Anda di halaman 1dari 22

PENDAHULUAN

Kadmium (Cd) adalah logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak larut dalam
basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan kadium oksida bila dipanaskan. Cd umumnya terdapat
dalam kombinasi dengan klor (Cd klorida) atau belerang (Cd sulfit). Kadmium bisa membentuk
ion Cd*2 yang bersifat tidak stabil. Cd memiliki nomor atom 40, berat atom 112,4 g/ mol; titik
leleh 321° C, dan titik didih 767° C (Gambar 4.1).

Kadmium bersifat lentur, tahan terhadap tekanan, serta dapat dimanfaatkan sebagai pencampur
Iogam Iain, seperti nikel (Ni), emas (Au), kupnun (Cu), dan besi (Fe).

Cd terutama terdapat dalam kerak bumi bersama dengan seng (Zn). Terdapat satu jenis
mineral Cd di alam, yaitu green ockite (CdS) yang ditemukan bersama mineral spalerite (ZnS).
Kadmium (Cd) yang terdapat di dalam lingkungan pada kadar yang rendah berasal dari kegiatan
penambangan seng (Zn). timah (Pb), dan kobalt (Co) serta kuprum (Cu). Sementara dalam kadar
tinggi, kadmium berasal dari emisi industri, antara lain dari hasil sampingan penambangan,
peleburan seng (Zn) dan timbal (Pb). Cd dari hasil sampingan peleburan dan refining bijih Zn
ratarata memiliki kadar Cd sebesar 0,2- 0,3%. Sumber lain adalah dari penggunaan sisa lumpur
kotor sebagai pupuk tanaman yang kemudian terbawa oleh aliran angin dan air.

Sumber pencemaran dan paparan Cd berasal dari polusi udara, keramik berglazur, rokok,
air sumur, makanan yang tumbuh di daerah pertanian yang tercemar Cd, fungisida, pupuk, serta
cat. Paparan dan toksisitas Cd berasal dari rokok, tembakau, pipa rokok yang mengandung Cd,
perokok pasif, plastik berlapis Cd, serta air minum.
Pengguanaan dalam bidang industri

Kadmium (Cd) merupakan logam yang sangat penting dan banyak kegunaannya,
khususnya untuk electroplating (pelapisan elektrik) sem galvanisasi karena cd memiliki
keistimewaan nonkorosif. Cd benyak di gunakan dalam pembuatan alloy, dan digunakan pula
sebagai pigmen warna cat, keramik, plastik, stabilizer plastik, katode untuk Ni-Cd pada baterai,
bahan fotografi, pembuatan tabung TV, karet, sabun, kembang api, percetakan tekstil, dan
Pigmen untuj gelas dan email gigi.

Pemanfaatan Cd dan persenyawaaannya meliputi


1. Senyawa CdS dan CdSeS yang banyak di gunakan dalam zat warna
2. Senyawa Cd Sulfat ( CdSO4 ) yang di gunakan dalam industry baterai yang berfungsi sebagai
pembuatan sel wseton karena memiliki potensial voltase yang stabil, yaitu 1,0186 volt.
3. Senyawa Cd-Bromida (CdBr) dan Cd-ionida (CdI2) yang di gunakan sebagai fotografi.
4. Senyawa dietil- Cd [(C2H5Cd)5 Cd] yang di gunakan dalam pembuatan tetraetil-Pb.
5. Senyawa Cd-Asetat untuk perindustrian manufakktor polyvinilkhlorida (PVC) sebagai bahan
untuk stabilizer
Cd dalam konsentrasi rendag banyak di gunakan dalam industry pada proses pengolahan
roti , pengolahan ikan , pengolahan minuman , serta industry tekstil.

Tingkat Pencemaran
Sehubungan dengan beraneka ragamnya penggunaan logam Cd, maka pelepasan Cd dari
limbah indistri di tambah dengan Cd yang berasal dari alam akan menimbulkan pencemaran
lingkungan. Kadnium (Cd) bias berada di atmosfer , tanah , dan perairan.
Kadnium di atmosfer berasal dari penambangan atau oengolahan bahan
tambang.peleburan , galvanisasi , pabrik pewarna , pabrik batrai , dan electroplating. Kadnium di
tanah berasal dari endapan atmosfer , debu , air , limbah tambang , air prossesing limbah , dan
limbah cairan industry.
Teluk Jakarta telah tercemar Hg melebihi ambang batas , yaitu melebihi 0.5ppb. selain
tercemar Hg, teluk Jakarta juga tercemar berbagai unsur Zn (seng) , Cu(tembaga) , Cd(kadnium),
dan Pb(timbal) yang telah melampaui nilai ambang batas. Sumber pencemaran di akibatkan oleh
pembuangan limbah industry kertas ,minyak goreng , dan industri pengolahan logam di Kawasan
Pantai Maruda ( Gamulya,2006).
Banyak sungai di Indonesia telah tercemar berbagai jenis logam , seperti kali Surabaya,
kali Porong,S.muai , dan Sembilan sungai di Bekasi yang terkontaminasi oleh logam Cd
melebihi baku mutu ( Setyorini, 2003). Penelitian tahun 1993 menunjukkan kadar logam verat
Cd di lumpur Keputih adalah yang tertinggi di dunia , yakni 1,575 ppm ( Setyorini, 2003)
Pencemaran di daerah ekosistem pesisir kenjera , Surabaya , oleh logam berat Cd di
sebabkan oleh kegiatan pembangunan. Berdasarkan hasil penelitian , rata rata konsentrasi Cd
dalam limbah electroplating ada;ah sebesar 0,830 mg/L., industry percetakan sebesar 0,0731
mg/L , industri makanan sebear 0,0066 mg/L. Kadar Cd di sarankan meliputi konsentrasi Cd di
sungai sebesar 0,0295 mg/L dan sedimen sebesar 3,8056 mg/L. Kadar Cd di muara Kenjeraan
meliputi konsentrasi Cd pada air laut sebesar 0,0327 mg/L sedimen sebesar 0,4815 mg/L dan
pada kerrang sebesar 0,2081 mg/L (imron,2006)
Pada penelitian terhadap sedimen di muara kali Wonokromo di temukan kandungan Cd
11,7495 mg/L dan di muara kali Wonorejo sebesar 7,7468 mg/L ( Arisandi , 2001)
Berdasarkan laporan pemantauan kualitas air oleh puslitbang pengairan Departemen
Pekerjaaan Umum tahun 1989 , rata rata kadar logam Cd di sungai sungai di pulau Jawa adalah
0,04 mg/L , dan di kalimantan 0,06 mg/L yang telah melampaui baku mutu air golongan B , yaitu
0,01 mg/L.
Air minum di berbagai daerah mengandung Cd dengan konsentrasi 1-5 µg/L yang
melampaui. Peraturan Pemerintah nomor 20/1990dengan kadar maksimum Cd dalam air minum
sebesar 0,005 µg/L ( Anonim , 2005).
Hasiil penelitian LIPI tahun 2000 di sedimen perairan Teluk Buyat menunjukan Kadar cd
sebesar 0,14 ppm ( siregar,2004)
Logam berat Cd yang di temukan dalam ikan keting dan bader di sungai Surabaya adalah
sebesar 0,05ppm , sedangkan dalam tubuh kerrang yang hidup di pantai desa Tipun berkisar
antara 0,1174 – 0,1635 ppm melebihi nilai ambang batas yang di tetapkan oleh FAO , yakni
sebesar 0,1ppm.
Dalam penelitian terhadap kupang beras (Tellina versicolor )di pantai Kraton Pasuruan
Jawa timur , dengan pengambilan sampel 2 minggu sekali selama April hingga Juni 2002 ,
diketahui bahwa kadar Cd di dalam kupang beras berdasar berat basah mengalami fluktuasi ,
yaitu dnegan kadar tertingg Cd 2,75 ppm dan terendag 2,43 ppm, sedangkan kadar cd di dalam
Kuoang beras berdasarkan berat kering adlah 11,28 ppm dan 10,03 selama 3 bulan di Pantai
Kraton Pasuruan-Jawa Timur, perhatikan gambar 4.2 (Kurnianta, 2002)

