Cerita Rakyat 33 Provinsi Di Indonesia
Cerita Rakyat 33 Provinsi Di Indonesia
Ahmad terkejut mendengar suara rintihan minta tolong yang tiba-tiba itu. Dia
pun mencari sumber suara itu dan menemukannnya di salah satu kamar di rumah
itu. Ternyata itu adalah suara anak perempuan Wak Minah yang hilang. Anak itu
meringkuk di sudut sambil menangis tersedu-sedu. Tahulah Ahmad sekarang kalau
itu adalah rumah geugasi yang dia cari. Dia pun menenangkan anak wak Minah dan
berjanji akan memulangkannya pada ibunya.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara orang yang berjalan dengan begitu
keras. Rasa-rasanya bumi bergoyang ketika tapak-tapak itu menghantam tanah. “Itu
pastilah geugasi,” pikir Ahmad. Dia pun memikirkan ide agar mereka selamat.
Geugasi yang baru saja mencari makanan akhirnya tiba di halaman
rumahnya. Lalu dia berhenti dan hidungnya naik-turun berkali-kali. “Aku mencium
bau manusia….” ucapnya dengan begitu keras. Tiba-tiba terdengar suara-suara
tapak yang begitu keras di dalam rumah. Kening geugasi itu berkerut.
“Siapa di dalam?” tanyanya penasaran.
“Geugasa,” jawab Ahmad dengan suara yang keras sambil meloncat-loncat di
lantai.
Geugasi berpikir bahwa geugasa itu juga sejenis raksasa. Dia pun bertanya
lagi, “Coba kulihat gigimu!”
Ahmad melempar buah pinang. Si geugasi terkejut melihat gigi geugasa lebih
besar dari giginya. Dia pun melanjutkan pertanyaannya, “Coba kulihat kumismu!”
Ahmad mengambil satu gumpalan bulu ijuk yang lebat dan melemparnya keluar. Si geugasi
lagi-lagi terkejut melihat kumis geugasa yang begitu lebat itu. Dia memegang kumisnya yang hanya
setengah dari gumpalan kumis si geugasa itu. Dia pun bertanya lagi, “Coba kulihat tahimu!”
Ahmad pun melempar buah kelapa yang besar dan tua. Si gugasi sangat terkejut
melihat tahi geugasa yang begitu besar itu. Dia berpikir, kalau gigi dan tahinya sebesar itu dan kumisnya
selebat itu, bagaimanakah besarnya geugasa itu. “Oh, pastilah dia amat sangat besar…. Pastilah aku
mati kalau berhadapan dengannya,” ucap geugasi pada dirinya sendiri.
“Aku sangaat lapaarrr…. apakah ada makanan disini?” ucap Ahmad dengan
suara yang dikeras-keraskan.
Mendengar itu, badan geugasi langsung gemetar, keringat dingin mulai
keluar, dan mukanya menjadi tegang. Jelas sekali dia ketakutan. “Aaarrrgghhhhh……
kenapa tidak ada apa-apa di sini? Lebih baik aku keluar saja. Pasti ada makanan di sana.”
Tubuh geugasi makin bergetar hebat karena mendengar ucapan geugasa.
Tanpa menunggu waktu lagi, dia berbalik arah hendak melarikan diri, tapi Ahmad
dengan cekatan mengambil tombak dan melemparnya ke arah geugasi. Tombak itu
menancap mulus di punggung geugasi hingga tembus ke perutnya. Dia mengerang
begitu keras. Ahmad pun mengambil tombak satu lagi dan melemparnya lagi hingga
menancap di kepala geugasi yang berambut lebat dan panjang. Geugasi itu pun
tersungkur di tanah. Dia mati.
Ahmad dan anak wak Minah turun dan melihat geugasi yang sudah tak bernyawa itu. Lalu
mereka pulang dan setiba di sana mereka mengabarkan pada seluruh warga di kampung bahwa mereka
telah membunuh geugasi. Semua orang sangat senang, apalagi Wak Minah dan ibu si Ahmad karena
melihat anaknya kembali dengan selamat. Akhirnya kampung itu kembali aman dan damai.
2. SUMATERA UTARA
Asal-Usul Danau Toba
Di Sumatera Utara terdapat danau yang sangat besar dan ditengah-tengah
danau tersebut terdapat sebuah pulau. Danau itu bernama Danau Toba sedangkan
pulau ditengahnya dinamakan Pulau Samosir. Konon danau tersebut berasal dari
kutukan dewa.
Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang petani
yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi
kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah
cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari
yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari ini aku
mendapat ikan yang besar,” gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah
kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani itu bersorak
kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.
Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning
emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan
yang menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu
jika kau tidak jadi memakanku.” Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan
itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian
tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita.
“Bermimpikah aku?,” gumam petani.
“Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang
budi padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu.
“Namaku Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu,” kata gadis itu seolah
mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri.
Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan
bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi
petaka dahsyat.
Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama
petani tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,” gumam mereka. Petani merasa sangat
bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan
mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu
hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk
yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. “Aku tahu Petani itu pasti memelihara makhluk
halus! ” kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke telinga Petani dan Puteri. Namun mereka
tidak merasa tersinggung, bahkan semakin rajin bekerja.
Setahun kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena istri
Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan
mereka tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang
sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu
kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar.
Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.
Lama kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh
membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan
Petani agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau
bagaimanapun dia itu anak kita!” kata Petani kepada istrinya. “Syukurlah, kanda
berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji
Puteri kepada suaminya.
Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu. Pada suatu hari,
Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang
bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil
menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang bermain bola. Petani
menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung !Tak tahu diri ! Dasar anak
ikan !,” umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.
Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan
istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba
menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Petani dan desa
sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk
sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal
dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan
nama Pulau Samosir.
3. SUMATERA BARAT
Malin Kundang
Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga di pesisir pantai wilayahSumatra.
Keluarga itu mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin Kundang. Karena
kondisi keluarga mereka sangat memprihatinkan, maka ayah malin memutuskan
untuk pergi ke negeri seberang.
Besar harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti ayahnya pulang dengan
membawa uang banyak yang nantinya dapat untuk membeli keperluan sehari-hari.
Setelah berbulan-bulan lamanya ternyata ayah malin tidak kunjung datang, dan
akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan ibunya.
Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya
melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah
Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?",
katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan
mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata
Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan
ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin
Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar
mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-
mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak
durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata
"Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian
angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu
tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah
batu karang.
4. SUMATERA SELATAN
Asal Mula Nama Palembang
Pada zaman dahulu, daerah Sumatra Selatan dan sebagian Provinsi Jambi
berupa hutan belantara yang unik dan indah. Puluhan sungai besar dan kecil yang
berasal dari Bukit Barisan, pegunungan sekitar Gunung Dempo, dan Danau Ranau
mengalir di wilayah itu. Maka, wilayah itu dikenal dengan nama Batanghari
Sembilan. Sungai besar yang mengalir di wilayah itu di antaranya Sungai Komering,
Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Rawas, dan beberapa sungai yang bermuara
di Sungai Musi. Ada dua Sungai Musi yang bermuara di laut di daerah yang
berdekatan, yaitu Sungai Musi yang melalui Palembang dan Sungai Musi Banyuasin
agak di sebelah utara.
Karena banyak sungai besar, dataran rendah yang melingkar dari daerah
Jambi, Sumatra Selatan, sampai Provinsi Lampung merupakan daerah yang banyak
mempunyai danau kecil. Asal mula danau-danau kecil itu adalah rawa yang
digenangi air laut saat pasang.
Sedangkan kota Palembang yang dikenal sekarang menurut sejarah adalah sebuah pulau di
Sungai Melayu. Pulau kecil itu berupa bukit yang diberi nama Bukit Seguntang Mahameru.
Keunikan tempat itu selain hutan rimbanya yang lebat dan banyaknya danau-danau kecil, dan
aneka bunga yang tumbuh subur, sepanjang wilayah itu dihuni oleh seorang dewi bersama dayang-
dayangnya. Dewi itu disebut Putri Kahyangan. Sebenarnya, dia bernama Putri Ayu Sundari. Dewi dan
dayang-dayangnya itu mendiami hutan rimba raya, lereng, dan puncak Bukit Barisan serta kepulauan
yang sekarang dikenal dengan Malaysia. Mereka gemar datang ke daerah
Batanghari Sembilan untuk bercengkerama dan mandi di danau, sungai yang
jernih, atau pantai yang luas, landai, dan panjang.
Karena banyaknya sungai yang bermuara ke laut, maka pada zaman itu para
pelayar mudah masuk melalui sungai-sungai itu sampai ke dalam, bahkan sampai
ke kaki pegunungan, yang ternyata daerah itu subur dan makmur. Maka terjadilah
komunikasi antara para pedagang termasuk pedagang dari Cina dengan penduduk
setempat. Daerah itu menjadi ramai oleh perdagangan antara penduduk setempat
dengan pedagang. Akibatnya, dewi-dewi dari kahyangan merasa terganggu dan
mencari tempat lain.
Sementara itu, orang-orang banyak datang di sekitar Sungai Musi untuk
membuat rumah di sana. Karena Sumatra Selatan merupakan dataran rendah yang
berawa, maka penduduknya membuat rumah yang disebut dengan rakit.
Saat itu Bukit Seguntang Mahameru menjadi pusat perhatian manusia karena
tanahnya yang subur dan aneka bunga tubuh di daerah itu. Sungai Melayu tempat
Bukit Seguntang Mahameru berada juga menjadi terkenal.
Oleh karena itu, orang yang telah bermukim di Sungai Melayu, terutama
penduduk kota Palembang, sekarang menamakan diri sebagai penduduk Sungai
Melayu, yang kemudian berubah menjadi penduduk Melayu.
Menurut bahasa Melayu tua, kata lembang berarti dataran rendah yang
banyak digenangi air, kadang tenggelam kadang kering. Jadi, penduduk dataran
tinggi yang hendak ke Palembang sering mengatakan akan ke Lembang. Begitu juga
para pendatang yang masuk ke Sungai Musi mengatakan akan ke Lembang.
Alkisah ketika Putri Ayu Sundari dan pengiringnya masih berada di Bukit
Seguntang Mahameru, ada sebuah kapal yang mengalami kecelakaan di pantai
Sumatra Selatan. Tiga orang kakak beradik itu ada*lah putra raja Iskandar Zulkarnain. Mereka
selamat dari kecelakaan dan terdampar di Bukit Seguntang Mahameru.
Mereka disambut Putri Ayu Sundari. Putra tertua Raja Iskandar Zulkarnain,
Sang Sapurba kemudian menikah dengan Putri Ayu Sundari dan kedua saudaranya
menikah dengan keluarga putri itu.
Karena Bukit Seguntang Mahameru berdiam di Sungai Melayu, maka Sang Sapurba dan istrinya
mengaku sebagai orang Melayu. Anak cucu mereka kemudian berkembang dan ikut kegiatan di daerah
Lembang. Nama Lembang semakin terkenal. Kemudian ketika orang hendak ke Lembang selalu
mengatakan akan ke Palembang. Kata pa dalam bahasa Melayu tua menunjukkan daerah atau lokasi.
Pertumbuhan ekonomi semakin ramai. Sungai Musi dan Sungai Musi Banyuasin menjadi jalur
perdagangan kuat terkenal sampai ke negara lain. Nama Lembang pun berubah
menjadi Palembang
Dalam sejarah lain dikisahkan kata Palembang berasal dari kata Palimbangan
yang berarti aktivitas orang yang melimbang/menambang emas di sekitar Sungai
Musi.
5. KEPULAUAN RIAU
Putri Pandan Berduri
Alkisah pada jaman dulu di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, hiduplah orang
orang Suku Laut yang dipimpin oleh Batin Lagoi. Pemimpin Suku Laut ini merupakan
seorang yang santun dan memimpin dengan adil. Tutur katanya yang lemah lembut
terhadap siapa saja membuat masyarakat Suku Laut sangat mencintai pemimpin
mereka itu.
