya dengan perasaan gembira.
Tanpa berpikir panjang, ia segera turun dari atas pohon lalu berjalan menuju
ke arah kepulan asap. Setelah beberapa lama berjalan, terlihatlah sebuah rumah di
tengah hutan. Saat menghampiri rumah itu, ia melihat seorang nenek sedang
mengumpulkan kayu bakar di samping rumahnya. Agar nenek itu tidak terkejut, ia
pun mendehem.
“Hemm, sedang apa, Nek?” tanya Ambun.
“Mengumpulkan kayu bakar,” jawab nenek itu.
“Siapa engkau ini anak muda? Kenapa bisa sampai ke tempat ini?” nenek itu
balik bertanya.
“Saya Ambun, Nek,” jawab Ambun, lalu ia menceritakan semua peristiwa
yang dialaminya hingga sampai di tempat itu.
“Nenek berduka cita atas meninggalnya adikmu,” kata nenek itu dengan
perasaan haru.
Oleh karena merasa kasihan, perempuan tua itu mengizinkan Ambun untuk
tinggal bersamanya. Setiap hari Ambun membantunya untuk mencari kayu bakar. Si
Nenek pun sangat menyayangi Ambun seperti cucunya sendiri.
Pada suatu hari, sambil mengumpulkan kayu bakar, nenek itu bercerita
kepada Ambun bahwa sebenarnya ia adalah bagian dari keluarga Kerajaan Sang
Sambaratih. Ia diusir karena pernikahannya dengan almarhum suaminya yang
berasal dari rakyat biasa. Meskipun dikucilkan dari istana, nenek malang itu masih
mendapat perhatian dari sebagian keluarga istana. Hampir setiap minggu ada
pengawal istana yang mengantarkan makanan untuknya.
Suatu hari, datanglah dua orang utusan dari istana Sang Sambaratih membawa makanan untuk
si Nenek. Sebelum kembali ke istana, kedua utusan tersebut memberitahukan kepadanya bahwa raja
akan mengadakan sayembara memetik bunga melati. Barangsiapa yang dapat melompat dari halaman
rumah istana sampai ke atap istana untuk mengambil bunga melati, dan menyerahkannya kepada putri
raja, maka dia akan dijadikan menantu raja. Akan tetapi jika gagal, maka dia akan mendapat hukuman
gantung.
Si Ambun yang mendengar kabar itu, hampir semalaman tidak dapat memejamkam
matanya. Ia ingin sekali mengikuti sayembara itu. Keesokan harinya, Ambun menemui si Nenek.
“Nek, bolehkah Ambun mengikuti sayembara itu?” tanya Ambun.
“Oh jangan, Cucuku! Kamu akan dihukum gantung jika gagal memetik bunga
melati itu,” cegah si Nenek.
“Nenek tidak usah khawatir. Ambun pasti dapat mengatasinya,” kata si
Ambun seraya memperlihatkan senjata dohongnya.
“Benda apa ini, Cucuku?” tanya si Nenek penasaran.
“Senjata pusaka peninggalan ayahku, Nek. Senjata ini dapat menolong jika diperlukan,” jelas
Ambun.
Si Nenek pun yakin dan percaya dengan kata-kata Ambun,
dan mengizinkannya untuk mengikuti sayembara tersebut. Keesokan harinya,
Ambun sudah bersiap-siap berangkat menuju istana untuk mengikuti sayembara
tersebut.
“Maaf, Nek! Ambun ada satu permintaan,” kata Ambun.
“Apakah itu, Cucuku?” tanya si Nenek penasaran.
“Bersediakah Nenek menyaksikan sayembara itu. Jika seandainya Ambun
gagal, Nenek dapat menyaksikan Ambun menjalani hukuman gantung, dan saat itu
adalah pertemuan terkahir kita,” bujuk Ambun.
Oleh karena sayang kepada Ambun, nenek itu pun memenuhi keinginan
Ambun. Maka berangkatlah mereka berdua menuju istana. Selama dalam
perjalanan, si Nenek senantiasa diselimuti perasaan cemas. Sementara si Ambun
meminta kepada si Nenek untuk mendoakannya agar dapat meraih kemenangan.
Setibanya di halaman istana, penonton sudah penuh sesak dan para peserta
sudah bersiap-siap mengikuti sayembara. Peserta sayembara tersebut terdiri dari
delapan orang, yaitu tujuh pangeran dari kerajaan bawahan Kerajaan Sang
Sambaratih, dan si Ambun sendiri. Satu per satu pangeran tersebut mengeluarkan
kesaktiannya, namun tak seorang pun yang berhasil melompat ke atap istana dan
memetik bunga melati. Kini giliran Ambun yang akan memperlihatkan kesaktiannya.
Ketika Ambun memasuki arena, para penonton bertepuk tangan disertai dengan
suara ejekan. Mereka meragukan kemampuan Ambun. Jangankan Ambun yang
hanya orang kampung, para pangeran saja tidak satu pun yang berhasil melalui
ujian itu. Namun dengan penuh percaya diri, Ambun tetap tenang dan
berkonsentrasi penuh. Saat mengambil ancang-ancang, dengan suara nyaring
Ambun berteriak memanggil ayahnya sambil mencabut dohong pusaka yang terselip
dipinggangnya.
Dengan secepat kilat, Ambun melejit ke atas atap memetik bunga melati itu
dan menyerahkannya kepada tuan putri yang duduk di samping raja. Seketika itu
pula suara tepuk tangan dan teriakan penonton bergemuruh bagaikan membelah
bumi. Suara teriakan penonton bukan lagi suara ejekan, melainkan suara
kekaguman melihat kesaktian Ambun. Raja yang menyaksikan peristiwa itu
langsung berdiri sambil bertepuk tangan dengan penuh kekaguman.
Sementara ketujuh pangeran tersebut merasa tidak puas. Mereka pun menyatakan perang
kepada raja Sang Sambaratih. Namun atas bantuan Ambun dengan senjata dohongnya, ketujuh
pangeran tersebut dapat dikalahkan. Akhirnya, Ambun dinikahkan dengan putri raja. Pesta
pernikahannya dilangsungkan dengan meriah selama tujuh hari tujuh malam.
Seminggu setelah pernikahan mereka, raja Sang Sambaratih menyerahkan
kekuasaannya kepada Ambun, karena sudah tua. Sejak dinobatkan menjadi raja,
Ambun berusaha mencari ibunya. Pada suatu hari, Ambun bersama beberapa orang
pengawalnya menyusuri jalan yang pernah dilaluinya ketika ia berangkat merantau.
Setelah tujuh hari tujuh malam berjalan, ia pun menemukan ibunya. Alangkah
bahagianya sang Ibu saat melihat anaknya kembali dan berhasil menjadi raja.
Namun, di satu sisi, sang Ibu tetap bersedih karena kehilangan Rimbun anak
bungsunya.
Oleh karena tidak ingin melihat ibunya bersedih, Ambun bersama ibu dan
para pengawalnya pergi mencari kuburan Rimbun. Setelah menemukan kuburan
Rimbun, Ambun segera memerintahkan sebagian pengawalnya untuk menggali
kuburan itu, dan memerintahkan sebagian yang lain untuk mencari Danum
Kaharingan Belom (air kehidupan) di Bukit Kamiting.
Menjelang sore, pengawal yang diutus ke Bukit Kamiting telah kembali
dengan membawa Danun Kaharingan Belom. Ambun segera meneteskan air
kehidupan itu ke tulang-tulang adiknya yang sudah terpisah-pisah. Tidak lama
kemudian, tulang-tulang itu menyusun diri. Daging dan kulitnya pun kembali seperti
semula. Akhirnya Rimbun hidup lagi. Keluarga Ambun kini telah berkumpul kembali.
Setelah itu, Ambun mengajak keluarganya hidup bersama di istana Kerajaan
Sang Sambaratih dengan penuh kebahagiaan.
***
Demikian cerita Ambun dan Rimbun dari Kalimantan Tengah. Cerita di atas
termasuk ke dalam kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang
dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan
moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan memelihara keutuhan
keluarga dan keutamaan memiliki kemauan kuat untuk mengubah nasib.
Pertama, keutamaan memelihara keutuhan keluarga. Sifat ini tercermin
dalam kehidupan keluarga Ambun. Mereka senantiasa saling menyayangi,
menghormati dan saling menjaga. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku
Ambun. Setelah berhasil di perantauan, Ambun segera mencari ibunya yang tinggal
di kampung dan menghidupkan kembali adiknya yang sudah meninggal dunia.
Dikatakan dalam untaian syair Melayu:
wahai ananda dengarkan petuah,
berkasih sayang jadikan amanah
ke mana pergi engkau pelihara
supaya hidupmu beroleh berkah
Kedua, keutamaan memiliki kemauan kuat untuk mengubah nasib. Sifat ini
ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Ambun dan Rimbun untuk selalu bekerja keras
dan tabah menghadapi berbagai macam kesulitan. Hal ini dapat dilihat ketika
adiknya meninggal dunia di tengah perjalanan, Ambun tetap bersemangat dan
meneruskan perjalanannya pergi merantau. Akhirnya, dengan tekad kuat, kerja
keras dan ketabahannya, Ambun berhasil mengubah nasib keluarganya.
Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa dalam
kehidupan keluarga sebaiknya saling mendoakan antara anggota keluarga yang satu
dengan anggota keluarga lainnya. Hal ini ditunjukkan sikap Ibu Ambun dan si Nenek
yang senantiasa mendoakan si Ambun agar terhindar dari malapetaka dan berhasil
mencapai keinginannya.