Berdasarkan hasil penelitian , kadungan Cd dalam daging kuoang beras sebesar 2,64 ppm
(berat basah) telah melampaui batas toleransi yang di temukan oleh Acceptable Daily Intake
(ADI) sebesar 25-60 µg/hari (Kurnianta, 2002)
Berdasarkan hasil penelitian di beberapa tempat di kota Semarang di ketahui bahwa hai
ayam juga mengandung logam Cd. Terdapat perebesaan kadar Cd pada hati ayam dari tempat
pemotongan ayam , pasar trasidisional, dan pasar swalayan. Demikian juga , terdapat perbedaan
kadar Cd pada hati ayam buras dan ras. Untuk lebih jelasnya perhatikan table 4.1 .

Beras di jawa Barat mengandung cd 0,02 ppm , di Jawa Tengah 0,030 ppm , dan di Jawa
Timur 0,030 ppm di jawa timur 0,036 ppm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beras IR 64
yang di pasarkan di Bnadung mengandung 0,24 ppm dan beras Cisadane dan Saigon yang di
pasarkan di Tanggerang telah tercemar Cd sebesar o,33 ppm ( Suzuki et al.,1980)
Berdasarkan hasil penelitian terhadap lima asar di sekitar Rawa Pening – Jateng , di
ketahui bahwa udang (Macrobrachium p) dan keong air tawar (Pila sp) mengandung logam berat
Cd untuk lebih jelasnya perhatikan table 4.2.

Pada tahun 1988, Lembaga Ekologi Universitas Padjadjaran – Bandung bekerja sama
dengan tim peneliti dari Jepang menemukan kandungan logam berat Cd berkisar antara 0,27 ppm
dan 0,34 ppm dalam beras di Kawasan sekitar Bandung ( Soeemarwoto, 2004)
Dalam laporan BPLHD Jawa Barat pada tahun 2002 telah terjadi hujan asam yang
mengakibatkan pH tanah turun sehingga mempermudah larutnya logam berat, misalnya Cd , srts
meningkatnya penyerapan Cd oleh tumbuhan. Penggunaan kotoran dan pupuk fosfor
mengandunf Cd bias meningkatkan kadar Cd pada makanan ( Soemarwoto,2004)
Tanaman bawang merah asal Tegal dan Brebes , Jawa Tengah menganadung Cd sebesar
0,05 – 0,34 ppm melampaui nilai ambang batas Cd untuk kelompok sayuran yang di tetapkan
oleh Codex Alimen-tarius Communication ( CAA) sebesar 0,05 ppm ( Anomim , 2003)
Tanaman padi dan berbagai jenis tanaman lain yang tumbuh du tanah bias terkontaminasi
oelh kadnium (Cd) sehingga turut menyumbangjan makanan yang telah tercemar Cd bagi
manusia yang mengkosumsinya. Factor yang menentukan kadar Cd di tanah adalah cemaran Cd
dari udara , kadar Cd di perairan , system irigasi , dan Cd yang berasal dari pupuk. Pupuk fosat
yang sering di gunakan biasanya mengandung Cd tidak kurang daari 20 mg/kg. hasil penelitian
menunjukkan terjadinya peningkatan kadar Cd dalam tanah dan biji barley dengan penggunaan
pupuk fosfat. Penggunaan limbah/lumpur komersial sebagai pupuk yang mengandung Cd
mencapai 1.500 mg/kg berat kering juga bias meningkatkan kadar Cd dalam tanah ( Klassen et
al., 1986 ; Sumarsih,2001)
Berdasarkan hasil penelitian Dinas Pertanian Tanaman Pangan ,kabupaten Bandung,
lahan sawah kabupaten Bandung yang tercemar limbah pabrik mencapai 395 ha. Hasil analisis
menunjukkan bahwa beras dari lahan yang tercemar mengandung Cd sebesar 1,53 mg/kg,
melampaui ambang batas sebesar 0,05 mg/kg. demikian juga tanaman petsai yang kandungan
unsur Cd-nya telah melampaui ambang batas ( Anonimus, 2002)
Penelitian kadar logam berat Cd yang di lakukan pada tiga titik meliputi Daerah Aliran
Sungai (DAS) Bengawan Solo , Kecamatan Nguter , Kabupaten Sukoharjo ;outlet S. Premulung
daerah Bekonang-Sukoharjo , dan outlet S. anyar daerah Jabres-Solo. Di setiap titik di ambil 3
sampel ikan sapu sapu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata rata kandungan logam berat Cd
pada ikan di Nguser adalah sebesar 0,006 mg/100g, di Bekonang 0,003 mg/100g , dan di Jabres
-Solo 0,005 mg/100g ( Setyarini dan Susilowati , 2015)

Hasil penelitian terhadap air susu ibu warga Kenjeran Surabaya menunjukkan adanya
kandungan Cd sebesar 36,2mg/L melampaui ambang batas sebesar 20 mg/L ( Setyorini, 2003)

Bagi non pekerja industry yang menggunakan bahan baku Cd atau membuang limbah
Cd , sumber paparan Cd dapat berasal dari rokok. Satu batang rokok mengandung 1-2 µg Cd dan
sekitar 10% yang di kandung rokok terinhalasi (1-2 µg) (Klassen etl.,1986; Relfe , 2003)