Guna mengetahui keadaan rakyatnya, Batin Lagoi senantiasa berkeliling.
Pada suatu hari, Batin Lagoi berjalan menyusuri pantai yang disekitarnya penuh
ditumbuhi semak pandan. Sayup sayup telinga Batin Lagoi menangkap suara
tangisan bayi. “Anak siapa itu yang menangis di tempat seperti ini ?’, pikirnya heran
sambil memandang sekeliling. Karena ia tak melihat seorangpun, Batin Lagoi
meneruskan langkahnya.
Baru beberapa langkah, Batin Lagoi kembali mendengar suara tangisan bayi
yang kini semakin jelas. Batin Lagoi kembali memandang sekeliling, namun ia tak
jua melihat seorangpun disana. Karena penasaran, Batin Lagoi mengikuti asal suara
tangisan yang membawanya ke semak semak pandan. Batin Lagoi menginjak semak
semak itu dengan hati hati. Suara tangisan bayi terdengar semakin keras. Batin
Lagoi tercengang melihat seorang bayi perempuan yang diletakkan diatas dedaunan
yang kini berada di depannya.
Rasa heran kembali menyergap Batin Lagoi. ‘Siapa gerangan yang meletakkan bayinya disini ?’,
gumamnya pelan. Batin Lagoi terdiam sejenak. Setelah memastikan tak ada orang di sekitar situ, Batin
Lagoi memutuskan untuk membawa pulang bayi perempuan yang cantik itu.Sang bayipun berhenti
menangis ketika Batin Lagoi menggendongnya.
Batin Lagoi merawat bayi perempuan itu dengan penuh kasih sayang bak
anaknya sendiri. Terkadang ia merasa bayi itu memang diberikan Tuhan untuknya.
Bayi perempuan yang diberinya nama Putri Pandan Berduri itu sungguh membawa
kebahagiaan bagi Batin Lagoi yang selama ini hidup sendiri.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Putri Pandan Berduri telah tumbuh
menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Bukan hanya parasnya yang menawan,
Putri Pandan Berduri juga memiliki sikap yang sangat anggun dan santun layaknya
seorang putri. Tutur katanya yang lembut membuat masyarakat Suku Laut
mencintainya.
Banyak pemuda yang terpikat akan kecantikan Putri Pandan Berduri. Meski
demikian tak seorangpun berani meminangnya. Batin Lagoi memang berharap agar
putrinya itu berjodoh dengan anak seorang raja atau pemimpin suatu daerah.
Tersebutlah seorang pemimpin di Pulau Galang yang memiliki dua orang
putera bernama Julela dan Jenang Perkasa. Sedari kecil kakak beradik itu hidup
rukun. Kerukunan itu sirna ketika sang ayah mengatakan bahwa sebagai anak
tertua, Julela akan menggantikan dirinya sebagai pemimpin di Pulau Galang kelak.
Sejak itu, Julela berubah perangai menjadi angkuh. Ia bahkan mengancam Jenang
Perkasa agar selalu mengikuti setiap perkataannya sebagai calon pemimpin.
Jenang Perkasa sungguh kecewa akan sikap kakaknya. Akhirnya ia
memutuskan untuk meninggalkan Pulau Galang. Berhari hari ia berlayar tanpa
mengetahui arah tujuan hingga tiba di Pulau Bintan. Jenang Perkasa tak pernah
mengaku sebagai anak pemimpin Pulau Galang. Sehari hari ia bekerja sebagai
pedagang seperti orang kebanyakan.
Sebagai seorang pendatang, Jenang Perkasa cepat menyesuaikan diri.
Sikapnya yang sopan dan gaya bahasanya yang halus membuat kagum setiap
orang. Mereka tak habis pikir bagaimana seorang pemuda biasa memiliki sifat
seperti itu. Akibatnya Jenang Perkasa menjadi bahan pembicaraan di seluruh pulau.
Cerita tentang Jenang Perkasa sampai juga di telinga Batin Lagoi. Ia sangat penasaran untuk
mengenal pemuda itu secara langsung. Agar tak mencolok, Batin Lagoi menyelenggarakan acara makan
malam dengan mengundang seluruh tokoh terkemuka di Pulau Bintan. Ia juga mengundang
Jenang Perkasa dalam acara itu.
Jenang Perkasa yang sebenarnya heran mengapa dirinya diundang Batin
Lagoi, datang memenuhi undangan. Sejak kedatangannya, Batin Lagoi senantiasa
memperhatikan gerak gerik Jenang Perkasa. Caranya bersikap, berbicara, bahkan
sampai caranya bersantap diamati Batin Lagoi diam diam.Tak dapat dipungkiri, Batin
Lagoi sangat terkesan terhadap Jenang Perkasa. Terbersit dihatinya untuk menjodohkan
Jenang Perkasa dengan Putri Pandan Berduri. Batin Lagoi sepertinya lupa akan
keinginannya untuk menikahkan putrinya dengan seorang pangeran atau calon
pemimpin.
Tak mau membuang kesempatan, Batin Lagoi segera menghampiri Jenang
Perkasa. ‘Wahai anak muda, sudah lama aku mendengar kehalusan budi
pekertimu..’, katanya membuka percakapan. Jenang Perkasa hanya tersenyum
sopan mendengar kata kata pemimpin Pulau Bintan itu. “Malam ini aku telah
membuktikkannya sendiri’, lanjut Batin Lagoi sambil menatap Jenang Perkasa yang
menunduk malu mendengar pujian Batin Lagoi. “Aku pikir, alangkah senangnya
hatiku jika kau bersedia kunikahkan dengan putriku..”
Jenang Perkasa sungguh terkejut mendengar tawaran Batin Lagoi. Ia mengusap usap
lengannya untuk memastikan dirinya tak sedang bermimpi. Ia sama sekali tak
menyangka ayah seorang perempuan cantik bernama Putri Pandan Berduri meminta
kesediaan dirinya untuk dijadikan menantu. Jenang Perkasa tentu saja tak mau
membuang kesempatan emas itu. Ia segera mengangguk setuju sambil tersenyum
memandang Batin Lagoi.
Beberapa hari kemudian Batin Lagoi menikahkan Putri Pandan Berduri dengan
Jenang Perkasa. Pesta besar digelar untuk merayakan pernikahan putri semata
wayangnya itu. Seluruh warga Pulau Bintan diundang untuk hadir. Para undangan
merasa senang melihat Putri Pandan Berduri bersanding dengan Jenang Perkasa
yang terlihat sangat serasi.
Putri Pandan Berduri hidup bahagia dengan Jenang Perkasa. Apalagi tak lama
kemudian, Batin Lagoi yang merasa sudah tua mengangkat menantunya itu untuk
menggantikan dirinya menjadi pemimpin di Pulau Bintan. Jenang Perkasa yang
memang anak seorang pemimpin itu rupanya mewarisi bakat kepemimpinan
ayahnya. Ia mampu menjadi pemimpin yang disegani sekaligus dicintai rakyatnya.
Ia juga menolak untuk kembali ketika warga Pulau Galang yang mendengar cerita
tentang dirinya memintanya untuk menggantikan kakaknya.
Pernikahan Putri Pandan Berduri dengan Jenang Perkasa dikaruniai tiga orang
anak yang diberi nama dengan adat kesukuan. Batin Mantang menjadi kepala suku
di utara Pulau Bintan, Batin Mapoi menjadi kepala suku di barat Pulau Bintan, dan
Kelong menjadi kepala suku di timur Pulau Bintan. Adapun adat suku asal mereka
yaitu Suku Laut tetap menjadi pedoman bagi mereka. Hingga kini Putri Pandan
Berduri dan Jenang Perkasa yang telah lama tiada masih tetap dikenang oleh Suku
Laut di perairan Pulau Bintan.
6. RIAU
Legenda Ikan Patin
Pada zaman dahulu, di Tanah Melayu hidup seorang nelayan tua bernama
Awang Gading. Dia tinggal sendirian di tepi sebuah sungai yang luas dan jernih.
Walaupun hidup seorang diri, Awang Gading selalu berbahagia. Dia mensyukuri
setiap nikmat yang diberikan Tuhan. Hari-harinya dihabiskan untuk bekerja mencari
ikan dan kayu.
Suatu hari, Awang Gading mengail di sungai. Sambil berdendang riang, dia
menunggui kailnya. Burung-burung turut berkicau menambah kegembiraan Awang
Gading. Sayang, sudah berkali-kali umpannya dimakan ikan, namun saat kailnya di
tarik, ikannya terlepas lagi.
"Air pasang telan ke ingsang, air surut telan ke perut,renggutlah....! Biar
putus jangan rabut," terdengar dendang Awang Gading sambil melempar
pancingnya kembali. Perlahan hari beranjak petang, namun tak seekor ikan pun di
perolehnya. "Alangkah tidak beruntungnya diriku hari ini," keluh Awang Gading. Ia
bergegas membereskan peralatan pancingnya dan berniat pulang. Tiba-tiba
terdengar suara tangis bayi, dengan penasaran Awang Gading mencari asal suara
tersebut. Tak lama kemudian, Awang Gading melihat bayi perempuan tergolek di
atas batu. Sepertinya dia baru saja di lahirkan oleh ibunya lalu ditinggal pergi begitu
saja.
"Anak siapa gerangan? kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai," gumam
Awang Gading kemudian membawa pulang bayi perempuan tersebut. Awang Gading
memberi nama bayi tersebut Dayang Kumunah. Sejak kehadiran Dayang, awang
bertambah rajin bekerja. Awang memberikan kasih sayang dan perhatian yang
melimpah untuk Dayang. Berbagai pengetahuan yang dimiliki ditularkannya kepada
Dayang. tak lupa pelajaran budi pekerti juga diberikannya. Kadang diajaknya
dayang mencari kayu atau mengail untuk mengenal alam secara lebih dekat.
Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi. Dia
juga rajin membantu bapaknya. Sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.
Suatu hari, seorang pemuda kaya bernama Awangku Usop singgah di rumah Awang
Gading. Dia terpesona saat melihat kecantikan Dayang Kumunah. Tak lama
kemudian Awangku Usop melamar Dayang pada Awang Gading. Lamaran Awangku
Usop diterima, tetapi Dayang Kumunah mengajukan syarat, "Kanda Usop,
sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan
mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya akan menjadi istri
yang baik, tetapi jangan minta sata untuk tertawa,"pinta Dayang Kumunah.
Awangku Usop menyetujui syarat tersebut.
Pernikahan mereka diadakan dengan pesta yang sangat meriah, semua
tetangga dan kerabat kedua mempelai di undang. Aneka hidangan tersedia dengan
melimpah. Seluruh undangan gembira menyaksikan pasangan pengantin itu.
Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda
yang sangat tampan. Sungguh pasangan yang serasi.
Awangku Usop dan Dayang Kumunah hidup berbahagia. Namun kebahagiaan
mereka tak berlangsung lama. Beberapa minggu setelah pernikahan, Awang gading
meninggal dunia. Hingga berbulan-bulan Dayang Kumunah bersedih meskipun
Awangku Usop selalu berusaha membahagiakan hati istrinya tersebut. Untunglah,
kesedihan Dayang Kumunah segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang
berjumlah lima orang. Meskipun kini telah memiliki lima orang anak, Awangku Usop
merasa kebahagiaannya belum lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa.
Suatu hari, anak bungsu mereka mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota
keluarga tertawa bahagia melihatnya, kecuali Dayang Kumunah. Awangku Usop
meminta Dayang kumunah untuk tertawa, Dayang Kumunah menolaknya, namun
suaminya terus mendesak. Akhirnya, Dayang pun tertawa. Saat tertawa itu,
tampaklah insang di mulut Dayang Kumunah yang menandakan ia keturunan ikan.
Setalah itu, dayang segera berlari ke sungai, Awangku Usop beserta anak-anaknya
heran dan mengikutinya. Perlahan-lahan tubuh Dayang berubah menjadi ikan.