22. KALIMANTAN SELATAN


Asal Pulau Kambang dan Kera Penghuninya
Pulau Kambang adalah objek wisata yang jarang terlewatkan apabila orang
mengunjungi pasar terapung. Selain tempatnya yang berada disekeliling sungai dan
berbentuk pulau kecil juga mudah didatangi. Sebenarnya pulau ini termasuk wilayah
Kabupaten Barito Kuala, namun lebih dekat denganBanjarmasin. Pada gilirannya
objek wisata Pulau Kambang ini ditawarkan dalam satu paket dengan Pasar
Terapung yang merupakan andalan kepariwisataankota Banjarmasin.
Di Pulau Kambang ini terdapat ribuan warik (kera) yang selalu datang
mendekat ke arah pengunjung, terlebih lagi jika mereka sedang lapar. Tidak jarang
warik-warik itu merebut benda yang ada dipangkuan pengunjung.Ketertarikan orang
pada Pulau Kambang ini ternyata berbeda-beda tujuannya. Ada yang memanfaatkan karena letaknya
dekat pasar terapung dan sekaligus ingin melihat warik yang ada disana. Selain itu ada pula pengunjung
yang punya niat atau nadzar tertentu, sehingga mereka harus datang ke pulau kambang. Mengapa yang
datang tidak cuma bertujuan berwisata dan ada apa dibalik itu ?
Terjadinya Pulang Kambang
Dahulu di antero nusantara terdapat kerajaan-kerajaan, baik yang berskala
besar maupun kecil. Di Banjarmasin tepatnya Muara Kuin berdiri sebuah Kerajaan.
Dalam penuturan yang diterima masyarakat secara turun temurun diceriterakan
pada kerajaan tersebut ada seorang patih yang sangat sakti, berani dan gagah
perkasa bernama Datu Pujung.
Datu Pujung ini menjadi andalan dan merupakan benteng pertahanan
terhadap orang-orang yang ingin mengusai atau berbuat jahat pada Kerajaan Kuin.
Suatu ketika seperti yang dituturkan dalam cerita para orang tua dahulu datang
sebuah kapal Inggeris dengan membawa penumpang atau awak kapal yang
kebanyakan orang Cina. Mereka diketahui ingin tinggal dan menguasai kerajaan
Kuin. Untuk melaksanakan niat mereka itu tentu saja harus berhadapan dengan
Datu Pujung. Ketentuan dan persyaratan dari Datu Pujung kalau ingin mengusai
kerajaan Kuin harus dapat melewati ujian yang ditetapkan, yaitu bisa membelah
kayu besar tanpa alat atau senjata. Ternyata persyaratan dari Datu Pujung ini tidak
dapat dipenuhi oleh mereka yang ingin menguasai kerajaan tesebut. Sebaliknya
Datu Pujung memperlihatkan kesaktiannya dan dengan mudah membelah kayu
besar itu tanpa alat. Datu Pujung membuktikan kepada orang-orang yang datang
berkapal itu bahwa persyaratan yang diajukannya bukanlah omong kosong atau
sesuatu yang mustahil.
Disebabkan para pendatang yang ada di dalam kapal Inggeris itu tidak dapat
memenuhi persyaratan yang ditetapkan, maka oleh Datu Pujung diminta untuk
membatalkan niat menguasai kerajaan Kuin dan agar kembali ke negeri asalnya
Namun mereka bersikeras ingin tinggal menetap dan menguasai kerajaan Kuin
sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Karena mereka tetap memaksakan
kehendaknya, akhirnya Datu Pujung dengan kesaktiannya menenggelamkan kapal
beserta seluruh penumpang yang ada didalamnya.
Setelah sekian lama, bangkai kapal yang ada dipermukaan air itu
menghalangi setiap batang kayu yang hanyut. Dari hari ke hari semakin bertumpuk
kayu-kayu yang tersangkut dan kemudian tumbuh pepohonan yang menjadi sebuah
pulau di tengah sungai. Pada pulau yang ditumbuhi pepohonan ini telah pula
dihinggapi oleh burung-burung dan bersarang disana.
Cerita tentang tenggelamnya kapal dengan para penumpangnya yang
kebanyakan etnis Cina tersebut menyebar dari mulut ke mulut dan waktu ke waktu.
Sehingga mereka yang berasal dari keturunan Cinapun banyak yang mengunjungi
pulau tersebut untuk mengenang dan memberikan penghormatan terhadap jasad
yang berkubur di situ. Jadilah pulau ini sebagai tempat penyampaian doa nadzar,
terutama bagi mereka yang merasa memiliki ikatan batin atas keberadaan pulau itu.
Dahulu setiap orang yang berkunjung ke sana membawa sejumlah untaian kambang
(bunga), dan karena berlangsung sepanjang waktu terjadilah tumpukan kambang
yang sangat banyak. Mereka yang melintasi pulau itu selalu melihat dan
menyaksikan tumpukan kambang yang begitu banyak. Oleh karena selalu menarik
perhatian bagi mereka yang melintasi tempat ini dan menjadi penanda, maka untuk
menyebutnya diberi nama Pulau Kambang.
Lama kelamaan nama pulau kambang semakin dikenal dan ramai dikunjungi
orang dengan niat dan tujuan yang berbeda-beda. Misalnya ada yang
mengkeramatkannya atau sekadar ingin tahu keberadaan pulau kambang yang telah
melegenda itu. Sekarang pun masih ditemui adanya kunjungan dari mereka yang
punya hajat tertentu dan berbaur dengan para pengunjung atau para wisatawan
lainnya setelah mengunjungi pasar terapung.
Keberadaan Warik Pulau Kambang
Bagaimana pula dengan Warik yang banyak di pulau kambang itu? Ternyata memang memiliki
cerita tersendiri dan menjadikan pulau ini memiliki daya tarik untuk dikunjungi. Dalam ceriteranya
disebutkan salah satu keturunan raja di daerah Kuin tidak dikaruniai anak. Menurut ramalan ahli nujum
kalau ingin punya anak harus berkunjung ke Pulau Kambang dengan mengadakan upacara badudus
(mandi-mandi). Ramalan dan nasihat ahli nujum ini dipenuhi oleh kerabat kerajaan. Beberapa waktu
setelah mengadakan upacara di Pulau Kambang itu, ternyata isteri dari keturunan raja dimaksud hamil.
Begitu gembira dan bahagianya keluarga raja dengan kehadiran anak yang dinanti-nantikan, maka raja
yang berkuasa memerintahkan petugas kerajaan untuk menjaga pulau tersebut agar tidak ada yang
merusak atau mengganggunya.
Petugas kerajaan yang mendapat perintah menjaga pulau ini membawa dua
ekor warik besar, jantan dan betina yang diberi nama si Anggur. Konon menurut
ceritanya setelah sekian lama petugas kerajaan ini menghilang secara gaib, tak
diketahui kemana perginya. Sedangkan warik yang ditinggalkannya beranak pinak
dan menjadi penghuni pulau kambang. Para orang tua dahulu ketika mengunjungi
pulang kambang masih bisa melihat si Anggur yang memang berbeda dari warik
biasa.
Keberadaan warik-warik ini telah menjadikan pulau kambang semakin menarik untuk
dikunjungi. Berdasarkan hasil pengamatan yang pernah dilakukan oleh mereka yang
perhatian terhadap keberadaan warik di pulau kambang ini diketahui ada dua
kumpulan kera yang keluar dari persembunyiannya secara bergantian. Rombongan
warik pertama yang keluar sekitar pukul 05.00 s.d. l3.00 dan setelah itu disambung
oleh kumpulan warik sip kedua yang berada di tengah pengunjung pulau kambang.
Kalau rombongan sip pertama tidak menaati ketentuan dengan pengertian melewati
batas waktu operasional, maka ia akan diburu oleh rombongan warik lainnya.
Tepatnya waktu itu mungkin hanya sesama warik yang tahu.
Begitulah asal muasal pulau Kambang beserta warik penghuninya.Tentang
kebenarannya terpulang kepada Yang Maha Esa. Bahwa Pulau Kambang dan warik itu memang nyata
dikelilingi sungai sekitarnya, tak perlu mempersoalkan keberadaannya. Tapi jangan lupa
mengunjungi sebagai tempat wisata.

23. KALIMANTAN TIMUR


Asal Muasal Danau Lipan
Danau Lipan adalah sebuah tempat di Kalimantan Timur. Tepatnya di
Kecamatan Muara Kaman, yang letaknya di hulu Tenggarong, Kabupaten Kutai
Kertanegara. Sebutan “danau” di depan nama Lipan bukanlah mengandung arti
danau yang sebenarnya. Karena tempat itu merupakan daerah yang ditumbuhi pang
semak yang luas.
Konon, di suatu waktu, Muara Kaman merupakan lautan. Di sana berdirilah
sebuah kerajaan dengan Bandar di tepi laut yang ramai. Tersebutlah seorang puteri
cantik bernama Puteri Aji Berdarah Putih. Kata yang empunya cerita, disebut
demikian karena jika sang Puteri memakan sirih, maka air sepah berwarna merah
yang ditelannya akan terlihat saat mengalir. Kecantikan itu tersebar ke seantero
negeri dan kerajaan di luarnya.
Alkisah, ketenaran sang Puteri sampai juga ke telinga seorang Raja Cina dari
negeri seberang. Maka sang Raja Cina segera membaw abala tentara mengarungi
lautan dengan sebuah jung besar untuk melamar Puteri Aji Berdarah Putih.
Kehadiran sang Raja Cina disambut dengan meriah. Puteri nan jelita
menyambut sang tamu dengan pesta makan yang meriah. Tarian-tarian dan
nyanyian disajikan juga untuk menambah meriahnya pesta. Alangkah gembiranya
sang Raja menerima sambutan yang demikian meriah itu. Sang Puteri jelita
memang tahu bahwa kehadiran Raja Cina itu tak lain adalah untuk
mempersuntingnya. Akan tetapi begitu melihat gerak-gerik dan cara melahap
makanan, Sang Puteri sontak menjadi jijik tak terkira. Alangkah tidak lazimnya cara
makan Raja Cina itu yang tidak bedanya dengan cara anjing menyantap makanan.
Bukan saja saja sang Puteri merasakan jijik, bahkan ketika lamaran diajukan,
sang Puteri juga merasa terhina. Tentu saja tidak sepantasnya raja terhormat punya
tabiat seperti b inatang. Lamaran itu bagaikan tamparan bagi sang Puteri.
Namun, penolakan disertai murka itu juga ditanggapi amarah pula oleh Raja
Cina. Ia sakit hati. Darah mengalir ke ubun-ubun saat menghadapi rasa malu yang
luar biasa itu. Tangannya menggenggam seolah ingin dihantamkan pada apa saja
yang ada di hadapannya.
Sepulang dari sana, ia memerintahkan panglima perangnya untuk menyerang
kerajaan Puteri Aji Berdarah Putih. Pertempuran pun tak dapat dielakkan. Beribu-
ribu prajurit Raja Cina merangsek bagaikan gelombang laut yang ganas.
Menghadapi serangan itu, prajurit sang Puteri jelita tak mau kalah. Gempuran dahsyat itu
ditandinginya dengan kegagahberanian yang luar biasa. Makin lama sang Puteri cemas melihat
gelombang serangan prajurit Raja Cina yang tak bisa ditandingi tentara perangnya yang jumlahnya jauh
lebih sedikit. Puteri takut tak lama lagi tentaranya akan tumpas.
Maka, sebagai titisan raja sakti ia pun mulai bangkit di saat tindasan makin
berat. Ia mengambil kinang dari wadahnya. Kemudian ia mengunyah sirih sambil
mengucapkan mantera-mantera sakti. Mulutnya berkomat-kamit dan matanya yang
indah terpejam. Tak lama kemudian sang Puteri menyemburkan sepah-sepah sirih
ke segala penjuru arah.
Ajaib! Sepah-sepah itu tiba-tiba menjelma jutaan lipan ganas yang menyerang barisan besar
prajurit Raja Cina. Lipan-lipan itu kini menjadi barisan tentara yang mengambil alih barisan para tentara
Puteri Aji yang mulai terdesak. Dalam waktu sekejap tentanra Raja Cina lumpuh oleh keganasan lipan-
lipan itu. Sebagian yang tersisa lari tunggang langgang meninggalkan daerah itu. Namun serang lipan-
lipan itu memburu hingga sampai ke laut, tempat prajurit menyelamatkan diri di jungnya. Perahu
mereka pun tenggelam. Seluruh laskar Raja Cina tumpas.
Tempat yang menenggelamkan jung Raja Cina itu menjadi padang luas yang
menyatu dengan laut. Syahdan, tempat itu hingga kini disebut Danau Lipan

24. SULAWESI UTARA


Kekeow dan Gadis Miskin
Danau Lipan adalah sebuah tempat di Kalimantan Timur. Tepatnya di
Kecamatan Muara Kaman, yang letaknya di hulu Tenggarong, Kabupaten Kutai
Kertanegara. Sebutan “danau” di depan nama Lipan bukanlah mengandung arti
danau yang sebenarnya. Karena tempat itu merupakan daerah yang ditumbuhi pang
semak yang luas.
Konon, di suatu waktu, Muara Kaman merupakan lautan. Di sana berdirilah
sebuah kerajaan dengan Bandar di tepi laut yang ramai. Tersebutlah seorang puteri
cantik bernama Puteri Aji Berdarah Putih. Kata yang empunya cerita, disebut
demikian karena jika sang Puteri memakan sirih, maka air sepah berwarna merah
yang ditelannya akan terlihat saat mengalir. Kecantikan itu tersebar ke seantero
negeri dan kerajaan di luarnya.
Alkisah, ketenaran sang Puteri sampai juga ke telinga seorang Raja Cina dari
negeri seberang. Maka sang Raja Cina segera membaw abala tentara mengarungi
lautan dengan sebuah jung besar untuk melamar Puteri Aji Berdarah Putih.
Kehadiran sang Raja Cina disambut dengan meriah. Puteri nan jelita
menyambut sang tamu dengan pesta makan yang meriah. Tarian-tarian dan
nyanyian disajikan juga untuk menambah meriahnya pesta. Alangkah gembiranya
sang Raja menerima sambutan yang demikian meriah itu. Sang Puteri jelita
memang tahu bahwa kehadiran Raja Cina itu tak lain adalah untuk
mempersuntingnya. Akan tetapi begitu melihat gerak-gerik dan cara melahap
makanan, Sang Puteri sontak menjadi jijik tak terkira. Alangkah tidak lazimnya cara
makan Raja Cina itu yang tidak bedanya dengan cara anjing menyantap makanan.
Bukan saja saja sang Puteri merasakan jijik, bahkan ketika lamaran diajukan,
sang Puteri juga merasa terhina. Tentu saja tidak sepantasnya raja terhormat punya
tabiat seperti b inatang. Lamaran itu bagaikan tamparan bagi sang Puteri.
Namun, penolakan disertai murka itu juga ditanggapi amarah pula oleh Raja
Cina. Ia sakit hati. Darah mengalir ke ubun-ubun saat menghadapi rasa malu yang
luar biasa itu. Tangannya menggenggam seolah ingin dihantamkan pada apa saja
yang ada di hadapannya.
Sepulang dari sana, ia memerintahkan panglima perangnya untuk menyerang
kerajaan Puteri Aji Berdarah Putih. Pertempuran pun tak dapat dielakkan. Beribu-
ribu prajurit Raja Cina merangsek bagaikan gelombang laut yang ganas.
Menghadapi serangan itu, prajurit sang Puteri jelita tak mau kalah. Gempuran
dahsyat itu ditandinginya dengan kegagahberanian yang luar biasa. Makin lama
sang Puteri cemas melihat gelombang serangan prajurit Raja Cina yang tak bisa
ditandingi tentara perangnya yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Puteri takut tak
lama lagi tentaranya akan tumpas.
Maka, sebagai titisan raja sakti ia pun mulai bangkit di saat tindasan makin
berat. Ia mengambil kinang dari wadahnya. Kemudian ia mengunyah sirih sambil
mengucapkan mantera-mantera sakti. Mulutnya berkomat-kamit dan matanya yang
indah terpejam. Tak lama kemudian sang Puteri menyemburkan sepah-sepah sirih
ke segala penjuru arah.
Ajaib! Sepah-sepah itu tiba-tiba menjelma jutaan lipan ganas yang
menyerang barisan besar prajurit Raja Cina. Lipan-lipan itu kini menjadi barisan
tentara yang mengambil alih barisan para tentara Puteri Aji yang mulai terdesak.
Dalam waktu sekejap tentanra Raja Cina lumpuh oleh keganasan lipan-lipan itu.
Sebagian yang tersisa lari tunggang langgang meninggalkan daerah itu. Namun
serang lipan-lipan itu memburu hingga sampai ke laut, tempat prajurit
menyelamatkan diri di jungnya. Perahu mereka pun tenggelam. Seluruh laskar Raja
Cina tumpas.
Tempat yang menenggelamkan jung Raja Cina itu menjadi padang luas yang
menyatu dengan laut. Syahdan, tempat itu hingga kini disebut Danau Lipan