Daging, ikan , dan buah buahan mengandung 1-50 µg/kg , biji bijian mengandung 10-150
1-2 µg/kg , dan kandungan tersebar terdapat di hari di hariserta ginjal hewan. Shellfish seperti
mussel , scallop , dan oyster merupakan makanan dengan kandungan Cd yang tinggi , bahkan
mampu mencapai 100-1000 µg/kg. Shellfih bias mengakumulasi Cd yang berasal dari air, lalu
diikat menjadi ikatan Cd-peptida. Total intake Cd dari makanan di Amerika Serikat dan Eropa
bervariasi. Pada umumnya kurang dari 100 µg/hari, sedangkan pencemaran Cd paling besar
terjadi di Jepang , di mana intake dari makanan dan minuman mencapai 150 µg/hari ( Klaassen
et al ., 1986)

Keracunan Cd di jepang di Jepang di kenal dengan penyakit itai – itai ( ouch – outch )
yang di tandai adanya osteomalasia dan asidosis pada tubuli renalis di karenakan penduduk
Jepang Jepang mengkonsumsi beras yang di panen dari persawahan yang di alirin air sungai
yang tercemar Cd yang berasal dari sisa sisa kegiatan pertambangan dengan kadar Cd 1 mg/kg
beras , sedangkan padi yang tidak tercemar hanya mengandungan 0,005 – 0,007 mg/kg
( Klaassen et al , 1986 )
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENCEMARAN
Metode yang biasa digunakan untuk membersihkan atau mengurangi pencemaran adalah
dengan tanaman yang disebut fitoremediasi. Tanaman dianggap sebagai hiperakumulator
Cd apabila mampu menyerap unsur Cd sebesar 100 ppm (Aiyen, 2005).

Terdapat 400 jenis tanaman hiperakumulator. Bukan hanya mampu membersihkan logam,
nonlogam, metaloid, tetapi juga senyawa organik. Berdasarkan logam yang diperlukan
untuk pertumbuhannya, dikenal berbagai jenis tanaman yaitu serpentine (memerlukan
tanah yang kaya unsur Ni, Cr, Mn, Mg, Co), seleniferous (memerlukan tanah yang kaya
unsur Se), uraniferous (memerlukan tanah yang kaya unsur uranium), dan calamine
(memerlukan tanah yang kaya unsur Zn dan Cd). Berdasarkan jenis logam yang bisa
diakumulasi, dikenal 3 jenis golongan tanaman yaitu akumulator Cu atau Co, akumulator
Zn/ Cd/ Pb, dan akumulator Ni. Contoh tanaman yang bersifat hiperakumulator, antara
lain Streptanthus polygaloides, Sebertia acuminata, Armeria maritima, Aeollanthus
biformifolius, Haumaniastrum katangense, Astralagus, genus Thlaspi dan Alyssum.
Tanaman sebagai hiperakumulator kadmium (Cd) adalah Thlaspi caerulescens. Daunnya
mampu mengakumulasi Cd sebesar 1800 ppm.

Proses bioremoval ion logam berat umumnya terdiri dari dua mekanisme yang
melibatkan proses active uptake dan passive uptake. Pada saat ion logam berat tersebar di
permukaan sel, ion akan mengikat bagian permukaan sel berdasarkan kemampuan daya
afinitas kimia yang dimilikinya. Jenis mikroorganisme yang mampu melakukan proses
bioremoval terhadap logam Cd secara passive uptake adalah alga Ecklonia radiata, fungi
Phellinus badius, dan Pinus radiata. Sementara itu, proses bioremoval terhadap logam
Cd secara active passive adalah yeast Saccharomyces cerevisie dan bakteri Citrobacter sp
(Suhendrayatna, 2002).
Penyerapan Cd pada pH 4,5 sebesar 87 mg Cd/g untuk Sargassum vulgare. 80 mg Cd/g
untuk Sargassum fluitans dan 74 mg Cd/g untuk Sargassum filipendula.
Jenis alga yang memiliki kemampuan tinggi untuk mengabsorpsi logam Cd sehingga bisa
digunakan sebagai bioindikator pencemaran adalah Chaetocerus sp, Euchema sp,
Cladophora glomerata, Euchema isiforme, Sargassum sp (Putra dkk., 2003).

A. EFEK TOKSIK
Kadmium (Cd) belum diketahui fungsinya secara biologis dan dipandang sebagai xenobiotik
dengan toksisitas yang tinggi dan merupakan unsur lingkungan yang persisten.

Efek toksik Cd akan menunjukkan gejala yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Tingkat dan lamanya paparan; semakin tinggi kadar dan semakin lama paparan, efek
toksik yang diberikan akan lebih besar. Kadmium dalam dosis tunggal besar mampu
menginduksi gangguan saluran pencernaan, sedangkan paparan Cd dalam dosis rendah
tetapi berulang kali bisa mengakibatkan gangguan fungsi ginjal.
2. Bentuk kimia dari logam berat Cd sebagai sebagai contoh toksisitas akut Cd yang
dinyatakan dengan LD50 pada tikus dalam bentuk senyawa Cd kaprilat sebesar 270 mg/
kg berat badan, Cd stearat 2013 mg/ kg berat badan, LD 50 pada mencit dalam bentuk
senyawa CdSO4 47 mg/ kg berat badan, CdCl 2 57 mg/ kg berat badan, Cd(NO 3)2 48 mg/
kg berat badan, Cd kaprilat 85 mg/ kg berat badan, Cd stearat 98 mg/ kg berat badan dan
CdCO3 202 mg/ kg berat badan. LD50 rata-rata 100 mg/ kg berat badan untuk garam
kadmium yang larut dan mencapai ribuan mg/ kg berat badan untuk garam kadmium
yang tidak larut.
3. Kompleks protein-logam ataupun kadmium bergabung dengan metalloprotein (MT) suatu
protein dengan bobot molekul rendah. Bentuk kompleks Cd kurang toksik dibandingkan
dengan Cd2+. Apabila Cd-MT melepaskan Cd2+, maka akibatnya adalah munculnya efek
toksik.
4. Faktor penjamu Cd seperti halnya toksikan lainnya. hewan tua dan hewan muda
umumnya lebih rentan daripada hewan dewasa muda. Hasil penelitian membuktikan
bahwa mencit dan tikus yang baru lahir mengabsorpsi Cd lebih besar daripada hewan
yang dewasa. Dua minggu setelah pemberian Cd, mencit muda mampu menyimpan 10%
dari Cd yang diberikan secara oral, sedangkan mencit dewasa mampu menyimpan 1%
dari Cd yang diberikan.
5. Faktor-faktor diet, misalnya defisiensi protein, Vitamin C, Vitamin D, Kalsium (Ca), dan
Besi (Fe) akan meningkatkan toksisitas Cd (Klassen et al., 1986; Palar, 1994; Lu, 1995,
Bestrache, 2003; Haas, 2005).