Awangku Usop dan anak-anaknya ditinggalkannya. Awangku Usop telah
mengingkari janjinya dengan meminta Dayang Kumunah tertawa.
Awangku Usop segera menyadari kekhilafannya dan meminta maaf. Dia
meminta Dayang Kumunah kembali ke rumah mereka. Namun, semua sudah sudah
terlambat. Dayang Kumunah telah tejun ke sungai. Dia telah menjadi ikan dengan
bentuk badan cantik dan kulit mengilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut
manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki yang bersilang. Orang-orang
menyebutnya ikan patin.
Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih. Mereka berjanji tidak
akan makan ikan patin karena di anggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya
orang Melayu yang tidak makan ikan patin.
“Ayah, Ibu, aku ada di mana? gumam Aminah setengah sadar memanggil
kedua orangtuanya.
Dengan sekuat tenaga, Aminah bangkit dari tidurnya. Betapa terkejutnya ia
ketika menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah gua. Yang lebih
mengejutkannya lagi, ketika ia melihat dinding-dinding gua itu dipenuhi oleh harta
benda yang tak ternilai harganya. Ada permata, emas, intan, maupun pakaian
indah-indah yang memancarkan sinar berkilauan diterpa cahaya obor yang
menempel di dinding-dinding gua.
“Wah, sungguh banyak perhiasan di tempat ini. Tapi, milik siapa ya?” tanya
Aminah dalam hati.
Baru saja Aminah mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba terdengar
sebuah suara lelaki menggema.
“Hai, Gadis rupawan! Tidak usah takut. Benda-benda ini adalah milikku.”
Alangkah terkejutnya Aminah, tak jauh dari tempatnya duduk terlihat samar-
samar seekor buaya besar merangkak di sudut gua.
“Anda siapa? Wujud anda buaya, tapi kenapa bisa berbicara seperti
manusia?” tanya Aminah dengan perasaan takut.
“Tenang, Gadis cantik! Wujudku memang buaya, tapi sebenarnya aku adalah
manusia seperti kamu. Wujudku dapat berubah menjadi manusia ketika purnama
tiba.,” kata Buaya itu.
“Kenapa wujudmu berubah menjadi buaya?” tanya Aminah ingin tahu.
“Dulu, aku terkena kutukan karena perbuatanku yang sangat jahat. Namaku
dulu adalah Somad, perampok ulung di Sungai Tulang Bawang. Aku selalu
merampas harta benda setiap saudagar yang berlayar di sungai ini. Semua hasil
rampokanku kusimpan dalam gua ini,” jelas Buaya itu.
“Lalu, bagaimana jika Anda lapar? Dari mana Anda memperoleh makanan?”
tanya Aminah.
“Kalau aku butuh makanan, harta itu aku jual sedikit di pasar desa di tepi
Sungai Tulang Bawang saat bulan purnama tiba. Tidak seorang penduduk pun yang
tahu bahwa aku adalah buaya jadi-jadian. Mereka juga tidak tahu kalau aku telah
membangun terowongan di balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan gua ini
dengan desa tersebut,” ungkap Buaya itu.
Tanpa disadarinya, Buaya Perompak itu telah membuka rahasia gua tempat
kediamannya. Hal itu tidak disia-siakan oleh Aminah. Secara seksama, ia telah
menyimak dan selalu akan mengingat semua keterangan yang berharga itu, agar
suatu saat kelak ia bisa melarikan diri dari gua itu.
“Hai, Gadis Cantik! Siapa namamu?” tanya Buaya itu.
12. BANTEN
Pangeran Pande Gelang dan Putri Cadasari
DI tengah sebidang kebun manggis, seorang putri yang cantik jelita duduk
termenung. Sorot matanya kosong, bibirnya terkatup rapat menandakan dia sedang
bermuram durja.
Tidak jauh dari tempat sang Putri duduk, melintaslah seorang lelaki paruh
baya dengan karung di pundaknya. Lelaki itu tertegun sesaat manakala melihat
sang Putri. Wajah lelaki itu tampak penuh kekhawatiran.
"Sampurasun," sapanya.
Sang Putri tak menyahut. Dia benar-benar larut dalam kesedihannya,
sehingga tidak menyadari kehadiran lelaki itu.
"Sampurasun," Lelaki itu mengulang sapa.
"Ra... rampes," Sang Putri terkejut. "Si... siapa?"
"Maaf jika saya telah mengejutkan Tuan Putri," kata lelaki itu seraya
menundukkan kepalanya.
Sang Putri tidak segera menjawab. Dia memperhatikan penuh seksama lelaki
yang berdiri di hadapannya. Wajah lelaki itu tidaklah tampan, kulitnya pun legam.
Namun Putri merasa yakin, lelaki itu adalah lelaki baik. Seumpama buah manggis:
hitam dan pahit kulitnya, tapi putih dan manis buahnya.
"Sedari tadi tadi saya perhatikan, Tuan Putri tampak gundah gulana. Ada apa
gerangan?"
"Saya kira tak ada guna menceritakan masalah yang saya hadapi kepada
orang lain."
"Kalau begitu, maafkan saya telah mengganggu Tuan Putri. Saya berharap
Tuan Putri berkenan melupakan pertanyaan saya tadi," ujar lelaki itu seraya hendak
berlalu.
"Tunggu, Kisanak. Jangan pergi dulu!" Sang Putri mencegah.
Lelaki itu mengurungkan niatnya. Sejenak dia melirik sang Putri.
"Sekali lagi maafkan saya," pinta sang Putri. "Bukan maksud saya menyinggung perasaan
Kisanak, apalagi menganggap rendah."
Beberapa saat sang Putri terdiam. Kemudian tiba-tiba saja matanya membasah. Sang Putri
menangis.
Lelaki itu duduk di dekat sang Putri. Hatinya diliputi keingintahuan yang besar
tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Siapa nama Kisanak?" tanya sang Putri.
"Saya... saya pembuat gelang. Pande gelang. Orang-orang sering memanggil saya dengan
sebutan Ki Pande."
Ki Pande tidak berkata-kata lagi. Dia hanya menundukkan kepala dengan hati
dipenuhi rasa iba.
Menurut Putri Arum, dirinya sedang mendapat tekanan dari seorang pangeran
bernama Pangeran Cunihin. Meskipun tampan, Pangeran Cunihin sangatlah bengis
dan kejam. Selain itu, Pangeran Cunihin pun sangat berkuasa dan sakti
mandraguna. Apa pun yang diinginkannya harus terpenuhi. Semua titah tak bisa
berbantah.
"Saya sangat sedih, Ki, karena dia akan menjadikan saya sebagai istrinya,"
Putri Arum mengakhiri ceritanya.
"Saya ikut bersedih," Ki Pande tak kuasa menahan airmata. "Maafkan saya,
karena tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu Putri."
"Saya mengerti, Ki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengakhiri angkara
Pangeran Cunihin," ujar Putri Arum lirih. "Tadinya saya mengira wangsit yang saya
terima benar adanya."
"Ya. Menurut wangsit, saya harus menenangkan diri di bukit manggis ini.
Kelak katanya akan ada seorang pangeran yang baik hati, manis budi pekertinya,
dan sakti mandraguna, yang datang menolong saya. Namun penantian ini hampir
sia-sia. Tiga hari lagi Pangeran Cunihin akan datang dan memaksa saya kawin
dengannya. Barangkali ini sudah suratan takdir saya, Ki, sebab setelah sekian lama,
dewa penolong yang hatinya seputih dan semanis buah manggis itu ternyata tak
kunjung tiba," tutur Putri Arum menghiba.
"Oh, tadi Aki mengatakan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan untuk
membantu saya?" tanya Putri Arum, teringat kata-kata Ki Pande.
"Itu berarti, meskipun sedikit ada yang bisa Aki lakukan untuk saya!" seru
Putri Arum, penuh harap.
"Saya hanya ingin menyumbang saran. Terima saja keinginan Pangeran Cunihin itu."
"Apa Aki sudah gila? Bagaimana saya mau dipersunting lelaki yang sangat
saya benci?" sergah Putri Arum dengan wajah memerah.
Ki Pande sangat terkejut dengan perubahan itu, tapi dia berusaha tetap
tenang. "Maksud saya, terima saja keinginan dia tapi dengan syarat."
"Hal apa yang tidak bisa dilakukan Pangeran Cunihin? Dia sangat sakti
mandraguna. Laut saja bisa dikeringkannya!"
"Yakinlah, Tuan Putri. Tidak semua orang akan jaya selamanya," Ki Pande
berusaha meyakinkan Putri Arum.
"Pangeran Cunihin harus melubangi batu keramat supaya bisa dilalui manusia. Kemudian batu
tersebut harus diletakkan di pesisir pantai. Semuanya harus dikerjakan tidak lebih dan tiga hari," Ki
Pande menjelaskan.
"Tapi tidak semua orang mau melakukannya. Sebab dengan melubangi batu
keramat, setengah dari kemampuan orang tersebut akan hilang."
Perjalanan menuju tempat tinggal Ki Pande sangat melelahkan Putri Arum. Sudah hampir
setengah hari perjalanan, mereka belum juga sampai. Putri Arum pun jatuh pingsan di atas sebuah batu
cadas. Orang-orang kampung membantu Ki Pande rnembawa Putn Arum ke rumah salah seorang
penduduk dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Salah seorang tetua kampung mengatakan
bahwa Putri Arum bisa segera pulih jika minum air gunung yang memancar melalui batu cadas.
Beberapa orang kampung bergegas mencari sumber mata air batu cadas.
Dan keajaiban pun terjadi, Putri Arum kembali sehat setelah meminum air yang
berasal dari batu cadas itu. Penduduk kampung lalu memanggil Putri Arum dengan
sebutan baru yaitu Putri Cadasari.
"Hahaha, itu syarat yang sangat gampang, Tuan Putri. Tapi apa maksud dari syarat itu?" tanya
Pangeran Cunihin.
Putri Cadasari terkejut mendapat pertanyaan seperti Itu. Tapi dia segera menyembunyian
keterkejutannya. "Saya hanya ingin agar bulan madu kita tidak terganggu, Pangeran. Duduk di atas batu
sambil menikmati birunya laut, bukankah itu sangat menyenangkan, Pangeran?" jelas Putri Cadasari.
"Wah, Tuan Putri memang sangat romantis!" puji Pangeran Cunihin, pula.
Tak sampai tiga hari dan tanpa halangan yang berarti, Pangeran Cunihin
berhasil menemukan batu keramat yang disyaratkan. Batu keramat itu kemudian
dibawanya ke sebuah pesisir yang sangat indah. Ki Pande dan Putri Cadasari diam-
diam mengkuti dari kejauhan. Di tempat yang terlindung mereka bersembunyi,
menyaksikan apa yang dilakukan Pangeran Cunihin.
Pangeran Cunihin tampak duduk bersila di hadapan batu keramat. Dengan konsentrasi penuh,
Pangeran Cunihin menempelkan dua telapak tangannya ke batu keramat. Tiba-tiba tangan Pangeran
Cunihin bergetar. Sesaat kemudian batu keramat itu pun retak dan berjatuhan. Sungguh ajaib, sebuah
lubang yang sangat besar tercipta di tengah batu keramat itu.
"Hahaha, aku berhasil. Tuan Putri akan segera menjadi milikku!" Pangeran
Cunihin mengangkat kedua tangannya seraya berlari mencari Putri Cadasari.
Kesempatan itu tak disia-siakan Ki Pande untuk memasang gelang besar
pada batu keramat yang telah berlubang Itu. Setelah itu dia kembali hendak
bersembunyi, tapi didengarnya sebuah bentakan keras.
"Heh tua bangka, sedang apa kau di sini?!"
Ternyata Pangeran Cunihin telah berada kembali di situ, bersama Putri
Cadasari.