25. SULAWESI BARAT


Asal Mula Tari Patuddu
Alkisah, pada zaman dahulu, di daerah Mandar Sulawesi Barat, hiduplah
seorang Anak Raja di sebuah pegunungan. Di sana ia tinggal di sebuah istana
megah yang dikelilingi oleh taman bunga dan buah yang sangat indah. Di dalam
taman itu terdapat sebuah kolam permandian yang bersih dan sangat jernih airnya.
Pada suatu hari, saat gerimis tampak pelangi di atas rumah Anak Raja.
Kemudian tercium aroma harum semerbak. Si Anak Raja mencari-cari asal bau itu.
Ia memasuki setiap ruangan di dalam rumahnya. Namun, asal aroma harum
semerbak itu tidak ditemukannya. Oleh karena penasaran dengan aroma itu, ia
terus mencari asalnya sampai ke halaman rumah. Sesampai di taman, aroma yan
dicari itu tak juga ia temukan. Justru, ia sangat terkejut dan kesal, karena buah dan
bunga-bunganya banyak yang hilang. “Siapa pun pencurinya, aku akan menangkap
dan menghukumnya!” setengah berseru Anak Raja itu berkata dengan geram. Ia
kemudian berniat untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah berani mencuri
bunga-bunga dan buahnya tersebut.
Suatu sore, si Anak Raja sengaja bersembunyi untuk mengintai pencuri
bunga dan buah di tamannya. Tak lama, muncullah pelangi warna-warni yang
disusul tujuh ekor merpati terbang berputar-putar dengan indahnya. Anak Raja
terus mengamati tujuh ekor merpati itu. Tanpa diduganya, tiba-tiba tujuh ekor
merpati itu menjelma menjadi tujuh bidadari cantik. Rupanya mereka hendak
mandi-mandi di kolam Anak Raja. Sebelum masuk ke dalam kolam, mereka
bermain-main sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya.
Anak Raja terpesona melihat kencantikan ketujuh bidadari itu. ”Ya Tuhan!
Mimpikah aku ini? Cantik sekali gadis-gadis itu,” gumam Anak Raja dengan kagum.
Kemudian timbul keinginannya untuk memperistri salah seorang bidadari itu.
Namun, ia masih bingung bagaimana cara mendapatkannya. ”Mmm...aku tahu
caranya. Aku akan mengambil salah satu selendang mereka yang tergeletak di
pinggir kolam itu,” pikir Anak Raja sambil mengangguk-angguk.
Sambil menunggu waktu yang tepat, ia terus mengamati ketujuh bidadari itu. Mereka sedang
asyik bermain sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya. Mereka terlihat bersendau-gurau
dengan riang. Saat itulah, si Anak Raja memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia berjalan
mengendap-endap dan mengambil selendang miliki salah seorang dari ketujuh bidadari itu, lalu
disembunyikannya. Setelah itu, ia kembali mengamati para bidadari yang masih mandi di kolam.
Setelah puas mandi dan bermain-main, ketujuh bidadari itu mengenakan
selendangnya kembali. Mereka harus kembali ke Kahyangan sebelum pelangi
menghilang. Pelangi adalah satu-satunya jalan kembali ke Kahyangan. Namun
Bidadari Bungsu tidak menemukan selendangnya. Ia pun tampak kebingungan
mencari selendangnya. Keenam bidadari lainnya turut membantu mencari selendang
adiknya. Sayangnya, selendang itu tetap tidak ditemukan. Padahal pelangi akan
segera menghilang.
Akhirnya keenam bidadari itu meninggalkan si Bungsu seorang diri. Bidadari
Bungsu pun menangis sedih. “Ya Dewa Agung, siapa pun yang menolongku, bila
laki-laki akan kujadikan suamiku dan bila perempuan akan kujadikan saudara!” seru
Bidadari Bungsu. Tak lama berseru demikian, terdengar suara halilintar
menggelegar. Pertanda sumpah itu didengar oleh para Dewa.

Melihat Bidadari Bungsu tinggal sendirian, Anak Raja pun keluar dari
persembunyiannya, lalu menghampirinya.
”Hai, gadis cantik! Kamu siapa? Mengapa kamu menangis?” tanya Anak Raja
pura-pura tidak tahu.
”Aku Kencana, Tuan! Aku tidak bisa pulang ke Kahyangan, karena
selendangku hilang,” jawab Bidadari Bungsu.
”Kalau begitu, tinggallah bersamaku. Aku belum berkeluarga,” kata Anak Raja
seraya bertanya, ”Maukah kamu menjadi istriku?”
Sebenarnya Kencana sangat ingin kembali ke Kahyangan, namun
selendangnya tidak ia temukan, dan pelangi pun telah hilang. Sesuai dengan
janjinya, ia pun bersedia menikah dengan Anak Raja yang telah menolongnya itu.
Akhirnya, Kencana tinggal dan hidup bahagia bersama dengan Anak Raja.
Beberapa tahun kemudian. Kencana dan Anak Raja dikaruniai seorang anak
laki-laki. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan mereka. Mereka mengasuh anak itu
dengan penuh perhatian dan kasih-sayang. Selain mengasuh dan mendidik anak,
Kencana juga sangat rajin membersihkan rumah.
Pada suatu hari, Kencana membersihkan kamar di rumah suaminya. Tanpa
sengaja ia menemukan selendang miliknya yang dulu hilang. Ia sangat terkejut,
karena ia tidak pernah menduga jika yang mencuri selendangnya itu adalah
suaminya sendiri. Ia merasa kecewa dengan perbuatan suaminya itu. Karena sudah
menemukan selendangnya, Kencana pun berniat untuk pulang ke Kahyangan.
Saat suaminya pulang, Kencana menyerahkan anaknya dan berkata,
”Suamiku, aku sudah menemukan selendangku. Aku harus kembali ke Kahyangan
menemui keluargaku. Bila kalian merindukanku, pergilah melihat pelangi!”
Saat ada pelangi, Kencana pun terbang ke angkasa dengan mengipas-
ngipaskan selendangnya menyusuri pelangi itu. Maka tinggallah Anak Raja bersama
anaknya di bumi. Setiap ada pelangi muncul, mereka pun memandang pelangi itu
untuk melepaskan kerinduan mereka kepada Kencana. Kemudian oleh mayarakat
setempat, pendukung cerita ini, gerakan Kencana mengipas-ngipaskan
selendangnya itu diabadikan ke dalam gerakan-gerakan Tari Patuddu, salah satu
tarian dari daerah Mandar, Sulawesi Barat.

26. SULAWESI TENGAH


Asal-Usul Pohon Sagu dan Palem
Alkisah, di daerah Donggala, Sulawesi Tengah, hidup sepasang suami-istri
bersama seorang anak lelakinya. Mereka tinggal di sebuah rumah tua yang terletak
di pinggir hutan Dolo. Hidup mereka sangat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, mereka mencari buah-buahan dan hasil hutan lainnya yang tersedia di
sekitar mereka.
Semakin lama sang Suami pun merasa bosan hidup dengan keadaan seperti
itu. Akhirnya, timbullah niatnya ingin membuka lahan perkebunan yang akan
ditanami dengan berbagai jenis tanaman palawija dan sayur-sayuran. Suatu hari, ia
pun menyampaikan niat baiknya tersebut kepada istrinya.
“Dik! Bagaimana kalau kita berkebun saja? Aku sudah bosan hidup seperti ini
terus,” ungkap sang Suami.
Alangkah senang hati sang Istri mendengar rencana suaminya. Ia merasa
bahwa suaminya akan berubah untuk tidak bermalas-malasan bekerja.
“Bang, kita mau berkebun di mana? Bukankah kita tidak mempunyai lahan
untuk berkebun?” tanya sang Istri.
“Tenang, Dik! Besok Abang akan membuka hutan untuk dijadikan lahan
perkebunan,” jawab sang Suami.
“Baiklah kalau begitu, aku setuju,” kata sang Istri.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami berangkat ke hutan Dolo.
Setelah beberapa lama menyusuri hutan, ia pun menemukan tempat yang cocok
untuk dijadikan lahan perkebunan. Sementara itu, sang Istri bersama anaknya
menunggu di rumah sambil menyiangi rerumputan yang tumbuh di pekarangan
rumah agar ular tidak mengganggu mereka.

Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan sambil membawa buah-
buahan untuk persiapan makan malam mereka. Istrinya pun menyambutnya dengan
penuh harapan. Usai menyuguhkan minuman, sang Istri bertanya kepada suaminya.
“Bang, bagaimana hasilnya? Apakah Abang sudah menemukan tempat yang
cocok untuk dijadikan lahan perkebunan?”
“Iya, Dik! Abang sudah menemukan sebidang tanah yang subur,” jawab sang
Suami.
Mendengar jawaban suaminya, sang Istri merasa gembira. Ia berharap
dengan adanya pekerjaan baru tersebut kehidupan keluarga mereka akan menjadi
lebih baik suatu hari kelak.
“O iya, Bang! Kalau Adik boleh tahu, di mana letak lahan itu?” sang Istri
kembali bertanya.
“Letaknya tidak jauh dari rumah kita,” jawab sang Suami.
“Syukurlah kalau begitu, Bang! Kita tidak perlu berjalan jauh untuk mencapainya. Lalu, kapan
Abang akan memulai membuka lahan?” tanya sang Istri.
“Kalau tidak ada aral melintang, besok Abang akan memulainya,” jawab sang
Suami dengan penuh keyakinan.
Beberapa saat kemudian, hari sudah mulai gelap. Sang Istri pun menyiapkan
makan malam seadanya. Usai makan malam, keluarga miskin tersebut beristirahat
setelah hampir seharian bekerja. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami
berangkat ke hutan sambil membawa parang dan cangkul. Sesampainya di tempat
yang akan dijadikan lahan perkebunan, tiba-tiba muncul sifat malasnya. Ia
bukannya membabat hutan, melainkan duduk termenung sambil memerhatikan
pepohanan yang tumbuh besar dan hijau di hadapannya. Sementara itu, istri dan
anaknya sedang menunggu di rumah dengan penuh harapan. Sang Istri
mengharapkan agar suaminya segera membuka lahan perkebunan.