Kadmium (Cd) bentuk asap atau gas bisa berakibat fatal bila konsentrasi Cd 40-50 mg/ m 3
terinhalasi selama 1 jam dan konsentrasi Cd 9 mg/ m 3 terinhalasi selama 5 jam. Konsentrasi
lebih rendah tidak berakibat fatal (Bastarache, 2003).

Keracunan yang disebabkan oleh Cd bisa bersifat akut dan kronis. Keracunan akut Cd sering
terjadi pada pekerja di industri yang berkaitan dengan Cd. Peristiwa itu bisa terjadi karena
para pekerja terpapar uap logam Cd atau CdO. Gejala-gejala keracunan akut Cd adalah
timbulnya rasa sakit dan panas di dada. Akan tetapi, gejala keracunan tidak langsung muncul
saat penderita terpapar uap Cd atau CdO. Keracunan akut muncul setelah 4-10 jam sejak
penderita terapapar oleh Cd. Keracunan Cd bisa menimbulkan penyakit paru-paru akut.
Keracunan akut yang disebabkan oleh uap Cd atau CdO dapat menimbulkan kematian bia
konsentrasinya sebesar 2.500-2.900 mg/ m3. Sementara itu, para pekerja yang menggunakan
solder dengan kandungan Cd 24% akan berusia pendek dan kematian akan segera terjadi bila
konsentrasi uap solder secara keseluruhan sebesar 1 mg/ m3.

Paparan Cd secara akut bisa menyebabkan nekrosis pada ginjal dan paparan yang lebih lama
berlanjut dengan terjadinya proteinuria. Gejala lain toksisitas akut dari Cd adalah iritasi alat
respiratori, alat pencernaan, pneumonitis, sakit dada yang terkadang menyebabkan
hemorrhagic pulmonary edema, osteomalasia, batu ginjal dan hiperkalsinuria karena
gangguan metabolisme Ca dan P, alopesia, anemia, artritis, kanker, radang paru-paru,
perdarahan otak, serosis hati, pembengkakan jantung, diabetes, empisema, hipoglisemia,
hipertensi, impoten, infertil, kerusakan ginjal, kesulitan belajar, migrain, peradangan,
osteoporosis, skisofrenia, stroke, penyakit kardiovaskuler, kadar kolesterol tinggi, gangguan
pertumbuhan, mati atau kurang rasa, anemia, rambut rontok, kulit bersisik dan kering,
berbagai gejala yang kompleks dan bersamaan, kehilangan nafsu makan, daya tahan tubuh
lemah, kerusakan hepar dan ginjal, kanker, terjadinya metal fume fever gejala yang mirip flu,
kerusakan paru-paru, sakit kepala, kedinginan hingga menggigil, nyeri otot, nausea, vomiting
dan diare, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Toksisitas kronis Cd bisa merusak sistem fisiologis tubuh, antara lain sistem urinaria, sistem
respirasi (paru-paru), sistem sirkulasi (darah) dan jantung, kerusakan sistem reproduksi,
sistem syaraf, bahkan dapat mengakibatkan kerapuhan tulang. Toksisitas kronis Cd, baik
melalui inhalasi maupun oral, bisa menyebabkan kerusakan tubulus renalis, kerusakan ginjal
yang ditunjukkan oleh ekskresi berlebihan, protein berat molekul rendah, gagal ginjal,
gangguan sistem kardiovaskuler, gangguan sistem skelatal, menurunkan fungsi pulmo,
empisema, kehilangan mineral tulang yang disebabkan oleh disfungsi nefron ginjal,
berkurangnya reabsorpsi Ca, dan terjadinya peningkatan ekskresi Ca yang berpengaruh
terhadap tulang. Peningkatan ekskresi Ca tersebut di antaranya menyebabkan osteoporosis
dan osteamalsia, anemia, diskolorasi gigi menjadi kuning, rhinitis, ulserasi septum nasal,
anosmia, proteinuria, azotemia, jaundice, terjadinya kanker paru-paru dan prostat. Paparan
kronis Cd pada tikus melalui makanan yang mengandung 62 ppm CdCl2 akan mengakibatkan
gigi seri memutih dengan cepat, anemia yang hebat, hipertrofi jantung, serta hiperplasia
sumsum tulang.

Kadmium terabsorpsi lewat pencernaan sehingga menyebabkan mual, muntah, diare, sakit
perut, dan tenesmus. Inhalasi Cd menyebabkan demam, batuk, gelisah, sakit kepala, dan
nyeri perut.

Pemberian kadmium klorida (CdCl2) 9-18 mg/ kg berat badan secara subkutan pada kelinci
selama 5-12 hari bisa menyebabkan hiperanemia dan hemoragi serta rusaknya sel-sel
germinal dan sel Leydig.

Tikus yang terpapar Cd dalam jumlah besar bisa mengalami atropi testis, disfungsi renal,
anemia mikrositik hipokromik, dan menurunnya simpanan Fe tubuh pada tikus (Schafer dan
Elsehans; 1985).

Pemberian Cd dengan dosis 0,5-5 mg Cd/ kg berat badan pada tikus bisa mengakibatkan
nekrosis testis, menurunkan mortilitas sperma, menurunkan indeks spermatogenik, dan dapat
menyebabkan infertil permanen. Kadmium mencegah sekresi LH dan terjadi esterus secara
konstan sehingga folikel pada ovarium mengalami nekrosis dan aliran darah ke uterus
berkurang (Anonimus, 1989). Kadmium bisa menyebabkan gangguan dan bahaya pada
berbagai organ dan bersifat teratogenik, mutanogenik, dan karsinogenik.
METABOLISME DALAM TUBUH

Kadmium ditransportasikan dalam darah yang berikatan dengan sel darah merah dan
protein berat molekul tinggi dalam plasma, khususnya oleh albumin. Sejumlah kecil Cd dalam
darah mungkin ditransportasikan oleh metalotionin. Kadar Cd dalam darah pada orang dewasa
yang terpapar Cd secara berlebihan biasanya 1 pg/dL, sedangkan bayi yang baru lahir
mengandung Cd cukup rendah, yaitu kurang dari 1 mg dari beban total tubuh.

Absorpsi Cd melalui gastrointestinal lebih rendah dibandingkan absorpsi melalui respirasi, yaitu
sekitar 5-80/0. Absorpsi Cd akan meningkat bila terjadi defisiensi Ca, Fe, dan rendah protein di
dalam makanannya. Defiensi Ca dalam makanan akan merangsang sintesis ikatan (Ia-protein
sehingga akan meningkatkan absorpsi Cd, sedangkan kecukupan Zn dalam makanan bisa
menurunkan absorpsi Cd. Hal tersebut diduga karena Zn merangsang produksi metalotionin.