"0, aku tahu. Rupanya kau sedang mengagumi mahakaryaku. Bukankah aku
pernah mengatakan kepadamu bahwa kau tidak pantas menjadi pemenang. Kau
hanya pantas menjadi pecundang! Hahaha!" Pangeran Cunihin tertawa puas.
"Lihatlah, sang Putri telah menjadi milikku. Kau tidak bisa lagi memilikinya!"
Putri Cadasari terkejut heran mendengar omongan Pangeran Cunihin, seolah
telah mengenal Ki Pande sebelumnya. Namun belum lagi keheranan itu terjawab,
Pangeran Cunihin telah menarik tangan Putri Cadasari untuk melihat batu keramat
yang telah berlubang itu.
"Tuan putri, lihatlah! Keinginan Tuan Putri telah terwujud. Sebuah batu besar
berlubang di pesisir pantai. Sungguh sebuah tempat yang indah dan romantis," kata
Pangeran Cunihin.
Putri Cadasari berusaha bersikap tenang dan mencoba menunjukkan
kegembiraan, w alau di dalam hatinya dia merasa sangat takut impian buruknya
menjadi pendamping Pangeran Cunihin akan menjadi kenyataan.
"Apa karena terlalu gembira saya seakan tidak bisa melihat bahwa batu ini
telah berlubang?" kata Putri Cadasan.
"Hm, baiklah. Jika Tuan Putri tidak percaya, saya akan melewati batu ini
untuk membuktikannya," jawab Pangeran Cunihin.
Tanpa berpikir panjang, Pangeran Cunihin kemudian berjalan melewati
lubang batu keramat itu. Tapi tiba-tiba Pangeran Cunihin merasakan tubuhnya sakit
luar biasa. Dia berteriak-teriak sekuat tenaga. Suaranya memecah angkasa. Lalu
seluruh kekuatannya pun menghilang. Dia terduduk lemah, tak kuasa berdiri.
Perlahan, Pangeran Cunihin berubah menjadi seorang tua renta tanpa daya, seolah
telah melewati lorong waktu. Sementara itu, KI Pande pun berubah menjadi seorang
pemuda tampan.
"Bagaimana semua ini bisa terjadi?" Putri Cadasari tidak mengerti
menyaksikan keanehan-keanehan itu.
"Sebenarnya ini semua akibat perbuatan Pangeran Cunihin. Dulu kami berteman. Tapi setelah
mendapat kesaktian dari guru, dia mencuri seluruh ilmu dan kesaktian saya, lalu menjadikan saya
sebagai seorang yang sudah tua. Saya kemudian mencari kesaktian untuk mengembalikan keadaan
saya. Ternyata hanya satu yang bisa mengembalikan keadaan itu, yakni Jika Pangeran Cunihin melewati
gelang-gelang buatan saya," terang Ki Pande seraya menatap ke arah Pangeran Cunihin yang terkulai
tak berdaya.
"Kini saya telah kembali seperti sedia kala. Ini semua karena jasa Tuan Putri.
Untuk itu saya menghaturkan terima kasih," ujar Pangeran Pande Gelang,
menggenggam tangan Putri Cadasari.
"Ah, sayalah yang seharusnya berterima kasih, Pangeran. Ternyata wangsit
yang saya terima itu memang benar."
Akhirnya, keduanya meninggalkan batu keramat berlubang itu. Beberapa
waktu kemudian mereka pun menikah dan hidup berbahagia sampai akhir hayatnya.
Tempat mengambil batu keramat tersebut kemudian dikenal dengan
kampung Kramatwatu, dan batu besar berlubang di pesisir pantai kini dikenal
dengan nama Karang Bolong. Sedangkan tempat sang Putri melaksanakan wangsit
di bukit manggis, kini orang mengenalnya dengan kampung Pasir Manggu. Manggis
dalam bahasa Sunda berarti Manggu dan pasir berarti bukit. Sementara tempat Putri
disembuhkan dari sakitnya sampai kini bernama Cadasari di daerah Pandeglang,
tempat Pangeran Pande Gelang membuat gelang.
15. DI YOGYAKARTA
Kali Gajah Wong
Alkisah, Ki Sapa Wira adalah seorang abdi dalem Kraton Mataram yang selalu
memandikan gajah milik Sultan Agung yang bernama Kyaii Dwipangga. Suatu
ketika, dia sakit bisul di ketiaknya sehingga tidak bisa bergerak bebas. Terlebih lagi
kalau harus memandikan seekor gajah.
Kemudian, Ki Sapa Wira pun meminta tolong adik iparnya, Ki Kerti untuk
memandikan Kyai Dwipangga. Sebenarnya, nama lengkapnya adalah Ki Kerti
Kertiyuda. Namun, karena terjangkit polio sejak kecil sehingga berjalan meliuk-liuk
pincang (peyok). Maka ia pun dipanggil Ki Kerti Peyok.
"Kerti, tolong gantikan aku memandikan Kyai Dwipangga," tukas Ki Sapa
Wira.
"Siap, Ki," jawab Ki Kerti Peyok.
"Tepuk kaki belakangnya, tarik buntutnya," pesan Ki Sapa Wira.
Ki Kerti Peyok manggut-manggut mendengar pesan tersebut.
Pagi-pagi benar, Ki Kerti Peyok berangkat ke kali bersama Kyai Dwipangga.
Di tengah-tengah perjalanan, Ki Kerti Peyok tak lupa memberikan kelapa muda
untuk sarapan Kyai Dwipangga supaya gajah itu patuh kepadanya.
"Nih... untuk kamu makan buat sarapan." Ki Kerti menyodorkan dua butir
kelapa muda yang disambut oleh belalai Kyai Dwipangga.
Tak membutuhkan tempo lama untuk Kyai Dwipangga membelah dua butir
kelapa tersebut. Tinggal dibanting kemudian terbelah. Dan dengan lahap Kyai
Dwipangga memakannya.
Sesudah kelapa tersebut habis dilahap, Ki Kerti memukul-mukulkan cemetinya ke pantat Kyai
Dwipangga supaya gajah itu berendam ke dalam air kali. Digosok-gosoknya gajah tersebut supaya
kotoran-kotoran di tubuhnya hilang. Setelahnya, Ki Kerti membawa pulang gajah itu.
"Ki, gajahnya sudah saya mandikan sampai bersih," Ki Kerti melapor kepada
Ki Sapa Wira.
"Ya, terima kasih. Oiya, saya harap kamu mau memandikan Kyai Dwipangga
lagi besok. Maklumlah, gajah memang harus sering dimandikan, apalagi kalau
musim kawin seperti sekarang," jawab Ki Sapa Wira.
***
Seperti hari sebelumnya, keesokan harinya, Ki Kerti membawa Kyai
Dwipangga ke kali untuk dimandikan. Namun, pagi ini berbeda dengan pagi kemarin
karena cuaca terlihat mendung. Meskipun hujan tidak turun.
Dengan sigap, Ki Kerti membawa Kyai Dwipangga menuju ke sungai. Kali ini Ki Kerti kecewa,
karena kali terlihat dangkal. Ki Kerti memilih ke tengah sungai. Menurutnya, tengah kali lebih dalam.
Ketika hendak memandikan Kyai Dwipangga, tiba-tiba terjadi banjir bandang dari arah utara. Ki Kerti
Peyok dan Kyai Dwipangga hanyut terbawa arus sungai sampai Laut Selatan.Keduanya pun tak bisa
diselamatkan.
Demi mengenang peristiwa tersebut, Sultan Agung menamai kali itu "KALI
GAJAH WONG". Karena kali itu telah menghanyutkan gajah dan wong. Konon,
tempat Ki Kerti memandikan Kyai Dwipangga saat ini bersebelahan dengan bonbin
Gembiraloka.
“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang terus mengejar kijang
tersebut maka ia pun makin jauh masuk ke hutan. Hingga Ia tiba di sebuah sungai
yang sangat jernih dan bening airnya. “Hem, segar benar air sungai ini,” Raden
Banterang minum air sungai itu, hingga melegakan dahaganya. Namun di waktu
meminum air tersebut baru, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kedatangan seorang gadis
cantik jelita.
Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang,
dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Sewaktu Raden Banterang berada di tengah
hutan, ia terkejutkan oleh kedatangan seorang lelaki. “Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan
terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya,
dengan melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik
lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya.Mendengar laporan dari laki laki tersebut
Raden Banterang segera pulang ke istana. Dan dicarinya ikat kepala yang telah diceritakan oleh laki laki
yang menemui di hutan. Setelah di temukan ikat kepala itu, maka di curigailah istrinya.
17. BALI
Asal-Usul Nama Buleleng dan Singaraja
Di Bali, hidup seorang raja yang bergelar Sri Bagening. Sang Raja memiliki
banyak istri, dan istri terakhirnya bernama Ni Luh Pasek. Ni Luh Pasek berasal dari
Desa Panji, dan masih keturunan Kyai Pasek Gobleng. Suatu waktu, Ni Luh Pasek
mengandung. Oleh suaminya, ia dititipkan kepada Kyai Jelantik Bogol. Tak berapa
lama, anaknya pun lahir. Anak itu diberi nama I Gede Pasekan. I Gede Pasekan
mempunyai wibawa besar sehingga sangat dicintai dan dihormati oleh pemuka
masyarakat maupun masyarakat biasa.
Suatu hari, ketika usianya menginjak dua puluh tahun, ayahnya berkata
padanya, “Anakku, sekarang pergilah engkau ke Den Bukit di daerah Panji.”
“Mengapa ayah?”
“Karena di sanalah tempat kelahiran ibumu.”
Sebelum berangkat, ayah angkatnya memberikan dua buah senjata bertuah,
yaitu sebilah keris bernama Ki Baru Semang dan sebatang tombak bernama Ki
Tunjung Tutur. Dalam perjalanannya, I Gede Pasekan diiringi oleh empat puluh pe-
ngawal yang dipimpin Ki Dumpiung dan Ki Dosot. Ketika sampai di daerah yang di-
sebut Batu Menyan, mereka bermalam dengan dijaga ketat oleh para pengawal
secara bergantian.
Saat tengah malam, tiba-tiba datang makhluk ajaib penghuni hutan. Dia mengangkat I Gede
Pasekan ke atas pundaknya sehingga I Gede Pasekan dapat melihat pemandangan lepas ke lautan dan
daratan yang terbentang di hadapannya. Ketika dia memandang ke arah timur dan barat laut, ia melihat
pulau yang amat jauh. Ketika melihat ke arah selatan pemandangannya dihalangi oleh gunung. Setelah
makhluk itu pergi kemudian terdengar bisikan.
“I Gusti, sesungguhnya apa yang telah engkau lihat akan menjadi daerah ke-
kuasaanmu.”
Keesokan harinya rombongan itu melanjutkan perjalanan. Meski sulit dan pe-
nuh rintangan akhirnya rombongan I Gede Pasekan berhasil mencapai tujuan, yaitu
Desa Panji, tempat kelahiran ibunya.
Suatu hari, ada sebuah perahu Bugis yang terdampar di pantai
Panimbangan.Warga setempat yang dimintai tolong tak mampu mengangkatnya.
Keesokan harinya orang Bugis pemilik perahu itu meminta tolong pada I Gede
Pasekan.
“Tolonglah kami, Tuan. Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kami, sebagian
muatan itu akan kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.”
“Kalau itu keinginan kalian, saya akan berusaha mengangkat perahu itu,”
jawab I Gede Pasekan.
I Gede Pasekan segera memusatkan pikiran. Dengan kekuatan gaibnya,
perahu yang kandas itu berhasil diangkatnya. Sebagai ungkapan rasa terima kasih,
orang Bugis itu memberikan hadiah berupa setengah dari isi perahu itu kepada I
Gede Pasekan. Di antara hadiah itu terdapat dua buah gong besar. Sejak saat itu I
Gede Pasekan menjadi orang kaya dan bergelar I Gusti Panji Sakti.