“Anakku! Jika Ayahmu telah selesai membuka lahan perkebunan, kita bisa
membantunya menanam sayur-sayuran dan umbi-umbian di kebun,” ujar sang Ibu
kepada anaknya.
“Bolehkah aku ikut membantu, Ibu?” tanya anaknya.
“Tentu, Anakku! Ayahmu pasti sangat senang jika kamu juga ikut
membantunya,” jawab sang Ibu sambil tersenyum.
Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan. Ia pun disambut oleh
istrinya dengan suguhan air minum. Setelah suaminya selesai minum dan rasa
capeknya hilang, sang Istri pun kembali menanyakan tentang hasil pekerjaannya
hari itu.
“Bagaimana hasilnya hari ini, Bang?”
“Belum selesai, Dik!” jawab sang Suami. Keesokan harinya, sang Suami kembali ke hutan.
Setiba di sana, ia pun kembali hanya duduk termenung. Begitulah pekerjaannya setiap hari. Begitupula
jika ditanyai oleh istrinya tentang hasil pekerjaannya, ia selalu menjawab “belum selesai”.
Oleh karena penasaran ingin melihat hasil pekerjaan suaminya, suatu siang
sang Istri menyusulnya ke hutan tempatnya bekerja. Sesampainya di tempat itu, ia
mendapati suaminya duduk termenung sambil bersandar di bawah sebuah pohon.
Alangkah kecewanya sang Istri, karena lahan perkebunan yang diharapkannya tidak
terwujud.
“Bang! Mana lahan perkebunan itu?” tanya sang Istri.
Mendengar pertanyaan istrinya itu, sang Suami bukannya menjawabnya.
Akan tetapi, ia segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian langsung pulang
dengan perasaan marah. Rupanya, ia merasa tersinggung karena istrinya menyusul
ke hutan. Mengetahui suaminya marah, sang Istri pun mengikutinya dari belakang.
Sesampai di rumah, kemarahan sang Suami semakin memuncak. Ia melampiaskan
kemarahannya dengan membanting barang-barang yang ada di dalam rumahnya.
Sang Istri yang tidak menerima kelakuan suaminya itu langsung berlari menuju ke
hutan sambil menangis. Sesampainya di tengah hutan, ia langsung menceburkan
diri ke dalam sebuah telaga. Sementara itu, sang Suami yang baru menyadari akibat
dari kelakuannya segera mengajak anaknya untuk menyusul istrinya ke tengah
hutan.
“Ayo Anakku, kita susul Ibumu ke hutan!” ajak sang Ayah sambil menarik
tangan anaknya.
“Baik, Ayah!” jawab anaknya.
Sesampainya di tengah hutan, tidak jauh dari hadapan mereka terlihatlah
sang Istri berada di tengah telaga. Tubuhnya sedikit demi sedikit menjelma menjadi
pohon sagu. Melihat peristiwa itu, ayah dan anak itu pun segera berlari mendekati
telaga.
“Maafkan aku, Dik! Kembalilah!” teriak sang Suami.
“Ibu…, Ibu…. Aku ikut!” teriak anaknya sambil menangis.
“Kamu di sini saja, Anakku! Tidak usah ikut ibumu, sebentar lagi dia
kembali,” bujuk sang Ayah.
“Tidak Ayah! Aku mau ikut Ibu,” kata anaknya meronta-ronta.
Sang Ayah terus berusaha membujuk anaknya agar berhenti menangis. Namun, sang Anak
tetap menangis dan bersikeras ingin ikut ibunya. Saat sang Ayah lengah, si anak pun berlari dan terjun
masuk ke dalam telaga. Maka seketika itu pula, ia menjelma menjadi sebatang pohon sagu seperti
ibunya.
Setelah melihat peristiwa itu, barulah sang Suami sadar dan menyesali
semua perbuatannya.
“Maafkan aku, Istriku! Maafkan aku, Anakku! Aku sangat menyesal atas
semua perbuatanku kepada kalian,” ucapnya sambil menangis berderai air mata.
Berulang kali sang Suami meminta maaf kepada istri maupun kepada anaknya. Namun, apa
hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Menyesal kemudian tiadalah guna. Istri dan anaknya telah
menjelma menjadi pohon sagu. Ia pun tidak ingin hidup sendirian tanpa istri dan anaknya. Akhirnya, ia
pun ikut terjun ke dalam telaga itu. Ketika itu pula ia pun menjelma menjadi sebatang pohon palem.