Kadmium yang ditransportasikan dalam darah berikatan dengan protein yang memiliki
berat molekul rendah, yaitu metalotionin (MT) yang memiliki berat molekul 6.000, banyak
mengandung sulfhidril, dan dapat mengikat 11% Cd dan seng (Zn). Dalam isolat MT yang
berasal dari ginjal, ditemukan Zn sebesar 22% dan Cd 53%. MT memiliki daya ikat yang sama
terhadap beberapa jenis logam berat sehingga kandungan logam berat bebas'dalam jaringan
berkurang. Metalotionin terdiri dari protein (polipeptida) yang memiliki massa molekul yang
kecil (6-7 kDa) yang mengandung 26 33% sistein, tidak memiliki asam amino aromatik atau
histidin, di mana Cd terikat dengan gugus sulfhidril (-SH) dalam enzim karboksil sisteinil,
histidil, hidroksil, dan fosfatil dari protein dan purin. Kemungkinan besar pengaruh toksisitas Cd
disebabkan oleh interaksi antara Cd dan protein tersebut sehingga memunculkan hambatan
terhadap aktivitas kerja enzim. Metalotionin merupakan protein yang sangat peka dan akurat
sebagai indikator pencemaran. Hal itu didasarkan pada suatu fenomena alam di mana logam-
logam bisa terikat di dalam jaringan tubuh organisme karena adanya protein tersebut.

Sebagai konsekuensi dari banyaknya kandungan asam amino sistein, protein Metalotionin
mengandung dalam jumlah besar thiol (sulfhidril, SH). Kelompok itu mengikat logam-logam
berat yang sangat kuat, khususnya merkuri (Hg), kadmium (Cd), perak (Ag), dan seng (Zn)
(Lasut, 2002).
Sistem hayati memiliki peluang untuk mengikat/mengonsentrasi unsur logam berat yang bersifat
toksik dalam tubuhnya sebagai fungsi detoksifikasi, yaitu mengikat logam berat dalam lingkaran
metabolisme tanpa mengeliminasinya. Hal itu merupakan suatu solusi sementara, di mana
kemampuan sistem pengikatan memiliki kemampuan terbatas. Metalotionin dapat terinduksi dan
ditemukan di semua golongan makhluk hidup (misalnya mamalia, ikan, moluska/kerang-
kerangan, zooplankton, dan fitoplankton) dan di berbagai tingkat jaringan/organ (misalnya hati,
ginjal, insang, testis, usus, otot, plasma, eritrosit, sel-sel epitelial dan urin). Protein itu tersebar di
semua organisme laut, organisme vertebrata, dan invertebrata. Konsentrasi metalotionin dalam
jaringan meningkat ketika organisme terkontaminasi/terpapar unsurunsur logam berat (Lasut,
2002).

Logam berat Cd memiliki kemampuan untuk mengikat gugus S (sulfur) dan COOH
(karboksil) dari molekul protein, asam amino, dan amida. Logam berat juga memiliki
kemampuan untuk menggantikan keberadaan logam-logam lain yang terdapat dalam
metalloprotein. Sebagai contoh, untuk logam yang ada dalam suatu protein, logam Gu dapat
digantikan oleh Cd sehingga peran Cu dalam pembentukan ikatan-ikatan kovalen koordinasi
antarmolekul protein terganggu. Logam berat kadmium (Cd) memiliki afinitas yang tinggi
terhadap unsur S yang menyebabkan Cd menyerang ikatan belerang dalam enzim sehingga
enzim yang bersangkutan menjadi tidak aktif. Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2)
juga bereaksi dengan logam berat Cd. Kadmium (Cd) terikat pada sel-sel membran yang
menghambat proses transformasi melalui dinding sel (Manahan, 1977). Metabolisme Cd
berhubungan dengan metabolisme Zn, yaitu sama-sama membentuk ikatan dengan MT demikian
pula transpor Cd karena Cd memiliki sifat kimia yang mirip dengan Zn.

Setelah toksikan Cd memasuki darah, toksikan didistribusikan dengan cepat ke seluruh


tubuh. Pengikatan toksikan dalam jaringan bisa menyebabkan lebih tingginya kadar toksikan
dalam jaringan tersebut. Ikatan kovalen bersifat nonreversible dan akan memberikan efek toksik,
sedangkan ikatan nonkovalen bersifat reversible. Ikatan nonkovalen terdiri dari:

1. Protein plasma yang bisa mengikat senyawa asing (toksikan Cd) sehingga sulit untuk
didistribusikan ke ruang ekstravaskuler. Namun, reversible toksikan bisa lepas dari protein
sehingga toksikan bebas mengikat,
2. Hepar dan ginjal memiliki kapasitas yang lebih tinggi untuk mengikat zat kimia (toksikan
Cd). Pengikatan toksikan bisa meningkatkan kadarnya dalam organ.

Kadmium memiliki afinitas yang kuat terhadap hepar dan ginjal. Pada umumnya, sekitar 50
-75% dari beban Cd dalam tubuh terdapat pada kedua organ tersebut. Kadar Cd dalam hepar dan
ginjal bervariasi tergantung pada kadar total Cd dalam tubuh. Apabila MT hepar dan ginjal tidak
mampu lagi melakukan detoksifikasi, maka akan terjadi kerusakan sel hepar dan ren.

Percobaan untuk menguji keikutsertaan Cd dalam proses metabolisme tubuh dilakukan pada
hewan uji, yaitu 105 ekor tikus, 49 ekor mencit, 28 ekor kelinci, dan 5 ekor kera dengan
perlakuan berupa paparan uap CdO yang berukuran 0,3 0,5 jt selama 15-30 menit. Percobaan
tersebut memberikan hasil sebagai berikut:

1. Pada organ paru-paru, deposit logam Cd sebesar 11% dari total Cd sebesar 11% dari total Cd
yang terakumulasi dalam tubuh . Jumlah deposit pada relatif sama pada semua hewan uji.
2. Waktu paruh, masa pengurangan hingga netralisir keberadaan Cd pada organ hepar, ginjal,
limpa, dan paru-paru pada tikus, mencit, dan kera memiliki selang waktu yang cukup lama.
Hal itu membuktikan bahwa pada organ-organ dari hewan uji tidak terjadi penurunan kadar
Cd dalam waktu singkat atau diperlukan waktu beberapa minggu (Klaassen et al., 1986). '