Kekuasaan I Gede Pasekan mulai meluas dan menyebar sampai ke mana-mana. Dia pun
mendirikan kerajan baru di Den Bukit. Kira-kira abad ke-17, ibukota kerajaan itu disebut orang dengan
nama Sukasada. Kerajaaan I Gede Pasekan itu berkembang hingga ke utara. Daerah itu banyak
ditumbuhi pohon buleleng. Oleh karena itu, pusat kerajaan beralih ke wilayah itu.Wilayah itu pun
diberi nama Buleleng.
Di Buleleng dibangun sebuah istana megah yang diberi nama Singaraja.
Nama ini menunjukkan bahwa penghuninya adalah seorang raja yang gagah
perkasa laksana singa. Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa nama
Singaraja artinya tempat persinggahan raja. Barangkali ketika sang Raja masih di Sukasada,
sering singgah di sana. Jadi, kata Singaraja berasal dari kata singgah raja.
Burung itu menjadi jinak dan tidak takut kepadanya. Beberapa hari
kemudian, burung itu telah dapat mengibas-ngibaskan sayapnya, dan sesaat
kemudian ia pun terbang. Keesokan harinya ia kembali mengunjungi Dermawan. Di
paruhnya ada sebutir biji, dan biji itu diletakkannya di depan Dermawan. Dermawan
tertawa melihatnya. Biji itu biji biasa saja. Meskipun demikian, senang juga hatinya
menerima pemberian burung itu. Biji itu ditanam di belakang rumahnya.
Tiga hari kemudian tumbuhlah biji itu. Yang tumbuh adalah pohon semangka.
Tumbuhan itu dipeliharanya baik-baik sehingga tumbuh dengan subur. Pada
mulanya Dermawan menyangka akan banyak buahnya. Tentulah ia akan kenyang makan
buah semangka dan selebihnya akan ia sedekahkan. Tetapi aneh, meskipun bunganya banyak, yang
menjadi buah hanya satu. Ukuran semangka ini luar biasa besarnya, jauh lebih dari semangka umumnya.
Sedap kelihatannya dan harum pula baunya. Setelah masak, Dermawan memetik buah semangka itu.
Amboi, bukan main beratnya. Ia terengah-engah mengangkatnya dengan kedua belah tangannya.
Setelah diletakkannya di atas meja, lalu diambilnya pisau. Ia membelah semangka itu. Setelah
semangka terbelah, betapa kagetnya Dermawan. Isi semangka itu berupa pasir kuning yang bertumpuk
di atas meja. Ketika diperhatikannya sungguh-sungguh, nyatalah bahwa pasir itu adalah emas urai
murni. Dermawan pun menari-nari karena girangnya. Ia mendengar burung mencicit di luar, terlihat
burung pipit yang pernah ditolongnya hinggap di sebuah tonggak. "Terima kasih! Terima kasih!" seru
Dermawan. Burung itu pun kemudian terbang tanpa kembali lagi.
Keesokan harinya Dermawan memberli rumah yang bagus dengan pekarangan yang luas sekali.
Semua orang miskin yang datang ke rumahnya diberinya makan. Tetapi Dermawan tidak akan jatuh
miskin seperti dahulu, karena uangnya amat banyak dan hasil kebunnya melimpah ruah. Rupanya hal ini
membuat Muzakir iri hati. Muzakir yang ingin mengetahui rahasia adiknya lalu pergi ke rumah
Dermawan. Di sana Dermawan menceritakan secara jujur kepadanya tentang
kisahnya.
Mengetahui hal tersebut, MUzakir langsung memerintahkan orang-orang
gajiannya mencari burung yang patah kaki atau patah sayapnya di mana-mana.
Namun sampai satu minggu lamanya, seekor burung yang demikian pun tak
ditemukan. Muzakir sungguh marah dan tidak dapat tidur. Keesokan paginya,
Muzakir mendapat akal. Diperintahkannya seorang gajiannya untuk menangkap
burung dengan apitan. Tentu saja sayap burung itu menjadi patah. Muzakir
kemudian berpura-pura kasihan melihatnya dan membalut luka pada sayap burung.
Setelah beberapa hari, burung itu pun sembuh dan dilepaskan terbang. Burung itu
pun kembali kepada Muzakir untuk memberikan sebutir biji. Muzakir sungguh
gembira.
Biji pemberian burung ditanam Muzakir di tempat yang terbaik di kebunnya.
Tumbuh pula pohon semangka yang subur dan berdaun rimbun. Buahnya pun hanya
satu, ukurannya lebih besar dari semangka Dermawan. Ketika dipanen, dua orang
gajian Muzakir dengan susah payah membawanya ke dalam rumah karena beratnya.
Muzakir mengambil parang. Ia sendiri yang akan membelah semangka itu. Baru saja
semangka itu terpotong, menyemburlah dari dalam buah itu lumpur hitam
bercampur kotoran ke muka Muzakir. Baunya busuk seperti bangkai. Pakaian
Muzakir serta permadani di ruangan itu tidak luput dari siraman lumpur dan kotoran
yang seperti bubur itu. Muzakir berlari ke jalan raya sambil menjerit-jerit. Orang
yang melihatnya dan mencium bau yang busuk itu tertawa terbahak-bahak sambil
bertepuk tangan dengan riuhnya.
Ambun dan Rimbun adalah anak yang rajin dan hormat kepada orang tua.
Setiap hari mereka membantu ibunya mencari kayu bakar ke hutan dan menjualnya
ke pasar.
Pada suatu sore, Rimbun melihat abangnya termenung seorang diri di
beranda rumah mereka.
“Bang! Apa yang sedang Abang pikirkan?” tanya Rimbun.
“Abang sedang memikirkan nasib keluarga kita. Kalau setiap hari hanya
mencari kayu bakar, kehidupan kita tidak akan pernah membaik,” keluh Ambun.
“Lalu, apa rencana Abang?” tanya Rimbun.
“Abang akan pergi merantau untuk mengubah nasib keluarga kita. Banyak
orang di kampung ini kehidupannya menjadi lebih baik sepulangnya dari merantau,”
jelas Ambun.
“Wah, kalau begitu, Adik akan ikut Abang,” kata Rimbun.
“Jangan, Dik! Kamu di sini saja menemani ibu. Kalau Adik ikut, kasihan ibu
ditinggal sendiri,” cegah Ambun.
“Tidak, Bang! Adik harus ikut Abang,” tegas Rimbun bersikukuh ingin pergi
merantau bersama Abangnya.
“Baiklah, kalau begitu,” kata Rimbun mengizinkan adiknya ikut serta.
Malam harinya, kedua kakak-beradik itu menyampaikan niat mereka kepada
sang Ibu. Mendengar hal itu, sang Ibu hanya terdiam. Ia bingung bagaimana
menyikapi keinginan kedua putranya. Menurutnya, apa yang dikatakan kedua
putranya itu memang benar, bahwa merantau dapat memperbaiki kehidupan
keluarga mereka, tetapi di satu sisi, umur mereka masih sangat muda.
“Bagaimana, Bu? Apakah ibu mengizinkan kami pergi?” Ambun kembali
bertanya.
“Sebenarnya Ibu merasa berat mengizinkan kalian pergi. Ibu khawatir terhadap keselamatan
kalian berdua di rantau. Kalian masih terlalu muda untuk merantau,” jawab sang Ibu dengan berat hati.
“Iya, Bu! Tapi, kami berdua bisa jaga diri dan saling menjaga,” sahut Rimbun.
“Baiklah, kalau memang kalian bersikukuh akan pergi, Ibu mengizinkan. Tapi Ibu berpesan,
kalian harus menghormati orang lain dan jangan berpisah. Kalaupun harus berpisah, hendaknya kalian
saling mengabari,” ujar sang Ibu.
“Terima kasih, Bu!” ucap keduanya serentak dengan perasaan gembira.
Ambun dan Rimbun segera menyiapkan segala keperluan mereka, termasuk
celana dan baju mereka yang terbuat dari kulit kayu. Sementara sang Ibu sibuk
menyiapkan makanan untuk bekal mereka di jalan. Ia memasak empat belas buah
ketupat dan empat belas butir telur ayam untuk mereka berdua. Masing-masing
mendapat tujuh buah ketupat dan tujuh biji telur ayam. Setelah itu, ia mengambil
beberapa butir beras dan mencelupkannya ke dalam air, lalu mengoleskannya di
ubun-ubun mereka seraya berdoa:
“Semoga Ranying Hatalla Langit (semoga Tuhan melidungi kalian berdua).”
Saat tengah malam, perempuan paruh baya itu membuka sebuah peti besi
kecil berisi dua bilah dohong (keris pusaka) yang bentuk dan ukurannya sama. Yang
satu berlilitkan kain merah dan yang satunya lagi berlilitkan kain kuning. Yang
berlilitkan kain merah diserahkan kepada Ambun, sedangkan yang berlilitkan kain
kuning diberikan kepada Rimbun.
“Senjata pusaka ini adalah peninggalan almarhum ayah kalian. Tapi, ingat!
Senjata ini hanya boleh kalian gunakan jika dalam keadaan mendesak,” pesan sang
Ibu seraya mencium kening kedua putra tercintanya.
“Baik, Bu! Kami akan selalu mengingat pesan Ibu,” kata Ambun dan Rimbun
serentak.
Keesokan harinya, Ambun dan Rimbun bersiap-siap untuk berangkat dan berpamitan kepada
sang Ibu tercinta. Suasana haru pun menyelimuti hati sang Ibu dan kedua putranya itu. Air mata sang Ibu
tidak dapat dibendung lagi. Demikian pula kedua orang kakak-beradik itu. Mereka tidak kuat menahan
rasa haru.
“Berangkatlah, Nak! Nanti kalian kemalaman di jalan. Jika sudah berhasil,
cepatlah kembali menemani Ibu di sini!” pesan sang Ibu.
“Baik, Bu! Kami akan segera kembali jika sudah berhasil,” jawab keduanya
serentak.
Usai mencium tangan sang Ibu, keduanya pun pergi meninggalkan kampung
halaman mereka. Sang Ibu berdiri di depan pintu sambil melambaikan tangan
mengiringi kepergian kedua putranya. Setelah keduanya menghilang di tikungan
jalan kampung, barulah ia masuk ke dalam rumah.
Ambun dan Rimbun berjalan mendaki gunung, menuruni lembah, dan menyeberangi sungai.
Mereka berjalan mengikuti arah matahari terbenam. Saat malam tiba, mereka berhenti untuk
beristirahat. Ketupat dan telur pemberian sang Ibu mereka makan sedikit-sedikit. Ketika matahari mulai
menampakkan wajahnya di ufuk timur, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tidak terasa, sudah
berhari-hari mereka berjalan.
Ketika memasuki hari ketujuh, Rimbun mendadak jatuh sakit, karena kelelahan berjalan
jauh. Melihat kondisi adiknya itu, Ambun menjadi panik. Ia pun mencoba mengobati adiknya dengan
memberinya minuman dari berbagai macam air akar-akaran. Namun, tidak satu pun yang mampu
menyembuhkannya. Tidak terasa air matanya pun bercucuran membasahi pipinya. Ia sangat menyesal
dan merasa bersalah karena telah mengizinkan adiknya ikut serta. Beberapa saat kemudian, Rimbun
akhirnya meninggal dunia.
“Rimbun… Adikku! Jangan tinggalkan Abang…!” teriak Ambun memecah
kesunyian di tengah hutan.
Namun apa hendak diperbuat, adik tercintanya benar-benar telah
menghembuskan nafas terakhirnya. Dengan diselimuti perasaan sedih, Ambun
segera menggali lubang untuk kuburan adiknya. Setelah menguburkan jazad
adiknya, Ambun mencabut dohong adiknya. Mata dohong itu ditancapkan di bagian
kepala, sedangkan warangkanya ditancapkan di bagian kaki kuburan itu. Sementara
kain berwarna kuning pembungkus dohong itu diikatkan pada nisannya.
Setelah itu, Ambun melanjutkan perjalanan dengan menyusuri hutan lebat.