27. SULAWESI SELATAN


Lamadukelleng
Alkisah, di sebuah negeri di daerah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, hidup
seorang raja muda yang arif dan bijaksana. Raja tersebut sangat perhatian terhadap
kehidupan rakyatnya. Ia seringkali berjalan-jalan ke pelosok-pelosok desa untuk
melihat langsung keadaan rakyatnya dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Pada
suatu malam, sang Raja berjalan-jalan di sebuah perkampungan yang terletak di
sekitar sungai Jeneberang. Ketika berada di perkampungan itu, tanpa sengaja, ia
mendengar percakapan dua gadis miskin kakak-beradik yang cantik jelita. “Kak,
siapakah nanti yang ingin engkau jadikan suamimu?” tanya sang Adik.“Aku ingin
bersuamikan tukang masak Raja,” jawab sang Kakak.
“Kenapa, Kak?” sang Adik kembali bertanya.“Kalau bersuamikan tukang
masak Raja, kita tidak pernah merasa kelaparan lagi seperti ini,” jawab sang
Kakak.“Kalau kamu, siapakah yang engkau inginkan jadi suamimu?” sang Kakak
balik bertanya.“Kalau aku, ingin menjadi istri Raja,” jawab sang Adik.“Wah, tinggi
sekali angan-anganmu, Dik!” ucap sang Kakak.“Iya, Kak! Aku ingin jadi penguasa
negeri ini,” imbuh sang Adik.Beberapa saat kemudian, keduanya pun tertawa
mendengar jawaban masing-masing. Sementara itu, sang Raja yang mendengar
percakapan mereka pun tersenyum.“Baiklah kalau itu yang kalian inginkan. Aku
akan mewujudkan angan-angan kalian,” kata sang Raja dalam hati seraya berlalu
dari tempat itu.Keesokan harinya, Sang Raja mengutus beberapa orang pengawal
istana untuk memanggil kedua gadis miskin tersebut untuk menghadap
kepadanya.“Hai, Kalian! Ikutlah bersama kami ke istana untuk menghadap Raja!” seru utusan
Raja.“Maaf, Tuan! Kenapa kami disuruh menghadap Raja? Apa salah kami, Tuan?” tanya sang Kakak
kepada utusan Raja dengan wajah pucat.“Maaf, kami hanya menjalankan tugas,” jawab seorang
utusan.Dengan perasaan cemas, kedua gadis itu terpaksa mengikuti para utusan Raja. Di sepanjang
perjalanan, hati keduanya terus diselimuti oleh perasaan cemas.“Jangan-jangan Raja mengetahui
percakapan kami semalam,” pikir mereka.Sesampainya di istana, keduanya pun langsung memberi
hormat kepada sang Raja.“Ampun, Baginda! Ada apa gerangan Baginda memanggil kami?” tanya sang
Kakak.“Aku sempat mendengar percakapan kalian semalam. Benarkah yang kalian katakan itu?” sang
Raja balik bertanya.Mendengar pertanyaan Raja, kedua gadis itu pun semakin ketakutan. Mereka takut
berterus terang kepada Raja. Mereka hanya saling melirik.“Kalian tidak usah takut. Jawab saja dengan
jujur!” kata sang Raja.Oleh karena didesak oleh Raja, akhirnya kedua gadis itu bercerita bahwa sang
Kakak hendak bersuamikan tukang masak Raja, sedangkan sang Adik ingin bersuamikan Raja. San Raja
pun mengabulkan keinginan mereka. “Baiklah, aku kabulkan keinginan kalian. Aku bersedia menikah
denganmu,” kata sang Raja sambil menunjuk sang Adik. Mendengar pernyataan sang Raja, kedua gadis
yang semula takut berubah menjadi gembira dan bahagia.“Benarkah itu, Baginda?” tanya sang Adik
seakan-akan tidak percaya.“Percayalah! Aku tidak akan berbohong kepada kalian,” jawab sang
Raja.“Terima kasih, Baginda Raja,” ucap kedua gadis itu serentak sambil memberi hormat.Seminggu
kemudian, pesta perkawinan mereka pun dilangsungkan. Sang Kakak menikah dengan tukang masak
Raja, sedangkan sang Adik menikah dengan Raja. Namun, dalam hati sang Kakak terselip perasaan
menyesal dan iri hati kepada adiknya yang bersuamikan Raja, sementara ia sendiri hanya bersuamikan
tukang masak.Setahun kemudian, sang Adik melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Namun,
sebelum sang Adik sempat melihat bayinya karena pingsan saat melahirkan, sang Kakak yang
membantu persalinannya menukar bayinya dengan seekor kucing dan segera membuang bayi itu ke
Sungai Jeneberang. Setelah itu, ia memerintahkan beberapa pengawal untuk menyebarluaskan berita
itu ke seluruh penghuni istana dan rakyat negeri bahwa istri Raja melahirkan seekor kucing. Sang Raja
yang mendengar berita buruk itu pun menjadi malu dan murka kepada istrinya.
“Pengawal! Jika istriku sudah siuman, segera bawa dia ke penjara bawah
tanah. Dia benar-benar telah membuatku malu!” seru sang Raja.“Baik, Baginda!”
jawab para pengawal.Beberapa saat kemudian, sang Permaisuri pun siuman. Para
pengawal istana segera membopong tubuhnya yang masih lemas itu ke penjara
bawah tanah.Sementara itu, bayi laki-laki yang dibuang ke Sungai Jeneberang
hanyut terbawa arus menuju ke arah hilir. Kebetulan di daerah hilir ada seorang
kakek sedang memancing ikan. Saat sedang asyik memancing, tiba-tiba sebuah
bungkusan melintas di dekatnya.“Hei, bungkusan apa itu?” gumam nelayan
itu.Rupanya, kakek itu tertarik melihat bungkusan itu. Ia pun segera mengambil
sebatang bambu dan menggait bungkusan itu ke tepi sungai. Alangkah terkejutnya
ia saat melihat seorang bayi mungil tergolek di dalamnya.“Wah, bayi siapa ini?
Sungguh tega orangtua yang telah membuang bayinya,” gumam kakek itu.
Tanpa berpikir panjang, kakek itu pun segera membawa bayi itu ke rumahnya dan
menyerahkannya kepada istrinya. Alangkah bahagianya mereka, karena telah mendapatkan bayi yang
sudah lama mereka idam-idamkan. Sebab, sudah puluhan tahun mereka menikah, tapi belum dikaruniai
seorang anak. Mereka pun merawat dan membesarkan bayi itu dengan penuh perhatian dan kasih
sayang. Ketika anak itu berumur belasan tahun, mereka pun membekalinya dengan berbagai
pengetahuan, keterampilan berburu, serta ilmu bela diri. Mereka memberinya nama
Lamadukelleng.Waktu terus berjalan. Lamadukelleng tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Sang
Kakek dan istrinya merasa bahwa kini saatnya mereka harus menceritakan asal usul Lamadukelleng.
Pada suatu hari, ia pun menceritakan bahwa mereka sebenarnya bukanlah orangtua
Lamadukelleng.“Ketahuilah, Nak! Kami ini bukanlah orangtuamu yang telah melahirkanmu. Kami hanya
menemukanmu hanyut terbawa arus di Sungai Jeneberang,” cerita si Kakek“Jika benar yang kalian
katakan itu, lalu siapakah orangtuaku yang sebenarnya? Dan di mana mereka sekarang?” tanya
Lamadukelleng penasaran.“Maaf, Nak! Kami juga tidak tahu siapa sebenarnya orangtuamu. Tapi, jika
kamu ingin mengetahui orang yang telah melahirkanmu, susurilah Sungai Jeneberang hingga ke atas
gunung, niscaya kamu akan menemukan mereka,” pesan si Kakek.Keesokan harinya, Lamadukelleng
pun bersiap-siap untuk berangkat hendak mencari orangtuanya. Sebelum berangkat, si Kakek
membekalinya dua buah benda pusaka.
“Anakku, bawalah keris dan permata pusaka ini! Siapa tahu suatu saat kamu akan
membutuhkannya,” kata si Kakek sambil menyerahkan kedua pusaka itu.“Terima kasih atas semua
kebaikan kalian. Kalian telah bersusah payah merawat dan membesarkanku. Kelak jika aku telah
menemukan orangtuaku, aku pasti akan kembali menemui kalian,” ucap Lamadukelleng.
Usai berpamitan, Lamadukelleng berangkat menuju ke arah hulu Sungai Jeneberang. Berhari-
hari lamanya ia berjalan menyusuri tepian Sungai Jeneberang. Pada suatu malam, ia berhenti di suatu
tempat untuk beristirahat. Setelah menemukan tempat berlindung dari dinginnya angin malam, ia pun
merebahkan tubuhnya dan langsung tertidur lelap karena kelelahan. Pada malam itu, ia bermimpi
didatangi orang tua yang mengaku sebagai leluhurnya.“Hai, Cucuku! Jika kamu berjalan naik ke arah
gunung itu, kamu akan menemukan sebuah telaga yang terletak di lereng gunung. Mandilah di telaga itu
dan celupkan keris dan permata pemberian orangtua asuhmu itu ke dalam air telaga. Dengan keris dan
permata yang telah dilumuri air telaga itu, kamu dapat mengobati segala jenis penyakit,” pesan orang
tua itu.Keesokan harinya, Lamadukelleng pun segera melaksanakan pesan orang tua itu. Ketika sampai
di lereng gunung, ia pun menemukan sebuah telaga yang sangat jernih airnya. Ketika ia akan mencebur
ke dalam telaga itu, tiba-tiba seekor naga besar muncul ke permukaan telaga. Ia pun mundur beberapa
langkah dan langsung teringat dengan pusaka pemberian orangtua asuhnya. Tanpa berpikir panjang, ia
segera mencabut kerisnya yang terselip di pinggangnya. Ular naga yang merasakan getaran dahsyat dari
keris itu menjadi terpaku. Pada saat itulah Lamadukelleng segera menghujamkan kerisnya berulang-
ulang ke tubuh ular naga itu hingga mati.Usai beristirahat sejenak, Lamadukelleng pun mandi dan
mencelupkan keris dan permatanya ke dalam air telaga. Ia berharap semoga dengan keris dan pusaka itu
akan dapat menolong orang-orang yang membutuhkannya.Setelah itu, Lamadukelleng melanjutkan
perjalanan menuju ke arah gunung. Sebelum mencapai gunung itu, ia menemukan sebuah
perkampungan yang tanahnya subur, indah dan sejuk. Namun, ketika memasuki perkampungan itu, ia
melihat segerombolan perampok menyerbu dan merampas harta benda para warga. Para warga
berusaha melakukan perlawanan. Namun karena jumlah perampok itu cukup banyak dan memiliki ilmu
bela diri yang baik, para penduduk pun mulai terdesak. Lama-kelamaan korban pun mulai berjatuhan
dari pihak warga.Lamadukelleng yang melihat keadaan itu segera berkelebat ke tengah-tengah medan
pertempuran untuk membantu para warga. Dengan kemampuan bela diri yang tinggi, ia bergerak ke
sana kemari dengan gesitnya, menghantam para perampok dengan pukulan dan tendangan secara
bertubi-tubi. Dalam waktu sekejap, ia berhasil menghalau para perampok tersebut. Penduduk sangat
takjub melihat kesaktian Lamadukelleng.Ketika suasana mulai tenang, Lamadukelleng segera
menyuruh para warga untuk membawa korban ke tempat yang aman. Setelah itu, ia pun mulai
mengobati para warga yang terluka terkena sabetan golok dan pedang. Dengan keris dan permata
pusakanya, Lamadukelleng berhasil mengobati mereka. Melihat kesaktian Lamadukelleng, para
pemuka masyarakat kampung itu pun memintanya agar bersedia mengobati warga lainnya yang
terkena berbagai macam penyakit.“Anak Muda! Bolehkah kami meminta bantuan lagi kepadamu?”
pinta kepala kampung.“Apa yang dapat saya bantu, Tuan?” tanya Lamadukelleng.
“Warga kami banyak yang terkena penyakit, mulai dari kesurupan hingga
teluh. Barangkali kamu bisa menyembuhkan mereka,” jawab kepala
kampung.Lamadukelleng pun menerima permintaan kepala kampung itu. Ia tinggal
beberapa hari di kampung itu untuk mengobati para warga yang sedang sakit.
Berkat keris dan permata pusakanya, ia berhasil menyembuhkan para warga dari
berbagai macam penyakit yang menimpa mereka. Sejak saat itu, Lamadukelleng
pun terkenal sebagai ahli bela diri dan pengobatan hingga ke berbagai penjuru
negeri.
Pada suatu hari, berita tentang kesaktian Lamadukelleng itu pun sampai ke
telinga Raja yang tinggal di wilayah pegunungan. Rupanya Raja itu tidak lain adalah
ayah kandung Lamadukelleng. Ia sudah bertahun-tahun menderita penyakit lumpuh
lantaran mengetahui istrinya melahirkan seekor kucing. Ia tidak bisa bangkit lagi
dari tempat tidurnya. Berbagai orang pintar telah didatangkan untuk mengobatinya,
namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkannya.
Mendengar kabar tentang kehebatan seorang pemuda yang bernama
Lamadukelleng, Raja pun memerintahkan beberapa orang pengawalnya untuk
mengundang pemuda itu ke istana. Sesampainya di istana, sang Raja menatap
pemuda itu dengan penuh perhatian. Pada saat itu tiba-tiba hati sang Raja bergetar.
Dalam hatinya terbersit perasaan tali kasih terhadap pemuda itu. Demikian pula
sebaliknya, Lamadukelleng pun merasakan hal yang sama saat berada di depan
Raja. Walau demikian, Lamadukelleng berusaha menepis perasaan itu, karena ia
harus berkonsentrasi untuk mengobati Raja.“Maaf, Tuan! Tolong ambilkan aku
segelas air minum!” pinta Lamadukelleng kepada seorang pelayan istana.
Setelah air minum tersedia, Lamadukelleng pun mencelupkan permata dan
ujung kerisnya ke dalam air itu. Kemudian meminta kepada pelayan istana agar
segera meminumkan air itu kepada Raja. Sang Raja pun merasakan minuman itu
sangat nikmat dan langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Ajaibnya, sesaat
kemudian sang Raja mampu menggerakkan tubuhnya yang lumpuh dengan pelan-
pelan. Tak lama berselang, sang Raja pulih seperti sedia kala. Alangkah suka-
citanya hati sang Raja. Ia tidak lupa berterima kasih kepada pemuda itu.
“Terima kasih, Nak! Kamu telah menyembuhkan penyakit yang aku derita
selama puluhan tahun. Kalau boleh aku tahu, dari manakah asal usulmu? Dan Siapa
kedua orangtuamu?” tanya sang Raja. Mendengar pertanyaan itu, Lamadukelleng
hanya terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa, sebab ia sendiri sedang mencari
kedua orangtuanya.
“Ampun, Baginda! Hamba juga tidak tahu dari mana asal usul hamba. Tapi,
menurut Kakek dan Nenek yang telah merawat hamba, hamba ditemukan terhanyut
di Sungai Jeneberang saat hamba masih bayi. Kakek hanya berpesan supaya hamba
menyusuri Sungai Jeneberang hingga ke atas gunung agar dapat menemukan
orangtua hamba yang sebenarnya,” cerita Lamadukelleng.
“Aku turut berduka cita atas keadaanmu, Nak! Semoga saja kelak kamu
menemukan kedua orangtuamu,” ucap sang Raja.“Terima kasih, Baginda! Hamba
juga berharap demikian,” kata Lamadukelleng.Setelah itu, Lamadukelleng pun
disuruh tinggal beberapa hari di sebuah pondok di samping istana.“Pelayan! Tolong
layani pemuda itu dengan baik. Berikan kepadanya pakaian yang bagus dan
makanan yang lezat!” titah sang Raja.<
Saat malam menjelang, sang Raja duduk termenung seorang diri di serambi
istana. Ia membayangkan kisah puluhan tahun yang lalu, ketika istrinya melahirkan
seekor kucing. Dalam lamunannya, tiba-tiba sang Raja merasa ada sesuatu yang
mengganjal pikirannya.“Benarkah istriku melahirkan seekor kucing? Ah, tidak
mungkin manusia dapat melahirkan seekor binatang,” pikirnya Sang Raja pun
teringat kepada kakak istrinya yang membantu persalinan istrinya. Ia pun segera
memanggil kakak istrinya dan suaminya untuk segera menghadap. Sang Kakak dan
suaminya pun terkejut mendengar panggilan Raja. Baru kali ini sang Raja
memanggil mereka untuk menghadap. Mereka pun mulai ketakutan. “Bang! Jangan-
jangan Raja telah mengetahui semua kebohongan kita. Perasaan berdosa tiba-tiba
menghantui hatiku,” kata sang Kakak kepada suaminya.“Entahlah, Istriku,” kata
suaminya dengan cemas. Sesampainya di depan Raja, sepasang suami-istri itu pun
langsung memberi hormat kepada Raja. Sang Raja pun menatap sang Kakak
dengan pandangan yang tajam dan penuh wibawa. “Seingatku, kamulah yang
menjaga istriku saat melahirkan. Benarkah begitu?” tanya Raja kepada sang Kakak.
“Be... benar, Baginda!” jawab sang Kakak dengan gugup. “Kalau begitu, aku mau
bertanya kepadamu. Benarkah istriku melahirkan seekor kucing? Ayo, jawablah
dengan jujur!” bentak sang Raja. Mendengar bentakan Raja, sang Kakak bersama
suaminya pun langsung bersujud di hadapan Raja. “Ampuni hamba, Baginda!
Hamba dan suami hamba telah bersalah. Kami telah menukar putra Baginda dengan
seekor kucing. Ampuni kami, Baginda! Tolong jangan hukum kami!” pinta sang
Kakak.
Mendengar jawaban itu, sang Raja bagai disambar petir. Ia benar-benar tidak
menyangka jika sang Kakak bersama suaminya telah tega melakukan hal itu. Sang
Raja pun tiba-tiba teringat kepada istrinya di penjara selama berpuluh-puluh tahun.
Ia benar-benar merasakan kepedihan yang luar biasa, karena telah menghukum
istrinya yang tidak bersalah. Dengan wajah merah padam, ia pun memalingkan
wajahnya ke arah sang Kakak dan suaminya.“Lalu, kamu apakan putraku waktu
itu?” tanya sang Raja lebih lanjut.
“Ampun, Baginda! Hamba menghanyutkannya ke Sungai Jeneberang,” jawab
sang Kakak
Mendengar jawaban itu, tubuh sang Raja tiba-tiba bergetar. Saat itu pula, ia
langsung teringat kepada pemuda yang telah mengobatinya. Maka muncullah
dugaan dalam hatinya bahwa pemuda itu adalah putranya.
“Tidak salah lagi, pemuda itu adalah putraku. Pantas hatiku selalu bergetar
bila menatapnya,” kata sang Raja dalam hati.
Sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana untuk membebaskan
istrinya dan memanggil Lamadukelleng untuk menghadap. Ketika sang Raja
bersama istri dan putranya berkumpul, sang Raja pun menceritakan kisahnya di
masa lalu kepada istri dan putranya bahwa bayi yang dilahirkan istrinya dibuang ke
Sungai Jeneberang oleh kakak iparnya.
Mendengar kisah Raja yang persis sama dengan kisah yang dialaminya, tanpa ragu lagi
Lamadukelleng langsung memeluk Raja yang merupakan ayah kandungnya sendiri. Sang Ayah pun
membalas pelukan putranya dengan pelukan erat.
“Putraku! Sejak melihatmu, Ayah selalu merasakan getaran batin dan kasih
sayang kepadamu. Rupanya itu pertanda bahwa kamu adalah putraku,” kata sang
Raja sambil meneteskan air mata.
“Iya, Ayahanda! Ananda juga merasakan demikian,” sahut Lamadukelleng.
Istri Raja hanya mampu membisu memandangi suami dan anaknya yang
sedang berpelukan dengan penuh rasa haru. Beberapa saat kemudian, sang Raja
pun segera merangkul istrinya. Mereka pun saling berpelukan menumpahkan
kerinduan masing-masing. Suasana haru itu berlangsung cukup lama.
“Maafkan aku, Dinda! Kanda telah mencampakkan kalian sehingga harus
mengalami penderitaan hingga puluhan tahun,” ucap Sang Raja
“Sudahlah, Kanda! Yang penting kita semua sudah berkumpul kembali. Kita
akan memulai hidup baru yang lebih baik,” kata sang Istri menghibur suaminya.
Usai melepaskan kerinduan, Sang Raja pun segera berpaling ke arah kakak
iparnya dan suaminya.
“Kalianlah yang telah menyebabkan kami menderita seperti ini. Kalian harus
mendapat hukuman yang setimpal. Pengawal! Bawa mereka ke penjara bawah
tanah!” titah sang Raja.
Seminggu kemudian, Lamadukelleng pun dinobatkan menjadi Raja
menggantikan ayahnya yang sudah tua. Lamadukelleng memerintah negerinya
dengan adil dan bijaksana. Semua titahnya senantiasa ditaati oleh rakyatnya.
Negerinya pun aman, makmur, dan sejahtera.