Hasil autopsi pada 4 mayat pekerja yang semasa hidupnya memperlibatkan gejala keracunan
Cd menunjukkan bahwa ditemukan kandungan Cd sebesar 145 pg/g pada jaringan ginjal.
Kandungan Cd yang tinggi juga ditemukan dalam organ hepar. Hasil autopsi terhadap 292 mayat
di Swiss, yaitu pekerja industri yang berhubungan dengan Cd, beberapa di antaranya dikenal
sebagai perokok semasa hidupnya. Bagi pekerja perokok, jumlah akumulasi Cd lebih tinggi
dibandingkan pekerja yang tidak merokok. Bagi pekerja berusia 50 ~ 59 tahun, akumulasi Cd
pada ginjal sebanyak 0,85 pg. pankreas 0,57 pg; sedangkan akumulasi Cd pada organ hepar
cenderung meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Sementara itu, akumulasi Cd pada
pankreas cenderung menurun, berbanding terbalik dengan bertambahnya umur (Klaassen et al.,
1986).
ABSORPSI, DISTRIBUSI, DAN EKSKRESI

Logam berat Cd bisa masuk ke dalam tubuh hewan atau manusia melalui berbagai cara, yaitu:

1. Dari udara yang tercemar, misalnya asap rokok dan asap pembakaran batu bara
2. Melalui wadah/tempat berlapis Cd yang digunakan untuk tempat makanan atau minuman
3. Melalui kontaminasi perairan dan hasil pertanian yang tercemar Cd
4. Melalui jalur rantai makanan
5. Melalui konsumsi daging yang diberi obat antbelmmthes yang mengandung Cd.

Absorpsi kadmium (Cd) dalam saluran pencernaan meliputi 2 tahap, yaitu:

1. Penyerapan Cd dari lumen usus melewati membran brush border ke dalam sel mukosa
2. Transpor Cd ke dalam aliran darah dan deposisi dalam jaringan, terutama dideposit di hati
dan ginjal. Seperti halnya Zn, kadmium (Cd) memiliki afinitas yang tinggi pada testis
sehingga konsentrasi pada jaringan testis juga lebih tinggi dibandingkan pada jaringan
lainnya.

Kadmium tidak diabsorpsi dengan baik, yaitu sekitar S -8%. Namun, itu tetap lebih tinggi
dibandingkan absorpsi mineral dan sulit dieliminasi dari dalam tubuh sehingga akan dideposit di
dalam tubuh. Kadmium diabsorpsi dan diakumulasi. Ekskresi Cd terjadi melalui urin dan feses.
Daya akumulasi Cd sangat efisien dengan waktu paruh biologis yang sangat panjang dalam
tubuh manusia, yaitu kurang lebih 40 tahun. Pada mamalia yang baru lahir tidak terdapat
kadmium, tetapi selanjutnya Cd bisa terakumulasi terus dalam tubuh sepanjang hidupnya, yaitu
dalam hati dan ginjal, sekitar 50-75%, terutama yang berikatan dengan protein tionin dan
mengubah tionin menjadi metalotionin. Proporsi Cd yang diabsorpsi dalam tubuh organisme
dipengaruhi oleh umur. Mencit muda bisa menyimpan 10% dari Cd yang diberikan secara oral 2
minggu setelah pemberian, sedangkan mencit dewasa hanya mengabsorpsi 1%. Mencit dan tikus
yang baru lahir mengabsorpsi Cd lebih besar daripada mencit dewasa. Absorpsi Cd melewati alat
pencernaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain spesies hewan, jenis, dan susunan kimia
kadmium, serta dosis dan frekuensi paparan kadmium (Cd). Sekitar 5 8% dari makanan yang
mengandung kadmium (Cd) diabsorpsi dalam tubuh. Sebagian besar Cd masuk melalui saluran
pencernaan dan dibuang melalui feses sekitar 3 4 minggu setelah terpapar Cd dan sebagian kecil
dikeluarkan melalui urin (Klaassen et al., 1986; Haas, 2005). Pada manusia, sebagian besar Cd
diekskresikan melalui urin, sedangkan pada hewan, sebagian besar Cd diekskresikan melalui
feses.

Wanita yang berhubungan dengan kegiatan peleburan Cd nonfenous selama 8 tahun


membuktikan bahwa kandungan Cd pada urin wanita yang tidak terpapar memiliki kadar 0,31
ug/g kreatinin dan wanita yang terpapar Cd memiliki kadar 35,7 ug/g kreatinin. Sementara itu,
kadar Cd dalam darah wanita yang tidak terpapar Cd adalah sebesar 1,85 ug/L, sedangkan pada
wanita yang terpapar sebesar 22,4 pg/L (Cardenas et al; 1991).

Monitoring terhadap penduduk di daerah industri yang terpapar kadmium menunjukkan kadar
normal Cd dalam darah < 0,5 ug/L, Cd dalam urin < 2 ug/g kreatinin; β-2 microglobulin dalam
urin < 300 ug/g kreatinin; protein pengikat retinol dalam urin < 300 ug/g kreatinin; dan albumin
dalam urin < 20 mg/g kreatinin (Bastarache, 2003). Data urin yang diperoleh menyatakan bahwa
1% dari orang yang menderita disfungsi ginjal karena terpapar kadmium (Cd) menunjukkan:

1. β-2 microglobulin pada pria 3,2 ug/g kreatinin dan 5,2 ug/g kreatinin pada wanita
2. Protein pengikat retinol pada pria 4,4 ug/g kreatinin dan 7,4 ug/g kreatinin pada wanita
3. Amrhocidunia (praline) pada pria 10,4 ug/g kreatinin dan 5,1 ug/g kreatinin pada wanita
4. Glukosuria pada pria 7,4 ug/g kreatinin dan 7,4 ug/g kreatinin pada wanita (Klaassen et al.,
1986).

Seorang pekerja yang bekerja di lingkungan industri dan mengalami keracunan Cd menunjukkan
kandungan lebih dari 3 ug/g kreatinine pada urine. β-2 microglobulin dalam urine melebihi 300
ug/g kreatinin dan kadar Cd dalam darah 5 ug/L (Anonimus, 2004).

EFEK TOKSIK TERHADAP HEPAR


Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis intake Cd dan lama paparan berpengaruh
sangat nyata terhadap kadar Cd dalam hepar. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT lebih jelas bisa
dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3

Tingginya kadar SGOT dan SGPT disebabkan oleh adanya kerusakan hepar. Gambaran
histopatologi pada konsentrasi 66 ppm kadmium (Cd) mulai memperlihatkan perubahan pada
pengamatan di minggu ke-2 di mana pita-pita sel yang membentuk lobus tidak beraturan dan
jaringan ikat mulai tampak. Pengamatan minggu ke-4 sampai miggu ke-8 dengan konsentrasi Cd
66 ppm menunjukkan semakin jelasnya jaringan ikat dan semakin banyaknya sel karioreksis.
Demikian juga dengan eosiniphilic inclution (Ratnaningsih, 2003).