Saat hari menjelang siang, perutnya terasa lapar. Ia pun membuka bungkusan
makanannya di bawah sebuah pohon besar dan tinggi. Setelah bungkusan itu
terbuka, barulah ia menyadari ternyata bekalnya sudah habis. Hatinya pun mulai
cemas. Ia lalu memanjat pohon besar dan tinggi tempatnya berteduh itu.
Sesampainya di atas, ia melihat kepulan asap tidak jauh dari tempatnya berada.
“Wah, pasti ada orang di sana,” pikirnya dengan perasaan gembira.
Tanpa berpikir panjang, ia segera turun dari atas pohon lalu berjalan menuju
ke arah kepulan asap. Setelah beberapa lama berjalan, terlihatlah sebuah rumah di
tengah hutan. Saat menghampiri rumah itu, ia melihat seorang nenek sedang
mengumpulkan kayu bakar di samping rumahnya. Agar nenek itu tidak terkejut, ia
pun mendehem.
“Hemm, sedang apa, Nek?” tanya Ambun.
“Mengumpulkan kayu bakar,” jawab nenek itu.
“Siapa engkau ini anak muda? Kenapa bisa sampai ke tempat ini?” nenek itu
balik bertanya.
“Saya Ambun, Nek,” jawab Ambun, lalu ia menceritakan semua peristiwa
yang dialaminya hingga sampai di tempat itu.
“Nenek berduka cita atas meninggalnya adikmu,” kata nenek itu dengan
perasaan haru.
Oleh karena merasa kasihan, perempuan tua itu mengizinkan Ambun untuk
tinggal bersamanya. Setiap hari Ambun membantunya untuk mencari kayu bakar. Si
Nenek pun sangat menyayangi Ambun seperti cucunya sendiri.
Pada suatu hari, sambil mengumpulkan kayu bakar, nenek itu bercerita
kepada Ambun bahwa sebenarnya ia adalah bagian dari keluarga Kerajaan Sang
Sambaratih. Ia diusir karena pernikahannya dengan almarhum suaminya yang
berasal dari rakyat biasa. Meskipun dikucilkan dari istana, nenek malang itu masih
mendapat perhatian dari sebagian keluarga istana. Hampir setiap minggu ada
pengawal istana yang mengantarkan makanan untuknya.
Suatu hari, datanglah dua orang utusan dari istana Sang Sambaratih membawa makanan untuk
si Nenek. Sebelum kembali ke istana, kedua utusan tersebut memberitahukan kepadanya bahwa raja
akan mengadakan sayembara memetik bunga melati. Barangsiapa yang dapat melompat dari halaman
rumah istana sampai ke atap istana untuk mengambil bunga melati, dan menyerahkannya kepada putri
raja, maka dia akan dijadikan menantu raja. Akan tetapi jika gagal, maka dia akan mendapat hukuman
gantung.
Si Ambun yang mendengar kabar itu, hampir semalaman tidak dapat memejamkam
matanya. Ia ingin sekali mengikuti sayembara itu. Keesokan harinya, Ambun menemui si Nenek.
“Nek, bolehkah Ambun mengikuti sayembara itu?” tanya Ambun.
“Oh jangan, Cucuku! Kamu akan dihukum gantung jika gagal memetik bunga
melati itu,” cegah si Nenek.
“Nenek tidak usah khawatir. Ambun pasti dapat mengatasinya,” kata si
Ambun seraya memperlihatkan senjata dohongnya.
“Benda apa ini, Cucuku?” tanya si Nenek penasaran.
“Senjata pusaka peninggalan ayahku, Nek. Senjata ini dapat menolong jika diperlukan,” jelas
Ambun.
Si Nenek pun yakin dan percaya dengan kata-kata Ambun,
dan mengizinkannya untuk mengikuti sayembara tersebut. Keesokan harinya,
Ambun sudah bersiap-siap berangkat menuju istana untuk mengikuti sayembara
tersebut.
“Maaf, Nek! Ambun ada satu permintaan,” kata Ambun.
“Apakah itu, Cucuku?” tanya si Nenek penasaran.
“Bersediakah Nenek menyaksikan sayembara itu. Jika seandainya Ambun
gagal, Nenek dapat menyaksikan Ambun menjalani hukuman gantung, dan saat itu
adalah pertemuan terkahir kita,” bujuk Ambun.
Oleh karena sayang kepada Ambun, nenek itu pun memenuhi keinginan
Ambun. Maka berangkatlah mereka berdua menuju istana. Selama dalam
perjalanan, si Nenek senantiasa diselimuti perasaan cemas. Sementara si Ambun
meminta kepada si Nenek untuk mendoakannya agar dapat meraih kemenangan.
Setibanya di halaman istana, penonton sudah penuh sesak dan para peserta
sudah bersiap-siap mengikuti sayembara. Peserta sayembara tersebut terdiri dari
delapan orang, yaitu tujuh pangeran dari kerajaan bawahan Kerajaan Sang
Sambaratih, dan si Ambun sendiri. Satu per satu pangeran tersebut mengeluarkan
kesaktiannya, namun tak seorang pun yang berhasil melompat ke atap istana dan
memetik bunga melati. Kini giliran Ambun yang akan memperlihatkan kesaktiannya.
Ketika Ambun memasuki arena, para penonton bertepuk tangan disertai dengan
suara ejekan. Mereka meragukan kemampuan Ambun. Jangankan Ambun yang
hanya orang kampung, para pangeran saja tidak satu pun yang berhasil melalui
ujian itu. Namun dengan penuh percaya diri, Ambun tetap tenang dan
berkonsentrasi penuh. Saat mengambil ancang-ancang, dengan suara nyaring
Ambun berteriak memanggil ayahnya sambil mencabut dohong pusaka yang terselip
dipinggangnya.
Dengan secepat kilat, Ambun melejit ke atas atap memetik bunga melati itu
dan menyerahkannya kepada tuan putri yang duduk di samping raja. Seketika itu
pula suara tepuk tangan dan teriakan penonton bergemuruh bagaikan membelah
bumi. Suara teriakan penonton bukan lagi suara ejekan, melainkan suara
kekaguman melihat kesaktian Ambun. Raja yang menyaksikan peristiwa itu
langsung berdiri sambil bertepuk tangan dengan penuh kekaguman.
Sementara ketujuh pangeran tersebut merasa tidak puas. Mereka pun menyatakan perang
kepada raja Sang Sambaratih. Namun atas bantuan Ambun dengan senjata dohongnya, ketujuh
pangeran tersebut dapat dikalahkan. Akhirnya, Ambun dinikahkan dengan putri raja. Pesta
pernikahannya dilangsungkan dengan meriah selama tujuh hari tujuh malam.
Seminggu setelah pernikahan mereka, raja Sang Sambaratih menyerahkan
kekuasaannya kepada Ambun, karena sudah tua. Sejak dinobatkan menjadi raja,
Ambun berusaha mencari ibunya. Pada suatu hari, Ambun bersama beberapa orang
pengawalnya menyusuri jalan yang pernah dilaluinya ketika ia berangkat merantau.
Setelah tujuh hari tujuh malam berjalan, ia pun menemukan ibunya. Alangkah
bahagianya sang Ibu saat melihat anaknya kembali dan berhasil menjadi raja.
Namun, di satu sisi, sang Ibu tetap bersedih karena kehilangan Rimbun anak
bungsunya.
Oleh karena tidak ingin melihat ibunya bersedih, Ambun bersama ibu dan
para pengawalnya pergi mencari kuburan Rimbun. Setelah menemukan kuburan
Rimbun, Ambun segera memerintahkan sebagian pengawalnya untuk menggali
kuburan itu, dan memerintahkan sebagian yang lain untuk mencari Danum
Kaharingan Belom (air kehidupan) di Bukit Kamiting.
Menjelang sore, pengawal yang diutus ke Bukit Kamiting telah kembali
dengan membawa Danun Kaharingan Belom. Ambun segera meneteskan air
kehidupan itu ke tulang-tulang adiknya yang sudah terpisah-pisah. Tidak lama
kemudian, tulang-tulang itu menyusun diri. Daging dan kulitnya pun kembali seperti
semula. Akhirnya Rimbun hidup lagi. Keluarga Ambun kini telah berkumpul kembali.
Setelah itu, Ambun mengajak keluarganya hidup bersama di istana Kerajaan
Sang Sambaratih dengan penuh kebahagiaan.
***
Demikian cerita Ambun dan Rimbun dari Kalimantan Tengah. Cerita di atas
termasuk ke dalam kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang
dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan
moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan memelihara keutuhan
keluarga dan keutamaan memiliki kemauan kuat untuk mengubah nasib.
Pertama, keutamaan memelihara keutuhan keluarga. Sifat ini tercermin
dalam kehidupan keluarga Ambun. Mereka senantiasa saling menyayangi,
menghormati dan saling menjaga. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku
Ambun. Setelah berhasil di perantauan, Ambun segera mencari ibunya yang tinggal
di kampung dan menghidupkan kembali adiknya yang sudah meninggal dunia.
Dikatakan dalam untaian syair Melayu:
wahai ananda dengarkan petuah,
berkasih sayang jadikan amanah
ke mana pergi engkau pelihara
supaya hidupmu beroleh berkah
Kedua, keutamaan memiliki kemauan kuat untuk mengubah nasib. Sifat ini
ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Ambun dan Rimbun untuk selalu bekerja keras
dan tabah menghadapi berbagai macam kesulitan. Hal ini dapat dilihat ketika
adiknya meninggal dunia di tengah perjalanan, Ambun tetap bersemangat dan
meneruskan perjalanannya pergi merantau. Akhirnya, dengan tekad kuat, kerja
keras dan ketabahannya, Ambun berhasil mengubah nasib keluarganya.
Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa dalam
kehidupan keluarga sebaiknya saling mendoakan antara anggota keluarga yang satu
dengan anggota keluarga lainnya. Hal ini ditunjukkan sikap Ibu Ambun dan si Nenek
yang senantiasa mendoakan si Ambun agar terhindar dari malapetaka dan berhasil
mencapai keinginannya.
Melihat Bidadari Bungsu tinggal sendirian, Anak Raja pun keluar dari
persembunyiannya, lalu menghampirinya.
”Hai, gadis cantik! Kamu siapa? Mengapa kamu menangis?” tanya Anak Raja
pura-pura tidak tahu.
”Aku Kencana, Tuan! Aku tidak bisa pulang ke Kahyangan, karena
selendangku hilang,” jawab Bidadari Bungsu.
”Kalau begitu, tinggallah bersamaku. Aku belum berkeluarga,” kata Anak Raja
seraya bertanya, ”Maukah kamu menjadi istriku?”
Sebenarnya Kencana sangat ingin kembali ke Kahyangan, namun
selendangnya tidak ia temukan, dan pelangi pun telah hilang. Sesuai dengan
janjinya, ia pun bersedia menikah dengan Anak Raja yang telah menolongnya itu.
Akhirnya, Kencana tinggal dan hidup bahagia bersama dengan Anak Raja.
Beberapa tahun kemudian. Kencana dan Anak Raja dikaruniai seorang anak
laki-laki. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan mereka. Mereka mengasuh anak itu
dengan penuh perhatian dan kasih-sayang. Selain mengasuh dan mendidik anak,
Kencana juga sangat rajin membersihkan rumah.
Pada suatu hari, Kencana membersihkan kamar di rumah suaminya. Tanpa
sengaja ia menemukan selendang miliknya yang dulu hilang. Ia sangat terkejut,
karena ia tidak pernah menduga jika yang mencuri selendangnya itu adalah
suaminya sendiri. Ia merasa kecewa dengan perbuatan suaminya itu. Karena sudah
menemukan selendangnya, Kencana pun berniat untuk pulang ke Kahyangan.
Saat suaminya pulang, Kencana menyerahkan anaknya dan berkata,
”Suamiku, aku sudah menemukan selendangku. Aku harus kembali ke Kahyangan
menemui keluargaku. Bila kalian merindukanku, pergilah melihat pelangi!”