28. SULAWESI TENGGARA


La Moule Anak Yatim
Alkisah, di sebuah dusun di daerah Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang
anak laki-laki yatim bernama La Moelu yang masih berusia belasan tahun. Ibunya
meninggal dunia sejak ia masih bayi. Kini, ia tinggal bersama ayahnya yang sudah
sangat tua dan tidak mampu lagi mencari nafkah. Jangankan bekerja, berjalan pun
harus dibantu dengan sebuah tongkat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka,
La Moelu-lah yang harus bekerja keras. Karena masih anak-anak, satu-satunya
pekerjaan yang dapat dilakukannya adalah memancing ikan di sungai yang terletak
tidak jauh dari tempat tinggalnya. Pada suatu hari, La Moelu pergi memancing ikan
di sungai. Hari itu, ia membawa umpan dari cacing tanah yang cukup banyak
dengan harapan dapat memperoleh ikan yang banyak pula. Saat ia tiba di tepi
sungai itu, tampaklah kawanan ikan muncul di permukaan air. Ia pun semakin tidak
sabar ingin segera menangkap ikan-ikan tersebut. Dengan penuh semangat, ia
segera memasang umpan pada mata kailnya lalu melemparkannya ke tengah-
tengah kawanan ikan itu. Setelah itu, ia duduk menunggu sambil bersiul-siul.
Anehnya, sudah cukup lama ia menunggu, namun tak seekor ikan pun yang
menyentuh umpannya. “Hei, ke mana perginya kawanan ikan itu? Padahal tadi aku
melihat mereka bermunculan di permukaan air,” gumam La Moelu heran.Hari
semakin siang. La Moelu belum juga memperoleh seekor ikan pun. Mulanya, ia
berniat untuk berhenti memancing. Namun karena penasaran terhadap kawanan
ikan tersebut, akhirnya ia pun memutuskan untuk meneruskannya. “Ah, aku tidak
boleh putus asa! Barangkali saja ikan-ikan tersebut belum menemukan umpanku,”
pikirnya.Alhasil, beberapa saat kemudian, tiba-tiba kailnya bergetar. Dengan penuh
hati-hati, ia menarik kailnya ke tepi sungai secara perlahan-lahan. Ketika kailnya
terangkat, tampaklah seekor ikan kecil yang mungil terkait di ujung kailnya. Meski
hanya memperoleh ikan kecil, hati La Moelu tetap senang karena bentuk ikan itu
sangat indah. Akhirnya, ia pun membawa pulang ikan itu untuk ditunjukkan kepada
Ayahnya. Sesampainya di rumah, ayahnya pun merasa senang melihat ikan
itu.“Ikan apa yang kamu bawa itu, Anakku? Indah sekali bentuknya,” ucap ayahnya
dengan perasaan kagum. “Entahlah, Ayah!” jawab La Moelu.“Sebaiknya ikan ini
diapakan, Ayah?” tanya La Moelu.“Sebaiknya kamu pelihara saja ikan itu, Anakku!
Kalaupun pun dimasak pasti tidak cukup untuk kita makan berdua,” ujar sang Ayah.
Orang tua renta itu kemudian menyuruh La Moelu agar menyimpan ikan itu
ke dalam kembok yang berisi air. La Moelu pun menuruti petunjuk ayahnya.
Keesokan harinya, betapa terkejutnya La Moelu saat melihat ikan itu sudah sebesar
kembok. Ayahnya pun terperanjat saat melihat kejadian aneh itu.“Pindahkan segera
ikan itu ke dalam lesung!” perintah sang Ayah.Mendengar perintah itu, La Moelu pun
segera mengisi lesung itu dengan air, lalu memasukkan ikan tersebut ke
dalamnya. Keesokan harinya, kejadian aneh itu terulang lagi. Ikan itu sudah sebesar lesung. Sang
Ayah pun segera menyuruh La Moelu agar memindahkan ikan itu ke dalam guci besar. Pada hari
berikutnya, ikan itu berubah menjadi sebesar guci. La Moelu pun mulai kebingungan mencari wadah
untuk menyimpan ikan itu.“Di mana lagi kita akan menyimpan ikan ini, Ayah?” tanya La Moelu
bingung.Sang Ayah pun menyuruh La Moelu agar memasukkan ikan itu ke dalam drum yang berada di
samping rumah mereka. La Moelu segera memasukkan ikan itu ke dalam drum tersebut. Keesokan
harinya, ikan itu sudah sebesar drum. Ayah dan anak itu semakin bingung, karena mereka tidak memiliki
lagi wadah yang bisa menampung ikan itu. Akhirnya, sang Ayah menyuruh La Moelu membawa ikan itu
ke laut. La Moelu pun membawa ikan itu ke laut. Sebelum melepas ikan itu ke laut, terlebih dahulu ia
memberi nama ikan itu dan berpesan kepadanya.“Hai, Ikan! Aku memberimu nama Jinnande
Teremombonga. Jika aku memanggil nama itu, segeralah kamu datang ke tepi laut, karena aku akan
memberimu makan!” ujar La Moelu.Ikan itu pun mengibas-ngibaskan ekornya pertanda setuju. Setelah
itu, La Moelu pun melepasnya. Ikan itu tampak senang dan gembira karena bisa berenang dengan bebas
di samudera luas. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan
ikan itu. Sesampainya di tepi laut, ia pun segera berteriak memanggil ikan itu.
“Jinnande Teremombonga...!!!”
Tak berapa lama, Jinnande Teremombonga pun datang menghampirinya.
Setelah makan, ikan itu kembali ke laut lepas. Demikianlah kegiatan La Moelu setiap
pagi.Pada suatu pagi, ketika La Moelu sedang memberi makan Jinnande
Teremombonga, ada tiga orang pemuda sedang mengintainya dari atas pohon yang
rimbun. Mereka adalah keluarga yang juga tetangga La Moelu. Ketika melihat seekor
ikan raksasa mendekati La Moelu, ketiga pemuda itu tersentak kaget. Melihat hal
itu, maka timbullah niat jahat mereka ingin menangkap ikan itu. “Kawan-kawan!
Ayo kita tangkap ikan itu!” seru salah seorang dari mereka.“Tunggu dulu! Kita
jangan gegabah! Kita tunggu sampai La Moelu pulang, setelah itu barulah kita
menangkap ikan itu,” cegah seorang pemuda yang lain.Setelah La Moelu kembali ke
rumahnya, ketiga pemuda itu segera turun dari pohon lalu berjalan menuju ke tepi
laut. Sesampainya di tepi laut, salah seorang di antara mereka maju beberapa
langkah lalu berteriak memanggil ikan itu.““Jinnande Teremombonga...!!!”Dalam
sekejap, Jinnande Teremombonga pun datang ke tepi laut. Namun, saat melihat
orang yang berteriak memanggilnya itu bukan tuannya, ikan itu segera kembali
berenang ke tengah laut. “Hai, kenapa ikan itu pergi lagi?” tanya pemuda yang
berteriak tadi.“Ah, barangkali dia takut melihat kamu. Mundurlah! Biar aku yang
mencoba memanggilnya,” kata pemuda yang lainnya seraya maju ke tepi laut.Tidak
berapa lama setelah pemuda itu berteriak memanggilnya, Jinnande Teremombonga
datang lagi. Ketika melihat wajah orang yang memanggilnya tidak sama dengan
wajah tuannya, ia pun segera kembali ke tengah laut. Ketiga pemuda itu mulai kesal
melihat perilaku ikan itu. Mereka pun bingung untuk bisa menangkap ikan
itu.Setelah berembuk, ketiga pemuda tersebut menemukan satu cara, yakni salah
seorang dari mereka akan berteriak memanggil ikan itu, sementara dua orang
lainnya akan menombaknya. Ternyata rencana mereka berhasil. Pada saat ikan itu
datang ke tepi laut, kedua pemuda yang sudah bersiap-siap segera menombaknya.
Ikan itu pun mati seketika. Mereka memotong-motong daging ikan itu lalu
membagi-baginya. Setiap orang mendapat bagian satu pikul. Setelah itu, mereka
membawa pulang bagian masing-masing. Betapa senangnya hati keluarga mereka
saat melihat daging ikan sebanyak itu.Keesokan harinya, La Moelu kembali ke laut
untuk memberi makan ikan kesayangannya itu. Sesampainya di tepi laut, ia pun
segera berteriak memanggilnya.“Jinnande Teremombonga..!!!” Sudah cukup lama
La Moelu menunggu, namun ikan itu belum juga muncul. Berkali-kali ia berteriak
memanggil dengan suara yang lebih keras, tapi ikan itu tak kunjung datang ke tepi
laut. La Moelu pun mulai cemas kalau-kalau terjadi sesuatu dengan Jinnande
Teremombonga.“Ke mana perginya Jinnande Teremombonga? Biasanya, aku hanya
sekali memanggil dia sudah datang. Tapi kali ini, aku sudah berkali-kali
memanggilnya, dia belum juga muncul. Apakah ada orang yang telah
menangkapnya?” gumam La Moelu.Hingga hari menjelang siang, ikan itu tak
kunjung datang. Akhirnya, La Moelu pun kembali ke rumahnya dengan perasaan
kesal dan sedih. Dalam perjalanan pulang, ia selalu memikirkan nasib ikan
kesayangangnya itu. Sesampainya di rumah, ia pun menceritakan hal itu kepada
ayahnya. Namun, sang Ayah tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya
menasehatinya.“Sudahlah, Anakku! Barangkali ikan itu pergi mencari teman-
temannya ke tengah samudra sana,” ujar ayahnya.Pada malam harinya, La Moelu
berkunjung ke rumah salah seorang pemuda yang telah mencuri ikannya. Kebetulan
pada saat itu, pemuda itu sedang makan bersama keluarganya. Saat melihat lauk
yang mereka makan dari daging ikan besar, tiba-tiba La Moelu teringat pada
Jinannande Teremombonga.
“Wah, jangan-jangan ikan yang mereka makan itu si Jinnande
Teremombonge,” pikirnya.La Moelu pun menanyakan dari mana mereka
memperoleh ikan itu. Mulanya, pemuda itu enggan untuk memberitahukannya,
namun setelah didesak oleh La Moelu akhirnya ia pun menceritakan semuanya.“Tadi
pagi aku menangkapnya di tepi laut. Memangnya kenapa, hai anak yatim? Apakah
kamu ingin juga menikmati kelezatan ikan ini?” tanya pemuda itu dengan nada
mengejek.Betapa sedihnya hati La Moelu setelah mendengar cerita pemuda itu.
Ternyata dugaannya benar bahwa lauk yang mereka makan itu adalah daging
Jinnande Teremombonga. Hati La Moelu bertambah sedih ketika pemuda itu
menawarkan daging ikan itu kepadanya, namun yang diberikan kepadanya ternyata
hanya daun pepaya. Meski diperlakukan demikian, La Moelu tidak merasa dendam kepada pemuda
itu. Ketika hendak pulang ke rumahnya, La Moelu memungut tulang ikan yang dibuang oleh pemuda itu.
Ketika sampai di depan rumahnya, ia mengubur tulang ikan itu agar dapat mengenang Jinnande
Teremombonga, ikan kesayangannya. Keesokan harinya, La Moelu dikejutkan oleh sesuatu yang aneh
terjadi pada kuburan itu, di atasnya tumbuh sebuah tanaman. Anehnya lagi, tanaman itu berbatang
emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian. Ia pun segera memberitahukan peristiwa
aneh itu kepada ayahnya. ‘Ayah! Coba lihat tanaman ajaib di depan rumah kita!” ajak La Moelu. Ayah La
Moelu pun segera keluar dari rumah sambil berjalan sempoyongan. Alangkah terkejutnya ketika si tua
renta itu melihat tanaman ajaib itu.“Hai, Anakku! Bagaimana tanaman ajaib ini bisa tumbuh di sini?”
tanya ayah La Moelu dengan heran.La Moelu pun menceritakan semua sehingga tanaman ajaib itu
tumbuh di depan rumah mereka. Ayah La Moelu pun menyadari bahwa itu semua adalah berkat dari
Tuhan Yang Mahakuasa yang diberikan kepada mereka. Akhirnya, mereka pun membiarkan tanaman itu
tumbuh menjadi besar. Para penduduk yang mengetahui keberadaan tanaman ajaib itu silih berganti
berdatangan ingin menyaksikannya. Semakin hari, tanaman itu semakin besar. La Moelu pun mulai
menjual ranting, daun, bunga, dan buahnya sedikit demi sedikit. Uang hasil penjualannya kemudian ia
tabung. Lama kelamaan La Moelu pun menjadi seorang kaya raya yang pemurah di kampungnya. Ia
senantiasa membantu para penduduk yang miskin, termasuk ketiga pemuda yang pernah menangkap
ikan kesayangannya.Tak heran, jika seluruh penduduk di kampung itu sangat hormat dan sayang kepada
La Moelu. La Moelu pun hidup sejahtera dan bahagia bersama ayahnya.