CdCl2 bisa menyebabkan degenarasi struktur mikroanatomi hepar pada tikus (Rattus
norvegicus L.) yang diberi makanan berprotein tinggi maupun rendah. Degenerasi meliputi
nekrosis hepatosit yang ditandai adanya inti sel yang mengalami piknosisi, karioreksis atau
kariolisis, perlemakan, pembengkakan sel, dan pengerutan sel. Kerusakan mikroanatomi hepar
lebih ringan pada tikus yang diberi pakan berprotein tinggi dibandingkan yang diberi pakan
berprotein rendah (W idowati, 1994).

EFEK TOKSIK TERHADAP GINJAL

Logam Cd bisa menimbulkan kerusakan ginjal yang mampu dideteksi dari jumlah
kandungan protein yang terdapat dalam urin. Proteinuria ditemukan pada 80% dari 43 pekerja
yang telah bekerja selama 20 tahun di industri baterai Cd-alkalin. Kadar protein yang ditemukan
dalam urin para pekerja adalah 150 mg/hari dengan jumlah albumin yang rendah dan terjadi
peningkatan senyawa α, 2-β, dan γ globulin. Proteinuria juga ditemukan pada orang-orang yang
telah terpapar Cd dalam waktu lama, yaitu dalam jangka waktu 20-30 tahun. Keadaan tersebut
dijadikan indikator dari keracunan Cd secara kronis. Proteinuria merupakan gejala awal dari
kerusakan sistem ekskresi, khususnya ginjal. Petunjuk lain dari kerusakan yang terjadi pada
ginjal adalah adanya asam amino dan glukosa dalam urin, ketidak-normalan kandungan asam
urat, Ca, dan P dalam urin. Penelitian yang dilakukan di Swedia menunjukkan bahwa batu ginjal
ditemukan pada 44% pekerja yang terpapar Cd selama 15 tahun. Kandungan Ca dan P yang
tinggi dalam urin mengakibatkan kerusakan ginjal karena Cd (Palar, 1994).

Darah akan mentransportasikan Cd menuju hepar, lalu akan berikatan dengan protein
membentuk kompleks protein. Selanjutnya, Cd diangkut menuju ginjal dan diakumulasi dalam
ginjal sehingga sangat mengganggu fungsi ginjal, terutama saat ekskresi protein.

CdCl2 bisa menyebabkan degenerasi struktur mikroanatomi ginjal pada tikus (Rattus norvegicus
L.) yang diberi makanan berprotein tinggi maupun berpretein rendah. Perubahan struktur pada
ginjal meliputi disintegrasi korpuskulum renalis, piknosis pada inti sel. karioreksis atau
kariolisis, serta terjadinya degenerasi perlemakan pada tubuli proksimalis dan distalis. Tingkat
kerusakan mikroanatomi pada ginjal lebih ringan pada tikus yang diberi makanan berprotein
tinggi dibandingkan tikus yang diberi makanan berprotein rendah (Widowati, 1994).

EFEK TOKSIK TERHADAP PAKU-PAKU, JANTUNG, DAN DARAH

Keracunan yang disebabkan oleh inhalasi uap atau debu Cd bisa mengakibatkan
kerusakan organ respirasi paru-paru. Inhalasi debu Cd selama 20 tahun oleh para pekerja industri
yang menggunakan Cd telah menyebabkan terjadinya pembengkakan paru-paru. Kadmium lebih
beracun bila terinhalasi melalui saluran pernafasan daripada saluran pencernaan. Kasus
keracunan akut Cd kebanyakan berasal dari debu dan asap kadmium yang terhisap, terutama
kadmium oksida (CdO). Beberapa jam setelah menghirup, korban akan mengeluhkan gangguan
saluran nafas, mual, muntah, kepala pusing, dan sakit pinggang. Kematian disebabkan oleh
terjadinya edema paru-paru. Apabila pasien tetap bertahan, akan terjadi emfisema atau gangguan
paru-paru yang jelas terlihat (Palar, 1994; Lu, 1995).

Kadmium sulfida (Cd-S) yang terhirup selama 12 -14 tahun tidak menimbulkan pengaruh buruk
dalam bentuk apa pun terhadap paru-paru. Efek keracunan baru terlihat bila terjadi paparan CdS
selama 25 tahun. Pembengkakan paru-paru terjadi karena Cd+2 menghambat kerja senyawa a-
antipirin. Paparan Cd-stearat 0,02-O,7 mg Cd/m3 selang sehari tidak menimbulkan efek apa pun
terhadap paru-paru (Palar, 1994).

Gangguan fungsi paru-paru karena keracunan Cd meliputi bronkitis, fibrosis, emfisema, dan
dispne. Kadmium akan mengurangi aktivitas α-1-antitripsin yang berakibat meningkatnya
toksisitas paru-paru. Gangguan terhadap jantung yang disebabkan oleh keracunan Cd bisa
mengakibatkan hipertrofi jantung (Klaassen et al., 1986; Palar, 1994).

Keracunan kronis yang disebabkan oleh CO bisa mengakibatkan anemia. Penyakit itu ditemukan
pada para pekerja yang telah bekerja selama 5-30 tahun di industri yang menggunakan atau
menghasilkan CdO. Ada hubungan antara kandungan Cd yang tinggi dalam darah dengan
rendahnya kadar hemoglobin.

EFEK TOKSIK TERHADAP TULANG DAN SISTEM REPRODUKSI

Toksisitas Cd bisa mengakibatkan kerapuhan tulang. Gejala rasa sakit pada tulang akan
mengakibatkan kesulitan berjalan. Hal tersebut dialami oleh para pekerja yang bekerja di
industri-industri yang menggunakan Cd. Di jepang pernah terjadi peristiwa keracunan Cd yang
mengakibatkan terjadinya kerapuhan tulang pada penderita yang disebut ”itai-itai”. Penyakit itu
mirip dengan osteomalasia yang mengakibatkan rasa sakit pada persendian tulang belakang dan
kaki. Efek yang ditimbulkan oleh Cd terhadap tulang mungkin disebabkan oleh kekurangan Ca
dalam makanan yang tercemar Cd sehingga fungsi Ca dalam pembentukan tulang digantikan
oleh logam Cd. Penderita keracunan Cd kronis bisa diketahui dari terlihatnya tanda-tanda
keracunan berupa lingkaran di bagian pangkal gigi.

Cd bisa menyebabkan osteomalasia karena terjadinya gangguan daya keseimbangan


kandungan kalsium (Ca) dan fosfat (P) dalam ginjal. Keracunan Cd kronik itu dilaporkan terjadi
di daerah Toyama, sepanjang sungai Jinzu di jepang, yang menyebabkan munculnya penyakit
itai-itai pada penduduk wanita berusia 40 tahun ke atas.