Saat ada pelangi, Kencana pun terbang ke angkasa dengan mengipas-
ngipaskan selendangnya menyusuri pelangi itu. Maka tinggallah Anak Raja bersama
anaknya di bumi. Setiap ada pelangi muncul, mereka pun memandang pelangi itu
untuk melepaskan kerinduan mereka kepada Kencana. Kemudian oleh mayarakat
setempat, pendukung cerita ini, gerakan Kencana mengipas-ngipaskan
selendangnya itu diabadikan ke dalam gerakan-gerakan Tari Patuddu, salah satu
tarian dari daerah Mandar, Sulawesi Barat.
Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan sambil membawa buah-
buahan untuk persiapan makan malam mereka. Istrinya pun menyambutnya dengan
penuh harapan. Usai menyuguhkan minuman, sang Istri bertanya kepada suaminya.
“Bang, bagaimana hasilnya? Apakah Abang sudah menemukan tempat yang
cocok untuk dijadikan lahan perkebunan?”
“Iya, Dik! Abang sudah menemukan sebidang tanah yang subur,” jawab sang
Suami.
Mendengar jawaban suaminya, sang Istri merasa gembira. Ia berharap
dengan adanya pekerjaan baru tersebut kehidupan keluarga mereka akan menjadi
lebih baik suatu hari kelak.
“O iya, Bang! Kalau Adik boleh tahu, di mana letak lahan itu?” sang Istri
kembali bertanya.
“Letaknya tidak jauh dari rumah kita,” jawab sang Suami.
“Syukurlah kalau begitu, Bang! Kita tidak perlu berjalan jauh untuk mencapainya. Lalu, kapan
Abang akan memulai membuka lahan?” tanya sang Istri.
“Kalau tidak ada aral melintang, besok Abang akan memulainya,” jawab sang
Suami dengan penuh keyakinan.
Beberapa saat kemudian, hari sudah mulai gelap. Sang Istri pun menyiapkan
makan malam seadanya. Usai makan malam, keluarga miskin tersebut beristirahat
setelah hampir seharian bekerja. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami
berangkat ke hutan sambil membawa parang dan cangkul. Sesampainya di tempat
yang akan dijadikan lahan perkebunan, tiba-tiba muncul sifat malasnya. Ia
bukannya membabat hutan, melainkan duduk termenung sambil memerhatikan
pepohanan yang tumbuh besar dan hijau di hadapannya. Sementara itu, istri dan
anaknya sedang menunggu di rumah dengan penuh harapan. Sang Istri
mengharapkan agar suaminya segera membuka lahan perkebunan.
“Anakku! Jika Ayahmu telah selesai membuka lahan perkebunan, kita bisa
membantunya menanam sayur-sayuran dan umbi-umbian di kebun,” ujar sang Ibu
kepada anaknya.
“Bolehkah aku ikut membantu, Ibu?” tanya anaknya.
“Tentu, Anakku! Ayahmu pasti sangat senang jika kamu juga ikut
membantunya,” jawab sang Ibu sambil tersenyum.
Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan. Ia pun disambut oleh
istrinya dengan suguhan air minum. Setelah suaminya selesai minum dan rasa
capeknya hilang, sang Istri pun kembali menanyakan tentang hasil pekerjaannya
hari itu.
“Bagaimana hasilnya hari ini, Bang?”
“Belum selesai, Dik!” jawab sang Suami. Keesokan harinya, sang Suami kembali ke hutan.
Setiba di sana, ia pun kembali hanya duduk termenung. Begitulah pekerjaannya setiap hari. Begitupula
jika ditanyai oleh istrinya tentang hasil pekerjaannya, ia selalu menjawab “belum selesai”.
Oleh karena penasaran ingin melihat hasil pekerjaan suaminya, suatu siang
sang Istri menyusulnya ke hutan tempatnya bekerja. Sesampainya di tempat itu, ia
mendapati suaminya duduk termenung sambil bersandar di bawah sebuah pohon.
Alangkah kecewanya sang Istri, karena lahan perkebunan yang diharapkannya tidak
terwujud.
“Bang! Mana lahan perkebunan itu?” tanya sang Istri.
Mendengar pertanyaan istrinya itu, sang Suami bukannya menjawabnya.
Akan tetapi, ia segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian langsung pulang
dengan perasaan marah. Rupanya, ia merasa tersinggung karena istrinya menyusul
ke hutan. Mengetahui suaminya marah, sang Istri pun mengikutinya dari belakang.
Sesampai di rumah, kemarahan sang Suami semakin memuncak. Ia melampiaskan
kemarahannya dengan membanting barang-barang yang ada di dalam rumahnya.
Sang Istri yang tidak menerima kelakuan suaminya itu langsung berlari menuju ke
hutan sambil menangis. Sesampainya di tengah hutan, ia langsung menceburkan
diri ke dalam sebuah telaga. Sementara itu, sang Suami yang baru menyadari akibat
dari kelakuannya segera mengajak anaknya untuk menyusul istrinya ke tengah
hutan.
“Ayo Anakku, kita susul Ibumu ke hutan!” ajak sang Ayah sambil menarik
tangan anaknya.
“Baik, Ayah!” jawab anaknya.
Sesampainya di tengah hutan, tidak jauh dari hadapan mereka terlihatlah
sang Istri berada di tengah telaga. Tubuhnya sedikit demi sedikit menjelma menjadi
pohon sagu. Melihat peristiwa itu, ayah dan anak itu pun segera berlari mendekati
telaga.
“Maafkan aku, Dik! Kembalilah!” teriak sang Suami.
“Ibu…, Ibu…. Aku ikut!” teriak anaknya sambil menangis.
“Kamu di sini saja, Anakku! Tidak usah ikut ibumu, sebentar lagi dia
kembali,” bujuk sang Ayah.
“Tidak Ayah! Aku mau ikut Ibu,” kata anaknya meronta-ronta.
Sang Ayah terus berusaha membujuk anaknya agar berhenti menangis. Namun, sang Anak
tetap menangis dan bersikeras ingin ikut ibunya. Saat sang Ayah lengah, si anak pun berlari dan terjun
masuk ke dalam telaga. Maka seketika itu pula, ia menjelma menjadi sebatang pohon sagu seperti
ibunya.
Setelah melihat peristiwa itu, barulah sang Suami sadar dan menyesali
semua perbuatannya.
“Maafkan aku, Istriku! Maafkan aku, Anakku! Aku sangat menyesal atas
semua perbuatanku kepada kalian,” ucapnya sambil menangis berderai air mata.
Berulang kali sang Suami meminta maaf kepada istri maupun kepada anaknya. Namun, apa
hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Menyesal kemudian tiadalah guna. Istri dan anaknya telah
menjelma menjadi pohon sagu. Ia pun tidak ingin hidup sendirian tanpa istri dan anaknya. Akhirnya, ia
pun ikut terjun ke dalam telaga itu. Ketika itu pula ia pun menjelma menjadi sebatang pohon palem.
29. GORONTALO
Legenda Bulalo Lo Limutu (Danau Limboto)
Dulunya, kabupaten Limboto merupakan lautan yang di batasi oleh dua
gunung, yaitu gunung Tilongkabila dan gunung Boliohuto. Suatu hari, air laut itu
surut,sehingga membentuk sebuah daratan yang lama kelamaan menjadi hutan
lebat dan penuh semak belukar. Tapi dataran rendahnya sebagian besar masih di
genangi air tawar. Sedangkan mata air yang bersih dan jernih berada di daratan,
tepatnya di tengah - tengah hutan yang sulit banget di jangkau oleh manusia.
Tempat itu di sebut tupalo, dan para bidadari sering mandi di situ. Ketika mereka
sedang mandi, datang seorang cowok yang merupakan jelmaan dari khayangan.
Cowok tersebut bernama Jilumoto. Dia berhasil mengambil sayap milik Mbu'i
Bungale, kakak tertua dari rombongan bidadari - bidadari itu. setelah selesai mandi,
Mbu'i Bungale nyadar kalau sayapnya hilang dan dia ga' bisa balik ke langit bersama
saudara - saudaranya. Di saat itu juga, Jilumoto muncul dari tempat
persembunyiaannya dan berkenalan dengan Mbu'i Bungale. Ga' nyangka ternyata
perkenalan itu berakhir pada sebuah pernikahan. Pasangan suami - istri ini pun
memutuskan untuk menjadi penghuni dunia dan memilih tinggal di Huntu Lo ti'opo
atau bukit kapas.
Suatu saat, Mbu'i Bungale mandapat kiriman sebuah mustika sebesar telur itik dari khayangan.
Mustika itu di sebut Bimelula, yang kemudian di simpan di tupalo dan di tutup dengan sebuah tolu
(tudung). Suatu hari, ada empat orang cowok yang berasal dari bagian timur dan tersesat di tengah
hutan. Mereka mencari air bersih untuk di minum. Akhirnya mereka menemukan tupalo. Begitu melihat
air yang jernih dan dingin itu, mereka langsung terjun, mandi dan mengambil air tersebut. Setelah itu,
mereka melihat ada tolu yang terapung - apung. Mereka pun mendekati dan berniat mengambil tolu itu.
Tiba - tiba suasana berubah. langit yang cerah berubah menjadi gelap. badai dan angin topan, serta
hujan datang bersamaan menerpa mereka. sejenak mereka mencari tempat untuk berlindung. Setelah
hujan dan badainya reda, mereka kembali ke tupalo untuk mencari tau siapa pemilik tolu itu. Ga' lama
kemudian Mbu'i Bungale datang bersama Jilumoto, keempat cowok tadi pun langsung bersembunyi dan
mengintip. Di saat Mbu'i Bungale mendekati tolu, mereka pun langsung menghadang dan berkata
"siapa kalian? buat apa kalian datang ke tempat ini?". Mbu'i Bungale pun menjawab "saya Mbu'i Bungale
dan ini Jilumoto,suami saya. Kami datang ke sini untuk menjemput Bimelula dalam tolu itu." keempat
orang itu menjawab dengan lantang "ini tempat kami,tak seorang pun yang bisa datang ke sini,apalagi
mengambil barang - barang yang ada di sini." Mbu'i Bungale pun balik bertanya " apa buktinya kalau
semua ini milik kalian? Jika kalian yang menguasai mata air dan tolu itu, maka ubahlah mata air itu
menjadi sebuah danau. Dan ku ingatkan kepada kalian bahwa daratan dan mata air ini pemberian Allah
SWT yang di tujukan kepada makhluk yang berbudi pekerti, baik, menghargai sesama dan selalu berkata
jujur. oleh karena itu, jagalah! dan jangan cemarkan!". Tanpa basa - basi, keempat orang itu segera
memasang mantra untuk meluaskan mata air tersebut. Berbagai macam gaya di peragakan seiring
dengan kalimat - kalimat aneh yang keluar dari mulut mereka. Malangnya, mata air tersebut tetap
tenang, tak mengalami perubahan sedikit pun. Hanya tubuh merekalah yang basah kuyup seperti kucing
kehujanan. Mbu'i Bungale tersenyum melihat tingkah mereka, sambil berkata "ayo,keluarkan semua
kekuatan kalian. Buktikan bahwa tempat ini milik kalian. Atau mungkin kalian menyerah dan mengakui
kebohongan kalian..?" salah satu dari mereka menjawab "perlihatkan kepada kami bahwa kamu pemilik
tolu dan Bimelula itu." Mbu'i Bungale kemudian bersedekap dan memohon ijin dan petunjuk dari sang
Penguasa. Lalu ia berkata "Woy air kehidupan, mata air berkah, melebarlah! meluaslah..!" wuuusstt..ga'
lama kemudian terdengarlah gemuruh air, tanah menggelegar, berlahan - lahan mata air itu melebar
dan meluas. Dalam sekejap Mbu'i Bungale dan Jilumoto telah berada di atas pohon, sementara keempat
orang itu memanjat pohon kapuk di sekitar hutan.