29. GORONTALO
Legenda Bulalo Lo Limutu (Danau Limboto)
Dulunya, kabupaten Limboto merupakan lautan yang di batasi oleh dua
gunung, yaitu gunung Tilongkabila dan gunung Boliohuto. Suatu hari, air laut itu
surut,sehingga membentuk sebuah daratan yang lama kelamaan menjadi hutan
lebat dan penuh semak belukar. Tapi dataran rendahnya sebagian besar masih di
genangi air tawar. Sedangkan mata air yang bersih dan jernih berada di daratan,
tepatnya di tengah - tengah hutan yang sulit banget di jangkau oleh manusia.
Tempat itu di sebut tupalo, dan para bidadari sering mandi di situ. Ketika mereka
sedang mandi, datang seorang cowok yang merupakan jelmaan dari khayangan.
Cowok tersebut bernama Jilumoto. Dia berhasil mengambil sayap milik Mbu'i
Bungale, kakak tertua dari rombongan bidadari - bidadari itu. setelah selesai mandi,
Mbu'i Bungale nyadar kalau sayapnya hilang dan dia ga' bisa balik ke langit bersama
saudara - saudaranya. Di saat itu juga, Jilumoto muncul dari tempat
persembunyiaannya dan berkenalan dengan Mbu'i Bungale. Ga' nyangka ternyata
perkenalan itu berakhir pada sebuah pernikahan. Pasangan suami - istri ini pun
memutuskan untuk menjadi penghuni dunia dan memilih tinggal di Huntu Lo ti'opo
atau bukit kapas.
Suatu saat, Mbu'i Bungale mandapat kiriman sebuah mustika sebesar telur itik dari khayangan.
Mustika itu di sebut Bimelula, yang kemudian di simpan di tupalo dan di tutup dengan sebuah tolu
(tudung). Suatu hari, ada empat orang cowok yang berasal dari bagian timur dan tersesat di tengah
hutan. Mereka mencari air bersih untuk di minum. Akhirnya mereka menemukan tupalo. Begitu melihat
air yang jernih dan dingin itu, mereka langsung terjun, mandi dan mengambil air tersebut. Setelah itu,
mereka melihat ada tolu yang terapung - apung. Mereka pun mendekati dan berniat mengambil tolu itu.
Tiba - tiba suasana berubah. langit yang cerah berubah menjadi gelap. badai dan angin topan, serta
hujan datang bersamaan menerpa mereka. sejenak mereka mencari tempat untuk berlindung. Setelah
hujan dan badainya reda, mereka kembali ke tupalo untuk mencari tau siapa pemilik tolu itu. Ga' lama
kemudian Mbu'i Bungale datang bersama Jilumoto, keempat cowok tadi pun langsung bersembunyi dan
mengintip. Di saat Mbu'i Bungale mendekati tolu, mereka pun langsung menghadang dan berkata
"siapa kalian? buat apa kalian datang ke tempat ini?". Mbu'i Bungale pun menjawab "saya Mbu'i Bungale
dan ini Jilumoto,suami saya. Kami datang ke sini untuk menjemput Bimelula dalam tolu itu." keempat
orang itu menjawab dengan lantang "ini tempat kami,tak seorang pun yang bisa datang ke sini,apalagi
mengambil barang - barang yang ada di sini." Mbu'i Bungale pun balik bertanya " apa buktinya kalau
semua ini milik kalian? Jika kalian yang menguasai mata air dan tolu itu, maka ubahlah mata air itu
menjadi sebuah danau. Dan ku ingatkan kepada kalian bahwa daratan dan mata air ini pemberian Allah
SWT yang di tujukan kepada makhluk yang berbudi pekerti, baik, menghargai sesama dan selalu berkata
jujur. oleh karena itu, jagalah! dan jangan cemarkan!". Tanpa basa - basi, keempat orang itu segera
memasang mantra untuk meluaskan mata air tersebut. Berbagai macam gaya di peragakan seiring
dengan kalimat - kalimat aneh yang keluar dari mulut mereka. Malangnya, mata air tersebut tetap
tenang, tak mengalami perubahan sedikit pun. Hanya tubuh merekalah yang basah kuyup seperti kucing
kehujanan. Mbu'i Bungale tersenyum melihat tingkah mereka, sambil berkata "ayo,keluarkan semua
kekuatan kalian. Buktikan bahwa tempat ini milik kalian. Atau mungkin kalian menyerah dan mengakui
kebohongan kalian..?" salah satu dari mereka menjawab "perlihatkan kepada kami bahwa kamu pemilik
tolu dan Bimelula itu." Mbu'i Bungale kemudian bersedekap dan memohon ijin dan petunjuk dari sang
Penguasa. Lalu ia berkata "Woy air kehidupan, mata air berkah, melebarlah! meluaslah..!" wuuusstt..ga'
lama kemudian terdengarlah gemuruh air, tanah menggelegar, berlahan - lahan mata air itu melebar
dan meluas. Dalam sekejap Mbu'i Bungale dan Jilumoto telah berada di atas pohon, sementara keempat
orang itu memanjat pohon kapuk di sekitar hutan.
Air semakin tinggi dan mulai mencapai puncak pohon, tempat ke empat
tersebut. Mereka berteriak - teriak minta tolong kepada Mbu'i Bungale. Dengan
penuh permohonan mereka berkata "Kami mohon ampun kepadamu dan suamimu.
Kami mengaku salah dan kami akui bahwa tempat ini beserta isinya milik kalian".
Mbu'i Bungale langsung turun dari pohon, lalu datang membawa tolu dan Bimelula.
Kemudian Bimelula itu di letakkkan di atas telapak tangannya ddan tak lama
kemudian keluarlah seorang gadis kecil yang sangat cantik, laksana bulan
bercahaya. gadis itulah yang kemudian di kenal dengan nama Tolango Hula yang
berasal dari Tolango Lo Hula. Dialah yang akan menjadi raja Limboto.

Ketika Mbu'i Bungale dan suaminya bersiap pulang ke rumahnya sambil


membawa si gadis kecil serta keempat orang tadi, mereka melepas pandangan ke
danau yang baru saja di buat. Tiba - tiba Mbu'i Bungale melihat lima benda yang
terapung - apung seperti buah. Diambilnya buah - buah itu dan di cubitnya, lalu di
ciumnya. Ternyata baunya sangat harum. Dia baru sadar bahwa bau itu seperti bau
buah jeruk (limau/lemon) yang ada di negeri khayangan. Selanjutnya memandang
sekeliling danau dan memastikan kalau ada pohon jeruk yang tumbuh di sekitar
danau. Kemudian ia memanggil suaminya untuk memastikan "Kanda, bukankah ini
jeruk yang tumbuh di khayangan? aku merasa yakin,karena bau dan bentuk dari
buah ini." Suaminya mendekatinya dan ikut memegang buah tersebut dan kemudian
mengiakan pernyataan yang telah di katakan oleh istrinya. Mbu'i Bungale kemudian
berkata "Aku heran, bukankah tidak pohon jeruk yang tumbuh di sekitar tempat ini,
mengapa buah jeruk ini bisa berada di danau ini, mungkin ini anugerah yang di
berikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Ku pikir,kejadian ini perlu di abadikan sebagai
nama dari danau ini. Dan itu artinya, danau ini pantas di beri nama Bulalo Lo Limu o
Tutu, yang artinya danau dari jeruk yang berasal dari khayangan."

30. MALUKU
Si Rusa dan Si Kulomang
Rusa di Kepulauan Aru mempunyai kemampuan berlari dengan sangat
cepat. Namun, karena kelebihan itu, mereka menjadi hewan yang sombong dan serakah. Demi
kesenangan, mereka menantang hewan lain untuk berlomba lari. Lawan yang berhasil dikalahkan harus
menyerahkan tempat tinggal mereka kepada rusa. Tentu saja rusa yang jadi pemenangnya. Sudah
banyak wilayah di Kepulauan Aru yang berhasil mereka kuasai. Luasnya wilayah mereka membuat rusa
semakin merasa berkuasa. Mereka mengganggap diri mereka bangsa penguasa pulau.

Di tempat lain, di tepian Pulau Aru, terdapat sebuah pantai yang sangat indah. Deburan ombak
yang lembur, tiupan angin yang sejuk, dan hamparan pasir yang hangat membuat siapa pun yang
berada di sana merasa nyaman. Di sanalah hidup siput laut yang terkenal sebagai hewan yang cerdik dan
sabar. Mereka hidup bersama dan saling tolong-menolong. Mereka sadar akan kelemahan tubuh
mereka. Tapi, mereka percaya bahwa kekuatan otak tidak kalah dengan kekuatan apapun. Pada suatu
hari, rusa menantang siput yang bernama Kulomang untuk bertanding. Selain ingin menguasai
keindahan pantai, rusa ingin memuaskan hati dengan menambah koleksi kemenangan. Rusa sangat
yakiin dapat mengalahkan siput. Di seluruh pulau, siputlah binatang yang terkenal paling lambat
berjalan. Berjalan dan berlari tidak terlihat bedanya. Selain itu, siput selalu membawa cangkang yang
ukurannya melebihi tubuh mereka. Bagi rusa, tidak ada halangan yang mengganggunya untuk
memenangkan pertandingan. Tapi, ada satu hal yang dilupakan rusa, siput adalah binatang yang
terkenal dengan kecerdikannya.
Hari pertandingan pun tiba. Rusa membawa rombongannya untuk
menyaksikan pertandingan dengan wajah optimis. Tak mau kalah, siput juga
membawa sepuluh temannya. Masing-masing dari mereka ditempatkan di setiap
pemberhentian yang telah ditentukan. Dia meminta agar teman-temannya
membalas setiap perkataan rusa. Jalur yang akan mereka pakai, melewati 11
tempat peristirahatan termasuk tempat dimulainya pertandingan. Dia sendiri akan
berada di garis start bersama rusa sombong.
“Sudah siap menerima kekalahan, siput?” tantang rusa dengan congkaknya.
“Siapa takut?!” ujar siput pendek.
Pertandingan pun dimulai. Si rusa lari secepat kilat mendahului siput.
Sementara siput berjalan dengan tenang ke arah semak-semak. Beberapa jam
kemudian, rusa sudah sampai ke pos pemberhentian pertama. Napasnya naik turun
dengan cepat. Sambil bersandar kelelahan di pohon yang rimbun, rusa bergumam.
“Baru sampai mana si lambat itu berlari? Hihihihi…?”

“Sampai di belakangmu,” jawab teman siput yang sudah bersiaga di semak-


semak.
Rusa kaget siput sudah berada di dekatnya. Saking terkejutnya rusa, ia
langsung melonjak dan lari tunggang langgang. Tidak dipedulikannya rasa lelah
yang dirasakannya. Rusa terus saja berlari. Sampai-sampai, dia tidak berhenti di
pos kedua. Di pos ketiga, dia kelelahan. Dia berhenti sebentar untuk mengatur
napasnya.
“Sekarang, tidak mungkin siput mampu mengejarku!” kata rusa disela
engahnya.
“Mengapa berpikir begitu?” ujar teman siput yang lain santai, membalas
ucapan rusa.
Tanpa berpikir panjang, rusa berlari lagi.
“Tidak ada yang boleh mengalahkanku! Apa kata rusa yang lain kalau aku mempermalukan
bangsa sendiri?!” kata rusa pada dirinya sendiri.
Rusa terus berlari dan berlari. Tidak lupa di setiap pemberhentian, dia memastikan keberadaan
si siput. Tentu saja teman siput siap menjawab segala perkataan rusa. Memasuki pos ke 11, rusa sudah
kehabisan napas. Saking lelahnya, rusa jatuh tersungkur dan mati. Semua binatang yang pernah
diremehkan rusa bersorak-sorak. Akhirnya, siput berhasil mengalahkan rusa yang sombong dengan cara
memperdayainya.