Daya toksisitas Cd juga memengaruhi sistem reproduksi dan organ-organnya. Pada


konsentrasi tertentu, Cd bisa mematikan sel-sel sperma pada laki-laki sehingga terjadi impotensi.
Impotensi karena keracunan Cd dapat dibuktikan dengan rendahnya kadar testosteron dalam
darah. Percobaan terhadap mencit membuktikan bahwa uap Cd dengan dosis tertentu bisa
menyebabkan sejumlah kerusakan pada jaringan testis dan perubahan sistem reproduksi.
Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh Cd terhadap alat reproduksi hewan uji adalah:

1. Cd terutama diakumulasi pada oviduct, selanjutnya di indung telur dan uterus, sedangkan
testicula dan tunz'ca albuginea pada testis lebih rendah
2. Cd menyebabkan terjadinya atresia follicular
3. Terjadi perubahan ultrastuktur sel granulosa, yaitu vakuolisasi sit0plasma, perubahan struktur
mitokondria, meningkatnya droplet lipid, dan luteinisasi
4. Peningkatan progesteron dan penurunan 17-β-oestradiol
5. Edematisasi dari stroma oviduct
6. Terhambatnya motilitas spermatozoa
7. Penurunan berat badan lahir meskipun tidak menyebabkan kecacatan lahir (Massanyi et al.,
1998).

PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TOKSISITAS

Orang yang rentan terpapar Cd adalah pekerja di lingkungan industri, pekerja galvanisasi,
perokok aktif dan perokok pasif, pekerja di penambangan Zn, dan orang yang mengonsumsi
makanan yang tercemar Cd. Untuk mencegah kontak dengan kadmium (Cd), hindari pusat
industri yang menggunakan, mengolah, atau memproduksi Cd. Bagi para pekerja, sebaiknya
mereka menggunakan masker, serta tidak makan, minum, ataupun merokok di daerah industri.

Kerentanan toksisitas Cd dipengaruhi oleh banyak faktor, khususnya kemampuan tubuh


untuk menyediakan tempat ikatan pada metalotionin (bindings sites on metallothionezh).
Makanan mengandung Zn, Co, dan Se bisa melindungi tubuh dari toksisitas Cd. Pemberian
kelator dalam waktu singkat, setelah terpapar Cd, menunjukkan bahwa tidak terjadi sintesis
metalotionin baru. Sementara itu, thiol yang terkandung dalam kelator, misalnya dalam BAL dan
penicillamine, bisa meningkatkan ekskresi Cd dari empedu. EDTA (Etilendzamm Tetfaacetic
Acid) dan DPTA (Dietilenmamm Pentaacetic Acid) dapat meningkatkan ekskresi urin. Terapi
menggunakan kelator pada paparan Cd secara kronis akan mengikat Cd dalam metalotionin dan
tidak memberikan hasil yang signifikan.
Untuk mencegah dan mengurangi paparan Cd, lakukan hal berikut:

1. Menghindari paparan Cd dengan mengurangi rokok, mengurangi konsumsi makanan yang


rentan terkontaminasi Cd, antara lain kerang dan shellfish, serta mengurangi minuman yang
rentan tercemar Cd. antara lain kopi atau teh
2. Untuk mencegah toksisitas Cd, pertahankan kecukupan Zn dalam tubuh dengan
mengonsumsi makanan yang mengandung Zn tinggi. antara lain biji-bijian yang tidak
ditumbuk halus, makanan dari golongan leguminosae, dan kacang-kacangan. Konsumsi
suplemen Zn 15-30 mg/hari bisa mengurangi toksisitas Cd. Nutrisi dalam diet secara
signifikan berpengaruh terhadap toksisitas bahan toksik, baik pada manusia maupun hewan
uji. Defisiensi beberapa nutrien esensial akan meningkatkan efek toksik dari Cd dan beberapa
nutrien tertentu bahkan bisa mengurangi toksisitas Cd. Berdasarkan hasil penelitian terhadap
tikus, diketahui bahwa degenerasi struktural pada hati maupun ginjal akibat paparan CdClz
lebih ringan pada tikus yang diberi makanan berprotein tinggi. Konsumsi Zn, Ca, dan Se
dosis tinggi mampu mengurangi absorpsi Cd. Demikian juga konsumsi besi (Fe), kuprum
(Cu), selenium (Se), dan vitamin C yang mampu meningkatkan eliminasi Cd yang bisa
diketahui dari kadar Cd dalam urin atau kadar Cd pada rambut .

Diet atau Ibad suplement bisa mengurangi toksisitas Cd, yaitu jenis mineral Cu, Zn, Fe, dan
Mg yang berperan mampu menggantikan Cd atau mengeliminasi Cd dari tubuh, antioksidan
vitamin E, vitamin K, dan klorofil agar mampu mengurangi toksisitas Cd. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan Tabel 4.4.
Tindakan terhadap seseorang yang mengalami keracunan Cd dengan memberikan EDTA
secara intravena mampu meningkatkan eliminasi Cd. Senyawa EDTA dan DPTA bisa
memperkecil daya toksisitas Cd, terutama bagi penderita dengan gejala keracunan akut Cd
dengan memberikan ADTA dan DPTA. Untuk keracunan kronis, tidak dianjurkan pemberian
EDTA dan DPTA.
KESIMPULAN

1. Kadmium (Cd) adalah logam berat yang diproduksi secara alami dan semakin meningkat
konsentrasinya di alam sejalan dengan proses industrialisasi karena Cd sangat besar
manfaatnya bagi manusia.
2. Keberadaan Cd bisa mencemari lingkungan dan bisa berada di atmosfer, tanah. dan perairan.
3. Bahan pangan seperti beras, sayuran, ikan, serta air minum di berbagai daerah di Indonesia
telah tercemar Cd bahkan melampaui ambang batas yang ditetapkan.
4. Kadmium sangat toksik, baik bagi hewan maupun manusia.
5. Kadmium bisa memberikan efek toksik pada hati, ginjal, paru-paru, jantung, tulang, dan
sistem reproduksi.
6. Toksisitas Cd secara akut menunjukkan gejala seperti gejala flu (metal fizme lever), yaitu
lemah, lesu, sakit kepala, menggigil, berkeringat, nyeri otot, dan edema pulmo.
7. Toksisitas Cd secara kronis menunjukkan gejala kanker paru-paru. emfisema, kanker prostat,
kerusakan ginjal, kerusakan hepar, anemia, diskolorasi gigi, osteomalasia, osteoporosis, dan
anosmia.
8. Usaha mencegah dan mengurangi paparan Cd adalah:
a. Menghindari paparan Cd dengan mengurangi rokok, mengurangi konsumsi makanan
yang rentan terkontaminasi Cd, antara lain kerang atau sbe1155h, serta mengurangi
minuman yang rentan tercemar Cd, antara lain kopi atau teh.
b. Pencegahan toksisitas Cd bisa dilakukan dengan mempertahankan kecukupan protein
pada makanan, kandungan Zn, Ca, Cu, P e, Se, vitamin E, serta antioksidan dalam tubuh.

Anda mungkin juga menyukai