Air semakin tinggi dan mulai mencapai puncak pohon, tempat ke empat
tersebut. Mereka berteriak - teriak minta tolong kepada Mbu'i Bungale. Dengan
penuh permohonan mereka berkata "Kami mohon ampun kepadamu dan suamimu.
Kami mengaku salah dan kami akui bahwa tempat ini beserta isinya milik kalian".
Mbu'i Bungale langsung turun dari pohon, lalu datang membawa tolu dan Bimelula.
Kemudian Bimelula itu di letakkkan di atas telapak tangannya ddan tak lama
kemudian keluarlah seorang gadis kecil yang sangat cantik, laksana bulan
bercahaya. gadis itulah yang kemudian di kenal dengan nama Tolango Hula yang
berasal dari Tolango Lo Hula. Dialah yang akan menjadi raja Limboto.
30. MALUKU
Si Rusa dan Si Kulomang
Rusa di Kepulauan Aru mempunyai kemampuan berlari dengan sangat
cepat. Namun, karena kelebihan itu, mereka menjadi hewan yang sombong dan serakah. Demi
kesenangan, mereka menantang hewan lain untuk berlomba lari. Lawan yang berhasil dikalahkan harus
menyerahkan tempat tinggal mereka kepada rusa. Tentu saja rusa yang jadi pemenangnya. Sudah
banyak wilayah di Kepulauan Aru yang berhasil mereka kuasai. Luasnya wilayah mereka membuat rusa
semakin merasa berkuasa. Mereka mengganggap diri mereka bangsa penguasa pulau.
Di tempat lain, di tepian Pulau Aru, terdapat sebuah pantai yang sangat indah. Deburan ombak
yang lembur, tiupan angin yang sejuk, dan hamparan pasir yang hangat membuat siapa pun yang
berada di sana merasa nyaman. Di sanalah hidup siput laut yang terkenal sebagai hewan yang cerdik dan
sabar. Mereka hidup bersama dan saling tolong-menolong. Mereka sadar akan kelemahan tubuh
mereka. Tapi, mereka percaya bahwa kekuatan otak tidak kalah dengan kekuatan apapun. Pada suatu
hari, rusa menantang siput yang bernama Kulomang untuk bertanding. Selain ingin menguasai
keindahan pantai, rusa ingin memuaskan hati dengan menambah koleksi kemenangan. Rusa sangat
yakiin dapat mengalahkan siput. Di seluruh pulau, siputlah binatang yang terkenal paling lambat
berjalan. Berjalan dan berlari tidak terlihat bedanya. Selain itu, siput selalu membawa cangkang yang
ukurannya melebihi tubuh mereka. Bagi rusa, tidak ada halangan yang mengganggunya untuk
memenangkan pertandingan. Tapi, ada satu hal yang dilupakan rusa, siput adalah binatang yang
terkenal dengan kecerdikannya.
Hari pertandingan pun tiba. Rusa membawa rombongannya untuk
menyaksikan pertandingan dengan wajah optimis. Tak mau kalah, siput juga
membawa sepuluh temannya. Masing-masing dari mereka ditempatkan di setiap
pemberhentian yang telah ditentukan. Dia meminta agar teman-temannya
membalas setiap perkataan rusa. Jalur yang akan mereka pakai, melewati 11
tempat peristirahatan termasuk tempat dimulainya pertandingan. Dia sendiri akan
berada di garis start bersama rusa sombong.
“Sudah siap menerima kekalahan, siput?” tantang rusa dengan congkaknya.
“Siapa takut?!” ujar siput pendek.
Pertandingan pun dimulai. Si rusa lari secepat kilat mendahului siput.
Sementara siput berjalan dengan tenang ke arah semak-semak. Beberapa jam
kemudian, rusa sudah sampai ke pos pemberhentian pertama. Napasnya naik turun
dengan cepat. Sambil bersandar kelelahan di pohon yang rimbun, rusa bergumam.
“Baru sampai mana si lambat itu berlari? Hihihihi…?”
“Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake
majobubu” Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata,
mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air. Itulah arti kejadian tersebut, yang
ditemukan berkat ritual.
Setelah Ritual itu selesai di lakukan maka, Kepala Desa menyuruh warganya
untuk berkumpul di pusat desa. Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya “Di
antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak berada di
rumah”. Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung
jumlah anggota keluarganya. Akhirnya diketahui bawa ada dua keluarga yang
anggotanya belum lengkap. Mereka adalah Majojaru (nona) dan Magohiduuru
(nyong). Setelah itu salah seorang dari warga bercerita tentang mereka berdua.
Dulu ada Sepasang Kekasih yang berjanji untuk sehidup semati. Mereka
bernama Majojaru dan Magohiduuru. Suatu hari Magohiduuru pergi berkelana ke
negeri seberang, selama hampir satu tahun Magohiduuru belum juga kembali.
Majojaru yang terus menunggu dengan setia lama kelamaan menjadi cemas. Suatu
hari Majojaru melihat kapal yang dinaiki Magohiduuru datang. Namun Setelah
bertanya dengan awak kapal di mendengar bahwa Magohiduuru sudah meninggal
dunia ketika di negeri seberang.
Mendengar Kabar tentang Magohiduuru, Majojaru terhempas ke tanah.
Mereka berjanji sehidup semati, tetapi sekarang Magohiduuru telah tiada. Kabar
yang di dengarnya membuat dia seakan – akan kehilangan dirinya sendiri dan
tujuan hidupnya.
Hati yang sedih menyelimuti raut muka Majojaru, muka yang tidak punya
harapan hidup tampak dari raut wajahnya. Dengan perlahan – lahan di berjalan menuju ke
rumahnya, di tengah perjalanan dia berteduh di sebuah pohon, dan bebatuan. Merenung dan meratapi
nasibnya, pikirannya melayang layang, lalu teringat akan kekasihnya Magohiduuru. Air mata keluar dari
matanya setetes demi setetes, hingga tiga hari tiga malam telah terlewati. Air matanya yang terus
mengalir, lama-kelamaan, semakin banyak hingga menggenangi dirinya sendiri. Majojaru larut dalam
kesedihan, dan tanpa di sadari air matanya menggenang tinggi, hingga menenggelamkan bebatuan
tempat ia duduk, lama kelamaan ia pun ikut tenggelam dan meninggal dunia di sana.
Telaga kecil pun terbentuk dari Air mata Majojaru. Airnya sebening air mata
dan warnanya sebiru pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun
berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga itu. Telaga yang
berasal dari tetesan air mata itu lama – lama airnya berubah menjadi kebiru –
biruan, sehingga penduduk di dearah sana, memberi nama Telaga Biru.
33. PAPUA
Asal Mula Nama Irian
Dahulu kala, di Kampung Sopen, Biak Barat tinggal sebuah keluarga yang
memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut bernama Mananamakrdi.
Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis,
sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Maka, saudara-saudaranya selalu
meminta Mananamakrdi tidur di luar rumah. Jika Mananamakrdi melawan, tak
segan-segan saudara-saudaranya akan menendangnya keluar hingga ia merasa
kesakitan.
Suatu hari, saudara-saudaranya sudah tak tahan dengan bau kudis itu. Maka,
Mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke
arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu yang tertambat.
Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah daratan yang tak lain adalah
Pulau Miokbudi di Biak Timur.
Ia membuat gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi memangkur
sagu untuk mencukupi kebutuhan makannya. Selain itu, ia juga membuat tuak dari
bunga kelapa. Kebetulan di hutan itu terdapat beberapa pohon kelapa yang dapat
disadapnya. Setiap sore, ia memanjat kelapa, kemudian memotong manggarnya. Di
bawah potongan itu diletakkan ruas bambu yang diikat. Hari berikutnya, ia tinggal
mengambil air nira itu kemudian dibuat tuak. Suatu siang, ia amat terkejut, nira di
dalam tabungnya telah habis tak bersisa. Mananamakrdi sangat kesal. Malam itu ia
duduk di pelepah daun kelapa untuk menangkap pencurinya. Hingga larut malam
pencuri itu belum datang. Menjelang pagi, dari atas langit terlihat sebuah makhluk
memancar sangat terang mendekati pohon kelapa tempat Mananamakrdi
bersembunyi. Makhluk itu kemudian meminum seluruh nira. Saat ia hendak lari,
Mananamakrdi berhasil menangkapnya. Makhluk itu meronta-ronta.
“Siapa kamu?” tanya Mananamakrdi.
“Aku Sampan, si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku, matahari
hampir menyingsing,” katanya memohon.
“Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik,” pinta
Mananamakrdi.
“Sabarlah, di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis yang
kamu inginkan sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu, kemudian
lemparkan satu buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan menjadi istrimu,” kata Sampan.
Mananamakrdi kemudian melepaskan Sampan.
Sejak itu setiap sore Mananamakrdi duduk di bawah pohon bitanggur memperhatikan gadis-
gadis yang mandi. Suatu sore, dilihatnya seorang gadis cantik mandi seorang diri. Gadis itu tak lain
adalah Insoraki, putri kepala suku dari Kampung Meokbundi. Segera dipanjatnya pohon bitanggur.
Kulitnya terasa sakit bergesekan dengan pohon bitanggur yang kasar itu. Diambilnya satu buah
bitanggur, dan dilemparnya ke laut.
Bitanggur itu terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki hingga ia merasa
terganggu. Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu kembali terbawa
air dan mengenai Insoraki. Kejadian itu berlangsung berulang-ulang hingga Insoraki
merasa jengkel. Ia kemudian pulang.
Beberapa hari kemudian, Insoraki hamil. Kejadian aneh di pantai ia ceritakan
kepada orangtuanya. Tentu saja orangtuanya tak percaya. Beberapa bulan
kemudian, Insoraki melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat lahir, bayi itu tak
menangis, namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian, diadakan pesta
pemberian nama. Anak itu diberi nama Konori. Mananamakrdi hadir dalam pesta itu.
Saat pesta tarian berlangsung, tiba-tiba Konori berlari dan menggelendot di kaki
Mananamakrdi. “Ayaaah ...,” teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta tarian
kemudian terhenti.
Akhirnya, Isoraki dan Mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala suku dan penduduk kampung
merasa jijik dengan Mananamakrdi. Mereka pun meninggalkan kampung dengan membawa semua
ternak dan tanamannya. Jadilah kampung itu sepi. Hanya Mananamakrdi, Insoraki, dan Konori yang
tinggal. Suatu hari, Mananamakrdi mengumpulkan kayu kering, kemudian membakarnya. Insoraki dan
Konori heran. Belum hilang rasa heran itu, tiba-tiba Mananamakrdi melompat ke dalam api. Spontan,
Insoraki dan Konori menjerit. Namun ajaib, tak lama kemudian Mananamakrdi keluar dari api itu dengan
tubuh yang bersih tanpa kudis. Wajahnya sangat tampan. Anak dan istrinya pun gembira.
Mananamakrdi kemudian menyebut dirinya Masren Koreri yang berarti pria yang suci. Beberapa lama
kemudian, Mananamakrdi mengheningkan cipta, maka terbentuklah sebuah perahu layar. Ia kemudian
mengajak istri dan anaknya berlayar sampai di Mandori, dekat Manokwari.
Pagi-pagi buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya tanah berbukit-
bukit yang amat luas. Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar pagi. Tampak
pegunungan yang amat cantik. Tak lama kemudian matahari bersinar terang, udara
menjadi panas, dan kabut pun lenyap.
“Ayah ... Irian. Iriaaan,” teriak Konori. Dalam bahasa Biak, irian berarti panas.
“Hai, Anakku, jangan memekik begitu. Ini tanah nenek moyangmu,” kata Mananamakrdi.
“Iya, Ayah. Maksud Konori, panas matahari telah menghapus kabut pagi,
pemandangan di sini indah sekali,” kata Konori.
Konon, sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama Irian. Air laut
yang membiru, pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau, dan burung
cendrawasih yang anggun dan molek membuat Irian begitu indah.