31. MALUKU UTARA


Asal Mula Telaga Biru
Dahulu kala Di provinsi Maluku, di daerah Halmahera terdapat sebuah air di
antara pembekuan lahar panas. Karena menggenang dalam waktu yang cukup lama.
Sehingga membuat airnya menjadi berubah warna menjadi biru. Karena peristiwa ini
aneh, penduduk desa di daearah sana membuat acara ritual untuk menemukan
jawaban atas kejadian ini.

“Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake
majobubu” Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata,
mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air. Itulah arti kejadian tersebut, yang
ditemukan berkat ritual.
Setelah Ritual itu selesai di lakukan maka, Kepala Desa menyuruh warganya
untuk berkumpul di pusat desa. Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya “Di
antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak berada di
rumah”. Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung
jumlah anggota keluarganya. Akhirnya diketahui bawa ada dua keluarga yang
anggotanya belum lengkap. Mereka adalah Majojaru (nona) dan Magohiduuru
(nyong). Setelah itu salah seorang dari warga bercerita tentang mereka berdua.
Dulu ada Sepasang Kekasih yang berjanji untuk sehidup semati. Mereka
bernama Majojaru dan Magohiduuru. Suatu hari Magohiduuru pergi berkelana ke
negeri seberang, selama hampir satu tahun Magohiduuru belum juga kembali.
Majojaru yang terus menunggu dengan setia lama kelamaan menjadi cemas. Suatu
hari Majojaru melihat kapal yang dinaiki Magohiduuru datang. Namun Setelah
bertanya dengan awak kapal di mendengar bahwa Magohiduuru sudah meninggal
dunia ketika di negeri seberang.
Mendengar Kabar tentang Magohiduuru, Majojaru terhempas ke tanah.
Mereka berjanji sehidup semati, tetapi sekarang Magohiduuru telah tiada. Kabar
yang di dengarnya membuat dia seakan – akan kehilangan dirinya sendiri dan
tujuan hidupnya.
Hati yang sedih menyelimuti raut muka Majojaru, muka yang tidak punya
harapan hidup tampak dari raut wajahnya. Dengan perlahan – lahan di berjalan menuju ke
rumahnya, di tengah perjalanan dia berteduh di sebuah pohon, dan bebatuan. Merenung dan meratapi
nasibnya, pikirannya melayang layang, lalu teringat akan kekasihnya Magohiduuru. Air mata keluar dari
matanya setetes demi setetes, hingga tiga hari tiga malam telah terlewati. Air matanya yang terus
mengalir, lama-kelamaan, semakin banyak hingga menggenangi dirinya sendiri. Majojaru larut dalam
kesedihan, dan tanpa di sadari air matanya menggenang tinggi, hingga menenggelamkan bebatuan
tempat ia duduk, lama kelamaan ia pun ikut tenggelam dan meninggal dunia di sana.
Telaga kecil pun terbentuk dari Air mata Majojaru. Airnya sebening air mata
dan warnanya sebiru pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun
berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga itu. Telaga yang
berasal dari tetesan air mata itu lama – lama airnya berubah menjadi kebiru –
biruan, sehingga penduduk di dearah sana, memberi nama Telaga Biru.

32. PAPUA BARAT


Caadara
Suatu saat, hiduplah seorang panglima perang bernama Wire. Ia tinggal di
desa Kramuderu. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Caadara.
Sejak kecil Caadara dilatih ilmu perang dan bela diri oleh ayahnya. Wire
berharap, kelak anaknya bisa menggantikannya sebagai panglima perang yang
tangguh.
Tahun berganti. Caadara tumbuh menjadi pemuda yang gagah. Caadara juga
tangkas dan cakap. Wire ingin menguji kemampuan anaknya. Karena itulah ia
menyuruh pemuda itu berburu di hutan.
Caadara mengumpulkan teman-temannya. Lalu mereka berangkat berburu.
Mereka berjalan melewati jalan setapak dan semak belukar. Di hutan mereka
menemui banyak binatang. Mereka berhasil menombak beberapa binatang.
Dari hari pertama sampai hari keenam, tak ada rintangan yang berarti untuk
Caadara dan anak buahnya. Tapi esok harinya mereka melihat anjing pemburu.
Kedatangan anjing itu menandakan bahaya yang akan mengancam.
Caadara dan anak buahnya segera siaga. Mereka menyiapkan busur, anak
panah, kayu pemukul, dan beberapa peralatan perang. Mereka waspada.
Tiba-tiba terdengar pekikan keras. Sungguh menakutkan! Anak buah Caadara
ketakutan. Tapi Caadara segera menyuruh mereka membuat benteng pertahanan.
Mereka menuju tanah lapang berumput tinggi. Tempat itu penuh semak belukar. Di
sana mereka membangun benteng untuk menangkis serangan musuh.
Tiba-tiba muncullah 50 orang suku Kuala. Mereka berteriak dan menyerang
Caadara dan anak buahnya. Tongkat dan tombak saling beradu. Sungguh
pertempuran yang seru. Caadara tidak gentar. Ia memimpin pertempuran dengan
semangat tinggi. Padahal jumlah anak buahnya tak sebanding dengan jumlah
musuh.
Caadara berhasil merobohkan banyak musuh. Sedangkan musuh yang tersisa
melarikan diri.
Betapa kagumnya teman-teman Caadara melihat anak panglima perang Wire.
Mereka segan dan kagum padanya. Mereka pulang sambil mengelu-elukan Caadara.
Kampung gempar dibuatnya. Wire sungguh bangga. Ia juga terharu sehingga
berlinang air mata. Tak sia-sia latihan yang diberikan pada Caadara.
Kampung gempar mendengarnya. Ayahnya terharu dan berlinang air mata.
Pesta malam hari pun diadakan. Persiapan menyerang suku Kuala pun diadakan,
karena mereka telah menyerang Caadara.
Esok harinya, Caadara diberi anugerah berupa kalung gigi binatang, bulu
kasuari yang dirangkai indah, dengan bulu cendrawasih di tengahnya.
Kemudian masyarakat desa mempelajari Caadara Ura, yaitu taktik perang
Caadara. Taktik itu berupa melempar senjata, berlari, menyerbu dengan senjata,
seni silat jarak dekat, dan cara menahan lemparan kayu. Nama Caadara kemudian
tetap harum. Ia dikenal sebagai pahlawan dari desa itu.

33. PAPUA
Asal Mula Nama Irian
Dahulu kala, di Kampung Sopen, Biak Barat tinggal sebuah keluarga yang
memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut bernama Mananamakrdi.
Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis,
sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Maka, saudara-saudaranya selalu
meminta Mananamakrdi tidur di luar rumah. Jika Mananamakrdi melawan, tak
segan-segan saudara-saudaranya akan menendangnya keluar hingga ia merasa
kesakitan.
Suatu hari, saudara-saudaranya sudah tak tahan dengan bau kudis itu. Maka,
Mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke
arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu yang tertambat.
Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah daratan yang tak lain adalah
Pulau Miokbudi di Biak Timur.
Ia membuat gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi memangkur
sagu untuk mencukupi kebutuhan makannya. Selain itu, ia juga membuat tuak dari
bunga kelapa. Kebetulan di hutan itu terdapat beberapa pohon kelapa yang dapat
disadapnya. Setiap sore, ia memanjat kelapa, kemudian memotong manggarnya. Di
bawah potongan itu diletakkan ruas bambu yang diikat. Hari berikutnya, ia tinggal
mengambil air nira itu kemudian dibuat tuak. Suatu siang, ia amat terkejut, nira di
dalam tabungnya telah habis tak bersisa. Mananamakrdi sangat kesal. Malam itu ia
duduk di pelepah daun kelapa untuk menangkap pencurinya. Hingga larut malam
pencuri itu belum datang. Menjelang pagi, dari atas langit terlihat sebuah makhluk
memancar sangat terang mendekati pohon kelapa tempat Mananamakrdi
bersembunyi. Makhluk itu kemudian meminum seluruh nira. Saat ia hendak lari,
Mananamakrdi berhasil menangkapnya. Makhluk itu meronta-ronta.
“Siapa kamu?” tanya Mananamakrdi.
“Aku Sampan, si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku, matahari
hampir menyingsing,” katanya memohon.
“Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik,” pinta
Mananamakrdi.
“Sabarlah, di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis yang
kamu inginkan sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu, kemudian
lemparkan satu buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan menjadi istrimu,” kata Sampan.
Mananamakrdi kemudian melepaskan Sampan.
Sejak itu setiap sore Mananamakrdi duduk di bawah pohon bitanggur memperhatikan gadis-
gadis yang mandi. Suatu sore, dilihatnya seorang gadis cantik mandi seorang diri. Gadis itu tak lain
adalah Insoraki, putri kepala suku dari Kampung Meokbundi. Segera dipanjatnya pohon bitanggur.
Kulitnya terasa sakit bergesekan dengan pohon bitanggur yang kasar itu. Diambilnya satu buah
bitanggur, dan dilemparnya ke laut.
Bitanggur itu terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki hingga ia merasa
terganggu. Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu kembali terbawa
air dan mengenai Insoraki. Kejadian itu berlangsung berulang-ulang hingga Insoraki
merasa jengkel. Ia kemudian pulang.
Beberapa hari kemudian, Insoraki hamil. Kejadian aneh di pantai ia ceritakan
kepada orangtuanya. Tentu saja orangtuanya tak percaya. Beberapa bulan
kemudian, Insoraki melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat lahir, bayi itu tak
menangis, namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian, diadakan pesta
pemberian nama. Anak itu diberi nama Konori. Mananamakrdi hadir dalam pesta itu.
Saat pesta tarian berlangsung, tiba-tiba Konori berlari dan menggelendot di kaki
Mananamakrdi. “Ayaaah ...,” teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta tarian
kemudian terhenti.
Akhirnya, Isoraki dan Mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala suku dan penduduk kampung
merasa jijik dengan Mananamakrdi. Mereka pun meninggalkan kampung dengan membawa semua
ternak dan tanamannya. Jadilah kampung itu sepi. Hanya Mananamakrdi, Insoraki, dan Konori yang
tinggal. Suatu hari, Mananamakrdi mengumpulkan kayu kering, kemudian membakarnya. Insoraki dan
Konori heran. Belum hilang rasa heran itu, tiba-tiba Mananamakrdi melompat ke dalam api. Spontan,
Insoraki dan Konori menjerit. Namun ajaib, tak lama kemudian Mananamakrdi keluar dari api itu dengan
tubuh yang bersih tanpa kudis. Wajahnya sangat tampan. Anak dan istrinya pun gembira.
Mananamakrdi kemudian menyebut dirinya Masren Koreri yang berarti pria yang suci. Beberapa lama
kemudian, Mananamakrdi mengheningkan cipta, maka terbentuklah sebuah perahu layar. Ia kemudian
mengajak istri dan anaknya berlayar sampai di Mandori, dekat Manokwari.
Pagi-pagi buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya tanah berbukit-
bukit yang amat luas. Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar pagi. Tampak
pegunungan yang amat cantik. Tak lama kemudian matahari bersinar terang, udara
menjadi panas, dan kabut pun lenyap.
“Ayah ... Irian. Iriaaan,” teriak Konori. Dalam bahasa Biak, irian berarti panas.
“Hai, Anakku, jangan memekik begitu. Ini tanah nenek moyangmu,” kata Mananamakrdi.
“Iya, Ayah. Maksud Konori, panas matahari telah menghapus kabut pagi,
pemandangan di sini indah sekali,” kata Konori.
Konon, sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama Irian. Air laut
yang membiru, pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau, dan burung
cendrawasih yang anggun dan molek membuat Irian begitu indah.

Anda mungkin juga menyukai